Makalah DESENTRALISASI ASIMETRIS DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

DESENTRALISASI ASIMETRIS DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN

Oleh : Sri Nur Hari Susanto


Email : [email protected]
Abstract
The correlation between decentralization and deconcentration on the concept of a unitary state
and a federal state is not dichotomous, but rather forms a matrix or continuum relationship.
Within the continuum, it is possible to shift the pendulum swing both centripetally (concentrating
or cone in higher power) or centrifugal (spreading or dispersing into the power of smaller
government units). In the practice of relations between the center and the regions in various
countries, the pendulum swing of unitarism (unity) and federalism move in opposite directions.
Abstrak
Korelasi hubungan desentralisasi dan dekonsentrasi antara konsep negara kesatuan dengan
negara federal tidak bersifat dikhotomis yang saling berlawanan, melainkan membentuk sebuah
hubungan matriks atau kontinum. Dalam rentang garis kontinum tadi, sangat dimungkinkan
terjadinya pergeseran pendulum baik yang bersifat sentripetal (memusat atau mengerucut dalam
kekuasaan yang lebih tinggi) maupun yang sentrifugal (menyebar atau pemencaran kedalam
kekuasaan unit pemerintahan yang lebih kecil). Dalam praktek hubungan antara pusat dan daerah
di berbagai negara, pendulum unitarisme (kesatuan) dan federalisme saling bergerak ke arah
yang berlawanan.
A. Latar belakang .
Memperbincangkan hubungan pusat dan daerah dalam bingkai negara kesatuan cukup
menarik untuk dikaji. Masalah yang timbul dalam prakteknya adalah mengenai tarik menarik
kepentingan yang tidak dapat dihindarkan. Dalam konsep negara kesatuan, upaya pemerintah
pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas, sebab
kelaziman negara yang berbentuk kesatuan, maka sebagai pemegang otoritas pemerintahan
adalah pusat. Kewenangan yang diberikan oleh pusat kepada daerah sangat terbatas.
Dalam konteks di atas, pemerintah pusat atau nasional memposisikan pada kedudukan
tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari, dan tidak ada bi-
dang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan
yang lebih kecil (dalam hal ini daerah atau provinsi, kabupaten/kota). Pemerintah pusat
(nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota,
kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang
ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI),
bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), dan pelimpahan wewenang
tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu.

1
C.F. Strong menyatakan bahwa ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan ialah:
pertama, adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan kedua, tidak adanya
badan-badan lain yang berdaulat.* Kekuasaan pemerintah dalam suatu negara yang berbentuk
kesatuan seperti itu dapat diselenggarakan dengan cara terhimpun/ditumpuk (gathered)
secara sentralisasi (centralized)†, sehingga segala urusan dalam negara terletak di tangan
pemerintah pusat (central government), dan semua kewenangan pemerintah dilakukan oleh
satu pusat pemerintahan (single centralized government), atau oleh pusat bersama-sama
dengan organnya yang berada / dipencarkan di daerah-daerah‡. Pemencaran organ-organ
yang menjalankan kewenangan pemerintah pusat di daerah-daerah seperti itu, menurut Bagir
Manan dikenal sebagai dekonsentrasi (centralisatie met de deconcentratie), di mana semua
kewenangan menyelenggarakan pemerintahan daerah, termasuk kewenangan organ-organ
dalam membentuk peraturan perundang-undangan didasarkan atau sangat tergantung pada
pemerin-tah (pusat)§.
Pemerintah pusat juga mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaan-
nya kepada daerah berdasarkan hak otonomi. Ini dikenal sebagai desentralisasi, namun
kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Kajian terhadap kekuasaan pemerintahan, maka dalam pemerintahan yang konstitu-
sional dan demokrasi, pembagian kekuasaan merupakan dasar bagi pemerintahan yang
beradab. Pembagian kekuasaan dimaksud dapat merupakan pembagian kekuasaan yang
pokok (capital division of powers) antara legislatif, eksekutif dan yudikatif dan pembagian
kekuasaan atas dasar wilayah (areal division of powers). Pembagian kekuasaan yang terakhir
menyangkut baik desentralisasi khususnya maupun dekonsentrasi.
Pada masa kini frekwensi pembahasan mengenai masalah tersebut semakin meningkat.
Pembahasan desentralisasi dan dekonsentrasi memperoleh tempat terhormat dalam forum
internasional dan sejumlah pemikiran telah tumbuh dan berkembang di kalangan para ahli.
Desentralisasi pada umumnya dipandang sebagai instrumen guna pencapaian nilai-nilai
dalam masyarakat.

*
Lihat dalam Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 140.

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 145-146.

Martin H. Hutabarat (eds), Hukum dan Politk Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden Dan Otonomi Daerah,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 140.
§
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1980), hlm. 212-213.

2
Sebagai suatu sistim, desentralisasi saling berinteraksi dengan lingkungannya dimana
desentralisai beroperasi. Lingkungan tersebut dapat berupa faktor politik, sosio·budaya,
ekonomi, historis dan geogratis. Oleh karena itu, apabila kita ingin memahami desentralisasi
dengan baik diperlukan pendekatan ekologis. Dengan pendekatan itu memungkinkan
penganalisaan yang lebih dinamis dari pada pendekatan dari satu arah (uni directional
approach). Kedudukan "istimewa" bagi Daerah istimewa Aceh dan Yogyakarta misalnya,
dan mengapa keistimewaan Aceh berbeda dengan Yogyakarta tidak dapat diungkap dengan
ketentuan-ketentuan hukum semata, tetapi diperlukan penglihatan dari faklor-faktor non
hukum.
Menyadari desentralisasi sebagai suatu sistem dan pada akhirnya hanyalah merupakan
sub-sistem dari sistem sosial secara keseluruhan, maka dapat dimengerti apabila
beroperasinya desentralisasi dalam masyarakat juga bervariasi dari tempat dan waktu dalam
suatu negara dan diantara negara-negara. Sebagai suatu instrumen guna pencapaian nilai-nilai
dalam masyarakat, desentralisasi tidak saja dijalankan oleh pemerintah negara-negara
merdeka, tetapi juga pemerintahan kolonial. Adakalanya pemerintahan kolonial, sambil
melakukan pengawasan di seluruh wilayah dengan alat-alat komunikasi yang sederhana,
membangun sistem desentralisasi yang didasarkan pada struktur masyarakat tradisional.
B. Permasalahan.

