Efusi Pleura
Efusi Pleura
Efusi Pleura
PENDAHULUAN
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah dengan
mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan dalam tubuh,
menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil, serta
memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan tekanan darah,
membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap kuat.
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat global
dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan
biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk
usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10
populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic review dan
metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK
sebesar 13,4%. Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan
penyebab kematian peringkat ke- 27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan
ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan
ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.
Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun dapat
berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan ditanggulangi
dan kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih besar jika diketahui
lebih awal.
Sebagai penyakit yang sering ditemukan dan memiliki biaya perawatan
yang tinggi di rumah sakit, penulisan referat ini diharapkan berguna dalam segi keilmuan
bagi dokter muda dalam kepaniteraan klinik.
1
1.2 Batasan Penulisan
Laporan Kasus ini membahas mengenai Penyakit Ginjal Kronik dan Efusi
Pleura mencakup definisi hingga prognosis berserta laporan kasus.
Laporan Kasus ini disusun untuk memenuhi tugas Program Dokter Internship di
RSUD Pariaman dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta
sebagai bahan informasi bagi para pembaca.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan penulisan dari Laporan Kasus ini adalah untuk membahas secara
komprehensif mengenai penyakit ginjal kronis.
Metode yang dipakai adalah tinjauan pustaka dengan merujuk kepada beberapa
literatur buku, teks, jurnal, dan makalah ilmiah
2
BAB II
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria.
Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
1,2
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik terbagi dalam lima stadium. Stadium 1 adalah
kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal
dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan
penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat
1
fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
1,3
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.
3
2.3 Epidemiologi
1. Glomerulonefritis (46,39%)
4. Hipertensi (8,46%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita. Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit
2
putih.
1,3,4
2.4 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).
a. Glomerulonefritis
4
penelitian asli berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut
didefinisikan sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria,
5
dan silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema,
2
dan fungsi ginjal terganggu.
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma
2
multipel, atau amiloidosis.
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada
pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi
hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak
2
napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.
b. Diabetes mellitus
6
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
2,4
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf .
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
5,6
sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi
5,6
obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:
Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adalah
<130/80 mmHg.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
7
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney
disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.
Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga
istilah
dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
2
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran
kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan lingkungan seperti obesitas atau
perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes
melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan
terekspos dengan bahan kimia dan lingkungan tertentu.
8
2.6 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
1,2
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-
9
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β
(TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus
1
maupun interstitial.
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan
kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya
dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test
1
pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih
dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap
ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi
BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar
kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan,
kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau
dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria
(diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai
respons terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya
akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
1
teliti.
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal
stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari
massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai
LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml
per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat
dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit
penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang
cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit dalam
10
tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar
1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari)
karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula- mula menyerang tubulus
ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti
akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal
1
atau dialisis.
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium- stadium
tersebut.
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
1,2,6
kardiovaskular.
a. Kelainan hemopoeisis
11
hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12
1
g/dL.
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum
jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan
usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
2
pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal
ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak ja
1,3
rang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
12
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan
atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem
vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal
dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
5. Meramalkan prognosis
13
ii. Sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
1
chlorida).
b. Pemeriksaan laboratorium
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
1,2,3,6
2.9 Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
14
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
a. Peranan diet
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi
dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan dan elektrolit
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg
IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi
2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam
6
seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
15
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran
hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai
anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.
16
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK
yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
2.10 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adaah karena kegagalan jantung (45%),
17
2
infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).
2.11 Pencegahan
18
2.2 Efusi Pleura
2.2.1 Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi cairan di antara pleura parietal dan visceral, yang
disebut rongga pleura. Setiap orang memiliki sejumlah kecil cairan pleura yang melumasi
ruang dan memfasilitasi gerakan paru-paru normal selama respirasi. Keseimbangan cairan
dipertahankan oleh tekanan onkotik dan hidrostatik dan drainase limfatik; gangguan pada
salah satu sistem ini dapat menyebabkan penumpukan cairan pleura. Efusi pleura adalah
7
salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas paru.
2.2.2 Etiologi
Efusi pleura sebagai pertanda adanya proses penyakit yang mendasarinya yang
mungkin berasal dari paru atau nonpulmoner dan akut atau kronis. Meskipun spektrum
etiologis efusi pleura dapat luas, etiologi efusi pleura dapat diklasifikasikan berdasarkan
8
hasil analisis cairan pleuranya yaitu transudate dan eksudat.
3. LDH cairan pleura lebih dari 2/3 dari batas atas nilai laboratorium normal
untuk LDH seru7m.
8
Gambar 2: Etiologi transudat efusi pleura.
19
8
Gambar 3: Etiologi eksudat efusi pleura.
