Gender Dan Pembangunan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Studi Masyarakat Indonesia Dr. Muhammad Hatta. M. Pd.

GENDER DAN PEMBANGUNAN

Disusun Oleh:

Julizar (12310610903)

Doni Pratama Putra (12310613181)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas hidayah-Nya,


penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Gender dan Pembangunan”
Makalah ini merupakan tugas pribadi penulis selaku Mahasiswa Universitas Islam
Negri Sultan Syarif Kasim Riau, makalah ini tugas pribadi perkuliahan mata
kuliah Studi Masyarakat Indonesia, dengan dosen pengampu Dr. Muhammad
Hatta.M.Pd

Dan makalah yang berjudul “Gender dan Pembangunan” akan membahas


mengenai beberapa materi yang akan kami paparkan dari penjelasan yang ada
pada masalahnnya tersebut

Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya


bagi penulis pribadi dan pada umumnya kepada rekan-rekan mahasiswa. Kritik
dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan khususnya dari Bapak Dosen
dan umumnya pada seluruh rekan mahasiswa.

Pekanbaru, Maret 2024

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1

1.3 Tujuan Masalah.........................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3

PEMBAHASAN.....................................................................................................3

2.1 Konsep Gender dan Pembangunan............................................................3

2.2 Pendekatan Gender Dalam Pembangunan................................................6

2.3 Ketimpangan Gender di Berbagai Bidang.................................................9

BAB III..................................................................................................................14

PENUTUP.............................................................................................................14

3.1 Kesimpulan..............................................................................................14

3.2 Saran........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gender merupakan dimensi penting dalam setiap aspek kehidupan
manusia, termasuk dalam konteks pembangunan. Gender bukan hanya
sekadar perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga
merupakan konstruksi sosial yang memengaruhi peran, akses, dan
kesempatan yang diperoleh individu dalam masyarakat. Dalam beberapa
dekade terakhir, kesadaran akan pentingnya memperhitungkan gender
dalam proses pembangunan semakin meningkat secara global.
Makalah ini akan membahas peran gender dalam konteks
pembangunan, menjelajahi bagaimana gender memengaruhi berbagai
aspek pembangunan, mulai dari kesehatan dan pendidikan hingga ekonomi
dan partisipasi politik. Fokus utama dari analisis ini adalah untuk
memahami tantangan dan peluang yang dihadapi oleh berbagai kelompok
gender dalam upaya mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan
inklusif.
Dengan memperhatikan peran gender dalam pembangunan,
diharapkan makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih dalam
tentang bagaimana kebijakan dan program pembangunan dapat dirancang
dan diimplementasikan secara lebih efektif, memperhitungkan kebutuhan
dan aspirasi dari semua anggota masyarakat, tanpa memandang jenis
kelamin atau gender.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep gender dan pembangunan?
2. Bagaimana pendekatan gender dalam pembangunan?
3. Apa yang dimaksud dengan ketimpangan gender di berbagai
bidang?

1
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep gender dan pembangunan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pendekatan gender dalam
pembangunan.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ketimpangan gender
di berbagai bidang.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Gender dan Pembangunan


Sejak lima belas tahun terakhir kata gender telah memasuki
perbendaharan kata setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan
pembangunan dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir semua
uraian tentang program pembangunan masyarakat maupun pembangunan
di kalangan organisasi nonpemerintah selalu diperbincangkan masalah
gender. Kita masih terkaget-kaget manakala setiap pembicaraan tentang
gender selalu membicarakan sosok perempuan dan laki-laki, yang ini sama
artinya mendekonstruksi tatanan atau konstruksi sosial yang sudah mapan.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep
jenis kelamin atau seks. Jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu (Fakih, 1996).1 Misalnya, manusia jenis kelamin laki-laki
adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma,
sedangkan manusia jenis kelamin perempuan adalah manusia yang
memiliki rahim, payudara, vagina, dan mempunyai indung telur. Organ-
organ tersebut secara biologis melekat pada diri manusia laki-laki dan
perempuan secara permanen dan tidak dapat dipertukarkan karena
merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan kodrat. Berbeda
dengan jenis kelamin, gender dipahami sebagai suatu sifat yang melekat
pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan
kultural. Karena konstruksi tersebut berlangsung selama terus menerus dan
dilanggengkan dalam berbagai pranata sosial, maka seolah-olah sifat yang
melekat pada kaum laki-laki dan perempuan tesebut “merupakan sesuatu
yang harus dimiliki oleh keduanya”.