Secara umum, bentuk negara-negara modern di dunia dewasa ini dapat diklasifikasikan
kedalam 2 (dua) bentuk yakni negara federal (federal states, bondstaat, bundesstaat) dan negara
kesatuan (unitary states, eenheidstaat)**. Dilihat dari jumlah dan persebarannya, negara yang
menganut kedua sistem ini nampaknya relatif berimbang. Hal ini menunjukkan bahwa paham
yang satu tidak cenderung dominan dibanding paham yang lain. Namun jumlah negara kesatuan
secara empirik lebih banyak daripada negara federal.

Berdasar uraian latar belakang di muka, maka isu sentral yang menjadi pokok bahasan
dalam tulisan ini adalah bagaimana konsep ideal desentralisasi dalam konteks Negara Kesatuan ?

**
Elazar menyebutkan bahwa kategorisasi negara modern menjadi dua bentuk yakni kesatuan dan republik, dapat
menimbulkan kekaburan tentang 3 (tiga) model asli dari sistem kepolitikan, yakni hierarchic, organic, dan
covenantal. Karakteristik dua model pertama lebih condong pada negara kesatuan, sedangkan model ketiga lebih
dekat dengan konsep negara federal. Elazar, Daniel J., “Contrasting Unitary and Federal Systems”, dalam
International Political Science Review / Revue internationale de science politique, Vol. 18, No. 3, Sage
Publications, 1997, hlm. 237.

3
C. Pembahasan
C.1. Negara Kesatuan dan Negara Federal..
Mengutip pendapat Shah dan Thompson, Hoessein menyebutkan bahwa jumlah negara
mengalami kenaikan dari 140 di tahun 1975 menjadi 192 di tahun 2001. Pada tahun yang sama
24 dari 192 negara berbentuk federal, sedang sisanya adalah negara kesatuan (168). Di antara
jumlah Negara kesatuan tersebut (168) terdapat 20 negara yang menganut desentralisasi dengan
ciri-ciri federal, termasuk Indonesia††.

Makna negara kesatuan sendiri relatif konsensual, dalam arti tidak mengundang perde-
batan sebagaimana terjadi dalam pendefinisian desentralisasi dan dekonsentrasi. Dalam hal ini,
negara kesatuan dimaknai sebagai negara yang diatur secara konstitusional sebagai satu unit
yang mandiri, dengan satu lembaga legislator yang diciptakan secara konstitusional pula.
Kekuasaan politis dari negara kesatuan dapat ditransfer kepada pemerintahan yang lebih rendah
namun pemerintah (pusat) tetap memegang hak dasar untuk mencabut kembali kewenangan yang
telah ditransfer tersebut. Pemerintah dapat menambah atau mengurangi kewenangan tanpa
persetujuan dari lembaga bersangkutan. Demikian pula, pemerintahan daerah dapat dibentuk atau
dihapus, semua tergantung pada kemauan poltik di level pusat. ‡‡ Berdasarkan makna tersebut
nampak adanya keterkaitan antara bentuk negara kesatuan dengan desentralisasi. Disini,
desentralisasi dapat diaplikasikan untuk unit pemerintahan yang lebih rendah asal didudukkan
dalam kerangka negara kesatuan. Pada saat yang sama, desentralisasi tersebut dapat diikuti pula
dengan dekonsentrasi, devolusi, ataupun delegasi.

Pemahaman yang serupa dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. Ia memahami negara


kesatuan dan negara federal dari susunannya, dan menyatakan bahwa negara kesatuan ialah
negara yang bersusun tunggal, baik dilihat dari segi penduduknya, wilayahnya, maupun

††
Meskipun kedua konsep tersebut bisa dibedakan, namun ada persamaan diantara keduanya, yakni keinginan untuk
mempertemukan berbagai perbedaan dan kepentingan dalam sebuah bingkai politik bernama negara. Itulah
sebabnya, baik negara federal maupun negara kesatuan sering digunakan jargon unity in diversity atau diversity in
unity secara bergantian. Selain jargon tersebut, negara kesatuan yang cenderung mendorong desentralisasi dapat
pula mengembangkan jargon unity without uniformity; sedangkan negara federal yang tetap memperkuat peran
pemerintah pusat lebih tepat menggunakan jargon diversity without fragmentation. Tentang jargon-jargon ini, lihat
http://bahai-library.com/theses/unity.diversity.html
‡‡
Tentang makna negara kesatuan ini dapat diperoleh di berbagai sumber, antara lain: http://www.spiritus
temporis.com/unitary-state/ ; http://www.economicexpert.com/a/Unitary:state.htm ; dan
http://en.wikipedia.org/wiki/Unitary_state.

4
pemerintahan dan kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahan pada negara kesatuan, dapat
digunakan sistem sentralisasi atau sistem desentralisasi§§.

Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan desentralisasi yang baru,
kewenangan dan urusan pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan
kewenangan dan urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian, demi
mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan” suatu negara bangsa (nation-state),
maka pemerintah pusat masih memiliki hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan
intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi di
daerah. Hak ”intervensi” Pusat atas Daerah ini dapat dijalankan secara langsung oleh instansi
tingkat Pusat (departemen/ LPND), maupun secara tidak langsung melalui aparatnya di daerah.

Secara historis, UU No. 5 Tahun 1974 dan UU tentang pemerintahan daerah pada masa
sebelumnya, maka alat kelengkapan Pusat di Daerah dijalankan oleh instansi vertikal yang
dibentuk sebagai kepanjangan tangan instansi pemerintah di tingkat Pusat. Sedangkan menurut
UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No.23 Tahun 2014, perangkat / wakil
pemerintah Pusat di daerah adalah Gubernur, disamping instansi vertikal yang khusus
menjalankan urusan-urusan absolut pemerintah Pusat. Ini berarti pula bahwa provinsi dalam
koridor otonomi daerah memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah (aparat
dekonsentrasi), namun pada saat yang bersamaan juga sebagai pelaksana otonomi daerah itu
sendiri (aparat desentralisasi); sedangkan pada kabupaten/kota tidak lagi melekat fungsi
dekonsentrasi.