19
2.2.3 Patofisiologi
Peningkatan persisten dalam tekanan onkotik cairan pleura dari efusi pleura
yang ada, menyebabkan akumulasi cairan lebih lanjut
20
Jika efusi pleura terutama disebabkan oleh Mekanisme yang menyebabkan efusi
pleura terutama karena peningkatan tekanan hidrostatik biasanya transudatif, dan
menyebabkan efusi pleura telah mengubah keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan
21
onkotik (biasanya transudat), peningkatan permeabilitas mesotel dan kapiler
(biasanya eksudat) atau gangguan drainase limfatik.
A. Anamnesis
Gejala efusi pleura yang paling umum adalah dispnea. Tingkat keparahan dispnea
hanya berkorelasi longgar dengan ukuran efusi. Efusi pleura masif memenuhi ruang di
dada yang biasanya diisi oleh parenkim paru dan dengan demikian dikaitkan dengan
pengurangan semua volume paru-paru. Volume paru-paru juga tidak segera berubah ketika
7,8
efusi pleura (bahkan yang besar) telah dikeluarkan.
Beberapa pasien daat mengeluhkan batuk kering, yang dapat dijelaskan sebagai
manifestasi dari peradangan pleura atau kompresi paru-paru karena efusi yang besar. Efusi
pleura juga dapat secara nyata mengganggu kualitas tidur. Pasien dengan peradangan
pleura aktif yang disebut pleuritis dapat mengeluhkan rasa sakit crescendo / decrescendo
yang tajam, parah, terlokalisasi dengan pernapasan atau batuk. Akan tetapi, Nyeri terus-
7,8
menerus juga merupakan ciri khas penyakit ganas seperti mesothelioma.
Riwayat klinis sangat penting. Pasien harus ditanya tentang infeksi pernapasan di
masa lalu, demam, penurunan berat badan, dan malaise. Apakah gejalanya muncul dengan
cepat atau dalam waktu yang lebih lama? Riwayat penyakit pasien? terutama riwayat
7,8
penyakit jantung sangat penting.
B. Pemeriksaan Fisik
Kelainan pemeriksaan fisik spesifik untuk efusi pleura pada pemeriksaan paru
adalah pergerakan dinding dada efusi tertinggal saat inspeksi, fremitus bagian efusi
melemah, pekak pada bagian dada efusi terutama basal, Suara napas berkurang atau tidak
ada secara unilateral atau bilateral. Takipnea jika efusinya masif. Pleura rub kadang-
7,8
kadang dapat didengar pada tahap awal efusi parapneumonic.
C. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen
Rontgen dada adalah pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk menilai
adanya efusi pleura; namun, perlu dicatat bahwa pada posisi rontgen dada berdiri
22
dibutuhkan sebanyak 250-600 mL cairan diperlukan untuk terlihat pada X-ray . Proyeksi
dekubitus lateral paling sensitif, mampu mengidentifikasi bahkan sejumlah kecil cairan. Di
sisi lain, proyeksi terlentang dapat menutupi cairan dalam jumlah besar. Gambaran khas
10
radiologi efusi pleura sebagai berikut:
Meniscus sign (cairan yang memenuhi mengisi dinding dada, sehingga mengikuti
pleura viseral dari paru)
(a). (b).
(c) (d)
Gambar 4: Radiologi Efusi Pleura: a) Meniscus Sign, b). Sudut Kostofrenikus tumpul,
10
c). Efusi Pleura Masif dengan pergeseran organ mediaimum,, d). Lateral view.
23
USG Thorax
Gambaran khas ultrasonografi yang menentukan dari efusi adalah quad sign dan
10
sinusoid sign.
Quad sign mengacu pada batas-batas biasa yang mendefinisikan efusi pleura
Terlihat pleura parietal dan pleura visceral adalah dua permukaan yang
terpisah, biasanya disebut sebagai "garis paru-paru"
Inspirasi dalam kedalaman efusi, yang secara klasik ditunjukkan dalam mode-M,
adalah sinusoid sign, manifestasi dari dinamika cair intrinsik.
b. Pasien dengan congestif heart failure, efusi bilateral, afebrile dan efusi yang
berkurang dalam waktu 3 hari.
24
Penampilan makroskopik cairan mungkin sudah memberikan petunjuk untuk
diagnosis. Cairan sseperti susu adalah tipikal chylothorax, nanah adalah empiema, dan
efusi berdarah lebih sering terjadi ketika keganasan adalah penyebabnya. Chylothorax
dapat dibedakan dari empiema dengan sentrifugasi: cairan chylous tetap seperti susu,
11
tetapi cairan empiema menampilkan supernatant bening.
11
Gambar 6: Perbedaan Transudat dan Eksudat.
