Akibat Hukum Pembagian Harta Warisan Terhadap Ahli Waris Yang Berbeda Agama

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 90

AKIBAT HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN

TERHADAP AHLI WARIS YANG


BERBEDA AGAMA
(Analisis Putusan Nomor. 2554/PDT.G/2011/PA.JS)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum

Oleh:

POPY ROZA
NPM. 1506200102

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ABSTRAK
AKIBAT HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN TERHADAP AHLI
WARIS YANG BERBEDA AGAMA
(Analisis Putusan Nomor. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS)

Popy Roza

Salah satu pembahasan dalam ilmu mawaris adalah pembahasan tentang


penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang berhak menerima
harta warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan
memerdekakan budak. Sedangkan penghalang kewarisan salah satunya adalah
perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan hak
seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Perbedaan agama antara muwwaris
dan ahli waris ialah salah satu syarat terputusnya hak waris seseorang. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui dan mengkaji cara pengaturan tentang warisan
kepada ahli waris yang beda agama dan mengetahui serta mengkaji akibat hukum
pembagian warisan terhadap ahli waris yang berbeda agama serta mengetahui dan
menganalisis Putusan No. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS.
Jenis Penelitian ini adalah yuridis normatif, sumber data berasal dari
hukum Islam dan data sekunder dengan mengolah data dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Alat pengumpulan data yang
digunakan studi dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa pembagian warisan ahli
waris beda agama adalah tidak mendapat warisan. Dalam Hukum Islam sudah
jelas menyebutkan bahwa sebab tidak mendapat warisan karena perbedaan
Agama, membunuh, dan menjadi budak orang lain. Sedangkan Hukum Perdata
akibat terhalangnya mendapat warisan, mereka dengan putusan Hakim di hukum
karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang
meninggal, melakukan kejahtan yang diancam 5 tahun penjara, serta mencegah si
meninggal dengan kekerasan atau perbuatan untuk membuat atau mencabut
wasiat. Penelitian ini lebih mengarah kepada Hukum Islam karena pewaris adalah
orang Islam dan yang mewarisi adalah non-muslim. Hakim dalam memutuskan
perkara ini lebih melihat status hak waris bagi Pewaris yang beda agama
mendapatkan warisan karena di masa kehidupan ahli waris dengan Pewaris adalah
baik sehingga tidak ada halangan bagi Pewaris mendapatkan warisan. Dalam hal
ini tidak setuju dengan putusan Hakim yang memutuskan bahwa Pewaris berhak
mendapatkan warisan dengan alasan pemberian wasiat wajibah. Sedangkan yang
diketahui bahwa wasiat wajibah diberikan kepada ahli waris yang tidak sedarah
dengan si Pewaris seperti anak angkat dan orang tua angkat.

Kata Kunci: Akibat Hukum, Harta Warisan, Berbeda Agama.


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pertama-tama disampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang maha

pengasih lagi penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan. Skripsi merupakan salah satu persyaratan bagi setiap mahasiswa

yang ingin menyelesaian studi nyadi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara. Sehubungan dengan itu, disusun skripsi yang berjudulkan“Akibat

Hukum Pembagian Harta Warisan Terhadap Ahli Waris yang Berbeda Agama

(AnalisisPutusanNomor. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS)”.

Dengan selesainya skripsi ini, perkenankanlah diucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Secara khusus dengan rasa hormat dan pengharaan yang setinggi-tingginya di

ucapkan Terima Kasih kepada Ayahanda Razali dan Ibunda Sumarni yang

telah mengasuh dan mendidik dengan curahan kasih sayang.

2. Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Bapak Dr. Agusani.,

M.A.P atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program sarjana ini.

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Ibu Dr.

Ida Hanifah, S.H., M.H Atas Kesempatan Menjadi Mahasiswi Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

4. Demikian juga halnya kepada Wakil Dekan I Bapak Faisal, S.H., M.Hum dan

Wakil Dekan III Bapak Zainuddin, S.H., M.H.


5. Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya

diucapkan kepada Ibu Nursariani Simatupang, SH., M.Hum selaku

pembimbing, dan Bapak Muklis, SH., MH selaku pembanding yang dengan

penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan sehingga

skripsi ini selesai.

6. Disampaikan juga penghargaan kepada seluruh staf pengajar Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara terutama kepada Bapak Erwin

Asmadi, SH., MH selaku dosen terbaik bagi penulis yang senantiasa

membantu serta memberi masukan, membimbing penulis selama penulis

menjadi Mahasiswi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera

Utara.

7. Begitu juga kepada saudari kandung perempuan yang bernama Rica

Gusmarani, S.H., M.H sebagai tempat curahan hati bagi penulis selama ini

dan memberikan solusi serta selalu menemani Penulis dalam keadaan susah

ataupun senang.

8. Begitu juga ucapan kepada orang terkasih Aswad Akbar Siregar yang mana

telah menjadi sebagai tempat curahan hati bagi penulis selama ini dan

memberikan solusi serta selalu menemani Penulis dalam keadaan susah

ataupun senang sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Tiada gedung yang paling indah kecuali persahabatan, untuk itu dalam

kesempatan diucapan terimakasih sahabat-sahabat yang telah banyak

bereperan, kepada abangda Alansyah Putra S.H., Indah Widyastuti Saragih,

Dina Arfa Harahap, Fahrunisa Dhago Lubis, Yuyun Melati Sukma, M. Fachri

Alamsyah, Fadilah Sari Iswanto yang dari awal terus mendukung penulis dan
teman-teman B1 dan A1 Perdata yang tak mungkin disebutkan satu persatu,

terima kasih sebesar-besarnya semoga Allah SWT membalas semua kebaikan

kalian.

10. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutan satu-satu, tiada maksud

mengecilkan arti pentingnya bantuan dan peran mereka, dan untuk itu

disampaikan ucapan terimakasih setulus-tulusnya.

Akhirnya tiada gading yang tak retak, retaknya gading karena alami, tiada

orang yang tak bersalah, kecuali Illahirabbi. Mohon maaf atas segala kesalahan

selama ini, begitupun disadari skripsi ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu,

diharapkan ada masukan yang membangun untuk keseempurnaannya. Terimakasih

semua, tiada lain yang diucapkan selain kata semoga kiranya mendapat balasan dari

Allah SWT dan mudah-mudahan semuanya selalu dalam lindungan Allah SWT,

Amin. Sesungguhnya Allah maha mengetahui niat baik hamba-hambanya.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, Maret 2019


Hormat Saya

POPY ROZA
NPM. 1506200102
DAFTAR ISI

Pendaftaran Ujian .............................................................................................

