156-Article Text-730-1-10-20210223
156-Article Text-730-1-10-20210223
156-Article Text-730-1-10-20210223
php/japa
DOI: http://doi.org/XX.XXXX/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing/XX.X.XX
This study aims to determine the effect of Solvency (X1), Sales Growth (X2), and Managerial Agency
Costs (X3) on Financial Distress (Y). This study uses secondary data, namely Annual Reports and
Financial Statements of Property and Real Estate Companies listed on the Stock Exchange 2016-
2018. With the sampling technique, namely purposive sampling method and 43 companies were
selected as samples with a total observation of 129 data. The analysis used is multiple linear
regression analysis using SPSS 23 software. This study obtained the following results: (a) solvency
has a negative and significant effect on financial distress (b) sales growth has a negative and
significant effect on financial distress (c) managerial agency costs have no effect on financial
distress.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Solvabilitas (X1), Pertumbuhan Penjualan (X2),
dan Biaya Agensi Manajerial (X3) terhadap Financial Distress (Y). Pada penelitian ini menggunakan
data sekunder yaitu Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan perusahaan Perusahaan Properti dan
Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek tahun 2016-2018. Dengan teknik pengambilan sampel yaitu
metode purposive sampling dan terpilih 43 perusahaan sebagai sampel dengan total observasi sebesar
129 data. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda menggunakan software SPSS
23.Penelitian ini memperoleh hasil sebagai berikut: (a) solvabilitas berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap financial distress (b) pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
financial distress (c) biaya agensi manajerial tidak berpengaruh terhadap financial distress.
PENDAHULUAN
Kondisi ekonomi yang terus melakukan perubahan akan mempengaruhi kinerja perusahaan.
Adanya suatu perlambatan terhadap ekonomi di dunia yang telah terjadi tidak terlepas dari
perekonomian di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan perekonomian di Indonesia mengalami
guncangan dari adanya ketidakpastian pada tingkat global. Adanya perlambatan perekonomian,
mengakibatkan kodisi pasar terhadap pergerakan ekonomi yang tidak stabil dan ketidaksiapan
perusahaan dalam menghadapi kondisi tersebut.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi akibat dari adanya guncangan eksternal salah satunya
adalah inflasi. Nilai tukar rupiah yang terus menerus melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS)
mengakibatkan fundamental ekonomi di Indonesia pun memburuk. Pelemahan nilai rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat (AS) dapat menyebabkan daya beli masyarakat yang menurun sebab harga
yang melonjak naik di Indonesia. Penurunan daya beli masyarakat berdampak besar pada seluruh
sektor yang berakibat pada kesulitan keuangan pada perusahaan tersebut.
Menurut Arasteh et all (2013) financial distress yaitu suatu kondisi dimana perusahaan tidak
memiliki kemampuan untuk membayar utang atau ketidakmampuan perusahaan dalam pembayaran
total utang atas ketidakmampuan likuiditas. Meskipun disuatu perusahaan terdeteksi berpotensi
mengalami keadaaan financial distress, tidak berarti suatu perusahaan akan bangkrut dimasa yang
akan datang.
Adanya krisis keuangan global pada tahun 2008 yaitu krisis subprime mortgage di Amerika Serikat
yaitu penyaluran atau pemberian kredit perumahan pada debitur yang tidak valid sehingga mengakibatkan
gelembung properti. Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di
AS akhirnya mengeret kesemua investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan kedalam
persoalan likuiditas yang sangat besar. Krisis tersebut diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan
menerbitkan kebijakan pelonggaran Loan To Value (LTV) untuk kredit perumahan dan kredit
apartemen.
Dampak yang terasa pada perusahaan di Indonesia yaitu laba/rugi yang terus menurun. Apabila
kemampuan suatu perusahaan terhadap penjualan mengalami penurunan dan dibiarkan oleh
perusahaan dapat menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan keuangan hingga kebangkrutan.
