Childfree

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 14

FENOMENA CHILDFREE PERSPEKTIF TAFSIR MAQA<S}IDI><

Kinanthi Nur Fikriya

Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Ponorogo

[email protected]

Abstrak

Childfree adalah pilihan hidup dari seseorang untuk tidak memiliki anak, baik anak
secara biologis maupun anak angkat dalam kehidupan berumah tangga. Fenomena
childfree ini menjadi cukup kontroversial di tengah masyarakat Indonesia dengan
mayoritas beragama islam yang memiliki pemahaman bahwa salah satu tujuan
pernikahan adalah memiliki keturunan. Maka hal ini juga bertentangan dengan
maqashid syari’ah. Dari fenomena tersebut artikel ini membahas mengenai konsep
childfree yang dikaitkan dengan beberapa ayat al-Quran seperti ayat tentang tujuan
pernikahan (Q.S. ar-Rum: 21), ayat tentang keberpasangan (Q.S. an-Nisa>: 1 dan
Q.S. an-Nahl: 72), dan ayat tentang anak sebagai anugerah (Q.S. al-Furqan: 74).
Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori analisis tafsir
maqāṣid yang dicetuskan oleh Abdul Mustaqim. Teori ini mengungkapkan pesan
dibalik makna al-Qur’an. Penelitian ini berjenis library research yang
menggunakan sumber data berupa artikel jurnal, buku, serta data dokumentar lain
yang setema. Hasil penelitian ini mengkaitkan childfree dengan 7 prinsip maqasid
syariah, yakni h}ifz} al-di>n (menjaga agama), h}ifz} al-nafs (menjaga jiwa), h}ifz} al-‘aql
(menjaga akal dan pikiran), h}ifz} al-nas}l (menjaga keturunan), h}ifz} al-ma>l (menjaga
harta), h}ifz} al-dawlah (menjaga tanah air), dan h}ifz} al-bi’ah (menjaga lingkungan).

Kata kunci: Childfree, al-Quran, Tafsir Maqasidi

Abstract

Childfree is the life choice of a husband and wife not to have children, both
biological and adopted children in married life. This childfree phenomenon has
become quite controversial in the midst of Indonesian society with a Muslim
majority who understand that one of the goals of marriage is to have children. So

1
this is also contrary to maqashid syari'ah. From this phenomenon, this article
discusses the concept of childfree which is associated with several verses of the
Koran such as verses about the purpose of marriage (Q.S. ar-Rum: 21), verses about
pairing (Q.S. an-Nisa>: 1 and Q.S. an-Nahl: 72) , and verses about children as a gift
(Q.S. al-Furqan>: 74). The theory used in this study is the maqāṣid interpretation
analysis theory initiated by Abdul Mustaqim. This theory reveals the message
behind the meaning of the Koran. This type of research is library research using
data sources in the form of journal articles, books, and other documentary data with
the same theme. The results of this study link childfree with 7 principles of maqasid
sharia, namely h}ifz} al-di>n (safeguarding religion), h}ifz} al-nafs (safeguarding the
soul), h}ifz} al-‘aql (safeguarding the mind), h}ifz} al-nas}l (safeguarding offspring),
h}ifz} al-ma>l (safeguarding wealth), h}ifz} al-dawlah (safeguarding the motherland),
and h}ifz} al-bi’ah (protecting the environment).
Keywords: Childfree, al-Quran, Tafsir Maqasidi

A. Pendahuluan

Istilah childfree merupakan paham yang sudah lama ada di negara barat dan
masih ada sampai saat ini seiring berkembangnya paham liberalisme. Childfree
merujuk pada pasangan yang tidak memiliki keinginan atau rencana memiliki anak.
Istilah ini pertama kali digunakan oleh National Organization for Non-Parents pada
tahun 1972 dalam perayaan Non-Parents Day. Berbeda dengan istilah childless
yang mengacu pada pasangan yang ingin memiliki keturunan tetapi tidak bisa
karena alasan biologis, sedangkan childfree sendiri mengacu pada pasangan yang
memilih untuk tidak memiliki anak meskipun mereka memiliki kemampuan baik
dari segi ekonomi dan biologis.1

