Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi Ditinjau Dari Sudut Pandang Psikologi
Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi Ditinjau Dari Sudut Pandang Psikologi
Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi Ditinjau Dari Sudut Pandang Psikologi
PSIKOLOGI
oleh Ieda Poernomo Sigit Sidi dan Bernadette N. Setiadi | Himpunan Psikologi Indonesia, Jakarta
I. PENGANTAR
Kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah yang tidak mudah dilakukan.
Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui
oleh orang-orang yang tinggal di tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Kejadian
di Amerika tidak akan mudah diketahui oleh mereka yang tinggal di belahan bumi lainnya seperti Eropa, Asia,
Afrika, dan Australia. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya hidup masyarakat di wilayah tertentu bersifat
lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan dan budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai
ragam tatanan masyarakat dan gaya hidup.
Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah tertentu. Peristiwa di Banda
Aceh, misalnya, akan lama sekali sampai pemberitaannya di Merauke, Irian Jaya. Namun, berkat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi menjadi
masalah. Menit ini peristiwanya terjadi, menit berikutnya seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya
satelit membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang membawa penghuni
dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka saling berinteraksi, mempengaruhi dan
dipengaruhi, juga dalam memilih dan menentukan pandangan serta gaya hidup.
Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga masyarakat dunia dalam satu tatanan
kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam tetapi sekaligus juga terbuka untuk semua warga. Gaya
hidup yang menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah
mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil,
bahkan sampai ke desa. Bentuk-bentuk tradisional bergeser, diganti dengan gaya hidup global. Kesenangan
bergaya hidup internasional mulai melanda. Perbincangan mengenai pengembangan hubungan antar negara
menjadi mirip pembahasan tentang pengembangan komunikasi antar kota dan desa. Teknologi komunikasi
memang memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja,
dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar yang menyajikan informasi, data, peristiwa dalam waktu
sekejap. Secara psikologis kondisi tersebut akan membawa manusia pada perubahan peta kognitif,
pengembangan dan kemajemukan kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata nilainya.
Perubahan kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya selaku pengasuh dan
pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah pengetahuan, meluaskan wawasan, dan meningkatkan
keterampilan. Dengan sikap ini maka orang tua pun bisa diharapkan melaksanakan tugasnya dalam
mengarahkan, membimbing, mendorong, membantu anak serta mengusahakan peluang/kesempatan untuk
berprestasi optimal, sesuai dengan kemampuannya. Berpikir positif dan bersikap adaptif adalah sikap yang
diharapkan dari para orang tua yang kini tengah mendidik dan mengasuh anak-anak yang akan memasuki era
globalisasi. Tugas ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu. Bersama, ayah dan ibu menyikapi
perubahan jaman dalam kondisi yang lebih menguntungkan bagi anak, sehingga ia mampu menyongsong era
globalisasi dengan keyakinan diri yang kuat, berdasarkan bekal yang diperolehnya dan kepercayaan akan
rakhmat dan karunia-NYA.
Disonansi, kesenjangan generasi, kesenjangan kelas sosial-ekonomi, adalah efek samping lainnya karena usaha
yang dilakukan tidak lagi sekadar ingin memiliki tetapi juga memuaskan, sementara kepuasan sifatnya relatif
dan cenderung tidak berujung. Keserakahan menampilkan wajah egosentris yang kemudian melepaskan diri
dari kasih sayang (Gromm). Kemudahan komunikasi membuat individu melupakan peran-peran lain dalam
kehidupan, terutama yang menyangkut kehidupan interdependensi. AKU menjadi sangat menonjol. Situasi ini
bisa menjadi pemicu bagi pemunculan pribadi yang kehilangan kontrol diri.
Psikologi sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat dengan telaah proses
pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa disumbangkan sebagai intervensi dalam pembentukan perilaku
Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi. Keterlibatan dalam upaya rekayasa tingkah laku, baik
dalam kapasitas sebagai sarana belajar maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan untuk
mendapatkan wawasan tentang konteks dan lingkungan serta eksistensi manusia. Cara yang bisa ditempuh
dalam upaya rekayasa ini adalah melakukan usaha yang berkesinambungan dengan memperhitungkan
dukungan kelompok maupun dukungan masyarakat. Untuk itu kerjasama dengan berbagai disiplin ilmu
lainnya terasa sangat bermakna. Psikologi akan memfokuskan pada upaya pembangkitan kebutuhan untuk
berubah agar bisa menjadi pendorong (motivasi) dalam proses perubahan tingkah laku yang diharapkan.