Perusahaan Sektor properti dan real esatate pada tahun 2016-2018 mengalami fluktuasi yang dimana
pernah mengalami kemerosotan dan kenaikan laba diperiode tertentu. Tabel berikut ini menyatakan
bahwa sektor properti dan real estate mengalami ketidakstabilan dalam memperoleh laba/rugi bersih dari
tahun ketahun
Tabel 1
Laba/Rugi Bersih Perusahaan pada Sektor Properti dan Real Estate yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia Tahun 2016-2018
TAHUN
KODE PERUSAHAAN
2016 2017 2018
BIPP Bhuwanatala Indah Permai 27,224,420,762 ,033,697,167) 6,287,001,870
Tbk
BKDP Bukit Darmo Property Tbk 28,948,289,175) 43,170,166,331) 36,654,139,664 )
MTSM tro Realty Tbk 2,364,989,127 ) 4,802,932,780 ) ( 6,943,129,415 )
NIRO City Retail Developments (31,336,684,656) 3,721,787,876 35,053,073,458 )
COWL Cowell
Tbk Development Tbk (3,451,334,960) 69,033,208,868) 224,533,427,459)
OMRE Indonesia Prima Property 318,395,155,443 66,193,842,560) 133,966,017,617
LCGP Eureka
Tbk Prima Jakarta Tbk 3.139.928.220 13.394.679.065) ( 7,142,064,961 )
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa terdapat perusahaan yang selama tiga tahun mengalami fluktuasi
dalam laba rugi, artinya beberapa perusahaan subsector properti dan real estate mengalami penurunan
laba namun terdapat pula yang mengalami kenaikan laba bersih. PT Indonesia Prima Property Tbk
mengalami penurunan laba yang sangat signifikan dari laba Rp 318.395.155.443 di tahun 2016 menjadi rugi
Rp (66.193.842.560) ditahun 2017. Hal tersebut dikarenakan turunnya pendapatan dan naiknya beban
operasional maupun beban non operasional yang ditanggung oleh perusahaan. Selain itu, PT Bhuwanatala
Indah Permai Tbk juga mengalami penurunan laba yang dimana ditahun 2017 terjadinya penurunan laba
yang disebabkan adanya penurunan pendapatan yang disertai dengan naiknya beban pokok penjualan serta
beban-beban lainnya yang ditanggung oleh perusahaan. Selain itu, pada PT Cowell Development Tbk juga
mengalami kerugian yang signifikan dari tahun 2016-2018 dikarenakan terdapat pengaruh penurunan
pendapatan namun, terdapat pula peningkatan beban keuangan yang ditanggung oleh perusahaan
(Kompas, 2018).
Terdapat tiga perusahaan sub sektor peroperti dan real estate mengalami penurunan laba selama
tiga tahun berturut-turut dan mengalami perubahan signifikian yaitu PT Bukit Darmo Property Tbk,
PT Metro Realty Tbk, dan PT Cowell Development Tbk. Pada PT Metropolitan Realty Tbk yang
mengalami kerugian dari tahun 2016-2018 berturut-turut karena menurunnya pendapatan yang
disebabkan oleh berkurangnya pendapatan yang berasal dari bisnis sewa, pengelolaan gedung, sewa
apartemen, parkir, serta meningkatnya beban yang ditanggung oleh perusahaan tersebut (Kontan, 2017).
Selain itu, pada PT Cowell Development Tbk juga mengalami kerugian yang signifikan dari tahun 2016-
2018 dikarenakan terdapat pengaruh penurunan pendapatan namun, terdapat pula peningkatan beban
keuangan yang ditanggung oleh perusahaan (Kompas, 2018).
Terdapat kasus pada Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah dan di Jawa Barat mengatakan
bahwa penjualan rumah sampai akhir 2018 mengalami penurunan terus menerus hingga tiga tahun
terakhir. Real Estate Indonesia (REI) Jawa Barat mencatat 40% dari total 490 pengembang di wilayah
Jawa Barat telah berhenti beroperasi yang berarti sebanyak 196 pengembang properti yang gulung tikar.
Penyebab kolapsnya dari 196 pengembang dikarenakan penjualan yang terus menurun
(Kompas.com, 2018).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kondisi financial distress disuatu perusahaan yaitu
solvabilitas, pertumbuhan penjualan dan biaya agensi manajerial. Perusahaan dengan rasio solvabilitas
yang tinggi dapat berdampak pada timbulnya risiko keuangan yang besar, namun terdapat peluang
yang besar pula untuk menghasilkan laba yang tinggi. Maka dari itu, rasio solvabilitas penting untuk
diketahui oleh para pengusaha untuk mengetahui penggunaan modal pinjaman atau modal sendiri dalam
menjalankan proses produksi sebab jika perusahaan terlalu berlebihan dalam penggunaan utang dan
tidak dapat mengelola dengan baik maka besar kemungkinan terjadinya financial distress. Tias et all.,
(2017) menemukan bahawa semakin tinggi debt to equity ratio, maka semakin tinggi risiko perusahaan
mengalami financial distress
Sofyan Syafitri (2007:310) berpendapat bahwa pertumbuhan penjualan merupakan suatu
persentasi kenaikan penjualan tahun ini dibandingkan tahun lalu, semakin tinggi pertumbuhan penjualan
maka akan semakin baik. Artinya, tingginya tingkat pertumbuhan penjualan suatu perusahaan maka
akan tercemin kondisi keuangan keuangan yang cukup stabil dan jauh dari kondisi financial distress.