1
Sutaryo. 1977. Sosiologi Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Fisipol – UGM, hal 16-17

3
Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, keibuan, nrimo, manut, tidak neko-neko. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sebenarnya ciri atau sifat itu
sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki
yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada pula perempuan
yang kuat, rasional, perkasa, tanpa harus saling bertukar jenis kelamin.
Perubahan sifat-sifat yang dikonstruksikan pada laki-laki dan perempuan
tersebut dapat berubah dari tempat ke tempat lain, dari waktu ke waktu,
dan dari masyarakat yang berbeda.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang
tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang
menjadi persoalan ternyata di banyak kasus perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan bagi kaum laki-laki dan terutama
terhadap kaum perempuan. Untuk memahami bagaimana perbedaan
gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai
manifestasi ketidakadilan yang ada, seperti marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi perempuan, subordinasi, pembentukan stereotip atau
pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja yang lebih banyak, serta
sosialisasi ideologi peran gender.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara laki- laki dan
perempuan sudah berlangsung melalui proses yang sangat panjang.
Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal, di
antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan
secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan dan politik negara.
Melalui proses panjang,2 sosialisasi gender akhirnya dianggap menjadi
ketentuan Tuhan yang tak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan
gender dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.
Proses sosialisasi sudah dimulai sejak bayi. Bayi perempuan
dibelikan pakaian yang berwarna lembut dan cerah seperti pink, orange,

2
Tan, Mely G. “Masalah Mayoritas-Minoritas di Indonesia”. Prisma. No 8 Tahun V
Agustus 1976. Jakarta: LP3ES, hal69

4
dan sebagainya. Bayi perempuan ditimang, digendong dengan lemah
lembut, dielus, bak porselen, dijaga sejak bayi sampai dewasa, diproteksi
sedemikian rupa seolah-olah dunia luar itu begitu menakutkan bagi
makhluk yang bernama perempuan. Sementara itu, bayi laki-laki selalu
dipilihkan warna-warna kuat seperti biru, abu-abu, hijau, hitam, dan
sebagainya. Jika menangis dikatakan “anak laki-laki tak pantas menangis”,
dan tepukan-tepukan yang sedikit keras boleh diberikan untuk bayi laki-
laki karena dia harus menjadi seorang laki-laki yang kuat dan tegar. Bayi
laki-laki disosialisasi dengan hal-hal yang jantan dan diperkenalkan
dengan dunia yang dianggap milik laki-laki. Karena sosialisasi tersebut,
maka tidak saja berpengaruh terhadap perkembangan emosi dan visi kaum
perempuan dan laki-laki, tetapi juga memengaruhi perkembangan fisik
biologis selanjutnya.
Sosialisasi yang berlangsung secara mapan dan lama akhirnya
menjadi sulit dibedakan, apakah yang selama ini ‘dilekatkan’ pada laki-
laki dan perempuan itu kodrat atau konstruksi sosial.3 Namun sepanjang
setiap hal yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan itu bisa
dipertukarkan, maka hal tersebut sama sekali bukan kodrat melainkan
konstruksi sosial.
Dewasa ini masih banyak terjadi peneguhan yang tidak pada
tempatnya di masyarakat, di mana apa yang sesunggguhnya merupakan
konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat. Justru sebagian besar
warga masyarakat yang menganggap suatu aktivitas sebagai “kodrat
perempuan” sesungguhnya merupakan konstruksi sosial dan kultural.
Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola, dan
merawat kebersihan dan keindahan rumah, atau urusan domestik lain
sering dianggap sebagai ‘kodrat perempuan’. Padahal kenyataannya, kaum
perempuan yang dipandang memiliki peran gender dalam hal tersebut
sejatinya merupakan konstruksi sosial kultural dalam masyarakat tertentu.