Mengingat tugas desentralisasi provinsi semakin mengecil, maka fungsi-fungsi


koordinasi, pembinaan, dan pengawasan (implikasi tugas dekonsentrasi) harus diperkuat. Hal ini
dimaksudkan untuk menjamin agar roda otonomi daerah yang bergulir di tingkat kabupaten/kota
tidak salah arah atau menimbulkan ekses-ekses yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, fungsi
dekonsentrasi provinsi menjadi faktor kunci terhadap sukses atau gagalnya implementasi
desentralisasi politik yang seluas-luasnya (devolution).

§§
Meskipun prinsip sentralisasi dan desentralisasi memiliki probabilitas yang sama untuk digunakan di negara
kesatuan, namun dalam realitanya, karena dorongan demokratisasi yang menuntut pemerintah untuk memberikan
kesempatan yang lebih besar kepada publik untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, maka banyak
negara kesatuan yang kemudian meningkatkan derajat desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada unit
pemerintahan lebih rendah. Miriam Budiardjo,Ibid.

5
Dalam rangka mencapai keseimbangan sekaligus mengontrol dampak negatif yang
mungkin muncul dari pelaksanaan desentralisasi tersebut, maka logis bila pemerintah pusat
dalam negara kesatuan masih memainkan peran dalam siklus kebijakan pembangunan di daerah
melalui implementasi fungsi dekonsentrasi. Dengan kata lain, dekonsentrasi dapat dipandang
sebagai sebuah komponen yang terintegrasi dengan desentralisasi. Hal ini bertujuan agar daerah
yang menyelenggarakan fungsi desentralisasi tidak menjadi semakin selfish atau memiliki ego
yang berlebihan dalam memikirkan daerahnya sendiri. Dengan penguatan dekonsentrasi,
kebijakan pembangunan sebuah daerah dapat selalu ditempatkan dalam konteks pembangunan
yang lebih luas dan strategis (embedding local policy into broader context of national
development and interest). Disinilah manfaat dekonsentrasi sebagai penyeimbang arus
desentralisasi yang begitu deras. Sementara di negara federal, keseimbangan antara pemerintah
pusat (federal) dengan pemerintah negara bagian juga menjadi issu yang penting. Sebagian besar
menggunakan instrumen desentralisasi untuk mencapainya, namun beberapa negara lain seperti
pemerintah Malaysia, lebih suka menerapkan dekonsentrasi dalam mengatur hubungan dengan
kerajaan atau negara bagian di wilayahnya***.

Secara sederhana dapat diamati bahwa pada umumnya tidak ada korelasi langsung antara
bentuk negara dengan derajat desentralisasi. Pada bagian dibawah akan diuraikan lebih jauh
tentang karakteristik negara kesatuan dan federal, serta konsep otonomi yang dapat diterapkan
pada kedua bentuk negara tersebut. Dengan merangkum berbagai sumber, Hoessein (tanpa
tahun) memberikan definisi yang lengkap tentang negara kesatuan sebagai berikut :

“Negara Kesatuan adalah negara tunggal (unitaris); diorganisasikan di bawah sebuah


pemerintah pusat (Strong 1951), seluruh kekuasaan pemerintahan konstitusional
terpusat di tingkat nasional (Baradat 1979); dan the habitual exercise of supreme
legislative authority by one central power (Dicey 1950). Pemerintah sub nasional tak
memiliki pouvoir constituant (Kranenburg 1955). Pemerintah sub nasional adalah
ciptaan pemerintah dan kekuasaannya ditentukan dengan undang-undang. Hubungan
antara pemerintah sub nasional dengan pemerintah adalah hubungan sub-ordinasi”.
Sebagai sebuah konsep, negara kesatuan sering diposisikan secara berlawanan dengan
negara federal atau serikat. Sebuah negara dikategorikan sebagai negara federal jika negara-

***
Robertson Work, Overview of Decentralization Worldwide: A Stepping Stone to Improved Governance and
Human Development, UNDP : 2nd International Conference on Decentralization Federalism: The Future of
Decentralizing States ?, 2002, hlm. 11.

6
negara bagian††† dalam negara itu memiliki kekuasaan yang melekat (inherent authorities) dan
tidak dapat ditarik oleh pemerintah pusat / federal. Di negara federal seperti ini, tidak ada
tingkatan pemerintahan yang menjadi sub-ordinasi dari tingkatan pemerintahan lainnya, dan
tidak ada pula suatu pemerintahan tertentu yang dapat melakukan konsentrasi atau pemencaran
kewenangan secara sepihak (unilateral). Federalisme sebagai sebuah prinsip institusional
mengidentifikasikan diri sebagai antitesa terhadap sentralisasi. Dalam kaitan ini Baldi ‡‡‡
menyatakan sebagai berikut :

Federalism denies the existence of just one “center” able to centralize or decentralize
power, and it develops, instead, a multi-centered and noncentralized structure of
government, where each center is given a guaranteed portion of power which can not be
removed by the others. (Federalisme menyangkal keberadaan hanya satu "pusat" yang
mampu memusatkan atau mendesentralisasi kekuasaan, dan justru mengembangkan
struktur pemerintahan yang multi-terpusat dan tidak terpusat, di mana setiap pusat
diberikan bagian kekuasaan yang dijamin yang tidak dapat dihilangkan oleh pemerintah
lainnya).
Menarik untuk menyimak pernyataan Lijphart§§§ bahwa federalisme memang sering
diikuti dengan desentralisasi, namun federalisme bukan prasyarat untuk desentralisasi, dan
sebaliknya. Desentralisasi dapat terjadi pada sistem kenegaraan yang tidak mengenal
federalisme, dan sebaliknya, federalisme maupun sistem negara kesatuan dapat berkarakter
desentralisasi ataupun sentralisasi. Pernyataan ini menegaskan bahwa bentuk negara tidak
memiliki hubungan langsung dengan manajemen pemerintahan secara sentralistis atau
desentralistis. Dalam kaitan ini, King**** dalam kalimat aslinya menyatakan:

