Ushul Tafsir Semester
Ushul Tafsir Semester
Ushul Tafsir Semester
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam menjadi pedoman hidup
yang mengandung banyak sumber pengetahuan sekaligus petunjuk.
Umat islam meyakini bahwa Al-Qur’an tidak saja diperuntukan bagi
mereka, namun juga merupakan wahyu Tuhan bagi seluruh alam.
Bersifat otentik, universal, relevan, dan selalu dijaga keotentikannya
pada setiap zaman. Dalil orisinalitas Al-Qur’anini selalu dilandaskan
pada salah satu ayat dalam surat al-Hijr:
َ ُ َ َ ۡ ّ َ ۡ َّنَّ نَ ۡ ُ نَ ز
.ٱلذك َر َو ِإ نَّ� ُلۥ َل ٰـ ِفظون
ِ ِإ� �ن �لنا
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’andan Kami
pula yang akan menjaganya” (QS. Al-Hijr 9).
Menurut al-Mawardī, penafsiran para ulama terhadap ayat
ini berakhir pada tiga kesimpulan besar. Pertama, Allah menjaga
keaslian dan keberadaan Al-Qur’anhingga hari akhir.1 Kedua, Ia
menjaganya dari setan-setan yang menghendaki kebatilan. Ketiga,
Allah menjaganya di hati orang-orang yang Ia kehendaki kebaikan
bagi mereka.2
Keyakinan akan otentisitas Al-Qur’an bagi umat Islam dijaga
dengan sistem isnād3 yang dipegang secara turun-temurun. Dari
1
Abu al-Hasan al-Māwardī, Al-Nukat Wa al-‘Uyūn vol. 3 (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, n.d.), 149.
2
Māwardī, Al-Nukat Wa al-‘Uyūn, 149.
3
Isnad merupakan salah satu pondasi untuk menjaga orinisnil kajian Islam,
agar terjaga pada setiap zamannya, sebagaimana yang diriwayatkan Oleh Imam
Muslim : َ ُ َ
ُ ْ �َ َ ِس ْع ُت َع ْب َد هللاِ ْب ن: َ ِس ْع ُت َع ْب َد َان ْب نَ� ُع ثْ� َم َان َي ُق ُول: َق َال،َو َح َّدث ن� ُ َم َّم ُد ْب نُ� َع ْب ِد هللاِ ْب ن� ق ْ� َز َاذ ِم ْن أ ْهل َم ْر َو
،ال َب َار ِك ِ ِ ِي
1
segi kuantitas periwayatannya, memang seluruh bagian Al-Qur’an
ditetapkan dengan model periwayatan tawātur. Tawātur adalah
kondisi suatu informasi yang secara kuantitas, periwayatnya (râwi)
terdiri dari sejumlah orang yang tidak mungkin sepakat untuk
berbohong di setiap generasi atau tingkatannya.4
Al-Qur’anterdiri dari ayat-ayat yang qaṭ’ī dan zhannī dari sisi
dilālah-nya. Qaṭ’ī al-Dilālah adalah teks yang hanya memiliki satu
makna saja atau tidak berpotensi menunjukan makna lain sehingga
penunjukan maknanya pasti, sedangkan zhannī al-dilālah adalah yang
mungkin menunjukan lebih dari satu kemungkinan makna, sehingga
dilālah yang dipahami oleh seseorang bersifat zhanni. 5 Dalam
bahasa lainnya, Teks Al-Qur’an memang berpotensi menimbulkan
multiinterpretasi. Oleh sebab itu, lahirlah berbagai disiplin ilmu
untuk memahami isi kandungan al-Qur’an. Diantarannya adalah
Uṣūl tafsīr.
2
“pintu kelas” terlebih dahulu harus memahami hakikat kleas itu
sendiri. Berdasarkan paradigma ini, kata tafsīr harus dijelaskan dan
difahami terlebih dahulu sebagai mudlāf ilaih dari kata uṣūl.
Kata tafsīr disebutkan surat al-Furqān ayat 33:
َۡ َ ۡ َ أۡ ُ َ َ َ َّ ۡ َ ٱ
.َول َ ی�تونك ِب َ�ث ٍل ِإل ِجئ َن ٰـك ِب� َل ِّق َوأ ۡح َس َن تف ِس ی ً�ا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu
yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS. Al-Furqān 33)
Ibnu ‘Aṭiyah menyatakan bahwa maksud dari ungkapan
wa ahsana tafsīran adalah afṣahu bayānan (yang paling baik
penjelasannya).7 Demikian pula lah riwayat-riwayat yang
mengomentari ayat ini baik dari kalangan sahabat dan tabi’in juga
bermuara pada kesimpulan “penjelasan yang paling baik” (ahsanu
bayānan wa tafṣīlan).8
Secara etimologis, kata tafsīr merupakan bentuk maṣdar dari
kata fassara, yang bermakna bayān (penjelasan)9. Pendapat lain
menyatakan bahwa kata tafsīr justru berasal dari kata safara10 yang
di-taqlib mengikuti wazan taf’īl untuk tujuan taktsīr. Kata safara
sendiri juga bermakna membuka (al-kasyfu). Keduanya memiliki
makna yang berdekatan sebagaimana bentuk katanya yang juga
berdekatan.11
berpandangan bahwa mudlāf-nya tetap harus didahulukan karena bagaimanapun
juga terdapat perbedaan substantif antara mudlāf dan mudlāf ilaih-nya. al-Āmidi,
Al-Ihkām Fī Uṣūl al-Ahkām (Beirut: AlMaktabah al-Islāmi, n.d.), 5. Madqdīsī,
Raudlāt Al-Nādzhir Wa Jannah al-Munāzhir
7
Ibn ‘Aṭiyyah al-Andalusī, Al-Muharrar al-Wajīz Fī Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz
vol. 4 (Beirut: Dār al-Kutub alIlmiyyah, 2002), 210
8
Muhammad bin Jarār al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta’wīl Āy al-Qur’an vol.
19 (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2000), 267.
9
Abu Naṣr al-Farābī, Al-Ṣihāh Tāj al-Lughah Wa Ṣihāh al-‘Arabiyyah vol.2
(Beirut: Dār al-Ilm li al-Malāyīn, 1987), 781.
10
Sulaimān bin ‘Abd al-Qāwī al-Ṭūfī, Al-Iksīr Fī ‘Ilm al-Tafsīr (Beirut: Dār
al-Awzā’ī, 1989), 28.
11
Fahd al-Rūmī, Dirāsāt Fī Ulūm Al-Qur’ān al-Karīm (Riyadh: Maktabah
al-Tawbah, 2003), 149.
3
Secara istilah, Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk
menyingkap makna-makna Al-Qur’an dan menjelaskan maksud
Allah SWT sesuai dengan kemampuan manusia (al-ṭāqah al-
basyariah).12 Makna termonologis ini tentu merupakan produk
perjalanan sejarah kebudayaan Islam yang menspesialisasikan makna
bahasa tafsir menjadi sebuah disiplin ilmu yang khusus membahas
al-Qur’an. Walaupun sebenarnya menjelaskan atau menyingkap
hadits ataupun fakta dan teks lain bisa disebut tafsir, tetapi istilah ini
kemudian mengalami spesialisasi atau sekaligus ameliorasi karena
digunakan untuk penjelasan Al-Qur’ansaja. Adapun untuk teks-teks
selain al-Qur’an, lebih populer digunakan kata syarh.
Adapun kata uṣūl merupakan bentuk jamak dari kata ashl
( ) yang secara etimologis berarti asas atau dasarnya sesuatu,
seperti perkataan orang-orang Arab lā aṣla lahū yang berarti sesuatu
itu tidak memiliki landasan (tidak berdasar).13 Makna bahasa kata
aṣl yang diajukan ahli bahasa lainnya adalah sesuatu yang dibangun
di atasnya sesuatu lain yang ( ) 14 atau lebih simpelnya
adalah bagian paling bawah dari sesuatu.15 Demikian Allah SWT
menggunakan kata aṣl dalam al-Qur’an:
َ ف َ ُ َ َ َ َ ً َ ً َ َ ً َ َ ُ َّ َ َ ََ َ ۡ تَ َ َ ۡ َ ض
�ِ كة ط ِّی َبة كش َج َر ٍة ط ِّی َب ٍة أ ۡصل َها ث� ِب ٌت َوف ۡر ُ َعا
ِ أل � كیف �ب ٱلل مثل
ۤ َّ
.ٱلس َما ِء
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, aṣl-
nya (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS.
Ibrāhim 24)ِ
12
Muṣṭafā Muslim, Mabāhits Fī Al-Tafsīr al-Mawdlū’ī (Damaskus: Dār al-
Qalam, 2005), 15
13
Ibn Fāris, Maqāyis Lughah (Beirut: Dār al-Fikr, 1979), 109
14
Al-Ahmad Nakri, Jāmi’ al-Funūn Fī Iṣṭilāhāt al-Funūn (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 2000), 87.
15
Ibn Manzhūr, Lisān Al-‘Arab vol. 16 (Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 16.
4
Dari definisi diatas maka diambillah pengertian ushul tersebut
untuk berbagai disiplin ilmu, dalam artian ushul adalah berbagai
macam asas yang menjadi sandaran ilmu tertentu, tergantung ilmu
apa yang di sandarkan kepada ushul tadi, oleh karena itu muncullah
ushul fiqih, dan Uṣūl tafsīr.
Adapun penyusunan kata uṣūl dan kata tafsīr menjadi suatu
susunan kata setidaknya menimbulkan dua definisi sekaligus.16
Pertama, pemaknaan uṣūl al-tafsīr: sebagai tarkīb idlāfi yang
merupakan gabungan mudlāf dan mudlāf ilaih. Jika didefinisikan
dalam konteks tarkīb idlāfi ini, Definisi yang dibangun meniscayakan
gabungan makna-makna dari kedua kata tersebut, diantaranya:
a) Uṣūl tafsīr dimaknai sebagai dalil-dalil yang digunakan seseorang
dalam mengungkap makna-makna al-Qur’an17
b) Kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam ilmu tafsir.
c) Metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dalam menjelaskan
kandungan alQur’an.18
Kedua, Pemaknaan uṣūl al-tafsīr sebagai satu kesatuan nama.
Berbeda dengan pemaknaan uṣūl al-tafsīr sebagai tarkīb idlāfī,
pemaknaan uṣūl al-tafsīr sebagai sebuah satu kesatuan nama
(bi’tibāri annahu laqab atau bi’tibārihī ‘ilman) memiliki makna
tersendiri.19 Uṣūl al-tafsīr dalam makna kedua ini dimaknai sebagai
suatu disiplin ilmu tertentu.
16
Mas’ūd bin Umar al-Taftāzānī, Syarh Al-Talwīh ‘ala al-Tawdlīh (Mesir:
Maktabah Ṣabīh, n.d.), 32.
17
al-Khaṭīb al-Baghdādī, Al-Faqīh Wa al-Mutafaqqih (Saudi Arabia: Dār Ibn
al-Jawzī, 2001), 192.
18
Khālid Abd al-Rahmān al-‘Akk, Uṣūl Al-Tafsīr Wa Qawā’iduhū (Beirut:
Dār al-Nafā’is, 1986), 30
19
Taftāzānī, Syarh Al-Talwīh ‘ala al-Tawdlīh, 32. Lihat juga dalam Syarh
al-Waraqāt, al-Mahallī juga mendefinisikan uṣūl fiqh selain berdasarkan susunan
idlāfah-nya juga mendefinisikannya sabagai sebuah satu kesatuan yang telah
berevolusi menjadi disiplin ilmu tersendiri. Jalāl al-Dīn al-Mahallī, Syarh Al-
Waraqāt Fī Uṣūl al-Fiqh (Riyadh: Maktabah al-‘Abīkan, 2001), 107
5
Beberapa definisi uṣūl al-tafsīr yang diajukan oleh para sarjana
antara lain:
a) Khālid Abd al-Rahmān al-‘Akk mendefinisikan bahwa uṣūl al-
tafsīr adalah Ilmu yang membahas metodologi yang seharusnya
ditempuh seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an.20
b) Fahd al-Rūmī menyatakan bahwa uṣūl al-tafsīr adalah ilmu yang
mengantarkan seseorang kepada kebenaran dan ketepatan dalam
memahami Al-Qur’anserta mengetahui kesalahan-kesalahan dan
penyelewangan-penyelewengan dalam menafsirkan al-Qur’an.21
c) Adapun Luṭfī al-Sabāgh berpendapat bahwa uṣūl al-tafsīr adalah
ilmu yang digunakan sebagai standard tafsir, menentukan kaidah-
kaidah yang penting dalam penetapan metodologi tafsir serta
penentuan kualifikasi subjek pelaku tafsir (mufassir).22
6
pertama tampaknya lebih kuat karena memang tidak semua objek
kajian yang ada dalam ilmu Al-Qur’an menjadi objek yang perlu
dikaji dalam cakupan ilmu uṣūl al-tafsīr.
Terlepas dari perbedaan sinonimitas uṣūl al-tafsīr dengan ilmu
al-Qur’an, setiap disiplin ilmu dalam rumpun ilmu keislaman tentu
tidak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu uṣūl al-tafsīr
sebagai sebuah disiplin ilmu sangat berkaitan dengan ilmu-ilmu lain.
Pada taraf fungsinya, ilmu uṣūl al-tafsīr berfungsi sebagai
penjaga untuk ilmu tafsir seperti ilmu uṣūl al-fiqh bagi fiqh serta
ilmu nahwu dalam bahasa Arab. Uṣūl al-tafsīr berfungsi untuk
menjaga seorang mufassir dari kekelirua dalam menafsirkan al-
Qur’an sebagaimana uṣūl al-fiqh yang berfungsi untuk menjaga
seorang fāqih dari kesalahan-kesalahan saat melakukan istinbāṭ
hukum. demikian dengan ilmu nahwu yang berfungsi untuk menjaga
seseorang dari kesalahan-kesalahan saat berinteraksi dengan bahasa
Arab.26 Tanpa uṣūl al-tafsīr, tidak ada petunjuk bagi para penafsir
dalam menafsirkan al-Qur’an. demikian pembaca tafsir juga tidak
memiliki standard pegangan untuk mengambil sikap terhadap
produk tafsir yang ia baca. Oleh karena berfungsi sebagai penjaga
untuk ilmu tafsir yang posisi fundamental dalam Islam27, maka uṣūl
al-tafsīr memiliki posisi sentral dalam keilmuan Islam.
Adapun pada taraf objek kajiannya, ilmu uṣūl al-tafsīr beririsan
dengan uṣūl al-fiqh. Objek kajian uṣūl al-fiqh adalah dalil-dalil
sam’iyyah. Adapun objek kajian dalam uṣūl al-tafsīr adalah al-
Qur’an yang merupakan bagian dari al-adillah al-sam’iyyah 76.
Selain memiliki kesamaan objek, kedekatan antara kedua ilmu ini ada
pada sejarah dan literaturnya. Ilmu uṣūl al-tafsīr yang berkembang
jauh lebih belakangan daripada uṣūl al-fiqh, sangat terbantu dengan
kaidah-kaidah uṣūliyyah dan lughawiyah yang lebih dulu populer
dibahas di uṣūl al-fiqh. Bahkan jika harus disebutkan peletak dasar
26
Sabāgh, Buhūts Fī Uṣūl Al-Tafsīr, 13
27
Hikmat bin Basyīr Yāsīn, Mawsū’ah al-Ṣahīh al-Masbūr Min Tafsīr Bi al-
Ma’tsūr (Madinah: Dār al-Ma’tsūr, 1999), 5.
7
uṣūl al-tafsīr, maka sosok al-Syāfi’ī adalah orang yang dinilai paling
cocok sebagai peletak dasar ilmu uṣūl al-tafsīr ini menurut Dr. Imād
‘Alī Abd al-Samī’, salah satu guru besar ushuluddin di Al-Azhar. Ia
berargumen bahwa dalam al-Risālah, al-Syāfī’i telah mengelaborasi
banyak poin yang berkaitan dan tetap dipakai hingga sekarang
dalam uṣūl al-tafsīr seperti pembahasan tentang muṭlaq-muqayyad,
nāsikh-mansūkh dan pembahasan-pembahasan lainnya.28
Tidak hanya pada taraf fungsi, objek kajian dan sejarahnya,
hubungan erat antara uṣūl al-tafsīr dengan disiplin ilmu lainnya
terletak pada sumber kajiannya. Sumber dari dasar-dasar uṣūl al-
tafsīr adalah diambil dari ilmu-ilmu fundamental lainnya seperti
ilmu gramatika Arab (nahwu), ṣarf, isytiqāq, balāghah, ilm al-
qirā’āt, uṣūl al-fiqh, akidah, sejarah bahkan ilmu-ilmu sains seperti
kedokteran dan fisika. Ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan untuk
membangun sejumlah kaidah-kaidah penafsiran serta dibutuhkan
mufassir untuk menjelaskan makna-makna ayat al-Qur’an.
8
Bahwa al-Qur’an dapat dipetakan menjadi empat bagian
berdasarkan makna yang dikandungnya. Pertama, Bagian yang
diketahui oleh orang-orang arab dari bahasa mereka. Kedua, Tafsir
yang mestinya diketahui oleh setiap orang (karena gamblangnya
makna yang ditunjukan), Ketiga, Tafsir yang hanya diketahui oleh
para ulama saja dan Keempat, Tafsir yang tidak diketahui oleh
siapapun kecuali Allah SWT.31
Uṣūl al-Tafsīr memiliki peran yang penting dalam diskursus
tafsir al-Qur’an baik untuk kategori pertama, kedua, ketiga maupun
keempat yang tekah dipetakan Ibnu Abbas diatas. Diantara urgensi
dan tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran dan pengembangan
ilmu uṣūl al-tafsīr adalah:
1) Mengetahui dan dapat menerapkan kaidah-kaidah yang
memudahkan untuk memahami al-Qur’an dengan tepat.32
2) Mengetahui jalan dan metode yang benar dalam menafsirkan al-
Qur’an.33
3) Memahami dan menghargai kesunggungan para ulama dalam
mengkonstruk sejarah tafsir al-Quran serta warisan akademis
berupa literatur-literatur tafsir.34
4) Sebagai filter atau counter metodologi ataupun produk penafsiran
yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip fundamental Islam
5) Sebagai standard kebenaran dan ketepatan pemahaman atau
penafsiran seseorang terhadap al-Qur’an.
6) Sebagai landasan konseptual dalam menerapkan sikap kritis saat
melakukan pembacaan terhadap karya tafsir.
31
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Mu’tarik al-Aqrān Fī I’jāz al-Qur’ān (Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 100.
32
Rūmī, Buhūts Fī Uṣūl Al-Tafsīr Wa Manāhijuhū, 12.
33
Rūmī, Buhūts Fī Uṣūl Al-Tafsīr Wa Manāhijuhū, 12.
34
Dimyathi, Ilm Al-Tafsīr; Uṣūluhū Wa Manāhijuhū, 7.
9
D. Tema Kajian Uṣūl tafsīr
Untuk melihat tema kajian Uṣūl tafsīr sebagai sebuah disiplin
ilmu, Musaid Ath-Thayyar menyebutkan tema-tema Uṣūl tafsīr
yang menurutnya paling penting dalam bidang ini, yaitu:35
No Judul Pembahasan
Hukum dalam pembelajar Tafsir Wajib untuk
setiap Ummat secara umum, karena hal tersebut
memberikan makna dari perkataan Allah SWT
Hukum dan Pembagian Tafsir dapat ditinjau dari beberapa
1 Pembagian pertimbangan :
Tafsir1 1.ditinjau dari pengetahuan manusianya
2.ditinjau dari cara pengampainnya
3.ditinjau dari metodenya
4.ditinjau dari ittijah para mufaassir
1.Tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an
2.Tafsir Al’qur’an dengan Sunnah
3.Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan Sahabat
2 Thuruq Tafsir2
4.Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan tabi’in
5.Tafsir Al-qu’ran dengan segi Bahasa
6.Tafsir Al-qur’an dengan Akal atau Ijtihad
tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan
dengan metode ijtihat dan menggunakan akal
penafsiran secara benar mengikutiaturan yang
Tafsir bir Ra’yi
berlaku. 3
3 dan Tafsir bil
Tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran ayat alquran
Ma’tsur
dilakukan penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan
hadis, ayat dengan riwayat sahabat dan ayat dengan
riwayat tabiin4
35
Ṭayyār, Fuṣūl Fī Uṣūl Al-Tafsīr, 26.
10
Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan, maka akan
ditemukan 47 pokok bahasan, dengan 4 tema
besarnya :5
Pokok-pokok
4 1.pengenalan terhadap Al-Quran;
tentang Tafsir
2.kaidah-kaidah tafsir;
3.metode-metode tafsir;
4.kitab-kitab tafsir dan para mufasir.
1.Tafsir bil Ladzim
2.Tafsir bil Mudthobiq
Thariqah atau
3.Tafsir menaruh sebagian dari makna
5 cara salaf dalam
4.Tafsir bil Misal
tafsir6
5.Tafsir bil Qiyas
6.Tafsir bil Isyaroh
11
1. isytirok yakni lafadz dalam bahasa arab memiliki
makna yang banyak tidak hanya satu
2.perselisihan mengenai dhomir atau pelaku dalam
sebuat penafsiran
3. mendapati suatu yang kalimat yang terhapus atau
mahdzuf, dikarena memiliki maksud tersembunyi
atau muqoddar
4.lafadz yang mimiliki banyak perubahan dalam
tata bahasa,
Sebab-sebab
5.pembagian dalam pengunnaan makna lafadz, ada
6 perselisihan
yang menginginkan makan yang mendekati, dan
dalam tafsir7
maknya yang menjauhi,
6.dalam seputar hukum ayat terjadi diantara yang
ihkam dan naskhu,
7.dan perihak hukum juga ada yang terkait umum
dan khusus,
8.menyebutkan penjelasan yang kemungkinan
memiliki dari satu penjelasan,
9.dalam membaca suatu ayat memiliki dua metode
cara membacanya.
1.Ikhtilaf Tanawwu’ ( Perbedaan yang bersifat
Macam-macam
variatif )
7 perselisihan
2.dan Ikhtilaf Tadhadh ( Perbedaan yang bersifat
dalam tafsir8
kontradiktif )
Ijma’ dalam salah satu cara agar tidak terjerumus ke dalam
8
tafsir
9
kesalahan fatal dalalm penafsiran al-Qur’an
Taujih perkataan- perkatan para ulama periode salam yakni sahabat
9
perkataan salaf dan tabi’in
12
1.Metode Tahlili
Uslub-uslub 2.Metode Ijmali
10
dalam tafsir 10
3.Metode Komparatif
4.Metode Tematik
1.terhapusnya sesuatu yang membuatnya menjadi
hal yang umum dalam makna
2. jika alif dan lam memasuki suatu sifat, nama,
atau jenis, maka terdapat pendalaman dalam hal
Kaidah-kaidah tersebut
11 umum dalam 3.bentuk nakiroh dalam suatu penyangkalan
tafsir
11
(nafyu), larangan, sebab, dan pertanyaan maka
termasuk Umum
4.mufrodat yang sama menjuruh ke yang umum
5.bentuk-bentu umum yang lafzadznya banyak
dalam Al-qur’an yakni (لك-عيمجو-نوعمجأو-)ةفاك
13
1.sesuatu yang berkaitan dengan Umum dalam
Al-qur’an
2.sesuatu yang berkaitan dengan kontaks Al-qur’an
3.sesuatu yang berkaitan dengan penulisan Mushaf
4.yang berkaitan dengan paling banyak penggunaan
dalam bahasa Arab
5.sesuatu yang berkaitan dengan makna Syar’I
dalam Al-qur’an
6.sesuatu yang berkaitan dengan perubahan dalam
suatu lafadz
7.sesuatu yang berkaitan dengan taqdim dan ta’hir
8.sesuatu yang berkaitan hal jelas dalam al-Qur’an
9.sesuatu yang berkaitan dengan Thoriqoh dan
kebiasaan dalam Al-Qur’an
kaidah-kaidah 10. sesuatu yang berkaitan dengan ijm’a sebagai
12 tarjih dalam hujjah, atau pendapat paling banyak diantara para
tafsir12 sahabat dan tabi’in
11.sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan
bahasa arab
12.sesuatua yang berkaitan dengan Sunnah
Nabawiyah
13.sesuatu yang berkaitan dengan pondasi dan
penekanan
14.sesuatu yang berhubungan dengan kembali
si pelaku kepada suatu hal yang paling
mendekat
15.sesuatu yang berkaitan kepada kesepakatan
pada seluruh pelaku
16.sesuatu yang berkaitan kepada suatu yang
taqdir dan peniadaanya
14
SEJARAH KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN USŪL
TAFSĪR
Ditinjau dari perkembangannya, Uṣūl tafsīr telah melalui tiga
fase hingga dikatakan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
36
15
ijtihad atas permasalahan yang tidak ditemukan penjelasannya
dalam Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana dalam hadis melalui
riwayat Muadz bin Jabal :
َ ً َ َْ َ َ َّ َ ُ َ َّ َ َ َ ُ َ ْ ن
الل صىل هللا عليه وسمل َّلا أ َر َاد َأن َي ْب َعث ُم َعاذا ِإل ِ مع ِاذ ب ِ� جب ٍل أن رسول
َّ َ َْ َ ض ٌ َ َ َ َ َ َ َ ْال َي َمن َق َال » َك ْي َف َت ْق ِ ض
.الل
ِ اب ِ � ِب ِكت ق َّال أق ِ ي.ك ق َّضاء » � ِإذا ع َرض ل
ُ َ ُ َ َ َ َّ ي َ َ َ ِ َ ْ َ ْ تَ ْ ف
الل صىل هللا عليه وسمل ول
ِ ِ ِ ِ س ر ة ن س ب ف ال ق .
» ِ ِ ِ قال » ف ِإن ل ِج َ�د ِ ي
الل اب ت ك �
َّ َ َ ف َّ َ َ َ ْ َ ت ْ ف
الل» ِ اب ِ
َ
الل صىل هللا عليه وسمل وال ِ ي� ِكت ِ قال َ » ف ِإن ْ ْل ِج�د ِ ي� ُس َّن ِة َر ُس ِول.
َ َ
الل صىل هللا عليه وسمل َص ْد َر ُه َوقال
َّ ُ
ِ � َب َر ُسول َ َ َف ض. َق َال أ ْج َت ِ� ُد َرأ ي� َو َال ُآلو.
ْ ُ َّ ي
.الل »
َّ َ
ِ � َر ُسول الل ِ َلا ُ ي ْ� ِ ض ِ
َّ
ول سُ ل َّال ِ ِذي َو َّف َق َر ُس َول َر ِ ِ ال ْمد َ »
ي ِ
“Diriwayatkan dari Mu’adz bahwa Rasulullah saw. mengutusnya
ke Yaman. Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana caramu
memberi keputusan, ketika ada permasalahan hukum?” Mu’adz
menjawab, “Aku akan mengambil keputusan berdasarkan
kitabullah.” Rasulullah bertanya, “Jika engkau tak menemukan
dasar dalam kitabullah?” Mu’adz berkata, “Aku akan menghukumi
berdasarkan sunnah Rasulullah saw.” Rasul berkata, “Jika kau
tidak menemukan dalam sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab,
“Aku akan memutuskan berdasarkan pendapatku dan aku tidak
akan mengurangi” Rasulullah saw. menepuk-nepuk dada Mu’adz
sambil berkata, “Segala puji bagi Allah yang menuntun utusan
Rasulullah kepada apa yang diridai Rasulullah” (HR. Abū
Dāwud)39
Tidak hanya berhenti di situ, bahkan Rasulullah menetapkan
kaidah-kaidah dasar dalam penafsiran Al-Qur’an guna memudahkan
bagi siapa yang ingin berijtihad. Tetapi ada beberapa kaidah-kaidah
tersebut disampaikan secara jelas seperti dalam hadits tentang
larangan menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat dalam dorongan
hawa nafsu, serta hadits tentang kebolehan mengambil cerita dari
ahli kitab. Nabi juga mencontohkan prinsip-prinsip penafsiran
secara praktis seperti taqyid al-mutlaq, takhsis al-am, dan bentuk-
39
Abū Dāwud al-Sijistāni, Sunan Abī Dāwud vol. 3 (Beirut: al-Maktabah al-
’Ashriyyah, n.d.), 303
16
bentuk penafsiran lainnya.40
Meski demikian, para sahabat pun memahami bahwa dalam
berijtihad harus disertai dengan syarat dan ketentuan yang ketat
sehingga mereka tidak berani sembarangan dalam menafsirkan Al-
Qur’an.
Sepeninggalnya Rasulullah, para sahabat dituntut untuk
menjawab permasalahan-permasalahan umat yang ada. Namun
penafsiran-penafsiran pada masa ini masih bersifat umum, ditambah
pada saat itu belum begitu banyak permasalahan yang muncul.
Kemudian pada masa tabi’in, belum nampak perkembangan
Uṣūl tafsīr secara signifikan. Namun salah satu kemajuan pada
periode ini adalah penerapan Uṣūl tafsīr berupa pengambilan
sumber-sumber penafsiran dari ahli kitab, sebagaimana telah
dikonfirmasi kebolehannya oleh Rasulullah SAW.41
17
karya-karya tafsir yang berdiri sendiri secara keilmuan. Jika pada
awal masa pembentukannya, tafsir masih berserakan di kitab-kitab
hadits, pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat, penulisan
tafsir sebagai karya-karya mandiri mulai bermunculan.43
Dalam beberapa kitab tafsir itulah metodologi dan kaidah-
kaidah penafsiran banyak digarap secara tekun oleh para mufassir.
Diantara kitab-kitab tafsir yang banyak membahas metodologi dan
kaidah-kaidah penafsiran di dalam pendahuluannya antara lain
Jami’ al-Bayan karya al-Ṭabari (w.310 H) dan al-Jami’ li Ahkam Al-
Qur’an karya al-Qurṭubi(w.610 H).
Dalam perkembangannya, literatur Uṣūl tafsīr sejalan dengan
perkembangan ulumul qur’an sebagai induknya. Ini dilihat dari
besarnya kontribusi karya-karya ulumul qur’an dalam perkembangan
Uṣūl tafsīr karena banyaknya objek pembahasan mengenai usul
tafsir. Hal ini diungkapkan oleh al-Zarqani, salah satu ulama yang
menulis perkembangan ulumul qur’an. Diantara karya-karya ulumul
qur’an yang disebutkan al-Zarqani dalam historisasi disiplin ulumul
qur’an adalah Funūn al-Afnān fī ˋUlūm al-Qur’ān karya Ibn al-
Jawzī (w. 597 H), Jamāl al-Qurrā’ karya al-Sakhāwi (w. 641 H),
al-Mursyid al-Wajīz ilā ˋUlūm Tata’allaq bi al-Kitāb al-ˋAzīz karya
Abū Syāmah (w. 665), al-Burhān fī ˋUlūm al-Qur’ān karya al-
Zarkasyi (w. 794 H), Mawāqi’ al-ˋUlūm fi Mawāqi’ al-Nujūm karya
al-Bulqīni (w. 824 H) dan al-Itqān fī ˋUlūm al-Qur’ān karya al-
Suyūṭī (w.911 H) .44
C. Fase Pembukuan Uṣūl tafsīr Secara Khusus
Pada akhir abad ketujuh, Ibnu Taimiyyah menulis karya yang
secara eksplisit dalam judulnya disebutkan kata uṣhul tafsir. Karya
tersebut adalah Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr. Karya ini disusun
oleh Ibnu Taimiyyah (w.728 H) sebagai respon atas permintaan
43
Ṣubhi Ṣālih, Mabāhits Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān (Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn:
2000, n.d.), 12. Qaṭṭān, Mabāhits Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān, 344.
44
ad Abd al-Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil Al-‘Irfān Fī ˋUlūm al-Qur’ān (Beirut:
Maṭba’ah Isa al-Babi alHalabi, 2000), 37
18
murid-muridnya yang ingin mengetahui metode tafsir al-Qur’an.45
Sejatinya Ibnu Taimiyah tidak menaimnya dengan nama tersebut
hanya saja saat dicetak oleh Syaikh Jamil Asy Syathi (mufti
Hanabilah) diberikan nama tersebut, akhirnya sampai saat ini pun
terkenal dengan nama tersebut (Muqoddimah fi Ushul At Tafsir).
Dari pemetaan di atas, dapat disimpulkan bahwa literasi usul
tafsir dibagi menjadi tiga kelompok besar sebagai berikut.46
1. Muqaddimah Kitab-kitab Tafsir
• Muqaddimah Tafsir al-Ṭabari
• Muqaddimah Tafsir Ibn Katsīr
• Muqaddimah al-Nukat wa al-Uyūn
• Muqaddimah Jāmi’ al-Tafāsir
• Muqaddimah al-Tahrīr wa Tanwīr
2. Kitab-kitab Ulūm al-Qur’ān
• Al-Burhān karya al-Zarkasyī
• Al-Itqān Manāhil al-Irfān karya al-Zarkasyi
• Funūn al-Afnān karya Ibn al-Jawzī
• al-Mursyid al-Wajīz karya Abū Syāmah
3. Kitab-kitab uṣūl al-tafsīr
• Muqaddimah fī Uṣūl al-tafsīr
• Al-Fawz al-Kabīr karya al-Dahlawi
• Uṣūl al-Tafsīr dan syarhnya karya Utsaimin
• Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhu – Khalid al-‘Akk
• Usūl al-Tafsīr wa Manāhijuh – fahd alRīmi
• Buhūts fī Uṣūl al-Tafsīr- Luṭfī alṢabbāgh
• Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn karya Husain al-Dzahabi
KESIMPULAN
45
Harrāni, Muqaddimah Fī Uṣūl Al-Tafsīr, 16.
46
Ṭayyār, Fuṣūl Fī Uṣūl Al-Tafsīr, 12.
19
Dalam memahami Al-Qur’andibutuhkan penafsiran yang benar
dan tepat. Oleh karenanya, Uṣūl tafsīr hadir sebagai cabang ilmu
Al-Qur’an yang berfokus pada pembahasan metodologi, kaidah-
kaidah, dan prosedur penafsiran sehingga seorang mufassir dapat
terhindar dari kesalahan dalam menafsirkannya.
Awal kemunculan Uṣūl tafsīr adalah pada masa Rasulullah
dalam bentuk lisan yang disampaikan secara langsung oleh beliau.
Kemudian juga diperkenankannya para sahabat untuk berijtihad
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hingga sampai akhir abad ketujuh,
Ibnu Taimiyyah menulis karya yang secara eksplisit dalam judulnya
disebutkan kata uṣhul tafsir.
DAFTAR PUSTAKA
‘Anazī, Abdullah bin Yūsuf al-. Taysīr ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh. Beirut:
20
Muassasah al-Rayyān, 1997.
Akk, Khālid Abd al-Rahmān al-. Uṣūl Al-Tafsīr Wa Qawā’iduhū.
Beirut: Dār al-Nafā’is, 1986.
Al-Ahmad Nakri, Jāmi’ al-Funūn Fī Iṣṭilāhāt al-Funūn (Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000)
al-Āmidi, Al-Ihkām Fī Uṣūl al-Ahkām (Beirut: AlMaktabah al-
Islāmi, n.d.)
al-Karīm (Riyadh: Maktabah al-Tawbah, 2003)
Amroeini Drazat, Ulumul Quran, (Jakarta: Kencara, 2017)
Āsyūr, Al- Ṭāhir bin ‘. Tahrīr Wa Al-Tanwīr. Vol. 14. Tunis: al-Dār
al-Tūnisiyyah di al-Nasy, 1984.
Atsqalani, Ibn Hajar al-. Nuzhah Al-Nazhr Fi Tawdlîh Nukhbah al-
Fikr. Damaskus: Dār al-Sabāgh, 2000.
Badruddin Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Al-Halabi,
Mesir, 1957, Jilid 1
Baghdādī, al-Khaṭīb al-. Al-Faqīh Wa al-Mutafaqqih. Saudi Arabia:
Dār Ibn al-Jawzī, 2001.
Farābī, Abu Naṣr al-. Al-Ṣihāh Tāj al-Lughah Wa Ṣihāh al-
‘Arabiyyah. Beirut: Dār al-Ilm li al-Malāyīn, 1987
Hikmat bin Basyīr Yāsīn, Mawsū’ah al-Ṣahīh al-Masbūr Min Tafsīr
Bi al-Ma’tsūr (Madinah: Dār al-Ma’tsūr, 1999).
https://hamalatulquran.com/sejarah-perkembangan-ilmu-ushul-
tafsir/
Husain, ‘Imād ‘Alī Abd al-Samī’. Al-Taysīr Fī Uṣūl Wa Ittijāhāt al-
Tafsīr. Alexandria: Dār al-Imān, 2006.
Ibn ‘Aṭiyyah al-Andalusī, Al-Muharrar al-Wajīz Fī Tafsīr al-Kitāb
al-‘Azīz vol. 4 (Beirut: Dār al-Kutub alIlmiyyah, 2002).
21
Ibn al-Muwaqqat al-Hanafi, Al-Taqrīr Wa al-Tahbīr (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1983).
Ibn Fāris, Maqāyis Lughah (Beirut: Dār al-Fikr, 1979).
Ibn Manzhūr, Lisān Al-‘Arab vol. 16 (Beirut: Dār Ṣādir, 1994)
Imād ‘Alī Abd al-Samī’Husain, Al-Taysīr Fī Uṣūl Wa Ittijāhāt al-
Tafsīr (Alexandria: Dār al-Imān, 2006).
Mahallī, Jalāl al-Dīn al-. Syarh Al-Waraqāt Fī Uṣūl al-Fiqh. Riyadh:
Maktabah al-‘Abīkan, 2001. Ṭayyār, Fuṣūl Fī Uṣūl Al-Tafsīr,
26.
Mas’ūd bin Umar al-Taftāzānī, Syarh Al-Talwīh ‘ala al-Tawdlīh
(Mesir: Maktabah Ṣabīh, n.d.)
Māwardī, Abu al-Hasan al-. Al-Nukat Wa al-‘Uyūn. Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, n.d
Muhammad Hamdi Jaglul, Al Tafsir bi Al Ra`yi, cet ke-1, (Damaskus:
Maktabah al Fazabi, 1999)
Muhammad Husain al-Dzahabī, Al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn (Kairo:
Maktabah al-Wahbah, 2000), 45.
Musā’id Sulaymān al-Ṭayyār, Fuṣūl Fī Uṣūl Al-Tafsīr (Dammām:
Dār Ibn al-Jawzi, 1999)
Muṣṭafā Muslim, Mabāhits Fī Al-Tafsīr al-Mawdlū’ī (Damaskus:
Dār al-Qalam, 2005)
Qaṭṭān, Mannā’ al-. Mabāhits Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān. Beirut: Maktabah
al-Ma’ārif, 2000.
Rūmī, Fahd al-. Buhūts Fī Uṣūl Al-Tafsīr Wa Manāhijuhū. Riyadh:
Maktabah al-Tawbah, 1996. Fahd al-Rūmī, Dirāsāt Fī Ulūm Al-
Qur’ān
Sabāgh, Muhammad Luṭfī al-. Buhūts Fī Uṣūl Al-Tafsīr. Beirut:
Muassasah al-Islāmi, 1988.
22
Ṣālih, Ṣubhi. Mabāhits Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān. Dār al-‘Ilm li al-
Malāyīn: 2000, n.d.
Shahih Muslim bab Isnad bagian dari agama, daarul ihya kutub
arabiah al-Qohiro, jilid 1.
Sulaimān bin ‘Abd al-Qāwī al-Ṭūfī, Al-Iksīr Fī ‘Ilm al-Tafsīr (Beirut:
Dār al-Awzā’ī, 1989)
Suyūṭī, Jalāl al-Dīn al-. Al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān. Vol. 4. Mesir:
al-Hai’ah al-Mishriyyah al-’Ammah li al-Kitāb, 1974.
Ṭabarī, Muhammad bin Jarār al-. Jāmi’ al-Bayān Fī Ta’wīl Āy al-
Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risālah, 2000.
Taftāzānī, Mas’ūd bin Umar al-. Syarh Al-Talwīh ‘ala al-Tawdlīh.
Mesir: Maktabah Ṣabīh, n.d.
Ṭayyār, Musā’id Sulaymān al-. Fuṣūl Fī Uṣūl Al-Tafsīr. Dammām:
Dār Ibn al-Jawzi, 1999
Zarqānī, Muhammad Abd al-Aẓīm al-. Manāhil Al-‘Irfān Fī ˋUlūm
al-Qur’Ān. Beirut: Maṭba’ah Isa al-Babi al-Halabi,
23
24
ANALISIS (MAN0 HAWLA AL-QUR'AN WA MA
(MAN) BA'DA AL-QUR'AN
~Nia Ariyani~
1
Muhammad ‘Abd Al- ‘Azim al-Zarqanī, Manāhil fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: Dār al-Fikr, 1988), h. 43-47.
25
Pertama: Manna al-Qaţhţhan dalam Mabāhīţs fī ‘Ulūm al-
Qur’ān. Ia menuliskan al-Qur’an adalah mu’jizat dan hidayah
Islam. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk
manusia masuk atau menapaki dari kegelapan menuju cahaya terang
benderang.2 Maksudnya, ketika manusia ingin mendapatkan jalan
yang lurus atau jalan yang jalan yang diridhai Allah. Hendaknya
manusia membaca al-Qur’an dan mengamalkan apa isi yang ada di
dalam al-Qur’an.
Kedua: Imam Qadhī Abi Bakr Muhammad bin Thayyīb al-
Baqilanī dalam kitab I’jāz al-Qur’ān. Ia menuliskan al-Qur’an
merupakan mu’jizat Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihī wa sallām.
Di dalamnya menggunakan dialektika bahasa Arab, susunan lafaz
yang jelas, dan seruan untuk beriman kepada Allah.3 Maksudnya,
al-Qur’an mempunyai keistimewaan dan keagungan berupa lafaz
yang indah dan menggunakan gramatika yang tidak tertandingi
oleh gramatika mana pun. Hal ini banyak diungkap pada penjelasan
ilmu al-Qur’an yang fokus pada I’jāz al-Qur’ān (kemukjizatan Al-
Qur’an).
Ketiga: Imaduddin Abu Al-Fida’ menjelaskan dalam Qassās al-
Qur’ān bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya kalam yang memiliki
konstitusi yang paling sempurna. Konstitusi kehidupan amaliah,
konstitusi pendidikan. Menyajikan pengalaman atau kisah secara
sugesti untuk membangun dan mendidikan manusia melalui dakwah.
Kemudian, secara khusus memasukkan pengalaman dakwah Nabi
Adam dan yang lainnya.4
Keempat: Muhammad Usman Najati dalam kitab al-Qur’ān wa
‘Ilm al-Nāfs, menuliskan bahwa al-Qur’an adalah kitab hidayah dari
2
Manna al-Qaţhthān, Mabāhīţs fī ‘Ulūm al-Qur’ān ((Mansurat al’Asr al-
Hadīs, 1990), h. 5.