3
Ibid, hal.70

5
Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak, membersihkan rumah,
memasak, dan mencuci bisa dilakukan oleh laki-laki.
Oleh karena jenis pekerjaan tersebut bisa dipertukarkan dan tidak
bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai kodrat perempuan atau
takdir Tuhan atas perempuan, dalam kasus ini sesungguhnya adalah gender
atau konstruksi sosial (Fakih, 1996).
Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam
diri perempuan jika tidak melaksanakan tugas-tugas domestik tersebut,
sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung
jawabnya, tetapi juga banyak tradisi secara adat melarang laki-laki terlibat
dalam urusan domestik.4 Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi
kaum perempuan yang juga bekerja di luar rumah. Namun bagi mereka
yang secara ekonomi cukup, pekerjaan domestik ini dilimpahkan kepada
pihak lain yakni pembantu rumah tangga. Proses ini mengandung arti
terjadi pemindahan marginalisasi dan subordinasi beban kerja dari istri ke
para pembantu yang kebanyakan juga perempuan.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan
saling memengaruhi. Hal itu tersosialisasikan kepada laki-laki dan
perempuan secara mantap, lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun
perempuan menjadi terbiasa. Pada akhirnya dipercaya bahwa peran gender
itu seolah-olah merupakan kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur
dan sistem ketidakadilan gender yang diterima dan sudah menjadi hal yang
tak lagi dapat dirasakan sebagai sesuatu yang salah.

2.2 Pendekatan Gender Dalam Pembangunan


1. Perempuan dan Pembangunan
Makin maraknya perempuan pergi ke luar rumah ini tak lepas dari
‘perjuangan’ panjang selama ini. Dimulai adanya gerakan Women in
Development (WID) yang berasumsi bahwa penyebab keterbelakangan

4
Sutrisno, Lukman. 2003. Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu
Press

6
perempuan adalah karena mereka tidak berpatisipasi dalam
pembangunan. WID yang dicitakan sebagai kritik atas pembangunan
(developmentalism) juga dianggap telah gagal menjalankan tugasnya,
karena program ini hanya mampu menjawab persoalan dan kebutuhan
praktis jangka pendek kaum perempuan. Tanpa analisis gender,
diskursus pembangun telah gagal menjawab kebutuhan strategis kaum
perempuan, yakni suatu proses jangka panjang untuk
mentransformasikan baik keyakinan dan ideologi ketidakadilan gender
maupun struktur kekuasaan yang tidak adil yang dibangun
berlandaskan keyakinan dan ideologi gender.
Dengan cepat WID menjadi satu-satunya kebijakan yang berkaitan
dengan perempuan di hampir semua negara dunia ketiga. Pada tahun
1974, PBB memproklamirkan International Decade of Women, dan
sejak saat itulah biro WID mulai dibuka di USAID. 5 Pada saat itulah
pengetahuan, kebijakan, sumber informasi, telah diciptakan dan
diekspor guna memengaruhi jutaan nasib kaum perempuan di dunia
ketiga.
Gencarnya slogan WID membuat perempuan digalang dan
diaktifkan agar berpartisipasi dalam pembangunan, bukannya
pembangunan yang diubah menurut kebutuhan perempuan. Ketika
PBB mencanangkan dasawarsa wanita 1975-1985 ada empat
pendekatan yang diperkenalkan, yaitu kesejahteraan, kebutuhan praktis
gender, antikemiskinan, efisiensi, dan kesetaraan. Pendekatan keempat
sedikit lebih maju dan memandang usaha peningkatan martabat
perempuan, yaitu pada saat apakah mereka mendapatkan kebutuhan
strategis gender.
Woman in Development (WID) tidak secara jeli melihat posisi
marginal perempuan dalam pembangunan. Sebagai akibat modernisasi
WID, manusia diibaratkan sebagai suatu yang serba modern dan

5
Takashi Inoguchi, Edward Newman, Glen Pauletto (Ed.). 2003. Kota dan Lingkungan,
Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta: LP3ES. 120-122