Timbulnya biaya agensi manajerial sebagai akibat pemisah fungsi principal dengan agen yang
mendorong suatu manajer bertindak secara eksploratif dalam kepentingan pribadi. Biaya agensi
manajerial merupakan biaya yang muncul ketika manajer sebagai agen mengelola suatu perusahaan.
Ayuningtias (2015) mengatakan bahwa dari hasil penelitian biaya agensi manajerial berpengaruh positif
dan signifikan terhadap financial distress. Hal ini dikarenakan semakin tinggi biaya agensi manajerial
maka semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya kondisi financial distress disuatu perusahaan.
181
182 Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194
TINJAUAN TEORI
Teori Agensi
Bodroastuti 2009 dalam Lisiantara & Febrina (2018) mendefinisikan teori keagenan
(agency theory) adalah teori yang menjelaskan tentang adanya pemisah kepentingan antara
pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan. Adanya pemisah kepentingan antara pemilik
perusahaan dengan pengeloa perusahaan dapat menimbulkan konflik. Apabila principal dan
agen telah berupaya memaksimalkan utilitasnya masing-masing tetapi memiliki keinginan serta
motivasi yang berbeda, maka agen tidak akan selalu bertindak yang sesuai dengan principal.
Terjadinya konflik keagenan yang dapat menyulitkan dan menghambat suatu
perusahaan dalam mencapai kinerja yang positif agar menghasilkan nilai bagi perusahaan
serta pemegang saham. Sehingga, dengan adanya konflik keagenan dapat merugikan kondisi
keuangan suatu perusahaan. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya konflik keagenan dapat
memaksa pemilik perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah biaya yang disebut agency cost.
Dengan adanya serangkaian kesalahan dalam pengambilan keputusan yang tidak tepat dan
kurangnya upaya mengawasi kondisi keuangan sehingga para pelaku manajer yang berperan
sebagai agen penggunaan uang tidak sesuai dengan keperluan perusahaan yang
mengakibatkan adanya konflik mengakibatkan terjadinya kondisi financial distress disuatu
perusahaan.
Teori Sinyal
Brigham dan Houston (2011:186) menjelaskan bahwa teori sinyal merupakan suatu
tindakan yang diambil oleh manajemen selaku agen pada suatu perusahaan yang dapat
memberikan suatu petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek
perusahaannya. Dalam memperkirakan prospek yang baik dan menguntungkan maka suatu
perusahaan akan mencoba untuk mengambil cara alternatif dengan menggunakan utang
maupun melakukan penjualan saham baru untuk memperoleh modal.
Teori sinyal menggambarkan adanya asimetri informasi antara pihak-pihak yang
berkepentingan dengan manajemen mengenai suatu informasi yang terdapat didalam suatu
perusahaan. Terdapat beberapa hal berupa asumsi-asumsi yang diungkapkan pada pihak
manajemen dalam bentuk laporan keuangan yang diterbitkan di Bursa Efek Indonesia. Didalam
laporan keuangan tersebut teori sinyal digunakan untuk memberikan sinyal positif (good news)
dan sinyal negatif (bad news) kepada pemakainya. Sinyal tersebut berupa informasi tentang
apa yang sudah dikerjakan oleh manajemen dalam merealisasikan keinginan pemilik.
Apabila informasi yang telah dipublikasikan oleh suatu perusahaan dianggap sebagai sinyal
baik, maka investor akan tertarik dalam melakukan perdagangan saham, hal tersebut akan
bereaksi ke pasar modal yang tercemin melalui perubahan pada volume perdagangan
(Suwardjono, 2010).
Financial Distress
Financial distress merupakan kondisi suatu perusahaan dimana sedang mengalami
masalah kesulitan keuangan, artinya menggambarkan kondisi suatu perusahaan yang sedang
Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194 183
diposisi krisis sebelum mengalami kebangkrutan atau kepalitan. Kondisi financial distress
dimulai pada ketidakmampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban,
terutama pada kewajiban yang bersifat jangka pendek termasuk kewajiban likuiditas maupun
kewajiban dalam kategori solvabilitas.