†††
Istilah “negara bagian” (sub-division of country atau sub-national) berbeda-beda di setiap negara federal. Istilah
ini merujuk pada State di Amerika Serikat, Brazil dan India; Kantone atau Canton di Swiss; Federated Republics di
Rusia; Länder di Jerman; Kerajaan Negeri di Malaysia; Province di Argentina, Kanada dan Pakistan; Emirates di
UEA; Community di Belgia; Island di Komoro; Region di Ethiopia; dan sebagainya. Dilihat dari susunannya,
Budihardjo (1983) mendefinisikan sebagai negara yang tersusun dari gabungan beberapa negara yang berdiri
sendiri dengan mengadakan ikatan yang efektif, sehingga terbentuk negara baru. Dengan kata lain, susunan
negaranya adalah jamak. Dalam Negara serikat / federasi ini terdapat dua carapembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dengan negara bagian, yakni: 1) memerinci dan menyebut satu per satu kekuasaan (enumerated
power) untuk pemerintah federal, sedang kekuasaan selebihnya (reserved power) dimiliki atau diserahkan kepada
negara bagian. Cara ini dimaksudkan untuk memperkuat Negara bagian; dan 2) memerinci kekuasaan untuk negara
bagian, dan sisa kekuasaan diserahkan kepada pada pemerintah federal. Dalam hal ini, kekuasaan negara bagian
dibatasi, sedangkan kekuasaan pemerintah pusat (federal) diperluas atau diperkuat.
‡‡‡
Brunetta Baldi, Beyond the Federal-Unitary Dichotomy, Working paper, Institute of Governmental Studies,
University of California, Berkeley, 1999, hlm. 4.
§§§
Lihat dalam Robertson Work, Op.Cit., hlm.7 ; Brunetta Baldi, Op.Cit., hlm. 12
****
Brunetta Baldi, Op.Cit., hlm. 12

7
“there is no observed degree of centralization/decentralization which commonly and
distinctly marks off federations from so-called unitary states”. (“Tidak ada yang diamati
tingkat terpusat / desentralisasi yang secara umum dan jelas yang menandai federasi dari
apa yang disebut negara kesatuan”).
Pernyataan senada diungkapkan Azfar, et.al.†††† , bahwa negara federal tidak selamanya
lebih terdesentralisasi. Hanya saja, memang terdapat kecenderungan bahwa di negara-negara
federal derajat sentralisasinya lebih rendah dibandingkan di negara kesatuan, meski harus diakui
pula bahwa di kedua bentuk negara tersebut tidak bisa dihindarkan adanya urusan-urusan yang
masih dikelola secara sentralistis. Beberapa urusan tertentu bahkan hanya dapat dilakukan secara
sentralisasi‡‡‡‡.

2. Desentralisasi Simetris dan Asimetris.

Smith sebagaimana disitir oleh Azfar et.al§§§§. , mengatakan bahwa sebuah negara
kesatuan dapat melakukan devolusi terhadap urusan-urusan yang penting, sehingga akan
memunculkan bentuk baru negara yakni semi-federal (quasi federal arrangement). Model ini
dalam beberapa hal bersifat seragam (uniform /symmetrical ) namun dapat pula tidak seragam
(asymmetrical). Contoh dari model quasi-federal arrangement ini adalah Philipina dan
Indonesia. Pemerintah Philipina memberi otonomi yang lebih luas kepada Muslim Mindanao dan
Cordillera (1989), namun tetap mempertahankan bentuk yang seragam (simetris) untuk wilayah
lainnya. Kasus serupa terjadi di Indonesia yang memberikan otonomi khusus (asimetris) kepada
Provinsi Aceh dan Provinsi Papua,***** namun memberlakukan sistem yang sama (simetris) untuk

††††
Azfar, Omar, Satu Kähkönen, Anthony Lanyi, Patrick Meagher, and Diana Rutherford, Decentralization,
Governance and Public Services, The Impact Of Institutional Arrangements: A Review of the Literature, IRIS
Center, University of Maryland, College Park. September, 1999, hlm. 8.
‡‡‡‡
Bandingkan dengan Pasal 10 Ayat (1) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merumuskan :
(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi: a. politik luar
negeri; b.pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
§§§§
Azfar, et.al., Op.Cit, hlm.8
*****
Otonomi Khusus bagi Aceh dan Papua masing-masing diatur dalam UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana diganti dengan
UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 21/2001 jo UU No. 35 Tahun 2008 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua.

8
wilayah lainnya (kecuali Jakarta sebagai Ibukota Negara dan Daerah Istimewa Yogyakarta †††††)
Kondisi ini sering dikenal dengan istilah asymmetric decentralization‡‡‡‡‡.

Mencermati beberapa pandangan diatas, semakin kabur batas-batas antara negara


kesatuan dan negara federal, terlebih lagi jika harus dikaitkan dengan derajat desentralisasinya.
Berdasarkan khazanah literatur, memang tidak ada bentuk negara kesatuan atau negara federal
yang murni. Eko Prasojo§§§§§ menulis bahwa tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat
bersifat unitaris (kesatuan) atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara
pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak yang dari satu
kontinuum ke kontinuum lainnya, dari kontinuum unitaris ke kontinuum federalis dan
sebaliknya. Titik temu keseimbangan antara gerakan sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan
pusat dan daerah, dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan
kedudukan pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah,
aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian (perimbangan) sumberdaya
keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang terjadi antar level pemerintahan.