Terdapat berbagai alasan dari pasangan suami istri untuk mengambil


keputusan childfree, diantaranya karena faktor finansial dan mental yang dianggap
telah menyelamatkan anak dari garis kemiskinan. Selain itu, pilihan childfree juga
menjadi alasan bahwa tujuan menikah tidak hanya untuk memiliki keturunan saja,

Christian Agrillo dan Cristian Nelini, “Childfree by choice: a review,” Journal of Cultural
1

Geography 25, no. 3 (1 Oktober 2008): 347–63, https://doi.org/10.1080/08873630802476292.

2
melainkan ingin hidup bersama dengan pasangan.2 Namun ada juga pendapat
bahwa keputusan childfree muncul karena adanya kampanye politic of body (politik
tubuh) yang beranggapan bahwa tubuh perempuan adalah hak dan milik dari
perempuan itu sendiri, dimana mereka mempunyai keputusan penuh terhadap
tubuhnya sendiri termasuk untuk mengandung seorang anak.3

Fenomena childfree ini menjadi cukup kontroversial di tengah masyarakat


Indonesia dengan mayoritas beragama islam yang memiliki pemahaman bahwa
salah satu tujuan pernikahan adalah memiliki keturunan, dimana anak adalah
anugerah dari Allah yang harus dijaga.4 Maka hal ini juga bertentangan dengan
maqashid syari’ah. Jika paham childfree ini terus berkembang maka hal ini akan
berdampak pada peradaban dan keberlangsungan kehidupan manusia.

Dalam al- Quran sendiri tidak menerangkan secara eksplisit mengenai


konsepsi childfree. Namun, ada beberapa ayat al-Quran yang dapat dikaitkan
dengan fenomena childfree. Diantaranya adalah ayat tentang tujuan pernikahan
(Q.S. ar-Rum: 21), ayat tentang keberpasangan (Q.S. an-Nisa>: 1 dan Q.S. an-Nahl:
72), dan ayat tentang anak sebagai anugerah (Q.S. as-Syura>: 50).

Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan fenomena childfree dalam


al-Quran, diantaranya yaitu: Pertama, Karunia Hazyimara menuliskan skripsi
berjudul Fenomena Keputusan Childfree dalam Perspektif Al-Quran (Kajian Tafsir
Tematik). Karunia menjelaskan childfree dengan menganalisis ayat dalam al-Quran
dan mengkaitkan dengan konteks ke-Indonesiaan. Kedua, Roma Wijaya menulis
jurnal mengenai respon al-Quran atas Trend Childfree yang dianalisis
menggunakan tafsir Maqasidi. Ketiga, Almunawwarah Burhanuddin menulis
skripsi tentang Childfree dalam Perspektif Al-Quran yang di kontekstualisasi
dengan penafsiran Ibnu Asyur, Wahbah al-Zuhaili, dan Quraish Shihab.

2
Tiara Hanandita, “Konstruksi Masyarakat Tentang Hidup Tanpa Anak Setelah Menikah,”
Jurnal Analisa Sosiologi 11, no. 1 (Januari 2022): 126–36.
3
“Konsep Child Free Banyak Diikuti, Bagaimana Sikap Muslim?,” Republika Online,
diakses 25 Oktober 2022, https://www.republika.co.id/berita/qyh0ru430/konsep-child-free-banyak-
diikuti-bagaimana-sikap-muslim.
4
Roma Wijaya, “Respon Al-Qur’an atas Trend Childfree (Analisis Tafsir Maqāṣidi),” Al-
Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits 16, no. 1 (22 Juni 2022): 41–60,
https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.11380.