Solvabilitas
Rasio keuangan yang digunakan ialah rasio sovabilitas atau yang bisa disebut leverage
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar beban utang yang harus
ditanggung oleh suatu perusahaa dalam memenuhi kewajiban jangka panjang. Besarnya
penggunaan dana guna masing-masing sumber pembiayaan harus dapat secara cermat agar
tidak membebankan perusahaan. Maka dari itu, kombinasi penggunaan dana dapar ditunjukan
melalui rasio solvabilitas atau rasio leverage. Perusahaan yang memiliki rasio solvabilitas yang
tinggi berdampak pada rasio keuangan yang besar, hal ini timbul karena perusahaan harus
menanggung dengan membayar bunga dengan jumlah yang besar. Tetapi, jika dana hasil
pinjaman tersebut dipergunakan secara efektif dan efisien, maka hal tersebut dapat
memberikan peluang yang besar bagi perusahaan untuk meningkatkan hasil usahanya (Hery,
2015:536). Disaat suatu perusahaan memilih modal dalam pinjaman, terdapat kelebihan yaitu
jumlahnya yang relatif tidak terbatas dan dapat memberikan suatu motivasi agar manajemen
perusahaan bekerja lebih aktif sebab perusahaan telah dibebankan oleh pinjaman yang
diwajibkan untuk pengembalian pinjaman. Selain itu, terdapat kekurangan yaitu sulit dalam
mendapatkan pinjamannya sebab perusahaan diwajibkan untuk memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan untuk diberikan pinjaman kepada kreditor.
Pertumbuhan Penjualan
Pertumbuhan atas penjualan merupakan suau indikator penting yang berasal dari sebuah
penerimaan pasar terhadap suatu peroduk atau jasa pada perusahaan tersebut, dimana
penjualan yang menghasilkan pendapatan untuk perusahaan dapat digunakan sebagai tolak
ukur tingkat pertumbuhan penjualan suatu perusahaan (Swasta, 2012:114). Dapat disimpukan
bahwa pertumbuhan penjualan mencerminkan penerapan keberhasilan perusahaan atas
peningkatan jumlah penjualan dari suatu periode baik dari tahun ke tahun maupun dari waktu
kewaktu. Apabila semakin tinggi tingkat pertumbuhan pada suatu penjualan, maka perusahaan
tersebut dapat dinilai berhasil dalam menjalankan strateginya terhadap pemasaran dan
penjualan poduknya. Hal ini dapat menunjukan bahwa semakin besar pula laba yang diperoleh
suatu perusahaan dari hasil penjulan, sehingga kecil kemungkinan terjadinya financial distress.
183
184 Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194
pemeliharaan, dan pengeluaran lain yang tercakup dalam biaya administrasi perusahaan
(Rimawati, 2017).
mereka, sehingga perlu untuk dipantau penggunaan dari biaya administrasi dalam perusahaan.
Semakin besar biaya agensi manajerial di suatu perusahaan maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya financial distress. Adanya biaya agensi manajerial yang tinggi
dikarenakan pemisah fungsi dari principal dan agen yang menjalankan tugas. Sehingga, muncul
tindakan-tindakan dari agen yang memanfaatkan biaya agensi untuk memenuhi
kepentingannya sendiri.
H3: Biya agensi manajerial berpengaruh positif terhadap financial distress
METODE
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan sektor properti dan real estate yang
terdapat di Bursa Efek Indonesia selama periode 2016-2018 berjumlah 44 perusahaan
memenuhi kriteria sampling dari peneliti dengan teknik purposive sampling. Berdasarkan
kriteria yang sudah ditentukan oleh peneliti, terdapat 43 perusahaan sektor property dan real
estate yang sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Dengan 43 perusahaan yang
digunakan sebagai sampel ini memiliki total observasi sebanyak 129 data. Alat bantu yang
akan digunakan untuk penelitian ini adalah software SPSS.
Tabel III. 1
Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian
No Keterangan Jumlah
1. Perusahaan sektor properti dan real estate yang terdaftar di BEI selama 44
periode penelitian yaitu 2016-2018.
2. Perusahaan sektor properti dan real estate yang delisting selama periode 1
pengamatan.
3. Jumlah Sampel 43
4. Jumlah Observasi selama 3 tahun (2016-2018) 129
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2020)
Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data penelitian diperoleh
dari website Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu www.idx.co.id, website perusahaan. Kemudian,
adapun pengukuran dari variabel-variabel dalam penelitian ini disajikan pada Tabel IV.
Tabel IV
Penyusunan Instumen
No Variabel Pengukuran
1 Financial Distress Grover Score = 1,650 X1 + 3,404 X3 - 0,016 ROA +
0,057
2 Solvabilitas DER = total hutang
ekuitas
3 Pertumbuhan Penjualan SG = Sales tahun ini – Sales tahun lalu
Sales tahun lalu
4 Biaya Agensi Manajerial Biaya Agensi Manajerial = biaya admnistrasi
dan umum
penjualan atau pendapatan
Sumber: Data diolah oleh peneliti (2020)
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif. Selanjutnya,
dilakukan uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas, uji
heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. Langkah berikutnya adalah analisis regresi linier
185
186 Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194
berganda dan selanjutnya uji hipotesis untuk menguji apakah terdapat pengaruh solvabilitas,
pertumbuhan penjualan dan biaya agensi manajerial terhadap financial distress.