Mengambil analogi tentang hubungan desentralisasi dan dekonsentrasi, maka korelasi


antara konsep negara kesatuan dengan negara federal juga tidak bersifat dikhotomis yang saling
berlawanan, melainkan membentuk sebuah hubungan matriks atau kontinuum. Dalam rentang
garis continuum tadi, sangat dimungkinkan terjadinya pergeseran pendulum baik yang bersifat
sentripetal (memusat atau mengerucut dalam kekuasaan yang lebih tinggi) maupun yang
sentrifugal (menyebar atau pemencaran kedalam kekuasaan unit pemerintahan yang lebih kecil).
†††††
Diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai
Ibukota NKRI (sebagai pengganti UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 146) dan UU No. 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan DIY.
‡‡‡‡‡
Istilah lain yang merujuk pada pengertian yang kurang lebih sama adalah asymmetric regionalism atau
asymmetric federalism. Contoh dari asymmetric regionalism terjadi di Spanyol yang memberi otonomi kepada
pemerintah sub-nasional berdasarkan permintaan (autonomy on demand). Oleh karenanya, setiap pemerintah sub-
nasional bisa memiliki luas kewenangan dan rincian kewenangan yang berbeda-beda. Contoh yang lain terjadi di
Inggris Raya, dimana Inggris lebih menerapkan administrative deconcentration, sedangkan Wales memilih
desentralisasi, dan prinsip neo-regionalism diterapkan di Skotlandia. Lihat: “Politica Comparata”, Center for the
Study of Political Change Website, http://www.gips.unisi.it/circap/politica-comparata ; Lihat juga: Jeffery (2009,
289-290). Dalam praktek di berbagai negara, asymmetric decentralization tadi menjelma dalam berbagai variasi.
Sebagai contoh, di China juga terdapat bentuk desentralisasi asimetris yg diterjemahkan sebagai kombinasi antara
desentralisasi ekonomi kepada daerah dengan desentralisasi politik kepada partai-partai politik (Chien, 2007:
275).
§§§§§
Eko Prasojo, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia : Antara
Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Administrasi Negara,
Jakarta: FISIP-UI, 2008.

9
Menurut Prasojo, dalam praktek hubungan antara pusat dan daerah di berbagai negara, pendulum
unitarisme dan federalisme saling bergerak ke arah yang berlawanan. Bahkan sejak tahun
1947seorang sarjana hukum Jerman Bodo Denewitz mengatakan bahwa federalisme dan
unitarisme adalah dua konsep kembar yang tidak mungkin membicarakan satu tanpa
membicarakan yang lainnya.

Ilustrasi menarik dibangun oleh Buchanan****** yang menyiratkan bahwa model negara
kesatuan dan model federal tidak akan menjadi dua kutub yang berlawanan secara diametral,
melainkan cenderung akan bergerak pada satu titik keseimbangan (equilibrium point) yang
disebut competitive federalism. Wagner†††††† memberikan deskripsi competitive federalism
sebagai :

“…an intellectual construction that locates governance within an openly competitive


approach to processes of social organization. This construction stands in contrast to that
of dual federalism, which envisions different levels of government as possessing sole,
monopolistic authority in their assigned areas. Competitive federalism allows for
different levels of government to compete to provide services, maximizing the number of
people whose preferences are met”. (…konstruksi intelektual yang menempatkan tata
kelola dalam pendekatan persaingan terbuka untuk proses organisasi sosial. Konstruksi
ini sangat berbeda dengan federalisme ganda, yang memimpikan tingkat pemerintahan
yang berbeda sebagai satu-satunya yang memiliki otoritas monopolistik di wilayah yang
ditugaskan kepada mereka. Federalisme yang kompetitif memungkinkan berbagai tingkat
pemerintahan bersaing untuk menyediakan layanan, memaksimalkan jumlah orang yang
preferensi terpenuhi ”).
Model Buchanan sendiri dibangun dalam konteks untuk mendorong reformasi
konstitusional di suatu negara agar menjadi lebih demokratis namun efektif dan efisien. Jika
kondisi saat ini (status quo) diasumsikan sebagai negara kesatuan yang tersentralisasi (yakni
pada titik ekstrim kiri), maka reformasi harus mencakup upaya devolusi dari kekuasaan asli
(genuine authority) dari pusat kepada unit-unit pemerintahan yang lebih rendah. Sebaliknya, jika
kondisi saat ini diasumsikan sebagai sebuah unit politik yang sangat otonom, yang meskipun
berdekatan namun memiliki kemungkinan untuk melepaskan diri dari ikatan yang lebih besar
(yakni pada titik ekstrim kanan), maka reformasi justru harus berupa sentralisasi kekuasaan /

******
Buchanan, James M., Federalism as an Ideal Political Order and an Objective for Constitutional Reform, in
Publius, Vol. 25, No. 2 (Spring). Oxford University Press., 1995, hlm. 24
††††††
Wagner, Richard,“Chapter 2: Competitive Federalism in Institutional Perspective”, dalam Racheter, Donald P.
and Richard Wagner, ed. Federalist Government in Principle and Practice, Kluwer Academic Publisher, 2001,
http://www.limitedgovernment.org/books/fe deralist_gov.html

10
kewenangan, atau transfer kekuasaan asli (genuine authority) dari unit-unit pemerintahan yang
lebih kecil kepada pemerintah nasional. Kedua titik tersebut cenderung akan bergerak, sehingga
struktur negara yang efektif berada di tengah-tengah atau diantara kedua titik ekstrim tersebut,
yaitu pada wilayah yang disebut competitive federalism.

Salah satu kritik utama terhadap negara kesatuan datang dari Patrick Meagher dan
Mancur Olson‡‡‡‡‡‡ yang menyebutkan bahwa negara kesatuan atau rezim yang sentralistis sering
mengalami kekurangan sarana (misalnya infrastruktur komunikasi) untuk mengatur wilayah
yang luas. Untuk memecahkan masalah ini, disarankan agar dibentuk unit-unit pemerintahan
yang lebih kecil. Permasalahan lain dikemukakan Devas§§§§§§ yakni lemahnya kontrol yang
dilakukan pusat terhadap unit-unit pemerintahan dibawahnya. Seringkali, kontrol pusat justru
menimbulkan masalah yang lebih banyak dari pada yang dapat diselesaikan, misalnya adanya
keterlambatan, ongkos/biaya ekstra, atau kemungkinan perilaku yang kurang terpuji.