3
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah maqāṣid (tujuan, hikmah, maksud,
dimensi makna terdalam dan signifikansi) dari ayat-ayat yang berhubungan dengan
childfree, sehingga untuk menemukan tujuan dan nilai-nilai kemaslahatan dari
suatu ayat diperlukan penafsiran yang lebih mendalam. Tafsir maqa>s}idi> penting
untuk dijadikan salah satu metodologi dalam upaya penafsiran al-Qur‘an yang
cenderung bersifat tekstualis dan substansialis secara ekstrem. Dengan tetap
memberikan kaidah dasar penafsiran klasik dan mengkaitkannya dengan konteks
realitas masa kini, tafsir maqa>s{idi> menemukan titik perannya dalam memberikan
jalan tengah antara ekstremisme pemahaman al-Quran yang terlalu tekstualis dan
kontekstualis/substansialis.5

Kajian ini menjadi lahan baru untuk memperkaya khazanah keilmuan di


bidang studi al-Quran, karena kajian ini merespon trend childfree yang sedang
hangat diperbincangkan. Berdasarkan hal itu, penulis tertarik untuk membahas
“Fenomene Childfree Perspektif Tafsir Maqa>s}idi>”

B. Pembahasan
1. Childfree
Istilah Childfree diartikan sebagai having no children, childless, especially
by choice (tidak memiliki anak karena sebuah pilihan). Childfree adalah pilihan
hidup dari sepasang suami dan istri untuk tidak memiliki anak, baik anak secara
biologis maupun anak angkat dalam kehidupan berumah tangga. Berbeda
dengan childless yang mempunyai makna untuk pasangan yang tidak memiliki
anak karena beberapa faktor di luar kehendak, seperti faktor fisik atau
biologis.6
Pasangan yang memilih childfree tentunya memiliki alasan-alasan tertentu
yang beragam dan kompleks. Alasan-alasan tersebut sudah mulai dipengaruhi
oleh lingkungan sekitar seiring berjalannya budaya atau paham yang lebih
modern. Terdapat 5 kategori alasan pasangan memilih childfree yaitu pribadi

5
Abdul Mustaqim, “Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi
Islam” (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019).
6
Abdul Hadi, Husnul Khotimah, dan Sadari, “Childfree dan Childless Ditinjau dari Ilmu
Fiqih dan Perspektif Pendidikan Islam,” Journal of Educational and Language 1, no. 6 (Januari
2022).

4
(emosi dan batin), psikologis (alam bawah sadar), ekonomi (materi), filosofis
(prinsip), dan lingkungan hidup (makrokosmos).7
Pertama, alasan pribadi. Dalam hal ini biasanya timbul dari emosi batin
seseorang karena kondisi keluarga, pertemanan, pendidikan, pekerjaan dan
lainnya. Orang yang memutuskan untuk childfree karena alasan pribadi
biasanya melihat dari pengalaman orang sekitar bahkan pengalaman yang
pernah mereka rasakan sendiri mengenai suatu hal sehingga mereka secara
pribadi menolak untuk memiliki anak.
Kedua, alasan psikologis. Psikologis berhubungan dengan pikiran,
perasaan, dan motivasi seseorang. Seseorang yang memilih childfree karena
kondisi psikologis biasanya mengalami trauma, ketakutan, dan kecemasan
akan suatu hal seperti takut menjadi orang tua bahkan untuk mengurus anak
dan cemas akan masa depan anak. Selain itu ada rasa trauma masa kecil karena
kurang mendapat kasih sayang dari orang tua, sehingga ia tidak ingin memiliki
anak karena takut anak tersebut merasakan sama seperti ia dulu.
Ketiga, alasan ekonomi. Ketika memiliki anak tentunya harus memiliki
tanggung jawab untuk mengurus dan merawat anak seperti memenuhi
kebutuhsn gizi anak, pendidikan, dan kesehatan yang kesemuanya itu
membutuhkan biaya yang tinggi. Seseorang yang memilih childfree menyadari
bahwa finansial yang dimiliki tidak cukup dalam merawat anak sampai dewasa.
Mereka beranggapan bahwa anak adalah harga yang sangat mahal.
Keempat, alasan filosofis. Seseorang yang memilih childfree beranggapan
bahwa sumber kebahagiaan bukan hanya memiliki anak, masih ada banyak hal
yang dapat mendatangkan kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga. Selain itu,
mereka menganggap bahwa dunia sudah tidak layak huni bagi anak-anak.
Mereka memilih untuk membantu anak-anak terlantar yang membuat mereka
lebih bahagia daripada memiliki anak.
Kelima, lingkungan hidup. Alasan ini menjadi dasar bagi pasangan childfree
yang menganggap bahwa lingkungan saat ini sudah tidak baik untuk
pertumbuhan anak dan meningkatnya populasi manusia menjadikan dunia

