KEL 1 Qowaid Fiqiyah PDF
KEL 1 Qowaid Fiqiyah PDF
KEL 1 Qowaid Fiqiyah PDF
Disusun oleh:
1
Kata Pengantar
Penulis
2
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
Apa sih kaidah fiqih dan ushul fiqih itu? Ada berapa macam-macamnya?
Dan bagaimana perbedaannya keduanya? Dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal
al-Fiqhi, karya Dr. Musthafa al-Zarqa` menulis: “seandainya kaidah fiqih tidak ada,
maka hukum-hukum fiqih akan tetap menjadi serpihan hukum yang secara lahir
saling bertentangan satu sama lain.” Mustafa az-Zarqa benar, sebab apabila kita
terus-menerus berkutat mempelajari hukukm-hukum fiqih secara parsial
(sepotong-sepotong), maka kita akan merasakan adanya kontradiksi antara satu
hukum dengan hukum lainnya. Kita sering dibuat bingung saat mempelajari
persoalan-persoalan hukum yang karakternya sama tetapi ketentuan hukumnya
berbeda.
Nah, salah satu solusi untuk mengurangi benang kusut itu, adalah dengan
mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syari’at. Jadi, selain kita
mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi, kita juga dituntut untuk menguasai
pangkal persoalan atau substanti hukumnya. Caranya adalah dengan mempelajari
kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah. Dengan kedua
kaidah tersebut nilai-niai esensial syari’at terurai dengan sangat lugas, logis,
tuntas, dan rasional. Hubungan keduanya seperti layaknya hubungan produk
dengan sarana mengolahnya. Sebuah produk tentu memiliki sarana untuk
mengolahnya. Suatu produk tentu diolah dari bahan-bahan dengan cara (resep)
tertentu. Fiqh adalah sebuah produk. Ia diolah dari bahan wahyu, yaitu Alquran,
dan sunnah Rasulullah. Adapun cara agar Alquran dan sunnah itu dapat dinikmati
3
sebagai fiqh adalah dengan dengan ushul fiqh. Jadi, ushul fiqh adalah
membicarakan bagaimana (how) Alquran dan sunnah dipahami. Hasil
pemahaman itulah yang disebut dengan fiqh.
Meskipun ushul fiqh sangat penting, tetapi seringkali pelajaran ushul fiqh
kurang mendapatkan perhatian yang semestinya. Orang lebih senang mencari
hasil jadinya, yaitu hukum-hukum fiqh. Ushul fiqh kemudian hanya dipelajari
sambil lalu tanpa pemahaman arti penting kegunaannya, padahal melalui ushul
fiqh akan diketahui sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama dalam
memahami Alquran dan sunnah serta bagaimana hukum Islam diformulasikan.
Dengan cara tersebut, ushul fiqh mengantarkan umat Islam untuk lebih
memahami ajaran agamanya secara bijaksana dan ilmiah.
B. Rumusan Masalah
1. Definisi Qowaid Fiqiyah
2. Ruang Lingkup Bahasan Qowaid Fiqiyah
3. Tujuan Mempelajari Qowaid Fiqiyah
4
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan
terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama'
dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah'
yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai
beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
“Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i
yang banyak"1.
العلم باالحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي واالجتهاد ويحتاج فيه الى النظر
والتأمل
“ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari
dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan
analisa dan perenungan"2.
االمر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
1
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, Iskandariyah muassasah tsaqofah al-Jamiiyah
.1983. hal.4.
2
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975. hal. 25
5
” Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak yang dari
padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu “3.
3
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976. hal. 11
4
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah: Jakarta, hal. 13.
6
Sabda Nabi SAW:
“Innama al-a’màlu bi al-niyyàt wa innama likulli imri’in mà nawà”
Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi
seorang itu hanyalah apa yang ia niati (HR Perawi Enam dari Umar bin
Khattab)
Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya (HR Ibnu Majah
dari Abu Harairah)
“Niyyat al-mu’min khoirun min ‘amalihi”
Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada perbuatan (HR Thabrani dari
Shalan Ibnu Said)
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan,
bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan
pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu
perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-
mata karena nafsu atau kebiasaan5.
Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut: Pertama, Untuk
membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. Kedua, Untuk
membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan. Dan
yang ketiga, Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah
tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah6.
5
H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan
diposting pada tanggal 10 september 2013
6
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah
yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 34.
7
Contoh: ibadah sholat membutuhkan niat, dengan niat menjadi
perbedaan antara adat istiadat, sah dan tidaknya, serta penentuan kwalitas
ibadah tersebut. Begitu juga dengan puasa, zakat, haji dll.
➢ Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk (Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan).
Dalam kajian Ilmu Hukum modern, kaidah ini sama dengan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocent). Selain itu, secara moral,
seorang muslim harus memiliki husnu zhan (berprasangka baik) sebelum
ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik. Contoh, apabila
seseorang mengalami keraguan dalam jumlah rakaat, apakah 3 atau 4,
maka diambil yang pasti yaitu 3 rakaat, karena yang pasti diyakini adalah
yang 3 rakaat. Bila mengambil keputusan yang empat rakaat, bisa jadi
sholat yang dia lakukan masih 3 rakaat. Adapun yang yang dimaksud
dengan (yakin) ialah:
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل
“adalah sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau
dengan adanya dalil”
Sedangkan yang dimaksud (syak) ialah:
الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت وعد مه مع تساوي طرفي الصواب والخطإ دون ترجيح أحدهما
على األخر
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan tidaknya, di mana
pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa
ditarjihkan salah satunya”7.
7
Ibid, hal. 36
8
dihilangkan dengan keraguraguan8. Maka dapat diperoleh pengertian
secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat
dihapus kedudukannya oleh keraguan9. Contoh: Kalau misalkan kita mau
melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih punya wudhu’
atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita
yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski
pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
8
Imam Musbikin, Qawa’id al-fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 52
9
Ibid, hlm. 52.
10
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh, hlm. 77.
11
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, hlm. 138.
9
tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar
kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya.
Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu
untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan
yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat
tersebut. Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 185:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.”
12
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh, hlm. 82
10
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
13
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah
yang Praktis, hlm. 34
11
kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut,
maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
14
Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, h 125-127
12
menolak mafsadat serta memperhatikan keadaan dan suasana. Keempat,
qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli itu akan mengikat atau mengekang
furu’ yang bermacam-macam, dan meletakkan furu’ itu dalam satu
kandungan umum yang lengkap, karena hakikat qawaidh al-fiqhiyyah
adalah himpunan hukum-hukum syara yang serupa atau sejenis, lantaran
adanya titik persamaan atau adanya ketetapan fiqih yang merangkaikan
kaidah tersebut.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
14
al-Asy`ari menjadi Qadhi di Bashrah, ia menyatakan: Pahami tentang
keserupaan dan kemiripan (masalah), kemudian tetapkan qiyas untuk
masalah yang serupa”
15
Daftar Pustaka
Abdul Wahah Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh. Gema Risalah Press. Bandung: 2009
Anwar, Syahrul, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2010
Kurdi, Muliadi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian
Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011
Safiudin Shidiq M. Ag. Fikih Menggali Hukum Islam. Pustaka madani. 2010
16