Pembekalan individu dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup harus dilakukan agar ia mampu
melaksanakan perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang sudah beralih menjadi kebutuhan pribadi dan
bukan kebutuhan yang bersifat eksternal. Dalam upaya ini harus diciptakan kesempatan bagi individu untuk
memecahkan masalah berkaitan dengan adopsi tingkah laku dalam kondisi nyata. Penelitian yang dilakukan
oleh Bernadette N. Setiadi (1987), Yaumil A. Achir (1990), Iman Santoso Sukardi (1991) dan Soesmaliyah
Soewondo (1991) membuktikan bahwa usaha merubah tingkah laku manusia dapat dilakukan melalui
intervensi terencana perubahan tingkah laku.
Dengan mengembangkan teori serta intervensi dalam pola asuh yang khas Indonesia, pengalaman daur belajar
Kolb dan intervensi perubahan tingkah laku Mc Clelland yang diadaptasikan ke Indonesia serta pengembangan
intervensi lain dalam keterampilan hubungan antar manusia, membuktikan bahwa psikologi mampu berbuat
sesuatu dalam rangka menyongsong era globalisasi. Yang diperlukan adalah intervensi terencana yang
menekankan analisis kebutuhan individu dan masyarakat, pengembangan iklim belajar partisipatif, penciptaan
dukungan kelompok serta pemanfaatan seluruh sumber sebagai sarana belajar. Dalam rekayasa terencana
perlu dilihat, mana nilai-nilai tradisional yang masih bisa dipertahankan dan dikembangkan, mana pula yang
harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai, bahkan bisa menghambat.
Dalam rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta kognitif, pengembangan dan
kemajemukan kebutuhan serta pergeseran prioritas dalam tata nilainya. Kesemuanya tampil dalam
perilakunya yang egosentris, instrumental, jalan pintas, etos kerja yag lemah dan kurang peka terhadap
masalah yang tidak menyangkut kepentingannya. Padahal era abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang
tangguh, yang harus menampilkan tingkah laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif, religius, peka
terhadap lingkungan, inovatif dan mandiri. Pertanyaannya adalah, sejauh mana manusia Indonesia bisa
dibantu untuk menemukan jati dirinya dan mampu beradaptasi terhadap tarikan dan pengaruh globalisasi
masyarakat dunia. Selain itu perlu dicermati pula, berapa banyak yang ‘masih tersisa’ saat ini untuk bisa diajak
memasuki abad 21 secara produktif? Berapa bagian dan seberapa luas kerusakan yang sudah terjadi? Di
lapisan mana kerusakan itu terjadi dan di tingkat mana yang masih menjanjikan harapan untuk pembentukan
perilaku yang adaptif dalam memasuki abad 21?
VII. PENGEMBANGAN POLA PERILAKU MANUSIA INDONESIA YANG BERKUALITAS TINGGI DALAM
MASYARAKAT ABAD 21
Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola perilaku manusia Indonesia
dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar belakang sejarah bangsa dan negara selama ini, yaitu:
menjadi bangsa yang memiliki self efficacy
menjadi bangsa yang mengalami learned helplessness
Era Reformasi membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya dalam upaya pengembangan
Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam membangun bangsa dan negara dalam masa Orde Baru,
yang antara lain menjadi penyebab munculnya perilaku yang mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi,
Koncoisme, Nepotisme (KKKN). Kesadaran tersebut lalu mendorong keinginan untuk membenahi perilaku
Manusia Indonesia dari sikap yang cenderung KKKN menjadi perilaku yang Bersih, Transparan, Profesional.
Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang bersih, transparan, dan profesional dalam menjalani
kehidupannya sangat diperlukan, apapun yang dilakukannya, di manapun posisinya. Kehidupan Abad 21
menyiratkan tantangan yang lebih luas dalam berkompetisi di era globalisasi.
Pengembangan perilaku bersih, transparan, dan profesional menjadi persyaratan bagi Manusia Indonesia agar
bisa berkualitas tinggi dan mampu mengambil posisi dalam persaingan di kancah dunia dan memanfaatkannya
dengan baik. Sebaliknya, perilaku yang mencerminkan KKKN harus ditinggalkan.