7
berorientasi pada nilai-nilai modern, seperti pendidikan, keluarga kecil
sejahtera, beretos pembangunan yang efisien dan produktif, terbuka
terhadap informasi dan teknologi, dan lain-lain. Namun selama ini
usaha dibidang politik dan struktural tidak ditangani secara serius.
Kebijakan Keluarga Berencana (KB) misalnya, masih membebani
kaum perempuan dan perempuan menjadi alat kontrol kelahiran.
2. Gender Dalam Pembangunan
Pendekatan yang diharapkan dapat memperbaiki kelemahan-
kelemahan WID dan diharapkan dapat memberdayakan perempuan
adalah pendekatan Gender and Development (GAD). Akar
permasalahan dalam pendekatan GAD terletak pada subordinasi
perempuan yang tidak hanya disebabkan oleh laki-laki, tetapi juga
karena masih adanya pola- pola tekanan dalam masyarakat akibat
kolonialisme dan sisa-sisanya yang belum terhapuskan dalam
neokolonialisme. Itulah sebabnya, pendekatan GAD selalu mengarah
pada penyelesaian isu-isu struktural perempuan, yaitu isu-isu yang
mempertanyakan dominasi pihak- pihak yang kuat terhadap yang
lemah.
GAD memandang pentingnya partisipasi negara dalam menunjang
emansipasi perempuan dan negara memiliki tugas untuk menyediakan
jasa sosial yang selama ini disediakan oleh perempuan secara
individual, seperti perawatan anak dan kesehatan. Pendekatan ini
diharapkan dapat memperbaiki pendekatan sebelumnya dengan
mengakui pentingnya analisis kelas, ras, gender, dan pembangunan,
sebagai masalah yang harus menjadi pusat perhatian (Harsono, 1997).6
Hal ini berarti, model GAD tidak hanya memperhatikan
perempuan, tetapi pada konstruksi sosial gender dan pemberian peran
tertentu pada perempuan dan laki-laki.

6
Svalastoga, Kaare. 1989. Differensiasi Sosial. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Bina
Aksara.74

8
Pendekatan gender dalam pembangunan pada intinya adalah
kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam semua
bidang pembangunan. Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan
pembangunan di berbagai bidang (poleksosbudkum hankam) harus
menggunakan analisis gender dengan memperhatikan kepentingan
strategis dan kepentingan praktis gender.7

2.3 Ketimpangan Gender di Berbagai Bidang


1. Ketimpangan Gender di Bidang Politik
Kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang politik
sebenarnya ada dan memungkinkan, namun karena berbagai faktor hal
itu jarang sekali terjadi. Faktor utamanya adalah pandangan stereotip
bahwa dunia politik adalah dunia publik, dunia yang keras, dunia yang
memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan dunia yang
membutuhkan pikiran-pikiran cerdas, kesemuanya itu diasumsikan
milik laki-laki bukan milik perempuan. Perempuan tidak pantas
berpolitik karena perempuan adalah ‘penghuni’ dapur, tidak bisa
berpikir rasional dan kurang berani mengambil risiko, kesemuanya itu
sudah menjadi stereotip perempuan.
Perempuan hanya dibutuhkan di bidang politik jika kaum laki-laki
atau politikus akan meraih suatu posisi puncak atau jabatan politik
tertentu.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pada
Pasal 2 Ayat (2) disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan Partai
Politik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) menyertakan 30% (tiga
puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Demikian pula, pada Pasal
2 Ayat (5) ditentukan bahwa Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) disusun dengan menyertakan
paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

7
Ibid, hal. Hal.75

9
2. Ketimpangan Gender dalam Bidang Ekonomi
Banyak hal yang terkait dengan ekonomi yang menyebabkan
perempuan tak diakui perannya karena kiprahnya hanya di seputar
ekonomi keluarga dan rumah tangga. Masih sedikit pengakuan pada
kaum perempuan ketika mereka sukses dan berhasil menjadi pelaku
ekonomi karena hal itu dianggap hanya kerja main-main bukan kerja
yang prestisius, seperti halnya yang dilakukan oleh laki-laki. Kiprah
laki-laki di dunia ekonomi diakui karena mereka bisa masuk pada level
penentu kebijakan dan duduk pada jabatan-jabatan strategis di kantor-
kantor yang terkait dengan perekonomian.
Krisis ekonomi yang berakibat di-PHK-nya laki-laki menyebabkan
kaum perempuan tampil menjadi penyelamat hidup keluarganya,
mereka melakukan kerja apa saja asal bisa bertahan hidup, menjadi
TKW, jualan makanan, menjadi tukang cuci, menjadi buruh di pabrik-
pabrik. dan sebagainya.8 Namun jerih payah mereka tetap belum diakui
sebagai nafkah utama melainkan hanya nafkah tambahan.
Banyak hal lain yang masih mencerminkan ketimpangan dibidang
ekonomi, misalnya upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki
untuk tanggung jawab yang sama besar karena perempuan dianggap
lajang, bukan kepala keluarga. Bila akan mengajukan kredit ke bank,
masih harus memerlukan tanda tangan suami, sementara jika suaminya
yang mengajukan tak perlu minta tanda tangan istri, meskipun
kenyataannya nanti istri yang bertanggung jawab terhadap utang
tersebut.
3. Ketimpangan Gender dalam Dunia Kerja
Membicarakan perempuan bekerja selalu tidak terlepas dari
perdebatan ranah publik dan ranah domestik. Selama ini ranah
domestik (rumah tangga) selalu diasumsikan sebagai dunia perempuan
dan ranah publik (dunia kerja) selalu diasumsikan dunia laki-laki.