3
Imam Qadhī Abi Bakr Muhammad bin Thayyīb al-Baqīlanī, I’jāz al-Qur’ān
(Dār Ihya al-‘Ulūm, 1988), h. 5.
4
Abu Al-Fida’ Ismail Ibn Imar Ibn Katsir Al-Dimasqy, Qassās Al-Qur’ān
(Lebanon: Dār Al-Kuţhūb Al-Ilmiyah, 2007), h. 3.
26
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallāhū ‘alaihī
wa sallām untuk segenap manusia. Di dalamnya terdapat akidah,
muamalah, jalan mencari yang hakikat, dan lainnya. Hal tersebut
dimaksudkan untuk kebaikan manusia dunia dan di akhirat.5 Allah
berfirman dalam surah Yunus ayat 57:
ٞ َ ۡ َ َ ٗ ُ َ ُ ُّ ّ َ فٞ ٓ َ َ ۡ ُ ّ َّ ّ ٞ َ ۡ َّ ُ ۡ َ ٓ َ ۡ َ ُ َّ َ ُّ ََٰٓ أ
حة ي� ي�ا ٱلناس قد جاءتك مو ِعظة ِمن ر ِبك و ِشفاء ِلا ِ ي� ٱلصد ِور وهدى ور
ّۡ
.�َِل ُل ۡؤ ِم ِن ي ن
“Wahai manusia! sungguh telah datang kepadamu pelajaran al-
Qur’an dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam
dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”6
al-Qur’an adalah nama dari kitab Allah. Betapa pun manusia
awam terhadap al-Qur’an, tetap saja hendaknya al-Qur’an
dijadikan pedoman. Sebagaimana ketika menjelang wafatnya Nabi
Muhammad, wasiatnya adalah berpegang teguhlah kepada kedua
sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal tersebut
terungkap dalam hadis riwayat Imam Malik: “Aku tinggalkan di
tengah-tengah umat Islam dua perkara. Kalian tidak akan sesat
selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan
Sunnah Rasulullah.”
Setiap masa mempunyai perbedaan dalam menyikapi turunnya
al-Qur’an. Generasi awal pada masa Nabi Muhammad berada
disebuah kota suci Mekkah. Mendapat penolakan dan pertentangan.
Kebiasaan masyarakat Arab pada saat itu dikatakan sebagai masa
jahiliyah. Masa jahiliyah ini ditandai dan disebabkan karena
berbagai macam faktor. Seperti faktor kepercayaan dan keyakinan
5
Muhammad ‘Usman Najati, Al-Qur’ān wa ‘ilm al-Nāfs (Dār al-Surūq,
1982), h. 15.
6
Al-Qur’ān al-Karīm, surah Yunus (10) ayat 57. Ibn Katsir menuliskan
maksud dari ayat ini adalah Allah memberikan karunia kepada makhluknya berupa
al-Qur’an. Sehingga al-Qur’an tersebut menjadi obat dari kesamaran-kesamaran
dan keraguan yaitu menghilangkan kekejiandan kotoran di dalamnya. Menurut
penulis, ini dimaksudkan untuk mengobati penyakit hati, seperti: dengki, hasud,
dan dendam. Kemudian, Ibn Katsir menyempurnakan bahwa maksud dari hudā
wa rahmah adalah hidayah dan rahmat Allah dapat dihasilkan dengan dirunkannya
al-Qur’an kepada manusia.
27
terhadap dewa dan berhala menjadi simbol keyakinan. Jadi, apabila
ada yang mengatakan bahwa nabi sebagai orang yang mengarang
cerita, pendusta, bahkan dituduh gila. Sebagaimana dalam surah al-
Hijr ayat 6:
ٞ َ َ َّ ۡ ّ َ َ َ ُ َّ َ َ ْ ُ َ
7
)6( يأ ُّي َها ٱلِي ن ّ ِزل عل ۡيهِ ٱذلِك ُر إِنك ل َم ۡج ُنون
ٰٓ َوقالوا
“Dan mereka berkata, “Wahai orang yang kepadanya
diturunkannya al-Qur’an, sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar gila.”8
Al-Qadi Abdul Jabbar menuliskan dalam Mutasyabah al-Qur’ān
al-karīm bahwa dalam hal ini, ada orang-orang yang menyangkal
atas nubuwwah9 Nabi Muhammad.10 Sehingga, terlontar kalimat
yang tidak layak didengarkan. Selain itu, Apabila dilihat dari
sosio-antropologis membuat masyarakat Arab menganggap wanita
sebagai objek yang bebas. Hal inilah salah satu yang mendorong
adanya pernikahan yang dilarang. Dalam hal ini, tentu sangat
dibutuhkan pengetahuan mengenai penafsiran dari para ‘Ulama.
Sebagaimana disebutkan bahwa tafsir adalah menyingkap makna al-
Qur’an. Mustafa Muslim menuliskan bahwa tafsir adalah Ilmu yang
menyingkap makna al-Quran sesuai dengan kemampuan manusia.11
Di dalam al-Qur’an disebutkan betapa pentingnya ayat al-Qur’an
ditafsirkan. Terdapat dalam surah al-Furqan ayat 33:
َۡ َ ۡ َ أۡ ُ َ َ َ َّ ۡ ٰ َ ٱ
12
َول َ ي�تونك ِب َ�ث ٍل ِإل ِجئ َنك ِب� َل ِّق َوأ ۡح َس َن تف ِس ي ً�ا
“Dan mereka Orang-orang kafir itu tidak datang kepadamu
7
Al-Qur’ān al-Karīm surah al-Hijr ayat 6.
8
Kata “Gila” ini diucapkan oleh orang kafir yang berada di Mekah. Tujuan
dari ucapan ini adalah sebuah ejekan.
9
Nubuwwah adalah Amanah atau tugas berat yang hanya dapat diemban oleh
orang-orang yang dipilih Allah.
10
Al-Qadi Abdul Jabbar bin Abdul Jabbar, Mutasyabah al-Qur’ān al-Karīm
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2017), h. 428.
11
Mustafa Muslim, Mabāhiţs fī Al-Tafsīr Maudhūi (Damsyiq: Dār Al-
Qalām, 2000), h. 15.
12
Al-Qur’ān al-Karīm, Surah al-Furqan Ayat 33.
28
(membawa) sesuatu yang aneh. Melainkan, Kami datangkan
kepadamu yang benar dan penjelasan paling baik.”
Metode yang dipakai dalam penelitian ini dengan
mengungganakan deskriptif-analitis. Di mana penulis
mendeskripsikan dengan menggunakan literatur-literatur primer,
seperti: al-Qur’ān al-Karīm, Kuţhūb al-Tis’ah, Kitab Al-Tafsīr
Waqawā’iduhu, Kitab Ar-Rokhīqul Makhtūm, kitab Tharīkh Khulafā,
Al-Kuthūb al-Tis’ah, dan yang lainnya. Selain itu, referensi sekunder
sebagai penduduk kitab primer menggunakan selain kitab di atas.
29
menyatakan bahwa semua itu tidak terlepas dari daratan Sahara dan
yang dipisahkan oleh Lembah Nil dan Laut Merah. Berikut terlampir
petanya:
Jazirah Arab secara etimologi diartikan sebagai Sahara atau
padang pasir, tanah gundul, gersang, tidak ada air, dan juga tidak
ada tanaman. Sedangkan, Jazirah Arab secara terminologi diartikan
sebagai sejak dahulu sudah dinamakan Jazirah Arab.15 Nama daerah
itu biasanya dinamakan oleh orang yang mendiami daerah tersebut.
Ada dua hal yang perlu dilihat dalam geografis ini: Pertama:
kondisi internal. Apabila mencoba untuk melihat kondisi internal
Jazirah Arab daerahnya dikelilingi oleh Gurun Pasir. Letak inilah
yang membuat pertahanan yang kokoh bagi bangsanya. Kedua:
kondisi eksternal. Jazirah Arab mempertautkan daratan dan lautan.
Sebalah barat laut adalah pintu masuk Benua Afrika, sebelah
timur laut merupakan jalur masuk Benua Eropa, dan sebelah timur
merupakan kunci masuk bangsa-bangsa selain Arab. Karena letah
strategis geografis inilah, Jazirah Arab menjadi tempat berlabuh
semua bangsa. Tujuannya, untuk saling mengenal, tukar menukar
15
Syafiur Rahman Al-Mubarakhfuri, Ar-Rohīqūl Makhtūm Bahtsūn fī Shīrāh
An-Nabāwīyah Ala Shāhibiha Afdhālīsh Shalāti wa Salām, h. 15.
30
perniagaan, peradaban, dan juga seni.16
B. Keadaan Sosiologis dan Antropologis
Secara sosiologis, masyarakat Arab terdiri dari berbagai
“kabilah” atau lebih dikenal dengan kata “suku”, seperti: Suku
yang terkenal adalah suku Qurays yang mendiami kota Mekah.
Dari kabilah inilah, Jazirah Arab terdapat beberapa strata sosial.
Dari strata sosial inilah akan sangat terlihat orang yang terpandang
dan terhormat akan sangat dihormati oleh masyarakat. Sedangkan,
orang yang tidak terpandang apalagi terhormat akan dipandang
sebelah mata. Tidak akan dilihat bahkan justru akan direndahkan,
dilemahkan, dan ditindas. Namun, tidak semuanya demikian.
Di sisi lain, kabilah Arab ada pula yang masyhūr karena mereka
memusatkan perhatian pada Ka’bah. Sebagaimana diketahui bahwa
Kabah adalah tempat pusat kegiatan kegaamaan besar. Bahkan,
orang-orang yang datang dari luar Mekah berdatangan.17
Abu Daud meriwayatkan dari ‘Aisyah dikatakan ada empat
macam pernikahan pada masa jahiliyah, yakni: pertama: Pernikahan
secara langsung. Pernikahan ini seorang laki-laki mengajukan
pinangan kepada wali perempuan. Laki-laki tersebut baru bisa
dinikahkan apabila sudah memberikan mas kawin pada saat itu
juga. Kedua: Nikah Istibda’ adalah seorang lelaki bebas berkata
kepada istrinya untuk yang baru suci dari haid dengan mengatakan,
“Temuilah seseorang dan berkumpullah bersamanya.” Apabila telah
diketahui kehamilannya, maka seorang suami bebas mengambil
kembali istrinya. Ketiga: Poliandri yakni pernikahan beberapa
lelaki yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Apabila
seorang wanita sudah diketahui hamil dan melahirkan bayinya,
maka wanita tersebut bebas memilih siapa yang menjadi ayah dari
anak yang dilahirkan tersebut. Keempat: Seorang lelaki mendatangi
16
Syafiur Rahman Al-Mubarakhfuri, Ar-Rohīqūl Makhtūm Bahtsūn fī Shīrāh
An-Nabāwīyah Ala Shāhibiha Afdhālīsh Shalāti wa Salām, h. 16.
17
Montgomeri Watt, Muhammad’s Mecca: History in The Quran (London:
Edinburgh University Press, 1982), h. 38.
31
seseorang yang dikehendakinya, Biasanya seorang wanita akan
memberikan sebuah tanda di pintu rumahnya. Lalu, apabila hamil
dan melahirkan. Seorang akan mengundang lelaki yang pernah
menggaulinya kemudian mengundi nama yang akan menjadi ayah
dari anak yang dilahirkan tersebut.18
Kondisi sosial Jazirah Arab pada masa ini memang sangat buruk.
Kebiasaan yang dilakukan mencerminkan adanya problematika
besar dalam kehidupan. Dinamai jahiliyah karena tidak tahu akan
aturan yang berlaku dalam kehidupan seseorang. Manusia seperti
barang dagangan yang diperjual belikan di pasaran. Tidak ada
batasan antara yang hak dan yang batil. Tidak pula ada batasan
apakah keadilan atau kezaliman yang menguasai nadir. Perilaku
jahiliyah membuat seseorang tidak mengenal jalan kehidupan.
Atas dasar inilah, setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, semua
bentuk pernikahan seperti telah disebutkan di atas, dihapuskan.
Semua diganti dengan pernikahan yang telah disyariatkan agama
Islam.
Konflik dari akibat jahiliyah ini, terdapat banyaknya poligami.
Di mana seorang lelaki tanpa batasan berapa banyak pun seorang
wanita yang ingin dinikahinya. Laki-laki juga dapat menikahi janda
dari Ayahnya – entah sebab kematian atau pun karena perceraian.
Hak perceraian ada ditangan laki-laki. Allah berfirman dalam al-
Qur’an surah Al-Nisa’ ayat 22-23:
َّ َ َ َ ۡ َ َ َّ ٓ َ ّ َ ّ ُ ُ ٓ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ َ َ
ف إِن ُهۥ ول تنكِحوا ما نكح ءاباؤك ًم مِن ٱلنِساءِ إِل ما قد سل
ُ ُ ۚ ٰ َ َّ ُ ۡ ُ ۡ َ َ ۡ َ ّ ُ ٓ ۡ ٗ َ َٰ َ َ
ۡكم )ح ِرمت عليك ۡم َ أمهت22( حشة َ َو َمق ٗتا َو َسا َء َسبِيل ِ كن ف
ُات ٱل ِخ َو َب َنات ُ ُ ٰ َ ٰ َ َ ۡ ُ ُ ٰ َّ َ َ ۡ ُ ُ ٰ َ َ َ ۡ ُ ُ َ َ َ
ُ ك ۡم َو َب َن وبناتكم وأخوتكم وعمتكم وخلت
ُٱلر َض ٰ َعةِ َوأُ َّم َهٰت
َّ كم ّم َِن ُ ُ ٰ َ َ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ ٓ ٰ َّ ُ ُ ُ ٰ َ َّ ُ َ ۡ ُ ۡ
ت وأمهتكم ٱل ِت َّ أۡرضعنكم وأخوت ِ ٱل ٓخ
ُك ُم َّٱلٰت َد َخ ۡلتم ُ ٓ َّ ّ ُ ُ ُ ُ ُ ُ َ ُ
ٰٓ ن َِسائِكم ور
َ َ ۡ
ِ ِ بئِبكم ٱل ٰ ِت ِف حجورِكم مِن ن ِسائ
Abu Daud, Kitab Nikah. Kemudian lihat dalam, Syafiur Rahman Al-
18
32
ُ ٰٓ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ُ َ َ َّ ۡ َ َ ْ ُ ُ َ َّ َ
لئِل َب ِ ِه َّن فإِن ل َّ ۡم تكون َوا دخل ُتم ب ِ ِه َن َفل ْجناح ۡع ُليكم َّ وح
َ َۡ ۡ ََۡ ُ َۡ َ ۡ ُ َ ۡ ۡ َ ك ُم ٱل ُ َٓۡ
ي إِل َما ق ۡد ِ ِين َمِن َ أ ُصلٰبِكم وأن تمعوا بي ٱلخت ِ أبنَا َئ
ٗ َ َ َّ َّ
19
)23( َسلفۗ إِن ٱلل كن غفورا رحِيما
َّ ٗ
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang
telah dinikahi oleh Ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang
telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci oleh
Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh (22). Diharamkan
atas kamu (menikahi) Ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuanmu dari saudara-saudara yang perempuan,
ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu
sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari
istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu20 dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi apabila kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau. Sungguh! Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.”
Ibnu Jarīr Al-Thabārī menafsirkan dalam kitabnya Jami’ al-
Bayān bahwa surah Al-Nisa ‘ ayat 22 ini – menuliskan bahwa
Abu Ja’far berkata: Ayat ini diturunkan karena orang yang berhasil
menikahi bapak-bapak mereka. Kemudian, dalam hal ini Islam
hadir, maka Allah melarangnya. Dan Dia memaafkan pendahulu
mereka yang telah berbuat demikian, karena dalam kebodohan dan
kemusyrikan. Dalam hal ini Dia tidak menghukum mereka.21 Selain
19
Al-Qur’ān al-Karīm, Surah al-Nisa’ (4) ayat 22-23.
20
Maksud dari Ibu di awal ayat ini adalah Ibu, Nenek, dan seterusnya ke atas.
Kemudian, yang dimaksud dengan anak-anak perempuan adalah anak perempuan,
cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah Sedangkan, yang dimaksud dengan
“anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu,” menurut sebagian besar ‘ulama
termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
21
Ibnu Jarīr Al-Thabārī, Jamī’ al-Bayān Al-Ta’wīl Ayy al-Qur’ān (Beirut: Dār
Kuţhūb Al-Ilmiyah, 1971), h. 441.
33
itu, Asy-Syaukani dalam Fathūl Qādīr, juga menjelaskan tujuh garis
keturunan yakni: Ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi-bibi
dari pihak ibu, keponakan laki-laki, dan keponakan-keponakan.22
Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam Jamī’ al-Ahkām al-
Qur’ān bahwa surah al-Nisa’ ayat 23 ini mempunyai maksud apa
yang dibolehkan bagi wanita dan istrinya, maka Allah menharamkan
tujuh nasab dari yang enam, yakni dari yang menyusui dan saudara
ipar diletakkan pada yang nomor tujuh. Kemudian Riwayat ini
dibuktikan dari otoritas Ibnu Abbas: Tujuh orang yang dicabut
garis keturunannya dan tujuh orang ipar dan dia membacakan ayat
ini. Kemudian, Amr bin Salam, sebagai penguasa Anshar juga
mengatakan hal yang sama, yakni lafaz ( ) yakni “para
wanita yang suci”. Ada tujuh garis keturunan, yakni: Ibu, anak
perempuan, saudara perempuan, bibi, anak perempuan, dan saudara
perempuan.23
Syafiurrahman Al-Mubarakhfuri juga menuliskan – dalam
konteks sosial dan budaya – tidak semuanya kehidupan orang
di Jazirah Arab mempunyai amoralitas. Namun, ada juga yang
mempunyai akhlak terpuji. Sehingga, memunculkan decak kagum
kepada penduduknya. Akhlak terpuji tersebut seperti: Adanya
kedermawanan. Kedermawanan penduduk Jazirah Arab terlihat
ketika ada seorang tamu mendatangi rumah seseorang. Orang
ditamui merupakan orang yang tidak mempunyai bahan makanan
untuk di makan, tetapi ada seokor Unta yang masih diikat di belakang
rumah, maka tuan rumah akan segera menyembelihnya. Di samping
itu, masyarakat Arab terkenal dengan sikap kedermawanannya.
Terkadang masyarakat Arab meminum khamr dan berjudi. Hal
ini dimaksudkan sebagai ekpresi dari kedermawanan.24 Namun,
22
Muhammad Ali Ibn Muhammad Asy-Syaukani, Fāthūl Qādīr (Beirut:
Darul Arqam bin Abi Arqam, 2016), h. 449.
23
Al-Qurţhūbi, Jamī’ al-Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Fikr,
2019), h. 84.
Syafiur Rahman Al-Mubarakhfuri, Ar-Rohīqūl Makhtūm Bahtsūn fī Shīrāh
24
34
kebiasaan yang dilakukan dalam rangka meminum khamr itu
mendapat teguran. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surah al-
Baqarah ayat 219:
َ ۡ ٓ ُۡ
ِ َو َم ۡ َنٰ ِف ُع ل َ َِّلنٞم كبِريٞ سۖ قل فِي ِه َما إِث
ۡ َ ۡ ك َعن
ٱل ۡم ِر َوٱل َم ۡي
َ َ ُ َۡ
اس
َ َٰ َ ۡ َ ُ َ ُ ُ َ َ َ َ ُ ۡ َ َ َ ۡ َِّ ِ ِ ُ َ ۡ َ ٓس َُل َون
ٔ ۞ي
ۡ
سَلونك ماذا ينفِقونۖ ق ِل ٱلعفو ۗ كذل ِك ٔ ِإَوث ُمهما أكب مِن نفعِ ِهم َّاۗ وي
َ َّ َ َ ُ َ َ ُ ُ َ ُ َّ ُ ّ َ ُ
ت ل َعلك ۡم ت َتفك ُرون ِ ٰ يب ِي ٱلل لكم ٱٓأۡلي
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar25
dan judi. Katakanlah, pada keduanya terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar
daripada manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu
tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan
dari apa yang diperlukan.” Demikianlah, Allah menerangkan
ayat-ayatNya kepadamu agar kamu memikirkan.”
Tradisi atau budaya ini dilakukan oleh masyarakat di Jazirah
Arab. Selain pada hal konteks sosial. Konteks keagamaan pun
masyarakat Arab mempunyai kebiasaan untuk menyembah atau
upacara yang mayoritas dibuat oleh Amr bin Luhay. Sementara
itu, masyarakat mengira bahwa yang diciptakan itu adalah sesuatu
yang baik dan tidak mengubah agama Ibrahim. Berikut upacara
penyembahan berhala yang dilakukan: a). Masyarakat mendatangi
dan mengelilingi berhala dan berkomat-kamit meminta pertolongan
dan perlindungan, b). masyarakat menunaikan haji dan thawab
disekeliling berhala dan sujud, c). menyajikan korban dengan
menyembelih hewan peliharaan dan diperuntukkan untuk berhala,26
d). masyarakat bertaqarrub memperuntukkan sesuatu memberikan
sesajian yang dikhususkan seperti panen dan binatang peliharaan
mereka.27 serta mereka bernazar untuk memberikan sebagian hasil
tanaman dan ternak untuk berhala.28
35
SEJARAH PENGHIMPUNAN AL-QUR’AN
A. Pada Masa Nabi
Pada masa Nabi, al-Qur’an belum secara utuh terhimpun
dalam satu mushaf. Hal ini dikarenakan wahyu yang turun ke nabi
tidak secara langsung diturunkan.29 Penurunan al-Qur’an melalui
tahapan-tahapan yang panjang. Ada yang turun secara langsung
untuk menguatkan hati nabi dalam menjalankan misi dakwahnya.
Ada pula yang turun karena ada sebab atau peristiwa yang melatar
belakanginya. Dalam ilmu al-Qur’an disebut sebagai sabāb al-Nuzūl.
Sabāb al-Nuzūl diartikan sebagai adanya peristiwa pada masa nabi
dan mengharuskan diturunkannya ayat. Ayat tersebut menunjukkan
adanya hukum atau penghakiman Tuhan. Hal ini adalah pertanyaan
yang diajukan oleh salah satu yang hadir pada masa nabi, sehingga
sebuah ayat diturunkan sebagai tanggapan atas pertanyaan yang
diajukan.30 Dakwah nabi tidaklah berjalan dengan mudah. Orang
musyrik banyak melakukan penghujatan.31 Apabila dianalisis lebih
dalam mengapa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angur?
Jawabnya karena agar semua peristiwa disampaikan secara sedikit
demi sedikit agar mudah mengambil hikmah dan pelajaran. Proses
36
“Dan al-Qur’an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau
(Muhammad) membacakannya kepada manusia secara perlahan-
lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.”
Proses penghimpunan al-Qur’an terdiri dari dua macam yaitu:
pertama: Proses dalam arti menghafal dan yang kedua: proses
dalam arti penulisan al-Qur’an. Setiap ayat ditulisan dalam sebuah
lembaran secara terpisah, kemudian ditertibkan, dan menghimpun
semua surahnya.33
Pada masa Rasulullah, setiap ayat yang turun mempunyai proses
yang sangat panjang. Ketika wahyu turun, maka Rasulullah akan
menayampaikan kepada para sahabatnya. Untuk menyampaikan
hal tersebut, nabi menghafalnya terlebih dahulu lalu kemudian
disampaikan kepada sahabat lalu kemudian menafsirakannya.
Setelah itu para sahabat pun menerima apa yang disampaikan.
Kemudian, para sahabat menghafalnya. Para sahabat pengahafal
itu di antaranya: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Thalhah, Said, Ibn
Mas’ud, Abu Hurayrah, Ibn Abbas, Amr’ Ibn Ash, Aisyah, Hafsah,
dan juga Ummu Salamah.34 Sedangkan dalam versi Manna al-
Qaththan disebutkan para penghafal itu adalah Ali bin Abi Thalib,
Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin
Mas’ud.
Apabila mencoba menganalisis dalam konteks kepenulisan
mushaf pada masa nabi. Rasulullah mengangkat para penulis wahyu,
di antaranya: Mu’awiyah, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Haritsah.
Apabila turun wahyu, ia memerintahkan untuk menuliskannya.
Serta menyampaikan tempat ayat tersebut dalam surat. Ada pula
sahabat yang mempunyai ide menuliskannya di pelepah kurma,
lempengan batu, dan kulit binatang.35 Tulisan-tulisan pada masa
33
Manna Al-Qaththan, Mabāhīţs fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: Maktabah
Wahbah , 1995), h. 114.
34
Muhammad Abdul ‘Adzīm al-Zarqānī, Manāhil al-’Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān (Beirut: Dar al-Kitab al-’Araby, 1995), h. 199.
35
Manna al-Qaţhţhan, Mabāhīţs fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: Maktabah
Wahbah, 2007), h. 118.
37
nabi belum terkumpul dalam satu mushaf. Untuk lebih lanjut terkait
pengumpulan ini, berikut berlanjut pada masa sahabat.
B. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar, Umar, dan
Usman
Abu Bakar Radhiallahu’an mempunyai nama lengkap dan juga
nasab, yakni dikenal dengan Abdullah Ibn Abi Quhafah Usman Ibn
Amr ibn Ka’ab ibn Sa’id ibn Taim ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay
ibn Ghalib ibn Firh al-Qurays al-Taimi.36 Pada masa jahiliyah, ia
digelari sebagai As-Shiddiq.37 Ayahnya Abu Quhafah atau Usman.
Ibundanya Bernama Ummul Khair ibn Sakhr Ibn Amir binty Ka’ab
ibn Sa’ad ibn Taim ibn Murrah ibn Ka’ab. Seorang anak perempuan
dari pamannya, Keduanya mempunyai jalur nasab yang sama yakni
dari jalur Ayah dan Ibundanya bertemu dengan Rasulullah pada
Murrah ibn Ka’ab.
Secara geografis, Abu Bakar hidup di Mekah Mukarramah.
Ia akan pergi dari kota tersebut karena urusan dagang. Ia juluki
dengan gelar As-Shiddiq. Dalam At-Tabrani sanad dari Hakim ibn
Sa’ad menyebutkan Allah menurunkan nama Abu Bakar dari langit
dengan sebutan As-Shiddiq.38
Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam atau
asāabiqunal awwalūn dan Abu Bakar juga adalah orang yang
pertama salat bersama Nabi.39 Abu Bakar juga, digolongkan sebagai
seorang sahabat. Sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Thahan
dalam kitabnya Taisīr Musthālahūl Hadīs, bahwa sahabat adalah
orang yang bertemu dengan Nabi Muhammad kemudian wafat dalam
36
Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abu Bakar As-Suyūţhī, Tarīkh Khulafā (Saudi
Arabia, Dār al-Manhaj, 1434), h. 99.
37
Muhammad Yusuf Al-Kandahwi, Hayātu Al-Shahābah (Beirut: Dār Fikr,
2002), Juz. 1, h. 49.
38
Mu’jam al-Kabīr (1/ 55) dari Hakim (3/ 62) dalam Jalaluddin Abdurrahman
Ibn Abu Bakar As-Suyuthi, Tarīk Khulafā (Saudi Arabia, Darr al-Manhaj, 1434),
h. 103.
39
Jalaluddīn Abdurrahman Ibn Abu Bakar As-Suyūţhi, Tarīk Khūlafā (Saudi
Arabia, Darr al-Manhaj, 1434), h. 107.
38
keadaan Islam.40 Sumbangsih Abu Bakar tak hanya menemani Nabi
saja, akan tetapi juga memikirkan mengenai kodifikasi al-Qur’an
dalam satu mushaf.
Pada masa Abu Bakar ini, proyek kodifikasi al-Qur’an perlu
dilakukan. Hal ini disebabkan karena al-Qur’an yang disampaikan
nabi dikhawatirkan akan lenyap dan musnah. Apalagi banyak
penghafal al-Qur’an yang gugur pada Perang Yamamah41 dan Perang
Riddah.42 Pada perang ini sebanyak 70 orang gugur. Kekhawatiran itu
pun dirasakan oleh Umar bin Khattab. Sehingga, Umar bin Khattab
mengusulkan kepada Abu Bakar agar al-Qur’an dikumpulkan dalam
satu mushaf.
Usulan dari Umar bin Khattab agar segera mengumpulkan al-
Qur’an dijawab dan dipikirkan oleh Abu Bakar. Pertimbangan untuk
melakukan pengumpulan pun dilaksanakan dengan memerintahkan
pada Usman bin Affan, Zait bin Tsabit, dan yang lainnya untuk
membantu tugas ini. Mereka mengumpulkan pelepah kurma, tulang,
batu, dan juga hafalan para sahabat. Kemudian, setelah dikumpulkan
Zaid bin Tsabit sebagaimana ia dengar terakhir kalinya dari
Rasulullah, ayat-ayat itu dikumpulkan dalam satu mushaf. Rasm
Usmani adalah bacaan yang sudah ditetapkan. Kemudian, Rasul
memberikan kabar gembira agar Zaid bin Tsabit menuliskannya.
Mushaf ini sudah ada ditangan Abu Bakar sepanjang hidupnya –
berlanjut ke tangan Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar, mushaf
ini disimpan oleh Hafshah Ummul Mukminin dan berlanjut lagi
pada masa Usman bin Affan. Usman kemudian, mengambil mushaf
tersebut kepada Hafshah. Tujuannya untuk ditulis ulang dalam
beberapa naskah dan hasilnya dikirim ke beberapa wilayah.
40
Muhammad Thahān, Taisīr Musthālahul Hadīs, Dār Al-Fikr, h. 164.
41
Perang Yamamah adalah perang yang dilakukan khalifah Abu Bakar As-
Shiddiq dengan Musailamah al-Kadzab. Musailamah al-Kadzab ini adalah orang
yang mengaku sebagai nabi.
42
Perang Riddah adalah perang yang dilakukan untuk melawan orang-orang
yang murtad (ke luar dari agama Islam). Perang ini dilancarkan oleh sahabat nabi,
yakni Abu Bakar As-Shiddiq.
39
Khalid Abdurrahman Al-’Aak dalam Ushūl Al-Tafsīr
Waqawa’iduhu, menjelaskan ada empat hal atas ketetapan ini:
1). Sesungguhnya al-Quran adalah Kitab yg diturunkan kepada
Nabi Muhammad. Dan dia mengatakan ini adalah Kitab wahyu
yg disaksikan oleh Malaikat Jibril.2). Para pembaca semuanya
mengikuti aturan Rasm Mushaf yg telah dikumpulkan sahabat.
Kemudian menghancurkan semua yang tidak sesuai aturan. 3).
Para ‘Ulama Ushul bersepakat atau pebulatan suara para pembaca
adalah bahwa Mushaf Usmani,43 melengkapi wajah Al-Qur’an yang
sering muncul atas otoritas Rasulullah. 4). Rasm Usmani inilah yg
disetujui atau ditetapkan oleh Rasulullah dan sebagai satu-satunya
hujjah syariah. 44
40
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya
Allah telah menolongnya yaitu ketika orang-orang mengusirnya
dari Mekah; sedang dia salah seorang dari dua orang ketika
keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada
sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah
bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya
(Muhammad) dan membantu dengan bala tantara (malaikat-
malaikat) yang tidak terlihat olehnya, dan dia menjadikan seruan
orang-orang kafir dan rendah. Dan firman Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Kata tidak secara langsung mengatakan “man” atau
“siapa” yang dimaksud dalam al-Qur’an. Untuk mendapatkan
penafsiran terkait hal ini, penulis akan mengambil sumber dari para
mufassir. Berikut pernjelasannya:
Pertama: Ibnu Jarīr al-Thabārī dalam Jamī’ al-Bayān al-
Ta’wil Ay al-Qur’ān mengungkapkan, ketika sedang berada dalam
gua Abu Bakar merasa khawatir dan takut akan mengetahui lokasi
persembunyian mereka. Melihat hal itu, Rasulullah mengatakan
kepada Abu Bakar, “Jangan bersedih,” karena
Allah bersama kita.46
Kedua: Ibnu Asyur mengungkapkan dari Ibnu Umar
mengatakan, Rasulullah ditemani Abu Bakar di dalam Gua. Hal ini
juga dikuatkan dari Riwayat al-Bukhori47 tertulis bahwa Abu Bakar
As-Shiddiq berkata kepada Rasulullah. Ketika ia melihat disebuah
sudut Gua, jika mereka menemukan kita di dalam Gua, maka mereka
akan melihat kita. Kemudian Rasulullah menjawab, “apa yang kamu
dengar atau kamu lihat, wahai Abu Bakar? Kita berdua dan yang
ketiga adalah Allah.”48
46
Ibnu Jarīr At-Thabārī, Jamī’ Al-Bayān Al-Ta’wil Aŷ Al-Qur’ān (Mesir:
Matba’ah Mustafa Babi Al-Halabi, 1954), h. 135.
47
Imam Bukhori (3653) dan Imam Muslim (2381).
48
Ali Muhammad As-Sya’labi, Al-Syīrātu Al-Nubuwwah (Beirut: Markaz
Kitab Al-Kadimi, 2018), h.437.
41
Ketiga: Ketika orang-orang mengusir Rasulullah dan Abu
Bakar. Mereka berada di dalam Gua – kemudian Imaduddin
Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsir menuliskan lafaz
mempunyai makna Allah adalah sebagai penolong, penopang, dan
juga pelindung.49 Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran Abu bakar
mengenai persembunyian mereka. Sebab. Apabila mereka ditemui
oleh orang-orang kafir, maka Abu Bakar adalah orang yang paling
sedih dan merasa kasihan terhadap apa yang dihadapi saat di Gua
Tsur tersebut.
Keempat: Dikatakan bahwa sahabat yang menemani Rasulullah
adalah Abu Bakar As-Siddiq. Makna sahabat itu adalah orang
yang mendampingi. Ia mengatakan, tanda orang yang bersabat
adalah yang menemani dalam banyak kasus atau problematika.50
Sebagaimana istri juga disebut sebagai pendamping. Dalam hal ini
– ketika di Gua Tsur – Abu Bakar bertanya, bagaimana Dia (Allah)
tidak punya pendamping? sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an
surah al-An’am ayat 101:
ۖ َٰ َّ ُ َ َ ٞ َ َ ُ ُ َّۡ أَ ۖ َ ن
ۡة َو َخ َل َق ُ َّك شَ يٞ ص َب
� ٖۖء ِ ٱلس َٰم َٰو ِت َوٱل ۡر ِض أ ٰ� َيكون ُلۥ َولد َو ۡل تكن ُلۥ
َّ َب ِد ُيع
َ ُّ َ ُ َ
�ٞ � ٍء َع ِل ي
ۡك ش ي ِ وهو ِب
“Dia (Allah) Pencipta langit dan bumi. Bagaimana mungkin
Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia
menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.”
Az-Zamaksyari dalam kitab al-Kasyāf menjelaskan bahwa ayat
ini merupakan sebuah bukti bahwa Allah memiliki segala hal. Ia
tidak membutuhkan pendamping layaknya manusia, ada laki-laki
dan perempuan. Dia juga tidak membutuhkan seorang anak seperti
yang dilakukan oleh rang yang berpasangan.51 Setelah mendengar
ucapan ini yang datang dari Rasulullah kepada Abu Bakar. Ketika
49
Imaduddin Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm
(Yaman: Islam Kutub, 1966), Juz.7, h. 205.
50
Ibnu Asyūr, Tafsīr Al-Tahrīrū wa Tanwīr (Tunisia: Islam Kutub,1884), h.
204.
51
Az-Zamaksyari, Al-Kasyaf (Riyadh: Maktabah Al-Abikan, 1998), h. 281.
42
mereka bersembunyi di Gua Tsur, sehingga Abu Bakar sedih
dan merasa kasihan. Sungguh! Orang-orang musyrik itu akan
melukaiNya dan membanyaNya kembali ke Mekkah. Namun,
Rasulullah menenangkan dengan mengatkan .
B. ‘Aisyah Radhiallahu’anha
Berita bohong mengenai ‘Aisyah dihembuskan oleh seorang
munafik, yakni Abdullah bin Ubay bin Salul. Hal ini dijelaskan
dalam sebuah hadis:
ُّ َح َّد َث َنا َأ ُبو ُن َع ْ� َح َّد َث َنا ُس ْف َي ُان َع ْن َم ْع َمر َع ْن
َ الز ْه ِر ّي َع ْن ُع ْر َو َة َع ْن َعا ِئ َش َة َر ِ ض ي
� ِ ُ
52 َ ُ َ َُّ ْ نُ َ ّ ْ ن
ٍُ ْ َ َ
ْ َ ُ َ ْ َّ َ َ ٍ َّ ُ َ نْ َ َ َّ ي
الل ب� أ ب ٍي� با� سلول ِ الل ع�ا{ وال ِذي تول ِك ب�ه }قالت عبد
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim Telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Ma’mar dari Az Zuhri
dari ‘Urwah dari ‘Aisyah radhiallahu’anha mengenai firman
Allah: Dan orang yang berandil besar (dalam memfitnah Aisyah
(QS. An-Nur: 11), ia berkata; yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul.”
Ayat al-Qur’an yang membantah bahwa ‘Aisyah dituduh
berzina terdapat dalam al-Qur’an surah Al-Nur ayat 11:
ّ ُ ۚۡ ُ َّ ٞ ۡ َ َ ُ ۡ َ ۖ ُ َّ ّٗ َ ّ ُ ۡۚ َ َت ۡ َ ُ ُ شٞ َ ۡ ُ ۡ ۡ َّ َّ نَ َ ٓ ُ ٱ
ك
ِ ك ِل ِإن ٱل ِذ ي� جاءو ِب� ِإلف ِك عصبة ۡ ِمنك ل �سبوه �ا لك بل هو خ ي� ل
�اب َع ِظ يٌ ٱل ث ۚ� َو َّٱل ِذي َت َو َّ ٰل ِك ۡب َ� ُهۥ ِم نۡ ُ� ۡم َ ُلۥ َع َذ
ۡ َ َ َ ۡ َّ ۡ ّ ۡ
ِ ٱم ِر ٖٕي ِم ن ُ�م ما ٱكت َسب ِمن ِإ
53 ٞ
43
diikuti Rasulullah, Aisyah, dan di dalamnya ada orang munafik.
Dalam perjalanan kembali dari peperangan, mereka berhenti
pada suatu tempat. ‘Aisyah ke luar dari sekedupnya untuk suatu
keperluan, kemudian kembali. Setelah kembali rombongan sudah
tidak ada di tempat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Mukhtasyar Al-
Bidāyāh wa Al-Niyāhāh bahwa ‘Aisyah tertinggal di rombongan
dan ia berharap rombongan mengetahui, maka akan kembalilah
rombongan tersebut.55 Tak lama setelah itu, muncul lah Shafwan Bin
Muattal (sahabat nabi) lalu terkejutlah Shafwan ini, dia mengatakan
Innālillahī wa innailaihī raji’ūn, istri Rasul? Mendengar hal itu,
Aisyah yang tadinya berbaring, ia terbangun. Lalu, Shafwan
mempersilakan untuk naik ke Unta miliknya. Shafwan menuntun
Unta sampai tiba di Madinah. Dari sinilah desas-desus itu terjadi.
Semua orang yang melihatnya membicarakan pendapat masing-
masing. Dari sinilah datangnya hembusan kaum munafik membesar-
besarkan berita tersebut. Fitnah terhadap ‘Aisyah itu meluas hingga
menimbulkan kegoncangan di kalangan Muslimin.
Ibnu Jauzi menuliskan, para mufassīr bersepakat bahwa ayat
ini adalah penjelasan tentang kisah ‘Aisyah. Dalam hadis Ifk,
ayat ini turun menjadi sepuluh ayat yang telah turun dalam cerita
Aisyah. Kami telah menyebutkan hadis al-Ifk dalam buku
dan dalam kitab tetapi, kami tidak membahasnya,
karena tujuan kami dipersingkat. Adapun ifk itu bohong, dan
usbahnya: golongan. Makna lafaz adalah orang-orang
Mukmin. Diriwayatkan Urwah dari Aisyah dia berkata: Ada empat
dari mereka: Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Ubay Bin Salul, dan
Mistah Bin Asasah dan Hamnah bin Jahsy, dan lainnya.56
Lafaz kalangan mufassir mengatakan ini
adalah khitab kepada Aisyah dan Shafwan Bin Muattal. Kemudian,
dikatakan oleh Rasulullah, Abu Bakar, dan juga ‘Aisyah maknanya
55
Ibnu Katsīr, Mukhtasyār Al-Bidāyāh wa Al-Niyāhah, h. 181.
56
Ibnu Jauzi, Zād Al-Masīr fī ‘Ilm Al-Tafsīr (Beirut: Dār Al-Kuţhūb Al-
Ilmiyah, 2009), h. 369.
44
tentang anda yang menyewa. Lafaz bermakna itu
adalah sebuah kepalsuan atau kedustaan.
Lafaz apa yang dia lakukan akan
memperoleh balasan atau dosa yang diperbuatnya.57 Dilanjutkan
barang siapa yang mengambil bagian terbesar
dalam perbuatannya, maka akan mendapat azab yang besar pula.
Sesungguhnya Abdullah Ibn Ubay diriwayatkan Abu Shalih dari
Ibn Abbas dari Urwah dari Aisyah, kemudian dikatakan Mujahid
dan Suddi. Para mufassir berkata: ini adalah orang yang membuat
percakapan publik atau pembicaraan itu dikabarkan ke orang lain,
maka mereka medapat azab yang besar di dalam neraka. Dalam hal
kedustaan ini, ada tiga hal yang perlu diketahui:
Pertama: bahwa dia adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, dan
diriwayatkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas, dan Urwah dari
Aisyah. Para komentator berkata: Dialah yang menyebarkan hadis,
karena dia akan mendapatkan siksaan yang besar di dalam api. Ad-
Dhahak mengatakan dialah yang memulainya.
Kedua: bahwa dia Hassan Al-Sha’bi meriwayatkan bahwa
Aisyah berkata: Aku tidak pernah mendengar yang lebih baik dari
puisi Hassan, dan aku tidak menirunya kecuali aku berharap baginya
surga; Dikatakan: Wahai ibu orang-orang yang beriman, bukankah
Allah berfirman: dan siapa yang
mengambil alih yang paling besar dari mereka akan mendapat siksaan
yang hebat. Dia berkata: Bukankah penglihatannya hilang? Dan
Masruq meriwayatkan bahwa dia berkata: Dan hukuman apa yang
lebih berat dari kebutaan, dan mungkin Allah akan menghilangkan
siksaan yang besar itu dari batas pandangannya.