Peristiwa di Bulan Mei 1998 dan hari-hari berikutnya telah menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan
yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kualitas Manusia Indonesia. Ada masalah budaya, ada
masalah sosial, ada masalah agama yang secara psikologis menjadi dasar pengembangan sikap dan perilaku,
selain masalah ekonomi dan harapan untuk bisa mengambil posisi dalam mengantisipasi globalisasi dan
perkembangan teknologi. Pemahaman diri sebagai Manusia Indonesia perlu dimiliki agar dapat menempatkan
diri dan mengembangkan hubungan dengan lingkungan, baik dalam skala kecil maupun percaturan yang lebih
luas. Negara dan bangsa memerlukan Manusia Indonesia yang mencerminkan pandangan, sikap, dan perilaku
warga Republik Indonesia (siapapun dia, dari kelompok mana pun - etnik, kelas sosial, agama, pendidikan,
kemampuan ekonomi). Era globalisasi yang semakin terasa denyutnya memerlukan penampilan Manusia
Indonesia yang berkualitas tinggi, sehingga dapat mengikuti perkembangan dunia, yang selanjutnya akan
dapat menghasilkan peran serta aktif di berbagai bidang (pertanian, perdagangan, perindustrian, teknologi,
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya).
Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai periode yang telah dijalaninya
memerlukan kajian lintas disiplin ilmu agar bisa dirumuskan secara jelas dan tegas. Dalam kaitan ini sangat
disadari bahwa kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam memunculkannya sekaligus mensyaratkan
adanya dialog/komunikasi yang bersifat saling isi dan melengkapi antar berbagai ilmu yang terkait, sesuai
dengan kondisi dan situasinya. Forum Organisasi Profesi Ilmiah Indonesia (FOPI) yang beranggotakan berbagai
Organisasi Profesi Ilmiah (OPI) diharapkan secara ilmiah mampu merumuskan Manusia Indonesia Abad 21
Yang Berkualitas Tinggi sehingga arah pembangunan bangsa dan negara pun bisa ditata lebih baik. Untuk itu
perlu dicarikan upaya agar dapat memberdayakan Manusia Indonesia dengan meningkatkan kualitas
ketangguhan dan kemandirian dengan tetap peduli lingkungan (alam, sosial, budaya) sehingga lebih mampu
menyikapi berbagai perubahan kondisi dan situasi. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan
karakteristik Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, yang menggambarkan manusia dan budayanya
(akhlak, moral, budi pekerti) serta kaitannya dengan kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi,
sosial, alam). Gambaran tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus dihadapi
masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai alternatif upaya yang perlu dan harus
dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima dan memahami dirinya serta mampu menyesuaikan diri
dengan kondisi dan situasi lingkungan pada jamannya.
John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa abad 21 menyiratkan ketidakjelasan terhadap ukuran
keberhasilan yang bisa dijadikan keteladanan. Sukar sekali menutupi kejadian yang tak ingin disebarluaskan,
baik untuk pertimbangan menghormati hak asasi manusia maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Banyak
masalah yang masih harus dijawab dalam memasuki abad 21, antara lain merumuskan makna kehidupan,
pemecahan sengketa/konflik antar bangsa/negara, pengentasan kemiskinan yang tidak hanya terkait dengan
masalah populasi (pertambahan penduduk) dalam hubungannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang
makin terbatas. Abad 21 mengisaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas, imajinasi, rasa kasihan atau
simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan bersama akan menjadi dasar yang
kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21 dengan sikap optimis.
Ada lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang mencerminkan pemahaman
sosialisasi, yaitu:
teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939)
teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980)
teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981)
teori Gender dari Carol Gilligan (1982)
teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931)
Jalur yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan kemampuan sosialisasi adalah:
keluarga
sekolah
kelompok sebaya
media massa
opini publik
Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak kanak-kanak, pra remaja,
remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia.
Harapan untuk dapat membantu masyarakat dalam mewujudkan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang
Berkualitas Tinggi bisa mengacu pada kerangka pikir tersebut (untuk pemahaman, proses dan pembentukan
perilaku dalam upaya sosialisasi), terutama dalam upaya membentuk manusia yang cerdas, terampil, tangguh,
mandiri, berdaya saing tinggi tapi juga punya hati nurani, yang membuatnya peduli dan tidak individualis.
Untuk itu perlu dipahami dulu kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Berdasarkan teori perkembangan moral
dari Kohlberg, masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga kelompok moralitas. Kelompok pertama
menyandarkan perilakunya pada pengertian benar dan salah, baik dan buruk berdasarkan reaksi yang
diterimanya dari lingkungan. Bagi kelompok ini, keputusan benar salah, baik buruk harus bisa dipahami secara
nyata, bukan sesuatu yang bersifat abstrak. Bentuk hukuman dan pujian/penghargaan harus dipahami sesuai
dengan tingkat kemampuan mereka, antara lain taraf kecerdasannya. Penempatan patung-patung polisi lalu
lintas di berbagai kota (Bogor, pinggiran kota Bandung, Surabaya, Padang) adalah contoh pemahaman "hitam
putih" dalam usaha pengawasan perilaku. Kehadiran polisi secara fisik (terlihat) menjadi penting daripada
hanya sekadar penempatan rambu-rambu lalu lintas. Kelompok ini lebih terfokus pada pikiran dan
pertimbangannya sendiri, menggunakan ukurannya sendiri dan tidak terlalu mampu mempertimbangkannya
dalam perspektif yang lebih luas. Kelompok kedua sudah lebih luas pandangannya, sehingga pemahaman
terhadap norma dalam kehidupan bersama, yang mengacu pada kehidupan bersama, bisa diharapkan.