Tabel IV.1 menunjukan bahwa rata-rata yang dimiliki oleh financial distress (G score)
sebesar 0.568855, karena nilai rata rata tersebut lebih dari 0.01 maka rata-rata yang dimiliki
perusahaan sektor properti dan real estate yang terdaftar di BEI pada periode 2016-2018
berada pada kondisi tidak bangkrut. Sedangkan, nilai pada standar deviasi grover yaitu sebesar
0.4418601, nilai tersebut lebih kecil dibandingkan nilai rata-rata yang dimiliki. Hal tersebut
menjelaskan bahwa G-score grover memiliki data yang tidak fluktuatif dan memiliki ukuran
penyebaran yang rendah.
Sedangkan Nilai maksimum pada G score yaitu sebesar 1.9645 angka tersebut
menjelaskan bahwa perusahaan tersebut dapat di dikategorikan perusahaan yang tidak
mengalami kondisi financial distress, karena dari score pada model Grover berada diatas
standar (G > 0.01) yaitu 1.9645. Sedangkan nilai minimum pada G score sebesar -0.4428
angka tersebut menjelaskan bahwa perusahaan berada pada kondisi financial distress
karena score Grover berada di bawah standar (G<-0,02).
Berdasarkan pada Tabel IV.1 menyatakan bahwa DER yang dikur dengan total utang
dibagi dengan total ekuitas memiliki rata-rata sebesar 0.757506 yang artinya jumlah rata
rata memiliki
jumlah utang sebesar 0.757506 kali dari total ekuitas yang dimiliki perusahaan. Standar
deviasi yang didapatkan adalah 0.6671026, angka tersebut lebih kecil daripada rata-rata DER,
yang memiliki arti bahwa data tersebut tidak fluktuatif dan memiliki ukuran penyebaran yang
rendah.
Nilai maksimum DER adalah 3.7010 angka tersebut menjelaskan bahwa total utang
dalam perusahaan 3.0710 kali dari ekuitas yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dijelaskan
bahwa perusahaan bayak dibiayai oleh utang. Hal tersebut membuat nilai DER meningkat
karena total utang lebih besar dibandingkan dengan ekuitas. Nilai minimum DER adalah 0.0287
angka tersebut menjelaskan bahwa total utang dalam perusahaan 0.0287 kali dari ekuitas yang
dimiliki perusahaan sehingga dapat dijelaskan bahwa jumlah ekuitas lebih besar dibandingkan
total utang yang dimiliki perusahaan.
Berdasarkan pada Tabel IV.1 Pertumbuhan penjualan memiliki rata-rata sebesar
0.0515651 yang artinya jumlah rata rata pada perusahaan sektor property dan real estate yang
Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194 187
terdaftar di BEI periode 2016-2018 mengalami pertumbuhan penjualan sebesar 5.1%. Standar
deviasi yang didapatkan adalah 0.4065329, angka tersebut besar daripada rata-rata SG,
yang memiliki arti bahwa data tersebut fluktuatif dan memiliki ukuran penyebaran yang luas.
Nilai maksimum pertumbuhan penjualan (SG) adalah 3.0778 yang menunjukan bahwa
selisih pertumbuhan penjualan pada periode berjalan sebanyak 3.0778 kali dari penjualan
diperiode sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan penjualan mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya.
Nilai minimum pertumbuhan penjualan (SG) adalah -0.9123 yang menyatakan bahwa
pertumbuhan penjualan yang sangat rendah dapat dilihat dari penurunan penjualan yang
sangat drastis sehingga terdapat nilai minus.
Berdasarkan pada Tabel IV.1 Biaya agensi manajerial memiliki nilai rata rata sebesar
0.183445 yang artinya jumlah rata rata pada perusahaan sektor property dan real estate yang
terdaftar di BEI periode 2016-2018 memiliki biaya umum dan administrasi sebesar 0.183445
kali dari penjualan atau pendapatan yang dimiliki perusahaan. Standar deviasi yang didapatkan
adalah 0.2004671 angka tersebut lebih besar daripada rata-rata BAM, yang memiliki arti
bahwa data tersebut fluktuatif dan memiliki ukuran penyebaran yang luas.
Nilai maksimum biaya agensi manajerial adalah 1.6150 yang menunjukan bahwa total
biaya administrasi dan umum sebanyak 1.6150 kali dari penjualan atau pendapatan sehingga
dapat dijelaskan bahwa biaya administrasi dan umum lebih tinggi dibandingkan dengan
penjualan atau pendapatan yang didapatkan. Hal tersebut dapat membuat laba perusahaan
kecil, hal tersebut dikarenakan adanya penurunan penjualan atau pendapatan yang sangat
signifikan dimana pada tahun 2017 sebesar Rp. 6 milyar namun ditahun sebelumnya 2016
sebesar Rp 21.545 milyar.