Ketiga: orang-orang dari agama mereka, karena orang-orang
percaya adalah satu jiwa, dan mereka mengatakan ini adalah
wahyu yang jelas: Lafaz dan katakana ini adalah
kebohongan. Menurut penjelasan, Abu Ayub al-Ansari mengatakan
kepadanya: “Apakah Anda tidak mendengar apa yang orang katakan
57
Ibnu Jauzi, Zād Al-Masīr fī ‘Ilm Al-Tafsīr, h. 369
45
tentang Aisyah? Ini adalah kebohongan yang jelas, maka akhirnya
Aisyah lebih baik bersumpah. Baru kemudian, turunlah ayat yang
telah disebutkan di atas. Selain al-Qur’an, terdapat juga hadis yang
menguatkan mengenai peristiwa ifk ini. Dalam hadis Riwayat Imam
Ahmad dijelaskan:
َ َ َ ُ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ
َّدث َنا أ ُبو َس ِع ٍيد قال َح َّدث َنا َأ ُبو َع َوانة قال َح َّدث َنا َع ُر َع ْ ْن أ ِب ِيه َع ْن َعا ِئشة
َ َ َ ٌَ نَ َ َ ةٌ َ َ َ َ ن َ ْ َ َ َ َ ض خ ُ رم:ُ َق َال ْت
� ُ ِم ْن ذ ِلك ْف َب ْي نَ� َما يت ِب ِه وأ� غ ِافل فبل ُغ ِ ي� بعد ذ ِلك ر ُ يت ب َ�ا ُرم
ِ ِ ِ
ُوح إ َل ْي ِه َ ي أ� ُخ ُذه َ َ َ َ ْ َ ْ ْ َّ َ َ
َالل صل الل علي ِه وس َل ِعن ِدي ِإذ أ ِ ي ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ ُ َُ
ِْ َوحَ ِإلي ِه َ وك ْن ِإذا أ َ ِ َ ي ُ ِ ول رس
َح ف َرف َع َرأ َس ُه َو ُهو ُات َف َب ْي نَ� َما ُه َو َجا ِل ٌس ِع ْن ِدي ِإ ْذ أ نْ ز ِ�ل َعل ْي ِه ال َو ْ ي ُّ
ِ ِش ْبه السب
َ ُ
َ ْ َ َ َّ َ َ َّ َ َّ ْ َ ُ ْ ُ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ ش
الل عز وجل ل ِب�م ِدك ِ �ي ي� عا ِئشة فقلت ِب�م ِد ِ ِ َي َ ْ� َ َس ُح َّ َع ْن َج ِب ِين ِه فقال أب
58 َ ُ ُ َ َّ ِ َ ُ َّ َ ُ َ َ َ َ َّت َ ُ ْ ون َ ُ ْ َ َن َ
} ات ح� بلغ م ب�ءون ما يقولون ِ ال ْح َصن فق َرأ{ ال ِذ ي� ي�م
“Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Abu Awanah, dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Umar, dari ayahnya, dari Aisyah
berkata, “Saya pernah dituduh berselingkuh sedangkan saya
tidak mengetahuinya, kemudian setelah itu sampailah hal itu
kepadaku. Lalu tatkala Rasulullah berada disisiku dan diturunkan
wahyu kepadanya, beliau mengambil cambuk dan beliau duduk
disisiku karena wahyu telah diturunkan kepadanya. Kemudian
beliau mengangkat kepalanya sambil mengusap keningnya
seraya bersabda, “Wahai Aisyah, aku beritakan kabar gembira.”
Maka saya (Aisyah) Berkata, “Segala puji bagi Allah ‘Azza
wa Jalla, bukan pujian untukmu.” Kemudian beliau membaca:
{ }.”
Apabila di analisis lebih jauh, al-Qur’an memberikan tema
terkait penjelasan terhadap tuduhan bohong terhadap Aisyah tersebut
secara lengkap terdapat dalam surah al-Nur ayat 11 sampai ayat 26.
Pada surah al-Nur ayat 15 juga diabadikan di dalam hadis:
ََح َّد َث َنا إ ْ َ� ِاه ي ُ� ْ نُ� ُم َوس َح َّد َث َنا ِه َش ُام ْ نُ� ُي ُوس َف َأ َّن ْ ن
ُا� ُج َر ي ْ ج� َأ ْخ َب َ� ُ ْه َق َال ْ ن
�ا ب ٍ ب ب ب ِب
58
Imam Ahmad, Musnad Shahabiyat, bab Hadis Aisyah Radiallāhu’anha, No.
23578.
46
َ ُ َ
59ْأ ب� ُم َل ْي َك َة َ ِس ْع ُت َعا ِئ َش َة َت ْق َرأ ِإ ْذ َت ِل ُق َون ُه ِب أ� ْل ِس َن ِت ُك
ِي
“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Telah
menceritakan kepada kami Hisyam bin Yusuf bahwa Ibnu Juraij
Telah mengabarkan kepada mereka. Ibnu Abu Mulaikah dia
berkata; Aku mendengar Aisyah membaca ayat: Ingatlah, di
waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut.
(An-Nur: 15).”
Pada makalah ini semua ayat tersebut tidak semuanya dibahas.
Hanya saja, penulis menyimpulkan beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan dari peristiwa ini. Berikut penjelasannya:
Pertama: Surah al-Nur mengajak manusia agar berhati-hati
terdadap desas-desas yang baru saja didengar. Apalagi bila desas-
desus tersebut datang dari orang yang tidak mempunyai kredibelitas
yang baik. Kedua: Adanya pemberlakuan hukum terkait orang yang
menuduh berzina. Seperti dijelaskan dalam surah al-Nur ayat 13.
Orang yang menuduh berzina, hendaknya mendatangkan empat
orang saksi. Hal ini menghasilkan sebuah hukum dera sebanyak
80 kali. Ketiga: Adanya peringatan bahwa kejadian seperti pada
masa Aisyah ini tidak terulang lagi. Seperti yang dijelaskan pada
surah Al-Nur ayat 17. Keempat: Jangan sampai bersumpah tidak
akan memberikan bantuan kepada orang yang kekurangan harta dan
hijrah di jalan Allah. Hendaknya memaafkan dan berlapang dada
atas apa yang terlah diperbuat. Hal ini dapat dilihat pada surah al-
Nur ayat 22. Kelima: Adanya janji dan ancaman, bahwa orang yang
menuduh berzina akan mendapatkan azab sesuai dengan apa yang
dilakukannya. Kemudian, ditutup pada surah al-Nur ayat 26 bahwa
orang yang baik akan memperoleh surga.
Selain menyoroti mengenai ‘Aisyah. Perlu juga dilihat
bagaimana ketika adanya orang-orang munafik yang memulai
menyulut api permusuhan. Mereka menebar bibit permusuhan di
antara kaum Muhajirin dan Anshar, sehingga hampir saja kedua
59
Imam Bukhori, Shahīh Bukhori dalam Ensiklopedia al-Kuţhūb al-Tis’ah,
No, 4383.
47
golongan ini saling membunuh. Orang munafik menganjurkan agar
kaum Anshar tidak memberikan nafkah atau biaya kepada kaum
muhajirin.60 Abdullah bin Ubay berkata sebagaimana diabadikan di
dalam al-Qur’an surah Al-Munafiqun ayat 8:
ُ ۡ َّ َ َّۚ َ ََ ُ ُ َ َ ئ ن َّ َ ۡ َ ٓ َ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ َّ ۡ أَ َ ُّ نۡ َ ۡ أ
ِ ِ ل ٱل ِع َّزة َوِل َر ُس
ولۦ ِ ِ يقولون ل ِ� ٰرجعنا ِإل ٱل ِدين ِة ليخ ِرجن ٱلعز ِم�ا ٱلذل و
61 َ ُ َ ۡ َ َ َن
ٰ ُ ۡ َّ َ َ ََ ۡ ُ ۡ ن
ٱل َن ِف ِق ي� ل يعلون و ِللؤ ِم ِن ي� ول ِكن
“Mereka berkata, “Sungguh, jika kita kembali ke Madinah
(kembali dari perang Bani Mustaliq), pastilah orang-orang yang
kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana.” Padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, RasulNya, dan orang-orang
mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.”
Apabila terus dianalisis, akan menimbulkan sebuah pertanyaan.
Mengapa Abdullah bin Ubay sangat mendendam Rasulullah dan
orang-orang Muslim. Hal ini disebabkan karena suku Aus dan
Kharaj sepakat mengangkatnya sebagai pemimpin, tetapi Rasulullah
datang tidak jadilah ia diangkat sebagai pemimpin.
48
kamu berbalik ke belakang(murtad)? Barang siapa berbalik ke
belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Abdurrahman As-Sa’di mengungkapkan, Allah berfirman
maksud dari ayat ini
Muhammad adalah seorang Rasul. Sebelumnya telah berlalu beberapa
Rasul. Hal ini menyatakan bahwa ini bukanlah sesuatu yang diada-
adakan oleh Nabi Muhammad. Tugasnya adalah menyampaikan
pesan Allah untuk melaksanakan perintahNya. Menyembah Tuhan
setiap saat dalam kondisi apa pun. Kemudian dilanjutkan pada
lafaz maksudnya apakah dia dia
wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Hal ini
bentuk meninggalkan sebuah keimanan dan juga jihad. Menanggapi
hal ini, Allah berfirman: barang
siapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah
sedikit pun. As-Sa’adi lanjut mengungkapkan, ia yang berbalik
akan merugikan diri sendiri. Allah memuji mereka yang setia dan
menegur mereka yang berbalik dari medan perang. Selanjutnya,
maksudnya Allah akan memberi balasan pada
orang-orang yang bersyukur. Makna lafaz ini, Syukur hanya dengan
melakukan ibadah kepada Allah dan petunjuk dari Allah agar tidak
goyah dalam keimanan. Ayat ini juga, bukti keutamaan sahabat Abu
Bakar yang memerangi orang-orang murtad.64
Dalam ayat ini kata-kata Mus’ab Bin Umair diabadikan di
dalam al-Qur’an yakni:
yang karena sakit biasa. Karena itu, Nabi Muhammad akan wafat seperti halnya
Rasul-rasul terdahulu. Pada saat perang Badar berkecamuk, tersiar berita bahwa
Nabi Muhammad wafat. Mati terbunuh. Berita ini tersiar dan mengacaukan kaum
Muslimin. Sehingga ada yang bermaksud meminta kepada Abu Sufyan (pemimpin
kaum Qurays). Sementara itu, orang munafik mengatakan kalaulah Muhammad
itu seorang Nabi – tentulah ia tidak akan mati terbunuh, maka Allah menurunkan
ayat ini untuk menentramkan hati kaum Muslimin dan membantah kata-kata oang
munafik itu. (Shahih Bukhori Bab Jihad).
64
Abdurrahmān As Sa’adi Muhammad Shalih Al-Utsaimīn, Shīrāh Nabawīyāh
(Beirut: Dār Kutub Ilmiyah, 2012), h. 90.
49
Muhammad adalah seorang Rasul. Mus’ab Bin Umair mengucapkan
hal ini sebelum ia wafat di medan perang. Sehingga, abadilah kata-
kata ini di dalam al-Qur’an. Selain itu, ayat ini pula tertuju pada
Abu Bakar, di mana ia adalah salah seorang yang memperjuangkan
kewahyuan yang dibawa Nabi Muhammad. Dalam hal ini, Abu
Bakar memerangi kaum murtad.
Pada saat Mus’ab bin Umair wafat, Rasulullah melihat jasad
syahidnya. Kemudian, Rasulullah membacakan surah al-Ahzab ayat
23:
َ َ َ ُ ْ َ َٰ َ ُ ْ َّ َ َ َ ۡ ۖ فَ نۡ ُ َّ َ ضَ نٞ َ َّ َ ۡ ُ ۡ ن
� ۡ� َب ُهۥ َو ِم نۡ ُ�م َّمن ٰ ِمن ٱلؤ ِم ِن ي� ِرجال صدقوا ما عدوا ٱلل علي ِه ِ��م من ق
65 ٗ ۡ َ ْ ُ َّ َ َ َ ۖ ُ َ َ
ينت ِظر وما بدلوا تب ِديل
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan
di antara mereka ada yang gugur. Kemudian, di antara mereka
juga ada yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
mengubah janjinya.”
Peristiwa Mus’ab bin Umair ini memang mengingatkan
pada begitu besarnya peranan keyakinan kepada Allah dan yakin
pula bahwa Rasul adalah utusanNya. Kehidupan Mus’ab dalam
meyakini akan Tuhan dan RasulNya membawa ia pada perlakuan
yang menyakiti hatinya. Ia berkorban untuk Rasulullah dan bahkan
meninggalkan kedua orangtuanya. Meskipun demikian, peristiwa
ini bukanlah mengajak kita untuk meninggalkan kedua orangtua,
tetapi bisa dibandingkan pada ayat lain yang juga mengajak untuk
tidak berkata “ah” pada orangtua, meskipun memang keduanya
tidak beriman.
Ketika Mus’ab bin Umair ketika wafat dalam perang Uhud.
Rasulullah sendiri yang menutupinya dengan kain burdah. Hal ini
terdapat dalam sebuah hadis:
65
Al-Qur’ān al-Karīm, Surah Al-Ahzab Ayat 23.
50
َ ُ ُ ْ َ َّ ُ ْ َ َ َ َّ َ ُ َ ْ َ َ َ َّ
�َ الل أخ َب َ� نَ� ش ْع َبة َع ْن َس ْع ِد ْب ِ ن� ِإ ْ ب َ� ِاه ي َ� َع ْن أ ِب ِيه ِإ ْ ب َ� ِاه ي ِ َدثنا عبدان حدثنا عبد
ْ�ا�ا َف َق َال ُق ِت َل ُم ْص َع ُب ْ نُ� ُ َع ي ً حن ْ نَ� َع ْو ٍف ُأ ت َ� ب َط َع ٍام َو َك َن َص ِئ َّ أ َّن َع ْب َد
َ ْ الر
ٍ َ َْ ُ ّ ب َ ِ ي ِ
ْ ّ ُ ْ َ َ ُ َْ ّ َُّ ف ب ِ
ط ِر ْج َل ُه َبدا َ ط َرأ ُس ُه َب َد ْت ِر ْجل ُه َو ِإن غ ِ ي َ و ْه َو خ ُ ي ٌ� ِم ِ ن ي� ك ِفن ِ ي� ُ ب ْ�د ٍة ِإن غ ِ ي
ُ
َ َ َ ُ َ َ ْ ُّ ْ َ َ َ ُ َّ َ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ ْ َ ُ َ ُ َ َ ْ ٌ نّ ث
ط أ ْو قال رأسه وأراه قال وق ِتل حزة وهو خ ي� ِم� � ب ِسط لنا ِمن الدنيا ما ب ِس
َ َ َ َّ ُُ ْ َ ْ ُّ ْ َ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ ِ ي َ ْ َ ُ َ َ َ َ ُ َ ُ ّ َ ْ َ َ ث
أع ِطينا ِمن الدنيا ما أع ِطينا وقد خ ِشينا أن تكون حسناتنا ِجعلت لنا � جعل
66 َ َ َّ َ
َي ْب ِ يك َح تَّ� تَ َ�ك الطعام
“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan telah menceritakan
kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami
Syu’bah dari Sa’d bin Ibrahim dari ayahnya Ibrahim bahwa saat
Abdurrahman bin ‘Auf sedang berpusa ia pernah diberi hidangan
makanan, kemudian dia berkata, “Mus’ab bin ‘Umair telah gugur,
padahal dia lebih mulia daripadaku, dia di kafani dengan kain
burdah, apabila kepalanya ditutup maka kakinya akan tersingkap,
dan jika kakinya ditutup maka kepalanya akan tersingkap. Dan
seingatku dia mengatakan- Hamzah gugur padahal dia lebih baik
daripadaku, setelah itu (kenikmatan) dunia dibentangkan untuk
kami atau dia mengatakan, Kami telah diberi (kenikmatan) dunia
sebagaimana yang telah diberikan kepada kami, aku khawatir
bahwa itu adalah (balasan) kebaikan kami yang didahulukan, “
kemudian ia menangis dan meninggalkan hidangan tersebut.”
Pada masa pengumpulan al-Qur’an. Selain tokoh sabahat
Rasulullah, juga disebutkan berbagai tokoh penentang seruan
Rasulullah, berikut deskripsinya:
D. Abu Lahab
Abu Lahab adalah sebuah kun’yah. Ia mempunyai nama
lengkap Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia adalah paman Nabi
Muhammad. Meskipun, berasal dari keturunan yang sama. Namun,
Abu Lahab menjadi penentang apa yang disampaikan atau apa yang
didakwahkan oleh Rasulullah. Dakwah nabi dibagi menjadi dua
tahapan: Tahapan dakwah secara sembunyi dan tahapan dakwan
secara terang-terangan. Langkah pertama menyeru kerabat dekat.
Hal ini sebagaimana wahyu yang turun pada masalah ini. Terdapat
66
Imam Bukhori, Shahih Bukhori, No. 3739.
51
dalam al-Qur’an surah Asy-Syu’ara ayat 214:
ۡ ََ َ ۡ أ َ
�ََوأ ِنذ ۡر َع ِش ي َ�تك ٱلق َر ِب ي ن
“Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
dekat.”
Pertemuan pertama: Hadirnya ayat ini, langkah pertama
yang dilakukan Nabi adalah mengundang Bani Hasyim. Mereka
memenuhi undangan ini dari, lalu berkumpul lah sekitar 45 orang.
Sebelum Rasulullah menyampaikan keinginannya. Abu Lahab
angkat bicara, “berbicaralah tidak perlu bersikap kekanan-kanakan”.
Perkataan ini, tentu membuat nabi diam. Pertemuan tersebut tidak
mendapatkan hasil.
Pertemuan kedua: Nabi menyampaikan terkait dengan
keimanannya kepada Allah. Bahwa Allah adalah satu-satunya
yang patut disembah dan tiada sekutu bagiNya. Sesungguhnya,
Aku (Muhammad) adalah utusan Allah. Selain itu, dikatakan juga
bahwa semua manusia akan mati dan akan dihisab terhadap apa
yang dilakukannya. Mendengar hal ini, Abdul Muthalib angkat
bicara, “Kami tidak suka menolongmu, menjadi penasihatmu,
dan membenarkan perkataanmu. Orang-orang yang berada di sini
sudah bersepakat tidak mengindahkan apa yang engkau katakana.
Namun, Aku lah orang yang pertama kali mendukung terhadap
apa yang kau senangi. Abdul Muthalib bersumpah, “Demi Allah”
aku akan senantiasa melindungimu dan menjagamu. Namun, aku
tidak mempunyai pilihan untuk meninggalkan agama Bani Abdul
Muthalib.67
Pertemuan ketiga: Pada pertemuan ketiga ini dilakukan
karena nabi merasa ada yang mendukung dakwahnya, yakni Abdul
Muthalib. Suatu ketika, Nabi mengumpulkan masyarakatt di Bukit
Shafa. Di bukit ini, nabi menyampaikan seruan tauhid, risalah, dan
67
Syafiur Rahman Al-Mubarakhfuri, Ar-Rohīqūl Makhtūm Bahtsūn fī Shīrāh
An-Nabāwīyah Ala Shāhibiha Afdhālīsh Shālati wa Salām, h. 76.
52
juga adanya hari akhir. Ulama bersepakata. di dalam hadis Bukhori68
mengungkapkan:
َ َ َ َ ُ ْ ََ ْ أ َ َ ْ َ َُ َّ َ َ ُ َ ُ ْ ن
اث َح َّدث َنا أ ِب ي� َح َّدث َنا ال َعش قال َح َّدث ِ ن ي� ْع ُرو ٍ ص ْب ِ ن� ِغ َي ف حدثنا عر ب� ح
ْ َ َِْ ن ُ َ ْ َ ْ ْ ن َ َّ َ ض َ َّ ُ َ نْ ُ َ َ َ َ َّ نَ ز َ ْ نُ� ُم َّر َة َع ْن
{� الل ع�ما قال لا � َلت ِاس ر ي ا� عب ن ع � ي ب ج � يد
ِ ع ِ س
َ َ َ ب َ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ أَ ْ َ ِ نَ َ َ َّ ِ ُّ َ َّ َّ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َّ َ ف
ٍ ب ٍ ب
وأن ِذر ع ِش ي�تك القر ِب ي� }ص ِعد الن ِب ي� صل الل علي ِه وس َل عل الصفا ج�عل
َ َ ُ َّ َ َ َ َ َ ن ف ْ َ َ ن َ ّ ُ ُ ُ َ ْ َ تَّ ْ َ َ ُ ف
الر ُج َل ِ َإذا ْل ُي َن ِادي ي َ� ب ِ ي� ِ� ٍر َ ي� ب ِ ي� ع ِد ٍي ِلبط ِون قري ٍش َح� َ اجتمعوا ج�عل
ك ْ ُ � َاء أ ُبو َ َل ٍب َو ُق َر ْي ٌش َف َق َال أ َرأ ْي َتَ َي ْس َت ِط ْع أ ْن ي َ خْ� ُر َج أ ْر َس َل َر ُس ًول ِل َي ْن ُظ َر َما ُه َو ف ج
َ َُ ق ُ ْ ُ ْ َ َ َ ُ ْ َ ُ ُت
َ ْ ً َ َّ َ ْ ُ ُ ْ َ ْ َ ْ َ
ك أ ك ْن تُ ْ� ُم َص ِّد ِ ي َّ� قالوا ن َع ْم َ َما ك أن خ ْيل ِب�ل َو ِادي ِ� يد أن ت ِغ ي� علي لو أخ ب�ت
َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ ّ َ َ َ ً ْ َّ َ
ْ َج َّر ْب َنا َعل ْيك ِإل ِصدقا قال ف ِإ ِ ن� ن ِذ ي ٌ� ل َ
ال أ ُبو اب ش ِد ٍيد فق ٍ ك َب ْ ي نَ� َيد ْي َعذ
ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ ي َ َ َ َ
�ََل ٍب ت ًّبا لك َس ئ ِ َا� ال َي ْو ِم أ ِ َلذا �جَ َ ْع َت َنا ف نَ زَ�ل ْت{ ت َّب ْت َي َدا أ ِب ي� َل ٍب َوت َّب َما أغ ن
69 َ َ َ َ َ ُ ُ َ ُ ْ َ
} عنه مال وما كسب
“Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats
Telah menceritakan kepada kami Bapakku Telah menceritakan kepada
kami Al A’masy dia berkata; Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin
Murrah dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma
dia berkata; Tatkala turun ayat: Dan peringatkanlah keluargamu
yang terdekat, (As Syu’ara: 214). Rasulullah ﷺnaik ke Shafa
dan berteriak memanggil-manggil; ‘Wahai bani Fihr, wahai Bani
‘Adi dari keturunan Quraisy! Hingga orang-orang pun berkumpul
dan apabila ada di antara mereka yang tidak bisa hadir, mereka
mengutus utusan untuk menghadirinya. Demikian juga Abu Jahal
dan orang-orang Quraisy pun berdatangan. Beliau bersabda, ‘Apa
pendapat kalian jika kuberitahukan kepada kalian bahwa pasukan
berkuda dari musuh di balik lembah ini akan menyerang kalian
apakah kalian akan membenarkanku (mempercayaiku)? Mereka
menjawab: Tentu, karena kamu tidak pernah berdusta. Lalu beliau
68
Imam Bukhori, Shahih Bukhori dalam Ensiklopedia Kuţhūb al-Tis’ah, No.
4397.
69
Imam Bukhori, Shahih Bukhori dalam Ensiklopedia Al- Kuţhūb al-Tis’ah,
No. 4397. Lihat juga, Imam Bukhori, No. 1307, dan Imam Ahmad, No. 2413.
53
berkata, ‘Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan azab
yang berat. Maka Abu Lahab berkata, ‘Apakah untuk ini engkau
mengumpulkan kami?! Celakalah kamu! ia berkata, Maka Allah
‘Azza wa Jalla menurunkan “Binasalah kedua tangan Abu Lahab
dan Sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. Al-Lahab: 1).”
Mari mecoba menganalisi hadis ini, dalam hadis ini, nabi
mengungkapkan kepada masyarakat, “Apa pendapat kalian
apabila di lembah ini ada pasukan kuda yang mengepung kalian,
apakah kalian akan percaya?” kemudian orang yang berkumpul
mengatakan, “Benar, Kami tidak mempunyai pengalaman bersama
engkau kecuali kejujuran.”. Nabi kemudian menyambung lagi, hal
ini dikatakan karena ini alah sebuah peringatan sebelum datangnya
azab. Mendengar hal ini, Abu Lahab tidak terima dan mengatakan,
“Celakalah engkau untuk selama-lamanya. Untuk ini kah kau
mengumpulkan kami di sini?” Peristiwa inilah, lalu turunlah ayat,
“Celakalah Abu Lahab” yang terdapat dalamsurah al-Lahab ayat
1-5:
ُ ُ ن َع ۡن ُه َم
َ الۥ َو َما َك َس َ ٓ َّ َت يَ َدا ٓ أَب ل َ َهب َوت
)2(ب ٰ َ ) َما َ أ ۡغ1(ب ٖ ِ
ۡ َت َّب
َ
جيدِها َ َ ۡ َ َ َّ َ ُ ُ َ ۡ َ َ َ ات ل
َ ارا َذ ٗ َل ن
ٰ َ ۡ َ َ
ِ ) ِف4(ب ِ ) وٱمرأتهۥ حالة ٱلط3(ب ٖ ه سيص
ٞ
70 َّ
)5( َِۢح ۡبل مِن مسد
َ ّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa
dia!71 Tidaklah berguna hartanya dan apa yang dia usahakan.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).
Dan begitu pula istrinya pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
Dilehernya ada tali dari sabut yang dipintal.”
Fakhruddin Ar-Rāzī menjelaskan dalam kitabnya Mafātih al-
Ghaīb, menurut kesepakat ayat ini merupakan Makiyyah. Ar-Rozi
mengungkapkan banyak penafsiran terkait ayat ini. Salah satunya
“Kedua tangan Abu Lahab” maksudnya adalah Abu Lahab. Hal ini
71
54
lafaz mengandung makna azab.72 Azab ini datang dari apa
yang dikatakan oleh Abu Lahab serta istrinya. Kemudian makna
ayat kedua, lafaz bermakna sebuah pengikaran. Maksudnya
mereka melakukan pengingkaran dan usaha mereka atas hartanya
tidak berguna sama sekali, bahkan mendatangkan balak. Atas
perbuatan ini, mereka di azab pada api yang berjolak.
Surah al-Lahab ini diabadikan di dalam al-Qur’an, tentu
mempunyai maksud yang sangat mendalam. Peristiwa ini menjadi
pelajaran bagi umat Nabi Muhammad, agar menjadi penguat
keimanan kepada Allah dan RasulNya. Berita mengenai adanya hari
akhir adalah sebuah pertanda bahwa hari akhir itu ada dan bersifat
niscaya. Peristiwa ini juga, menjadikan manusia agar berhati-hati
dalam berbicara. Apalagi mengada-adakan sebuah berita yang jelas-
jelas tidak ada (fitnah).
55
Khadijah menolah lamarannya tersebut. Tak berselang begitu lama,
Khadijah menerima lamaran Rasulullah. Dari sinilah, Abu Jahal
mengproklamirkan dirinya sebagai preman kota Mekah. Selain
itu, ada hal lain lagi yang membuat dendam Abu Lahab semakin
menjadi-jadi, yaitu ketika Rasulullah mengabarkan ia Isra’ Mi’raj.
Hal ini diberitahukan Rasulullah pada umatnya agar mempercayai
berita tersebut.73 Abu Jahal menentang ini dan mengatakan, “Bohong
kau Muhammad. Bagaimana mungkin dalam satu malam kau tiba di
Baitul Maqdis?”
Abu Jahal terkadang mendengar bacaan al-Qur’an yang
dibacakan Rasulullah. Namun, ia tidak pernah mengambil
pelajaran dan tidak merasa takut. Bahkan, ia mengganggu atau
mengusik Rasulullah dengan kata-kata yang tidak pantas didengar,
menghalangi dari jalan Allah, dan ketika sudah merasa bosan ia akan
pergi dan menyombongkan diri terhadap tindakannya. Seolah-olah
memancing Rasulullah agar selalu mengingat kejahatannya. Atas
dasar inilah turunlah ayat mengenai dirinya. Dalam al-Qur’an surah
al-Qiyamah ayat 31-35:
َ َ َ َ َّ ُ َّ َ َّ َ َ َ َ
ٰٓ ِ ب إ
ل ) َ ث َم ذه32(َ ك َن كذ َب َوت َ َو َ ٰل َٰ َّ َفَل َص َّد َق َول َص
ِ َ ٰ )َ َول31( ل
َ ٰ ۡ َّ ُ
ٰٓ ك فَأ ۡو َ َ َ ۡ
74
)35( ل ) ثم أول ل34() أ ۡو ٰل لك فأ ۡو ٰل33(أهلِهِۦ َي َت َم َّط ٰٓى
“Karena dia (dahulu) tidak mau membenarkan (al-Qur’an dan
Rasul) dan tidak mau melaksanakan salat, tetapi justru dia
mendustakan Rasul dan berpaling dari kebenaran. Kemudian,
dia pergi kepada keluarganya dengan sombong. Celakalah kamu!
maka celakalah! Sekali lagi, celakalah kamu (manusia)! maka
celakalah.”
Rasulullah selalu dihalangi oleh Abu Jahal. Ketika pertama
kali Rasullah salat di Masjidil Haram. Suatu ketika melihatnya
juga salat di Maqam Ibrahim, kemudian Abu Jahal berucap, “Wahai
Muhammad! Bukan kah aku telah melarangmu melakukan hal itu?”
73
Samir Abdul Halim, Ensiklopedia Sains Islam (Tangerang: PT Kamil
Pustaka, 2015), h. 99-100.
74
Al-Qur’ān al-Karīm, Surah Al-Qiyamah Ayat 31-35.
56
Rasulullah menanggapi dan memberikan peringatan. Abu Jahal
merasa bahwa ia diancam dan mengatakan bahwa golongannya
lebih banyak. Kemudian, turunlah surah al-Alaq ayat 17:
َۡ
75
فل َي ۡد ُع نَ� ِد َي ُهۥ
“Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk
menolongnya).”
Rasulullah selalu dihalangi dalam memberikan peringatan.
Namun, ia tidak pernah putus asa untuk terus melakukan kerja
risalah. Apalagi, ia didukung oleh Abdul Muthalib. Namun, ada
hal yang membuat Rasullah merasakan iba. Ia akan sangat sedih
ketika hal ini ditimpakan kepada orang yang lemah dan orang yang
condong kepada keislaman. Mereka akan disiksa dan mendapatkan
berbagai macam tekanan. Sebut saja, seperti Mus’ab bin Umair,
ia tidak diberikan makan dan diusir oleh kedua orangtuanya. Ada
lagi Bilal bin Rabab yang menyatakan Islam, dan ia suatu ketika
lehernya dikalungi tali lalu diseret oleh anak kecil disebuah bukit
di Mekah. Tak hanya itu, bahkan ketika wafat pun Bilal mendapat
tekanan, agar ia menyembah Latta dan Uzza. Namun, Bilal tetap
mengatakan “Ahad…Ahad…”
Akhir kehidupan Abu Jahal terdapat dalam hadis:
َ ُ َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ ّ َ َ َُ َّ َ َ ْ ن
الل َعل ْي ِه الل صل ِ ان عن أن ٍس قالقال رسول َ ي ُعن َ س َل ي َ� َم ٍ َ ح َّدثنا َ ب َا� َ ْأ ِب ي� َع ْ ِد
ْا� َم ْس ُعود َف َو َج َد ُه َقد ُ ن ْ َ�ل َق َال َف ْان َط َلق ْ َ ُ ُ ْ
َو َس َل ي ْوم بد ٍر من ينظر ما فعل أ َبو ج
ٍ َ ب َ ٍ
ْ َ
� ٍل قال َو َهل
َ ْ � َب ُه ْاب َنا َع ْف َر َاء َح تَّ� َ ب َ� َك َق َال َفأ َخ َذ ِب ِل ْح َي ِت ِه َوقال أ ْن َت أ ُبو َج
َ َ َ َض
َ
76 ُ ُ ُ ْ َ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ُ َ َ َ
َ َ
ف ْوق َر ُج ٍل قتل قومه أو قال قتلتموه
“Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi dari Sulaiman
dari Anas ia berkata; Rasulullah ﷺbersabda pada perang
badar, “Siapakah yang mau melihat apa yang dilakukan Abu
Jahal?” maka berangkatlah Ibnu Mas’ud untuk melihat, dan
ia mendapatkan dua anak ‘Afra` telah memukulnya hingga
Abu Jahal tersungkur, kemudian ia menarik jenggotnya seraya
75
Al-Qur’ān al-Karīm, Surah Al-’Alaq Ayat 17.
76
Imam Ahmad, Ensiklopedia Al-Kuţhūb al-Tis’ah, No. 11856.
57
berkata, “Kamukah Abu Jahal!” lalu Abu Jahal berkata, “Apakah
ada orang yang lebih mulia, yang telah dibunuh oleh kaumnya, “
atau ia mengatakan, “Yang telah kalian bunuh!”
KESIMPULAN
Kajian Ma (Man) Hawla al-Qur’ān dan Ma (Man) Ba’da al-
Qur’ān mempunyai fokus pada bagaimana kontrak sosiologis,
politis, dan antropologis. Dengan demikian, kajian mengenai
Ma (Man) Hawla al-Qur’an menitikberatkan pada apa yang
dibahas dalam al-Qur’ān. Sedangkan Ma (Man) Ba’da al-Qur’ān
menitiberatkan pada kajian sejarah mengenai sebuah tokoh atau
kaum dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an dalam proses penurunannya terbagi menjadi dua
periode yakni: periode Mekah dan periode Madinah. Kedua periode
ini memiliki berbagai macam peristiwa penting bagi orang yang
dapat mengambil pelajaran di dalamnya. Dalam makalah ini, tokoh-
tokoh yang diabadikan dalam al-Qur’an pada kedua periode ini, di
antaranya: Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihī wa sallām,
Abu Bakar, Aisyah Radhiallāhu’anha, dan Mus’ab bin Umair.
Selain itu, sebagai tokoh penentangnya yang disebut pada masa ini
adalah Abu Lahab dan Abu Jahal. Semua tokoh ini dibahas karena
mereka lah yang turut serta ditunjuk dan dijelaskan secara langsung
ketika masa penurunan wahyu.
58
DAFTAR PUSTAKA
Al-’Aak, Khalid Abdurrahman. Ushūl Al-Tafsīr wa Qawa’iduhu.
Dār Al-Nafāis, 1996.
Al-Baqilanī, Qadhī Abi Bakr Muhammad bin Thayyīb. I’jāz al-
Qur’ān. Dār Ihya al-‘Ulūm, 1988.
Al-Bakr, Abdul Qadī Muhammad. Asbāb Al-Nuzūl. Mesir:
Darussalām, 2007.
Hitti, Phillip K. History of The Arabs. New York: Palgrave
Macmillan, 2002.
Halim, Samir Abdul Halim. Ensiklopedia Sains Islam. Tangerang:
PT Kamil Pustaka, 2015.
Ibnu Asyūr. Tafsīr Al-Tahrīrū wa Tanwīr. Tunisia: Islam Kuţhūb,1884.
Ibnu Katsir, Abu Al-Fida’ Ismail Ibn Umar. Qassās Al-Qur’ān.
Lebanon: Dār Al Al-Kuţhūb Al-Ilmiyah, 2007.
Ibnu Katsīr, Imaduddin Abu Al-Fida’ Ismail. Tafsīr al-Qur’ān al-
Adzīm. Yaman: Islam Al-Kuţhūb, 1966.
Ibnu Katsir. Mukhtasyār Al-Bidāyāh wa Al-Niyāhāh.
Ibnu Jauzi. Zād Al-Masīr fī ‘Ilm Al-Tafsīr. Beirut: Dār Al-Kuţhūb
Al-Ilmiyah, 2009.
Ibnu Qayyīm Jauziyyāh. Madārīj Al-Shalihīn Hayna Manazīl.
Lebanon: Dār Al-Kuţhūb Al-Ilmiyāh, 2010.
Imam Bukhori, Ensiklopedia Al-Kuţhūb Al-Tis’ah, No. 4380.
Imam Malik, Ensiklopedia Al-Kuţhūb al-Tis’ah, No. 11856.
Imam Ahmad, Musnad Shahabiyat. No. 23578.
Imam Abu Daud, Ensiklopedia Al-Kuţhūb al-Tis’ah. Dār Alamiyah.
Al-Kandahwi, Muhammad Yusuf. Hayātu Al-Shahābāh. Beirut: Dar
Fikr, 2002.
Jabbar, Abdul Al-Qadi. Mutasyabāh al-Qur’ān al-Karīm. Beirut:
Dār Al-Kuţhūb Al-Ilmiyah, 2017.
59
Al-Mubarakhfuri, Syafiurrahman. Ar-Rohīqūl Makhtūm Bahtsūn fī
Shīrāh An
Nabāwīyah Ala Shāhibiha Afdhālīsh Shālati wa Salām. Riyadh: Dār
As-Salām, 1428.
Muslim, Mustafa. Mabāhīţs fī Al-Tafsīr Maudhūi. Damsyiq: Dār Al-
Qalām, 2000.
Najati, Muhammad ‘Usman Najati, Al-Qur’ān wa ‘ilm al-Nāfs. Dār
al-Surūq, 1982.
An-Nadawi. Sulaiman. Shirah Aisyah Ummul Mukminin. Jakarta:
Qisthi Press, 2007.
Al-Qurţhūbī. Jamī’ al-Ahkām al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 2019.
al-Qaţhţhan, Manna. Mabāhīţs fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Kairo: Maktabah
Wahbah, 2007.
al-Qaţhţhan, Manna. Mabāhīţs fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Mansurat al’Asr
al-Hadīţs, 1990.
Al-Qaţhţhan, Manna. Mabāhīţs fī ‹Ulūm al-Qur›ān. Kairo: Maktabah
Wahbah, 1995.
Al-Qur’ān al-Karīm
Ar-Razī, Fakhruddin. Mafātih al-Ghaīb. Beirut: Dār Al-Fikr, 1990.
As-Syalabi, Ali Muhammad. Al-Syirātu Al-Nubuwwah. Beirut:
Markaz Kitab Al-Kadimi, 2018.
Asy-Suyuţhī, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abu Bakar, Tarīk
Khūlafā. Saudi Arabia, Dār al-Manhaj, 1434.
Asy-Syaukanī, Muhammad Ali Ibn Muhammad. Fāthūl Qādīr.
Beirut: Darul Arqām bin Abil Arqām, 2016.
Thahan, Muhammad. Taisīr Musthālahul Hadīs. Dār Al-Fikr. Tanpa
tahun.
At-Thābārī, Ibnu Jarīr. Jamī’ Al-Bayān Al-Ta’wil Aŷ Al-Qur’ān.
Mesir: Matba’ah Mustafa Bābī Al-Halābi, 1954.
60
At-Thābārī, Ibnu Jarīr. Jamī’ al-Bayān Al-Ta’wīl Ayy al-Qur’ān.
Beirut: Dār Kuţhūb Al-Ilmiyah, 1971.
Al-Utsaimīn, Abdurrahman As-Sa’adi Muhammad Shalih. Shirāh
Nabawiyyāh. Beirut: Dār Kuţhūb Ilmiyāh, 2012.
Watt, Montgomeri Watt. Muhammad’s Mecca: History in The
Quran. London: Edinburgh University Press, 1982.
Az-Zarqānī Muhammad ‘Abd Al-‘Azīm, Manāhil fī ‘Ulūm al-
Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1988.
Az-Zamaksyarī. Al-Kasyāf. Riyadh: Maktabah Al-Abikan, 1998.
61
62
AL-ITTIJAH AL-ASY'ARI:
STUDI KASUS TAFSIR AL-RAZI
~Ahmad Hudori~
PENDAHULUAN
Sebuah proses membaca tidak akan terlepas dari dua hal yaitu
latar belakang pembaca dan latar belakang situasi.1 Latar belakang
pembaca mengarahkannya memaknai objek dengan kebenaran-
kebenaran yang ia yakini, baik dalam pengertian menjadikan latar
belakang itu sebagai bingkai pemaknaan, atau justru menjadikan
objek sebagai pembenaran bagi keyakinan-keyakinanya. Sementara
situasi di sekitar proses membaca merupakan kenyataan yang
menuntut pembaca untuk bersikap terhadap objek. Dengan begitu,
proses pembacaan secara tidak sadar diarahkan untuk memecahkan
problem yang dihadapi pembaca.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya
dikenal ada dua corak pemikiran kalam yang kontradiktif. Pemikiran
kalam Muktazilah mempunyai pemikiran bercorak rasional atau
pemikiran yang bertumpu pada logika, sedangkan aliran al-
Asy’ariyah mempunyai pemikiran bercorak tradisional, pemikiran
kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat
kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak
Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna
harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Abu al-
Hasan al-Asy’ari sebagai penggagas dan pendiri aliran al-Asy’ari.
Seperti kita diskusikan pada makalah sebelumya terkait
Ittijah Mutajili; studi kasus tafsir al-Kasyaf yang dikarang oleh al-
1
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa l-Turath Qira’at Mu’asirah fi
Turathina al-Falsafi. Bayrut: Markaz Tsaqafi ‘Arabi. 1993, h. 22.
63
Zamakhsari, maka pada pembahasan selanjutnya menarik untuk
didiskusikan terkait tafsir Mafatih Ghaib yang dikarang oleh
Fakhruddin ar-Razi yang berfaham pada Asy’ariah yaitu aliran
teologi tradisional yang disusun oleh Abu Hasan al- Asy’ari (935)
sebagai reaksi atas teologi Mu’tazilah. Dalam penggolongan teologi
Islam, Asy’ariah dan Maturidiah keduanya disebut Ahli Sunnah
wal-Jamaah.2 Menariknya, Imām Fakhruddîn Ar-Rāzî merupakan
seorang ulama yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu
secara komprehensif. Hal ini tergambar dari tulisan beliau di dalam
tafsîr Mafātîḥul Ghaib yang memuat berbagai macam disiplin ilmu,
baik ilmu fiqih, uṣul, naḥwu, balagah, astronomi, kedokteran, dan
lain sebagainya, bahkan Abu Hayyan menyebutkan bahwa Imām
Fakhruddîn Ar-Rāzî mengumpulkan segala hal secara terperinci
di dalam tafsirnya. Sehingga tidaklah aneh, apabila kitab tafsîr
Mafātîḥul Ghaib dijadikan sebagai rujukan oleh banyak orang dari
berbagai latar belakang.3
Umumnya, seorang mufassir memiliki latar belakang kehidupan,
intelektual, sosio politik yang beragam. Ia sejak kecil dididik dalam
kultur epistemologis tertentu, dengan rangkaian sanad yang baku
dan keyakinan-keyakinan yang beragam. Tidak heran jika hal ini
terkadang menimbulkan sifat fanatik dalam diri mufassir. Namun
di sisi lain juga dapat mengokohkan keilmuannya dan dijadikan
landasan yang kuat dalam memberikan argumentasi secara fleksibel
dan berbobot. Dalam pembahasan makalah Ushul Tafsir penulis
akan mendudukan posisi penulis sebagai pembaca sehingga
dalam menganalisis ittijah asy’ariyyah dalam kitab Mafatih Ghaib
cenderung bersifat objektif.