Kepedulian dan kebutuhan mendapatkan predikat sebagai warga masyarakat yang baik sudah dimiliki.
Kelompok ketiga memiliki tingkat pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya norma
dalam kehidupan bersama agar dapat mencapai rasa aman dan nyaman. Pengelompokan tersebut seharusnya
dijadikan patokan dalam mengembangkan aturan berikut sanksinya. Meskipun secara umum tetap bersumber
pada acuan hukum yang sama, tetapi dalam penyampaian informasi dan terapannya sangat perlu
memperhatikan kondisi psikologis masing-masing kelompok, sehingga bisa diterima dan dilaksanakan dengan
baik.
Bagi masyarakat Indonesia yang secara mayoritas mencerminkan pola patrilineal, adanya figur yang bisa
dijadikan pegangan menjadi sangat penting. Figur tersebut harus dapat mencerminkan tokoh yang dikagumi
dan bisa dipercaya, yang antara lain bisa dilihat dari sikap dan perilakunya dalam kehidupan keseharian
sebagai pribadi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Perasaan diperlakukan secara adil, yang antara lain
merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, menjadi syarat utama bagi tumbuhnya
kepercayaan kepada pimpinan negara dan aparat penegak hukum. Segala bentuk kekecualian akan
mengurangi bobot aturan yang ditetapkan. Apalagi kalau figur yang seharusnya menjadi panutan ternyata
menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama. Bentuk masyarakat
Indonesia yang sangat heterogen juga harus diperhatikan. Sejalan dengan hal tersebut maka penyusunan
undang-undang dan peraturan penjelasan serta kelengkapannya harus disampaikan dalam bentuk komunikasi
yang efektif, sesuai karakteristik masing-masing kelompok.
Untuk bisa menjaga agar perilaku masyarakat tetap produktif dalam upaya menegakkan kewibawaan
pemerintah, ketertiban dan ketenteraman bersama, masyarakat yang seolah baru terbangun dan mulai sadar
atas hak-haknya sebagai individu maupun sebagai warga negara, yang kemudian memunculkan berbagai
bentuk perilaku ‘terkejut’ harus segera diarahkan dan dibimbing, sehingga reformasi bisa tetap sesuai dengan
jiwanya ketika diperjuangkan oleh mahasiswa. Perilaku beberapa pihak yang saling tunjuk, saling menghujat,
saling menghakimi tanpa mengindahkan prosedur hukum/aturan/tatanan yang berlaku perlu segera diatasi,
sebelum menyesatkan masyarakat dalam pengembangan pola pikir dan tindakan yang jauh dari kehidupan
sadar hukum.
Pemulihan kepercayaan masyarakat tidak hanya diperlukan untuk mengembalikan kondisi dalam negeri, tetapi
juga bagi dunia internasional dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan politik maupun ekonomi terhadap
Indonesia. Beban psikologis ini amat berat. Persoalannya adalah seberapa jauh pemerintah dan seluruh
jajarannya menyadari hal ini? Apakah masyarakat juga bisa melihat persoalan ini dalam skala pikir yang lebih
luas dari hanya sekadar memikirkan kepentingannya sendiri? Dapatkah mereka melihat dirinya sebagai bagian
dari kepentingan bersama, selaku anggota masyarakat dan warga negara? Pemerintah dan masyarakat harus
bersama-sama menyelesaikan persoalan ini sebagai kepentingan yang tak bisa ditawar untuk dapat
mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara. Untuk itu sangat perlu dimasyarakatkan secara
luas dan terbuka mengenai kondisi dan situasi yang dihadapi bersama agar pemerintah dan masyarakat bisa
bahu membahu dalam upaya penyelesaiannya, yang tentunya harus sangat memperhitungkan karakter
masing-masing kelompok, sehingga bentuk dan jalur penyampaiannya bisa disesuaikan dan kemudian bisa
dipahami sebagaimana mestinya.
Hal lain yang memerlukan perhatian pemerintah untuk dapat memulihkan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah adalah koordinasi yang baik antara seluruh aparat/jajaran pemerintah. Pernyataan dan tindakan
yang terkesan kontradiktif antar departemen harus dihindarkan. Sebelum memberikan pernyataan, baik
sebagai tanggapan maupun rumusan kebijaksanaan, seyogianya sudah ada pemahaman dan kesepakatan di
antara para anggota kabinet dan aparat/jajaran di bawahnya yang terkait. D
engan demikian masyarakat tidak seperti penonton yang kebingungan, sebab tidak ada yang bisa dijadikan
pegangan secara jelas, yang akibatnya memunculkan perilaku yang dikembangkan atas interpretasi sendiri.
Kondisi ini dapat memunculkan situasi yang rawan bagi kehidupan bersama, sebab tak ada acuan yang jelas
dan tak ada kepastian yang bisa dipercaya untuk dijadikan pedoman.
Transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan masih perlu dilakukan secara selektif, sesuai
karakter masyarakat yang dihadapi supaya tidak berubah menjadi bentuk perilaku yang seenaknya menuntut
dan menghujat orang/pihak lain, sedangkan di sisi lain menepuk dada atau menganggap diri paling benar dan
bersih. Kehidupan demokrasi yang sesungguhnya harus dijabarkan secara operasional di tiap tingkatan
kemampuan masyarakat dalam memahaminya, sesuai karakter kelompok-kelompok yang ada. Pendekatan
persuasif dan tidak sekadar responsif sangat diperlukan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan
masyarakat dalam hal kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, yang menyiratkan rasa kebersamaan, bahu
membahu, saling isi, saling melengkapi. Tatanan kehidupan menurut adat dan agama harus jelas posisinya
dalam tatanan hukum negara, sehingga aspirasi dan kebutuhan masyarakat bisa tertampung dengan baik dan
tidak menimbulkan gejolak yang merugikan kehidupan bersama. Aturan yang meliputi seluruh kehidupan,
antara lain dalam ketentuan mengenai tanah adat, kehidupan beragama, kehidupan masyarakat yang
berlandaskan bhinneka tunggal ika, kesempatan memperoleh pendidikan/pekerjaan, kenyamanan dan
jaminan keamanan dalam bekerja, corak kehidupan perkawinan/keluarga sesuai kondisi jaman perlu ditelaah
untuk bisa memenuhi aspirasi masyarakat.
VIII. PENUTUP
Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari aspek-aspek
perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan
(inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya
mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk
pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap
dan bertindak. Dengan demikian meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar
kehidupan tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan hanyut terbawa
arus kehidupan global. Justru ia akan dapat memilih dan memutuskan yang terbaik untuk diri, bangsa dan
negaranya, baik untuk keperluan jangka pendek maupun jangka panjang. Penegakan hukum dan contoh yang
diperlukan sebagai model pembentukan perilaku, baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat,
menjadi penting.
Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini sangat diperlukan.
Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika republik ini didirikan. Kebersamaan
menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri
sebagai individu dan kelebihan bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding, saling
hujat, saling mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa dan adu kekuatan seperti yang
tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan,
perilaku tersebut tidak akan menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum.
Padahal, era globalisasi di abad 21 akan menghadapkan manusia Indonesia pada hukum dan tatanan
kehidupan bersama yang lebih luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik Indonesia. Perilaku sadar
hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad 21. Siapkah kita membentuknya? Tahukah kita
cara membentuknya? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan corak individu yang menandai masyarakat
Indonesia abad 21, apakah kita akan menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak
percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy,
percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami "learned helplessness"
seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu menumbuhkan motivasi berprestasi tinggi atau dikenal
sebagai need for achievement (Mc Clelland). Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus didorong
sampai pengembangan motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada motivasi
pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar saja.
Dalam kaitan dengan pembangunan selanjutnya, ada pertanyaan yang masih harus dijawab, terutama
mengacu pada pengalaman kita selama ini, akankah kita masih terkotak-kotak dalam menyelenggarakan
pembangunan? Dapatkah kita menempatkan manusia sebagai individu dengan segala keunikannya sehingga
tidak memperlakukannya sebagai obyek semata? Atau kita masih tetap beranggapan bahwa masyarakat yang
terdiri dari kumpulan individu adalah sekadar obyek, yang bisa diatasi dengan "dua K" yaitu kekuatan dan
kekuasaan. Kalau jawabannya "Ya," maka cita-cita untuk mewujudkan Manusia Indonesia Abad 21 Yang
Berkualitas Tinggi barangkali cuma angan-angan, seperti membangun rumah di atas angin.