8
Tan, Mely G. “Masalah Mayoritas-Minoritas di Indonesia”. Prisma. No 8 Tahun V
Agustus 1976. Jakarta: LP3ES

10
Melihat kenyataan bahwa perempuan dalam berbagai kasus lebih
mobile daripada laki- laki, lebih aktif dalam berbagai aktivitas, dan
terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan.
Pergeseran dari domestik ke publik, seperti juga proses feminisasi
secara umum, tidak memberikan basis penting bagi tawar menawar
kekuasaan. Cara-cara semacam ini sesungguhnya ikut mereproduksi
realitas tentang stratifikasi bidang kegiatan, di mana bidang publik
dinilai lebih tinggi daripada bidang domestik. Usaha mendorong
perempuan untuk lebih terlibat dalam bidang publik, sama halnya
memaksa perempuan untuk meninggalkan dunia domestik yang
dianggap kurang prestisius.
Gambaran kerasnya dunia publik tersebut menunjukkan bahwa
perempuan belum diakui sebagai pekerja profesional. Konsep
perempuan sebagai ibu dan istri mengalami perluasan ke sektor publik
yang seharusnya menghargai profesionalisme. Perempuan sebagai
objek masih mendapatkan penekanan saat mereka terlibat dalam
bidang publik, padahal perempuan sudah mampu memainkan peran
sebagai subjek dalam berbagai proses ekonomi.
Perempuan yang bekerja menyandang banyak beban akan
berimplikasi terhadap segala aspek kehidupannya.9 Sudah pasti ketika
dia bekerja akan ada pergeseran-pergeseran peran dalam kehidupan
rumah tangganya. Akan terjadi evalusi dalam rumah tangganya. Dari
seorang perempuan yang dianggap selalu berada di rumah tiba-tiba
harus keluar rumah bekerja, tentu ada situasi yang memerlukan diskusi
lebih jauh. Pengaruh sebagai perempuan yang punya penghasilan
tersendiri juga perlu pemahaman menyeluruh karena di banyak kasus
ternyata kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh perempuan tidak
secara langsung menaikkan posisi tawar menawar mereka dalam
keluarga dan dalam masyarakat (Astuti, 2000)

9
Tan, Mely G. “Masalah Mayoritas-Minoritas di Indonesia”. Prisma. No 8 Tahun V
Agustus 1976. Jakarta: LP3ES, hal.68

11
4. Ketimpangan Gender dalam Pendidikan
Pendidikan yang dimaksud di sini adalah semua jenjang
pendidikan yang ada secara umum. Pendidikan dimulai sejak anak-
anak pada usia dini. Anak-anak pada usia dini seharusnya sudah
menerima suatu hal yang benar, bukan lagi hal-hal yang ikut
melanggengkan stereotip yang ada. Dengan cara demikian, diharapkan
anak-anak menjadi lebih egaliter dan dapat menghargai sesama.
Pendidikan yang pertama dan utama adalah pendidikan di
keluarga. Hal ini karena di dalam keluargalah anak lebih banyak
tinggal daripada di sekolah. Dalam lingkungan keluarga proses
wawasan diturunkan dan sosialisasi berlangsung. Dalam masyarakat
modern sekalipun, keluarga tetap masih memainkan peran penting
dalam pendidikan. Meskipun semakin banyak dukungan-dukungan
yang menekan pandangan bahwa pendidikan adalah hak semua
individu.
Dalam waktu yang bersamaan, keluarga juga merupakan agen yang
amat ampuh untuk pembaruan-pembaruan. Seorang ibu dan atau
bapak, tidak selalu menurunkan pada anak-anaknya aturan, norma, dan
nilai yang sama dengan yang pernah diterimanya dari orang tuanya.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pendidikan,
globalisasi, gaya hidup, perubahan nilai termasuk perubahan peran
stereortip gender.
Faktor kendala kesertaan perempuan umumnya ada dua,10 pertama,
proses sosialisasi peran gender membuat perempuan merasa
berkewajiban memenuhi harapan budaya dan tradisi: mengabdi pada
keluarga, menjadi istri yang baik, kesadaran akan posisi subordinatnya
menyebabkan perempuan sering kali menjadi submisif, membatasi
atau membendung aspirasinya dan enggan mendayagunakan potensi
yang dimilikinya secara optimal. Kedua, sistem nilai budaya dan
pandangan keagamaan kurang mendukung kesertaan perempuan dalam