Makalah ini juga akan memaparkan latar belakang Fakhruddin
ar-Razi sebagai seorang mufasir dengan karya-karyanya. Sehingga
2
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taariikh al-Mazaahib al-Islamiyah fi
as-Siyaasah wa al- ‘Aqaaidi wa taariikhu al- Mazaahibi al-Fiqhiyah, (al-Qaahirah:
Daar al-Fikr al-Arabiy, 1996). h.163
3
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wal Mufassîrūn, Qohiroh: Mak-
tabah Wahbah, 1396H/ 1976M, Juz. 1, h. 207.
64
setelah mengetahui itu, penulis akan lebih mudah untuk menggali
informasi yang lebih luas dan khususnya fokus pada pembatasan
masalah mengenai Ittijah Asy’ariyyah: Studi Kasus Tafsir ar-Razi.
4
Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al- Mufassirun, h. 290
5
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2011), h. 528
6
Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Juz I, (Beirut: Dar al- Fikr,
1990), h.3
7
Fathullah Khalif, Fakhruddin ar-Razi, Iskandariah: Danal Jamiat al Mishri-
yah, 1977, h. 1, 6-7
65
(karya Abu Hasan al-Bishri).8 Di samping itu, ia juga menaruh
perhatian yang sangat besar terhadap kitab al-Mufashshal (karya
al-Zamakhsyari) dalam ilmu nahwu dan kitab al-Wajiz (karya al-
Gazali) dalam ilmu fiqhi. Kedua kitab tersebut telah disyarahnya.
Kemudian ia juga mempelajari dua buah kitab karya Abdul Qahir
dalam ilmu balaghah dan meringkasnya dalam sebuah kitab yang
diberi judul: Nihayat al-Ijaz fi Dirayat al-Ijaz.
Berkaitan dengan ilmu kalām, beliau terhitung sebagai ulama
ahli kalām yang paling terkenal dalam madzhab Asy’ari. Sehingga
terdapat statemen yang menyatakan bahwa beliau hampir setingkat
bahkan melampaui Imam Asy’āri dan Imam Syafi’î, karena beliau
sering menjawab beberapa permasalahan yang terdapat dalam ilmu
kalām dan ilmu fiqh,9 seperti permasalahan tentang esensi dan
eksistensi Al-Qurān.
Al-Razi menikah dengan salah satu anak konglomerat. Istri al-
Razi merupakan anak seorang dokter ahli di Ray. Sejak menikah,
kehidupan Al-Razi dari segi ekonomi mulai tercukupi. Dari
pernikahannya ini al-Razi dikaruniai lima anak. Yaitu tiga anak
laki-laki dan dua anak perempuan. Anak al-Razi yang laki-laki
bernama Dhiya’ al Din, Syams al-Din, dan Muhammad.10 Dhiya’
al-Din yang merupakan anak tertua ini aslinya bernama Abdullah.
Ia dikenal sebagai ulama yang menaruh perhatian cukup besar
kepada ilmu pengetahuan. Ia juga menjadi tentara dan mengabdikan
dirinya kepada Sultan Muhammad bin Taksy. Sedangkan Syams
al-Din adalah anak terakhir yang mengikuti jejak al-Razi dan juga
menyandang gelar Fakhr al-Din. Ia terkenal memiliki banyak
kelebihan dan kepandaian yang luar biasa. Namun anak al-Razi yang
bernama Muhammad ini meninggal waktu al-Razi masih hidup. Al-
8
Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin (Kairo: t.p,
t.th), h. 114
9
Muhammad Ali As-Shabuni, At-Tibyan Fî ‘Ulūmil Qur’ān, Karachi: Makta-
bah Al-Bushra, 1432H/ 2011M, h. 137.
10
Ali Muhammad Hasan ‘Amari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; Hayatuhu wa
Atharuhu, (t. tp.: al-Majlis al-A’la lial-Shu’un al-Islamiyyah, 1969), hal. 24
66
Razi sangat terpukul dengan peristiwa itu, sehingga tidak heran jika
al-Razi sering menyebut-nyebut nama anaknya ini dalam tafsir surat
Yunus, Hud, al-Ra’d, dan Ibarahim.11
Salah satu anak perempuan al-Razi dinikahi dengan Ala al-Mulk,
seorang wazīr (menteri) sultan Khawarazmsyah Jalal al-Din Taksy
bin Muhammad bin Taksy yang terkenal dengan julukan Minkabari.
Ala al-Mulk adalah seorang pakar dalam bidang sastra, khususnya
dalam bahasa Arab dan Persia. Sedangkan anak perempuan lainnya
hanya disebutkan dalam riwayat ketika pasukan Mongol di bawah
pimpinan Jengis Khan memasuki kota Herat, kediaman al-Razi
dan keluarga. Ala al-Mulk meminta perlindungan kepada Jengis
Khan atas anak-anak Syaikh Fakhr al-Din dan permohonannya itu
dikabulkan. Ketika itu disebutkan bahwa anak perempuan yang
terakhir ini termasuk di dalamnnya.12
Imām Ar-Rāzî adalah sosok yang lemah lembut dan santun
dalam memberikan nasihat. Beliau menguasai dua bahasa, yaitu
bahasa arab dan bahasa Persia. Pada akhir masa kehidupannya,
Imām Ar-Rāzî hidup sebagai seorang sufi.13 Semasa hidupnya
al-Razi selalu berhijrah (berkelana) ke berbagai daerah untuk
belajar, diantaranya adalah Khawarizm, Transoxania, Afghanistan
dan sebagainya.14 Namun awal pendidikan al-Razi yaitu dimulai
dengan belajar langsung kepada ayahnya sendiri yaitu Diya’ al-Din
‘Umar ibn Husain, yang populer dengan sebutan Khatib al-Rayy.
Yakni, seorang ulama terkemuka dan pemikir yang dikagumi oleh
masyarakat Rayy. Ia adalah salah seorang tokoh teolog madzhab
Asy’ariyah dan tokoh fiqh madzhab Syafi’iyah. Berbagai ilmu ia
pelajari dari ayahnya hingga akhir wafatnya (559 H).15
11
Ali Muhammad Hasan ‘Amari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; h. 25-26
12
Ibn al-Katsîr al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid VII juz XIII, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tt, h. 61
13
Muhammad Ali Ayāzi, Al-Mufasirūn Hayātuhum wa Manhājuhum, Cet. 1,
Taheran: Wizanah Al-Tsiqafah wa Al-Insyaq Al-Islam, 2002 M, h. 651.
14
Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Juz 1, h. iii
15
M. Salih al-Zarkan, Fakhruddin al-Razi, al-rauh al-Kalamiyah wa al-Fala-
67
Perawakan Fakhruddin Al-Razi adalah memiliki postur tubuh
yang sedang, tubuh yang berisi, jenggot yang lebat, suara yang
merdu, penuh wibawa dan sopan, memiliki harta yang melimpah,
memiliki budak, dan pakaian yang bagus serta penampilan yang
rapi. Beliau memiliki lima kelebihan yang tidak ada pada selainnya
yaitu keluasan pandangan, ketenangan dalam berpikir, semangat
dalam meneliti, ingatan yang kuat dan otak yang cerdas.16
Fakhruddin ar-Rāzī adalah seorang ulama yang mempelajari
ilmu- ilmu naqliyah dan ilmu-ilmu rasional, beliau juga sangat
menguasai ilmu Logika, Filsafat, dan ilmu Kalam. Mengenai
bidang-bidang tersebut ia telah menulis beberapa kitab dan
komentarnya, sehingga ia dipandang sebagai seorang Filusuf pada
masanya. Kitab-kitabnya menjadi rujukan penting bagi mereka
yang menanamkannya sebagai filusuf Islam. Berkat kesungguhan
dan keuletannya dalam menuntut ilmu jadilah ar-Rāzī yang dikenal
dengan pakar-pakar dalm ilmu logika pada masanya dan salah
seorang Imam dalam Ilmu Syar’i ahli tafsir dan bahasa, sebagaimana
ia juga dikenal sebagai ahli dalam madzhab as-Syafi’i.17
Selain sebagai seorang mufassir, beliau juga seorang pakar
Fiqih dan Ushul fiqih. Ilmu kalam, Ilmu Kedokteran dan Filsafat.
Mengenai bidang ilmu-ilmu tersebut ia telah menulis beberapa kitab
terkait ilmu tersebut, dan menjadi rujukan banyak ulama-ulama
sesudahnya. Beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu.
Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru
negeri, untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau.18
Lebih jelasnya, silsilah keilmuan al-Razi bersambung dengan
Imam Syafi’i melalui jalur al-Muzanni, dari ‘Ali Abi Qasim al-
safiyah (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 17
16
Muhammad AlDzahabi, Tarikh..., vol. 43, h. 214
17
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Manhaj al-Mufassirin, Terj. Syahdianor dan
Faisal Saleh, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, PT
Raja Grafindo Persada, 2006, h. 320.
18
Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman, Manhaj al-Fakhr al-Razi fi al-Taf-
sir, (Kairo: dar a-lHandasiyah 2001), h. 24.
68
Anmati, dari Abi ‘Abbas ibn Surayj, dari Abu Ishaq al-Murwazi,
dari Abu Zayd al-Murwazi, al-Qaffal al-Murwazi, dari Husayn al-
Murwazi dan al-Farra’ al-Baghawi. Sedangkan silsilah ilmu kalam
al-Razi didapatkan dari Sulayman ibn Nasir al-Ansari. Beliau adalah
murid dari al-Juwayni (guru Imam al-Ghazali), bersambung pada
Abu Ishaq al-Isfirayani, Abu Hasan al-Bahili hingga sampai pada
Abu Hasan al-Asy’ary.19
PARA GURU DAN MURID FAKHRUDDÎN AR-RĀZÎ
Perjalanan panjangnya ke beberapa daerah tersebut
memungkinkannya untuk menemui beberapa ulama yang kemudian
dijadikan guru dalam berbagai disiplin ilmu, utamanya dalam bidang
tafsir. Diantara beberapa ulama yang kemudian menjadi gurunya
yaitu:
1. Salmān ibn Nasir ibn Imrān ibn Muhammad ibn Isma’īl ibn Ishaq
ibn Zaid ibn Ziyād ibn Maimun ibn Mahran, Abu Al-Qasim al-
Anshari, salah seorang murid imām al-Haramain
2. ‘Abd Mālik bin ‘Abdullah ibn Yusuf ibn’ Abdullah ibn Yusuf
ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Imām Al-Haramain
iyauddin Abu Al-Ma’ali l-Juwaini.
3. Ibrahīm ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Mahran, Al-Imām
Ruknuddīn Abu Ishak Al-Isfirayani, seorang pakar teologi dan
hukum islam dari Khurasan.
4. Abu usain Muhammad ibn Muhamad ibn Abdurrahān ibn As-
Sa’īd Al-Bahīli.
5. ‘Ali ibn Isma’īl ibn Ishaq ibn Sālim ibn Isma’īl ibn ‘Abdullah ibn
Musa ibn Bilāl ibn Abu Bard ibn Abu Musa, seorang teolog yang
terkenal dengan nama As-Syaikh Abu asan Al-Asy’ari Al-Basri.
6. Muhammad ibn ‘Abdul Wahhāb ibn Salām Abu ‘Ali Al-Jubbā’i,
seorang tokoh teolog mu’tazilah.
19
Khadijah Hammadi, Manhaj al-Imam Fakhruddin al-Razi, Bayna al-
Asya’irah wal Mu’tazilah, (Bayrut: Dar al-Nawadir, 2012), h. 35-36.
69
7. Al- asān ibn Mas’ūd ibn Muhammad abu Muhammad al-
Bagāwi. Dari tokoh ini, Fakhruddīn Al-Rāzi mendalami filsafat,
disamping dari guru lainnya, terutama Majduddīn al-Jilli.
8. Al- usain ibn Muhammad ibn Ahmad al-Qa i, Abu ‘Ali al-Maruzī.
9. ‘Abdullah ibn Ahmād ibn’ Abdulāh al-Maruzī, Abu Bakār al-
Qaffāl as-Shagīr.
10. Muhammad ibn Amād ibn ‘Abdullāh.
11. Ibrahīm ibn Amād Abu Isḥ āq al-Maruzī.
12. Amād ibnu ‘Umar ibn Sari’ al-Qai Abu al- ‘Abbās al-Bagdādi.
13. ‘Usmān ibn Sa’īd ibn Bar Abu al-Qasīm al-Anmati al-Bagdādi
alA wāl.
14. Muhammad ibn Idrīs ibn al- ‘Abbās ibn ‘Usmān ibn al-Syafī’i
ibn aS-Sayb ibn ‘Ubaid ibn Abu Yazīd ibn Hasyīm ibn ‘Abdul
Muṭṭalib kakek Rasulullah SAW.20
Adapun Murid-murid Fakhruddin Ar-Razi memiliki murid yang
banyak dari setiap penjuru, namun yang dianggap paling populer
adalah:
1. Abd al-Hamīd ibn ‘Isa ibn Umrawiyah ibn Yusuf ibn Khalīl ibn
Abdullāh, ibn Yūsuf. Ia adalah seorang ulama ahli fiqh dan teologi
Islam (Mutakallimin). Nama kebesarannya adalah Al- ‘Allāmah
Syamsuddīn atau Abu Muhammad Muhammad al-Khasrusḥāhi.
2. Zaki ibn Ḥāsan ibn ‘Umar, yang terkenal dengan nama Abu
Amad al-Biliqāni. Ia adalah seorang ahli fiqh, teolog, ahli ushul
dan muhaqqīq (ahli manuskrip).
3. Ibrahīm ibn ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali, nama sebutan lainnya
adalah Imaduddīn Abu Ma’āli atau Al-An arī al-Khuzrajī al-
Zanjanī.
20
Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman, Manhaj al-Fakhr al-Razi fi al-Taf-
sir, (Kairo: dar al-Handasiyah 2001) h. 18, Abdul Qadir Atha, Al-imam, (Kairo,
1998), 329.
70
4. Ibrahīm ibn Muhammad al-Sulamī al- Magrabī adalah seorang
hakim yang terkenal diwilayah pinggiran Mesir.
5. Amād ibn Khālil ibn Sa’ādah ibn Ja’fār ibn Isa al-Mihlabi. Ia
adalah ketua hakim yang terkenal dengan nama Syamsuddīn Abu
al- ‘Abbās atau al-Khubi.21
71
Banyaknya karya yang dihasilkan oleh Fakhruddin Ar-Rāzî hal
ini tentunya membuktikan bahwa Ia tidak hanya baik dalam metode
komunikasi dan penyampaian, tetapi juga sangat memperhatikan
pada sisi ilmiah dari pengetahuan. Selain itu, karya yang dihasilkan
oleh Fakhruddîn Ar-Rāzî tidak hanya membahas satu rumpun ilmu
pengetahuan, tetapi juga membahas dari berbagai macam ilmu
pengetahuan, seperti filsafat, tata bahasa, astronomi, sejarah, dan
lain-lain.
Popularitas al-Razi dalam dunia muslim adalah dalam hal
penafsirannya terhadap al-Qur’an sebagaimana ia popular juga
dalam karya-karya teologi. Ia mencurahkan perhatiannya terhadapa
al-Qur’an sejak masa kanak-kanak dan belajar tafsir kepada
ayahnya. Meskipun ia mempelajari ilmu pengetahuan lain. tetapi
tidak menurunkan kecintaannya terhadap al-Qur’an. Al-Razi pernah
menulis di usia senjanya “aku telah berpengalaman dengan semua
metode ilmu teologi dan filsafat, tetapi aku tidak mendapatkan
manfaat darinya sama dengan manfaat yang aku dapatkan dari
membaca al-Qur’an”.23
Terbukti Karya terbesarnya yang terkenal di bidang tafsir adalah
Mafātih al-Gaib, yang dikoleksi dan disusun oleh Ibn al-Khu’i dan
al-Suyuti setelah wafatnya, mendapatkan sambutan sejak abad
ke-6 hinggga sekarang. Al-Razi menjadikan tafsirnya ini alat untuk
membuka ensiklopedi pengetahuannya. Ia menggabungkan prinsip-
prinsip ilmu pengetahuan dengan prinsip-prinsip wahyu Islam,
karena ia berkeyakinan bahwa al-Qur’an menjadi dasar seluruh ilmu
pengetahuan.24 Namun terdapat sebuah pendapat yang mengatakan
bahwa al-Razi tidak menyelesaikan penulisan kitab tafsirnya. Pada
sesi pertama ditulis oleh al-Razi, sedangkan sesi kedua dilanjutkan
oleh dua orang pengikutnya, yaitu al-Syaikh Najm al-Din bin Khalil
23
Ibrahim Madkoer, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Trj, Yudian Asmin, Bumi
Aksara, Jakarta, 1995, h. 52
24
Fakhruddin al-Razy, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Maktabah
at-Taufiqiyah, Kairo, 2003, h. 128
72
al-Khuwayya. Al-Razi menulis kitab tafsirnya secara berurutan
sampai surat al-Anbiya (surat ke-21). Selain itu, al-Razi menulis
secara acak – tidak mengikut urutan mushaf – seperti dalam
menafsirkan surat al-Syu’ara, al-Qiyamah, al-Humazah, al-Qalam,
al-Ma’arij, dan an-Naba’.25
73
ayat yang berhubungan dengan fikih beliau berusaha menyajikan
perbincangan-perbincangan mengenai fikih dan cenderung membela
madzhab Syafi‟i, demikian pula dengan ayat-ayat yang menyangkut
bidang kesehatan, kedokteran, fenomena fisika, dan sebagainya ar-
Rāzī berupaya mengungkapkannya berdasarkan disiplin ilmu yang
dimilikinya27
Penulisan tafsir ini dilakukan al-Rāzī pada masa akhir-akhir
sisa usianya, saat perpindahannya ke Khawarizm dan menghabiskan
waktu dengan belajar dan mengajar disana. Di kota ini, al-Rāzī
harus berhadapan dengan kelompok Karramiyah dan Mu’tazilah
serta melakukan perdebatan dengan mereka tentang persoalan
kalam. Secara historis tafsir ini memiliki kaitan erat dengan kondisi
pemikiran Mu’tazilah yang merajalela saat itu, dibuktikan dengan
eksisnya tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyarī. Pengaruh ini tidak
terbantahkan dengan beberapa uraian yang jelas sebagai counter
attack terhadap pondasi rasionalitas kaum Mu’tazilah. Kondisi
ini, membuka cakrawala pemikiran al-Rāzī dalam menangkap
kondisi keagamaan masyarakat muslim waktu itu yang mulai
memahami tafsir al-Kasysyaf, karena pengaruh susunan bahasa
dan analisisnya al-Zamakhsyari yang begitu aktual. Hal lain yang
menjadi kegelisahan adalah pengaruh doktrin Mu’tazilah melalui
tafsir tersebut mulai dirasakan al-Rāzī dan mengancam eksistensi
ideologi Ahlu al-Sunnah.28
Tafsîr Mafātîḥul Ghaib atau yang dikenal sebagai tafsîr Al-Kabîr
dikategorikan sebagai tafsîr bir ra’yi (tafsir yang menggunakan
pendekatan akal), dengan pendekatan Mazhab Syāfi’iyyah dan
Asy’āriyah. Tafsîr ini merujuk pada kitab Az-Zūjāj fî Ma’ānil Qurān,
Al-Farra’ wal Barra dan Gharībul Qurān, karya Ibnu Qutaibah
27
Said Agil Husin Al Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, h. 108
28
‘Abd al-‘Azīz al-Majdūb, Fakhr al-Dīn al-Rāzī Min Khilāli Tafsirihī (Tu-
nis: Dār al-‘Arabiyyah al-Kitāb, 1980), h. 60
74
dalam masalah gramatika.29 Riwayat-riwayat tafsîr bil ma’tsur yang
jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu Abbās, Mujāhid, Qatadah,
Sudai, Sa’id bin Jubair, riwayat dalam tafsîr Aṭ-Ṭabarî dan tafsîr
Aṡ-Ṡa’ālabî, juga berbagai riwayat dari Nabi SAW, keluarga, para
sahabatnya serta tabi’in. Sedangkan tafsîr bir ra’yi yang jadi rujukan
adalah tafsîr Abū ‘Alî Al-Juba’i, Abū Muslim Al-Aṣfiḥanni, Qaḍi
Abdul Jabbār, Abū Bakar Al-Aṣmam, ‘Alî bin ‘Īsa Ar-Rumaini, Az-
Zamakhsyarî dan tafsîr Abul Futūh Ar-Rāzî.30
Menurut Muḥammad Ḥusein Az-Zaḥabî, terdapat empat metode
yang diperhatikan oleh Imām Fakhruddîn Ar-Rāzî dalam penulisan
tafsîrnya, yaitu:
1. Memperhatikan penjelasan munāsabaḥ antar surah di dalam Al-
Qur’ān.
Az-Zaḥabî menyatakan, bahwa Imām Fakhruddîn Ar-Rāzî
sangat mementingkan munāsabaḥ antar ayat dengan ayat lain
dan antar surah dengan suraḥ lain, bahkan Imām Fakhruddîn Ar-
Rāzî tidak hanya menyebutkan satu munāsabaḥ saja, tapi banyak
munāsabaḥ.31
2. Sangat perhatian terhadap ilmu pasti dan filsafat.
Imām Fakhruddîn Ar-Rāzî di dalam tafsîrnya sangat perhatian
terhadap ilmu pasti dan filsafat. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya argumen filsafat yang dikemukakan beliau, tidak
hanya sampai disitu beliau juga membantah argumen-argumen
tersebut dengan argumen yang lebih kuat sesuai dengan
keyakinan Ahlu Sunnah.
3. Terbuka terhadap pendapat Mu’tazilah.
Keterbukaan Imām Fakhruddîn Ar-Rāzî terhadap pendapat
Mu’tazilah dibuktikan dengan dipaparkannya pendapat-pendapat
29
Manna’ Kholil Al-Qotton, Mabāhiṡ fî ‘Ulūm Al-Qur’ān, Riyadh: Mansurat
Al-‘asri AlHadist, 1411 H, h. 367.
30
Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufasirūn Hayātuhum wa Manhājuhum, h. 652
31
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wal Mufassirūn, h. 209
75
Mu’tazilah di dalam tafsir beliau. Walaupun disebagian dari
pendapat tersebut ada yang ditarjiḥ.
4. Memasukkan Ilmu Fiqih, Uṣul, Naḥwu dan Balagah di dalam
tafsîr.
Di antara kelebihan tafsîr Ar-Rāzî adalah keluasan kajian
terhadap pembahasan Naḥwu dan Balagah di dalam Al-Qur’ān,
akan tetapi kajian terhadap Naḥwu dan Balagah Al-Qur’ān tidak
lebih detail dari pada kajian terhadap ilmu pasti dan filsafat.
Kelebihan lain dari tafsîr Ar-Rāzî adalah dalam membahas ayat-
ayat tentang hukum tidak pernah melewatkan penjelasan dari
semua mazhab-mazhab fiqih.32
Jika dibanding dengan tafsir bil-ra’yi lainnya, terlihat tafsir Al-
Razi lebih unggul dari sisi kuantitas. Bahkan, berkenaan dengan QS.
Al-Fatihah yang menjadi perhatian penulis, Tafsir al-Khozin karya
al-Baghdadi hanya menghabiskan 7 halaman.33 sama seperti Tafsir
al-Baydawi karya Nasiruddin al-Syirazi, yang menjelaskan Al-
Fatihah juga dalam 7 halaman Sementara Abu al-Barakat al-Nasafi
menjelaskan al-Fatihah dalam 9 halaman melalui Tafsir al-Nasafi.34
Jauh melebihi tafsir-tafsir tersebut, Al-Razi membahas al-Fatihah
dalam 1 jilid kitabnya, setebal 293 halaman.
Dalam referensi lain ‘Abdul Jawad meringkas metode tafsir
Al-Razi ke dalam enam ciri berikut35: Pertama, menampilkan ayat
atau surat yang memiliki munasabah dengan ayat yang ditafsirkan.
Kedua, menampilkan kajian empirik dan teologis seputar ayat
yang dibahas. Ketiga, menentang pemikiran Muktazilah. Keempat,
menjelaskan aspek hukum berkenaan dengan ayat yang dibahas.
Kelima, menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan
32
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wal Mufassirūn, h. 210
33
‘Ala’uddin ‘Ali ibn Mammad ibn Ibrahim al-Baghdadi, Lubab al-Ta’wil
fi Ma’ani al-Tanzil (Tafsir al-Khozin). Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. h. 15-22
34
Abu al-Barakat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafi. 1998. Madar-
ik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Bayrut: Dar Kalim Tayyib. h. 25-32.
35
Abd al-Jawwad Khalaf Muhammad ‘Abd al-Jawad. Madkhal ila al-Tafsir
wa ‘Ulum Al-Qur’an. Qahirah: Dar Bayan Ara’bi, t.th. h. 140
76
ayat. Keenam, memaparkan aspek kebahasaan, ragam qiraat, yang
biasanya digunakan untuk mendalami makna kata per kata. Seperti
dalam penafsiran Surat Thaha36 ayat 1-8.
ََ ً َ ٰ َّ ّ ً ْ َ َّ ٰٓ ْ َ َ ٰ ُ ْ َ َ ْ َ ٓ ٰ
ت نْ زِ� ْيل ِّ َّم ْن خل َق٣ ۙ � اِ ل تذ ِك َرة ِ َل ْن ي خْ� ش٢ ۙ � َما ا نْ زَ�ل َنا َعل ْيك الق ْران ِلتش ق١ ۚ ط ٰه
َّ � َ ٗل َما ِ ف٥ ح ُن َع َل ْال َع ْرش ْاس َت ٰوى
الس ٰم ٰو ِت َو َما ٰ ْ َا َّلر٤ ۗ الس ٰم ٰو ِت ْال ُع ٰل
َّ ال ْر َض َو َْ
ِ
ٰ ْ َ َّ ّ ُ َ ْ َ ٗ َّ َ ْ َ ْ ْ َ ْ ََ ْ ت
�الس َواخ ف ِ اِو ن ج�هر ِب�لقو ِل ف ِانه يعل٦ ال�ى ٰ َّال ْرض َو َما َب ْي نَ ُ� َما َو َما تَ ْ� َت ث َْ ف
�ِ
ْ ۤ َ ْ َ َّ ِ ٓ َ ّٰ َ
٨ �ٰال ْس ن ْ ۗ
ُ لل ل اِ ٰ َل اِ ل ه َو ُل ال َسا ُءُ ُ ا٧
Pertama, Al-Razi menampilkan 5 model qira’ah dalam
membaca fatih surah (Taha). 1) qira’ah Abu Amr, Ta hi (t fathah dan
h kasrah); 2) qira’ah ahl-madinah, ta he (t fathah dan h imalah); 3)
Ibn Amr dan Ibn Katsir, Ta ha (t dan h fathah); 4) qira’ah Hamzah
dan Kisa’i, Ti Hi (t dan h kasrah); serta 5) Qira’ah az-Zajjaj, Tah (t
fathah dan h’ sukun)
Kedua, Al-Razi menampilkan pendekatan bahasa tentang makna
kata tersebut, dengan 1) mengutip Tsa’lab: ta berarti pohon tuba, dan
ha berarti hawiyah. Yang kesimpulannya bahwa Allah bersumpah
atas nama Surga dan neraka; 2) mengutip Ja’far Al-Sadiq, bahwa
ta berarti taharah, dan ha’ berarti huda, dengan demikian yang
dimaksud taha adalah kesucian ahl bayt dan peran mereka sebagai
penunjuk (pasca Rasulullah); 3) mengutip Sa’id ibn Jubayr bahwa
taha yang dimaksud sebagai salah satu nama Rasulullah.
Ketiga, Al-Razi menjelaskan sabab nuzul, yang menurutnya
ada beberapa versi.
1) Bahwa Abu Jahal, Walid ibn Mughirah dan Mat’am ibn ‘Adi
mengutuk Rasulullah bahwa Rasulullah akan celaka jika
meninggalkan agama leluhur Arab, dan mereka kukuh dengan
kutukan itu meski Rasulullah mengaku risalanyanya sebagai
“rahmatan lil ‘alamin,” maka turunlah ayat ini;
36
Fakhruddin Muhammad ibn ‘Umar AlRazi. 1981. Mafatih al-Ghayb. J.
XXII, Bayrut: Dar al-Fikr. h. 2-5
77
2) Ketika Rasulullah melaksanakan Qiyam lail, hingga kakinya
bengkak, lalu Malaikat Jibril menegur Rasulullah agar menjaga
kesehatan fisik, bahwa Alquran diturunkan agar Rasulullah
“menyiksa” diri sendiri, dan turunlah ayat ini [yang berarti:
ma anzalnahu lituhlika nafsaka bil ‘ibadah]. Keempat, Al-Razi
menjelaskan aspek kebahasaan, tentang alasan kata tanzil dibaca
nasab, dan mungkin dibaca rafa. Selain itu, menurutnya, peralihan
kata ganti (damir) dari orang pertama (na, pada anzalna) menjadi
orang
Keempat, (huwa muqaddar pada khalaqa) di antaranya karena
redaksi pertama dengan format orang pertama, mengisyaratkan
keterlibatan Jibril yang menceritakan. Kelima, Al-Razi mengutip
hadits tentang keutamaan kalimat tahlil (La Ilaha Illa Allah), dengan
tiga silsilah periwayatannya. Dari paparan tafsir QS. Taha: 1- 8
di atas, terlihat bahwa 6 karakteristik yang disebut di atas tidak
semuanya ditemukan dalam tiap penafsiran atau pada tiap rumpun
ayat. Bahkan, karakteristik pertama hingga ketiga tidak ditemukan
di sana.
Namun, pada penafsiran QS. Al-Anbiya: 1-2, Al-Razi
menampilkan 1) munasabah dan 2) kritik terhadap kelompok
Muktazilah.37
ْ ْأ َ َْ َ َ ُُ ُ ف ْ
َما َ ي� ِت يْ ِ� ْم ِّم ْن ِذ ك ٍر ِّم ْن َّر ِبّ ِ� ْم١ ۚ ا� ْم َو ْه ِ ي ْ� غف ةٍل ُّم ْع ِر ُض ْون اس ِحس ب ِ اِ ق تَ َ� َب ِل َّلن
َ ْ ُ َّ ُّ
٢ ۙ ْم َد ٍث اِ ل ْاس َت َم ُع ْو ُه َو ْه َيل َع ُب ْون
Fokus perhatian Al-Razi pada rumpun ayat ini adalah kata dzikr,
yang digunakan oleh kelompok Muktazilah sebagai dalil kebaruan
Al-Qur’an (Al-Qur’an tidak qadim). Mereka juga mengutip:
Q.S At-Takwir: 27
Q.S Az-Zukhruf: 44
Q.S Shad: 1
37
Fakhruddin Muhammad ibn ‘Umar Al-Razi, Mafatih al-Ghayb. Juz. XXII,
h. 139-140.
78
Q.S Az-Zukhruf: 44
Kelompok Muktazilah membangun silogisme dari ayat-
ayat di atas, bahwa (Al-Qur’an merupakan dhikr, dhikr itu baru,
berarti Al-Qur’an itu baru [tidak qadim]). Dalam pandangan al-
Razi, kesimpulan itu salah karena yang dimaksud sebagai dhikr
(peringatan) itu merupakan gabungan dari huruf dan suara, berbeda
dengan kalamullah secara umum. Kesalahan pemaknaan kata
dhikr berisiko pada kesalahan silogisme yang dibangun. Mestinya,
menurut al-Razi, silogisme dari ayat-ayat di atas adalah Al-Qur’an
adalah dhikr, sebagian dhikr adalah baru, maka Al- Qur’an [bisa
jadi] tidak termasuk baru.38
Pada dasarnya, kesimpulan Muktazilah tentang kebaruan
Alquran dilandasi oleh penolakan mereka terhadap sifat Allah,
yang dipandang sebagai potensi syirk. Karena Allah Qadim, maka
sifat Allah juga Qadim. Dengan demikian ada yang Qadim selain
Allah. Simpulnya, meyakini sifat Allah berarti syirik.39 Jika Allah
adalah bersifat kalam dan mutakallim (berfirman), maka produknya
(kalam) dipandang hadits, baru, untuk memurnikan keesaan Allah.
Sampai disini bisa diperoleh dua simpulan: 1) karakteristik
(metode) tafsir Al-Razi tidak dimaksud sebagai metode baku sebagai
sistematika tafsirnya, sebagaimana ditemui pada al-Maraghi.40 atau
kitab tafsir modern; 2) tafsir Al-Razi lebih ditekankan sebagai, atau
paling tidak dipengaruhi oleh kecenderungannya, memberikan
pendasaran metodologis bagi bangunan ajaran teologis-yuridis
Asy’ariyah-Syafi’iyyah. Atau dengan bahasa lain, Al-Razi tidak
mengarusutamakan metodologi penafsiran, tetapi menitikberatkan
pada materi dan penolakan pada ajaran lawan polemiknya.
38
Fakhruddin Muhammad ibn ‘Umar Al-Razi, Mafatih al-Ghayb. J. XXII,
hlm. 141
39
Qadi Abdul Jabbar, Sharh al-Usul al-Khamsah. Qahirah: Maktabah Wah-
bah, 1996, h. 108-109
40
Ahmad Mustafa al-Maraghi Tafsir al-Maraghi. J. I, Misr: Shirkah wa Mat-
ba’ah Mustafa al-Halabi, 1946, h. 44- 50.
79
Al-Dhahabi dalam karyanya al-Tafsir wa al-Mufassirun
menyimpulkan bahwa Tafsir Mafatih al-Ghaib secara
keseluruhannya tidak ditulis oleh al-Razi. Menurutnya, penulis
al-Razi hanya berakhir pada al-Qur’an Surah al-Anbiyabuddin al-
Khuwaini, namun dalam penyempurnaanya itu juga belum sampai
tuntas, sehingga dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang bernama
Najmuddin al-Qamuli hingga selesai secara keseluruhan.41
80
saya katakana bahwa Imam Fakhruddinn ar-Rāzī telah menyelesaikan
tafsir itu sampaisurah al-Anbiya‟. Selanjutnya Imam Syihabuddin
al-Khuby melakukan penyempurnaan terhadap kekurangan tafsir
tersebut, namun beliau juga tidak dapat mneyelesaikannya secara
tuntas. Setelah itu tampil lagi Imam Najmuddin al-Qamuli, yang
menyempurnakan apa yang tersisa darinya. Mungkin juga Imam
Syihabuddin al-Khubi telah menyempurnakannya secara, dan Imam
al-Qamuli telah menulis penyempurnaan yang lain, bukan yang
telah dituliskan menurut pengarang kitab Kasyfuz Zunūn.43
Imam Ibn Khallikan ketika menceritakan biografi al-Razi, ia
berkata al-Razi mempunyai banyak karya yang bermanfaat dalam
berbagai disiplin keilmuan. Diantara karyanya adalah tafsir Mafatih
al-Ghayb, di dalamnya al-Razi mengumpulkan segala yang ilmu
pengetahuan.44 Begitu juga dengan Ignaz Goldziher dalam bukunya
Madzahib al-Tafsir berkata “para mutakallimin dan filosof agama
menyandarkan kepada Fakhruddin al-Razi dalam tafsir al-Qur’annya
yang besar (Mafatih al-Ghaib) terdapat berbagai permasalahan”.45
Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau sempat
menyelesaikan penulisan kitab tafsirnya. Tetapi para ulama lain
tidak sepakat dengan pendapat sejauh mana beliau menyelesaikan
tafsirnya. Imam Ibn Hajar al-Asqalani berkata: “orang yang
menyelesaikan tafsir al-Razi ini adalah Ahmad Ibn Muhammad Abi
al-Hazm Makky Najm al- Din al-Makhzumy al-Qamuly (W. 727
H).” Ia adalah orang mesir, hal ini diperkuat lagi dalam kitab Kasyh
al-Dhunun bahwa yang telah menulis kelengkapan sebelumnya pada
tafsir tersebut, adalah Imam Shihab al-Din Ibn Khalil al-Dimashqi
(w.639 H). Ada yang menyatakan imam al-Razi menyelesaikan
tafsirnya hingga surat al-Anbiya’.46
43
Mahmud Basuni Faudah, Al- Tafsir wa Manahjuhu, (Cairo: Matba’ah Al-
Amanah, 1997), h.62
44
Ibn Khallikan, Wafiyat al-A’yan wa ‘Anba’u Abna’ al-Zaman, yang ditahqiq
oleh ihsan ‘Abbas, (Beirut: Dar sadir, 1978), h. 294.
45
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Terj.
M. Alaika Salamullah (dkk) (Beirut: Dar- Iqra’: 1983), h. 149.
46
Muhammad al-Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an; Perkenalan dengan
81
TEOLOGI ASH’ÂRIYAH
Pada akhir abad ke-3 H muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu
Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Manshur al-Maturidi
di Samarkand. Mereka bersatu dalam melakukan bantahan terhadap
Muktazilah.47
Asy’ariyyah dinisbahkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari yaitu
Ali bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Abi Bardah bin Abi Musa
al-Asy’ari. Menurut ibnu Taimiyah, setelah Abu Hasan al-Asy’ari
meninggalkan aliran Muktazilah, ia menempuh jalan ahlu al-Sunnah
wa al-Hadis dan bergabung dengan Imam Ahmad bin Hanbal.48
Menurut Ibn al-Jauzî al-Asy’ari berada dalam aliran Muktazilah
dalam waktu yang sangat lama, kemudian dia meninggalkannya dan
menyerahkan suatu kitab yang ditulisnya untuk mengetuk akidah
manusia, sedang orang-orang ahlu al-Hadits jauh sebelumnya telah
mengenal posisi Abu Hasan al-Asy’ari dan menghargai maksudnya
yang baik. Hal itu sesuai dengan ungkapan Ibn Taimiyah dalam
kitabnya Muwâfaqah Shahîh al-Manqûl li Sharîh al-Ma’qûl bahwa
Abu Hasan al-Asy’ari ketika meninggalkan aliran Muktazilah ia
menempuh jalan Ibn Kilâb dan condong kepada ahli al-Sunnah wa
al-hadits dan bergabung kepada imam Ahmad.49
Selanjutnya dalam rangka menjawab pemikiran kaum
Mu’tazilah , al-Asy’ari berdiam diri dirumahnya selama 15 hari
dan mencoba membandingkan dalil-dalil antara kaum Muktazilah
dengan para fuqaha dan muhadditsîn. Setelah itu ia keluar menemui
Metode Tafsir, Terj. Moehtar Zoerni dan Abdul Kadir Hamid, (Bandung: Pustaka,
1997), h.78-79.
47
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taariikh al-Mazaahib al-Islamiyah fi
as-Siyaasah wa al- ‘Aqaaidi wa taariikhu al- Mazaahibi al-Fiqhiyah, (al-Qaahirah:
Daar al-Fikr al-Arabiy, 1996). h.163
48
Imam Abu Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari, al-Ibânah ‘an Ushûl ad- Di-
yânah, ( Cet.IV; Damaskus: Maktabah Dâr al-Bayân, 1993M/1413H), h. 30
49
Syaikh Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah al-Imama Abu Hasan Ali bin Isma’il
al-Asyari, Maqalaat al-Islamiyah wa Ikhtilaaf al-Mushalliin, Juz I. (Bairut: al-Mak-
tabahal-Ashriyah, 1411H/1990M), h. 24-25
82
masyarakat dan mengundang mereka untuk berkumpul. Dan pada
hari Jum’at ia naik ke mimbar di mesjid Jami’ Basrah dan berkata
“Barang siapa yang telah mengenalku, maka sebenarnya ia memang
telah mengenalku, dan barang siapa yang belum mengenalku, maka
kini saya memperkenalkan diri. Saya adalah si Fulan ibn Fulan.
Saya perna mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwa
Allah tidak terlihat oleh indera penglihatan kelak pada hari kiamat,
dan bahwa perbuatan- perbuatan saya yang tidak baik, maka saya
sendirilah yang melakukannya. Kini saya bertaubat dari pendapat
seperti itu serta siap untuk menolak pendapat Muktazilah dan
mengungkap kelemahan mereka. Selama ini saya telah menghilang
dari hadapanmu karena saya sedang berpikir. Menurut pendapat
saya, dalil-dalil kedua kelompok itu seimbang. Tidak satupun dalil
yang lebih unggul atas dalil yang lain. Kemudian saya memohon
petunjuk kepada Allah maka Allah memberikan petunjuk kepada
saya untuk meyakini apa yang tertera di dalam kitab-kitab saya. Saya
akan melepaskan apa yang pernah saya percayai sebagaimana saya
menanggalkan baju saya ini. Kemudian dia menanggalkan bajunya
dan menyerahkan kepada orang –orang yang hadir kitab yang
ditulisnya berdasarkan metode kelompok fuqaha dan ahli hadis”.50
Tidak ada suatu kebaikan atau keburukan di bumi ini kecuali
dengan kehendak Allah. Dan sesuatu itu ada karena kehendak Allah,
seseorang tidak akan sanggup berbuat sesuatu sebelum Tuhan
melakukannya. Tidak ada pencipta selain Allah. Perbuatan buruk
manusia Allahlah yang menciptakannya sedang manusia tidak
sanggup menciptakan sesuatu perbuatan.51
Contohnya seperti pendapat Asy’ari mengenai ru’yah kepada
Tuhan Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang ru’yah kepada Tuhan
(melihat Tuhan di Akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi karena
50
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taariikh al-Mazaahib al-Islamiyah fi
as-Siyaasah wa al- ‘Aqaaidi wa taariikhu al- Mazaahibi al-Fiqhiyah, h. 164
51
Syaikh Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah al-Imama Abu Hasan Ali bin Isma’il
al-Asyari, h. 345-346.
83
Tuhan berfirman dalam Q.S. Al- Qiyamah: 22-23
ٌ ٌۙ َّ
٢٣ ۚ اِ ٰل َر ِبّ َ�ا نَ� ِظ َرة٢٢ �ةَ ُو ُج ْو ٌه َّي ْو َم ِٕى ٍذ ن� ِ ض
“Wajah (orang-orang muslim) pada hari itu berseri-seri kepada
Tuhannya mereka melihat”.
Logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka
melihat-Nya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang
mungkin. Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata
kepala, itu tidak bisa diakui adanya, sama seperti sesuatu yang
tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada. Pada hari kiamat, Allah dapat
dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh orang
yang beriman di dalam surga, dan bukan oleh orang kafir. Sebab
mereka dihalangi untuk melihat-Nya.52 Allah berfirman dalam Q.S.
al- Muthaffifîn (83): 15
َۗ َّ ٓ َّ َ
١٥ ك اِ نَّ ُ� ْم َع ْن َّر ِبّ ِ� ْم َي ْو َم ِٕى ٍذ َل ْح ُج ْو ُب ْون
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-
benar terhalang (melihat) Tuhan mereka”.
Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah
di dunia, kemudian gunung pun bergetar sebagai penjelmaan
kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Dia tidak
dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat. Ada dua pandangan
dikemukakan al-Asya.ri perihal sifat dasar dari penglihatan kepada
Tuhan. Pertama pandangan ini merupakan sebuah jenis pengetahuan
yang istimewa dalam pengertian bahwa ia lebih berkaitan dengan
yang eksis dari pada yang non eksis; Kedua ia merupakan sebuah
persepsi di luar pengetahuan, yang tidak menuntut sebuah efek
terhadap benda yang dipersepsikan, tidak pula sebuah efek yang
berasal darinya.53
84
SUMBER-SUMBER TAFSIR AL-RAZI DALAM TAFSIR
MAFATHIH GHAIB
Tafsir al-Ra-zi memuat pandangan-pandangan para mufassir,
seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu al-Kalabi, Mujahid, Qatadah, al-Suddi,
dan Sa’id bin Jubair.54 Dan dalam bidang bahasa, al-Razi menukil
pendapat dari perawi-perawi besar, seperti al-Ashamiy, Abu
Ubaidah, dan dari golongan ulama seperti al-Farra, al-Ajjaj, dan al-
Mubarrid. Sedangkan dalam bidang tafsir beliau menukil pendapat
Muqatil bin Sulaiman al-Marwaziy, Abu Ishak al-Tsa’labiy, Abu al-
Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin
Jarir al-Thabari, Abu Bakar al-Baqillani, Ibnu Furak (guru al-Razi),
al-Qaffal al-Syasyi al-kabir, dan Ibnu Urfah.55
Adapun Ulama Mu’tazilah yang dinukil pendapatnya oleh
al-Razi, diantaranya Abu Muslim al-Isfahaniy, al-Qadiy ‘Abd al-
Jabbar, al-Zamakhsyari. Adapun pandangan al-Zamakhsyari, al-
Razi menukilnya dalam rangka menolaknya dan membatalkan
kehujjahannya. Pendapat-pendapat para ulama tersebut memperkaya
kitab tafsir al-Razi.56
85
Setelah menjabarkan penafsiran ini, Fakhruddin al-Razi
menutup dengan pernyataan bahwa jawaban yang sangat tepat
adalah firman Allah Surat al-Anbiya’ ayat 23
َ ُ ُ ُ ْ َ ُ َ
٢٣ ل ُي ْس َٔـل َّعا َيف َعل َو ْه ُي ْس َٔـل ْون
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah
yang akan ditanyai.”
Sedangkan bantahan Fakhruddin al-Razi terhadap penafsiran
Mu’tazilah dalam Surat al-Fatihah ayat 2 adalah: “Jika perbuatan
Allah harus baik, maka akan menciderai makna al-hamd lillah.
Karena jika Allah diwajibkan untuk melakukan yang baik, maka
perbuatan Allah harus terhindar dari celaan. Jika perbuatan Allah
bersifat anugerah, maka ini bermakna bahwa Allah butuh tambahan
pujian”.58
Fakhruddin al-Razi menambahkan bahwa kata al-hamd
bermakna dipuji, maka hal ini terdapat atau tidak pada zat-Nya. Jika
yang pertama, maka Allah tidaklah wajib mendapat pujian, karena
sesuatu yang sudah berada pada diri-Nya akan menolak keberadaan
yang lain. Perbuatan Allah juga tidak boleh mendapat celaan, karena
sesuatu yang terdapat pada-Nya, tidak boleh terlepas karena sebab
apapun. Berarti tidak ada hak Allah yang bersifat wajib, begitu juga
hamba tidaklah wajib mendapat ganjaran dan pahala. Hal demikian
mengancurkan prinsip-prinsip pemikiran Mu’tazilah.59
Di ayat lain, Fakhruddin al-Razi menambahkan jawabannya
ketika menafsirkan Surat al- Baqarah ayat 30 tentang Malaikat yang
selalu bertasbih dan memuji Allah serta terhindar dari perbuatan keji.
Fakhruddin al-Razi menegaskan bahwa Mu’tazilah berkeyakinan
bahwa Allah wajib memberi pahala dan balasan. Jika tidak, maka
ini bisa bermakna tidak tahu atau sedang butuh. Kedua hal ini
sangatlah mustahil bagi Allah. Maka Allah adalah penyebab/pelaku
58
Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 47
59
Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 47
86
agar mendapat pahala, sehingga Allah dipuji.60 Oleh karena itu,
perbuatan baik yang dilakukan hamba adalah ciptaan/bersumber dari
Allah. Setelah hamba melakukannya, Allah menjadi terpuji karena
memberi pahala. Pemahaman/keyakinan ini semakin rancu dan
tidak etis untuk disandarkan kepada Allah. Kerancuan Mu’tazilah
dalam menafsirkan Surat al-Fatihah ayat 7 tentang golongan yang
Allah murkai, dibantah Fakhruddin al-Razi dengan dua kalimat.
Ayat mengiringi kata murka dengan sesat, ini menunjukkan bahwa
Allah marah karena kesesatan mereka, sehingga Sifat Allah memberi
efek kepada hamba. Jika dipahami bahwa karena mereka sesat yang
mewajibkan Allah untuk memurkainya, maka ini bermakna bahwa
hamba mempengaruhi pada Sifat Allah.61
B. Allah Bersemayam di atas ‘Arsy (Q.S Thaha: 5)
ْ َ ٰ ْ َّ َ
٥ ح ُن َعل ال َع ْر ِش ْاس َت ٰوىالر
Al-Rāzī ketika menfasirkan QS. Ṭāhā: 5 memulainya dengan
menjelaskan ayat tersebut dari segi qira`at-nya kemudian ia
membantah argumen kaum Musyabbihah yang mengatakan bahwa
Allah itu duduk di atas ‘arsy, sebagaimana disebutkan di dalam
tafsirnya62:
87
Masalah kedua: Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini
sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa Tuhan
mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat
mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql
dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum
menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala
makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh
kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya
bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya,
Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy
sama azali seperti Allah. (Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan
sesuatu yang azali kepada selain Allah)”
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan
adanya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di
sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah
kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah
merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan
segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia
pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya
tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia
berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-
pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika
dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak
dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika
dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat,
bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi
dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia
berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada
88
atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka
yang berada di atas arsy tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan
mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada
satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan
pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-
tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan
diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika
mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan
membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan
tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas
Allah”.63
Kemudian setelah ia menjelaskan secara panjang lebar tentang
kesalahan pemaknaan kaum Mujassimah yang memaknai lafaz
istawā dengan istaqarra (bertempat tinggal), al-Rāzī menjelaskan
alasan ia mentakwil lafaz istawā serta memaparkan pendapatnya
bahwa pemaknaan lafaz istawā yang benar pada QS. Ṭāhā: 5 adalah
dengan makna al-Istilā` (menguasai), sebagaimana disebutkan di
dalam tafsirnya:
63
Fakhruddin Al-Razi. Vol. 22. h. 6
89
Yang kedua; adanya dalil pasti bahwasanya mesti dikembalikan
kepada takwil yakni adanya dalil akal yang mencegahnya
untuk dimaknai bertempat tinggal sedangkan zahir lafaz istawā
menunjukkan makna bertempat tinggal; maka dari sini ada
kemungkinan diamalkan kedua dalil, dan ada kemungkinan
ditinggalkan keduanya, dan bisa jadi dikuatkan naql dari akal,
dan bisa jadi dikuatkan akal dan ditakwil naql. (Kemungkinan)
yang pertama salah karena jika benar maka akan mengharuskan
sesuatu dzat yang maha suci dari tempat menjadi bertempat dan
itu mustahil. Dan (kemungkinan) yang kedua juga mustahil karena
akan mengharuskan hilangnya dua yang bertentangan secara
bersamaan. Yang ketiga salah dikarenakan akal merupakan dasar
(untuk memahami) naql, yakni bahwasanya jika tidak ada dalil akal
tentang adanya pencipta, ilmunya, kuasanya, serta diutusnya para
rasul maka tidak ada naql (tidak mungkin membuktikan benarnya
zahir naql), cacat dalam akal akan meniscayakan cacat di dalam
akal dan naql secara bersamaan, maka tidak tersisa melainkan
meyakini kebenaran akal dan menggunakan takwil pada naql dan
ini merupakan dalil pasti yang dimaksud. Jika telah jelas maka kita
mengatakan telah berkata sebagian ulama bahwasanya makna dari
istawā adalah menguasai sebagaimana yang ada pada sya’ir:
“ Sungguh Bisyr telah menguasai Irak # Tanpa ada peperangan
dan pertumpahan darah”64
Maka dari sini dapat diketahui bahwa al-Rāzī ketika
berhadapan dengan lafaz istawā pada QS. Ṭaha:5, ia menggunakan
takwil terhadap lafaz tersebut, yakni memaknai lafaz istawā tidak
dengan makna literalnya, akan tetapi ia cenderung memaknainya
dengan makna yang marjūh, yakni al-Istilā` (menguasai). Adapun
pendekatan yang digunakan al-Rāzī dalam mentakwil lafaz istawā
adalah dengan menggunakan pendekatan logika dan bahasa. Bahwa
dari segi logika, jika lafaz istawā dimaknai dengan bertempat tinggal
64
Fakhruddin Al-Razi. Vol. 22. h. 7
90
maka hal ini akan meniscayakan tempat bagi Allah, sedangkan
secara akal Allah Swt mustahil bertempat. Dan dari segi bahasa, lafaz
istawā tidak hanya bermakna menetap akan tetapi juga terkadang
bermakna menguasai sebagaimana yang terdapat di dalam sya’ir
Arab yang telah disebutkan.
91
dalam kalimatnya) dengan imbuhan “ila” (ke) yang mengindikasikan
“penglihatan mata”. Ketiga, pada ayat di atas tidak ditemukan
indikasi (faktor pendukung) yang menunjukkan kepada makna yang
sesungguhnya (haqiqi)67
Kemudian pada Ayat lain, Q.S al-‘An’âm (6):103
َالب َص َۚار َو ُه َو َّالل ِط ْي ُف ْ خ
١٠٣ �ُ ال ِب ْي ْ َ ْ الب َص ُار َو ُه َو ُي ْدر ُك
ْ َ ْ َل ُت ْدر ُك ُه
ِ ِ
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzi ayat di atas merupakan dalil
pendukung ajaran akidah/mazhab kami (alAsh’ariyyah) bahwa
adanya ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat nanti. Dengan alasan
bahwa; Pertama, ayat di atas mengandung konteks tamaduh (pujian)
yang menunjukkan bahwa ru’yatullah (melihat Allah) adalah sesuatu
yang boleh. Menurutnya jika ru’yatullah (melihat Allah) tidak boleh,
maka tidak ada tamaduh dalam ayat tersebut. Dengan artian lain, jika
Allah tidak boleh dilihat, maka tidak ada pujian dalam fi rman-Nya
ini, bukankah sesuatu yang tidak ada tidak dapat dilihat. Dan setiap
wujud pasti dapat dilihat. Secara logis bahwa substansi sesuatu
yang ma’dûm (tidak ada) itu tidak terlihat, dan sesuatu yang dirinya
sendiri tidak terlihat maka “ketidak kelihatannya” tersebut tidak
akan menetapkan sebagai madh (pujian) atau ta’zîm (pengagungan).
Berbeda jika pada diri sesuatu tersebut boleh terlihat, maka sesuatu
tersebut mempunyai kemampuan (al-qudrah) untuk menghalangi
penglihatan sehingga Ia tidak tercapai oleh penglihatan, maka
dengan kemampuan yang dimiliki inilah menunjukkan adanya madh
(pujian) dan ta’zîm (pengagungan). Dengan demikian maka ayat ini
menunjukkan bahwa Allah boleh terlihat zat-Nya.68
Kedua, ia membantah argumen Mu’tazilah menjadikan ayat
tersebut sebagai landasan Allah tidak dapat dilihat. Menurutnya
(Mu’tazilah) idrâk jika disandarkan pada kata al-bashar adalah al-
ru’yah wa al-ibshâr (melihat dengan mata) dengan alasan bahwa
tidak sah menetapkan salah satunya antara ru’yah atau idrâk, lantas
67
Abu Hasan al-Asy’ary, al-Ibanah an Usul al-Diyanah, h.58-63
68
Fakhruddin al-Râzi, Mafâtih al-Ghayb, Vol. 13, hal. 131
92
men-nafy- kan satunya lagi, maka tidak sah apabila dikatakan (saya
melihatnya dan saya tidak dapat mencapainya dengan mata saya),
begitu pula (saya dapat mencapainya dengan mata saya, dan saya
tidak melihatnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa idrâk al-bashar
dan ru’yah adalah satu. Jika demikian (menurut Mu’tazilah) maka
Allah me-nafy-kan bahwa tiada seorangpun yang dapat melihat
Allah dengan mata kepala kapanpun dan dimanapun itu.69
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzi idrâk adalah ungkapan dari kata
al-wushûl (sampai/mencapai), seperti ungkapan (seorang pemuda
telah (mencapai) menginjak remaja sampai ia menjadi baligh) dan
(buah telah masak jika ia sampai (pada batas) matang. Hal tersebut
juga telah di jelaskan dalam fi rman Allah surat al-Shu’arâ’ [26]: 61
َ ُ َ
٦١ ۚ ص ُب ُم ْو ٰٓس اِ نَّ� ُل ْد َرك ْون َ َف َ َّلا تَ ٰۤ� َءا ْ ج
ٰ ْ ال ْم ٰعن َق َال َا
ِ
(Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
Pengikut- pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan
tersusul”).
Maksudnya (idrâk) adalah lihatlah (mengetahui semua dari
segala aspek). Dengan demikian maka dapat dipastikan kalimat
idrâk adalah untuk mencapai/sampai kepada sesuatu, dan idrâk
adalah sesuatu yang mempunyai arti lebih dari ru’yah.64 maka al-
Râzi membagi ru’yah menjadi dua macam; pertama, ru’yah yang
bisa menangkap hakikatnya sebagai idrâk. Kedua, ru’yah yang tidak
bisa menangkap hakikatnya sebagai ru’yah saja.70
D. Makna Yad (QS. al-Fath: 10)
ُ ُ َ َ َ َّ َ َ َ َ ّٰ ُ َ َ ّٰ َ ْ ُ َ ُ َ ََّّ َّ ْ نَ ُ َ ُ ْ َ َ ن
الل ف ْوق ا ْي ِد يْ ِ� ْم ۚ ف َ� ْن نكث ف ِا نَّ َ�ا َي ْنكث
ِ اِ ن ال ِذ ي� يب ِايعونك اِ �ا يب ِايعون الل ۗيد
َ َ ْ َ َ ّٰ ُ ْ َ َ َ َ ٰ َ َٰ ٰ َ ْ ۚ َ َ ْ َ ْ ف
١٠ الل ف َس ُيؤ ِت ْي ِه ا ْج ًرا ع ِظ يْ� ًما عل نف ِس ٖه ومن او� ِب�ا عد عليه
Al-Rāzī mentakwilan lafaz yad pada QS. al-Fath: 10 kepada
beberapa makna, perlu diperhatikan kembali bahwa ada dua lafaz
69
Fakhruddin al-Râzi, Mafâtih al-Ghayb, Vol. 13, hal. 132.
70
Fakhruddin al-Râzi, Mafâtih al-Ghayb, Vol. 13, h. 132.
93
yad pada ayat tersebut. Yang pertama disandarkan kepada Allah dan
yang kedua disandarkan kepada orang yang berbai’at. Sebelumnya,
al-Rāzī menjelaskan bahwa dua lafaz yad pada ayat tersebut memiliki
dua kemungkinan; pertama, makna dari dua lafaz yad tersebut sama,
kedua, makna dari dua lafaz yad tersebut berbeda. Jika makna dari
lafaz yad tersebut sama maka lafaz yad tersebut bermakna nikmat
atau pertolongan. Adapun jika makna dari dua lafaz yad tersebut
berbeda maka lafaz yad pertama yang disandarkan kepada Allah
bermakna penjagaan sedangkan lafaz yang kedua yang disandarkan
kepada orang yang berbai’at bermakna tangan (anggota badan).
Adapun penafsiran al-Rāzī terkait lafaz yad pada Q.S. Fath: 10
adalah sebagai berikut:
َ َ َ ّٰ ُ َ
ۚ الل ف ْوق ا ْي ِد يْ ِ� ْم
ِ يد
Mengandung beberapa makna. Hal ini dikarenakan (lafaz)
tangan berada pada dua posisi, bisa jadi ia bermakna satu dan bisa
jadi ia bermakna dua, apabila maknanya satu (dalam dua posisi)
maka ia memiliki dua kemungkinan makna:71
Yang pertama Yad Allah bermakna Nikmat Allah diatas kebaikan
mereka terhadap Allah sebagaimana Allah berfirman:
ُ ْ ْ ْ ُ ٰ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ُّ ُ َ ُ ّٰ َ
١٧ �َىك ِل ِل ْي َ� ِان اِ ن ك ْن تُ ْ� ٰص ِد ِق ْ ي ن ۚب ِل الل ي�ن عليك ان هد
Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu
dengan menunjuki kamu kepada keimanan (Al-Hujurat: 17).
Yang kedua: Yad Allah diatas yad mereka bermakna Pertolongan
Allah terhadap mereka lebih kuat dan lebih tinggi daripada
pertolongan mereka terhadap Allah, dan apabila dikatakan yad bagi
si fulan maka maknanya pertolongan bagi si fulan.72
Adapun jika tangan mengandung dua makna (pada dua posisi),
maka kita mengatakan pada Haq Allah bermakna penjagaan, dan
pada haq orang yang berbai’at bermakna tangan (anggota badan).
71
Fakhruddin al-Râzi, Mafâtih al-Ghayb, Vol. 28, h. 75-76
72
Fakhruddin al-Râzi, Mafâtih al-Ghayb, Vol. 28, h. 87
94
Yad bermakna penjagaan diambil dari keadaan orang yang ber-
bai’at seperti misalkan dua orang saling bersalaman tangan di dalam
transaksi jual beli kemudian ada orang ketiga yang ingin kedua
orang yang bertransaksi ini agar tidak merusak akadnya sebelum
sempurna jual beli, kemudian ia meletakkan tangannya diatas kedua
tangan orang yang bersalaman dan menjaga kedua tangan tersebut
hingga selesainya akad dan agar salah satu tangan mereka tidak
meninggalkan tangan yang lainnya, maka peletakkan tangan orang
yang ketiga diatas kedua tangan orang yang bersalaman menjadi
sebab terjaganya bai’at. Dan Firman Allah: Yad Allah diatas yad
mereka itu bermakna Allah menjaga bai’at mereka sebagaimana
orang yang ketiga tadi menjaga dua tangan orang yang berbai’at.73
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa al-Rāzī
menggunakan pendekatan bahasa dan logika dalam mentakwil lafaz
yad. Bahwa dari segi bahasa apabila seseorang mengatakan
maka maknanya adalah pertolongan bagi si fulan. Namun, al-Rāzī
dalam mentakwil lafaz yad tidak hanya menggunakan pendekatan
bahasa, melainkan juga dengan menggunakan pendekatan logika.
Bahwa dari segi logika, lafaz yad apabila dinisbahkan kepada Allah,
ia mustahil bermakna tangan (anggota badan) karena hal ini akan
meniscayakan tasybīh kepada Allah Swt.
KESIMPULAN
Fakhruddin Ar-Razi memiliki nama lengkapnya adalah
Abdullah Muhammad bin ‘Umar ibn al-Husayn Ibn al-Hasan ‘Aliy
al-Taymiy al-Bakriy al-Tabarastaniy al-Razi Fakhruddin, lahir pada
25 Ramadhan 543 H/1149 M, tepatnya di kota Ray yaitu sebuah
kota terkenal di negara Dailan dekat kota Khurasan, dan meninggal
di daerah Herat (Ray) pada tahun 606 H/1210 M. Silsilah keilmuan
al-Razi bersambung dengan Imam Syafi’i melalui jalur al-Muzanni,
dari ‘Ali Abi Qasim al-Anmati, dari Abi ‘Abbas ibn Surayj, dari
Abu Ishaq al-Murwazi, dari Abu Zayd al-Murwazi, al-Qaffal al-
73
Fakhruddin al-Râzi, Mafâtih al-Ghayb, Vol. 28, h. 87
95
Murwazi, dari Husayn al-Murwazi dan al-Farra’ al-Baghawi.
Sedangkan silsilah ilmu kalam al-Razi didapatkan dari Sulayman
ibn Nasir al-Ansari. Beliau adalah murid dari al-Juwayni (guru
Imam al-Ghazali), bersambung pada Abu Ishaq al-Isfirayani, Abu
Hasan al-Bahili hingga sampai pada Abu Hasan al-Asy’ary.
Tafsîr Mafātîḥul Ghaib atau yang dikenal sebagai tafsîr Al-Kabîr
dikategorikan sebagai tafsîr bir ra’yi (tafsir yang menggunakan
pendekatan akal), dengan pendekatan Mazhab Syāfi’iyyah dan
Asy’āriyah.
Mengenai Asy’ariyyah sendiri, dinisbahkan kepada Abu Hasan
al-Asy’ari yaitu Ali bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Abi Bardah
bin Abi Musa al-Asy’ari. Menurut ibnu Taimiyah, setelah Abu Hasan
al-Asy’ari meninggalkan aliran Muktazilah, ia menempuh jalan ahlu
al-Sunnah wa al-Hadis dan bergabung dengan Imam Ahmad bin
Hanbal. Yang muncul Pada akhir abad ke-3 Hijriyyah dibawa oleh
dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah
dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Mereka bersatu dalam
melakukan bantahan terhadap Muktazilah.
Dari karya tafsirnya Mafathih Ghaib yang telah penulis baca,
sangat terlihat jelas kecenderungan corak (ittijah) dari Ar-Razy
kepada Asy’ariyyah secara teologis. Hal itu terlihat ketika al-Razi
menafsirkan ayat-ayat teologis yang seringkali membantah pendapat
dari muktajilah dan golongan lainnya. Beliau banyak menguraikan
pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah yang senada dengan Asy’ariyyah
seperti tentang perbuatan manusia, Allah bersemayam di atas ‘Arsy,
Melihat Tuhan, Makna Yad.
96
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa l-Turath Qira’at Mu’asirah
fi Turathina al-Falsafi. Bayrut: Markaz Tsaqafi ‘Arabi. 1993
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taariikh al-Mazaahib al-
Islamiyah fi as-Siyaasah wa al- ‘Aqaaidi wa taariikhu al-
Mazaahibi al-Fiqhiyah, (al-Qaahirah: Daar al-Fikr al-Arabiy,
1996)
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wal Mufassîrūn,
Qohiroh: Maktabah Wahbah, 1396H/ 1976M, Juz. 1
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2011)
Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Juz I, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1990)
Fathullah Khalif, Fakhruddin ar-Razi, Iskandariah: Danal Jamiat al
Mishriyah, 1977
Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin
(Kairo: t.p, t.th)
Muhammad Ali As-Shabuni, At-Tibyan Fî ‘Ulūmil Qur’ān, Karachi:
Maktabah Al-Bushra, 1432H/ 2011M
Ali Muhammad Hasan ‘Amari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi;
Hayatuhu wa Atharuhu, (t. tp.: al-Majlis al-A’la lial-Shu’un al-
Islamiyyah, 1969),
Ibn al-Katsîr al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid VII juz
XIII, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tt,
Muhammad Ali Ayāzi, Al-Mufasirūn Hayātuhum wa Manhājuhum,
Cet. 1, Taheran: Wizanah Al-Tsiqafah wa Al-Insyaq Al-Islam,
2002
97
Khadijah Hammadi, Manhaj al-Imam Fakhruddin al-Razi, Bayna
al-Asya’irah wal Mu’tazilah, (Bayrut: Dar al-Nawadir, 2012)
Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman, Manhaj al-Fakhr al-Razi fi
al-Tafsir, (Kairo: dar al-Handasiyah 2001) h. 18, Abdul Qadir
Atha, Al-imam, (Kairo, 1998)
Ibrahim Madkoer, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Trj, Yudian
Asmin, Bumi Aksara, Jakarta, 1995
Abd al-‘Azīz al-Majdūb, Fakhr al-Dīn al-Rāzī Min Khilāli Tafsirihī
(Tunis: Dār al-‘Arabiyyah al-Kitāb, 1980)
Manna’ Kholil Al-Qotton, Mabāhiṡ fî ‘Ulūm Al-Qur’ān, Riyadh:
Mansurat Al-‘asri Al-Hadist, 1411 H
‘Ala’uddin ‘Ali ibn Mammad ibn Ibrahim al-Baghdadi, Lubab al-
Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (Tafsir al-Khozin). Bayrut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah.
Abu al-Barakat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafi. 1998.
Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Bayrut: Dar Kalim
Tayyib.
Abd al-Jawwad Khalaf Muhammad ‘Abd al-Jawad. Madkhal ila al-
Tafsir wa ‘Ulum Al-Qur’an. Qahirah: Dar Bayan Ara’bi, t.th.
Qadi Abdul Jabbar, Sharh al-Usul al-Khamsah. Qahirah: Maktabah
Wahbah, 1996, h. 108-109
Ahmad Mustafa al-Maraghi Tafsir al-Maraghi. J. I, Misr: Shirkah
wa Matba’ah Mustafa al-Halabi, 1946.
Ibn Khallikan, Wafiyat al-A’yan wa ‘Anba’u Abna’ al-Zaman, yang
ditahqiq oleh ihsan ‘Abbas, (Beirut: Dar sadir, 1978.
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern,
Terj. M. Alaika Salamullah (dkk) (Beirut: Dar- Iqra’: 1983)
98
Muhammad al-Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an; Perkenalan
dengan Metode Tafsir, Terj. Moehtar Zoerni dan Abdul Kadir
Hamid, (Bandung: Pustaka, 1997)
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taariikh al-Mazaahib al-
Islamiyah fi as-Siyaasah wa al- ‘Aqaaidi wa taariikhu al-
Mazaahibi al-Fiqhiyah, (al-Qaahirah: Daar al-Fikr al-Arabiy,
1996)
Imam Abu Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari, al-Ibânah ‘an Ushûl
ad- Diyânah, (Cet.IV; Damaskus: Maktabah Dâr al-Bayân,
1993M/1413H)
Syaikh Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah al-Imama Abu Hasan Ali
bin Isma’il al-Asyari, Maqalaat al-Islamiyah wa Ikhtilaaf
al-Mushalliin, Juz I. (Bairut: al-Maktabahal-Ashriyah,
1411H/1990M),
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taariikh al-Mazaahib al-
Islamiyah fi as-Siyaasah wa al- ‘Aqaaidi wa taariikhu al-
Mazaahibi al-Fiqhiyah,
Abi al-Fath Muhammad Abdi al-Karim Ibn Abi Bakri Ahmad asy-
Syahrastaany, al-Milal wa an-Nihal, Libnan-Bairut: Daar al-
Fikri, t.th.
Mahmud Basuni Faudah, Al- Tafsir wa Manahjuhu, (Cairo: Matba’ah
Al- Amanah, 1997)
Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin
(Kairo: t.p, t.th)
Muhammad Ibrahim ‘Abd al-Rahman, Manhaj al-Fakhral-Razy
fiy al-Tafsir (Nashr: al-Shadr Likhidmati ath-Thaba’ah, 1989)
99
100
AL-ITTIJAH AL-SALAFI:
STUDI KASUS TAFSIR IBNU KATSIR
~Sabihisma Fajriyah~
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, dapat dikatakan bahwa interpretasi atau
penafsiran Al-Quran merupakan produk dari manusia. Meskipun
Al-Qur’an sendiri merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Maka, sampai saat ini telah
banyak lahir bermacam-macam model penafsiran atau interpretasi
Al- Qur’an. Muncul mazhab yang membenarkan interpretasi hanya
dari sudut pandang tekstual. Tetapi ada juga, mazhab atau kelompok
yang menginginkan interpretasi secara kontekstual. Semestinya
interpretasi terhadap Al-Quran memang harus sesuai dengan konteks
zaman yang berkembang. Penafsiran dapat dimungkinkan dengan
menggabungkan dari sudut pandang teksktual dan kontekstual.1
Jika tidak ada kaidah yang mengatur, bisa saja di kemudian
hari akan ada orang yang membuat interpretasi Al-Quran tanpa
menggunakan metodologi yang benar dan tepat. Jika, mereka
membuat interpretasi terhadap Al-Quran tanpa menggunakan
keilmuwan yang benar dan tepat, maka akan banyak terjadi
subjektivitas pemaknaan. Subjektifitas penafsiran Al-Qur’an
memang tidak bisa dihindari, tetapi jika cara penafsiran Al-Qur’an
dengan menggunakan ilmu yang benar dan tepat subjektivitas ini
dapat dikurangi sebanyak mungkin.
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, justru
banyak menggunakan kaidah tafsir bi al-ma’tsur. Penafsiran yang
1
Muhammad Hasbiyallah, “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya
Membumikan Nilai-Nilai Al-Qur’an,” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Al-Hadits, Vol. 12, no. 1, Juni (2018), 46.
101
baik serta tidak melenceng dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabih,
serta dia tidak banyak mengunakan ra’yu dan lebih mengutamakan
pemahaman dari Al-Qur’an itu sendiri serta menggunakan riwayat
yang Sahih dari Rasulullah SAW. Hipotesasnya, pemahaman
penulis Ibnu Katsir lebih banyak menggunakan hadits dalam tiap-
tiap penafsirannya, maka jika dibaca dalam penafsirannya ayat-ayat
mutasyabih ia juga mengikut kepada ulama salaf.
Hal tersebut dikarenakan setiap mufasir dalam menafsirkan al-
Qur’an mempunyai ittijah, yaitu arah yang dimaksudkan seorang
mufasir dalam menafsirkan suatu ayat. Dengan ittijah itulah yang
nantinya akan membedakan seorang mufasir dengan mufasir
lainnya. Dalam kitab Fushul fi Ushul al-Tafsir, Ibnu Katsir termasuk
ke dalam golongan mufasir yang berittijah salafi selain Ibn Jarir.2
Adapun metodologi salaf dalam penafsiran biasanya seperti
metode yang digunakan para ulama salaf, termasuk di dalamnya
sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Dalam menafsirkan suatu ayat,
mereka banyak mengutip dari ayat lain dan banyak mengemukakan
riwayat dalam menafsirkan ayat atau biasa disebut bi al-Ma’tsur.
Mereka juga jarang sekali menuliskan pendapat mereka sendiri
atau yang disebut bi al-Ra’yi.3 Salah satu mufasir yang termasuk ke
dalam golongan ini adalah Ibnu Katsir.
Berdasarkan pandangan ini, baiknya kita menelaah kembali
penafsiran Ibnu Katsir. Telaah ini sangat penting setidaknya, kita
bisa mencoba menggali kembali model penafsiran tersebut. Tafsir
yang cukup populer di Indonesia adalah Tafsīr alQuran Al-Aẓīm yang
dikarang oleh Ibnu Katsir. Tafsir ini bahkan sering menjadi rujukan
primer bagi kalangan para mufasir kontemporer di Indonesia.
2
Muhammad ibn Salih al-Fauzan, Fushul fi Ushul al-Tafsir (Riyadh: Dar al-
Nasyri al-Dauli, 1993), 21.
3
Muhammad ibn Salih al-Fauzan, 77.
102
BIOGRAFI IBNU KATSIR
A. Riwayat Hidup
Ibnu Katsir mempunyai nama lengkap ‘Imad ad-Din abu al-
Fida’ Isma‘il Ibn Zara’ al-Bushra ad-Dimasyqi.4 Nama samarannya
Abu al-Fida’. Ia berasal dari Quraisy dan lahir pada tahun 701 H.
di Majdal, sebuah kampung di wilayah Basra Syiria. Ibnu Katsir
berasal dari keluarga terhormat. Ayahnya seorang ulama terkenal
di masanya, seorang orator, bernama Shihab ad-Din Abu Hafsah
‘Amr Ibnu Katsir Ibn Zara al-Quraisyi, pernah mendalami mazhab
Hanafi, kendatipun menganut mazhab Syafi‘i setelah menjadi khatib
Basra.5 Ia adalah seorang yang dijuluki sebagai al-Hafizh, al-Hujjah,
al-Muarrikh, ats-Tsiqah Imaduddin Abul Fida’ Ismail Ibnu Umar
Ibnu Katsir al-Qurasyi al-Bashrawi ad-Dimasyq asy-Syafi’i. Lahir
di sebuah desa yang bernama Mijdal daerah bagian Bushra pada
tahun 700 H. Ayahnya meninggal ketika Ibnu Katsir berusia tiga
tahun dan Ibnu Katsir terkenal sebagai khatib di kota itu. Adapun
Ismail Ibnu Katsir merupakan anak yang paling bungsu. Ia dinamai
Ismail sesuai dengan nama kakaknya yang paling besaryang wafat
ketika menimba ilmu di kota Damaskus sebelum Ibnu Katsir lahir.6
Sejak kepindahan Ibnu Katsir bersama kakanya ke Damaskus tahun
707 H. Ia mulai meniti karir keilmuan, peran yang tidak sempat
dimainkan oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh kakaknya,
Kamal ad-Din ‘Abd al-Wahhab. Kegiatan keilmuan selanjutnya
dijalani di bawah bimbingan ulama ternama di masanya.
Guru utama Ibnu Katsir adalah Burhan ad-Din al-Farazi (660-
729 H.), seorang ulama pengikut Mazhab Syafi‘i dan Kamal ad-
Din Ibn Qadi Syuhbah. Kepada keduanya ia belajar fiqh, dengan
4
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 (Kairo:
Darul Hadis, 2005), 242.
5
Al-Hafidz Imaduddin Abu Fida, Al-Bidayah wa Al-Nihayah (Beirut: Darul
Haq, 2004), 32.
6
Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir (Yogyakarta:
Menara Kudus, 2002), 38.
103
mengkaji kitab at-Tanbih karya asy-Syirazi, sebuah kitab furu’
Syafi‘iyyah dan kitab Mukhtasar Ibn Hajib dalam bidang ushul fiqh.
Berkat keduanya Ibnu Katsir menjadi ahli fiqh sehingga menjadi
tempat berkonsultasi para penguasa dalam persoalan-persoalan
hukum.
Dalam bidang hadis ia belajar dari ulama Hijaz dan mendapat
ijazah dari Alwani serta meriwayatkan secara langsung dari
Huffaz terkemuka di masanya, seperti Syeikh Najm ad-Din ibn
al-‘Asqalani dan Shihab ad-Din al-Hajjar (w. 730 H.) yang lebih
dikenal dengan sebutan Ibn asy-Syahnah. Kepada al-Hafiz al-
Mizzi(w. 742 H.) penulis kitab tahzib al-Kamal, ia belajar bidang
Rijal al-Hadis. Ibnu Katsir juga pernah berguru pada az-Zahabi
(Muhammad bin Muhammad, 1284-1348 M.) di Turba Umm Salih.
Pada tahun 756H./1335 M. Ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis
al-Asyrafiyyah (Lembaga Pendidikan Hadis), setelah Hakim Taqiy
ad-Din as-Subhi meninggal dunia. Berkaitan dengan studi hadis
pada bulan Sya’ban 766 H Ibnu Katsir ditunjuk mengorganisasi
pengajian Sahih al-Bukhari.
Dalam bidang sejarah Ibnu Katsir banyak dipengaruhi oleh
al-Hafiz al-Birzali (w. 739 H.), sejarawan dari kota Syam. Berkat
al-Birzali dan tarikhnya, Ibnu Katsir menjadi sejarawan besar yang
karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan sejarah
Islam dan pada usia 11 tahun Ibnu Katsir telah menyelesaikan
hafalan al-Qur’an, dilanjutkan memperdalam Ilmu Qiraat, studi
tafsir dan ilmu tafsir, dari Syaikh al-Islm ibn Taimiyyah (661-728
H.).
Dari berbagai disiplin ilmu yang digelutinya banyak sekali
gelar yang disandangnya antara lain:
a) Al-Ḥafiz, yaitu orang yang mempunyai kapasitas hafalan
100.000 hadis matan maupun sanad, walaupun dari berapa jalan,
mengetahui hadis sahih serta tahu istilah ilmu itu.
104
b) Al-Muhaddis, yaitu orang yang ahli mengenai hadis riwayah dan
dirayah, mengetahui cacat dan tidaknya, mengambil dari imam-
iammnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan
mengambil faedahnya.
c) Al-Faqih, yaitu gelar keilmuan bagi ulama yang ahli dalam
hukum Islam (fiqh), namun tidak sampai ke tingkatan mujtahid.
Ia menginduk pada suatu mazhab, akan tetapi tidak taqlid.
d) Al-muarrikh, yaitu orang yang ahli dalam bidang sejarah.
e) Al-mufassir, yaitu orang ynag ahli dalam bidang tafsir, menguasai
perangkat-perangkatnya yang berupa ‘Ulum al-Qur’an dan
memenuhi syarat-syarat mufassir.7
B. Sosial Politik
Pergaulan dengan gurunya ini membuahkan berbagai macam
faedah yang turut membentuk keilmuannya, akhlaknya dan tarbiyah
kemandirian dirinya yang begitu mendalam, karena itulah Ibnu Katsir
menjadi seorang yang benar-benar mandiri dalam berpendapat.
Ia akan selalu berjalan sesuai dengan dalil, tidak pernah ta’assub
(fanatik) dengan mazhabnya, apalagi mazhab orang lain, dan karya-
karya besarnya menjadi saksi atas sikapnya ini. Ibnu Katsir selalu
berjalan di atas Sunnah, konsekuen mengamalkannya, serta selalu
memerangi berbagai bentuk bid’ah dan fanatik madzhab. Di antara
guru Ibnu Katsir yang terkemuka selain Ibnu Taimiyah, Alamuddin
al-Qashim bin Muhammad al-Barzali (wafat tahun 739 H) dan Abul
Hajjaj Yusuf binaz-Zaki al-Mizzi (wafat tahun 748 H).
Keadaan ini menjadi motivasi tersendiri bagi Ibnu Katsir dalam
pengembangan karir keilmuannya, adalah di masa pemerintahan
dinasti Mamluk. Di saat ia hidup, pusat-pusat studi Islam seperti
madrasah-madrasah dan masjid berkembang pesat. Perhatian para
penguasa pusat di Mesir maupun penguasa daerah di Damaskus
sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama-ulama ternama
7
Nur Faizin Maswan, 37.
105
masa ini, yang akhirnya menjadi tempat menimba ilmu sangat baik
bagi Ibnu Katsir.8 Ibnu Katsir juga banyak terlibat dalam urusan
kenegaraan. Tercatat aktifitasnya pada bidang ini, pada akhir tahun
741 H. Ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman
mati atas seorang sufi Zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada
dirinya (hulul).
Pada tahun 752 H. ia berhasil menggagalkan pemberontakan
Amir Baibugah ‘Urus, masa khalifah alMu’tadid bersama ulama
lainnya, pada tahun 759 H. Ia pernah diminta Amir Munjak untuk
mengesahkan beberapa kebijakan dalam memberantas korupsi, dan
beberapa peristiwa kenegaraan lainnya. Ad-Daudi di dalam kitab
tabaqalul mufassirin mengatakan bahwa Ibnu katsir adalah seorang
yang menjadi panutan bagi ulama dan ahli huffaz di masanya serta
menjadi narasumber bagi orang-orang yang menekuni bidang ilmu
ma’ani dan alfaz.9
C. Karya-Karya Ibnu Katsir
Ibnu Katsir merupakan ulama yang produktif dalam memberikan
dan dipelajari kembali. Karya-karya itu mencakup berbagai disiplin
ilmu, antara lain bidang tafsir, hadis, Fiqih, sejarah dan al-Qur’an.
Dari berbagai disiplin ilmu yang ia kuasai menunjukan keluasan
ilmu yang ia miliki.10
a. Dalam Bidang Fiqih :
1) Kitab al-Ijtihad fi Talab al-Jihad Ditulis pada tahun 1368-1369
M. Kitab ini ditulis untuk menggerakan semangat juang dalam
mempertahankan partai Libanon-Syiria dari serbuan raja Franks
di Cyprus. Karya ini banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibn
Taimiyyah, as-Siyasah as-Syar‘iyyah.
8
Nur Faizin Maswan, 38.
9
Al-Dawudi, Thabaqat Mufassiri ( Kairo Mesir: Maktabah Wahbah, 1993),
142.
10
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Quran (Yogyakarta: Pustaka
Insani Madani, 2007), 245.
106
2) Kitab Ahkam. Yaitu Fiqih didasarkan pada al-Qur’an dan hadis.
3) Al-Ahkam ‘Ala Abwab at-Tanbih sebuah karya kitab yang
merupakan komentar atau pemaparan dari kitab at-Tanbih karya
asy-Syairazi.
b. Dalam Bidang Hadis
1) At-Takmil fi Ma’rifat as-Siqat wa ad-Ḍu‘afa’ wa al-Majahil (5
jilid). Merupakan perpaduan dari kitab Tahzibal-Kamal karya al-
Mizzi dan Mizanal-I‘tidal karya az-Zahabi (w. 748 M.) berisi
riwayat-riwayat perawi-perawi hadis.
2) Jami‘ al-Asanid wa as-Sunan (8 jilid), berisi tentang para sahabat
yang meriwayatkan hadis dan hadis-hadis yang dikumpulkan
dari Kutubas-Sittah, Musnad Ahmad, al-Bazzardan abuYa‘la
serta Mu‘jam al-Kabir.
3) Ikhtisar ‘Ulumal-Ḥadis yang merupakan ringkasan dari kitab
Muqaddimah ibn Solah (w. 642 H./1246 M.).
4) Takhrij Ahadis Adillahat-Tanbihli ‘Ulumal-Ḥadis atau dikenal
dengan al-Bahis al-Ḥaddis yang merupakan takhrij terhadap
hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syairazi dalam
kitabnya at-Tanbih.
5) Syarh Sahih al-Bukhari yang merupakan kitab tafsiran (penjelas)
dari hadis-hadis Bukhari.
Kitab ini tidak selesai penulisannya, tetapi dilanjutkan oleh Ibnu
Hajar al-‘Asqalani (952 H. atau 1449 M.)
c. Dalam Bidang Sejarah
1) Al-Bidayah wa an-Nihayah (14 jilid). Kitab ini isinya
memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. Sejarah dalam
kitab ini dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama, sejarah kuno
yang menuturkan riwayat mulai dari awal penciptaan manusia
sampai kenabian Muhammad Saw. Kedua, sejarah Islam mulai
107
dari dakwah Nabi Saw di Makkah sampai pertengahan abad 8
H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun
kejadian.
2) Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul atau as-Sirah an-Nabawiyyah.
3) Tabaqat as-Syafi‘iyyah.