Sedangkan, nilai minimum biaya agensi manajerial adalah 0.0183 yang menjelaskan
bahwa total biaya umum dan administrasi dalam perusahaan 0.0183 kali dari penjualan atau
pendapatan yang dimiliki perusahaan sehingga dapat dijelaskan bahwa jumlah penjualan atau
pendapatan lebih besar dibandingkan total biaya umum dan administrasi yang dimiliki
perusahaan.
Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk menguji kenormalan data distribusi dari nilai residual
didalam model regresi. Model regresi yang baik yaitu model yang memiliki data distribusi yang
normal atau mendekati normal.
Tabel IV.2
Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov -Smirnov Test
Unstandar
dized Residual
N 129
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std.
Deviation .38465000
Most Extreme Absolute .058
Differences Positive .058
Negativ -.051
Test Statistic e .058
Asymp. Sig. (2-tailed)
.200c,d
Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut, ukuran suatu data jika dapat dikatakan
berdistribusi normal mada diihat dari nilai Asymp.Sig. (2-tailed). Apabila nilai asymp.sig. (2-
tailed) diatas 0.05 maka dapat dikatakan bahwa data terdistribusi dengan normal. Pada Tabel
187
188 Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194
IV.2 diatas dapat dilihat bahwa nilai Asymp.Sig. (2-tailed). 0.200 atau lebih besar dari 0.05.
Maka, dapat disimpulan bahwa data distribusi pada penelitian ini berdistribusi normal.
Uji Multikoloneritas
Uji multikoloneritas digunakan untuk menguji adanya korelasi antar variabel-variabel
independen dalam model regresi. Apabila model regresi yang baik maka tidak terjadi korelasi
antar variabel independen, namun apabila variabel independen saling berkorelasi maka variabel
tersebut tidak orthogonal.
Tabel IV.3
Hasil Uji Multikoloneritas
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) .783 .065 12.003 .000
DER -.174 .053 -.263 -3.318 .001 .964 1.037
SG -.432 .085 -.397 -5.093 .000 .997 1.003
BAM -.326 .175 -.148 -1.869 .064 .966 1.035
a. Dependent Variable: FD
Sumber: Output SPSS 23
Berdasarkan Tabel IV.3 hasil uji multikoloneritas tersebut, dapat dijelaskan bahwa tidak
terjadinya korelasi antar variabel independen. Karena, Collinearity Tolerance lebih dari 0.10
dan dapat dilihat juga bahwa nilai VIF kurang dari 10.00 maka dapat disimpukan bahawa
variabel- variabel independen pada penelitian ini bebas dari multikoloneritas.
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui terjadinya
ketidaksamaan varian dari residual suatu pengamatan kepengamatan lainnya didalam suatu
model regresi. Model regresi yang baik yaitu apabila varian dari residual satu kepengamatan
lainnya tetap yang disebut dengan homoskedasitisitas atau tidak heteroskedastisitas.
Tabel IV.4
Hasil Uji Heteroskedastisitas
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta T Sig.
(Constant) -3.391 .342 -9.906 .000
DER .053 .276 .017 .192 .848
SG -.346 .445 -.069 -.777 .439
BAM 1.649 .916 .161 1.800 .074
Pada tabel IV.4 diatas, dapat diketahui bahwa nilai signifikan variabel bebas melebihi
0.05 yang menjelaskan koefisien parameter variabel bebas tersebut tidak adanya singnifikan.
Maka, hasil tersebut dapat disimpulkan bahawa model regresi terbebas dari
heteroskedastisitas. Karena, dapat dilihat dari probabilitas signifikansinya diatas tingkat
kepercayaan 0.05.
Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi merupakan uji yang digunakan untuk menguji apakah terdapat kesalahan
residual pada korelasi antar residual tertentu dengan residual pada periode lainnya.
Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194 189
Tabel IV.5
Hasil uji Autokorelasi
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
1 .492a .242 .224 .3892384 1.895
Sumber: Output SPSS 23
Berdasarkan hasil uji autokorelasi pada Tabel IV.5, nilai pada uji Durbin-Watson yaitu
1.895 yang mana dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi. Apabila dilihat
dari tabel Durbin-Watson dengan jumlah observasi (T) sebanyak 129 dan jumlah variabel
independen (k) sebanyak 3, maka diperoleh dL = 1.6653 dan dU = 1.7603. Berdasarkan
kriteria uji Durbin- Watson, maka dU < dW < 4-dU atau 1.7603 < 1.895 < 2.2397.
