PERTEMUAN I BENTUK NEGARA, Ambo Esa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

PERTEMUAN I

MATA KULIAH ILMU NEGARA

AMBO ESA.SH.,MH

BENTUK NEGARA

A. PENGANTAR

Peninjauan mengenai masalah bentuk negara merupakan pembahasan mengenai

dalam formasi apa organisasi negara itu menjelma ke dalam masyarakat.

Berdasarkan teori kenegaraan pembahasan masalah ini merupakan batas antara

peninjauan secara sosiologis dan yuridis. Dari segi sosiologis, yang melihat

bangunan negara sebagai satu kebulatan (Ganzeit) maka pembahasannya adalah

mengenai bentuk negara. Akan tetapi dari segi yuridis yang melihat bangunan

negara dalam struktur atau isi, maka pembahasannya mengenai sistem

pemerintahan.

Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya kesepakatan antara para sarjana dalam

memberi pengertian bentuk negara dan Bentuk Negara bentuk pemerintahan.

Misalnya, beberapa sarjana menyatakan bahwa bentuk negara adalah kerajaan dan

republik, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa bentuk negara adalah

negara kesatuan atau negara federal. Bahkan, ada yang memberi arti sama antara

bentuk negara dengan bentuk pemerintahan.

Menurut Miriam Budiardjo pemisahan itu dilaksanakan secara horisontal dan

vertikal. Pemisahan kekuasaan secara horisontal kekuasaan dibagi menurut

fungsinya yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial. Sementara itu, pemisahan

kekuasaan secara vertikal tercermin dalam pembagian kekuasaan berdasarkan


tingkat atau hubungan antar-tingkatan pemerintahan. Dalam konteks pemisahan

kekuasaan secara vertikal itulah maka perbincangan mengenai bentuk negara

menemukan relevansinya.

Dalam tulisan ini, bentuk negara diartikan sebagai susunan negara, yang

menyangkut pengorganisasian kekuasaan negara secara vertikal. Dengan demikian,

fokus utama dalam masalah ini adalah bagaimanakah kekuasaan itu dijalankan di

dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi bentuk negara di sini dibahas

menurut susunan kekuasaan. Sedangkan masalah bentuk pemerintahan, penulis

dalam pembahasan bab lain akan menggunakan istilah sistem pemerintahan. Oleh

sebab itu kajian mengenai bentuk negara dibatasi ke pada 2 bentuk negara yang

lazim dikenal dalam literatur yaitu negara kesatuan (unitary state) dan negara serikat

(federal state).

B. Negara Kesatuan

Para ahli umumnya membagi negara kesatuan ke dalam 4 macam model.

Pertama, vertical management model. Dalam model ini, pemerintah pusat

mendirikan badan-badan pemerintahan untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan di tingkat lokal. Model ini dianut di Inggris dan Jepang. Kedua, central

representative model. Pada model ini dicirikan adanya dua badan pemerintahan

yaitu badan/organ yang didirikan oleh pemerintah lokal untuk melayani

kepentingannya dan badan/organ yang didirikan oleh pemerintah pusat di tingkat

lokal. Kedua badan itu bersifat pararel dalam menjalankan urusan pemerintahan.

Model ini dijalankan di negara Swedia, Spanyol, dan Denmark. Ketiga, unification

model. Pemerintah pusat menempatkan pejabat pilihannya guna menduduki badan


administratif yang didirikan oleh pemerintah lokal. Hal ini dilaksanakan di Belanda.

Keempat, mixed model. Model ini dianut di Prancis. Dalam model ini, ada tiga

kategori organ yang melaksanakan wewenang, yaitu: (i) badan yang didirikan oleh

pemerintah lokal; (ii) perwakilan pemerintah pusat, baik dalam distrik maupun

pemerintahan provinsi; dan (iii) perwakilan organ pemerintah pusat di daerah.