Kelemahan negara kesatuan secara agak lengkap dipaparkan dalam Politica Comparata
(Center for the Study of Political Change, 2008). Kelemahan pertama adalah persoalan ”jarak”,
dimana pemerintahan diatur dari pusat namun dijalankan di level lokal. Model manajemen top
down juga juga berpotensi menimbulkan komplikasi. Dalam model ini, penunjukkan pejabat-
pejabat tertentu dilakukan oleh pusat disertai dengan rotasi secara rutin untuk menghindari
adanya sindrom “going native” (lebih condong memperjuangkan kepentingan lokal), kebutuhan
untuk selalu menyesuaikan program pusat dengan budaya lokalisme, serta kemungkinan
munculnya tensi antara pusat dan daerah. Sebaliknya, paham federalisme sering dipahami
sebagai sumber dari meruncingnya konflik etnik yang memperkuat gerakan separatis. Bentuk
negara ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan antar wilayah, serta kadangkala kurang
efektif dan efisien, khususnya di negara-negara berkembang dengan infrastruktur yang
minim******* . Contoh yang diajukan oleh Work adalah Srilanka, sebuah negeri multi-etnik, multi-
agama dan multi-bahasa yang sedang dalam proses mengadopsi “Devolution Package” yang
komprehensif dalam rangka mereformasi konstitusinya, dan pada akhirnya memilih sistem
federal. Banyak yang berpendapat bahwa penerapan bentuk negara federal akan memperburuk
gerakan separatis dan anti demokrasi, sekaligus menempatkan negara dalam sebuah resiko besar.
‡‡‡‡‡‡
Azfar et.al.,Op.Cit., hlm. 8
§§§§§§
Nick Devas, The Challenges of Decentralization, paper presented at Global Forum on Fighting Corruption,
Brasília, June, 2005, hlm. 5, http://bvc.cgu.gov.br/bitstream/123456789/2 037/1/nickdevas-2.pdf.
*******
Robertson Work, Op.Cit., hlm. 8

11
Dengan kondisi yang ada saat ini, banyak pihak meyakini bahwa dengan kekuasaan pusat yang
kuat maka pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan. Pada akhirnya, banyak
kajian yang menyimpulkan bahwa tidak ada alasan secara ekonomis maupun politis yang cukup
meyakinkan untuk membagi Srilanka menjadi 9 (sembilan) negara bagian.

Negara kesatuan (maupun negara federal) bisa terdesentralisasi atau tersentralisasi,


namun kecenderungan global adalah pergerakan kearah negara yang desentralistis. Sebagai
contoh, Myanmar adalah salah satu contoh ekstrim negara yang dikategorikan sebuah rezim yang
sangat sentralistis di Asia. Meskipun kekuasaan negara masih dipegang oleh junta militer, namun
tetap saja terdapat hasrat untuk melakukan reformasi dengan memberikan otonomi kepada
pemerintahan yang lebih rendah. Desentralisasi di Myanmar ini ditujukan untuk meningkatkan
partisipasi publik, akuntabilitas birokrasi, efisiensi administratif, serta respon terhadap kebutuhan
masyarakat, disamping tujuan-tujuan lainnya†††††††. Demikian pula di Eropa yang diwakili
Inggris dan Perancis. Kedua negara ini pada masa lampau sangat kental nuansa sentralisasinya,
malahan lebih tepat disebut sebagai negara yang otoriter.‡‡‡‡‡‡‡ Dalam era setelah tumbangnya
rezim monarkhi baik di Perancis maupun di Inggris, karakteristik Perancis masih sangat
sentralistis dan seragam§§§§§§§, sementara Inggris Raya juga memiliki reputasi sebagai negara
yang paling sentralistis di Eropa********.

†††††††
Fritzen, Scott A. and Patrick W. O. Lim, Problems and Prospects of Decentralization In Developing
Countries, LKY School of Public Policy, National University of Singapore, May, 2006, hlm. 1.
‡‡‡‡‡‡‡
Sebagai ilustrasi, pernyataan Raja Louis XIV (5 September 1638 – 1 September 1715) dari Perancis yang
sangat terkenal berbunyi: “L'État c'est Moi” (Negara adalah saya). Louis XIV sering dikenal dengan sebutan the
Sun King (French: le Roi Soleil). Louis XIV sangat percaya dengan hak suci raja (divine right of kings), sebuah
doktrin politik dan agama tentang absolutisme raja. Menurut paham ini, raja mendapatkan kekuasaan langsung
dari Tuhan. Atas dasar paham ini, Louis XIV melanjutkan pemerintahan secara sangat sentralistis, dan terus
berusaha mematahkan kekuatan di level provinsi yan gsering menjelma dalam bentuk pemberontakan. Saat akan
meninggal, Louis XIV mengatakan: Je m'en vais, mais l'État demeurera toujours (I depart, but the State shall
always remain).
Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Divine_right_of_kings , http://en.wikipedia.org/wiki/Louis_XIV_of_France
Kondisi Inggris pada abad pertengahan (middle ages) juga sangat serupa. Sebagai contoh, Raja James I (the King
of England, 19 June 1566 – 27 March 1625), menulis dua karya berjudul The Trew Law of Free Monarchies dan
Basilikon Doron (1597-1598) yang memperkokoh basis ideologi untuk sistem monarkhi. Dalam karya pertama
disebutkan tentang teori absolut kerajaan, sehingga raja dapat membuat hukum berdasarkan hak-hak istimewanya.
Dalam salah satu bagian, ia menulis sebagai berikut: ”[Kings arose] before any estates or ranks of men, before any
parliaments were holden, or laws made, and by them was the land distributed, which at first was wholly theirs.
And so it follows of necessity that kings were the authors and makers of the laws, and not the laws of the kings”.
Sedangkan dalam karya kedua lebih banyak dikemukakan prinsip-prinsip yang akan dijadikan pedoman dalam
mengatur kerajaan. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/James_I_of_England.41
§§§§§§§
Politica Comparata, Ibid.
********
Jeffery, Charlie, and Daniel Wincott, “Devolution in the United Kingdom: Statehood and Citizenship in
Transition”, dalam Publius: TheJournal of Federalism, Vol. 36 No. 1. Oxford University Press., 2006, hlm. 3.

