Makalah Pendidikan Pendekatan Gender Dan Budaya Di SD

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Ladasan Teoritis Sosiologis Konsep Gender Serta Fungsi Dan Perannya

MATAKULIAH PENDIDIKAN PENDEKATAN GENDER DAN BUDAYA DI SD

Disusun Oleh:
Kelompok 3:

Muhammad Nuralfian (206910408)


Putri Dinanty (206910452)
Dea Miranda (206910564)
Afifah Hannum ( 206910381 )

Dosen Pengampu:
Dra. Munjiatun, M.Pd

Kelas/Semester:
A PGSD / 5

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang mah pengasih lagi maha penyayang,
penulis ucapkan atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Ladasan
Teoritis Sosiologis Konsep Gender Serta Fungsi Dan Perannya, sebagai salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Pendekatan Gender Dan Budaya Di SD. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, segala
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi
penyempurnaan makalah kami di masa yang akan datang . Akhir kata kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Pekanbaru, 24 September 2022

Penulis

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................................1
A. Rumusan masalah..................................................................................................................1
B. TUJUAN..................................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................................2
ISI.......................................................................................................................................................2
A. Sosiologis Konsep Gender......................................................................................................2
B. Landasan Teoristis sosiologis Konsep Gender........................................................................3
C. Fungsi Sosiologis Gender.......................................................................................................7
D. Peran sosiologis gender.........................................................................................................8
BAB III....................................................................................................................................................9
PENUTUP...........................................................................................................................................9
A. Kesimpulan............................................................................................................................9
B. Saran......................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sosiologi gender adalah bagian dari kajian sosiologi. Sejak tahun 1950, sudah banyak
literatur atau naskah akademik yang membahas term gender dan mengidentifikasi
maskulinitas dan feminitas. Term ini dikenalkan oleh Money (1955). Di Indonesia kajian
tentang gender diawali dengan maraknya kajian perempuan yang kurang lebih telah
diperbincangkan sejak dua puluh tahun terakhir ini dengan perkembangan yang demikian
pesat mengenai pembahasan perbedaan gender, ketidakadilan gender, kekerasan gender serta
upaya-upaya penyadaran kesetaraan gender dan pengarusutamaan gender. Namun,
sebenarnya dalam perspektif sosiologi kajian tentang perbedaan perempuan dan laki-laki
dalam konteks sosial telah berkembang sejak kurang lebih seabad lamanya.

Konsep gender sepanjang sejarah telah memperlihatkan keberhasilan dalam menciptakan


peluang dan semangat perubahan di kalangan kaum perempuan dalam setiap aspek kehidupan
bernegara terutama dalam persoalan pembangunan hak-hak perempuan yang seringkali
dinomorduakan setelah laki-laki. Keberhasilan konsep gender dalam memicu gerakan-
gerakan perempuan di beberapa negara menjadi acuan bagi banyak negara, wilayah maupun
daerah untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

A. Rumusan masalah:
1. Apa saja landasan teoritis sosiologis konsep gender?
2. Apa saja penjelasan mengenai landasan teoritis sosiologis konsep gender?
3. Bagaimana fungsi sosiologis gender?
4. Bagaimana peran sosiologis gender?

B. TUJUAN

1. Mengetahui apa saja landasan teoritis sosiologis konsep gender


2. Mengetahui penjelasan mengenai landasan teoritis sosiologis konsep gender
3. Mengetahui fungsi sosiologis gender
4. Mengetahui peran sosiologis gender

1
BAB II

ISI

A. Sosiologis Konsep Gender

Sosiologi gender adalah salah satu subbidang ilmu sosial yang memetakan situasi
problematik dan mengkaji realitas isu gender dalam kehidupan sosial. Dalam kajian ini, teori
dan penelitian dikembangkan untuk menjawab konstruksi sosial, serta interaksi dimensi
gender dengan kekuatan sosial dan struktur sosial.