4) Manaqib al-Imam asy-Syafi‘i.
d. Dalam Bidang Tafsir dan Studi al-Qur’an, yaitu:
1) Fada’il al-Qur’an, berisi tentang ringkasan sejarah al-Qur’an.
Pada beberapa terbitan, kitab ini ditempatkan pada halaman
akhir tafsir Ibnu Katsir, sebagai penyempurna.
2) Tafsir al-Qur’an al-‘Aẓim, lebih dikenal dengan nama Tafsir
Ibnu Katsir. Diterbitkan pertama kali dalam 10 jilid pada tahun
1342 H./1933 M. di Kairo.
108
oleh Ibnu Katsir sendiri (selanjutnya tafsir Ibnu Katsir). Terlepas
dari kesimpangsiuran tersebut, karena tidak adanya bukti secara
empiric tentang nama kitab tafsir ini, dan tidak adanya akses untuk
bisa meneliti lebih jauh. Yang pastinya ada kitab tafsir yang ditulis
sendiri oleh Ibnu Katsir .
Ketika berbicara tentang geneologi keilmuan, adalah suatu
yang niscaya bahwa pemikiran seseorang pasti, sengaja atau tidak
disengaja akan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sebelumnya.
Misalnya, Filsafat Islam sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani
yang jauh lebih dulu berekembang. Sedangkan dalam tafsirnya,
Ibnu Katsir banyak dipengaruhi oleh ulama-ulama terdahulu Ibnu
Katsir terpenagruh oleh tafsir Ibnu Ahiyyah, tafsir Ibnu Jarir al-
Tabari, Ibnu abi Hatim, dan beberapa ulama terdahulu lainnya.12
Dan tentunya secara umum pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
Ibnu Taimiyah selaku gurunya.
Tafsir Ibnu Katsir terdiri dari 8 jilid13 (dalam cetakan/terbitan
lain disebutkan hanya empat jilid), jilid 1 berisi tafsir surah al-
Fatihah/1 dan al-Baqarah/2, jilid ke-2 berisi tafsir surah ali Imran/3
dan al-Nisa’/4, jilid ke-3 berisi tafsir surah al-Maidah/5 sampai
al-A’raf/7, jilid ke-4 berisi tafsir surah al-Anfal/8 sampai surah
al-Nahl/16, jilid ke-5 berisi penjelasan surah al-Isra’/17 sampai al-
Mu’minun/23, jilid ke 6 berisi tafsir surah al-Nur/24 sampai surah
Yasin/36, jilid ke-7 berisi tafsir surah al-Shaffat/37 sampai surah
al-Waqi’ah/56, kemudian jilid ke-8 berisi tafsir surah al-Hadid/57
sampai surah al-Nas/114.
109
tafsir ulama terdahulu. Maka dari itu Ibnu Katsir menafsirkan
Kalāmullāh dengan hadis-hadis dan perkataan para sahabat
berdasarkan periwayatannya, disertai memberikan penilaian
secukupnya terkait status daif dan sahih yang meriwayatkannya.
Pada awalnya kitab Tafsīr Ibnu Katsir ini diterbitkan menjadi
satu kesatuan dengan kitab Ma’ālim al-Tafsīr karangannya al-
Bagagī, kemudian pada akhirnya kitab Tafsīr Ibnu Katsir tersebut
diterbitkan secara terpisah yang menghasilkan empat jilid yang tebal.
Metode penafsiran yang digunakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya
memiliki ciri khas yang berbeda. Pada mulanya dia menampilakan
ayat, kemudian menafsirkannya dengan bahasa yang dapat dipahami
dan ringkas. Jika memungkinkan baginya menafsirkan ayat tersebut
dengan ayat lain, maka dia mengetengahkannya, kemudian kedua
ayat tersebut dibandingkan oleh Ibnu Katsir sehingga makna dari
ayat tersebut menjadi jelas dan pengertian yang sebenarnya juga
jelas. Dalam menguraikannya, Ibnu Katsir sangat menitik beratkan
tafsir cara ini yang biasa disebut dengan istilah “Tafsīr Al-Qur`ān
bi al-Qur`ān.” Kitab Tafsir ini adalah tafsir yang paling banyak
menjelaskan ayat-ayat yang saling berhubungan dalam satu makna
di antara kitab-kitab tafsir yang lain, yang sudah dikenal.14
Setelah menafsirkan suatu ayat dengan ayat yang lain,
kemudian mulailah ia mempredikatkan hadis-hadis marfū’ yang
ada hubungannya dengan makna ayat yang bersangkutan, kemudian
ia memaparkan hadis yang dapat dijadikan sebagai landasan
dan hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai landasan di antara
hadis-hadis yang sudah dipaparkannya itu. Tidak lupa pula, ia
mengutip beberapa pendapat tentang ayat yang bersangkutan dari
kalangan sahabat, tabiin, dan ulama salaf setelah mereka. Di antara
pendapat-pendapat yang sudah dipaparkan tersebut ditarjih olehnya
antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya, dan
memberikan status daif sebagian riwayat dan memberikan status
14
Al-Dzahabi, 175.
110
sahih sebagian riwayat yang lainnya; ia juga memberikan penilaian
adil kepada sebagian para perawi dan memberikan penilaian daif
kepada sebagian para perawi yang lainnya. Semua itu dilakukan
disebabkan penguasaannya terhadap semua ilmu hadis dan status
para perawinya.15
Dalam Tafsīr Ibnu Katsir sering kali ditemukan kutipan dari
kitab Ibnu Jarīr, Ibnu Abū Hatim, Ibnu Atiyyah, dan yang lainnya
dari ulama-ulama sebelum Ibnu Katsir.16 Salah satu di antara
keistimewaan Ibnu Katsir yaitu Ibnu Katsir memberikan peringatan
tentang adanya kisah-kisah israiliyat yang menyimpang di dalam
kitab tafsir bi al-Ma’tsur. Ia juga mewanti-wanti pembacanya
supaya mengambil sikap waspada terhadap kisah-kisah israiliyat
secara global, terkadang ia juga menunjukknya dengan jelas dan
menjelaskan sebagian dari hal-hal penyimpangan yang terkandung
di dalam kisah tersebut.17
111
1. Sistematika Tafsir al-Qur’an al-‘Adẓim
Sistematika yang di tempuh Ibnu katsir dalam tafsirnya yaitu
dengan menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an sesuai susunanya
dalam mushaf al-Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah
dimulai dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surah al-
Nas, maka secara sistematika tafsir ini menempuh tartib mushafi.20
Patut disyukuri oleh penikmat tafsir bahwa tafsir Ibnu katsir telah
tuntas atau menyelesaikan sistematika di atas, dibanding dengan
mufasir lain seperti al-Mahalli (781-864 H) dan Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha’ (1282-1354 H). Mengawali penafsirannya, Ibnu
Katsir menyajikan sekelompok ayat yang berurutan yang dianggap
berkaitan dan berhubugan dalam tema kecil. Penafsiran perkelompok
ayat ini membawa pemahaman adanya munasabah ayat dalam
setiap kelompok ayat itu dalam Tartib Mushafi. Dengan begini
akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’an dalam
satu tema kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung
munasabah antar ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mempermudah
seseorang dalam memahami kandungan al-Qur’an serta yang
penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial yang bisa
keluar dari maksud nas. Dari cara tersebut, menunjukan adanya
pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibnu Katsir dalam memahami
munasabah dalam urutan ayat, selain munasabah antara ayat (tafsir
al-Qur’an bi al-Qur’an) yang telah diakui kelebihannya oleh para
peneliti maupun para ulama tafsir.
2. Metode Penafsiran
Kitab suci al-Qur’an menempati posisi sentral, bukan saja dalam
perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga
merupakan inspirator, pemandu, dan pemadu gerakan-gerakan Islam
sepanjang sejarah pergerakan umat. Jika demikian halnya maka
pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui upaya penafsiran
dan Komprehensif) (Jakarta : Riora Cipta, 2000), 76
20 Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir (Yogyakarta:
Menara Kudus, 2002), 61.
112
mempunyai peranan yang signifikan, lahirnya bermacam-macam
tafsir dengan metode yang beraneka ragam dapat mencerminkan
perkembangan serta corak pemikiran para mufassir. Para mufassir
dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, menggunakan satu
atau lebih metode, berdasarkan keahlian dan kecenderungannya
masing-masing. Metode penafsiran diartikan sebagai suatu cara
yang teratur dan terpikir baik-baik, untuk mencapai pemahaman
yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat
al-Qur’an, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.21
Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa metode
penafsiran berisikan seperangkat kaidah dan aturan yang harus
diindahkan ketika menafsirkan ayat al-Qur’an.Untuk mengetahui
metode apa yang dipakai Ibnu Katsir, perlu kiranya melihat secara
sekilas tentang perkembangan metode penafsiran al-Qur’an.
Memperhatikan perkembangan metode penafsiran terutama yang
muncul sebelum masa Ibnu Katsir, akan sangat membantu dalam
melacak bagaimana Ibnu Katsir menafsirkan al-Qur’an. Dalam
perkembangan dunia penafsiran, secara umum metode penafsiran
dibagi menjadi empat macam. Pertama, metode Tahlili, kedua,
metode Ijmali, ketiga, metode muqaran (komparatif) dan keempat,
metode Maudu‘i, (tematik).22 Upaya mengklasifikasi penafsiran
semacam ini juga bervariasi di kalangan para pemerhati tafsir.
Metode Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Qur’an adalah
merupakan sekian dari metodologi ideal yang banyak digunakan
dalam bidang tafsir. Menurutnya, metodologi yang lain tepat dalam
menafsirkan al-Qur’an adalah:23
a. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Dalam tafsir ibnu katsir ditemukan ayat-ayat alqur’an lainnya
21 M. Quraish Shihab, Membumikann al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997),
83.
22 Nashiruddin Baidan, 2.
23 Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun (Medan: Perdana Publishing,
2015), 55.
113
yang terkait dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Ayat-ayat
itu adalah yang menurutnya dapat menopang penjelasan dan
maksud ayat-ayat yang sedang ditafsirkan atau ayat-ayat yang
mengandung kesesuaian arti.
b. Sunnah (hadis)
I bnu katsir, selain menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, ia
juga menafsirkan ayat dengan hadits. Metode ini ia gunakan
ketika tidak terdapat penjelasan dalam ayat lain, atau untuk
melengkapi penjelasan dari ayat tersebut.
Contohnya adalah penafsirannya tentang ghibah dalam surah
Al Hujurat ayat 12,
ََّ ْ َ ت َّ ۖ َّ َ ٰ َّ َ
ٰٓ ي� يُّ َ�ا ال ِذ ْي نَ� ا َم ُنوا ْاج َت ِن ُب ْوا ك ِث ْي ً�ا ِّم َن الظ ِّن اِ ْن َب ْع َض الظ ِّن اِ ث ٌ� َّول ج َ� َّس ُس ْوا
ۗ ََ َ َ َُ ۗ َُ َ ُ َ ْ أ ْ ُ َ َول َي ْغ َت ْب َّب ْع ُض
ك َب ْع ًضا ا ي ِ� ُّب ا َح ُد ْك ان َّ ي� ك ْل َم ا ِخ ْي ِه َم ْي ًتا فك ِر ْه ُت ُم ْو ُه
ٌ الل َت َّو
١٢ �ٌ اب َّر ِح ْي َ ّٰ الل ۗاِ َّن
َ ّٰ َو َّات ُقوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka!
Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-
cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu
kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya
Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Dalam ayat ini, Ibnu Katsir menegaskan dengan Hadits
Rasulullah s.a.w:
114
c. Pendapat sahabat dan tabi’in
Ibnu Katsir mempunyai asumsi bahwa sahabat adalah orang yang
lebuh mengetahui penafsiran karena sahabatlah yang menyaksikan
langsung turunnya ayat- ayat al Qur’an. Dari sinilah kemudian ia
perpendapat bahwa pendapat sahabat juga merupakan rujukan selain
al Qur’an dan Hadits. Kemudian pendapat tabi’in ia gunakan sebagai
hujjah setelah pendapat tersebut telah menjadi kesepakatan diantara
para shahabat. Pendapat yang sering ia gunakan adalah pendapat
Ibnu Abbas dan Qatadah.
Ketika menyoal tafsir bi al-Ra’yi, Ibnu Katsir menyebutkan
“tentang bi al-ra’yi, kalangan salaf cenderung melarang mereka yang
tidak memiliki basik pengetahuan tentang tafsir untuk menafsirkan
al-Qur’an. Berbeda dengan mereka yang memiliki basik disiplin
ilmu bahasa dan syariat yang mendapat legalitas dari kalangan salaf
untuk melakukan penafsiran.” Pendapat ini merupakan pendapat
yang sangat tepat. Bahwa mereka yang menguasai perangkat bahasa
dan syariat sah-sah saja untuk berbincang tentang tafsir bi al-Ra’yi.24
Metodologi ini diterapkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Hingga
kemudian memposisikan tafsir Ibnu Katsir sebagai salah satu di
antara sekian tafsir yang menjadi rujukan para pakar. Generasi
setelahnya banyak yang mengadopsi ide-idenya. Sebutlah semisal
penulis mahasin al-ta’wil, al-manar dan banyak lagi yang lainnya.25
Jelas bahwa metode penafsiran Ibnu Katsir tersebut di
aplikasikan dengan langkah-langkah penafsiran yang dianggapnya
paling baik (ahsanul turuq al-tafsir). Secara garis besar langkah-
langkah yang ditempuh Ibnu Katsir yaitu menyebutkan ayat yang
ditafsirkannya, kemudian ia tafsirkan dengan bahasa yang mudah
dan ringkas. Jika dimungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan
ayat lain. Kemudian membandingkannya sehingga maksudnya
menjadi jelas. Seperti halnya ketika ia menafsirkan kalimat “al-
24
Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun, 55-56.
25
Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun, 56.
115
Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa” (al-
Baqarah/2: 2) ia menafsirkan ayat ini dengan ayat 44 dari surah
Fusshilat,26 ayat 82 dari surah al-Isra’27 dan ayat 85 dari surah
Yunus28. Dan mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang
disandarkan kepada Nabi Saw (marfu’) yang berhubungan dengan
ayat yang ia tafsirkan. Bukan sekedar mengemukakan hadisnya saja,
melainkan ia juga mengemukakan pendapat para sahabat, tabi’in
dan para ulama salaf.
3. Corak Penafsiran
Ibnu Katsir terkadang memaparkan beberapa aturan-aturan
linguistik, i’rab, nahwu, dan aspek balaghah, maka hal itu sangat
jarang dan semata-mata ditujukan untuk membantu dan memudahkan
para pembaca untuk memahami ayat secara luas. Tafsir ini dalam
pembahasannya pada dasarnya menjelaskan hanya sekadarnya saja.
Kemudian para ulama yang lain memperdalam topik-topik ayat
yang ditafsirkan selaras dengan keinginan secara terperinci dan luas.
Tujuannya adalah untuk memperdalam pokok-pokok ilmu tafsir
ي ۗ قُلْ ه َُو لِلَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُهدًى َّو ِشف َۤا ٌء َۗوالَّ ِذيْنَ َل ۬
ٌّ ِع َربَ ي َّوٌّ ِصلَتْ ٰايٰ تُهٗ ۗ َءا َ ْع َجم ّ ِ ُ َولَ ْو َجعَ ْل ٰنهُ قُ ْر ٰانًا ا َ ْع َجمِ يًّا لَّقَالُ ْوا لَ ْو َل ف26
٢٨ ارا
ً س ّٰ َونُن ِ َّز ُل مِ نَ ْالقُ ْر ٰا ِن َما ه َُو ِشف َۤا ٌء َّو َرحْ َمةٌ لّ ِْل ُمؤْ مِ ِني ْۙنَ َو َل يَ ِز ْيدُ ال27
َ ظلِمِ يْنَ ا َِّل َخ
“Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang mukmin, sedangkan bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya
akan menambah kerugian.”
ّٰ علَى ِّٰللا ت ََو َّك ْلنَا َۚربَّنَا َل تَجْ عَ ْلنَا فِتْنَةً لّ ِْلقَ ْو ِم
٥٨ َالظلِمِ يْن َ فَقَالُ ْوا28
“Mereka pun berkata, “Kepada Allahlah kami bertawakal. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi kaum yang zalim.”
116
yang sesuai keilmuan dan pemahaman yang dimiliki oleh ulama.
Sehingga dapat menjadi terurai dengan gamblang.29
117
seorang penghuni negeri itu adalah cucu Nabi Adam yang tinggi
badannya 3.333 1/3 hasta. Ia mengomentarinya bahwa hal tersebut
mustahil dan bertentangan dengan dalil yang kuat dari Shahih
Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa Allah menciptakan
Adam dengan tinggi badan 60 hasta, setelah itu Allah menciptakan
tinggi manusia kurang dari itu.30
Namun, walaupun Ibnu Katsir telah berusaha untuk melakukan
kritik dan seleksi terhadap riwayat- riwayat israiliyat dalam
penafsirannya, tetapi terkadang ia tidak memberikan komentar sama
sekali, padahal riwayat israiliyat sangat perlu untuk dikritk.
Penafsiran ayat-ayat hukum
Sebagai seorang ahli hukum Islam, Ibnu Katsir telah
memberikan penjelasan yang relatif lebih luas dalam menafsirkan
ayat-ayat yang bernuansa hukum, apalagi ketika menafsirkan ayat-
ayat yang dipahami secara berbeda-beda di kalangan para ulama.
Dalam hal ini, ia sering menyajikan diskusi dengan mengemukakan
argumentasi masing-masing ulama, termasuk pendapatnya sendiri.
Misalnya ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 185, yang berisi
tentang perintah berpuasa di bulan Ramadhan, dan perintah untuk
menggantinya bagi orang yang sedang sakit dan safar. Berikut
kutipan ayat tersebut:
ۚ َ ُْ ْ
اس َو َب ِّين ٍت ِّم َن ُال ٰدى َوالف ْرق ِان
ٰ
لن ِ ِ ِ ِ ْ َش
َّ � ُر َر َم َض َان َّالذ ْٓي ُا نْ ز� َل ف ْيه ْال ُق ْر ٰا ُن ُه ًدى ّل
َ ٌ َ َ َ ِ َ َ ْ َ ِ ْ َّفَ َ ْ شَ َ ْ ُ ُ ش
ال� َر فل َي ُص ْم ُه َۗو َم ْن كن َم ِر ْي ًضا ا ْو َع ٰل َسف ٍر ف ِع َّدة ِّم ْن ا َّ ي� ٍم �د ِمنك ِ ُ َ�ن
ٰالل َعل َ ّٰ س َۖوِل ُت ْ ِك ُلوا ْال ِع َّد َة َوِل ُت َك ّب ُ�وا ُ ْ
َ ْ ك الع ُ ُ ْ
ُ س ول ُ ي� يد ِبَ َ ُ
َْ ُ ْ ُ ُ ّٰ ُ ْ ُ
ِ ِ َ ُ اخ َ َر ٰ ي ِۗ� يُد َالل َّ ِب ُك َ ْالي
١٨٥ ك تشك ُر ْون ْ ىك َول َعل
ْ َما هد
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-
Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang
batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat
tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa
30
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj.
M. Abdul Ghoffar & Abu Ihsan Al-Atsari (Bogor: Pustaka Imam AlSyafi‟I, 2004),
118
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka
(wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.”
Tentang Naskh (Penghapusan)
Dalam tafsirnya Ibnu Katsir membahas masalah nasikh dalam
surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut,
ُّ َ ّٰ سا نَ أْ� ِت ِب خَ� ْي� ِّم نْ َ� ٓا َا ْو ِم ْث ِل َها ۗ َا َ ْل َت ْع َ ْل َا َّن
الل َع ٰل ِك َ ِ َما َن ْن َس ْخ ِم ْن ٰا َي ٍة َا ْو ُن ْن
ٍ َ ْ َش
١٠٦ �ٌ � ٍء ق ِد ْ ي
ي
“Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia)
lupa padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?”
“Menurut akal sehat, tidak ada suatu hal pun yang melarang
adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah Ta‟ala, karena dia
dapat memutuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya,
sebagaimana Dia juga dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-
Nya. Yang demikian itu juga telah terjadi di dalam kitab-kitab dan
syari‟at-syari‟at-Nya yang terdahulu”31
Selanjutnya Ibnu Katsir menyebutkan bahwa secara keseluruhan
kaum muslimin telah sepakat tentang adanya nasikh dalam hukum-
hukum Allah Swt, karena di dalamnya terdapat hikmah yang sangat
besar. Ibnu Katsir dengan tegas mengatakan bahwa pendapat Abu
Muslim itu sangat lemah dan patut ditolak serta sangat mengada-ada
perihal jawabannya mengenai masalah nasikh. Dari penjelasannya
mengenai masalah nasikh Ibnu Katsir tidak menyebutkan mengenai
jumlah ayat nasikh-mansûkh yang terdapat dalam Alquran. Dalam
kitab tafsirnya Ia hanya membahas tentang tidak mustahil adanya
31
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, 218.
119
nasikh-mansûkh dalam hukumhukum Allah yakni dalam Alquran
dan tidak ada pun yang melarang.32
Tentang Muhkam dan Mutasyabih
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini ia mengikuti
pendapat Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasar, yang berpendapat bahwa
ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam merupakan argumentasi Tuhan,
kesucian hamba, dan untuk mengatasi perselisihan yang batil. Pada
ayat-ayat tersebut tidak ada perubahan dan pemalsuan.
Sedangkan pada ayat-ayat yang mutasyabihat tidak ada
perubahan dan penakwilan. Allah hendak menguji hamba-hambanya
melalui ayat-ayat ini sebagaimana dalam perkara halal dan haram;
apakah dengannya akan berpaling kepada yang batil, dan berpaling
dari kebenaran (yang haq).33
Tentang Ayat-Ayat Tasybih (Antropomorfosis)
Dalam menafsirkan ayat-ayat tasybih, nampaknya ia mengikuti
pendapat ulama salaf al-shalih, yang berpendapat tidak adanya
penyerupaan (tasybih) perbuatan Allah dengan hamba-hamba-Nya.
Ia memilih “membiarkan” atau tidak mengartikan lafadz-lafadz
tasybih dalam al-Qur’an, seperti kursii, ‘arsy; dan istawaa.34 Di sini
terlihat dominasi riwayat atau hadis sangatlah kuat mempengaruhi
penafsirannya, ia tidak menakwilnya sama sekali.
Cara Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat semacam ini
adalah dengan mengutip pendapat sejumlah ulama. Ia juga mengutip
hadis-hadis. Namun, menurut penelitiannya, hadis-hadis tersebut
kualitasnya lemah. Ringkasnya, dalam masalah ini sikapnya lebih
berhati-hati.35
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, 219.
32
33
Lebih lengkapnya lihat Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz II, 6-13.
Mengenai penafsiran QS. Ali Imran/3: 7.
34
Lihat penafsirannya dalam surah al-Baqarah: 255; Hud: 7; dan Fussilat: 11.
35
Lebih lengkapnya lihat Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz I, 156. QS. Al-
Baqarah: 1.
120
H. Israiliyat dalam Tafsir Ibn Katsir
Mengenai riwayat israiliyat yang terdapat dalam tafsirnya
tersebut dimaksudkan sebagai pengetahuan dan tidak membawa
manfaat bagi agama Islam.36 Dalam hal ini, ia menyandarkan
pendapatnya pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Abdullah
bin Amru, berikut ini:
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat dan bicaralah apa
saja tentang bani Israil tanpa ada larangan, dan siapa yang berdusta
atas namaku dengan sengaja maka baginya tempat di neraka.”37
Nampaknya atas dasar hadis inilah Ibnu Katsir memasukkan
riwayat israiliyat dalam kitab tafsirnya. Walaupun demikian, ia
tidak memasukkan riwayat tersebut mentah-mentah tanpa ada
seleksi terlebih dahulu. Hal ini dapat dilihat pada sebagian besar
riwayat israiliyat yang terdapat dalam tafsirnya tidak luput dari
komentar dan kritikannya.
Selain itu, dalam tafsirnya juga terdapat beberapa riwayat
israiliyat yang tidak ia benarkan atau dustakan, dalam hal ini ia
bersikap tawaquf.38 Sikap ini pun nampaknya ia sandarkan pada
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, berikut ini:
“Ahli kitab membaca kitab Taurat dengan mempergunakan
bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk
dikonsumsi umat Islam. Mendengar hal itu, Nabi bersabda:
‘janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula
mendustakannya, tetapi katakanlah kami beriman kepada Allah dan
apa-apa yang telah diturunkan kepada kami.’”39
Selain kedua hal tersebut di atas, ternyata dalam tafsir ini
terdapat pula beberapa riwayat israiliyyah yang luput dari komentar
36
Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 497.
37
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, jild IV (Beirut: Dar al-Fikr), 320.
38
Penafsiran ini dapat dilihat dalam misalnya ketika menafsirkan ayat ke-60
dari surah al-Baqarah, tentang kisah Nabi Musa dengan Bani Israil.
39
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, jilid IV, 270.
121
dan kritikannya.40 Hal ini sangatlah mungkin terjadi, karena seorang
tidak akan pernah terhindar dari kekurangan dan kesalahan. Oleh
karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut
penulis dalam tafsir ini terdapat tiga kategori israiliyat, yaitu;
pertama, riwayat israiliyat yang ia cantumkan tapi juga dikritik
dan dikomentarinya. Kedua, kisah israiliyat yang dicantumkannya
tapi tidak dibenarkan dan juga disalahkannya. Dan yang ketiga,
kisah israiliyat yang luput dari penilaiaannya, yaitu kisah tersebut
termasuk dalam israiliyat, namun ia tidak memberikan penjelasan
bahwa itu adalah israiliyat .
I. Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Ibnu Katsir
Keistimewaan
1. Tafsir yang masyhur yang memberikan perhatian terhadap apa
yang telah diberikan oleh mufassir salaf, menjelaskan makna-
makna dan hukumnya.
2. Perhatian yang sangat besar dengan penafsiran antara al-Qur’an
dengan al-Qur’an.
3. Merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan
ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan
penafsiran ayat dengan hadis marfu’ yang ada relevansinya
dengan ayat yang sedang ditafsirkan serta menjelaskan apa
yang dijadikan hujjah dari ayat tersebut. Kemudian diikuti pula
dengan atsar para sahabat dan pendapat tabi’in dan ulama salaf.
4. Disertakan selalu peringatan akan cerita-cerita israiliyat yang
tertolak (munkar) yang banyak tersebar di dalam tafsir-tafsir bi
al-Ma’tsur. Baik peringatan itu secara global atau mendetail.
5. Bersandar pada riwayat-riwayat dari sabda Nabi saw., para
sahabat, dan tabi’in.
6. Keluasan sanad-sanad dan sabda-sabda yang diriwayatkan serta
40
Hal ini dapat dilihat, misalnya dalam menafsirkan surah al-Baqarah: 258,
Taha: 20, al-Nisa: 1.
122
tarjihnya akan riwayat-riwayat tersebut.
7. Penguasaan terhadap ayat-ayat nasikh mansukh, serta
penguasaannya terhadap shahih dan sakimnya jalan-jalan
riwayat.
8. Menjadi literatur mufasir setelahnya, telah dicetak dan disebarkan
ke segala penjuru.
9. Tidak mengandung permusuhan diskusi, golongan dan mazhab.
Mengajak pada persatuan dan mencari kebenaran bersama.41
Kelemahan
1. Masih terdapat hadis dhaif dan pengulangan hadis shahih.
2. Terdapat sejumlah israiliyat , sekalipun ia mengingatkannya,
namun tanpa penegasan dan penyelidikan.
3. Di dalamnya disebutkan juga khabar-khabar yang sanadnya
tidak shahih, kemudian tidak dijelaskan bahwa ia tidak shahih.
4. Bercampurnya yang shahih dan yang tidak shahih, dan penukilan
perkataan dari para sahabat dan tabi’in tanpa isnad dan tidak
konfirmasi.42
123
dalam tradisi intelektual Ilmu Kalam (Teologi Islam) dikenal adanya
dua kategori Ahl al-Sunnah, yaitu: Ahl al-Sunnah Salafiah (atau
sering disebut kaum Salafiah) dan Ahl al-Sunnah Khalafiah.45
Yang disebut Salaf adalah generasi awal mulai dari para
sahabat, tabai’in dan tabi’ut tabi’in, dan Khalaf adalah generasi yang
datang kemudian setelah itu. Jika Ahl al-Sunnah Salafiah secara
formal berakar pada para Ulama’ Hanabilah (abad ke-4 Hijriah) dan
kemudian dihidupkan kembali dan diformulasikan ajarannya secara
lebih sistematis oleh Ibn Taimiyah (abad ke-7 Hijriah), maka Ahl al-
Sunnah Khalafiah lebih menunjuk kepada sistem teologi tradisional
yang kemudian dikenal dengan sebutan Asy’ariah dan Maturidiah.46
Adapun secara terminologis (istilah), antara lain disampaikan
oleh Ibrahim Madzkur bahwa kelompok salaf (salafiyun), atau yang
biasa disebut dengan salaf as-shalih, adalah mereka yang berpegang
teguh kepada atsar (hadis), secara metodologis lebih mengutamakan
keberadaan riwayah daripada dirayah, dan lebih mengutamakan naql
(wahyu) daripada ‘aql (akal). Mereka mengklaim dirinya sebagai Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah (golongan penegak sunah dan mayoritas
umat), karena paham akidah mereka dianggap (setidaknya menurut
klaim mereka sendiri) orisinil dari ajaran Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw sebagaimana yang diterima oleh umat Islam
generasi pertama (sahabat).47 Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah Salafiah atau Ahl al-Sunnah
Salafiah adalah orang-orang yang pandangan akidahnya merujuk
kepada para ulama’ generasi Salaf atau pengikut aliran Salaf dalam
bidang akidah (Islam).
45
Lihat Abul Yazid Abu Zaid al-‘Ajami, Akidah Islam Menurut Empat
Madzhab, terjemah Faisal Saleh dan Umar Mujtahid (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2012), 129-156.
46
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal-Jama’ah dalam Persepsi
dan Tradisi NU (Jakarta: Lantabora-Press, 2003), 8.
47
Ibrahim Madzkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, Vol. 2 (Mesir: Dar al-
Ma’arif, t.th.), 30.
124
Madzhab Ahl al-Sunnah Salafiah secara historis telah muncul
pertama pada abad keempat Hijriah. Mereka adalah terdiri dari
para ulama Hanabilah, para pengikut Ahmad bin Hanbal (w. 241
H/855 M) yang ingin melakukan revitalisasi akidah ulama Salaf dan
berusaha menolak paham lainnya. Selanjutnya paham ini muncul
kembali pada abad ke-7 Hijriah oleh Ibn Taimiyah (w. 729 H/1329
M). Dalam konteks ini, Ibn Taimiah secara intens menyebarluaskan
faham ini dengan menambahkan beberapa hal doktrin teologis
dengan mengaktualisasikan pemikiran faham ini sesuai dengan
kondisi zamannya, dan bahkan kemudian Ibn Taimiyah diapresiasi
sebagai tokoh yang telah berhasil menformulasikan secara sistematis
doktrin teologis Ahl al-Sunah Salafiah secara lengkap.48 Selanjutnya
pada abad ke-12 Hijriah pemikiran serupa muncul kembali di
jazirah Arab dihidupkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab,49
yang kemudian dalam sejarah dikenal dengan sebutan gerakan
Wahabiyah.
Para pendukung utama dari madzhab Ahl al-Sunnah Salafiah
adalah tokoh-tokoh ahli hadis (muhadditsun), karena sesuai dengan
ketekunan mereka dalam menjaga kelestarian hadis dari satu
generasi ke generasi berikutnya.50 Tradisi para sahabat nabi dalam
memahami dan menformulasikan pendapatpendapat mereka di
sekitar akidah-akidah Islam, merupakan salah satu yang mereka
lestarikan itu. Oleh karena itulah, sejalan dengan ini metode yang
mereka pergunakan dalam membahas materi akidah Islam adalah
metode tekstual,51 dimana akal sepenuhnya tunduk di bawah otoritas
naqal, dengan perlakuan yang relatif ketat berpegang teguh kepada
teks-teks wahyu yang diterimanya, serta bersikap ekstra hati-
hati terhadap rasionalisasi-rasionalisasi yang mendalam terhadap
persoalan-persoalan akidah Islam.
48
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 35.
49
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta:
Logos Publishing House), 225.
50
Musthafa Hilmi, As-Salafiyat bain al-Aqidat al-Islamiyat wa al-Falsafah
al-Gharbiyah (Iskandariah: Dar al-Da’wah, 1983), 82.
51
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali, 35.
125
Sebagaimana dijelaskan di atas, sebagai tokoh utama dari Ahl
al-Sunnah Salafiah ini ialah Ahmad bin Hanbal, seorang pemuka ahli
hadis dan pendiri Madzhab Hanbali di bidang fiqih. Ketenarannya
sebagai tokoh Salafiah, yang juga menamakan dirinya sebagai Ahl
as-Sunnah, adalah karena keteguhannya melakukan pemmbelaan
pendirian teologisnya pada saat pemberlakuan mihnah , yang
dilaksanakan oleh Khalifah al-Makmun (198-218 M) dan dilanjutkan
oleh dua Khalifah penggantinya, yakni al-Mu’tasim (833-842 M)
dan al-Watsiq (842847 M) yang melakukan pemaksaan terhadap
para ulama pada waktu itu, terutama ulama ahli fiqih dan ahli hadis,
dan juga para tokoh pejabat pemerintahan, untuk menerima dan
meyakini kebenaran salah satu doktrin teologis Mu’tazilah yakni
tentang kemakhlukan al-Quran.52
126
disebutkan: ‘(Berarti ia telah berbuat dusta) terhadap Allah. ‘Karena
sesungguhnya Allah telah berfirman, Dia tidak dapat dicapai
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan
itu.’ Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dan telah ditegaskan dalam kitab
shahih dan juga kitab lainnya, dari Aisyah, dari berbagai jalan).
Selain itu Ibnu Katsir juga mengutip pendapat yang berbeda
dari Ibn Abbas, menurut Ibn Abbas kata ra’yu (melihat) di dalam
ayat tersebut bersifat mutlak. Ia mengatakan pula bahwa Rasulullah
saw. melihat Allah dengan hati sebanyak dua kali, dan masalah ini
dikemukakan dalam penafsiran awal surah al-Najm.
Kemudian Ibnu Katsir juga mengutip beberapa ayat al-Qur’an
yang mempunyai makna yang sama pada ayat di atas, di antaranya
adalah surah al-Qiyamah/75: 22-23,
ٌ َ َٰ َ ّ َ ن ٌۙ َّ
٢٣ ۚ اِ ل ر ِب�ا � ِظرة٢٢ �ةَ ُو ُج ْو ٌه َّي ْو َم ِٕى ٍذ ن� ِ ض
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, (karena)
memandang Tuhannya.”
Juga mengenai orang-orang kafir yang terdapat di dalam
surah al-Muthaffifin:15. Setelah itu Ibnu Katsir langsung mengutip
perkataan Imam Syafi’i, bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan
orang-orang mukmin tidak terhalang untuk melihat Allah yang
Maha Suci.54
Pengampunan
َ َ ّٰ ْ َّْ ّٰ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُّ شْ َ َ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ ٰ َ َ ْ َّ َ ۤ ُ َ َ ْ ُّ ش
لل فق ِدِ ��ك ِب
ِ اِ ْ َن الل ْل يغ ِفر ان ي�ك ِب ٖه ويغ ِفر ما دون ذ ِلك ِلن يشاء ۚ ومن ي
٤٨ اف ت ٰٓ�ى اِ ث ً�ا َع ِظ يْ� ًما
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena
mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa
(dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.
Siapa pun yang mempersekutukan Allah sungguh telah berbuat
dosa yang sangat besar.” (QS. An-Nisa/4: 48)
54
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 3, 268.
127
Allah tidak mengampuni perbuatan syirik, dalam arti tidak
mengampuni seorang hamba yang menjumpai-Nya dalam keadaan
musyrik. Dan Allah mengampuni dosa selain itu, yaitu bagi yang
dikehendaki-Nya.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini banyak merujuk kepada
sejumlah hadis, diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Idris yang mengatakan bahwa Setiap dosa pasti diampuni oleh
Allah, kecuali seorang yang mati dalam keadaan kafir atau membunuh
seorang mukmin secara sengaja. Hadis ini juga diriwayatkan oleh
al-Nasa’i.
Kemudian Ibnu Katsir juga mengutip hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim mengenai hadis ketika Nabi Muhammad
didatangi oleh malaikat Jibril yang membawa kabar gembira untuk
umat manusia. Dalam dialog antara malaikat Jibril dan Rasulullah,
Jibril memberi kabar gembira bahwa siapapun yang mati dalam
keadaan masih beriman atau tidak menyekutukan Allah sedikitpun
maka akan dimasukkan ke dalam surga. Meskipun seseorang itu
mencuri ataupun berzina, dan meminum khamr.55
Pada kalimat “Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.” Ibnu Katsir menafsirkan dengan ayat lain yang terdapat
dalam surah Luqman/: 13.
Sedekat Urat Nadi
َ ْ َ َن َْ ُ َ َ َ ْ ْ َْ َ ََ
َولق ْد خلق َنا ِالن َسان َون ْع ُل َما ت َو ْس ِو ُس ِب ٖه نف ُس ٗه َۖو ْ� ُن اق َر ُب اِ ل ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل
َ ُ ْ َ ّ ْ ّ َ ُ ْ َّْ َ َ َ ق ْ
َما َيل ِفظ ِم ْن ق ْو ٍل١٧ ال َتل ِق ٰ ي ِن� َع ِن ال َي ِم ْ ي ِن� َو َع ِن ال ِ�ش َم ِال ق ِع ْي ٌد � اِ ذ يتل١٦ ال َو ِر ْي ِد
َ َّ
١٨ اِ ل ل َد ْي ِه َر ِق ْي ٌب َع ِت ْي ٌد
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya. (Ingatlah) ketika dua malaikat
mencatat (perbuatannya). Yang satu duduk di sebelah kanan dan
55
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 2, 328
128
yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata pun yang terucap,
melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap
(mencatat).” (QS. Qaf/50: 16-18)
Pada ayat ini Allah menceritakan tentang kekuasaan-Nya
atas umat manusia, bahwa Dia adalah pencipta mereka, ilmu
pengetahuan-Nya meliputi seluruh persoalan hidupnya, bahkan Dia
mengetahui segala apa yang ada dalam hati manusia.
Pada kata “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
Ibnu Katsir memaknainya dengan para Malaikat-malaikat Allah
yang lebih dekat kepada manusia daripada urat leher mereka. Bagi
Ibn Katsir, orang yang mneafsirkan dengan men-ta’wil bahwa yang
lebih dekat itu adalah ilmu Allah, maka ia berusaha agar tidak mesti
adanya hulul atau ittihad (keyakinan bahwa Allah menempati jasad
seseorang). Dan hulul atau ittihad ini ditolak oleh sejumlah ulama.
Dalam memaknai kata “Kami” pada ayat di atas,56 Ibnu Katsir juga
mengutip surah al-Waqi’ah/56: 85,
َ ُ ْ ُ َّ ْ ٰ َ ْ ُ ْ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ْ ََ ن
٨٥ ص ْونِ و�ن اقرب اِ لي ِه ِمنك ول ِكن ل تب
“Kami lebih dekat kepadanya (orang yang sedang sekarat)
daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.”
Menurutnya, ayat-ayat tersebut berkenaan dengan malaikat
yang sedang mendatangi orang yang mengalami sakaratul maut.
Selain itu, ia memaknai “Kami” dengan malaikat juga dijelaskannya
dalam surah al-Hijr/: 9,
َ ُ َ َ ْ ّ َ ْ َّنَّ نَ ْ ُ نَ ز
٩ الذك َر َ اِو نَّ� ٗل ٰل ِفظ ْون
ِ اِ � �ن �لنا
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti
Kami (pula) yang memeliharanya.”
Dengan demikian, para Malaikat itulah yang telah turun
membawa al-Qur’an dengan izin Allah. Demikian pula para
Malaikat mempunyai kedekatan dengan umat manusia seperti
halnya setan juga mempunyai hal yang sama. Sebagaimana yang
56
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 7, 510.
129
telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, ayat tersebut
masih ada kaitannya dengan ayat setelahnya mengenai pencatatan
amal perbuatan manusia oleh dua malaikat.57
Para ulama berbeda pendapat, apakah Malaikat itu menulis
setiap ucapan yang diucapkan oleh manusia, seperti pendapat
Hasan dan Qatadah, ataukah para Malaikat itu mencatat pahala
maupun siksaan yang dihasilkan dari perbuatan tersebut, seperti
yang menjadi pendapat Ibn Abbas? Mengenai hal tersebut terdapat
dua pendapat. Menurut lahiriah ayat, pendapat pertama adalah
pendapat yang tepat, hal itu didasarkan pada keumuman firman
Allah “Tidak ada suatu ucapan pun
yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas
yang selalu hadir.”58
Ibnu Katsir banyak mengutip riwayat dari para ulama, di
antaranya hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan
Ibn Majah yang mana hadis itu dinilai hasan shahih. Selain itu ia
juga mengutip hadis yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, yang mana
pada hadis tersebut dijelaskan jika seorang manusia melakukan
kesalahan lantas malaikat tidak langsung mencatatnya. Jika manusia
melakukan perbuatan yang buruk dan bersegera meminta ampun
kepada Allah maka malaikat tidak mencatatya namun jika manusia
tidak bersegera meminta ampunan kepada Allah maka malaikat akan
mencatat amalnya. Setelah itu Ibnu Katsir langsung mengaitkan dan
mencantumkan di dalam kitab tafsirnya dengan pendapat al-Hasan
al-Bashri yang mengatakan pada setiap diri manusia dihamparkan
dua malaikat mulia yang ditugaskan oleh Allah untuk mencatat amal
perbuatan selama di dunia. Malaikat tersebut berada di sisi kanan
dan yang lainnya berada di sisi kiri. Adapun malaikat yang berada
di sisi kanan akan mencatat mala kebaikan, sedangkan malaikat
yang berada di sisi kiri ditugaskan untuk mencatat amal keburukan.
Sehingga ketika manusia mati, akan digulungkan kembali lembaran
57
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 7, 510-511.
58
Ji Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 7, 511.
130
catatan amal dan dikalungkan di leher menuju kubur, dan akan
dibangkitkan kembali pada hari Kiamat.59 Dan pada saat itu Allah
berfirman dalam surah al-Isra/: 13-14,
ْ ْ ُ ْ ْٰ ْ َ ُن ٰۤ ف ْ َ ْ َّ ُ
اِ ق َرأ١٣ َوك ۗ اِ ن َس ٍان ال َز ْم ٰن ُه ط ِٕ َى ٗه ِ ي ْ� ُع ُن ِق ٖۗه َو خْ� ِر ُج ٗل َي ْو َم ال ِق ٰي َم ِة ِك ٰت ًبا َّيلق ُىه َمنش ْو ًرا
ۗ َ َ ْ َ ْ َٰ َ
١٤ ِك ٰت َبك ك ف� ِب َنف ِسك ال َي ْو َم َعل ْيك َح ِس ْي ًبا
“Setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal
perbuatannya di lehernya. Pada hari Kiamat Kami keluarkan
baginya sebuah kitab yang dia terima dalam keadaan terbuka.