7
Ajeng Wijayanti Siswanto dan Neneng Nurhasanah, “Analisis Fenomena Childfree di
Indonesia,” Bandung Conference Series: Islamic Family Law 2, no. 2 (6 Agustus 2022),
https://doi.org/10.29313/bcsifl.v2i2.2684.

5
sudah ideal untuk kehidupan manusia. Melahirkan di tengah kondisi
lingkungan seperti saat ini sama saja membiarkan generasi atau keturunan
selanjutnya hidup dalam kesengsaraan.8

2. Tafsir Maqa>s}idi>
Tafsir maqa<s}idi< terdiri dari dua kata yakni tafsir dan maqa<s}idi. Kata
tafsir merupakan bentuk isim masdar dari kata fasaara-yufassiru-tafsiran
yang berarti menjelaskan sesuatu. Sedangkan kata maqa<s}id merupakan
jamak dari kata maqsad yang berarti tujuan atau maksud, jalan lurus dan
sikap moderasi.
Menurut abdul Mustaqim, tafsir maqāṣidī adalah salah satu jenis
tafsir atau salah satu pendekatan tafsir yang menitikberatkan pada
pemahaman dan pengungkapan tujuan umum atau khusus al-Qur'an, dengan
cara penafsir menghubungkannya dan membangun nilai-nilai dasar al-
Qur'an selama proses penafsiran untuk merealisasikan kemaslahatan hamba
baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Secara ontologis gagasan tafsir maqa<s}idi merupakan sebuah konsep
pendekatan tafsir yang ingin memadukan elemen sebagai berikut, yaitu 1)
lurus dari segi metode yang sejalan dengan prinsip-prinsip maqa<s}id
syari’ah, 2) mencerminkan sikap moderasi dalam memperhatikan bunyi
teks dan konteks, 3) moderat dalam mendudukkan dalil naql dan dalil `aql,
agar dapat menangkap maqa<s}id (maksud dan cita-cita ideal) al-Qur’an, baik
yang bersifat partikular maupun yang universal, sehingga memperoleh jalan
kemudahan dalam merealisasikan kemaslahatan dan menolak mafsadah
(kerusakan).
Tafsir maqāṣidi dikembangkan oleh Abdul Mustaqim dari para
sarjana yang telah mengenalkan tafsir ini. Term maqāṣidi tidak terlepas dari
konsep maqāṣid as-syari’ah yang telah dikenalkan oleh al-Syathibi, Ibn
Asyur, Jaser Auda. Al-Raisuni mengklaim bahwa istilah maqāṣid digunakan
pertama kali oleh al-Tirmidzi al-Hakim (w. 296 H). Adapun langkah
analisis dengan menggunakan teori tafsir maqa<s}idi antara lain:

8
Siswanto dan Neneng Nurhasanah.

6
a. Menentukan tema riset dengan argumentasi logis-ilmiah.
b. Merumuskan problem akademik yang hendak dijawab dalam riset.
c. Mengumpulkan ayat-ayat yang setema dan didukung dengan hadis
terkait dengan isu riset.
d. Melakukan analisis kebahasaan untuk memahami konten ayat untuk
menemukan makna dan dinamika perkembangannya.
e. Memahami sabab nuzul dan konteks kekinian untuk menemukan
maqa<s}id dan dinamikanya.
f. Mengelompokkan ayat-ayat secara sistematik sesuai tema riset.
g. Menganalisa dan menghubungkan penjelasan tafsirnya dengan teori-
teori maqa<s}id: aspek nilai-nilai maqasidi, aspek maqasid dan hierarki
maqa<s}id -nya
h. Mengambil kesimpulan secara komperehensif.9