12
Meskipun demikian, keduanya saat ini justru bisa menjadi contoh dalam keberhasilannya
membangun sistem demokrasi melalui pemberian otonomi kepada unit pemerintahan dibawah
pemerintah pusat. Kecenderungan terjadinya pergeseran ini dinyatakan secara eksplisit pula oleh
Goldsmith dan Newton†††††††† , sebagai berikut :

“Central government has always been powerful in Britain, which, with France, is one of
the most highly centralised, unitary states in the western world, but in the last few years
the centre has further consolidated its power by increasing its legal, political, and
financial control over local authorities.” (Pemerintah pusat selalu berkuasa di Inggris,
yang juga dengan Perancis, adalah salah satu negara kesatuan yang paling tersentralisasi
di dunia barat, tetapi dalam beberapa tahun terakhir pusat ini semakin
mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan meningkatkan hukum, politik, dan kontrol
keuangan atas otoritas lokal).
Kasus di Belanda tidak jauh berbeda. Hingga akhir 1970-an, sistem pemerintahan
Belanda dapat dikatakan sangat sentralistis. Namun mulai era 1980-an, rezim sentralistis ini
menunjukkan berbagai kelemahan mendasar, sehingga pada tahun 1980 dan 1982 pemerintah
pusat mengeluarkan rencana kebijakan untuk mendesentralisasikan administrasi Negara secara
radikal, serta memperkuat posisi pemerintah daerah. Untuk mencapai pemerintahan yang lebih
desentralistis tadi, digulirkanlah tiga perubahan kebijakan ‡‡‡‡‡‡‡‡, yakni:

1) menghapus perundangan level pusat yang mengatur tentang penyelenggaraan fungsi


pemerintah daerah;

2) mengganti pola specific grant dengan pola pembiayaan yang tidak menimbulkan ekses
intervensi terhadap pemerintah daerah dalam mengambil keputusan; serta

3) penghapusan pedoman administrasi (juklak-juknis) baik yang diterbitkan oleh pemerintah


pusat maupun pemerintah tingkat provinsi.

Contoh-contoh dari sistem kenegaraan yang berlaku di berbagai negara di atas kurang
mendukung adanya upaya untuk mengkaitkan konsep negara kesatuan dan federal dengan derajat
sentralisasi atau desentralisasi. Meskipun tidak ada korelasi yang signifikan antar kedua bentuk
negara, namun bentuk negara kesatuan diharapkan lebih komprehensif dalam melakukan

††††††††
Goldsmith, Mike and Ken Newton, “Central-local government relations: The irresistible rise of centralized
power”, dalam West European Politics, Vol. 6 No. 4., 1983, hlm. 216.
‡‡‡‡‡‡‡‡
Frederik Fleurke and Rudie Hulst, “A Contingency Approach to Decentralization”, dalam Public
Organization Review, Vol. 6. Springer Science + Business Media, 2006, hlm. 40

13
reformasi menuju desentralisasi. Sebab, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan,
khususnya dalam hal pembelanjaan anggaran negara, masih berada di tangan pusat. Oleh
karenanya, reformasi desentralisasi yang inisiatif berasal dari pusat (top-down) pasti dilakukan
dengan mempertimbangkan efisiensi. Pada saat yang sama, dorongan dan tuntutan terhadap
desentralisasi yang datang dari bawah (bottom-up), akan berorientasi pada upaya memperbesar
demokrasi. Bahkan dalam bentuk negara yang sama, variasi desentralisasinya bisa jadi sangat
berlainan. Selain itu, dapat dipahami pula dari paparan diatas bahwa model desentralisasi baik di
negara kesatuan maupun negara federal sangatlah bervariasi. Di negara federal, masalah tentang
fiskal mungkin sama dengan di negara kesatuan, namun tanggung jawab atas pemecahan
masalah sudah sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah di berbagai level.

Fakta-fakta yang diungkapkan diatas mengarah pada sebuah pemahaman tidak adanya
satupun model desentralisasi dan dekonsentrasi yang seragam antar negara, bahkan antar negara
dengan bentuk yang sama. Kondisi yang lebih lazim adalah bahwa sebuah negara menerapkan
desentralisasi dan dekonsentrasi secara simultan, dan pada saat yang bersamaan juga menerapkan
beberapa variasi dari desentralisasi. Dengan demikian, asymmetric decentralization
(desentralisasi yang tidak sama/setara) cenderung lebih banyak dijadikan pilihan terbaik. Pilihan
seperti ini secara rasional dapat dimengerti mengingat adanya fakta bahwa dalam sebuah negara
(yang berbentuk kesatuan sekalipun), setiap daerah tidak memiliki karakteristik, potensi, latar
belakang sejarah, atau setting politik yang sama. Itulah sebabnya, pengaturan yang berbeda
menjadi sebuah tuntutan yang wajar.

Konsep asymmetric decentralization sendiri berkembang dari konsep tentang asymmetric


federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton§§§§§§§§ pada tahun 1965 . Menurut Tillin,
terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto asymmetry dan de jure asymmetry. Jenis
pertama merujuk pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi,
budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang
timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan asimetri kedua merupakan produk
konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan
dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam
wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja.
§§§§§§§§
Lihat dalam Louise Tillin, “United in Diversity ? Asymmetry in Indian Federalism”, dalam Publius:
TheJournal of Federalism, Volume 37 Number 1. Oxford University Press., 2006, hlm. 46-48

14
Kemungkinan terjadinya asymmetric decentralization ini menurut Syarif Hidayat lebih
besar di negara kesatuan, sementara di negara federal cenderung menerapkan pola umum berupa
otonomi penuh. Sedangkan dalam negara kesatuan, variasi otonomi yang dapat diberikan kepada
daerah meliputi tiga bentuk kemungkinan, yakni otonomi luas, otonomi terbatas, serta otonomi
khusus. Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka
asymmetric decentralization telah terjadi.