Berita Acara Ujian............................................................................................

Persetujuan Pembimbing .................................................................................

Pernyataan Keaslian .........................................................................................

Asbtrak ............................................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................................ ii

Daftar Isi.......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

1. Rumusan Masalah ................................................................... 8

2. Faedah Penelitian .................................................................... 8

B. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9

C. Defenisi Operasional ....................................................................... 10

D. Keaslian Penelitian.......................................................................... 11

E. Metode Penelitian............................................................................ 13

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................. 13

2. Sifat Penelitian ......................................................................... 13

3. Sumber Data ............................................................................ 14

4. Alat Pengumpul Data .............................................................. 14

5. Analisis Data .......................................................................... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Harta Warisan..................................................................................... 16
1. Harta Warisan Menurut Hukum Islam ..................................... 17

2. Harta Warisan Menurut Hukum Perdata .................................. 20

B. Ahli Waris .......................................................................................... 21

1. Sebab-Sebab Menjadi Ahli Waris ................................................ 26

2. Sebab-Sebab Tidak Mendapat Warisan ....................................... 26

3. Ahli Waris Dalam Hukum Perdata .............................................. 28

4. Ahli Waris Menurut Surat Wasiat ................................................ 29

C. Hukum Waris Islam ........................................................................... 29

D. Hukum Waris Perdata ........................................................................ 30

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Tentang Pembagian Warisan Kepada Ahli Waris

Yang Berbeda Agama ........................................................................ 34

B. Akibat Hukum Pembagian Warisan Ahli Waris Yang Berbeda

Agama ............................................................................................. 43

C. Analisis Putusan No. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS ................................ 53

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................... 73

B. Saran .............................................................................................. 75

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk sosial (homo socius) tidak dapat hidup dan

memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan dan peran orang lain, baik untuk

memenuhi kebutuhan materi maupun non materi (psikis/biologis), oleh karenanya

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut diperlukan aturan hukum, sehingga

tidak terjadi benturan kepentingan dan tercipta keteraturan dan ketertiban dalam

masyarakat.

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua

tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya.

Terutama, dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab

maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan

kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia

dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya. Demikian juga dengan

kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga,

masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut menimbulkan

kewajiban orang lain bagi dirinya yang berhubungan dengan pengurusan

jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis,

yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli

waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Adanya kematian seseorang

mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara


penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama

Hukum Waris.

Bilamana orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai

kepada dua masalah pokok, yaitu seorang yang meninggal dunia yang

meninggalkan harta kekayaannya sebagai warisan dan meninggalkan orang–orang

yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut. Apabila terjadi suatu

peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang

sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.1

Hukum Waris di Indonesia sebagaimana hukum perkawinan, tentang

sistem hukum waris belum dapat disimpulkan secara jelas hukum waris mana

yang digunakan, karena ada macam-macam sistem hukum waris. Hal ini

disebabkan pluralisme suku bangsa dan warga negara Indonesia. Dalam praktik

terdapat tiga sistem hukum yang mengatur tentang hukum waris. Hal ini sesuai

dengan penggolongan warga negara Indonesia yang ditentukan oleh Pasal 163

Indische Staats Regeling (I.S). ketiga sistem tersebut yaitu Hukum Waris Perdata

Barat (BW), Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat.

Hukum waris BW diperuntukan bagi keturunan Tionghua dan Eropa

sebagaimana diatur dalam Buku II BW perihal warisan title 12 sampai dengan

title 18. Selain itu BW juga berlaku bagi WNI asli yang menundukkan diri pada

BW. Sedangkan hukum waris islam berlaku bagi orang Indonesia (baik asli

1
Oktavia Milayani. Kedudukan Hukum Ahli Waris Yang Dengan Cara Mengganti Atau
Ahli Waris “BIJ PLAATSVERVULLING” MENURUT BURGERLIJK WETBOEK. Al‟Adl,
Volume IX Nomor 3, Desember 2017. https://media.neliti.com/media/publications/225062
kedudukan-hukum-ahli-waris-yang-mewaris-c32ffb87.pdf. Diakses pada tanggal 17 Februari 2019.
maupun keturunan) yang beraga Islam berdasarkan S.1854 No. 129 yang

diundangkan di Belanda dengan S. 1855 No. 2 di Indonesia dengan S. 1929 No.

22, yang telah ditambah, diubah dan sebagaimana terakhir dengan Pasal 29 UUD

1945 jo Tap. No.II/MPRS/1961 lampiran A NO. 34 jo GBHN 1983 Tap No.

II/MPR/1983 Bab IV. Ketentuan kewarisan selanjutnya selengkapnya tertuang

dalam Buku II tentang Kewarisan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan

Inpres No. 1 Tahun 1991. Sedangkan hukum waris adat diperuntukan bagi warga

negara Indonesia asli, yaitu suku-suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia.

Sifat dan sistem hukum waris adat Indonesia cukup beragam karena dipengaruhi

oleh sifat etnis yang ada.2

Ahli waris merupakan orang yang menerima harta warisan. Ketentuan

mengenai ahli waris dalam hukum waris adat, hukum waris perdata, dan hukum

waris Islam memiliki konsep yang berbeda. Ahli waris menurut hukum waris

perdata tidak dibedakan menurut jenis kelamin layaknya dalam beberapa hukum

waris adat. Seseorang menjadi ahli waris menurut hukum waris perdata

disebabkan oleh perkawinan dan hubungan darah, baik secara sah maupun tidak

(Pasal 832 ayat 1 Burgerlijk Wetboek). Orang yang memiliki hubungan darah

terdekatlah yang berhak untuk mewaris.3

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta

kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi

2
Titik Triwulan Tutik. 2018. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Cetakan
ke-5 Jakarta: Kencana. Halaman 252-254.
3
Oktavia Milayani.Loc., Cit.
para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam

lapangan hukum kekayaan /harta benda saja yang dapat diwaris.4

Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam sangat

berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris barat sebagaimana diatur

dalam BW maupun menurut hukum waris adat. Menurut hukum islam yaitu,

sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan

bersih. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah

sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran

hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh

wafatnya si peninggal pewaris.5

Wujud warisan menurut KUHPerdata ialah bahwa yang berpindah di

dalam pewarisan adalah kekayaan si pewaris. Yang dimaksud dengan kekayaan si

pewaris adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Hukum waris

pada hakikatnya, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Artinya, yang

diwariskan pada prinsipnya adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan

uang, kecuali dalam hal-hal tertentu, yaitu:

1. Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalkannya si pemberi kuada

(Pasal 1813 KUHPerdata).

2. Hubungan kerja yang bersifat sangat pribadi tidak beralih keapda ahli

warisnya (Pasal 1601 KUHPerdata).

4
Effendi Perangin. Hukum Waris. Cetakan ke-14 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Halaman 3.
5
Eman Suparman. 2018. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam. Adat. dan BW.
Cetakan Kelima (Revisi). Bandung: PT. Refika Aditama.Februari. Halaman 13-14.
3. Keanggotaan dalam perseroan tidak beralih kepada ahli warisnya

(Pasal 1646 KUHPerdata).

4. Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang

mempunyai hak tersebut (Pasal 807 KUHPerdata).

Adapun hak dan kewajiban dalam hukum keluarga pada prinsipnya, tidak

beralih kepada para ahli warisnya. Misalnya hak suami sebagai kepala rumah

tangga, hak wali terhadap anak yang diperwalikan, hak pengampu tidak beralih

kepada ahli waris (tidak diwariskan). Terhadap hal ini terdapat dua

pengecualinnya, yaitu:

1. Hak yang dimiliki oleh seorang suami untuk menyangkal keabsahan

anak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

2. Hak untuk menuntut atau mengajukan keabsahan anak dapat

dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Dengan demikian dapat dismpulkan, bahwa yang dapat beralih kepada ahli

waris hanyalah hak dan kewajiban pewaris dibidang harta kekayaan. Dengan

meninggalnya seseorang, maka seketika itu juga beralih hak dan kewajibannya

kepada ahli waris.6

Demikian pula dalam hukum adat, pembagian harta warisan tidak selalu

ditagguhkan sampai semua hutang si peninggal warisan dibayar. Artinya, harta

warisan dapat beralih kepada ahli waris tidak selalu harus dalam keadaan bersih

setelah dikurangi hutang-hutang pewaris, melainkan dapat saja ahli waris

6
P.N.H. Simanjuntak. 2018. Hukum Perdata Indonesia. Cetakan ke-4 Jakarta:
Prenadamedia Group. Halaman 212-213.
menerima harta warisan yang didalamnya tercakup kewajiban membayar hutang-

hutang pewaris.7

Bidang hukum waris termasuk bidang hukum yang mengandung terlalu

banyak halangan, adanya benturan-benturan budaya, keagamaan, dan sosiologi.

Di Indonesia undang-undang merupakan cara pengaturan hukum yang utama,

pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan hukum

melalui perundang-undangan. Hukum waris sebagai salah satu bidang hukum

yang berbeda diluar bidang yang bersifat netral sulit untuk diperbaharui dengan

jalan perundang-undangan atau kodifikasi untuk mencapai sauatu unifikasi

hukum. Hal itu disebabkan upaya kearah membuat hukum waris yang sesuai

dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan senantiasa mendapat kesulitan,

mengingat beragamnya corak budaya, agama, sosial, dan adat istiadat serta sistem

kekeluargaan yang hiup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.8

Salah satu pembahasan dalam ilmu mawaris adalah pembahasan tentang

penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang berhak menerima

warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan

budak. Sedangkan penghalang kewarisan salah satunya adalah perbedaan agama

antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk

mewarisi harta peninggalan. Dengan kata lain, penghalang-penghalang untuk

mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak

seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk

mewarisi.
7
Eman Suparman.Loc.,Cit. Halaman 14.
8
Neng Yani Nurhayani. 2015. Hukum Perdata. Bandung: CV. Pustaka Setia. Halaman
269.
Salah satu yang menjadi permasalahan perihal kewarisan ialah terkait

dengan hak non muslim terhadap hak waris. Dalam fiqh disebutkan bahwa salah

satu penyebab terputusnya hak waris seseorang ialah ketika orang tersebut dalam

kondisi non muslim (kafir) dan atau dalam kondisi murtad. Perbedaan agama

antara muwwaris dan ahli waris ialah salah satu syarat terputusnya hak waris

seseorang. Seperti yang telah ditegaskan dalam hadist Rasulullah SAW yang

artinya: “Tidaklah berhak seorang Muslim mewaris orang kafir, dan tidak pula

kafir mewarisi muslim” (HR Bukhari dan Muslim). 9 Dalam Pasal 171 huruf (c)

pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa: “Ahli waris adalah

orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena

hukum untuk menjadi ahli waris”. Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam

memang tidak dinyatakan perbedaan agama sebagi penghalanh untuk mewarisi,

namun Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam tersebut menyatakan bahwa

pewaris dan ahli waris harus dalam keadaanberagam Islam maka diantar

keduanya, apabila salah satunya tidak beragama Islam maka diantar keduanya

tidak dapat saling mewarisi.10

Jumhur ulama bersepakat menetapkan bahwa orang kafir tidak dapat

mewarisi orang muslim lantaran lebih rendah statusnya dari pada orang Islam.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa diantar hal yang menguatkan pendapat orang

muslim mewarisi ahli immi dan tidak sebaliknya, adalah bahwa yang

9
Ilyas. “Kedudukan Ahli Waris NonMuslim Terhadap Harta Warisan Pewaris Islam
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam”. dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol.
17 No. 1 April 2015.
10
Ibid.
sipertimbangkan dalam warisan itu adalah berdasarkan pertolongan, sedang

penghalangnya adalah permusuhan. Oleh karena itu sebagian besar Fuqaha

mengatakan bahwa seorang kafir immi tidak mewarisi kafir arbi.11

Seperti dalam putusan No.2554/Pdt.G/2011/PAJS yang dalam amar

putusannya menetapkan bahwa ahli waris murtad tersebut mendapatkan bagian

dari harta warisan Pewaris melalui wasiat wajibah sebanyak 1/9 bagian.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk membahas hal tersebut dalam

skripsi ini dengan judul “Akibat Hukum Pembagian Warisan Terhadap Ahli

WarisYang Berbeda Agama (Analisis Putusan No. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS)”.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang

akan menjadi dasar pembahasan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Bagaimana pengaturan tentang pembagian warisan kepada ahli waris

yang beda agama?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap pembagian warisan ahli waris yang

berbeda agama?

c. Bagaimana analisis putusan No. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS?

2. Faedah Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan harus berfaedah baik secara teoritis maupun

praktis. Faedah dari segi teoritisnya adalah faedah dari sumbangan baik kepada

Ilmu Pengetahuan pada umumnya maupun kepada ilmu hukum pada khususmya.

11
Ima Maryatun Kibtiyah. 2013. “Tinjauan Hukum Islam Mengenai Kewarisan Beda
Agama Menurut Yusuf Al-Qaradawi” Skripsi Program Sarjan Strata Satu, Progaram Sarjana
Syari‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Dari segi praktisnya penelitian tersebut berfaedah bagi kepentingan negara,

bangsa, masyarakat dan pembangunan.12Adapun yang diharapkan menjadi faedah

dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

Penelitian ini berfaedah untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang

hukum khususnya mengenai Akibat Hukum Pembagian Warisan

terhadapYang Berbeda Agama (Analisis Putusan No.

2554/Pdt.G/2011/PA.JS).

b. Secara Praktis

Penelitian ini berfaedah bagi kepentingan Negara bangsa dan masyarakat

dalam prinsip ilmu Hukum Perdata dan Hukum Islam sebagai bahan

bacaan dan/atau rujukan terkait Akibat Hukum Pembagian Warisan Yang

Berbeda Agama (Analisis Putusan No. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok-pokok permasalahan yang

telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini ialah:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji cara pengaturan tentang warisan kepada ahli

waris yang beda agama.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum pembagian warisan terhadap

ahli waris yang berbeda agama.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis Putusan No. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS.

12
Ida Hanifah, dkk. 2018. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa.Medan: Pustaka
Prima. Halaman 16.
C. Defenisi Operasional

Sering dikatakan orang bahwa menyusun suatu definisi sangat sukar dan

harus dikerjakan dengan teliti sekali. Oleh karena definisi merupakan suatu

penelitian yang relative lengkap, mengenai suatu istilah, dan biasanya definisi ini

bertitik tolak pada referensi. Dengan demikian, maka suatu definisi harus

mempunyai suatu ruang lingkupyang tegas, sehingga tidak boleh ada kekurangan-

kekurangan atau kelebihan-kelebihan. Definisi yang digunakan dalam penelitian

ini adalah definisi sinntetis atau definisi deskriptif, yang tujuannya hanya

memberikan suatu gambaran belaka dari istilah yang ingin didefinisikan.

1. Akibat Hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum

yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat

lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang

bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.13

2. Al-Miiraats, bentuk jamaknya al-mawaariits dan al-Waarits, jamaknya al-

waratsah, berasal dari akar kata waritsa-yaritsu-wirtsan wa wartsan wa irtsan

wa irtsatan wa turaatsan wa miiraatsan yang menurut bahasa berarti:

“Berpindahnya harta seseorang yang telah meninggal kepada orang

lain”.14Hukum Kewarisan adalah Hukum yang mengatur tentang pemindahan

hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa

yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing.15

13
Akibat hukum: agama, Bangsa, dan Negara https://ahmad-
rifaiuin.blogspot.com/2013/04/akibat-hukum.html/. Diakses Pada Rabu 24 April 2013.
14
Athoillah. 2018. Fikih Waris Metode Pembagian Waris Praktis. Cetakan I
Bandung:Yrama Widya. Halaman 1.
15
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a.
3. Orang beda agama adalah dalam pandangan islam, yang membedakan

seseorang Muslim dan Non Muslim ialah akidahnya yang termanifestasikan

dengan memeluk agama Islam. Perbedaan akidah merupakan perbedaan yang

fundamental, sehingga menjadikan Islam tidak mentolerir secara teologis

bahwa agama-agama lain sama dengan Islam. Dalam konteks Al-Quran,

istilah non-Muslim mengacu kepada apa yang disebut dengan kafir, hal ini

dikarenakan mereka tidak mengakui keimanannya kepada Allah SWT dan

Rasul-Nya. Sedangkan istilah kafir dalam Al-Quran merujuk pada suatu

perbuatan yang berhubungan secara langsungdengan Allah,namun semua

hubungan tersebut bersifat negatif.16

D. Keaslian Penelitian

Persoalan mengenai pembagian warisan beda agama bukanlah merupakan

hal baru. Oleh karenanya, penulis meyakini telah banyak peneliti-peneliti

sebelumnya yang mengangkat tentang “Akibat Hukum Pembagian Warisan

Terhadap Ahli Waris Yang Berbeda Agama (Analisis Putusan Nomor

2554/Pdt.G/2011/PA.JS)” ini sebagai tajuk dalam berbagai penelitian. Namun

berdasarkan bahan kepustakaan yang ditemukan baik melalui searching via

internet maupun penelusuran kepustakaan dari lingkungan Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara dan perguruan tinggi lainnya, penulis tidak

menemukan penilitian yang sama dengan tema dan pokok pembahasan yang

penulis teliti terkait “Akibat Hukum Pembagian Warisan Terhadap Ahli

16
Rohmatul Izad, “Relasi Muslim dan Non Muslim dalam Al-Quran”,
https://alif.id/read/rohmatul-izad/relasi-muslim-dan-non-muslim-dalam-al-quran-b210416p/.
Diakses tanggal 05 Juli 2018, Hari Kamis.
Waris Yang Berbeda Agama (Analisis Putusan Nomor

2554/Pdt.G/2011/PA.JS)”.

Dari beberapa judul penilitian yang pernah diangkat oleh peneliti

sebelumnya, ada dua judul yang hampir mendekati sama dengan penelitian dalam

penulisan skripsi ini, antara lain;

1. Iga Alfianita, NIM 10500113308, Mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum

UIN Awaludin Makasar Tahun 2017, yang berjudul “Tinjauan Yuridis

Pembagian Harta Warisan Pasangan Suami Istri Yang Beda Agama

(Perspektif Hukum Islam Dan KUHPerdata)”. Skripsi ini menggunakan

pendekatan normatif (syar‟i) yakni cara pendekatan dengan melihat dalil-dalil

atau nash al-Qur‟an dan hadis Nabi SAW dan pendekatan yuridis yakni

berpedoman pada KUHperdata dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Nadia Fadhillah Utami, NIM 131000154, Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Pasundan Tahun 2017, yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang

Pembagian Waris Beda Agama Dihubungkan Dengan Intruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Skripsi ini

menggunakan pendekatan yuridis nirmatif yaitu pendekatan yang menuju pada

persoalan dapat tidaknya sesuatu dipergunakan sesuai syarriat islam, yaitu

dengan tetap berpegang pada landasan pemikiran sesuai dengan tujuan hukum

islam dan tahapan penelitian kepustakaan (Library research).

Secara konstruktif, substansi dan pembahasan terhadap kedua oenelitian

diatas tersebut berbeda dengan peneltian yang dilakukan oleh penulis saat ini.

Dalam kajian topik bahasan yang penulis angkat dalam bentuk skripsi ini
mengarah kepada aspek kajian terkait Akibat Hukum Pembagian Warisan

Terhadap Ahli Waris Yang Berbeda Agama (Analisi Putusan Nomor

2554/Pdt.G/2011/PA.JS).

E. Metode Penelitian

Metode atau meteodologi diartikam sebagai logika dari penelitian ilmiah,

studi terharap prosedur dan tekhnik penelitian. Penelitian pada hakikatnya adalah

rangkaian kegiatan ilmiah dan karena itu menggunakan metode-metode ilmiah

untuk menggali dan memecahkan permasalahan, atau untuk menemukan sesuatu

kebenaran dari fakta-fakta yang ada. Metode penelitian bertujuan untuk

menjelaskan bagaimana penelitian itu dilakukan agar didapatkan hasil yang

maksimal. Metode penelitian menguraikan tentang:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis Penelitian dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah

pendekatan yuridis normatif disebut juga penelitian hukum, doktrinal, dimana

hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertuliskan di peraturan undang-undang

(law in books), dan penelitian terhadap sistematika hukum dapat dilakukan pada

peratutan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif melalui

pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan

mengkaji sumber kepustakaan. Dalam penelitian normatif bertujuan untuk

memberikan makna atau penjelasan yang sesuai dengan teori tentang Akibat

Hukum Pembagian Harta Warisan Kepada Ahli Waris Yang Berbeda Agamaa.
3. Sumber Data

Sumber data yang dapat digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari:

a. Data yang bersumber dari Hukum Islam yaitu Al-Qur‟an Surah an-Nisa ayat

7, Surah An-Nahl ayat 75, dan Hadist (Sunnah Rasul).

b. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum mengikat seperti: Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku yang terkait dengan

masalah yang dikaji, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum.

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder berupa kamus hukum atau kamus ensiklopedia atau kamus

bahasa Indonesia untuk menjelaskan maksud atau pengertian istila-istilah

yang sulit diartikan.

4. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

dokumen atau melakukan penelusuran kepustakaan (library research):

a. Offline; yaitu menghimpun data studi kepustakaan (library research) secara

langsung dengan mengunjungi toko-toko buku, perpustakaan (baik di dalam


maupun di luar kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara) guna

menghimpun data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian dimaksud.

b. Online; yaitu studi kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan

cara searching melalui media internet guna menghimpun data sekunder yang

dibutuhkan dalam penelitian dimaksud.

5. Analisis Data

Analisis data adalah kegiatan memfokuskan, mengabstraksikan,

mengorganisasikan data secara sistematis dan rasional untuk memberikan bahan

jawaban terhadap permasalahan. Untuk memberikan penilian terhadap penelitian

ini, maka dimanfaatkan data yang terkumpul. Kemudian data tersebut ditelaah dan

dijadikan sebagai acuan pokok dalam pemecahan masalah yang akan diuraikan

dengan mempergunakan analisis kualitatif.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Harta Warisan

Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam sangat

berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris barat sebagaimana diatur

dalam BW maupun hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut

hukum islam yaitu, sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal

dunia dalam keadaan bersih. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para

ahli waris adalah sejumlah harta benda segala hak, setelah dikurangi dengan

pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal pewaris.17

Wujud harta peninggalan menurut hukum perdata barat yang tercantum

dalam BW meliputi seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta

kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Jadi harta peninggalan yang akan

diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa

aktiva atau keuntungan melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris yang

merupakan pasiva dari harta kekayaan yang ditinggalkan, sehingga kewajiban

membayar hutang pada hakikatnya beralih juga kepada ahli waris. Demikian pula

dalam hukum adat, pembagian harta warisan tidak selalu ditangguhkan sampai

semua hutang si peninggal warisan dibayar. Artinya, harta warisan dapat beralih

kepada ahli waris tidak selalu harus dalam keadaan bersih setelah dikurangi

17
Eman Suparman. Op.,Cit. Halaman 13-14.
hutang-hutang pewaris, melainkan dapat saja ahli waris menerima harta warisan

yang didalamnya tercakup kewajiban membayar hutang-hutang pewaris.18

1. Harta Warisan Menurut Hukum Islam

Menurut Kompilasi Hukum Islam harta warisan pada Pasal 171 huruf (e)

berupa ”Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama

setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,

biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk

kerabat”dan harta peninggalan menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 171

huruf (d) berupa “ Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris

baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya”.19

Dalam terminologi fikih, harta peninggalan disebut dengan tirkah. Agar harta

peninggalan tersebut, dapat dibagi sebagai harta warisan (al-mauruts/al-mirats),

maka perlu diselesaikan kewajiban-kewajiban terkait dengan harta

pewaris.20Harta peninggalan (Tirkah) mayit yang dimaksud adalah hal-hal sebagai

berikut ini:

a. Segala yang dimilikinya sebelum meninggal, baik berupa benda maupun

hutang, atau berupa hak atas harta, seperti hak usaha, misalnya dia

bermaksud menghidupkan tanah mati, lalu membasmi tanah tersebut

dengan pagar dan sejenisnya. Atau, hak khiyar dalam jual-beli, hak

menerima ganti rugi, atau qishas dan jinayah (pidana)- manakala dia

menjadi wali bagi seseorang yang mati terbunuh. Misalnya, anaknya

18
Ibid., Halaman 14.
19
Kompilasi Hukum Islam
20
Ahmad Rofiq. 2015.Hukum Perdata Islam Di Indonesia Edisi Revisi. Cetakan kedua.
Jakarta:Rajawali Pers. Halaman 307.
dibunuh oleh seseorang, kemudian pembunuhnya meninggal dunia

sebelum dia menuntut balas atas kematian itu (melalui qishash), sehingga

hak qishash-nya berubah menjadi ganti rugi berupa uang yang diambil

dari peninggalan si pembunuh, persis seperti hutang.

b. Hak-hak yang menjadi miliknya karena kematiannya, misalnya diyat

(denda) bagi pembunuhan secara tidak sengaja atau sengaja atas dirinya,

misalnya para wali justru mengambil diyat dari pembunuhan sebagi ganti

qishash. Maka diyat yang diambil dari pembunuh, hukumnya sama

dengan seluruh harta peninggalan lainnya yang diwarisi oleh semua pihak

yang berhak termasuk suami dan istri.

c. Harta yang dimilikinya sesudah dia meninggal, seperti binatang buruan

yang masuk dalam perangkap yang dipasangnya ketika dia masih hidup,

atau hutang yang kemudian dibebaskan oleh pemilik piutang sesudah dia

mati, atau ada seseorang yang dengan sukarela membayar hutang-

hutangnya. Atau apabila ada orang yang melakukan tindak pidana

terhadap dirinya sesudah dia mati, misalnya memotong tangan atau

kakinya, lalu dikenakan diyat terhadap pelakunya. Semua itu masuk

dalam kategori harta (peninggalan mayit). 21

Bahwa yang dimaksud dengan harta warisan atau harta peninggalan ialah

harta kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia dapat berupa:22

21
Muhammad Jawad Mughniyah. 2011. Fiqih Lima Mazhab : Ja‟fari, Hanafi, Maliki,
Syafi‟I, Hambali. Cetakan kedua tujuh. Jakarta: Lentera. Halaman 569-570.
22
Idris Ramulyo.2000.Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut KUHPerdata (BW). Cetakan Kedua. Jakarta:Sinar Grafika. Halaman 102-103.
a. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang termasuk di

dalamnya piutang yang hendak ditagih (active).

b. Harta kekayaan yang merupakan utang-utang yang harus dibayar pada saat

meninggal dunia atau passive.

c. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-

masing suami-isteri, harta bersama dan sebagainya yang dapat pula

berupa:

1) Harta bawaan suami-isteri atau isteri atau suami saja yang diperoleh/

dinilai sebelum mereka menikah baik berasal dari usaha sendiri,

maupun harta yang diperoleh sebagi warisan mereka masing-masing;

2) Harta bawaan yang diperoleh/dimiliki setelah mereka menikah dan

menjadi suami-isteri, tetapi bukan karena usahanya (usaha mereka

bersama-sama sebagi suami-isteri), misalnya karena menerima hibah

warisan pemberian dari orang tua mereka masing-masing dan lain-lain

sebagainya;

3) Harta yang diperoleh selama dalam perkawinan atau usaha mereka

berdua suami-isteri atau salah seorang dari mereka menurut Undang-

undang menjadi harta bersama.

d. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh mereka suami-

isteri misalnya harta pusaka dari klan atau suku (tribe) atau kerabat

mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang

harus kembali kepada asalnya klan atau suku tersebut.


2. Harta Warisan Menurut Hukum Perdata

Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum

perdata yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan

kewajiban pewaris dalam lapangan hokum harta kekayaan yang dapat dinilai

dengan uang.23

Menurut KUH Perdata, dari manapun harta itu asalnya tetap merupakan

satu kesatuan yang secara keseluruhan beralih dari tangan si meninggal kepada

para ahli warisnya. Dengan demikian, dalam KUH Perdata tidak dikenal adanya

lembaga barang asal (harta bawaan), yaitu barang-barang yang dibawa oleh suami

atau isteri pada saat perkawinan dilangsungkan, pengecualinnya dilakukan dengan

cara dibuat perjanjian kawin24

Menurut Pasal 119 KUH Perdata, sejak dilangsungkannya perkawinan

terjadilah persatuan yang bulat antara kekayaan suami dan kekayaan isteri, dengan

tidak memandang dari siapa asalnya harta tersebut. Harta benda yang diperoleh

selama perkawinan baik yang diperoleh si suami maupun isteri, baik secra sendiri-

sendiri atau bersama-samamenjadi harta persatuan yang bulat. Demikian juga

harta yang diperoleh dari warisan masing-masing, maupun yang diperoleh dari

hibah baik kepada suami ataupun kepada isteri atau kepada mereka berdua,

semuanya menjadi harta warisan. Apabila terjadi perceraian atau salah satu

meninggal dunia, maka harta perkawinan terlebih dahulu dibagi dua sama rata,

antara suami dan istri.25

23
Maman Suparman. 2018. Hukum Waris Perdata. Cetakan Ketiga . Jakarta; Sinar
Grafika. Halaman 20.
24
Ibid., halaman 20.
25
Ibid.,halaman 20.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam KUH Perdata masih dapat diadakan

penyimpangan dengan cara dibuatnya perjanjian perkawinan, yaitu persetujuan

yang dibuat pada waktu perkawinan dilangsungkan, khususnya yang berkaitan

dengan persatuan harta kekayaan. Menurut KUH Perdata yang dimaksud harta

warisan, bukan saja berupa harta benda, tetapi juga hak dan kewajiban yang dapat

dinilai dengan uang.26

Sistem hukum waris di dalam BW tidak mengenal adanya harta asal dan

harta perkawinan atau harta gono gini, sebab harta warisan dalam BW dari

siapapun juga harta itu berasal tetapmerupakan “harta peninggalan” yang hulat

dan utuh. Harta itu secara keseluruhan akan beralih dari tangan si peninggal harta

warisan kepada para ahli warisnya. Hal ini diatur dalam Pasal 849 BW sebagai

berikut: ”Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari barang-

barang dalam sesuatu harta peninggalan untuk mengatur perwarisan

terhadapnya”.27

B. Ahli Waris

Masa jahiliyah (masa kebodohan) sebelum islam, pusaka hanya diberikan

kepada keturunan yang ditentukan yaitu laki-laki yang kuat berperang saja ,

sedangkan kepada anak perempuan dan anak laki-laki yang belum dewasa tidak di

berikan. Ketika seorang Anshor yang bernama Aus bin Tsabit meninggal dan

meninggalkan dua putri dan satu anak laki-laki yang masih kecil, datanglah dua

orang anak pamannya yaitu, Khalid dan „Arfatha yang menjadai „ashabah. Mereka

mengambil semua harta peninggalannya, maka datanglah istri Aus bin Tsabit

26
Ibid., halaman 20.
27
Ibid., halaman 21.
kepada Rasulullah SAW, untuk menerangkan kejadian itu Rasulullah SAW

bersabda: “Saya tidak tahu apa yang harus saya katakana”, maka turunlah surat

an-Nisa‟ ayat 7 :

           

        

“Bagi laki-laki ada bahagian dari harta peninggaln ibu-bapak dann

kerabat-kerabatnya dam bagi perempuan ada pula bahagian dari harta

peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit atau banyak

menurut pembagian yang telah ditetapkan” ( Q.S. an-Nisa‟ ayat 7).28

Beberapa pengertian ahli waris menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1. Menurut Emeliana Krisnawati

Ahli waris adalah orang yang menggantikan kedudukan pewaris atau

orang yang mendapat/ menerima harta warisan.

2. Menurut Eman Suparman

Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima pusaka ( peninggalan orang

yang telah meninggal). Ahli waris yaitu sekalian orang yang menjadi

waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggaan

pewaris.

3. Menurut Idris Ramulyo

Ahli waris adalah orang-orang tertentu yang secara limitative diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Selanjutnya Idris Ramulyo

28
Mukhlis Lubisdan Mahmun Zulkifli. 2014. Ilmu Pembagian Waris. Cetakan pertama.
Bandung; Citapustaka Media. Halaman 7.
mengatakan bahwa ahli-ahli waris tersebut tampil sebagai ahli waris

karena :

a. Ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde)

atau mewaris secaralangsung, misalnya jika ayah meninggal dunia,

maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris;

b. Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvevulling) dalam hal ini

disebut ahli waris tidak langsung, baik penggantian dalam garis lurus

ke bawah maupun penggantian dalam garis kesamping (zijline),

penggantian dalam garis kesamping, juga melibatkan penggantian

anggota- anggota keluarga yang lebih jauh;

c. Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta;29

Ahli waris dalam islam dibagi ke dalam beberapa golongan, antara lain

garis ke bawah yaitu anak,cucu, dan seterusnya; garis ke atas, yaitu ibu dan bapak,

kakek dan nenek, dan seterusnya; garis ke samping , yaitu suami atau isteri yang

hidup terlama, saudara , dan seterusnya, hingga pihak di luar nasab seperti tolan

seperjanjiannya.30 Menurut Kompilasi Hukum Islam ahli waris adalah

sebagaimana di atur dalam Buku II Hukum Kewarisan , BAB I ketentuan umum ,

dalam Pasal 171 huruf (c) : “Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal

dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,

beragama Islam dan tidak terhalang karena hokum untuk menjadi ahli waris”.31

29
Maman Supraman.Op.Cit.,halaman 19.
30
Sayuti Thalib. 2018. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Edisi Revisi). Cetakan
Kedua. Jakarta; Sinar Grafika. Halaman 58.
31
Kompilasi Hukum Islam.
Ada tiga jenis ahli waris yang akan mendapatkan warisan sesuai dengan

kriteria pewarisan, yaitu :

1. Tertib Ahli Waris Laki-Laki (Lk)

Ahli waris kelompok laki-laki berjumlah 15 (lima belas) orang dengan

rincian sebagai berikut :

a. Anak laki-laki;

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah;

c. Ayah;

d. Kakek sahih dan seterusnya ke atas;

e. Saudara laki-laki sekandung;

f. Saudara laki-laki seayah;

g. Saudara laki-laki seibu;

h. Anak lk, dari saudara lk, sekandung;

i. Anak lk, dari saudara lk, seayah;

j. Saudara lk, ayah (paman) sekandung;

k. Saudara laki-laki ayah (paman) seayah;

l. Anak lk, dari paman sekandung;

m. Anak lk, dari paman seayah;

n. Suami;

o. Laki-laki yang memerdekakan hamba.32

32
Athoillah. Op.,Cit. Halaman 77-78.
2. Tertib Ahli Waris Perempuan

Ahli waris dari kelompok perempuan secara rinci berjumlah 10 (sepuluh)

orang, antar lain sebagai berikut:

a. Anak perempuan;

b. Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah;

c. Ibu;

d. Nenek yang shahihah dan seterusnya ke atas (ibu dari ibu);

e. Nenek yang shahihah dan seterusnya ke atas (ibu dari ayah );

f. Saudara perempuan sekandung;

g. Saudara perempuan seayah;

h. Saudara perempuan seibu;

i. Istri;

j. Perempuan yang memerdekakan budak.33

3. Ahli Waris Khuntsa (Waria)

Ahli waris Khuntsa adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki

sekaligus alat kelamin perempuan dalam waktu yang sama, atau sama sekali tidak

memiliki salah satunya di antaranya, atau orang yang tidak dikenal apakah dia

dari jenis laki-laki atau perempuan.

Khuntsa yang mempunyai alat kelamin mudah diketahui jenisnya, bias

dilihat dari kemiripannya. Namun, ia menjadi muskil jika ada orang yang hanya

memiliki lubang air seni tetapi tidak mirip dengan salah satu pun di antara dua

kelamin. Orang yang semacam ini benar-benar muskil, tidak diketahui dengan

33
Ibid., Halaman 97.
jelas selama yang bersangkutan masih bayi. Akan tetapi, apabila telah balig, baru

dapat diketahui dengan jelas jenisnya.34

Pembahasan ahli waris laki-laki didahulukan karena mereka pada

umumnya dapat mewarisi secara „ashabah binafsih. Bahkan, dalam keadaan

tertentu dapat menghijab ahli waris lainnya.35

1. Sebab- Sebab Menjadi Ahli Waris

Sebab –sebab dapat menjadi ahli waris ada tiga yaitu: 1) keturunan atau

nasab, ahli waris berdasarkan keturunan dapat kita jumpai dalam al-Qura surat an-

Nisa‟ ayat 7. Berdasarkan keturunan antara lain: bapak, ibu, anak,, datuk, nenek,

cucu, dan lain-lain. 2) hubungan nikah (perkawinan) ahli waris berdasarkan

hubungan nikah perkawinan adalah suam atau isteri. Meskipun belum pernah

berkumpul atau telah bercerai tetapi dalam masa iddah talak raja‟i (talak rujuk).

Dalil tentang ini akan dijelaskan pada bagian lain nanti dalam al-Qur‟an surat an-

Nisa‟ ayat 11 dan 12. 3) hubungan wala‟ adalah hubungan antara bekas budak dan

orang yang memerdekakannya, apabila bekas budak itu tidak mempunyai ahli

waris yang berhak menghabiskan seluruh harta warisan.36

2. Sebab – Sebab Tidak Mendapat Warisan

Baik ahli waris dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan dapat

terhalang menjadi ahli waris dengan salah satu sebab.37 Di antara ahli waris ada

34
Ibid., Halaman 115.
35
Ibid., Halaman 77.
36
Mukhlis dan Mahmun Zulkifli. Op Cit., Halaman 9-10.
37
Ibid., Halaman 11.
yang tidak patut dan tidak berhak mendapat bagian waris dari pewarisnya karena

beberapa penyebab, yaitu:38

a. Perbedaan Agama

Orang Islam tidak mendapat pusaka dari orang yang tidak beragama Islam

dan demikian juga sebaliknya, Sabda Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah

orang islam mewarisi orang kafir dan tidaklah orang kafir mewarisi orang

islam” (HR.Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain Rasulullah SAW

bersabda: “Tidaklah waris-mewarisi antara dua ahli agama” (HR. Ahmad dan

Imam yang Empat dan Tirmidzi).

b. Membunuh

Orang yang membunuh keluarganya tidak berhak mendapat pusaka dari

keluarganya yang dibunuhnya itu. Rasulullah SAW bersabda: “Yang

membunuh tidak mewarisi sesuatu pun dari yang dibunuhnya”, (HR.Nasai)

c. Menjadi budak orang lain

Orang yang menjadi budak tidak berhak mendapat pusaka dari orang yang

merdeka. Allah SWT berfirman:

                 

             

“Allah SWT telah mengadakan perumpamaan yaitu seorang hamba yang

dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu”, (QS. An-Nahl: 75).39

38
Eman Suparman. Op Cit., halaman 23.
39
Mukhlis dan Mahmun Zulkifli, Op.cit., Halaman 11-12
3. Ahli Waris Dalam Hukum Perdata

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “waris” adalah orang yang

berhak menerima harta peninggalan dari pewaris. Waris lazim disebut ahli waris.