2.2.5 Tatalaksana
Pleurodesis mengacu pada insersi chest tube dan penanaman zat kimia sklerosing
ke dalam rongga pleura dan produksi adhesi antara permukaan luar paru-paru dan
permukaan dalam dinding dada, untuk mencegah akumulasi cairan atau udara di ruang
pleura. Prosedur ini adalah yang paling efektif dan paling tidak invasif dari semua
prosedur bedah yang tersedia untuk mengendalikan efusi pleura, terutama yang dari
7,8
etiologi ganas.
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. SN
Umur : 59 tahun
Pekerjaan : IRT
No. RM : 037226
3.2 Anamnesis
Sesak nafas semakin memberat sejak malam sebelum masuk rumah sakit
- Awalnya sesak dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak membaik
dengan posisi setengah duduk. Terus menerus, tidak menciut, tidak dipengaruhi
oleh, cuaca, waktu, aktivitas, debu. Sesak nafas semakin bertambah sejak malam
hari ssebelum masuk rumah sakit, terbangun karena sesak.
- Badan lemah dan letih sejak 1 minggu yang lalu, disertai penurunan nafsu makan.
- Pucat sejak 1 minggu yang lalu, riwayat tanda perdarahan tidak ada.
‒ Bengkak pada seluruh tubuh sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
‒ BAB tidak ada sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
‒ BAK sedikit sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, berwarna kuning
26
kecokelatan, sebanyak ± 1 liter/ hari, terpasang kateter.
‒ Batuk tidak ada, Mual dan muntah tidak ada, demam tidak ada, penurunan
kesadaran tidak ada.
- Pasien telah dikenal CKD stage V sejak 10 bulan yang lalu, rutin melakukan cuci
darah di RSUD Pariaman jadwal hari rabu dan sabtu. Saat masuk, pasien
direncanakan HD siang, diberikan obat dari HD yaitu candesartan dan furosemid.
Riwayat Kebiasaan
‒ Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan aktivitas ringan sedang.
27
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalisata
‒ Nadi : 93 kali/menit
‒ Pernafasan : 24 kali/menit
‒ Suhu : 36,5°C
b. Status Lokalisata
‒ Kepala
Normochepal, simetris, rambut hitam dan tidak mudah rontok, deformitas (-),
sikatrik (-).
‒ Mata
Nyeri (-), diplopia (-), penglihatan normal, udem palpebra (+/+), konjungtiva
anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor Ɵ3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
‒ Telinga
Nyeri tarik pinna (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri ketok mastoid (-/-) cairan
(-/-), bunyi mendenging (-/-), pendengaran dalam batas normal
28
‒ Hidung
Deformitas (-/-), penyumbatan (-/-), epistaksis (-/-), sekret (-/-), penciuman dalam
batas normal, nyeri (-)
‒ Mulut
Mukosa bibir lembab merah muda, sianosis (-), gigi (normal), palatum dalam batas
normal, lidah kotor (-), tonsil ukuran T1-T1, gangguan mengecap tidak ada, lidah tidak
ada deviasi, atrofi papil lidah (-), uvula di tengah, gusi dalam batas normal.
‒ Leher
JVP : 5 + 2 cmH2O
‒ Dada
Bentuk : Normothoraks
‒ Paru
‒ Abdomen
‒ Pembuluh Darah
30
Arteri femoralis : Teraba, sama kiri kanan
‒ Kulit
Warna kuning langsat, effloresensi (-), sikatrik (-), pigmentasi normal, ikterus (-),
sianosis (-), spider nevi (-), telapak tangan dan kaki pucat (-/-), pertumbuhan rambut
normal.
‒ Ekstremitas superior
‒ Ekstremitas inferior
31
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Hb : 6,9 gr/dl
Leukosit : 9.190/mm3
Trombosit : 192.000/mm3
Hematokrit : 17%
Eritrosit : 2.080.000/uL
GDS : 226 mg/dl
Ureum : 98 mg/dl
Kreatinin : 3 mg/dl
Natrium :133.10 mmol/l
Kalium : 4.08 mmol/l
Kesan : Anemia, hiponatremi, hipoklorida, ureum kretinin meningkat, gds
meningkat
Analisis Gas Darah – 2 Juli 2022
pH : 7.297
PCO2 : 64.5
HCO3- : 27.7
PO2 : 109
Kesan : Asidosis respiratorik terkompensasi sebagian
Hb : 6,9 gr/dl
Leukosit : 6.270/mm3
Trombosit : 183.000/mm3
Hematokrit : 18%
Eritrosit : 2.210.000/uL
Kesan : Anemia
32
Darah rutin- 7 Juli 2022
Hb : 8.1 gr/dl
Leukosit : 7.310/mm3
Trombosit : 174.000/mm3
Hematokrit : 25.1%
Eritrosit : 2.780.000/uL
Kesan : Anemia
Kesan :
33
3.5 Diagnosis
- Thorakosintesis
- Hemodialisa
3.6.2 Farmakologis
- Inj. Lasix 2x 20 mg
- Furosemid 2x1
- Cefixime 2x200 mg
3.8 Prognosis
34
Quo ad Functionam : Dubia ad Malam
FOLLOW UP
O/
- Anemia
S/
- Bengkak pada tangan kaki (+)
- Sesak Nafas (+) terus menerus, tidak dipengaruhi posisi, cuaca, aktivitas, atau debu.