Gender dipengaruhi oleh konstruksi sosial, misalnya peran gender dan identitas gender
yang mengaitkan diri dengan jenis kelamin. Pandangan masyarakat dan budaya tentang laki-
laki adalah bahwa ia harus kuat, sedangkan perempuan biasanya lebih lemah lembut dan
gemulai. Gender dalam sosiologi merupakan bentuk dari bagaimana masyarakat memandang
laki-laki dan perempuan. Hal ini disebut dengan gender roles atau peran gender. Sebagai
konstruksi sosial, perempuan dan laki-laki mempunyai identitasnya sendiri sesuai dengan
tuntutan atau bagaimana suatu masyarakat memandang jenis kelamin tertentu.

Dalam sosiologi juga dikenal dengan feminitas dan maskulinitas. Feminitas merupakan
bagaimana masyarakat memandang perempuan, sedangkan maskulinitas yaitu bagaimana
masyarakat memandang laki-laki. Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Vina Salviana
sebagaimana dijelaskan menurut Jary dan Jary dalam Dictionary of Sociology (1991: 254)
ada dua pengertian mengenai sosiologi gender. Pertama, kata gender biasa digunakan untuk
membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan anatomi jenis kelamin. Kedua,
terutama pengertian yang digagas para sosiolog dan psikolog bahwa gender lebih diartikan ke
dalam pembagian masculine dan feminine melalui atribut-atribut yang melekat secara sosial
dan psikologi sosial.

Banyak sosiolog yang menekankan bahwa gender digunakan ketika diciptakan


pembagian secara sosial dalam masyarakat ke dalam kategori siapa yang masculine dan
siapa yang feminine. Perbedaan antara maskulinitas dan feminitas dibentuk karena konstruksi
sosial. Feminitas merupakan pandangan masyarakat terhadap perempuan dan maskulinitas
pandangan masyarakat terhadap laki-laki.

Jika dikaji secara sosiologis, feminitas merupakan anggapan perempuan ideal, misalnya
perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dan membantu laki-laki. Pernyataan
tersebut sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Arief Budiman dalam buku Pembagian
Kerja Secara Seksual (1985:2). Ia menyatakan, di negara barat pada dekade 1980-an telah
berkembang pandangan yang sangat kuat mengenai perempuan di rumah tangga dan laki-laki
di luar rumah, hanya menguntungkan laki-laki saja. Pembagian kerja yang menempatkan
perempuan pada ranah rumah tangga untuk memasak dan mengurus anak membuat
perempuan tidak berkembang secara manusiawi. Mereka menjadi sangat kerdil sepanjang
hidupnya karena ruang gerak yang sangat terbatas, sedangkan laki-laki memperoleh ruang
dan kesempatan yang lebih untuk bergerak dalam kehidupan di luar rumah dan
mengembangkan diri secara optimal.

2
Maskulinitas adalah anggapan bagaimana masyarakat memandang laki-laki. Di mata
masyarakat laki-laki yang ideal adalah pribadi yang kuat, tangguh, dan lain sebagainya. Tentu
dengan adanya anggapan seperti ini laki-laki mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam
hidup sehingga terjadi ketimpangan gender terhadap perempuan.

B. Landasan Teoristis sosiologis Konsep Gender

Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-
teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang
dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender,
terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan
untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori Sosiologi dan Psikologi.
Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk
memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan
beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.

a. Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang
diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa
suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini
mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat,
mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur
tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam
kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan
Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam
kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur
masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam
struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada
anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau
bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa.
Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk
kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem
masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan
dengan baik. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka
sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan
terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Teori
struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena dianggap
membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis kelamin.
Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam urusan
domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori ini akan

3
ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey menilai teori ini
akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di tengah-tengah
masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53).