C. Analisis Ayat tentang Childfree Perspektif Tafsir Maqa<s}idi


1. Tujuan Pernikahan (Q.S. Al-Ru>m (30) : 21

‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َم َوَّد ًة َوَر ْحَةً ۚ إِ َّن ِِف‬ ِ ِ ِِ ‫وِمن‬
ً ‫آَيته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
َ ْ َ
‫ك ََل ََي ٍت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّك ُرو َن‬ ِ
َ ‫َٰذَل‬

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”10

Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yang berbicara


mengenai kuasa Allah tentang perkembangbiakan manusia sehingga
menjadikan mereka bersama anak cucunya berkeliaran di bumi. Kemudian

9
Mustaqim, “Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam.”
10
tafsirq.com, diakses 23 November 2022, https://tafsirq.com/.

7
ayat ini melanjutkan pembuktian yang lalu dengan menciptakan pasangan-
pasangan antar manusia melalui ikatan pernikahan.11
Dalam sebuah pernikahan tentunya memiliki tujuan dalam
membangun rumah tangga bersama, yakni sakinnah, mawaddah,

warrahamah. Kata ( ‫) تَ ْس ُكنُوا‬ taskunu> diambil dari kata )‫(سكن‬ sakana

yakni diam, tenang setelah sebelumnya guncang dan sibuk. Setiap


makhluk diciptakan oleh Allah untuk menyatu dengan pasangannya.
Makhluk Allah akan terus merasakan kegelisahan, pikiran yang kacau, dan
jiwa yang bergejolak sampai hal tersebut terpenuhi. Oleh karena itu, Allah
mensyariatkan pernikahan bagi manusia agar setiap pasangan tersebut
mendapat ketenangan setelah jiwa yang bergejolak.12

Kata ( ‫)م َوَّد ًة‬


َ mawaddah berarti cinta dan harapan. Dalam hal ini,

cinta yang dilukiskan dengan kata mawaddah, harus terbukti dalam sikap

dan tingkah laku. Adapun kata (ً‫حَة‬


ْ ‫)ر‬
َ rahmah ada dalam sebuah keluarga
dengan lahirnya anak. Kata rahmah disini memiliki makna “tertuju kepada
yang dirahmati, sedang yang dirahmati itu dalam keadaan butuh, yang
menjadikan rahmat tertuju kepada yang lemah”. Hal ini dapat dipahami
ketika seseorang sudah berusia lanjut sehingga mempunyai keadaan yang
lemah, maka kehadiran anak sangat dibutuhkan dalam kondisi tersebut.13
Adapun pertimbangan aspek kemaslahatan dari ayat di atas, yakni
mencakup hifz ad-din; melangsungkan pernikahan dengan tujuan untuk
meyempurnakan agama, hifz an-nafs: mendapat ketenangan jiwa berupa
hati dan pikiran yang tentram setelah menikah sebagai sarana untuk
menguatkan ibadah kepada Allah, dan hifz an-nasl: mendapatkan dan
melangsungkan keturunan agar mendapat rahmat dalam sebuah keluarga.

11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), 33.
12
Shihab, 35.
13
Shihab, 36.