Paling tidak ada lima ciri negara kesatuan. Pertama, hanya ada satu konstitusi

yang berlaku di seluruh negara yang bersangkutan. Kedua, ada satu pemerintahan

di tingkat pusat yang berdaulat. Ketiga, seluruh penduduk hanya mempunyai satu

kewarga negaraan. Keempat, terdapat satuan pemerintahan lokal yang merupakan

subdivisi pemerintah pusat, denganwewenang kepala daerah yang bersifat absolut.

Kelima, hanya pemerintah pusat yang berwenang menjalankan hubungan luar

negeri.

Dalam konteks negara kesatuan, hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah (sebagai bagian atau satuan teritorial negara yang “lebih kecil”) di bidang

otonomi bersifat administrasi negara. Jadi, kekuasaan asli (original power) melekat

kepada negara, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah pusat. Oleh sebab itu,

pemahaman desentralisasi dalam konteks negara kesatuan harus dipahami sebagai

penyerahan kekuasaan oleh negara, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk menjadi

urusan rumah tangga daerah suatu urusan pemerintahan kepada daerah. Dalam

negara kesatuan, pemerintah pusatlah yang membentuk cara-cara penentuan

urusan rumah tangga satuan otonomi, yang akan menentukan juga sifat (luas atau

terbatas) atas suatu otonomi. Memang, dalam konteks negara kesatuan, persoalan

hubungan dengan satuan otonomi “yang lebih rendah” tidak saja mencakup praktik
penentuan urusan otonomi, tetapi juga menyangkut perosalan hubungan keuangan,

hubungan pengawasan, dan cara menyusun serta menyelenggarakan organisasi

pemerintahan di daerah.

Negara kesatuan sering dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu negara kesatuan

dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Ciri

khas sistem sentralisasi adalah pemerintah pusat senantiasa mendominasi

pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan peran dan hak

pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsungdan mandiri dalam rangka mengelola

serta memperjuangkan kepentingan daerahnya. Sementara itu, dalam sistem

desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kekuasaan untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut dengan daerah otonom

Salah satu kecenderungan untuk mengelola pemerintahan di negara kesatuan

adalah fenomena desentralisasi. Dalam hal ini, Desentralisasi sering dianggap

sebagai bentuk konkrit dari mekanisme pemisahan kekuasaan negara. Sebagai

suatu konsep, terutama di lingkungan negara berkembang, desentralisasi telah

diperdebatkan sejak lama dan ditilik dari segi pertumbuhan pemahamannya, telah

berkembang melalui tiga gelombang. Ketiga gelombang pertumbuhan desentralisasi

itu digambarkan oleh Syarief Hidayat sebagai berikut

Gelombang pertama, terjadi pada tahun 1950-an, di mana desentralisasi telah

mendapatkan perhatian khusus dan telah diartikulasi sebagai konsep yang paling

relevan untuk memperkuat dan memberdayakan pemerintahan daerah. Sementara

itu, gelombang kedua desentralisasi, terutama di negara berkembang, terjadi pada

dasawarsa 1970-an, penerimaan konsep desentralisasi lebih bervariatif, dan


pemahamannya lebih ditujukan sebagai alat untuk pencapaian tujuan pembangunan

nasional. Sedangkan gelombangdesentralisasi yang ketiga, ditandai dengan

perluasan kajian, di mana desentralisasi tidak lagi menjadi monopoli fokus ilmu

politik dan administrasi negara saja, tetapi telah menarik perhatian disiplin yang lain.

Dapat disebut di sini misalnya, ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi

Menurut Mawhood, desentralisasi merupakan devolution of power from central to

local government. Dalam perspektif yang lebih luas, Rondinelli dan Cheema

merumuskan desentralisasi sebagai the transfer of planing, decision making, or

administrative authority from central goverment to its field organisations, local

administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local

government, or non- government organisations. Dalam uraian selanjutnya,

Rondinelli dan Cheema merumuskan adanya empat bentuk desentralisasi.