b. Teori Sosial-Konflik
Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat,
terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri,
menurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan
sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan
pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu
organisasi atau masyarakat. Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang
diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya.
Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan
menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan
tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan
kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga.
Hubungan laki-laki perempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan
ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata
lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan,
tetapi karena konstruksi masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76).
Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F.
Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins. Asumsi yang dipakai dalam
pengembangan teori sosial-konflik, atau teori diterminisme ekonomi Marx, bertolak
belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional, yaitu: 1)
walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola relasi yang
ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi atau sekelompok
orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem sosial secara sistematis menghasilkan
konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang takterhindarkan dalam semua sistem
sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas,
terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam
masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81).
Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol
laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi
perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas
perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan
status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan
(Nasaruddin Umar, 1999: 62).
Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis
dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik
yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi
sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap
konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis
Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender
adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality

4
(kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu
dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang
menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91).

c. Teori Feminisme Liberal


Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara lakilaki
dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-
laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara
menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada
pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi
organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan
bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).
Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme.
Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam
semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu
kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan
penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.

d. Teori Feminisme Marxis-Sosialis


Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai
kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang
menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga.
Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran
pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan
‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk
membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan
(Ratna Megawangi, 1999: 225).
Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan
domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan
domistik. Pekerjaan domistik dianggap pekerjaan tidak produktif. Padahal semua
pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-
produk dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah
yang layak ditempati, dan lain-lain. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum
perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum
feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki
penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lak-laki dari sektor domistik yang
dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).

e. Teori Feminisme Radikal


Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan
1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis,
teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan
sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi
laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung

5
membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan
tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow
mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-
laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa
perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna
Megawangi, 1999: 226).
Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari
kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal
tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan
perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak
terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak
bisa lepas dari beban ini.

f. Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan
ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak
belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme
modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh
lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori
ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk
yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).
Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia
maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan
kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk
dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia
maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin
dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Contoh nyata dari cerminan memudarnya
kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah
semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial,
dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna
Megawangi, 1999: 183).

g. Teori Psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori
ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak
awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian
seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku
seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai
pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang
memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup
rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur
hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial.
Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan

6
ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar,
1999:46).
Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak
dapat dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh
kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak
memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak
perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki
dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial
berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin
Umar, 1999: 41).
Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan
terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat
ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut
ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan
menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat
dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan. Ia
menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati.
Itulah beberapa teori-teori gender yang dapat digunakan untuk memahami berbagai
persoalan gender dalam kehidupan kita. Tentu saja masih banyak lagi teori Gender
bukanlah kodrat atau ketentuan dari sang pencipta. Misalnya keyakinan bahwa laki-
laki itu kuat, kasar dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut dan emosional,
bukanlah ketentuan kodrat sang pencipta, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah
yang panjang.

C. Fungsi Sosiologis Gender

Fungsi dari mempelajari sosiologi gender diantaranya adalah:


1) membantu memahami tindakan sosial yang terjadi di dalam keluarga sebagai fakta
sosial, baik keluarga di tengah masyarakat tradisional maupun keluarga di tengah
masyarakat perkotaan
2) mempelajari hubungan timbal balik antara perilaku sosial individu yang memengaruhi
perilaku sosial di lingkungannya, dan sebaliknya,
3) mempelajari hubungan-hubungan peran yang menggambarkan bagaimana hasil
sosialisasi peran dalam keluarga, dan lain sebagainya. Sedangkan sosiologi gender
dapat memberikan pemahaman kepada kita mengenai realitas isu gender. Di
dalamnya, akan membahas segala hal tentang konstruksi sosial, serta interaksi
dimensi gender yang berkaitan dengan struktur sosial melalui teori dan penelitian
yang dikembangkan.