Analisis Regresi Linier Berganda
Regresi linier berganda merupakan regresi yang menguji hubungan antar dua arah atau
lebih variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil regresi linier berganda pada
penelitian ini adalah:
FD= 0.783 - 0.174DER - 0.432SG - 0.326BAM + ɛ
Uji Statistik F
Uji statistik F digunakan untuk menunjukan seluruh variabel independen atau variabel
bebas yang dimasukan kedalam model regresi apakah mempunyai pengaruh secara simultan
(bersama- sama) terhadap variabel dependen atau variabel tetap. Pada pengujian dalam
penelitian ini, tingkat signifikansi yang digunakan adalah 0.05. Maka, jika nilai signifikansi
statistik F kurang dari 0.05 dapat disimpukan variabel independen berpengaruh simultan
terhadap variabel dependen.
189
190 Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194
Tabel IV.6
Hasil Uji Statistik F
ANOVA a
Berdasarkan Tabel IV.6, hasil uji statistik F diatas menunjukan bahwa nilai signifikansi
adalah sebesar 0.000 atau kurang dari 0.05. Maka, dapat disimpulkan bahwa variabel
dependen pada penelitian ini yaitu solvabilitas, pertumbuhan penjualan dan biaya agensi
manajerial secara simultan atau bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen yaitu financial distress.
Berdasarkan pada Tabel IV.7, bahwa hasil uji koefisien determinasi (R2) memiliki nilai
Adjusted R-Squared pada model regresi ini sebesar 0.224 yang artinya bahwa variabel
independen pada penelitian ini yaitu solvabilitas, pertumbuhan penjualan, dan biaya agensi
manajerial dapat menjelaskan secara informatif variabel dependen yaitu financial distress
sebesar 22.4% dan sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya.
Uji Statistik T
Pada uji statistik t digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh solvabilitas,
pertumbuhan penjualan dan biaya agensi manajerial dalam menjelaskan variasi besarmya
financial distress secara individual. Pengambilan keputusan dalam uji statistik t dengan
membandingkan nilai probabilitas variabel terhadap nilai signifikansi 5% (0.05). Kriteria
dalam pengujian nya yaitu apabila tingkat signifikansi < 0.05 maka hipotesis diterima,
artinya variabel independen berpengaruh secara parsial terhadap variabel dependen.
Begitupun sebaliknya, apabila tingkat signifikansi > 0.05 maka hipotesis ditolak, artinya variabel
independen tidak berpengaruh secara parsial terhadap variabel dependen.
Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194 191
Tabel IV.8
Hasil uji statistik T
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) .783 .065 12.003 .000
DER -.174 .053 -.263 -3.318 .001
SG -.432 .085 -.397 -5.093 .000
BAM -.326 .175 -.148 -1.869 .064
Sumber: Output SPSS 23 (2020)
Berdasarkan hasil uji statistik t pada Tabel IV.8 maka dapat disimpulkan bahwa hasil dari
uji hipotesis dari variabel independen yaitu solvabilitas, pertumbuhan penjualan dan biaya
agensi manajerial terhadap variabel dependen yaitu financial distress. Hipotesis tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Hasil analisis regresi linier telah menunjukan bahwa solvabilitas memiliki tingkat
signifikansi sebesar 0.001 lebih kecil dari 0.05 yang artinya solvabilitas secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Namun, solvabilitas mendapatkan nilai
koefisiensi beta sebesar -0.263 yang menunjukan arah negatif, artinya nilai koefiesien
menunjukan arah yang berbeda dari hipotesis. Maka dapat disimpulkan bahwa H1 diterima
karena nilai nilainya signifikan hanya pada model arah koefisien yang berbeda bukan positif
melainkan negatif H1 diterima.
Adanya pengaruh negatif terhadap financial distress, dikarenakan selain mendapatkan
dana dari sumber internal yaitu modal sendiri, perusahaan dapat memperoleh dana melalui
sumber eksternal yaitu utang atau pinjaman yang dapat dimanfaatkan sebagai dana
operasional untuk mendongkrak kinerja perusahaan. Sehingga, DER yang tinggi tidak
selalu memiliki probabilitas kebangkrutan yang tinggi pula sebab dalam keputusan
penggunaan utang secara umum dapat meningkatan probabilitas terjadinya pertumbuhan.
Apabila disuatu perusahaan dapat mengoptimalkan pengelolaan utang secara efektif dan
efisein, maka memberikan peluang yang besar bagi perusahaan guna mencapai fleksibilitas
dan kondisi keuangan yang lebih sehat dan kuat agar dapat meningkatan hasil usahanya
yang kemudian memberikan dampak pada peningkatan harga saham dan potensi
pertumbuhan perushaaan yang lebih besar yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya
kondisi financial distress.