(Dikatakan,) “Bacalah kitabmu. Cukuplah dirimu pada hari ini
sebagai penghitung atas (amal) dirimu.”
Penciptaan Alam
ۗ ْ َ ُ َ َْ َّ الل َّال ِذ ْي َخ َل َق
الس ٰم ٰو ِت َوال ْر َض ِ ف ي ْ� ِس َّت ِة ا َّ ي� ٍم ث َّ� ْاس َت ٰوى َعل ال َع ْر ِش ُ ّٰ ك ُ ُ اِ َّن َر َّب
َ ََ َ ُّ الش ْم َس َو ْال َق َم َر َو
الن ُج ْو َم ُم َس َّخ ٰر ٍۢت ِب� ْم ِر ٖٓه ۙال ُل
َّ َّ ۙ ً ْ َ ٗ ُ ُ ْ َ َ َ َُّ ْ ش َّ ْ َ ن
يغ ِ� اليل ال�ار يطلبه ح ِثيثا و
َ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َْ خ
ُ ّٰ ال ْم ُۗر َت ٰب َ� َك
٥٤ �الل َر ُّب ال ٰع ِل ي
ن ْ اللق و
“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam
di atas ʻArasy. Dia menutupkan malam pada siang yang
mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan,
dan bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya. Ingatlah! Hanya
milik-Nyalah segala penciptaan dan urusan. Maha berlimpah
anugerah Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raf/7: 54)
Allah memberitahukan bahwa Allah adalah Rabb yang telah
menciptakan alam ini, langit, bumi, dan juga seisinya dalam enam
hari. Ibn Katsir menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa yang
dimaksud enam hari adalah hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis,
dan Jumat. Di dalamnyalah seluruh penciptaan diselesaikan dan
di dalamnyalah Adam diciptakan. Sedangkan menurutnya hari
Sabtu di dalamnya tidak terjadi penciptaan, karena ia merupakan
hari ketujuh. Dan dari itu pula hari itu dinamakan hari Sabtu, yang
berarti pemutusan atau penghentian.60
59
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 7, 511-512.
60
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 3, 391.
131
Kemudian Ibn Katsir mengutip beberapa riwayat di dalam
tafsirnya, di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad mengenai jumlah hari dalam penciptaan alam semesta.61
“Allah menciptakan tanah pada hari Sabtu, Allah menciptakan
pepohonan gunung-gunung di bumi itu pada hari Ahad, menciptakan
pepohonan di bumi itu pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang
dibenci pada hari selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu,
menyebarluaskan binatang pada hari Kamis, dan menciptakan Adam
setelah Ashar pada hari Jumat sebagai ciptaan terakhir pada saat
paling akir dari Jumat, yaitu antara waktu Ashar sampai malam.”
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim ibn
Hajjaj dalam Shahih Muslim dan Imam al-Nasa’I, dari Hajjah ibn
Muhammad al-A’war, dari Ibn Juraij, yang di dalamnya mengandung
pengertian tujuh hari, sedangkan Allah sendiri telah menyebutkan
“dalam enam hari”. Oleh karena itu Imam Bukhari dan beberapa
huffazh berpendapat mengenai hadis ini dan menilainya berasal dari
Abu Hurairah, dari Ka’ab al-Ahbar, bukan sebagai hadis marfu’.62
Sedangkan pada firman selanjutnya “Kemudian Allah
bersemayam di atas ‘ars-Nya.” Mengenai ayat ini, para ulama
banyak memiliki perbedaan pendapat. Ibnu Katsir menyatakan
dalam kitabnya bahwa di dalam tafsirnya bukanlah tempat untuk
memaparkan ayat tersbut. Tetapi ia menempuh jalan para ulama
salafu shalih, yaitu Imam Malik, al-Auza’I, al-Tsauri, al-Laits
ibn Sa’ad, al-Syafi’I, Ahmad, Ishaq ibn Rahawaih dan imam
yang lainnya, baik yang terdahulu maupun yang hidup pada masa
berikutnya. Yaitu dengan membiarkannya seperti apa adanya, tanpa
adanya takyif (mempersoalkan kaifiyatnya/hakikatnya), tasybih
(penyerupaan), dan ta’thil (penolakan). Dan setiap makna zahir yang
terlintas pada benak orang yang menganut paham musyabbihah
(menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut
61
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 3, 391.
62
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 3, 392.
132
terjauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah
yang menyerupai-Nya. 63
Arsy
ْ َ ٰ ْ َّ َ
٥ ح ُن َعل ال َع ْر ِش ْاس َت ٰوىالر
“(Dialah Allah) Yang Maha Pengasih (dan) bersemayam di atas
ʻArsy.” (QS. Taha/20: 5)
Menurut Ibn Katsir, pembahasan mengenai keberadaan Allah di
Arsy telah diberi penjelasan pada surah al-A’raf sehingga tidak perlu
untuk diulang kembali pada surah ini. Jalan yang paling selamat
dalam hal tersebut adalah manhaj salaf, yaitu menetapkan apa yang
terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis tanpa takyif (menanyakan
bagaimana), tahrif (penyimpangan), tasybih (penyerupaan), ta’thil
(penolakan), dan tamtsil (persamaan).64
KESIMPULAN
Seorang mufasir dalam menafsirkan ayat di dalam al-Qur’an
mempunyai metode dan corak (ittijah) tersendiri. Namun tidak
sedikit pula mufasir ketika memaknai ayat merujuk atau mencontoh
para mufasir terdahulu dalam menafsirkan ayat. Salah satunya
yaitu Ibnu Katsir, yang bernama lengkap ‘Imad ad-Din abu al-
Fida’ Isma‘il Ibn Zara’ al-Busra ad-Dimasyqi. Jika kita melihat di
dalam kitab tafsirnya, ia banyak mengutip ayat dan mengemukakan
pendapat ulama-ulama salaf dalam menafsirkan sebuah ayat, bahkan
jarang sekali ditemukan penjelasan secara spesifik berdasarkan
pendapatnya sendiri. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, aspek arti kosakata
dan penjelasan arti tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek tersebut
dijelaskan ketika dianggap perlu. Atau kadang pada suatu ayat, suatu
lafal dijelaskan arti kosakatanya, sedang lafal yang lain dijelaskan
arti globalnya karena mengandung term (istilah), bahkan dijelaskan
63
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 3, 392.
64
Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, jilid 5, 370.
133
secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan term itu pada
ayat-ayat lainnya. Hal itulah yang menjadikan tafsir Ibnu Katsir
memiliki corak (ittijah) salafi.
134
DAFTAR PUSTAKA
Abu Fida, Al-Hafidz Imaduddin. Al-Bidayah wa an-Nihayah. Beirut:
Darul Haq, 2004.
Abu Shabah, Muhammad bin Muhammad. al-Israilyat wa al-
Maudhudat fi Kutub al-Tafsir. Kairo: Maktabah al-Sunnah,
1958.
al-‘Ajami, Abul Yazid Abu Zaid. Akidah Islam Menurut Empat
Madzhab, terj. Faisal Saleh dan Umar Mujtahid. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2012.
al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Jilid IV. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Dawudi. Thabaqat Mufassiri. Kairo Mesir: Maktabah Wahbah,
1993.
al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1.
Kairo: Darul Hadis, 2005.
al-Fauzan, Muhammad ibn Salih. Fushul fi Ushul al-Tafsir. Riyadh:
Dar al-Nasyri al-Dauli.
al-Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan al-Qur’an, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Anwar, Rosihon. Melacak Unsur-unsur Israiliyat. Bandung: Pustaka
Setia, 1999.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Quran. Yogyakarta:
Pustaka Insani Madani, 2007.
Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlussunnah wal-Jama’ah dalam
Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta: Lantabora-Press, 2003.
Hasbiyallah, Muhammad. “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya
Membumikan Nilai-Nilai Al-Qur’an,” Al-Dzikra: Jurnal Studi
Ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits, Vol. 12, no. 1, Juni (2018).
135
Hilmi, Musthafa. As-Salafiyat bain al-Aqidat al-Islamiyat wa al-
Falsafah al-Gharbiyah. Iskandariah: Dar al-Da’wah, 1983.
ibn Katsir, Imad Al-Din Abul Fida Ismail ibn Umar. Tafsir Ibnu
Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar & Abu Ihsan Al-Atsari. Bogor:
Pustaka Imam AlSyafi‟I, 2004.
Jahja, Zurkani. Teologi al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Masyriq.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:
Paramadina, 1996.
Madzkur, Ibrahim. Fi al-Falsafat al-Islamiyah, Vol. 2. Mesir: Dar
al-Ma’arif.
Maswan, Nur Faizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir.
Yogyakarta: Menara Kudus, 2002.
Maswan, Nur Faizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir.
Yogyakarta: Menara Kudus, 2002.
Shihab, M. Quraish. Membumikann al-Qur’an. Bandung: Mizan,
1997.
Sofyan, Muhammad. Tafsir wal Mufassirun. Medan: Perdana
Publishing, 2015.
Thameem, Ushama. Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Kajian Kritis,
Objektif dan Komprehensif). Jakarta : Riora Cipta, 2000.
Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam
(Jakarta: Logos Publishing House.
136
AL-ISTINBATH AL-QIYASI: STUDI PEMIKIRAN
ABU ZAKARIA AL-ANSHARI (823-926 H)
~Moh. Ulil Abshor~
PENDAHULUAN
Dalam tradisi hukum Islam dikenal adanya Mashādirul
Ahkam atau sumber hukum; yaitu al-Qur’ān, Sunnah, Ijma’ dan
qiyas. Al-Qur’ān merupakan sumber utama hukum Islam. Maka
dari itu dalam merujuk hukum-hukum Islam al-Qur’an haruslah
dikedepankan. Bila dalam al-Qur’ān tidak ditemukan maka beralih
kepada al-Sunah karena al-Sunah adalah penjelas bagi kandungan
al-Qur’ān. Apabila Di dalam al-Sunah tidak ditemukan maka beralih
kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’ adalah nash-nash al-Qur’ān
dan al-Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka haruslah
merujuk pada qiyas. Karena qiyas merupakan suatu perangkat untuk
melakukan ijtihad. Dalam posisi ini, qiyas menempati tingkatan
keempat sebagai sumber hukum Islam.
Namun, yang menjadi persoalan adalah eksistensi qiyas itu
sendiri sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dalam kajian hukum
Islam, qiyas menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab
lainnya yang menimbulkan silang pendapat diantara para ulama.
Karena tidak adanya dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan
bahwa qiyas dapat dijadikan sumber hukum Islam.
Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Zahiriyah misalnya,
mereka tidak mengakui keberadaan qiyas apalagi menerima
atau menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Sedangkan di kalangan ulama–ulama lainnya seperti jumhur ‘ulama
dan madzhab Syi’ah Zaidiyah menerima qiyas sebagai sumber
hukum Islam.
137
Dari beberapa pendapat singkat di atas ternyata eksistensi qiyas
masih problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh
karena itu dalam tulisan ini akan di paparkan juga perdebatan qiyas
sebagai sumber hukum Islam. disamping juga mengkaji ulang
terkait persoalan qiyas dan cara-cara mengambil istinbath Hukum
yang tepat dalam menyikapi problematika Masyarakat yang terus
berkembang. Untuk lebih lanjut penulis akan menjelaskan terkait
Tema Istinbath qiyasi dalam studi pemikiran Abu Zakariya Al-
Anshāri.
138
Zakariya Al Anshari mendoakan kesembuhan matanya. Lalu setelah
dua hari berselang, doa beliau dikabulkan oleh Allah dan orang buta
itu bisa melihat atas izin Allah. Zakariya Al Anshari wafat pada
hari jumat 9 Dzulhijah 926 H/ 1423 M pada usia 100 Tahun, dan
dikebumikan di kota Qarafah, Kairo dekat makam Imam Syafi’i.2
139
7. Abu al-Abbas Ahmad Bin Ali al-Intikawi, Abu al-fatah Muhammad
Bin Ahmad al-Ghazi, Abu Hafsah Umar Bin Ali, Ahmad Bin Ali
ad-Dimyathi, Abu al-Farah Abdurrahman Bin Ali at-Tamimi,
dan Syekh Muhammad Bin Umar al-Wasithi al-Ghamri. Mereka
semua adalah guru beliau di bidang tashawwuf.
140
Manhaj ath-Thullab. Adapun kitab karangan beliau yang tercantum
dalam kitab Hudud al-Aniqah Wa at-Ta’rifat ad-Daqiqah berjumlah
74 kitab, diantaranya sebagai berikut:4
1. Ihkam ad-Dalalah ‘Ala Tahrir Syarh ar-Risalah
Kitab ini ditulis dalam rangka meluruskan pemahaman umat
tentang maqamat dan ahwal kaum sufi. Dalam mukadimah kitabnya,
Al Qusyairi berkata, ‘’Allah telah menjadikan golongan ini sebagai
barisan kekasih-Nya. Dan, dia telah mengutamakan mereka di atas
seluruh hamba-hamba-Nya, setelah para rasul dan nabi-Nya. Allah
menjadikan hati mereka sebagai sumber rahasianya.5
kitab Ar-Risālah atau yang dikenal dengan Risalah Al
Qusyairiyah, ditujukan kepada mereka yang belum tahu tentang
disiplin tasawuf, karena kurang memahami hakikat dan prinsip-
prinsip tarekat. Terutama kalangan fukaha yang rajin mencari-
cari kesalahan pelaku tasawuf akibat dari pemahaman yang tidak
mendalam. latar belakang penulisan kitab Ar-Risālah menunjukkan
bahwa Al Qusyairi memiliki tiga tujuan penting yang mendesak kala
itu.
Pertama, ia membela dengan gigih bahwa tauhid sufi sama
sekali tidak melanggar tauhid Sunni.
Kedua, ia hendak meluruskan hubungan antara akidah dan
syariah dengan hakikat melalui tarekat. Bahwa semua itu merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
ketiga, ia menolak setiap bid’ah dan penyimpangan atas
dunia tasawuf serta para sufi yang bertumpu pada ajaran Alquran
dan sunah. Dengan demikian, boleh dibilang kitab Ar-Risalah
memperbaiki citra tasawuf yang kurang baik di mata fukaha.
4
Abi Zakariya al Anshari, Fath al I’ām bi syarhi al Hadits al Ahkām, (Bei-
rut; Dar Kutub ilmiyah 2000), h, 28. Lhat juga: Mazin al-Mubarak, al-Hudud al-
Aniqah wa at-Ta’ritaf ad-Daqiqah Lil Qadhi Zakaria Al Ansyari, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1991), h. 16.
5
Abi Zakariya al Anshari, Ihkam ad-Dalalah ‘Ala Tahrir Syarh ar-Risalah,
(Damaskus; Dar Niam, 20000), h, 35.
141
Kitab ini menekankan kemurnian tauhid, bahwa akidah yang benar
dan pelaksanaan hukum syariat merupakan syarat mutlak untuk
memasuki tasawuf.
2. Asna al-Mathalib Fi Syarh Raudh ath-Thalib
Kitab Asna al-Mathalib ini disusun sebagai uraian (syarah)
bagi kitab Rawdh al-Thalib, karya al-‘Allamah Ismail bin Abu Bakr
Abdullah al-Muqri al-Yamani (837H), yang terkenal dengan gelaran
Ibn al-Muqri. Kitab Rawdh al-Thalib pula merupakan ringkasan
(mukhtashar) bagi kitab Rawdhah al-Thalibin, iaitu sebuah kitab
karya al-Imam Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya in Syaraf al-
Nawawi (676H). Manakala kitab al-Rawdhah al-Thalibin atau
terkenal dengan judul ringkas “al-Rawdhah” pula merupakan
sebuah ringkasan (muktashar) yang diakukan oleh Imam al-Nawawi
terhadap kitab ‘Aziz Syarh al-Wajiz (al-Syarh al-Kabir) karya Imam
Abu Qasim Abdul Karim bin Muhammad al-Rafi’i (557-623H).6
Sedangkan kitab al-‘Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam al-Rafi’i
pula adalah sebuah kitab huraian (syarah) bagi kitab al-Wajiz fi
Fiqh Mazhab al-Imam al-Syafi’i karya Hujjatul Islam al-Imam Abu
Hamid al-Ghazali (505H), iaitu sebuah kitab ringkas dan padat yang
menghimpunkan rumusan al-Ghazali terhadap pendapat-pendapat
tokoh fuqaha al-Syafi’i sebelumnya dalam beberapa masalah fiqh.
3. Bahjah al-Hawi
Kitab ini merupakan kitab fiqih Mazhab as-syafi’i yang di susun
dalam bentuk Nadzom oleh al imam Zaynuddin Abu Hafsh ‘Umar bin
Muzaffar ‘Umar bin al Wardi Mu’arri al-kindi, yang dikenal dengan
gelaran Ibn al Wardi. Kitab ini di kenal dengan nama Bahjah al hawi
karena kitab ini merupakan ringkasan dari kitab al Hawi Shaghir
sebuah kitab yang di susun oleh al imam Najmuddin Abdul Ghaffar
bin al abdul karim al-Qazwaini as-Syafi’i dan kitab ini merupakan
ringkasan dari kitab Fath Al Aziz atau Syarhul Khabir karya al imam
6
Abi Zakariya al Anshari, Asna al-Mathalib Fi Syarh Raudh ath-Thalib, tt,
h.2
142
Abu Qasim abdul karim al Rafi’i al-Qazwaini. Kemudian kitab ini di
syarh oleh berapa ulama’ yang diantaranya: Abu Zakariya al Anshari,
Syamsuddin ahmad Ramli, dan Abu Zuhrah Ahmad Abdurrahim al
‘Iraqi.7
4. Al-I’lam Wa al-Ihtiman Li Jam’i Fatawa Syaikh al-Islam
Kitab “ Fatawa Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari ” atau
judul asalnya “ al-I’lam wa al-Ihtimam bi Jam’i Fatawa Syaikh
al-Islam Zakariyya al-Anshari” merupakan sebuah kitab yang
menghimpunkan fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Syaikhul
Islam Qadhi Qudhat Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin
Ahmad bi Zakariyya al-Sunaiki al-Anshari al-Syafi’i (823-926H).
Kitab ini yang mengandungi himpunan fatwa Syaikul Islam
ini tidak disusun (dalam sebuah kitab) sendiri oleh Syaikul Islam
Zakariyya al-Anshari pada masa hidupnya, tetapi ia diusaha
penyusunannya oleh orang lain yaitu Syekh Ahmad ‘Abaīd yang
dalam istem penulisannya menggunakan dialog tanya jawab.8
5. Al-I’lam Bi Ahadist al-Ahkam
Kitab ini berisikan tentang Hukum-hukum fiqih dengan
mengunggakap Hadits yang terkait dengan hukum syari’an, pada
pembahasannya kitab ini mengurai banyak tentang hukum fiqih dari
Thaharah sampai pada pembahasan ibadah
Diantara isi kitab ini yaitu;9
1. Tahrij dari ayat-ayat terkait hukum
2. Tahrij beberapa hadits yang ada kaitannya dengan ayat-ayat
Ahkam
3. Menjelaskan persoalan fiqih yang belum di jelaskan oleh ulama’
sebelumnya secara terperinci.
7
Zaynuddin Abu Hafsh, Bahjah al-Hawi, (Mesir: Dar ahya al arabi, tt.), h, 3
8
Ahmad ‘Abaīd, Al-I’lam Wa al-Ihtiman Li Jam’i Fatawa Syaikh al-Islam Abi
Zakariya al Anshari,( Damskus; Dar arabiyyah, tt), h, 19.
9
Abi Zakariya al Anshari, Fath al I’ām bi syarhi al Hadits al Ahkām, (Beirut;
Dar Kutub ilmiyah 2000), h, 28.
143
6. Tuhfat al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari
Kitab ini juga membahas seputar pembahasan Fiqih yang
merupakan syarah dari kitab shahih bukhari. Zakariya al Anshari
mencoba menjabarkan ayat-ayat al-Qur’ān yang terdapat indikasi
Hukum-Hukum Fikihnya seperti ketika menjelaskan tentang sholat
khouf yang tertera pada Qs. an Nisā’ 101-102. Di mulai dengan
menampilkan ayat-ayatnya dan kemudian beberapa redaksi ayat-
ayat fiqih dengan berdasar pada Riwayat-Riwayat hadits Shohih.10
PENGERTIAN ISTINBĀTH
Kata istinbāth secara bahasa berasal dari kata /Nabatha yang
bermakna mengeluarkan.11 Senagaimana firman Allah Qs. An Nisa’
83 { } terdiri dari Huruf nūn, bā’ dan tha’
menunjukkan kata yang bermana keluar atau mengeluarkan sesuatu.
Seperti keluarnya air dari tanah.12 Seorang Faqih yang mengeluarkan
pemahaman dari hasil ijtihajnya itulah Istinbath.13
Istinbath menurut ulama’ Ushul
Al-Jurjani mengatakan bahwa Keluarnya air dari mata air
merupakan sebuah intinbath.14
At-Thābari mengupamakan setiap sesuatu yang tertutupi dari
pandangan mata itulah sebuah intinbath.15
Al-Khalil meng-umpamakan Intinbath itu keluarnya air dari
sebuah sumur yang pertama digali.16
10
Abi Zakaria al Anshari, Minhatul Bukhari bisyarhi bukhari, Juz 3 (Riyad:
Mamlakah Arabiyyah, 2005), h, 8.
11
Muhammad bin Abdurrahman as-Sayyi’, Minhāju al istinbāth mi al
Qur’ān al karīm, (Beirut: Markaz Dirāsah Wal ma’lum al Qur’āni, 2007),
h. 30
12
Majma’ Lughatul al-Arobiyah, al-Mu’jam Al Wajīz, (Mesir 1994,) h, 600.
13
Majma’ Lughatul al-Arobiyah, al-Mu’jam al Wasīt, (Mesir 2004,) h. 898
14
‘Ali bin Muhammad sayyid syarif al-Jurjani, Mu’jam Ta’rifat, (Cairo: Dar
Fadilah, 1982), h. 22.
15
Abi Ja’far muhammad bin jarīr At-Thābarī, Jāmiul Bayān ‘an Ta’wīlil
Qu’ān al KarīmTafsir At-Thābarī, (Beirut Dar kutub: 2003), h, 255.
16
Abi Ishaq Ibrahimbinsari, Ma’ānil Qur’ānwa ‘Irābuhu, (Bairut: ‘Alamil
144
An-Nuhas memberi contoh sesuatu yang keluar air, dikatakan
Nabtun karna airnya terpancar dari Tanah bumi.17
Zamakhsyari juga demikian keluarnya air dari lubang subur
yang terpancar.18
Kata mengeluarkan air dari sumbernya ini kemudian di pakai
dalam istilah fiqih yakni mengeluarkan kandungan hukum dari nas-
nas dengan menggunakan ketajaman nalar dan kemampuan daya
pikir yang optimal. Sebagaimana yang diungkapkan Muhammad bin
‘Ali al-fayyuni seperti yang dikutip Satria Efendi, mendefenisikan
istinbath sebagai upaya menarik hukum dari al-Qur’ān dan sunnah.19
Maka jika dilihat dari beberapa pengertian diatas bahwa
istinbath itu merupakan sebuah cara yang digunakan para mujtahid
untuk pengambilan hukum syara’ dari nash al Qur’ān dan as-sunnah
yang dilakukan dengan cara mencurahkan kemampuan nalar dan
pikiran. Sepintas memang pengertian istinbath dan ijtihad itu hampir
sama namun pada hakekatnya antara istinbath dan ijtihad itu terdapat
perbedaan, ijtihad mempunyai ruang lingkung yang lebih luas
daripada istinbath karena istinbath merupakan kerangkan kerja dari
ijtihad. Fokus instinbath adalah nash-nash al-Qur’ān dan as-Sunnah,
maka dari itu usaha pemahaman, penggalian serta perumusan hukum
dari al-Qur’ān dan sunnah itu disebut istinbath, sedang pemahaman,
penggalian dan perumusan Hukum melalui meode qiyas, Istishab
dan Istislah serta dalil rasional itu di sebut Ijtihad.
145
PENGERTIAN QIYAS
Secara bahasa mengira-ngirakan atau menyamakan.20 Meng-
qiyas-kan, berarti mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu
terhadap sesuatu yang lain. Sedangkan secara istilah, menurut ulama
usul fikih, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nas
hukumnya dengan sesuatu yang ada nas hukumnya karena adanya
persamaan ‘illat hukum.21
Dalam redaksi yang lain, qiyas adalah menyamakan suatu
hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nas hukum dengan
peristiwa yang sudah memiliki nas hukum, sebab adanya persamaan
dalam ‘illat hukumnya.22
Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nas
hukumnya dengan hal lain yang ada nas hukumnya karena ada
persamaan ‘illat hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan
penerapan hukum analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa
karena prinsip persamaan ‘illat akan melahirkan hukum yang sama
pula. Oleh karena itu, dasar qiyas adalah menghubungkan dua
masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat
yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan
titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara keduanya,
maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.
Qiyas merupakan salah satu medote istinbāth yang dapat
dipertanggung jawabkan karena ia melalui penalaran yang
disandarkan kepada nas. Ada beberapa ayat al-Qur’ān yang
dijadikan landasan bagi berlakunya qiyas di dalam menggali hukum,
di antaranya: Nisā’ ayat 59
20
Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Gāyah al-Wuṣūl Syarḥ Lubb al-
‟Uṣūl (Beirut: Dar ad Diya’ 2017), h. 110, lihat juga: Muhammad Djama-
luddin Ahmad, Miftāḥ al-Wuṣūlfī ‘Ilmi al-‘Usūl, cet.II (Jombang: Pustaka
Al-Muhibbin, 2010), h. 58
21
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. (Mesir Dar Fikr al Araby,tt), h. 336.
22
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Uṣūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 48.
146
َ َ ْ َ ْۚ ُ ْ ْ َ ْ ُ َ َّ ُ ْ َ َ َ ّٰ ُ ْ َ ْٓ ُ َ ٰ َٰٓ َ ُّ َ َّ ْ ن
�ْ ُك ف ِان ت َناز ْع ت الر ُس ْول َوا ِول الم ِر ِمن ي� ي�ا ال ِذ� امنوا ا ِطيعوا الل وا ِطيعوا
ٰ ْ ْ َ ْ َ ّٰ َ ْ ُ ْ ُ ْ ُف ْ شَ ْ ي َ ُ ُّ ْ ُ َ ّٰ َ َّ ُ ْ ْ ُ ْ ت
ٌ�ال ِخ ۗر ٰذ ِل َك َخ ْي
ِ لل واليو ِم ِ �الل والرسو ِل اِ ن كن� تؤ ِمنون ِب
ِ � ٍء فْردوه اِ ل �
ً ْ ِ َّ ي َ ْ َ ي ُ تَ أ
٥٩ ࣖ واحسن � ِويل
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan)
di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya)
jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian
itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan
di akhirat).23
Ayat ini menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari
ungkapan“kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam masalah
khilafiah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda
kecenderungan apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh melalui pencarian illat hukum
yang merupakan tahapan dalam melakukan qiyas.24
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan alasan pengambilan
dalil ayat di atas sebagai dalil qiyas, yakni bahwa Allah telah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk
mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan dan
dipertentangkan di antara mereka kepada Allah dan Rasulullah jika
mereka tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’ān maupun
Sunnah. Sedangkan mengembalikan dan merujukkan permasalahan
kepada Allah dan Rasul adalah mencakup semua cara dalam
mengembalikan permasalahan itu. Artinya, bahwa menyamakan
peristiwa yang tidak memiliki nas dengan peristiwa yang sudah
ada nasnya dikarenakan adanya kesamaan ‘illat, maka hal tersebut
termasuk kategori “mengembalikan permasalahan kepada Allah dan
Rasul-Nya” sebagaimana dalam kandungan ayat di atas.25 Selain al-
23
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya 2019
24
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. (Mesir Dar Fikr al Araby,tt), h. 341.
25
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Uṣūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 49.
147
Nisa’ ayat 59, para ulama juga menjadikan surat al-Hasyr ayat 2
sebagai salah satu landasan kehujjahan qiyas.
ْ َ ۗ ْْ َ ْ َ َّ ْ َ ش ْ َ َ َ َّ ْ َ َّ
�ْ ُ� َما ظ َنن ت ِ ُه َو ال ِذ ْٓي اخ َر َج ال ِذ ْي نَ� كف ُر ْوا ِم ْن ا ْه ِل ال ِك ٰت ِب ِمن ِد ي� ِر ِه ِلو ِل ال
َ ُ
الل ِم ْن َح ْيث ْل ُ ّٰ الل َف َا ٰت ُهى ُمّٰ َ َ ْ َّ ْ َ
ِ ان ي خ� ُر ُج ْوا َ َوظ ُّن ْٓوا ا نَّ ُ� ْم َّما ِن َع تُ ُ� ْم ُح ُص ْو نُ ُ� ْم ِّم َن
ۙ ُْ
�َال ْؤ ِم ِن ْ ي ن
َ َ َ ُ ُّ ي َ ْ� َت ِس ُب ْوا َو َقذ َف ِ ف ي ْ� ُق ُل ْو ِب ِ� ُم
الر ْع َب ي خْ� ِر ُب ْون ُب ُي ْو تَ ُ� ْم ِب� ْي ِد يْ ِ� ْم َوا ْي ِدى
٢ الب َص ِار ْ َ ْ َف ْاع َت ب ُ� ْوا ٰٓ ي ُ�ول
ِ ِ
Dialah yang mengeluarkan orang-orang yang kufur di antara
Ahlulkitab (Yahudi Bani Nadir) dari kampung halaman mereka
pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka
bahwa mereka akan keluar. Mereka pun yakin bahwa benteng-
benteng mereka akan dapat menjaganya dari (azab) Allah. Maka,
(azab) Allah datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka
sangka. Dia menanamkan rasa takut di dalam hati mereka
sehingga mereka menghancurkan rumah-rumahnya dengan
tangannya sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka,
ambillah pelajaran (dari kejadian itu), wahai orang-orang yang
mempunyai penglihatan (mata hati).26
Titik tekan pengambilan ayat ini sebagai salah satu landasan
qiyas adalah terletak pada kalimat “ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orangorang yang memiliki wawasan.”
Artinya, bandingkanlah dirimu dengan mereka, karena kamu adalah
manusia seperti mereka; jika kamu berbuat seperti mereka, maka
akan mendapat hukuman yang sama seperti mereka. Kalimat “
ambillah untuk menjadi pelajaran” ditafsiri sebagai mengambil
nasehat atau mengambil pelajaran. Hal itu dimaksudkan untuk
mengambil kesimpulan hukum-hukum Allah yang diturunkan
kepada makhluk-nya. Artinya, apa yang berlaku bagi pembanding
maka berlaku pula bagi yang dibandingkan.
Secara lebih terperinci, ‘ulama’ ushūl fiqh dikelompokan
menjadi beberapa golongan dalam menyikapi qiyas sebagai metode
penetapan hukum yaitu;27
26
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya 2019
27
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Uṣūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 53.
148
1. Pendapat jumhur’ulama’ ushūl fiqh, mengatakan bahwa qiyas
bisa dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan
hukum syara’. Bahkan menurut jumhur, mengamalkan qiyas
adalah wajib. Jumhur ‘ulama’ yang menjadikan qiyas sebagai
landasan hukum, mereka menggunakan qiyas dalam suatu
peristiwa yang tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’ān, as-
Sunnah ataupun Ijma’ para sahabat. Mereka menggunakan qiyas
secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
qiyas menduduki peringkat keempat diantara hujjah syar’iyyah
dengan pengertian apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan
hukumnya berdasarkan nash al-Qur’ān, sunnah dan ijma’ dan
diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian
yang ada nash hukumnya dari segi ‘Illat hukumnya, maka kasus
itu diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum yang
sama, dan hukum itu merupakan hukumnya menurut syara’28
2. Pendapat ulama dzahiriyyah, termasuk Imam al-Syawkani,
bahwa secara logika, qiyas memang diperbolehkan, tetapi tidak
ada satu nash pun dalam al- al-Qur’ān yang menyatakan wajib
melaksanakannya. Kelompok ulama dzahiriyah dan Syi’ah
Imamiyah mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas sebagai
landasan hukum. Mazhab Zahiriyah tidak mengakui adalanya
‘Illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu sasaran
dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna
menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘Illat.
Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash
semata.
3. Pendapat syi’ah Imamiyah dan mu’tazilah, berpendapat bahwa
qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib
diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu
yang bersifat mustahil menurut akal.
28
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Uṣūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 53.
149
4. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah.
Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat
kesamaan ‘Illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi
kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu
dapat membatasi keumuman sebagaian ayat al-Qur’ān dan as-
Sunnah Setelah mengemukakan berbagai pendapat ulama ushul
fiqh tentang kehujahan qiyas, wahbah al-Zuhaili, menyimpulkan
bahwa dari beberapa pendapat yang beragam itu dapat dipilah
dalam dua kelompok: 29
1). Kelompok yang Menerima Qiyas sebagai Sumber Hukum
Salah satu nash al-Qur’ān yang dikemukakan Jumhur ‘ulama fiqh
terkait qiyas sebagai sumber hukum ialah: Qur’ān surat an-Nisa: 59
َ َ ْ َ ْۚ ُ ْ ْ َ ْ ُ َ َّ ُ ْ َ َ َ ّٰ ُ ْ َ ْٓ ُ َ ٰ َٰٓ َ ُّ َ َّ ْ ن
�ْ ُك ف ِان ت َناز ْع ت الر ُس ْول َوا ِول الم ِر ِمن ي� ي�ا ال ِذ� امنوا ا ِطيعوا الل وا ِطيعوا
ٰ ْ ْ َ ْ َ ّٰ َ ْ ُ ْ ُ ْ ُف ْ شَ ْ ي َ ُ ُّ ْ ُ َ ّٰ َ َّ ُ ْ ْ ُ ْ ت
ٌ�ال ِخ ۗر ٰذ ِل َك َخ ْي
ِ لل واليو ِم ِ �الل والرسو ِل اِ ن كن� تؤ ِمنون ِب
ِ � ٍء فْردوه اِ ل �
ً ْ ِ َّ ي َ ْ َ ي ُ تَ أ
٩٥ ࣖ واحسن � ِويل
150
ayat di atas, manusia diperintahkan mencari hukum dari hukum
Allah dan Rasul-Nya, baik yang tekstual maupun yang kontekstual.
Sesuatu yang kontekstual atau implisit itu yang disebut qiyas. Oleh
karena itu, secara tidak langsung, ketika manusia menghadapi
suatu problema hukum yang tidak ditemukan nashnya secara jelas,
diperintahkan untuk menggunakan jalan qiyas. Berdasarkan ayat
tersebut, aplikasi qiyas dalam istinbat hukum merupakan hal yang
diperbolehkan, bahkan diperintahkan.
Salah satu dalil sunnah yang dikemukakan oleh Jumhur ‘ulama’
sebagai argumentasi bagi pengguna qiyas adalah hadits mengenai
percakapan Nabi dengan Mu’ad ibn Jabal yang amat populer,
Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli.
Rasulullah melakukan dialog secara langsung dengan Mu’adz ibn
Jabal, seraya berkata: Artinya: “Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi
Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana
kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya
berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat
dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah
Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah
Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih
(dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz
dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan
utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw” (HR.
al-Thabrani).30
Hadits tersebut merupakan dalil Sunnah yang kuat menurut
Jumhur Ulama, tentang landasan hukum dalam penetapan qiyas.
Hadist di atas menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung
pengakuan Rasulullah terhadap qiyas, karena praktek qiyas adalah
satu macam atau perangkat dari kegiatan ijtihad yang mendapat
pengakuan dari Rasulullah dalam dialog tersebut. Menurut jumhur
151
ulama ushūl fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat
akal, dan qiyas termasuk salah satu ijtihad melalui akal.31
2). Kelompok yang Menolak Qiyas sebagai Sumber Hukum
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum
menurut kelompok yang menolaknya yakni mazhab Dzhahiri
dan Syi’ah. Dikarenakan qiyas merupakan aktivitas akal, dalam
aplikasinya qiyas menuai kontroversi dikalangan ulama.
Kelompok Dzahriyah berpendapat bahwa ayat nash al-Qur’ān
surat an-Nisā’ ayat 59 di atas menurut kelompok Dhahiriyah dan
Syi’ah mengatakan bahwa perintah Allah untuk mengembalikan
sesuatu kepada Allah Dan mengembalikan sesuatu kepada Nabinya
ketika terdapat beda pendapat dalam al-Qur’ān. Golongan ini
menganggap Tidak ada perintah langsung untuk mengembalikan
sesuatu kepada qiyas. Jelas bahwa selain al-Qur’ān dan sunnah tidak
dapat dijadikan rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat. Qiyas
menurut Dzahiriyah, bukan al-Qur’ān atau sunnah; karenanya tidak
suatu persoalan hukum ada yang dapat dikembalikan kepada qiyas.
Kemudian, kelompok Dzahiri menolak hadits Mu’ad ibn Jabal
sebagai landasan penetapan qiyas kelompok tersebut berargumen
bahwa dari segi matan (teks) dan sanad periwayatan hadits tersebut
dianggap gugur. Indikasi gugurnya hadits Mu’ad ibn Jabal tersebut
adalah: Pertama, hadits tersebut diriwayatkan dari suatu kaum yang
namanya tidak diketahui, karenanya tidak dijadikan hujah atas orang-
orang yang tidak mengetahui siapa perawinya. Kedua, dalam urutan
perawinya terdapat Harits ibn ‘Amru yang tidak mengemukakan
hadits selain dari jalur ini.
Artinya dari segi periwayatan dan perawinya hadits tersebut
masih diperselisihkan kebenarannya. Kelompok ulama Dzahiriyah
juga menilai bahwa hadits tersebut adalah Maudhu’ (dibuat-buat)
dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang tidak
31
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Uṣūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 56
152
dijelaskan dalam al-Qur’ān. Menurutnya permasalahan hukum
apapun sudah dijelaskan dalam al-Qur’ān. Menurut pendapat
Zahiriyah, hadits Muad ibn Jabal tidak sedikitpun menyebut
tentang qiyas. Dalam hadits itu hanya disebutkan penggunaan
ra’yu, penggunaan ra’yu tidaklah berarti qiyas. Ra’yu itu hanyalah
menetapkan hukum dengan cara terbaik dan lebih hati-hati.
Sedangkan qiyas menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya
MACAM-MACAM QIYAS
Seperti yang dikemukakan Wahbah Zuhaili, dari segi
perbandingan, antara ‘Illat yang terdapat pada ashal (pokok tempat
meng-qiyas-kan) dan yang terdapat pada cabangnya, qiyas dibagi
menjadi tiga:32
1. Qiyas Awlawi
yaitu qiyas yang hukum Far’nya lebih kuat dari pada hukum
ashal. Karena ‘Illat yang terdapat pada Far’ lebih kuat dari yang ada
pada ashal. Misalnya; mengqiyaskan memukul kepada ucapan “ah”.
ْ َ َُ ۗ ْ ٓ َّ َ َّ َ َ َ
�َ ۞ َوق ضٰ� َر ُّبك ال ت ْع ُب ُد ْٓوا اِ ل اِ َّ ي� ُه َو ِب�ل َوا ِل َد ْي ِ ن� اِ ْح ٰس ًنا اِ َّما َي ْبلغ َّن ِع ْن َدك ال ِك َب
َ ً َ َّ ْ ُ ُ َ َ ّ ُ ٓ َّ ْ ُ َ َ َ َ ٓ ُ َ
٢٣ ا َح ُد َها ا ْو ِ ٰك ُه َما فل تقل ُل َما ا ٍف َّول ت نْ َ� ْر َها َوقل ُل َما ق ْول ك ِر ْي ً�ا
Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah
kepada keduanya perkataan yang baik. (QS. Al-Isra: 23).33
Para ‘ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa ‘Illat larangan ini
adalah menyakiti orangtua. Keharaman memukul orangtua lebih
kuat dari pada sekedar mengatakan “ah” karena sifat “menyakiti”
melalui pukulan lebih kuat daripada ucapan “ah”.
32
Wahbah Zuhaili, al Wajīz fī ushulul Fiqh, (Beirur Darl Fikr, 1994), h, 84.
33
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya 2019
153
2. Qiyas Musawi
yaitu qiyas yang hukum Far’nya sama kualitasnya dengan
hukum yang ada pada ashal, karena kualitas ‘Illat keduanya juga
sama. Misalnya; Allah berfirman dalam surat an-Nisa: 2.
ْ َّ َ ْ ََ ٰ ُ ْ َ ٰ ٰ ٓ َ ْ َ َ ُ َ َ َ َ َ َّ ُ ْ خ
ْ ُ لط ّي ِب ۖ َ َول تَ أ� ُ ُك ْٓوا َا ْم َو َ ُال ْم اِ ٰٓل َا ْم َوا ِل
ك ِ �م ام َوال ْم ول تتبدلوا ال ِبيث ِب واتوا اليت
َ َ َّ
٢ ۗ اِ ن ٗه كن حو ب� ك ِب ي�ا
ً ْ ً ْ ُ
Berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta
mereka. Janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk
dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa
yang besar.
Ayat di atas melarang makan harta anak yatim secara tidak
wajar. Para ‘ulama’ ushūl fiqh mengqiyaskan membakar harta anak
yatim kepada memakan harta secara tidak wajar, karena kedua sikap
itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara dzhalim.
3. Qiyas al-Adna
yaitu qiyas dimana ‘Illat yang terdapat Far’ lebih lemah
dibandingkan dengan ‘Illat yang ada pada ashal. Artinya, ikatan
‘Illat yang ada pada Far’ sangat lemah dibanding ikatan ‘Illat yang
ada pada ashal. Misalnya, sifat atau kadar yang membuat mabuk
dalam minuman keras “bir” umpamanya lebih rendah dari sifat
memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang
diharamkan. Meskipun pada ashal dan cabang sama-sama terdapat
sifat memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.
Sedangkan dilihat dari segi kejelasannya ‘Illat sebagai landasan
hukum, seperti yang dikemukakan wahbahaz-Zuhaili, qiyas dapat
dibagi menjadi dua yaitu;34
34
Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Gāyah al-Wuṣūl Syarḥ Lubb al-‟Uṣūl (Bei-
rut: Dar Diya’ 2017), h.743.
154
1. Qiyas al-Jali yaitu; qiyas yang ‘Illatnya ditetapkan oleh nash
bersamaan dengan hukum ashal, (nash tidak menetapkan ‘Illat-
nya), tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan
antara ashal dengan Far’. Misalnya, ‘Illat yang ditetapkan nash
bersamaan dengan hukum ashal adalah mengqiyaskan memukul
orangtua kepada ucapan “ah” yang ‘Illat-nya sama-sama
menyakiti.
2. Qiyas al-Khafi yaitu qiyas yang ‘Illat-nya tidak disebutkan dalam
nash. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat
kepada pembunuhan dengan benda tajam seperti dalam hukum
qishash, karena ‘Illat-nya sama-sama pembunuhan sengaja
dengan unsur permusuhan. Dalam kasus seperti ini, ‘Illat pada
hukum ashal, yaitu pembunuhan dengan benda tajam, lebih
kuat daripada ‘Illat yang terdapat pada Far’, yaitu pembunuhan
dengan benda keras.35
RUKUN-RUKUN QIYAS
Rukun adalah unsur-unsur pokok yang harus terpenuhi demi
kesempurnaan suatu hal, dengan kata lain rukun adalah elemen urgen
yang dengannya suatu perkara menjadi sempurna. Dalam segala
hal, rukun merupakan elemen terpenting karena rukun memegang
peranan sebagai penentu sah atau tidaknya; legal atau tidaknya
sesuatu. Termasuk dalam hal ini, qiyas juga memiliki rukun-
rukun yang harus terpenuhi. Jika rukun-rukun tersebut tidak dapat
terpenuhi maka secara otomatis qiyas juga tidak dapat diterapkan.
Adapun rukun-rukun qiyas adalah sebagai berikut:
1. al-Asl ( )
Asl secara bahasa merupakan lafadz musytarok (Musytarok
Adalah satu kata yang di dalamnya terkandung beberapa makna)36
35
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997).h. 97
36
Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cet.
IX (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004), h. 141.
155
yang bisa diartikan sebagai dasar, sumber, dan pangkal.37 sedangkan
yang dimaksud dengan dalam pembahasan qiyas ini adalah kasus
lama yang dijadikan obyek penyerupaan atau kasus yang sudah
ada ketetapan hukumnya secara tekstual dalam nas maupun ijmak.
Artinya, asl merupakan tempat atau kejadian atau kasus yang
dijadikan sebagai ukuran, pembanding, atau disamai. Sebagai salah
satu rukun qiyas, asl juga harus memenuhi beberapa yaitu:38
a. Hukum yang ada pada al bersifat tetap.
b. Ketetapan hukum yang ada pada asl harus berdasarkan jalur sam’i
syar’i, bukan akli. Karena apa-apa yang ditetapkan melalui jalur
akli dan lugawi (bahasa) bukan hukum syara’ yang bisa dijadikan
pedoman qiyas. persyaratan,
c. Metode atau jalur mengetahui ‘illat pada asl juga melalui jalur
sam’i.
d. Asl bukanlah far bagi asl yang lain. Artinya, ketetapan hukum
pada aṣl bukanlah berdasarkan qiyas, melainkan dikarenakan ada
nas atupun ijmak.
e. Dalil yang menetapkan ‘illat pada aṣl itu terkhusus bagi aṣl
tersebut, tidak boleh sampai mencakup pada far’
f. Asl tidak boleh keluar dari aturan-aturan qiyas. Artinya, qiyas
tidak boleh keluar dari kaidah umum dan menjadi pengecualian.
Sebab, jika ia keluar dari kaidah umum, maka secara otomatis aṣl
tersebut tidak bisa dijadikan sandaran qiyas.
Sebagian besar ‘ulama’ menetapkan bolehnya mengqiyaskan
sesuatu berdasarkan hukum yang ditetapkan oleh ijmak, sebab
sandaran ijmak adalah nas. Ketika ditetapkan bahwa sandaran ijmak
adalah nas maka tidak diragukan lagi bahwa ketetapan ijmak bisa
37
Abu Hilal al-‘Askari, Al-Furūq al-Lugawiyah, cet. IV (Beirut: Dar al-Kutub
al„Ilmiyyah, 2006), h. 183. lihat juga: Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Gāyah al-
Wuṣūl Syarḥ Lubb al-‟Uṣūl (Beirut: Dar Diya’ 2017), h..43.
38
Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, cet. V (Kediri:
Purna MHM Lirboyo, 2008), h. 133.
156
dijadikan landasan qiyas. Walaupun ada yang beranggapan bahwa
nas dalam ijmak itu jelas sehingga ‘illat-nya tidak bisa diketahui.
Akan tetapi anggapan ini disanggah oleh Abu Zahrah bahwa
untuk mengetahui ‘illat hukum itu tidak melulu melalui redaksi
nas hukum saja. ‘Illat hukum juga dapat diketahui dengan cara
memperhatikan tujuan umum dan latar belakang pensyariatan
hukum Islam. Jadi tidak benar jika untuk mengetahui ‘illat hanya
dengan cara tunggal, yaitu redaksi nas semata.39
2. al-Far’ ( )
Far’ merupakan rukun kedua dari rukun-rukun qiyas. Secara
etimologi, far’ berarti cabang.40 Sedangkan dalam konteks qiyas, far’
diartikan sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada asl karena
tidak adanya nas yang secara jelas menyebutkan hukumnya. Maka
dari itu, far’ akan diproses untuk disamakan dengan asl.41 Secara
substansial, far’ yang belum jelas status hukumnya itu disinyalir
memiliki kesamaan-kesamaan dengan asl’ oleh karena ada titik temu
antara asl dan far’ Titik temu itulah yang disebut ‘illat. Sebagaimana
asl’ far’ juga memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni:
a. Far’ belum ditetapkan hukumnya berdasar nas ataupun ijmak.
Sebab, qiyas tidak berlaku bagi pada hukum-hukum yang sudah
jelas nasnya. Karena prinsip qiyas ialah mempertemukan hukum
baru yang belum ada nasnya kepada hukum yang sudah ada
nasnya.
b. Ditemukannya ‘illat asl pada far’ Kadar kesamaan ‘illat ini
haruslah sempurna. Keduanya harus sama persis baik dari segi
substansinya (Dzātiyah) ataupun jenisnya.
39
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqih. (Mesir Dar Fikr al Araby,tt), h.
353.
40
Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cet.
IX (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004), h. 1387
41
Hamid bin Muhammad Ali Qudsi, Laṭā’if al-Isyārat Syarh „alā Tashīl at-
Thuruqāt li Naẓmi al Waraqāt (Maktabah Muhammad bin Syarif, t.t), h. 53. Lihat
juga: Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Gāyah al-Wuṣūl Syarḥ Lubb al-‟Uṣūl (Bei-
rut: Dar Diya’ 2017), h. 113.
157
c. Kadar ‘illat yang terdapat pada far’ tidak boleh kurang dari
kadar ‘illat yang terdapat pada asl. Yakni, setidaknya ‘illat yang
terdapat pada far’ sama dengan ‘illat pada asl dengan tanpa ada
selisih pada kekurangannya. Sedangkan selisih dalam hal lebih
(ziyādah) tidaklah berpengaruh, sebab terkadang hukum yang
ada pada far’ lebih utama daripada hukum yang ada pada asl.
d. Dalam far’ tidak ditemukan adanya sesuatu yang lebih kuat atau
seimbang yang menghalang-halangi untuk disamakan dengan
hukum asl.
e. Hukum pada far’ tidak mendahului ketetapan hukum pada asl.42
3. Hukum Asl ( )
Rukun selanjutnya adalah hukum asl. Dua kata yang digabung
menjadi satu susunan (iḍāfah) ini, memiliki pengertian: hukum
syara’ yang ada pada aṣl berdasar pada legitimasi nas.43 Hukum aṣl
inilah yang nantinya akan berdampak pada far’ yang belum memiliki
legalitas hukum dari syara’ karena tidak adanya nas. Dampak
tersebut adalah kesamaan hukum, hukum yang samasama melekat
pada keduanya dikarenakan kesamaan ’illat.
Adapun setelah proses pengqiyasan, lalu ditemukanlah hukum
bagi far’ maka hukum far’ ini bukanlah merupakan salah satu rukun
dari rukun-rukun qiyas. Hukum far’ hanyalah buah hasil (ṡamrah)
dari proses qiyas. Akan tetapi menurut Imam al-Isnawi, hukum far’
juga merupakan salah satu rukun qiyas. Sedangkan yang dimaksud
dengan buah dari qiyas adalah pengertian akan hukum far’ tersebut.44
42
Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, cet. V (Kediri:
Purna MHM Lirboyo, 2008), h. 139-140.
43
Abdullah bin yusuf al Judai’, at-Taisir Ushūlul fiqh, (Beirut : Muassasah
ar- Riyān, 1997), h.174.
44
Abdullah bin yusuf al Judai’, at-Taisir Ushūlul fiqh, (Beirut : Muassasah
ar- Riyān, 1997), h.175.
158
Hukum asl memiliki beberapa syarat, di antaranya:45
a. Berupa hukum syara’ yang ditetapkan oleh nas ataupun ijmak.
Mengenai ketetapan hukum yang berasal dari nas, para ulama
tidak ada perbedaan pendapat. Sedangkan bagi hukum-hukum
yang ditetapkan oleh ijmak, para ulama masih berselisih pendapat.
b. Harus berupa hukum yang ma’qūl al-ma’na (rasional/dapat
dicerna akal). Yang dimaksud hukum rasional di sini ialah
hukum yang dapat ditangkap sebab dan alasan penetapannya,
atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab
itu. Sebaliknya, hukum yang tidak rasional yang tidak mampu
ditangkap sebab-sebabnya oleh akal, seperti hukum tentang
tayammum dan jumlah rakaat salat, maka tidak berlaku hukum
qiyas,
Oleh sebab itu para ulama membagi hukum Islam menjadi dua
macam: pertama, hukum ta’abbudiy (bersifat ubudiyah). Di sini
tidak berlaku qiyas, sebab asas qiyas ialah mengetahui ‘illat hukum,
dan tidak ada cara untuk mengetahuinya dalam hukum-hukum yang
bersifat ta„abbudiy tersebut. Hal ini karena akal manusia tidak
mampu menangkapnya. Kedua, hukum yang ma’qūl al-ma’nā. Di
sini berlaku qiyas karena akal manusia dapat menangkap ‘illat ’illat
dari hukum rasional itu.46
Qiyas haruslah diterapkan pada hukum asl yang ‘illat-nya dapat
ditangkap oleh akal manusia. Jika akal tidak mampu menangkap
atau tidak menemukan ‘illat hukumnya, maka tidak mungkin ia
dijangkau dengan qiyas. Karena dasar qiyas adalah menemukan
‘illat pada hukum asal dan berusaha menemukan ‘illat tersebut pada
masalah baru.
45
Wahbah Zuhaili, al Wajīz fī ushulul Fiqh, (Beirur Darl Fikr, 1994), h, 66.
46
Muhammad Abu Zahrah, ‘Ushūl al Fiqh. (Mesir Dar Fikr al Araby,tt), h.
359. Lihat juga Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Ushūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis,
2003), h. 55.
159
4. ‘Illat ( )
Secara etimologi, ‘Illat berarti nama bagi sesuatu yang
menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain. Misalnya,
memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang menjadi
dasar pengharamannya, dengan adanya sifat memabukkan inilah
diketahui pengharaman terhadap semua minuman keras yang
memabukkan. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘Illat
yang dikemukakan ulama ushul fiqh yaitu;
ة
العل هو وصف املعرف للحمك
‘Illat ialah; “Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal
bagi suatu hukum.” Maksud sebagai pengenal bagi suatu hukum
ialah, apabila terdapat suatu ‘Illat pada sesuatu, maka hukum pun
ada, karena dari keberadaan ‘Illat itulah hukum itu dikenal. Kalimat
‘sifat pengenal’ dalam rumusan definisi tersebut, menurut mereka,
sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum.47
Ada beberapa Syarat-Syarat ‘Illat oleh Para Ulama ushul Fiqh
mengemukakan sejumlah syarat ‘Illat yang dapat dijadikan sebagai
sifat dalam menentukan suatu hukum, diantaranya adalah:48
1. ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tandatanda
atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘Illat adalah bagian dari
tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan umat
manusia.
2. ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas, nyata dan dapat ditangkap
indera manusia. Karena ‘Illat merupakan pertanda adanya
hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi haramnya khamar
dan minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat
disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan lain.
47
Hafidz Tsana’Ullah Az-Zahidi, Talkhisul ‘ushul, (Kuwait: Dar watsāk,
1994), h, 40.
48
Abdullah yusuf al Judai’, At-Taisir fi ilmil Ushulul Fiqh, (Beirut al Muas-
sasah ar riyaan, 1997), h, 179.
160
Karena jelasnya, maka ‘Illat itu dapat diketahui hubungannya
dengan hukum.
3. ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya,
‘Illat itu memiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk
setiap orang dan keadaan. Misalnya, pembunuhan merupakan
‘Illat yang menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan
dari orang yang dibunuh. ‘Illat ini bisa diterapkan kepada
pembunuh dalam kasus wasiat.
4. Harus ada hubungan keserasian dan kelayakan antara hukum
dengan sifat yang akan menjadi ‘Illat. Maksudnya, ‘Illat yang
ditentukan berdasarkan analisis mujtahid sesuai dengan hukum
yang diqiyaskan. Contohnya; sakit menjadi ‘Illat bolehnya
seseorang membatalkan puasa. Sifat yang tidak ada hubungan
kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan ‘Illat, seperti
mengantuk dijadikan ‘Illat bagi bolehnya berbuka puasa.
5. ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’. Syarat-
syarat ini, diperuntukkan bagi ‘illat yang melekat pada asl.
Nantinya, ‘illat pula yang akan menentukan apakah far’ bisa
diqiyaskan dengan asl atau tidak. Dalam pembahasan qiyas, ‘illat
merupakan elemen yang terpenting, sehinggakiranya diperlukan
sedikit pembahasan tentang bagaimana caranya mengidentifikasi,
menganalisis, dan menentukan bahwa suatu sifat yang melekat
pada suatu perkara itu bisa dipastikan sebagai ‘illat.
Penyelidikan ‘illat dalam usul fikih disebut dengan masālik
al’illah. Masālik al-‘illah Ialah metode-metode yang digunakan
untuk Mengetahui ‘illat. Pembahasan tentang masālik al-‘illah ini
juga tak kalah penting, karena dalam beberapa kasus, terdapat
beberapa sifat yang bisa dijadikan sebagai ‘illat. Untuk menentukan
‘illat dari beberapa sifat itu haruslah melalui beberapa metode yang
telah disepakati oleh ulama usul dan tidak bertentangan dengan
161
prinsip-prinsip ushul fikih. Adapun macam-macam masālik al-‘illah
ialah:49
a. Nas (al-Qur’ān dan hadis)
Ketika terdapat nas, baik al-Qur’ān maupun Sunnah, secara
eksplisit menyebut sifat tertentu sebagai ‘illat suatu hukum maka
‘illat tersebut merupakan ‘illat yang tersurat dalam nas. Walaupun
pada kenyataannya, terkadang al-Qur’ān atau Sunnah tidak melulu
menampilkan ‘illat suatu hukum secara tersurat, melainkan secara
tersirat melalui indikasi-indikasi atau isyarat terhadap ‘illat tersebut.
b. Ijmak
Ijmak juga merupakan salah satu metode untuk menentukan
‘illat. Walaupun pada eksistensinya, ijmak juga masih sering
diperdebatkan mengenai keberadaannya. Ijmak tetap menjadi
landasan yang kuat untuk dijadikan sandaran hukum. Oleh
karenanya, di dalam menemukan ‘illat suatu hukum, ijmak juga
menjadi jalan kedua setelah nas untuk mencari ‘illat. Ijmak menurut
ulama uṣūliyyīn adalah kesepakatan terhadap suatu hukum syar’i
oleh para mujtahid di masa setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.50
Ijmak adalah produk kesepakatan ulama yang sudah menjadi
dalil dalam pelaksanaan hukum Islam. Ada beberapa pemikir Islam
yang membuat urutan di dalam menggali hukum lebih mendahulukan
qiyas daripada ijmak dengan alasan sumber hukum Islam yang utama
adalah wahyu, sedangkan qiyas merupakan penyandaran masalah
baru yang belum ada nasnya kepada hukum yang telah ditetapkan
oleh nas. Sedang ijmak adalah hasil penafsiran para mujtahid yang
kemudian bersepakat atas hukum suatu perkara. Dalam hal ini, maka
istinbāṭ yang menyandarkan dirinya pada nqiyas harus didahulukan
dari pada istinbāṭ para mujtahid dengan menggunakan akal. Dan
49
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Ushūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 66.
50
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Ushūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 40
162
qiyas merupakan penalaran logis yang didasarkan pada nas al-
Qur’ān dan hadits.
Analogi induktif dapat dilakukan oleh seorang mujtahid, dan
tidak perlu “bersama-sama” urun rembuk untuk menyepakati hukum
suatu peristiwa. Yang terpenting adalah kejernihan dan ketelitian
mujtahid dalam mengkaji ‘illat hukum dan menarik persamaan ‘illat
hukumnya dengan permasalahan yang relatif baru.
c. Al-Taqsīm wa al-Sabru (Pemilahan dan Penyelidikan)
Al-taqsīm adalah pengakomodiran seorang mujtahid terhadap
semua sifat yang terkandung dalam aṣl yang disinyalir pantas dan
layak untuk diplot sebagai „illat dari hukum aṣl. Sedangkan al-
sabru adalah penyelidikan seorang mujtahid untuk menentukan satu
dari sekian banyak sifat yang terkandung dalam aṣl yang berhasil
diinventarisir, dengan cara membuang semua sifat yang dinilai
tidak layak dijadikan ‘illat, dengan berpedoman pada dalil-dalil
yang bisa menguatkannya. Apabila nas menetapkan hukum syara‟
pada suatu kasus, tetapi oleh nas atau ijmak tidak ditunjukkan
‘illat hukumnya, maka untuk mengetahui „illat hukumnya seorang
mujtahid menggunakan teori al-taqsīm wa al-sabruini.
Artinya, ia harus membatasi beberapa sifat yang ditemukan
pada suatu kasus, dan patut dikatakan bahwa ‘illat hukumnya adalah
salah satu dari sifat-sifat itu, kemudian mencoba sifat demi sifat yang
memenuhi ketentuan syarat-syarat ‘illat dan angapan-anggapannya.
Dengan percobaan ini mujtahid dapat menyisihkan sifat-sifat yang
tidak layak untuk dijadikan ‘illat dan menetapkan sifat yang layak
untuk dijadikan ‘illat.51
Contoh penentuan ‘illat dengan metode al-taqsīm wa al-sabru
ini adalah bahwa nas telah menetapkan seorang ayah mempunyai
kewenangan untuk menikahkan anak perempuannya yang masih
gadis dan belum dewasa, akan tetapi belum ada ‘illat yang pasti, baik
51
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Ushūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 67.
163
dari nas ataupun ijmak. Maka, untuk menentukan ‘illat tersebut, pada
tahap awal sang mujtahid mengakomodir sifat-sifat yang menurut
analisisnya layak untuk dijadikan ‘illat. Dari hasil penelitiannya
ditemukan dua „illat, yaitu sifat perawan dan belum dewasa.
Kemudian dengan berpedoman pada syarat-syarat ‘illat,
mujtahid secara seksama meneliti satu persatu sifat tersebut, hingga
pada akhirnya ditentukan bahwa sifat perawan (bikārah) tidak layak
untuk diplot sebagai ‘illat. Sehingga, hanya sifat sighār (belum
dewasa)-lah yang paling pantas untuk ditetapkan sebagai ‘illat.
Sebab, Syāri (Allah dan Rasul-Nya) telah menjadikan sifat sighār
sebagai ‘illat kewenangan ayah mengelola harta anak hingga ia
dewasa.
Kenyataan ini bisa dijadikan dalil atau bukti bahwa Syāri
memposisikan sifat sigār sebagai ‘illat dari perwalian secara umum.
Dan karena perwalian atas harta dan perwalian menikahkan adalah
sejenis, maka sang mujtahid sampai pada keputusan bahwa sifat yang
patut dijadikan ‘illat adalah sifat sigār, bukan bikārah. Implementasi
dari ketetapan ini adalah, bahwa seorang ayah tetap memiliki
kewenangan menikahkan anak perempuannya yang masih kecil
walau sudah hilang keperawanannya, dengan melalui pengqiyasan
pada kasus di atas.
Dalam al-taqsīm wa al-sabru ini ada tiga tahapan yang harus
dilalui seorang mujtahid yang hendak melakukan penelitian di
dalam menemukan ‘illat suatu hukum, yang nantinya ‘illat tersebut
dapat digunakan sebagai titik temu dalam melakukan qiyas. Adapun
tiga tahapan itu adalah:
1. Takhrīj al-manāṭ (menggali sifat yang menjadi sandaran hukum)
Takhrīj al-manāṭ adalah pencurahan pikiran seorang mujtahid
untuk mengeluarkan ‘illat hukum yang telah ditetapkan oleh nas
atau ijmak. Pada tahapan ini, fokus mujtahid adalah mengeluarkan
‘illat yang masih tersembunyi dalam kandungan nas atau ijmak.
164
Artinya, mujtahid berusaha menemukan sifat yang pantas menjadi
‘illat hukum. Hal ini dilakukan apabila nas hukum tidak menjelaskan
‘illat baik secara ungkapan langsung, isyarat ,atau tanda, dan tidak
ada kesepakatan para ulama tentang ‘illat itu. Menggali ‘illat seperti
ini merupakan asas utama ijtihad untuk qiyas.
Sebagai contoh: pembunuhan yang diancam dengan hukuman
kisas ialah pembunuhan yang dilakukan dengan alat atau senjata
yang biasanya mematikan. Oleh sebab itu, hukuman qisas tetap
berlaku pada setiap kasus pembunuhan yang menggunakan senjata,
baik senjata yang selalu dipakai maupun senjata yang tidak pernah
dipakai.52 Takhrīj al-manāt ini merupakan jembatan awal dan dasar
dalam berijtihad dengan metode qiyas. Karena bermula dari situlah
dikeluarkan sifat-sifat yang dijadikan ‘illat.53
2. Tanqīh al-manāt (menyeleksi sifat yang menjadi sandaran
hukum)
Setelah sifat-sifat dikeluarkan atau dieksplorasi melalui metode
takhrīj al-manāt, maka tahap selanjutnya adalah penyeleksian sifat-
sifat tersebut dan kemudian ditentukan manakah sifat yang layak
menjadi ‘illat. Seorang mujtahid harus mampu mengenali sifat-
sifat yang terkandung dalam hukum, kemudian memilih salah satu
sifat yang paling tepat dan patut dijadikan „illat hukum, sementara
sifat-sifat yang kurang korelatif disingkirkan. Dengan demikian,
mujtahid menetapkan satu sifat saja sebagai „illat hukum. Sebagai
contoh, metode penetapan ‘illat hukuman kafarat dari kasus seorang
sahabat yang menggauli isterinya pada siang hari bulan Ramadhan
yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah.54
Rasulullah mewajibkan kepada orang itu untuk membayar
52
Muhammad Abu Zahrah, ‘Ushūl al Fiqh. (Mesir: Dar Fikr al Araby,tt), h.
378.
53
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Ushūl al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadis, 2003),
h. 67.
54
Muhammad Abu Zahrah, ‘Ushūl al Fiqh. (Mesir: Dar Fikr al Araby,tt), h.
378.
165
kafarat berupa memerdekakan seorang budak; jika tidak bisa
maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan apabila tidak
mampu, maka wajib memberi makan 60 orang miskin. Ketetapan
Rasulullah tersebut pastilah memiliki ‘illat, akan tetapi apakah
„illat hukumnya? Apakah karena “bersetubuh”, ia dijatuhi kafarat,
atau karena “berbuka”? pada prinsipnya bersetubuh dengan isteri
itu tidaklah haram. Tetapi mengapa berakibat hukum sampai pada
kafarat? 50 Dari kejadian tersebut para ulama mengidentifikasi
beberapa sifat yang kemungkinan menjadi ‘illat-nya. Di antaranya
adalah (1) pelakunya seorang a’rābi(Arab Badui), (2) yang digauli
adalah istrinya, dan (3) perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.
Ternyata setelah melakukan penelitian dan pengkajian secara
seksama disertai bukti-bukti yang kuat, mujtahid menetapkan bahwa
sifat yang patut untuk dijadikan „illat adalah persetubuhan dengan
sengaja. Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal menetapkan sifat
tersebut sebagai ‘illat dari kewajiban membayar kafarat. Sedangkan
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengarahkan tindakan
persetubuhan dengan sengaja tersebut pada sifat keumumannya,
yaitu segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa. Sampai sini,
Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan bahwa semua perbuatan
yang bisa membatalkan puasa, seperti makan dan minum, bila
dilakukan di siang hari di bulan Ramadlan, maka wajib membayar
kafarat. Karena orang tersebut telah merusak kehormatan bulan
Ramadlan. Sedangkan menurut Imam Syafi‟i dan imam Ahmad,
hanya persetubuhanlah yang mengharuskan seseorang membayar
kafarat.
3. Tahqīq al-manāt (mengukuhkan sifat yang menjadi sandaran
hukum)
Tahqīq al-manāt ialah meneliti apakah sifat yang sudah diketahui
unsur-unsurnya itu terdapat dalam kasus-kasus yang hendak dikaji.
Tahqīq al-manāṭ disebut juga sebagai metode penetapan ‘illat
dalam far’ Sebagai contoh, sifat memabukkan yang terdapat pada
166
khamr, untuk membuktikan sifat “memabukkan” pada minuman-
minuman lain, maka diharuskan ada pembuktian di dalam ijtihad
fiqhiyyah. “Memabukkan” adalah ‘illat diharamkannya khamr,
dengan satu anggapan umum bahwa pada dasarnya khamr punya
sifat memabukkan. Jadi, “memabukkan” itu merupakan sifat yang
tetap pada khamr. Apabila dalam situasi tertentu ternyata khamr
tidak memabukkan, itu hanyalah bersifat kasuistik yang tidak
bisa menggeser sifat aslinya. Adapun hikmah di balik keharaman
ini adalah untuk menolak bahaya pada diri manusia. Karena
kemunculan Dharar ini hanyalah bersifat perkiraan yang tentunya
berbeda-beda di antara masing-masing individu, maka dijadikanlah
sifat memabukkan sebagai ‘illatnya, yang mana sifat memabukkan
ini merupakan sifat yang dapat dibatasi dan nyata.
167
Prinsip ini didasari pada keumuman teks nas, baik ayat al-
Qur’ān maupun hadits, dengan maksud agar bisa disesuaikan dengan
perkembangan zaman, sehingga tidak menutup kemungkinan masih
terbukanya pintu ijtihad untuk mengembangkan dan memperluas
subjek zakat sesuai dengan kondisi modern sekarang, yang tentunya
tidak terlepas dari ‘illat yang telah dikemukakan di atas.56
Satu contoh konkret adalah rumah kos yang merupakan
bangunan yang tiap-tiap kamarnya disewakan, biasanya uang sewa
dibebankan perbulan. Literatur fikih belum mencantumkan usaha
rumah Kos sebagai salah satu yang wajib dizakati, padahal kita
tahu bahwa ketika sebuah rumah atau bangunan yang berisi banyak
kamar disewakan maka secara otomatis ia memberikan keuntungan
kepada pemiliknya. Dengan demikian rumah kos memiliki ‘illat
yang sama seperti halnya zakat māl yang lainnya, yaitu al-namā
(berkembang)’.
Proses pengqiyasan usaha rumah kos dengan zakat māl sebagai
berikut:
Pertama, penetapan asl. Asl dalam hal ini adalah lima kategori
jenis harta yang telah ditetapkan oleh Rasulullah sebagai harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni (1) harta dagangan (2)
emas, perak, (3) pertanian, buah-buahan (4) hewan ternak (5) hasil
tambang dan juga harta karun. Ada silang pendapat dari para ulama
terkait asl yang sesuai dengan usaha rumah kos; apakah nanti asl-
nya disamakan dengan tijārah (dagangan), ataukah dengan simār
(buah-buahan). Sebab, usaha rumah kos jika dikomparasikan dengan
kedua hal tersebut (tijārah dan simār) memiliki sisi-sisi persamaan
dan perbedaan. Artinya, ada dua asl yang memungkinkan untuk
dijadikan sandaran qiyas bagi far’ yakni tijārah dan sīmār.57
56
Ridwan Mas’ud dan Muhammad, Zakat & Kemiskinan; Instrumen Pember-
dayaan Ekonomi Umat (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 56.
57
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, cet.XII, terj. Salman Harun dkk. (Bogor:
Pustaka Litera Antarnusa, 2011), h. 441.
168
Kedua, hukum asl. Semua kategori harta itu telah disepakati
dan diketahui bahwa hukum menzakati harta-harta tersebut adalah
wajib.
Ketiga, far’. Zaman terus berkembang dan secara otomatis
problematika dalam hal hukum Islam pun mengalami perkembangan.
Oleh karenanya, dari far’-far’
baru yang muncul itu tetap dapat dicarikan jalan keluar (baca;
hukum)-nya melalui qiyas. Adapun far’ dalam pembahasan zakat
māl ini adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, sesuatu yang bisa
disebut harta beserta sumbernya, dalam contoh ini adalah rumah
kos.58
Keempat, penetapan ‘illat. Setelah melalui berbagai tahapan
masālik al’illah. Para ulama telah sepakat menetapkan bahwa ‘illat
dari zakat Māl adalah al-namā’; tumbuh atau berkembang. Usaha
rumah kos jelas merupakan salah satu jenis usaha yang memberikan
keuntungan. Pemilik cukup menyediakan beberapa kamar,
kemudian hanya menunggu setoran perbulan. Sisi pertumbuhannya
di mana? Yakni, pada setoran tarif perbulan si penyewa kamar.
Kamar yang disewakan pada akhirnya memiliki nilai ekonomis yang
terus berkembang dan memberi penghasilan atau income kepada
pemiliknya. Dengan demikian, di dalam usaha rumah kos juga
terdapat unsur al-namā’. Untuk kajian lebih lanjut dan spesifik, maka
di bawah ini ada dua poin pembahasan di dalam menyikapi zakat
dari penghasilan gedung, rumah atau bangunan yang disewakan:
1. Disamakan dengan zakat dagangan Rumah kos sejatinya
adalah harta yang tidak wajib dizakati bendanya dan tidak
diperdagangkan, namun karena ia dikembangkan dan memberi
penghasilan dan keuntungan bagi pemiliknya dengan cara
disewakan, maka ia berpotensi untuk wajib dizakati. Alasan wajib
zakat bisa dipahami, yaitu perkembangan pada harta.
58
Hadi Permono, Sumber-Sumber Penggalian Hukum Zakat (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993), h. 54-55.
169
Pada masanya, Rasulullah tidak memungut zakat pada harta
tertentu bukan berarti harta tersebut tidak wajib dizakati. Sebab,
pada masa beliau, harta ekonomis yang ada pada waktu itu hanyalah
binatang ternak (unta, sapi, kambing), tanaman dan buah-buahan
(gandum, kurma, dan anggur), harta dagangan dan mata uang (dinar
dan dirham).59 Oleh karena itu, kekayaan-kekayaan yang tidak
bergerak seperti halnya rumah, tidak wajib dizakati bila digunakan
untuk keperluan pribadi. Tetapi, bila dialihfungsikan untuk disewakan
dan berubah sifatnya sehingga dapat bertumbuh dan memberikan
keuntungan, maka perubahan sifatnya itu mengakibatkan terkena
wajib zakat. Zakatnya dalam hal ini sama dengan zakatnya barang
dagangan baik mengenai nisab maupun besaran zakatnya, yakni
2,5%. Adapun nisab harta dagangan disamakan dengan nisabnya
emas atau perak,yakni, 88 gram emas atau 616 gram perak, dalam
redaksi referensi yang lain senilai 77,58 gram emas atau 543,06
gram perak.60
Mengapa disamakan dengan dagangan? Pertama, karena
penyewaan rumah kos merupakan salah satu bentuk dari
muamalah, yakni ijārah (akad sewa). Kedua, usaha rumah kos juga
mempertimbangkan untung-rugi sebagaimana berdagang. Oleh
karenanya, hasil dari pendapatan rumah kos ini, jika mencapai
nisab maka harus dihitung pendapatan beserta harga rumah tersebut
pada saat haulnya (genap setahun), kemudian dikeluarkan zakatnya
sebesar 2,5% atau 1/40 dari hasil penghitungan tersebut.61
2. Disamakan dengan zakat buah-buahan
Peng-qiyasan yang kedua adalah dengan cara menyamakan
hasil usaha rumah kos itu dengan zakatnya pertanian. Sebab, jika
59
Ali Mahmud Uqaily, Praktis & Mudah Menghitung Zakat (Solo: Aqwam,
2010), h. 8992.
60
M. Masykur Khoir, Risalatuz Zakat, cet. II (Kediri: Duta Karya Mandiri,
2004), h. 63
61
Muhammad bin Umar al-Bantani, Nihāyah al-Zain fi Irsyād alMubta-
di‟īn,(Surabaya: Al-Haramain, 2005), h. 257; Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fatḥ
alWahhāb bi Syarḥ Manhaj al-Ṭullāb, vol. (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), h. 293.
170
dilihat dari berbagai sisisisinya juga terdapat kesamaan. Pertama,
pendapatan yang didapat bisa berkali-kali dalam setahun. Kedua,
pemilik rumah diibaratkan memiliki tanah lalu “menanaminya”
dengan rumah atau deretan kamar-kamar, setelah “ditanami” rumah
itu “berbuah” setiap bulan. Ketiga, ‟ushūl atau pangkal atau modal
dari bangunan tidak berubah, alias tidak seperti halnya dalam
dagangan yang pangkal atau modalnya berubah-ubah karena ikut
diperdagangkan.
Jika hasil penghasilan usaha rumah kos ini disamakan dengan
zakat buahbuahan, maka kadar zakat yang harus dikeluarkan
adalah sebesar 10% (tanpa biaya perawatan) dan 5% (dengan biaya
perawatan, kebersihan, listrik, air, gaji penjaga, dll.), tanpa harus
menunggu satu tahun (haul). Artinya, setiap bulan penghasilan yang
masuk harus dikalkulasi apakah sudah mencapai nisab atau tidak,
jika iya maka wajib mengeluarkan zakatnya.62
KESIMPULAN
1. Abu Zakaria Al-Anshari adalah seorang ‘Ulama yang Produktif
dalam Kajian Fiqih itu terlihat dari beberapa karyanya yang
banyak di Dominasi oleh persoalan Fiqh dan usul Fiqh.
2. Jumhur ‘Ulama’ sepakat bahwa qiyas merupakan Hujjah
Syar’iyyah da termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam
suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara qiyas dengan persamaan Illat
maka berlakulah hukum qiyas dan kemudian menjadi hukum
syari’.
3. Qiyas merupakan pintu Rahmat bagi umat Islam sehingga dapat
melihat jelas arah yang akan dijadikan muara dari hukum halal
haram bagi kasus-kasus baru. Dengan qiyas, umat Islam dapat
62
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, cet.XII, terj. Salman Harun dkk. (Bogor:
Pustaka Litera Antarnusa, 2011), h. 450.
171
merancang dan mencari solusi dari persoalan kehidupan yang
berdasarkan dari penjelasan teks-teks agama.
4. Seorang mujtahid dapat memutuskan persoalan hukum dengan
bersandar pada kasus yang sudah jelas hukumnya karena ada
persamaan ‘illat. Pencarian ‘illat sendiri bisa melalui tiga tahapan
yakni:
1). Takhrīj al-manāt (menggali sifat yang menjadi sandaran
hukum),
2). Tanqīh al-manāt (menyeleksi sifat yang menjadi sandaran
hukum),
3). Tahqīq al-manāt (mengukuhkan sifat yangmenjadi sandaran
hukum).
Ketiga tahapan al-taqsīm wa al-sabru ini menunjukkan bahwa
di dalam proses istinbāth hukum yang membutuhkan kejelian,
ketelitian dan kehatihatian.
5. Terdapat dua kelompok yang menyikapi terkait Qiyas dijadikan
Hukum Sya’i yaitu:
a. Kelompok yang Menerima Qiyas sebagai Sumber Hukum
Salah satu nash al-Qur’an yang dikemukakan Jumhur ‘ulama fiqh
terkait qiyas sebagai sumber hukum ialah: Pertama, al-Qur’an surat
an-Nisa: 59. Yang kedua dalil hadits mengenai percakapan Nabi
Muhammad dengan Mu’ad ibn Jabal yang sangat populer, (Ketika
itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli).
b. Kelompok yang Menolak Qiyas sebagai Sumber Hukum
yaitu mazhab Dhahiri dan Syi’ah dengan Alasan bahwa qiyas
bukanlah al-Qur’ān dan Sunnah, Maka Jelas bahwa selain al-Qur’an
dan sunnah tidak dapat dijadikan rujukan ketika terjadi perbedaan
pendapat. Golongan ini menganggap al-Qur’ān surat An-Nisā’ 59
bukanlah sebuah perintah penerapan Qiyas dan juga aplikasi qiyas
merupakan aktivitas akal.
172
Keompok ini menolak hadits Mu’ad ibn Jabal sebagai landasan
penetapan qiyas dengan berargumen bahwa dari segi matan (teks)
dan sanad (periwayata) hadits tersebut dianggap gugur. Indikasi
gugurnya hadits Mu’ad ibn Jabal tersebut adalah: Pertama, hadits
tersebut diriwayatkan dari suatu kaum yang namanya tidak
diketahui, karenanya tidak dijadikan hujjah atas orang-orang yang
tidak mengetahui siapa perawinya. Kedua, dalam urutan perawinya
terdapat Harits ibn ‘Amru yang tidak mengemukakan hadits selain
dari jalur ini. Artinya dari segi periwayatan dan perawinya hadits
tersebut masih diperselisihkan kebenarannya.
173
DAFTAR PUSTAKA
al Anshari, Abi Zakariya Fath al I’ām bi syarhi al Hadits al Ahkām,
Beirut; Dar Kutub ilmiyah 2000
al Anshari, Abi Zakariya Ihkam ad-Dalalah ‘Ala Tahrir Syarh ar-
Risalah, Damaskus; Dar Niam, 2000
al Anshari, Abi Zakaria Fath alWahhāb bi Syarh Manhaj al-Ṭullāb,
Beirut: Dar al-Fikr, 2002
al Anshari, Abi Zakaria Minhatul Bukhari bisyarhi bukhari,
maktabah Mamlakah Arabiyyah, 2005
al Anshari, Abi Zakaria Gāyah al-Wuṣūl Syarh Lubb al-‟Usūl,
Beirut: Dar ad-Diya’ 2017
al Anshari, Abi Zakariya Asna al-Mathalib Fi Syarh Raudh ath-
Thalib, tt.
al-‘Askari, Abu Hilal Al-Furūq al-Lugawiyah, Beirut: Dar al-Kutub
al ‘Ilmiyyah, 2006.
at-Thābarī, Abi Ja’far muhammad bin jarīr Jāmiul Bayān ‘an Ta’wīlil
Qu’ān al KarīmTafsir At-Thābarī, 2003.
Mazin al-Mubarak, al-Hudud al-Aniqah wa at-Ta’ritaf ad-Daqiqah
Lil Qadhi Syekh Zakariaal Anshari, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Ahmad ‘Abaīd, Al-I’lam Wa al-Ihtiman Li Jam’i Fatawa Syaikh al-
Islam Abi Zakariya al Anshari, Damskus; Dar arabiyyah, tt.
as-Sayyi’, Muhammad bin Abdurrahman Minhāju al istinbāth mi
al Qur’ān al karīm, Beirut: Markaz Dirāsah Wal ma’lum al
Qur’āni, 2007.
Muhammad Djamaluddin Ahmad, Miftāh al-Wuṣūlfī ‘Ilmi al-‘Uṣūl,
cet.II Jombang: Pustaka Al-Muhibbin, 2010.
Hafidz Abil Qasim Sulaiman bin Ahmad at Tabrani, al-Mu’jam al-
Kabīr, Cairo: Maktabah ibn Taimiyah, tt
174
Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, cet. V,
Kediri: Purna MHM Lirboyo, 2008.
Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-
Indonesia, cet. IX Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004
Muhammad bin Umar al-Bantani, Nihāyah al-Zain fi Irsyād
alMubtadi‟īn, Surabaya: Al-Haramain, 2005.
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk. Bogor:
Pustaka Litera Antarnusa, 2011.
Abi Bakar Al Mashuri, ‘Ianatu Thalibin, Beirut: Dar al-Fikr, 2005
Ridwan Mas’ud dan Muhammad, Zakat & Kemiskinan; Instrumen
Pemberdayaan
Ekonomi Umat, Yogyakarta: UII Press, 2005.
as-Zamakhsyari, Mahmud bin ‘umar Tafsir al- khasyaf, Bairut: Dar
Ma’arif, 2009.
al-Jurjani, ‘Ali bin Muhammad sayyid syarif Mu’jam Ta’rifat, Cairo:
Dar Fadilah, 1982.
Wahbah Zuhaily, Zakat; Kajian Berbagai Madzhab, terj. Agus
Effendy & Bahruddin Fananny, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008.
Abi Ishaq Ibrahim bin sari, Ma’ānil Qur’ānwa ‘Irābuhu, Bairut:
‘Alamil kutūb, 1988.
Satria Efendi, Ushul Fiqhi, Cet ke-1 Jakarta: Kencana, 2005
Hamid bin Muhammad Ali Qudsi, Laṭā’if al-Isyārat Syarh ‘alā
Tashīl at-Thuruqāt li Naẓmi al Waraqāt, Maktabah Muhammad
bin Syarif, t.t.
Abi Ja’fa An Nuhas, Ma’ānil Qur’ān, makkah: mamlakah arabiyah,
1988.
175
Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI, 2019
Abdullah bin yusuf al Judai’, at-Taisir Ushūlul fiqh, Beirut :
Muassasah ar- Riyān, 1997.
Hadi Permono, Sumber-Sumber Penggalian Hukum Zakat, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993.
Hafidz Tsana’Ullah Az-Zahidi, Talkhisul ‘ushul, Kuwait: Dar
watsāk, 1994.
Ali Mahmud Uqaily, Praktis & Mudah Menghitung Zakat, Solo:
Aqwam, 2010.
Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu al ‘Uṣūl al-Fiqh Cairo: Dar al-Hadis,
2003
M. Masykur Khoir, Risalatuz Zakat, cet. II Kediri: Duta Karya
Mandiri, 2004,
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. Mesir Dar Fikr al Araby,tt
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997
Majma’ Lughatul al-Arobiyah, al-Mu’jam Al Wajīz, Mesir 1994
Majma’ Lughatul al-Arobiyah, al-Mu’jam al Wasīt, Mesir 2004
Wahbah Zuhaili, al Wajīz fī ushulul Fiqh, Beirut: Darl Fikr, 1994
Zaynuddin Abu Hafsh, Bahjah al-Hawi, Mesir: Dar ahya al arabi, tt.
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189