35
O/
- Anemia
P/ Pantau TTV, on HD
S/
- Bengkak pada tangan dan kaki berkurang
- Sesak Nafas (+) berkurang
- Dilakukan tapping, namun tidak didapatkan cairan pleura
- Hb: 8.1 mg/dl
-
O/
- Anemia
O/
- Anemia
36
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien perempuan usia 49 tahun dating ke IGD RSUD Pariaman dengan
keluhan utama Sesak nafas semakin memberat sejak malam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya sesak dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak membaik dengan
posisi setengah duduk. Terus menerus, tidak menciut, tidak dipengaruhi oleh, cuaca,
waktu, aktivitas, debu. Sesak nafas semakin bertambah sejak malam hari ssebelum masuk
rumah sakit, terbangun karena sesak. Keluhan yang dirasakan pasien merupakan kondisi
akut dan tiba - tiba. Beberapa kemungkinan dispnea akut adalah efusi pleura,
pneumothoraks, acute lung udem, dan asma. Pasien tidak mengalami perburukan cepat dan
nyeri dada sehingga dapat menyingkirkan pneumothoraks, tidak adanya riwayat asma dan
suara nafas tidak menciut dapat menyingkirkan asma. Sesak nafas dirasakan pasien
memiliki kemungkinan efusi pleura dan udem paru akut. Terbukti pula dengan anamnesis
selanjutnya bahwa pasien mengeluhkan bengkak pada seluruh tubuh sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit.Kondisi memungkinkan bahwa terdapat adanya penumpukan cairan
dalam tubuh. Diketahui pula bahwa Pasien telah dikenal CKD sejak 10 bulan yang lalu,
rutin melakukan cuci darah di RSUD Pariaman jadwal hari rabu dan sabtu. Adanya edema
anasarka pada pasien CKD memungkin bahwa pasien mengalami hipoalbumin atau
hipervolemia. Selain itu, manifestasi lain CKD adalah anemia yang dirasakan pasien
badan lemah dan letih sejak 1 minggu yang lalu, disertai penurunan nafsu makan, pucat
sejak 1 minggu yang lalu dan tidak memiliki riwayat tanda perdarahan. Salah satu fungsi
ginjal yaitu sekresi hormon eritropoetin yang merangsang pembentukan sel darah merah.
Pasien telah dkenal dengan riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu. Hipertensi
menyebabkan rangsangan barotrauma pada kapiler glomerolus dan meningkatkan tekanan
kapiler glomerolus terebut, yang lama kelamaan akan menyebabkan glomerolusclerosis.
Glomerulusclerosis dapat merangsang terjadinya hipoksia kronis yang menyebabkan
kerusakan ginjal. Hipoksia yang terjadi menyebabkan meningkatnya kebutuhan
metabolisme oksigen pada tempat tersebut, yang menyebakan keluarnya substansi
vasoaktif (endotelin, angiotensin dan norephineprine) pada sel endotelial pembuluh darah
lokal tersebut yang menyebabkan meningkatnya vasokonstriksi. Aktivasi RAS (Renin
Angiotensin Sistem) disamping menyebabkan vasokontriksi, juga menyebakan terjadinya
stres oksidatif yang meningkatkan kebutuhan oksigen dan memperberat terjadinya
37
hipoksia. Stres oksidatif juga menyebabkan penurunan efesiensi transport natrium dan
kerusakan pada DNA, lipid & protein, sehingga pada akhirnya akan menyebakan
terjadinya tubulointertitial fibrosis yang memperparah terjadinya kerusakan ginjal.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus
SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari:
http://emedicine. medscape.com/article/238798-overview, 25 Mei 2013.
3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm .
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan
Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.
5. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
th
Clinical Medicine. Ed. 7 . New York: Oxford University; 2007. 294-97.
6. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta:
CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.
10. Jones, J., Lustosa, L. Pleural effusion. Reference article, Radiopaedia.org. 2022.
Available from https://doi.org/10.53347/rID-6159
11. Wande IN. Buku Panduan Interpretasi Analisis Cairan Pleura. Bagian Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2016; 1-15.
40