10
Tukiran, dkk. 2002. Mobilitas Penduduk Indonesia. Yogyakarta: PSKK UGM.

12
pendidikan. Pandangan stereotip beranggapan bahwa perempuan tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi, karena semakin tinggi sekolahnya semakin
sulit untuk mendapatkan jodoh.
5. Ketimpangan Gender dalam Bidang Hukum
Di bidang hukum masih banyak pasal-pasal dalam aturan hukum
yang mendiskriminasikan perempuan. Kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan masih diproses dengan aturan hukum yang sangat
merugikan bagi kaum perempuan. Pasal 285 KUHP menyebutkan ”
barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam
karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun”.
Setiap mendengar kata “hukum” mereka takut karena di dalam
benak mereka hukum merupakan sesuatu yang menakutkan. Karena
situasi psikologisnya sudah demikian, maka tak heran jika dia tak bisa
melakukan pembelaan untuk dirinya sendiri.11
Aturan-aturan hukum yang melindungi kaum perempuan
sebenarnya sudah diratifikasi, misalnya UU penghapusan diskriminasi
perempuan, UU tentang marital rape atau tindak kekerasan dalam
rumah tangga, dan yang lain. Akan tetapi, selama para penegak
hukum, jaksa, hakim, dan pembela tidak menggunakan aturan tersebut
sebagai acuan utama dalam proses hukum yang relevan, maka tidak
akan ada artinya.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konsep jenis kelamin atau seks berbeda dengan konsep gender.
Jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang

11
Usman Sunyoto, 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hal.125

13
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya, manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki
penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan manusia jenis kelamin
perempuan adalah manusia yang memiliki rahim, payudara, vagina, dan
indung telur.
Berbeda dengan jenis kelamin, gender dipahami sebagai suatu sifat
yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara
sosial dan kultural. Karena konstruksi tersebut berlangsung selama terus
menerus dan dilanggengkan dalam berbagai pranata sosial, maka seolah-
olah sifat yang melekat pada kaum laki- laki dan perempuan tersebut
“merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh keduanya”.
Dalam relasi kaum perempuan dan laki-laki di ruang publik telah
terjadi banyak pergeseran peran. Pergeseran peran perempuan dari peran
domestik ke publik merupakan tanda penting dari perkembangan realitas
sosial, ekonomi, dan politik perempuan. Kesadaran perempuan tentu
semakin meningkat terhadap peran nondomestik, terlepas didasari oleh
kepentingan apa dan siapa.

3.2 Saran
Demikian makalah ini kami buat untuk menambah wawasan para
pembaca dan juga pemakalah, semoga dapat bermanfaat. Saran yang
membangun sangat kamibutuh kan untuk memperbaiki makalah ini agar
lebih baik lagi. Sesungguhnya kekurangan itu datangnya dari kami dan
kesempurnaan itu hanya lah milik Allah SWT. Terimakasih

DAFTAR PUSTAKA

Sutaryo. 1977. Sosiologi Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Fisipol – UGM

Sutrisno, Lukman. 2003. Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta:


Tajidu Press

14
Svalastoga, Kaare. 1989. Differensiasi Sosial. Terjemahan Alimandan. Jakarta:
Bina Aksara.

Takashi Inoguchi, Edward Newman, Glen Pauletto (Ed.). 2003. Kota dan
Lingkungan, Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta:
LP3ES.

Tan, Mely G. “Masalah Mayoritas-Minoritas di Indonesia”. Prisma. No 8 Tahun V


Agustus 1976. Jakarta: LP3ES

Tim Sosiologi. 2003. Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat (Kelas 1


SMA). Jakarta: Yudhistira.

Tukiran, dkk. 2002. Mobilitas Penduduk Indonesia. Yogyakarta: PSKK UGM.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

Usman Sunyoto, 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

15

Anda mungkin juga menyukai