Melalui sosiologi keluarga dan gender, diharapkan dapat memberikan pemahaman


khusunya kepada mahasiswa untuk menjawab realitas sosial yang marak terjadi di tengah
masyarakat, terutama berkaitan dengan isu gender dan keluarga

7
D. Peran sosiologis gender

Peran adalah aspek dinamis dari status, di mana status cenderung menunjukkan posisi
sedangkan peran lebih memperlihatkan penampilan, tetapi telah menjadi hal yang biasa
kata “peran‟ diartikan sekaligus baik untuk posisi maupun penampilan. Telah kita ketahui
bahwa “peran‟ dapat diberikan, diwariskan atau diusahakan. Dalam perbincangan
mengenai peran gender pun demikian, ada yang beranggapan bahwa peran laki-laki dan
peran perempuan itu terwariskan sesuai statusnya secara biologis sehingga karena
perempuan secara fisik lebih lemah maka “seharusnya” berperan di sektor domestik di
dalam rumah yang secara fisik akan terlindungi. Sebaliknya, peran laki-laki otomatis
“terwariskan” oleh statusnya secara biologis yang kuat dan perkasa sehingga lebih tepat
bila berperan di luar rumah di sektor publik. Nampak bahwa, peran gender ini merupakan
konstruksi sosial dan budaya dari masyarakat, yaitu peran yang dideterminasi oleh nilai,
norma dan aturan yang ada di dalam masyarakat.
 Peran gender Sosial (Kemasyarakatan)
Kegiatan kemasyarakatan merujuk kepada semua aktivitas yang diperlukan
untuk menjalankan dan mengorganisasikan kehidupan masyarakat. Peran
kemasyarakatan yang dijalankan perempuan adalah melakukan aktivitas yang
digunakan bersama, misalnya pelayanan kesehatan di Posyandu, partisispasi
dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kebudayaan (kerja bakti, gotong royong,
pembuatan jalan kampung, dll). Semua kegiatan tersebut biasanya dilakukan
secara sukarelawan. Sedangkan peran sosial yang dilakukan laki-laki biasanya
pada tingkatan masyarakat yang diorganisasikan, misalnya menjadi RT, RW,
Kepala Desa.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sosiologi gender adalah salah satu subbidang ilmu sosial yang memetakan situasi
problematik dan mengkaji realitas isu gender dalam kehidupan sosial. Dalam kajian
ini, teori dan penelitian dikembangkan untuk menjawab konstruksi sosial, serta
interaksi dimensi gender dengan kekuatan sosial dan struktur sosial.
Landasan Teoristis sosiologis Konsep Gender: a. Teori Struktural-Fungsional, b.Teori
Sosial-Konflik, c.Teori Feminisme Liberal, d.Teori Feminisme Marxis-Sosialis,
e.Teori Feminisme Radikal, f.Teori Ekofeminisme, g.Teori Psikoanalisa.
Melalui sosiologi keluarga dan gender, diharapkan dapat memberikan pemahaman
khusunya kepada mahasiswa untuk menjawab realitas sosial yang marak terjadi di
tengah masyarakat, terutama berkaitan dengan isu gender dan keluarga.
Peran Gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu masyarakat/komunitas
yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-tugas atau tanggung jawab patut diterima
baik oleh laki-laki maupun perempuan.

B. Saran

Karena keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang Sosiologis Konsep Gender,


penulis menyadari jika dalam penulisan makalah diatas masih jauh dari kata
sempurna, maka dari itu penulis meminta kritik dan saran yang membangun kepada
pembaca agar makalah dapat perbaikan untuk kedepannya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Hermawati, nadiah.2022. Seputar Sosiologi Keluarga dan Sosiologi Gender (Urgensi dan
Manfaat.
https://www.kompasiana.com/nadiahermawati3533/6203dcd1bb448657f84de894/
seputar-sosiologi-keluarga-dan-sosiologi-gender-urgensi-dan-manfaat. Diakses pada
tanggal 26 september 2022 pukul 22.42.

Marhaeni P. Astuti, Tri. (2002). “Perempuan Perkasa di Tengah Hutan” dalam Stri, Vol. 1.
No.2, Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia.

Mies, Maria. (1986). Patriarchy and Accumulation on a World Scale, London: Zed Books
Ltd.

Mosse, Julia Cleves. (1996). Gender dan Pembangunan. Terjemahan Hartian Silawati,
Yogyakarta: Rifka Anissa dan Pustaka Pelajar.

Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. (1997). Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta:
Kalyanamitra.

10

Anda mungkin juga menyukai