Dalam teori agensi apabila suatu perusahaan mampu mengelola utang dan ekuitas dengan
baik maka agen telah memenuhi tujuan dari principal. Sehingga, dapat meningkatan hasil
usaha bagi kelangsungan pertumbuhan perusahaan yang kemudian memberikan dampak
pada peningkatan kesejahteraan dari principal atau pemegang saham dan menimimalisir
kondisi financial distress. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Maslachah et al., (2017), Christine et al., (2019) dan Septiani & Dana (2019) yang
menjelaskan bahwa solvabilitas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap financial
distress. Menurut Maslachah et al., (2017) solvabilitas memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap financial distress dikarenakan rasio leverage yang rendah memiliki
kemungkinan hanya membantu perusahaan dalam mempertahankan keberlangsungan
operasional, namun tidak banyak yang digunakan guna mendukung aktifitas perusahaan.
b. Hasil analisis regresi linier telah menunjukan bahwa pertumbuhan penjualan memiliki
tingkat signifikansi sebesar 0.000 lebih kecil dari 0.05 yang artinya pertumbuhan penjualan
secara parsial berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Selain itu, nilai koefisien
beta yang diperoleh dari ukuran perusahaan sebesar -0.397 menunjukan arah negatif.
Maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan penjualan secara parsial bepengaruh
191
192 Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194
dikarenakan DER yang tinggi tidak selalu memiliki probabilitas kebangkrutan yang tinggi
pula, sebab apabila perusahaan dapat mengelola utang dengan efektif dan efisien maka
dapat memberikan peluang untuk meningkatkan hasil usahannya yang berpotensi
terjadinya pertumbuhan perusahaan dan memperkecil terjadinya kondisi financial distress.
2. Pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress,
artinya semakin tinggi pertumbuhan penjualan suatu perusahaan maka semakin besar pula
laba yang diterima oleh perusahaan, sehingga kecil kemungkinan terjadinya kondisi financial
distress disuatu perusahaan.
3. Biaya agensi manajerial tidak berpengaruh terhadap financial distress. Hal ini dikarenakan
rata- rata pendapatan lebih besar dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan guna
mendapatkan pendapatan tersebut yang berarti manajer.
Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, maka peneliti dapat memberikan saran
untuk peneliti-peneliti selanjutnya guna memberikan penelitian yang lebih baik pada
penelitian selanjutnya. saran yang dapat peneliti berikan adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan populasi dalam penelitian ini hanya mengambil sektor properti dan real
estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dikhawatirkan penelitian ini tidak
dapat memberikan keadaan yang sesungguhnya. Sehingga, peneliti merekomendasikan
untuk penelitian selanjutnya mengambil sektor lain seperti industri atau manufaktur agar
dapat melihat hasil yang didapatkan pada sektor lainnya.
2. Periode yang digunakan pada penelitian ini hanya 3 tahun yaitu 2016-2018. Penelitiaan ini
diharapkan dapat menambah periode penelitian menjadi 5 tahun agar hasil penelitian
mampu menggambarkan perusahaan-perusahaan secara keseluruahan guna mengetahui
hasil yang lebih kompleks.
3. Penelitian ini menggunakan proksi model grover sebagai alat ukur financial distress. Pada
penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk menggunakan proksi lainnya seperti model
Zmijewski.
DAFTAR PUSTAKA
Arasteh, F., Nourbakhsh, M. M., & Pourali, M. R. (2013). The study of relationship between
capital structure , firm growth and financial strength with Financial leverage of the
company listed in Tehran Stock Exchange. Interdisciplinary Journal of Contemporary
Research In Business, 5(7), 480–492.
Ayuningtias. (2013). Analisis Pengaruh Struktur Kepemilikan, Board Composition, Dan
Agency Cost Terhadap Financial Distress. 1.
Brigham, & Houston. (2011). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (11th ed.). Jakarta:
Salemba Empat.
Christine, D., Wijaya, J., Chandra, K., Pratiwi, M., Lubis, M. S., & Nasution, I. A. (2019).
Pengaruh Profitabilitas, Leverage, Total Arus Kas dan Ukuran Perusahaan terhadap
Financial Distress pada Perusahaan Property dan Real Estate yang Terdapat di Bursa
Efek Indonesia Tahun 2014-2017. Jesya (Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah), 2(2),
340–350. https://doi.org/10.36778/jesya.v2i2.102
Damayanti, L. D., Yuniarta, G. A., & Sinarwati, N. K. (2017). Analisis Pengaruh Kinerja
Keuangan, Ukuran Komite Audit dan Kepemilikan Manajerial Terhadap Prediksi
Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Periode 2011-2015). E-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha ,
7(1), 1–12.
Hery, S.E., M.sI., RSA., CRP. (2015). Pengantar Akuntansi: Comprehensive Edition .
193
194 Sonia Lifia, dkk/Jurnal Akuntansi, Perpajakan, dan Auditing, Vol. 1, No. 2, Desember 2020, hal 179-194