8
2. Ayat tentang keberpasangan
1) Q.S. An-Nisa’ [4]: 1

َّ َ‫اح َدةٍ َو َخلَ َق ِمْن َها َزْو َج َها َوب‬


‫ث ِمْن ُه َما‬ ِ‫سو‬ ِ ِ َّ
َ ٍ ‫َّاس اتَّ ُقوا َربَّ ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن نَ ْف‬
ُ ‫ََي أَيُّ َها الن‬
‫اَّللَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا‬
َّ ‫اَّللَ الَّ ِذي تَ َساءَلُو َن بِِه َو ْاْل َْر َح َام ۚ إِ َّن‬
َّ ‫ِر َج ًاًل َكثِ ًريا َونِ َساءً ۚ َواتَّ ُقوا‬
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.”
Dalam ayat ini Allah dengan kekuasaan-Nya mengingatkan bahwa
Ia menciptakan manusia dari jiwa yang satu. Manusia berasal dari keturunan
yang satu, yakni keturunan nabi Adam dan Siti Hawa yang dari keduanya
berkembang biak umat manusia yang banyak, yakni laki-laki dan
perempuan. Dengan adanya keturunan yang terus berlanjut, maka
terbentuklah ikatan persaudaraan yang didasari rasa saling mengasihi dan
tolong menolong.14
Dalam penggalan ayat yang memiliki arti Allah
memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan
perempuan, memiliki pesan bahwa populasi manusia pada awalnya berasal
dari satu pasangan, kemudian pasangan tersebut berkembang biak, sehingga
melahirkan keturunan yang akan terus berkembang biak. Dengan demikian
populasi manusia akan bertambah jika tidak ada yang campur tangan untuk
membendung pertumbuhan tersebut.15

14
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Aqidah, Syari’ah, Manhaj). Terj. Abdul hayyie al-
Kattani, et.al (Jakarta: Gema Insani, 2016), 560.
15
Shihab, Tafsir Al-Misbah, 333.

9
2) Q.S. An-Nahl ([16]: 72

‫ني َو َح َف َد ًة َوَرَزقَ ُك ْم ِم َن‬ِ ِ ِ ِ ِ


َ ‫اجا َو َج َع َل لَ ُك ْم م ْن أ َْزَواج ُك ْم بَن‬
ً ‫اَّللُ َج َع َل لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
َّ ‫َو‬
َِّ ‫ت‬ ِ ‫اط ِل ي ْؤِمنُو َن وبِنِعم‬
ِ ِ
‫اَّلل ُه ْم يَ ْك ُف ُرو َن‬ َْ َ ُ َ‫الطَّيِبَات ۚ أَفَبِالْب‬

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?"
Allah memberi nikmat kepada makhluk-Nya berupa keberpasangan
antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan yang membawa
ketenangan. Di sisi lain, manusia mempunyai kecenderungan hidup
selamanya. Namun mereka menyadari bahwa kematian itu akan selalu
menjadi takdir setiap orang. Maka jalan satu-satunya untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya adalah melalui anak keturunan.
Seandainya terhentinya siklus keturunan manusia atau tidak ada lagi
pernikahan, maka sendi kehidupan masyarakat menjadi goyah yang
berujung pada kepunahan manusia.16
Adupun pertimbangan aspek kemaslahatan dari ayat tentang
keberpasangan diatas yakni mencakup hifz an-nasl: dengan adanya
perintah berkembang biak dalam sebuah pernikahan akan mempertahankan
kelangsungan berketurunan, sehingga populasi manusia akan terus
berkembang, dan hifz al-mal: Allah telah mengatur rezeki yang baik dari
masing-masing makhluknya, sehingga sebagai umat islam tidak perlu
adanya kekhawatiran yang berlebihan dari segi finansial dalam merawat
anak.

3. Ayat tentang Anak adalah Anugerah (Q.S. Al-Furqan[25]: 74)

‫ني إِ َم ًاما‬ ِ ِ ٍ ُ ‫ب لَنَا ِم ْن أ َْزو ِاجنَا وذُ ِرََّيتِنَا قَُّرةَ أ َْع‬ ِ َّ


َ ‫اج َع ْلنَا ل ْل ُمتَّق‬
ْ ‫ني َو‬ َ َ ْ ‫ين يَ ُقولُو َن َربَّنَا َه‬
َ ‫َوالذ‬