Pertama, deconcentration, yaitu distribusi wewenang administrasi dalam

pemerintahan. Kedua, delegation to semi autonomous or parastatal organisations,

yaitu pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas

fungsifungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi- organisasi yang

secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Ketiga, devolution, yaitu

penyerahan fungsi dan otoritas (the transfer of function and authorities)

daripemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan bentuk keempat,

adalah swastanisasi, yaitu penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan

tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta

Saya berpendapat bahwa makna desentralisasi beserta bentuk-bentuknya

sebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas cukup komprehensif


dan luas. Sifat komprehensif dan luas nampak dari konseptualisasi desentralisasi

yang disorot dalam aspek teknik, spasial, dan administratif, sebagai elemen utama.

Selanjutnya, makna desentralisasi juga mencakup pendelegasian wewenang tidak

hanya mengenai teknis pemerintahan tetapi juga mencakup organisasi semi

pemerintah, bahkan di dalam sektor swasta.

Namun demikian saya menganggap cakupan desentralisasi seperti dikemukakan

oleh Rondinelli dan Cheema di atas tidak menggambarkan secara penuh persoalan

hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Saya setuju dengan Slater, ketika

mengatakan bahwa aspek penting yang dilupakan oleh definisi kedua pakar tersebut

adalah mengabaikan the transfer of power from central to peripheral state.

Lugasnya, definisi itu mengabaikan the territorial dimension of state power, seperti

dipaparkan oleh Conyers.

Di samping itu, mengutip pendapat Henry Maddick, antara desentralisasi dengan

dekonsentrasi dapat dibedakan Desentralisasi dipandang sebagai “pengalihan

kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun risudal

yang menjadi kewenangan pemerintah daerah”, sedangkan dekonsentrasi

merupakan the delegation of authority adequate for the discharge of specified

functions to staff of a central department who are situated outside the headquarters

Mengenai perbedaan desentralisasi dan dekonsentrasi ini, dengan mengutip

pendapat Parson, Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessen menyatakan bahwa dari

aspek politik desentralisasi merupakan sharing of the govermental power by a

central rulling group with other groups each having authority within a specefic area

of the state. Sementara dekonsentrasi merupakan the sharing of power between


members of the same rulling group having authority respectively in different areas of

the state.

C. Negara Federal

Kata “federal” berasal dari bahasa Latin foedus, yang berarti perjanjian. Kata ini

menggambarkan ikatan perjanjian di antara negara-negara bagian untuk melakukan

kerja sama, khususnya dalam rangka pertahanan. Perjanjian itu harus saling

menguntungkan, yang dapat diarahkan untuk mencapai tujuantujuan tertentu, akan

tetapi masing-masing pihak harus menaati perjanjian tersebut. Menurut William

Riker, ikatan federasi pada mulanya digunakan untuk mencapai tujuan militer, yang

kemudian berkembang menjadi kebutuhan untuk mencukupi logistik, seperti pasar

bebas dan penggunaan mata uang tunggal. Perjanjian itu yang kemudian dikenal

sebagai konstitusi federal. Menurut Miriam Budiardjo, untuk membentuk negara

federal, harus dipenuhi dua syarat. Pertama, adanya perasaan sebangsa di antara

kesatuan- kesatuan politik yang hendak membentuk federasi dan, kedua, adanya

keinginan untuk membentuk ikatan yang terbatas. Jika ikatan itu dilakukan secara

penuh, maka bukan negara federal, tetapi negara kesatuan.

Dalam negara federal, sering dijumpai ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, satu

wilayah negara terbagi atas negara- negara bagian. Kedua, ada kedaulatan ganda,

di mana masing- masing antara pemerintahan federal dan pemerintahan negara

bagian mempunyai otonomi untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Ketiga,

hubungan antara pemerintah federal dengan pemerintahan daerah bersifat

koordinatif atau kooperatif.


Dalam hal hubungan tersebut bersifat koordinatif, maka ditandai dengan ciri-ciri

sebagai berikut. Pertama, masing-masing pihak mempunyai kewenangan yang

bersifat eksklusif. Kedua, masing-masing pihak mempunyai susunan pemerintahan.