Tabel
Perbandingan Desentralisasi dan Otonomi di Negara Federal dan Negara Kesatuan
BENTUK NEGARA DESENTRALISASI OTONOI DAERAH

Separation of powers (pemi-


Federal sahan kekuasaan/ kewenang-  Otonomi penuh
an)
Division / distribution of  Otonomi luas
Kesatuan powers (pembagian kekuasa-  Otonomi terbatas
an / kewenangan).  Otonomi khusus
Sumber: Syarif Hidayat (bahan presentasi tanpa tahun, tanpa judul)
Berdasarkan deskripsi diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pada
negara kesatuan dan negara federal tidak dapat dibedakan secara mendasar. Kesimpulan seperti
ini misalnya dikatakan oleh Work********* sbb :

”There is no broad-based generalization that can be made about the correlation of


federal/unitary states and decentralization”. ("Tidak ada generalisasi berbasis luas yang
dapat dibuat tentang korelasi negara federal / kesatuan dan desentralisasi").
Fakta menunjukkan bahwa negara federal dapat bersifat sangat sentralistis, seperti
Malaysia, dan sebaliknya negara kesatuan seperti China justru memiliki derajat desentralisasi
yang relatif tinggi. Meskipun demikian, ada sebuah trend yang terjadi di kedua bentuk negara,
yakni pergerakan bandul sistem politik yang lebih mengarah pada penguatan desentralisasi serta
keseimbangan wewenang dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Hal ini berimplikasi pada tuntutan untuk mengurangi campur tangan atau wewenang pusat, yang
selama ini dikemas dalam kerangka dekonsentrasi. Pergerakan bandul desentralisasi itu sendiri
memiliki kecepatan dan variasi yang berbeda di masing-masing negara, yang mendorong
terjadinya konstruksi desentralisasi secara asimetris.

*********
Robertson Work, Op.Cit., hlm. 11

15
D. Penutup.
1. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pokok simpulan dalam tulisan ini sebagai
berikut :
a) Desentralisasi asimetris bukanlah merupakan penyimpangan dari ide dasar desentralisasi,
tetapi justru dapat memperkuat tujuan desentralisasi yakni untuk menciptakan efektivitas
dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di
tingkat lokal. Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat
dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi,
kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan
nasional.
b) Mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi politik,
sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda
(asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan
daerah terhadap pemerintah nasional. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di
negara federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar
dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi
ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi kultural
untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity.
c) Dimensi terpenting dari variasi/format desentralisasi adalah mencapai esensi
desentralisasi, yakni terwujudnya keseimbangan peran dan tanggungjawab antara pusat
dan daerah. Keseimbangan baru ini dapat terwujud dengan kemungkinan pusat semakin
mengurangi tingkat intervensinya serta memperluas otonomi kepada pemerintah daerah.
2. Saran
a) Membangun sistem demokrasi melalui pemberian otonomi kepada unit pemerintahan di
bawah pemerintah pusat, meskipun tidak ada korelasi yang signifikan antar kedua bentuk
negara, namun bentuk negara kesatuan diharapkan lebih komprehensif dalam melakukan
reformasi menuju desentralisasi. Sebab, tanggung jawab akhir penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya dalam hal pembelanjaan anggaran negara, masih berada di
tangan pusat.

16
b) Reformasi desentralisasi yang inisiatif berasal dari pusat (top-down) pasti dilakukan
dengan mempertimbangkan efisiensi. Pada saat yang sama, dorongan dan tuntutan
terhadap desentralisasi yang datang dari bawah (bottom-up), akan berorientasi pada
upaya memperbesar demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

17
Abu Daud Busroh, 2001, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Azfar, Omar, Satu Kähkönen, Anthony Lanyi, Patrick Meagher, and Diana Rutherford, 1999,
Decentralization, Governance and Public Services, The Impact Of Institutional
Arrangements: A Review of the Literature, IRIS Center, University of Maryland,
College Park. September, Maryland.
Baldi, Brunetta, 1999, Beyond the Federal-Unitary Dichotomy, Working paper, Institute of
Governmental Studies, University of California, Berkeley.
Buchanan, James M., 1995, Federalism as an Ideal Political Order and an Objective for
Constitutional Reform, in Publius, Vol. 25, No. 2 (Spring). Oxford University
Press., Oxford.
Eko Prasojo, 2008, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di
Indonesia : Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap dalam Ilmu Administrasi Negara, FISIP-UI, Jakarta.
Devas, Nick, 2005, The Challenges of Decentralization, paper presented at Global Forum on
Fighting Corruption, Brasília, http://bvc.cgu.gov.br/bitstream/123456789/2
037/1/nickdevas-2.pdf.
Elazar, Daniel J., 1997, “Contrasting Unitary and Federal Systems”, dalam International
Political Science Review / Revue internationale de science politique, Vol.
18, No. 3, Sage Publications.
F. Isjwara, 1980, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Bandung.

Fleurke, Frederik and Rudie Hulst, 2006, A Contingency Approach to Decentralization, dalam
Public Organization Review, Vol. 6. Springer Science + Business Media.

Fritzen, Scott A. and Patrick W. O. Lim, 2006, Problems and Prospects of Decentralization In
Developing Countries, LKY School of Public Policy, National University of
Singapore, May, Singapore.

Goldsmith, Mike and Ken Newton,, 1983, “Central-local government relations: The irresistible
rise of centralized power”, dalam West European Politics, Vol. 6 No. 4.

Jeffery, Charlie, and Daniel Wincott, 2006, “Devolution in the United Kingdom: Statehood and
Citizenship in Transition”, dalam Publius: TheJournal of Federalism, Vol. 36 No.
1. Oxford University Press., Oxford.

Martin H. Hutabarat (eds), 1996, Hukum dan Politik Indonesia : Tinjauan Analitis Dekrit
Presiden Dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Miriam Budiharjo, 2000, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
Tillin, Louise, 2006, “United in Diversity ? Asymmetry in Indian Federalism”, dalam Publius:
The Journal of Federalism, Volume 37 Number 1. Oxford University Press.,
Oxford.

18
Wagner, Richard, 2001, Chapter 2: Competitive Federalism in Institutional Perspective, dalam
Racheter, Donald P. and Richard Wagner, ed. Federalist Government in Principle and
Practice, Kluwer Academic Publisher, http://www.limitedgovernment.org/books/fe
deralist_gov.html
Work, Robertson, 2002, Overview of Decentralization Worldwide: A Stepping Stone to
Improved Governance and Human Development, UNDP : 2nd International
Conference on Decentralization Federalism: The Future of Decentralizing
States ?, New York.

19

Anda mungkin juga menyukai