16
Shihab, 290.

10
Artinya: “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini menjelaskan tentang salah satu sifat terpuji bagi ‘Ibad ar-
Rahman yaitu dengan menampilkan perhatian mereka kepada keluarga dan
masyarakat, dengan harapan kiranya mereka dihiasi dengan sifat-sifat
terpuji sehingga dapat diteladani. Ayat ini juga membuktikan bahwa sifat
hamba-hamba Allah yang terpuji itu tidak hanya terbatas pada upaya
menghiasi diri dengan amal-amal terpuji, tetapi juga memberi perhatian
kepada keluarga dan anak keturunan, bahkan masyarakat umum. Doa
mereka itu, tentu saja dibarengi dengan usaha mendidik anak dan keluarga
agar menjadi manusia-manusia terhormat, karena anak dan pasangan tidak
dapat menjadi penyejuk mata tanpa keberagamaan yang baik, budi pekerti
yang luhur serta pengetahuan yang memadai.17
Adupun pertimbangan aspek kemaslahatan dari ayat diatas yakni
mencakup hifz din: dengan memiliki anak yang memiliki sifat terpuji, maka
hal itu dapat menjadi teladan bagi orang yang bertakwa sehingga
terciptanya keberlangsungan beragama sesuai syariat islam. Hifz nafs:
dengan hadirnya keturunan di tengah keluarga akan menjadikan
ketenangan dalam jiwa (sebagai peyejuk mata), sehingga menjadikan
seseorang lebih bertakwa kepada Allah. Hifz aql: seorang anak agar
menjadi salah satu penyenang hati dalam keluarga, tentu saja harus
diberikan pendidikan agama yang kuat agar memiliki pengetahuan yang
memadai.

D. Pandangan Al-Quran tentang Childfree


Dalam Q.S. An-Nisa: 1, salah satu tujuan menikah yang disyariatkan
Islam adalah guna mendapatkan keturunan. Keturunan ini dimaknai dengan
memiliki anak kandung dari hasil pernikahan yang dilangsungkan antara
laki-laki dan perempuan. Hal tersebut merupakan salah satu cara yang bisa

17
Shihab, Tafsir Al-Misbah.

11
dilakukan untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia untuk bisa terus
berjalan dan berlanjut dari generasi ke generasi seterusnya.18
Pemahaman mengenai konsepsi keturunan sebagai salah satu dari
tujuan pernikahan dapat pula dilihat dari firman Allah dalam QS. An-Naḥl:
72. Adanya kalimat tanya dalam akhir ayat 72 seperti “Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” terlihat
penegasan tentang fitrah memiliki keturunan yang mana jika manusia
mengingkarinya sama saja dengan mengingkari nikmat Allah dan
melakukan perbuatan batil.19
Berdasarkan semua firman Allah di atas, dapat dipahami bahwa
memiliki keturunan atau anak adalah fitrah yang dimiliki manusia dan harus
disyukuri bersama. Sehingga kehadiran anak dalam perjalanan rumah
tangga dan kehidupan bisa menjadi ladang ibadah dan pahala serta
membawa kebahagiaan bagi orang tua di dunia dan di akhirat. Dalam hal
kebahagiaan memiliki keturunan, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Furqan:
74, dimana memiliki keturunan adalah sebagai penyenang hati dalam
sebuah keluarga.20
Adapun trend saat ini yang mengemukan tentang pilihan untuk tidak
memiliki anak dalam pernikahan menjadi satu hal yang menarik karena
dengan alasan apapun hal itu bertentangan dengan tujuan dari pernikahan
sebagaimana dianjurkan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang telah disebutkan
diatas. Sebagai contoh, faktor ekonomi yang kerap dijadikan salah satu
alasan childfree terjawab dalam QS. An-Nahl ayat 72 yang menyebutkan
bahwa Allah akan mengatur dan memberikan rizki kepada hambanya
sehingga alasan itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Demikian juga dengan
faktor-faktor lainnya, sesungguhnya hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan
karena Allah selalu memberikan solusi dan jalan keluar.21
Islam adalah agama kasih sayang, menjadi orang tua dan memiliki
anak adalah salah satu fitrah manusia di dunia ini yang harus dilaksanakan

18
Shihab.
19
Shihab.
20
Shihab.
21
Ahmad Fauzan, “CHILDFREE PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,” As-Salam 2, no. 1 (5 Juni 2022): 10.

12
dalam rangka mewujudkan maqashid syari’ah khususnya hifdz an-nasl.
Sebagai upaya menjaga keturunan atau hifdz an-nasl, Islam menganjurkan
setiap manusia untuk memiliki keturunan dari pernikahan yang sah, namun
tidak berhenti disitu melainkan ada pula kewajiban yang melekat pada orang
tua ketika memiliki anak sehingga segalanya perlu dipersiapkan dan
diusahakan dengan baik.22
Berdasarkan kajian nash diatas, dapat dipahami bahwa secara
tekstual memang tidak ada satupun ayat yang membahas pelarangan
childfree. Namun secara subtansi Q.S. Ar-Rum: 21, QS. An-Nisā :1, QS.
QS. An-Naḥl :72, dan Q.S. Al-Furqan: 74 menganjurkan manusia untuk
memiliki keturunan yang sah dari hasil pernikahan. Hal ini dikatakan dalam
al-Qur’an untuk mencapai pernikahan yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.
4. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas terkait childfree yang direspon Alquran
melalui kajian analisis tafsir maqāṣidi memunculkan kesimpulan yaitu
konsep childfree dalam Alquran tidak ditemukan secara spesifik, maka
penulis mengambil ayat Q.S. ar-Rum: 21, Q.S. an-Nisa>: 1, Q.S. an-Nahl:
72 dan Q.S. al-Furqan>: 74. Dalam ayat-ayat tersebut menjelaskan salah satu
tujuan pernikahan adalah memiliki keturunan. Hal ini dikatakan dalam al-
Qur’an untuk mencapai pernikahan yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Allah menjadikan manusia saling mempunyai pasangan dan Allah
menganugerahkan anak bagi mereka yang Ia kehendaki.

22
Fauzan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Agrillo, Christian, dan Cristian Nelini. “Childfree by choice: a review.” Journal of


Cultural Geography 25, no. 3 (1 Oktober 2008): 347–63.
https://doi.org/10.1080/08873630802476292.

Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir (Aqidah, Syari’ah, Manhaj). Terj. Abdul


hayyie al-Kattani, et.al. Jakarta: Gema Insani, 2016.

Fauzan, Ahmad. “CHILDFREE PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.” As-Salam 2, no.


1 (5 Juni 2022): 10.

Hadi, Abdul, Husnul Khotimah, dan Sadari. “Childfree dan Childless Ditinjau dari
Ilmu Fiqih dan Perspektif Pendidikan Islam.” Journal of Educational and
Language 1, no. 6 (Januari 2022).

Hanandita, Tiara. “Konstruksi Masyarakat Tentang Hidup Tanpa Anak Setelah


Menikah.” Jurnal Analisa Sosiologi 11, no. 1 (Januari 2022): 126–36.

Republika Online. “Konsep Child Free Banyak Diikuti, Bagaimana Sikap


Muslim?” Diakses 25 Oktober 2022.
https://www.republika.co.id/berita/qyh0ru430/konsep-child-free-banyak-
diikuti-bagaimana-sikap-muslim.

Mustaqim, Abdul. “Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis


Moderasi Islam.” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2012.

Siswanto, Ajeng Wijayanti dan Neneng Nurhasanah. “Analisis Fenomena Childfree


di Indonesia.” Bandung Conference Series: Islamic Family Law 2, no. 2 (6
Agustus 2022). https://doi.org/10.29313/bcsifl.v2i2.2684.

tafsirq.com. Diakses 23 November 2022. https://tafsirq.com/.

Wijaya, Roma. “Respon Al-Qur’an atas Trend Childfree (Analisis Tafsir


Maqāṣidi).” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits 16, no.
1 (22 Juni 2022): 41–60. https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.11380.

14

Anda mungkin juga menyukai