Ketiga, masing-masing pihak mempunyai kewenangan untuk menetapkan

perpajakan. Keempat, kebutuhan untuk kerja sama di antara masing-masing pihak

amat minimal.

Sementara itu, hubungan antara pemerintah federal dengan negara bagian

berlangsung dalam bentuk kooperatif apabila ditemua lima ciri khas. Pertama,

masing-masing wewenang pemerintahan dibagi di antara kedua pihak. Kedua,

pemerintah federal dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan diatur melalui

sebuah Undang-Undang, yang kemudian menjadi pedoman bagi negara bagian

untuk melaksanakannya. Ketiga, ada pembagian mekanisme perpajakan. Keempat,

negara bagian mempunyai sistem perwakilan di lembaga perwakilan federal.

Kelima, ada kebutuhan kuat untuk melakukan kerja sama.

Dalam pelaksanaan selama bertahun-tahun, hubungan antara pemerintah

federal dengan pemerintah negara bagian mempunyai kecenderungan untuk

bergeser dari koordinatif menjadi kooperatif. Hal ini disebabkan oleh minimal tiga

hal. Pertama, tantangan pemerintahan modern yang semakin kompleks, sehingga

urusan pemerintahan tidak dilaksanakan secara kaku menurut list wewenang dalam

konstitusi. Kedua, adanya hubungan keuangan yang mengarah kepada pencapaian

perimbangan di antara tingkat pemerintahan. Ketiga, kebijakan diadakan

sehubungan dengan adanya pencapaian kepentingan tertentu di setiap tingkat

pemerintahan.
Dalam buku teks mengenai federalisme, umum dijumpai pembagian model

negara federal dalam tiga model. Pertama, model Amerika Serikat. Dalam model ini,

kewenangan pemerintah federal (yang disebut sebagai listed authority) ditetapkan

dalam ketentuan konstitusi, sedangkan selebihnya yang dikenal sebagai kept power

merupakan wewenang negara bagian. Kedua, model Kanada. Dalam model ini,

wewenang pemerintahan provinsi ditentukan secara rinci dalam ketentuan

konstitusi, sedangkan sisanya merupakan wewenang pemerintah federal. Ketiga,

model India. Dalam model ini, baik wewenang pemerintah federal maupun

wewenang pemerintah negara bagian diatur secara rinci di dalam konstitusi, diikuti

dengan klausula, bahwa dalam situasi tertentu, wewenang pemerintah negara

bagian dapat diambil alih oleh pemerintah federal.

Di dalam praktik, komposisi negara federal cenderung dilaksanakan dalam

penduduk yang bersifat multietnik, sehingga hubungan di antara tingkat

pemerintahan berlangsung koordinatif. Setiap negara bagian mempunyai susunan

pemerintahan sendiri-sendiri. Praktik semacam ini dikenal sebagai asymetric

federalism. Sudah tentu tantangan yang muncul adalah instabilitas pemerintahan

yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Salah satu variasi dari asymetrci federalism

adalah seperti praktik di Belgia, di mana federasi ditentukan oleh dua hal yaitu

konflik dan penggunaan bahasa. Wilayah Belgia yaitu Flanders, Wallonia, dan

Brussels, ditetapkan sebagai daerah khusus karena faktor ekonomi dengan

penggunaan bahasa masing-masing Belanda, Jerman, dan Prancis. Ketentuan ini

diatur dalam konstitusi federal (1993).


Variasi lain adalah praktik etnofederalism, yaitu pemerintah negara bagian masing-

masing merupakan tempat konsentrasi etnis tertentu. Pola semacam ini lahir karena

ada dominasi mayoritas dan perlawanan minoritas. Hal ini dipraktikkan di India,

Afrika Selatan, Spanyol, dan Kanada; seperti juga praktik di bekas Yugoslavia,

Cekoslvakia, dan Uni Soviet.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai