Dokumen - Tips - Filsafat Pendidikan Dalam Keluarga
Dokumen - Tips - Filsafat Pendidikan Dalam Keluarga
Dokumen - Tips - Filsafat Pendidikan Dalam Keluarga
BAB I
PENDAHULUAN
Makalah filsafat pendidikan dalam keluarga ini saya tulis karena saya
terinspirasi oleh sebuah artikel yang mengutarakan tema " Pendidikan Dimulai
dari Keluarga". Sebagai seorang wanita yang baru saja menikah, saya merasa
masih begitu banyak ilmu yang harus saya pelajari, masih terlalu banyak hal yang
belum saya mengerti. Saya tidak ingin, jika nanti tiba saatnya Allah memberikan
amanah buah hati dalam kehidupan rumah tangga kami, saya belum mempunyai
bekal yang cukup untuk mendidiknya sebagai insan yang madani.
Keluarga, dalam terminologi sosial sebagaimana dikemukakan Robert MZ.
Lawang, dipahami sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan
perkawinan, darah atau adopsi; yang membentuk satu rumah tangga; yang
berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya
sendiri sebagai anggota keluarga; dan yang mempertahankan kebudayaan
masyarakat yang berlaku umum, atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri.
Apa pentingnya pendidikan dalam keluarga ? Akan sangat banyak jawaban
untuk pertanyaan ini. Namun kita akan mengambil satu poin saja, bahwa
pendidikan dalam keluarga menjadi pondasi untuk pembangunan bangsa dan
negara Indonesia.
“Mengapa keluarga dapat dikatakan sebagai batu pertama untuk
membangun negara?” demikian pertanyaan Husain Muhammad Yusuf mengawali
pembahasan tentang Posisi Keluarga dalam Negara. “Sebab”, tulisnya, “Sejauh
mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada
landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan
gambaran moralitas dalam masyarakatnya”.
Tak bisa disangkal lagi bahwa pendidikan bermula dari rumah, bukan dari
sekolah. Bahkan, meminjam istilah Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam
teori Quantum Learningnya, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat
1
yang amat menyenangkan. Mereka menyebut contoh belajar berjalan pada anak
usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh anak pada
akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan, suatu hal yang amat
berbeda dengan pembelajaran orang dewasa.
Fungsi edukatif dalam keluarga menjadi sedemikian vital untuk
mempersiapkan masa depan bangsa dan negara. Khalid Ahmad Asy Syantuh
menyebutkan, pendidikan merupakan sarana perombakan yang fundamental.
“Sebab”, katanya, “ia mampu merombak jiwa manusia dari akar-akarnya”.
Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan pendidikan untuk
menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan
kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan
kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.
Adapun tujuan tertinggi dari proses pendidikan, menurut Omar
Mohammad Al Toumy Al Syaibany, bisa dirumuskan dengan beberapa rumusan
berikut: perwujudan diri, persiapan untuk kewarganegaraan yang baik,
pertumbuhan yang menyeluruh dan terpadu, serta persiapan untuk kehidupan
dunia dan akhirat. Dengan demikian, pendidikan dalam keluarga tengah
menyiapkan anggotanya mencapai tujuan tertinggi tersebut, atau dalam bahasa
Muhammad Quthb diistilahkan dengan ungkapan ringkas, “manusia yang baik”.
2
BAB II
ONTOLOGI PENDIDIKAN KELUARGA
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal
seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf
yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam
yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi
belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang:
1. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal
atau jamak?
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas)
tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki
warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
3
• tunggal (one)
• jamak (many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara
menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya
antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan
sebagainya).
4
Karena tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga adalah batu bata pertama untuk
membangun istana masyarakat muslim dan merupakan madrasah iman yg
diharapkan dapat mencetak generasi-generasi muslim yang mampu meninggikan
kalimat Allah di muka bumi.
Bila pondasi ini kuat, lurus agama dan akhlak anggota maka akan kuat pula
masyarakat dan akan terwujud keamanan yang didambakan. Sebaliknya bila
tercerai berai ikatan keluarga dan kerusakan meracuni anggota-anggotanya maka
dampaknya terlihat pada masyarakat bagaimana kegoncangan melanda dan rapuh
sehingga tidak diperoleh rasa aman.
5
Pembinan jiwa orang tua di jelaskan dalam Surat Luqman ayat 12 : “ Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu
“Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji”.
2. Pembinaan tauhid kepada anak .
6
7
BAB III
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KELUARGA
Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat
diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi ( a sheet of white
paper avoid of all characters ). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai
bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak
8
9
10
keluarga si anak atau menyerahkan anak itu pada keluarga lain, tidak perlu
menjadikan anak milik negara.
Lebih lanjut, negara harus berusaha dan memberi kesempatan agar
semua warga negara mempunyai pengetahuan cukup tentang kewajiban-
kewajiban sebagai warga negara dan sebagai anggota bangsa yang
mempunyai tingkat perkembangan jasmani dan rohani yang cukup, yang
diperlukan untuk kesejahteraan umum (pendidikan kewarganegaraan), dan
tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan yang berlaku di negara yang
bersangkutan.
Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk pemerintahan dan
untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin dan mendirikan sekolah-
sekolah yang diperlukan untuk mendidik pegawai-pegawai dan tentaranya,
asal pemimpin ini tidak mengurangi hak-hak orang tua.
11
dan tanya jawab. Oleh karena itu sebagai laboratorium peradaban, orang
tua berfungsi membantu anggota keluarganya mencari dan menemukan
kebenaran, keindahan dan kehidupan yang luhur.
2. Filsafat pendidikan esensialisme, bertitik tolak dari kebenaran yang telah
12
logis dari cara berpikir progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya
belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini. Tetapi
haruslah memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang
diinginkan. Dengan demikian tidak setiap individu dan kelompok akan
memecahkan kemasyarakatan secara sendiri-sendiri sebagai
progresivisme.
13
BAB IV
AKSIOLOGI PENDIDIKAN KELUARGA
14
15
16
proses penyerapan nilai-nilai. Akan tetapi keintiman hubungan saja tidak cukup,
diperlukan juga perangkat lainnya berupa metoda, pertimbangan waktu dan
kondisi.
Segala sisi yang memungkinkan hasil pendidikan menjadi lebih baik, perlu
mendapat perhatian dalam keluarga. Akan tetapi model yang dipilih tentu yang
akan membawa anggota keluarga menuju nilai kebaikan optimal mereka. Bukan
model pendidikan yang akan mematikan potensi dan memandulkan bakat mereka.
Ada delapan sisi yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan integratif
dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik,
pendidikan intelektual, pendidikan emosi (psikis), pendidikan sosial, pendidikan
seksual, dan pendidikan politik.
a) Pendidikan Iman
Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi seluruh bagian-
bagian pendidikan. Pendidikan iman ini yang akan membentuk kecerdasan
spiritual. Komitmen iman yang tertanam pada diri setiap anggota keluarga akan
memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat. Yang
dimaksud dengan keimanan adalah keyakinan akan keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa, Tuhan Yang Maha Melihat perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha
Membalas perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Adil dalam memberikan
hukuman dan pembalasan, Tuhan Yang Maha Mengetahui segala apa yang
tampak dan tersembunyi. Inilah hakikat iman yang paling fundamental. Setiap
orang merasa dirinya berada dalam pengawasan dan pemeliharaan Tuhan.
Perasaan bertuhan menjadi sebuah landasan imunitas bagi semua manusia
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seorang ayah akan bekerja dengan benar
untuk menghidupi keluarganya karena merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha
Melihat. Seorang pejabat akan menunaikan amanah dengan benar, tidak
menyalahgunakan wewenang walaupun ada banyak kesempatan ditemui, karena
merasa diawasi oleh Tuhan.
Nilai-nilai keimanan harus dijadikan perhatian utama dalam membentuk
imunitas keluarga dalam menghadapi arus globalisasi. Penanaman nilai-nilai
17
18
manusia dengan manusia yang lainnya, dan antara manusia dengan alam dan
lingkungannya. Karena perbuatan baik manusia tidak hanya diatur dan digerakkan
oleh faktor hukum, namun juga oleh faktor etika moral atau akhlak. Misalnya
ajaran agar berlaku baik kepada tetangga, lebih bercorak ajaran moral daripada
hukum. Kalau hukum mengatur dengan sangat detail tentang ketentuan
pelaksanaan dan pelanggaran, sedangkan aspek moral lebih bernuansa
membangun kesadaran bertindak.
c) Pendidikan Emosi
Pendidikan emosi (psikis) membentuk berbagai karakter positif kejiwaan,
seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistik, dan
seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal
terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Memasuki abad 21, paradigma lama
tentang anggapan bahwa IQ (Intelligence/Intelectual Quotient) sebagai satu-
satunya tolok ukur kecerdasan, yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan
dan kesuksesan kinerja Sumber Daya Manusia, digugurkan oleh munculnya
konsep atau paradigma kecerdasan lain yang ikut menentukan terhadap
kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya.
Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi; menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Menurut Goleman, orang-orang
yang hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki
rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri,
terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan
kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan
emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah,
karena cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul,
mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan
kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress.
19
d) Pendidikan Fisik
Pendidikan fisik atau pendidikan jasmani tak kalah penting untuk mendapat
perhatian. Keluarga harus menampakkan berbagai kekuatan, termasuk kekuatan
fisik agar tubuh menjadi sehat, bugar dan kuat. Pendidikan jasmani pada
hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk
menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik,
mental, serta emosional. Robert Gensemer mengistilahkan pendidikan jasmani
sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.”
Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat,
sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: men sana in corporesano.
Di antara tujuan pendidikan fisik adalah mengembangkan keterampilan
pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran
jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga
yang tepat, serta meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang
lebih baik. Di antara metoda pendidikan fisik dalam keluarga adalah pembiasaan
pola hidup sehat, baik dari segi pola makan, pola istirahat, pola kegiatan, maupun
dengan kegiatan olah raga yang teratur. Keluarga adalah lembaga pertama dalam
mengembangkan pendidikan fisik ini bagi seluruh anggota keluarga.
e) Pendidikan Intelektual
Perilaku anarkistis di sekitar kita tampak marak yang ditandai dengan amuk
massa, tingkah suporter sepak bola sampai tawuran antarsiswa dan mahasiswa,
ataupun gerakan unjuk rasa mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat
keamanan. Emosi massa seakan mudah tersulut, akal sehat seakan hilang dalam
20
budaya kita yang dulu terkenal santun. Tak terkecuali berlaku bagi kelompok
masyarakat elite dan berpendidikan. Kita membutuhkan pendidikan yang mampu
memoles nalar sehat masyarakat kita. Ranah intelektual harus menjadi perhatian
dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, selain sisi iman, moral,
maupun emosional.
Menurut AS. Hornby, “intellectual is having or showing good reasoning
power”. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai kematangan intelektual
adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan nalar logika,
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistematis, dan efisien. Selain
itu, seorang intelektual mampu melahirkan gagasan-gagasan baru, dapat
menerima kritikan orang lain, dan mampu menguasai gramatikal bahasa. Jadi,
kematangan intelektual dinilai dari seberapa jauh seseorang menggunakan
intelegensinya, bukan dari tingkat perkembangan mentalnya. Menciptakan
kematangan intelektual adalah tugas keluarga dengan lingkungan yang kondusif,
selain sekolah yang tentu sangat berperan dalam proses pematangan intelektual.
Jika belajar dari negara Jerman, calon mahasiswa perguruan tinggi di Jerman
dituntut telah mencapai hochschulreife, artinya kematangan, baik intelektual
maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Pendidikan dalam
keluarga berorientasi pada kematangan intelektual, agar anggota keluarga
memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai kondisi dalam kehidupan dengan
nalar yang sehat dan matang.
Secara konseptual, kematangan intelektual dapat dibentuk terutama lewat
matematika dan bahasa. Matematika dapat memberikan cara bernalar logis dan
kritis, sedangkan bahasa sebagai sarana bertutur dan menulis. Selain itu,
diperlukan pula penggunaan metode pembelajaran yang tepat sehingga
pembelajaran dapat terintegrasi dengan baik.
f) Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota
keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan
21
22
BAB V
BUDAYA KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
DALAM KELUARGA
23
lancar, lantai yang bersih dan tidak licin, kamar tidur yang tidak gelap dan lembab
dan lain-lain.
Sanitasi lingkungan rumah berkaitan erat dengan upaya nyata dari penghuni
rumah dalam bentuk perilaku hidup yang sehat di lingkungan rumah. Misal
perilaku membuang sampah, perilaku menjaga kebersihan rumah dan pekarangan
sekitar rumah, cara memasak yang sehat, pembuatan apotek hidup dan upaya
penghijauan di sekitar rumah. Upaya hygiene rumah tangga saling berhubungan
secara serasi dan seimbang dengan sanitasi lingkungan rumah.
Salah satu proses pendidikan atau pengajaran yang cepat adalah dengan
memberikan contoh langsung kepada anggota keluarga tentang hal-hal yang harus
dan tidak seharusnya dilakukan, disinilah peran kedua orang tua. Contohnya: tidak
meninggalkan atau menggantung baju kotor di kamar atau di kamar mandi,
pemisahan sampah dan membuang sampah pada tempatnya, tidak menidurkan
anak di depan TV yang sedang hidup, penghematan energi air dan listrik, tidak
membiarkan kondisi lantai yang licin, tidak membuang pembalut wanita ke WC,
tidak memberikan HP pada anak secara bebas, dan lain-lain.
Perilaku-perilaku tersebut di atas harus dibiasakan dalam rumah tangga dan
orangtua yaitu bapak dan ibu harus secara sadar memberikan contoh yang benar
kepada anggota keluarganya. Sebagaimana dalam sebuah perusahaan, atasanlah
yang harus memberikan contoh kepada para pekerjanya. Suami saya pernah
menceritakan suatu kejadian, bahwa ada seorang atasannya ketika melihat sebuah
puntung rokok yang masih menyala di lingkungan kerjanya, beliau segera
mematikannya dan membuangnya ke tempat sampah. Hal ini tentu saja akan
memberi motivasi tersendiri bagi para pekerja yang melihatnya, bahwa
merekapun harus melakukan hal yang serupa; menjalankan nilai-nilai Kesehatan
dan Keselamatan Kerja sejak dini dan dari hal terkecil di lingkungan kerja,
sehingga akan dapat meningkatkan kinerja atau performance dari segala aspek.
24
BAB VI
KESIMPULAN
1. Fungsi edukatif dalam keluarga adalah hal yang sangat penting guna
mengantarkan seluruh anggota keluarga menuju optimalisasi potensi,
pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas
kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan. Dari keluarga inilah
segala sesuatu tentang pendidikan bermula, apabila salah dalam pendidikan
awalnya, maka peluang unuk terjadi berbagai distorsi pada diri anak akan
lebih tinggi.
2. Dalam Filsafat Islam, anak adalah amanah Allah yang wajib
dipertanggungjawabkan. Secara umum, inti tanggung jawab itu adalah
menyelenggarakan pendidikan bagi anggota keluarga, seperti termaktub
dalam Q.S Al-Lukman : 12-19, pembinaan dalam keluarga adalah berupa
pembinaan jiwa orang tua, pembinaan tauhid anak, pembinaan akidah anak,
dan pembinaan jiwa sosial anak.
3. Pendidikan dalam keluarga yang baik adalah yang bersifat integratif, dimana
segala aspek potensi kemanusiaan harus diberdayakan. Ada delapan sisi yang
harus ditanamkan dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu
pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual,
pendidikan emosi (psikis), pendidikan sosial, pendidikan seksual, dan
pendidikan politik.
4. Pendidikan dan penerapan nilai-nilai yang berkaitan dengan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja perlu kita tanamkan sejak dini dalam keluarga, sehingga
akan menjadi suatu kebiasaan bagi para anggota keluarga untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Upaya Kesehatan dan
Keselamatan Kerja pada keluarga perlu memperhatikan keadaan hygiene dan
sanitasi lingkungan rumah yang kemudian akan dapat meningkatkan status
kesehatan fisik dan psikis para penghuni rumah. Hygiene dan sanitasi
25
26
DAFTAR PUSTAKA
27