Ahli waris terdiri dari ats waris asli, waris karib, waris sah. Waris asli adalah ahli

waris sesungguhnya, yaitu anak, istri/suami dari pewaris. Waris karib adalah ahli

waris yang dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris. Sedangkan waris sah

adalah ahli waris yang diakui dan/atau diatur menurut hukum undang-undang,

hukum agama , atau hukum adat, meliputi juga ahli waris asli, ahli waris karib,

ahli waris wasiat, ahli waris pengganti, dan ahli waris negara.40Menurut Pasal 832

ayat (1) KUHPerdata, ada 4 (empat) golongan ahli waris ab intestato, yaitu:

a. Golongan I(pertama): anak sah, suami isteri yang hidup paling lama, termasuk

istri kedua atau suami kedua dan seterusnya. (Pasal 852 jo Pasal 852a

KUHPerdata).

b. Golongan II (kedua): orang tua dan saudara-saudara sekandung, seayah atau

seibu (Pasal 854 jo Pasal 857 KUHPerdata).

c. Golonga III (ketiga): sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas baik

dalam garis ayah, maupun ibu. Secara singkat dapat dikatakan, kakek-nenek

dari pihak ayah dan kakek-nenek dari pihak ibu (Pasal 853 KUHPerdata).

d. Golongan IV (keempat): keluarga sedarah kesampin g sampai derajat keenam

(Pasal 861 jo Pasal 858 KUHPerdata). Mereka ini adalah saudara sepupu dari

pihak ayah maupun dari pihak ibu.

40
Abdulkadir Muhammad.2014. Hukum Perdata Indonesia. Cetakan ke-V. Bandar
Lampung: PT Citra Aditya Bakti. Halaman 211.
Keempat golongan ini dapat mewaris karena kedudukan sendiri (uit eigen

hoofde) dan karena penggantian tempat (bij plaatsvervulling/ representasi).

Keempat golongan ini mewaris berdasarkan asas perderajatan, artinya keluarga

yang lebih dekat menutup peluang keluarga yang lebih jauh (keuali dapat terjadi

golongan III dan golongan IV bersama-sama menjadi ahli waris).

Jika keempat ahli waris ab intestato ini tidak ada, maka harta warisan jatuh

ke tangan negara bukan sebagai ahli waris, tetapi sebagai pemilik harta warisan

(Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata jo Pasal 520 KUHPerdata). 41

4. Ahli Waris Menurut Surat Wasiat ( Ahli Waris Testamentair)

Adapun ahli waris menurut surat wasiat atau testament, jumlahnya tidak

tentu sebabahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.

Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukkan seseorang atau bebrapa orang

ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan.42

C. Hukum Waris Islam

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam

di mana saja di dunia ini. Meskipun demikian, corak suatu negara Islam dan

kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas

hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak

dapat melampaui garis-garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam

41
Djaja S. Meliala. 2018. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.cetakan ke-1. Bandung: Nuansa Aulia. Halaman 9-10.
42
Eman Suparman, Op Cit., halaman 29-30.
tersebut. Namun, pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari

ijtihad atau pendapat ahli-ahli hukum Islam sendiri.43

Kata warasa asal kata kewarisan banyak yang digunakan dalam Alquran.

Karena memang dalam Alquran dan kemudian dirinci dalam Sunnah Rasulullah

SAW, hukum kewarisan Islam dibangun. Menurut etimologi kata warasa

memiliki beberapa arti; pertama ,mengganti (lihat QS.Al-Naml: 16), kedua

memberi (lihat QS.al-Zumar:74), dan ketiga, mewarisi (QS. Maryam: 6). Secara

terminology hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,

mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap

yang berhak.44

Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang sangat kuat, yaitu

ayat-ayat Al-Qur‟an yang selai kedudukannya qath‟iy al-wurud, juga qath‟it al-al-

dalalah, meskipun pada dataran tanfidz aplikasi, sering ketentuan baku Al-

Qur‟an tentang bagian-bagian warisan, mengalami perubahan pada hitungan

nominalnya, misalnya kasus radd dan „aul, dan sebaginya.45Adapun sumber

hukum waris islam ada tiga yaitu: Al-Quran, Sunnah Rasul; dan Ijtihad, yaitu

terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam al-quran dan sunnah Rasul.46

D. Hukum Waris Perdata

Pasal 830 menyebutkan pewarisan hanya berlangsung karena kematian.

Jadi,harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli

waris masih hidup ketika harta warisan terbuka. Dalam hal ini, ada ketentuan
43
Sayuti Thalib., Op Cit., halaman 1.
44
Mahmud Yunus Dulay dan Nadlrah Naimi. 2011. Fiqih Muamalah. Cetakan pertama.
Medan; Ratu Jaya. Halaman 121.
45
Ahmad Rofiq, Op Cit.,halaman 295.
46
Mukhlis Lubisdan Mahmun Zulkifli, Op.Cit., Halaman 4.
khusus dalam Pasal 2 KUHPer, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang

perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak

menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada.

Jelasnya, seorang anak yang lahir saat ayahnya telah meninggal, berhak

mendapat warisan. Hal ini diatur dalam Pasal 836, “Dengan mengingat akan

ketentuandalam Pasal 2 Kitab ini, suapaya dapat bertindak sebagai waris, seorang

harus telah ada pada saat warisannya jatuh meluang”. Setelah seorang dinyatakan

meninggal dunia, maka munculah beberapa kewajiban bagi para ahli waris

terhadap pewaris untuk menunaikannya sebelum harta warisan pewaris tersebut

dibagikan. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut :

1. Biaya pengurusan mayat. Biaya-biaya dimaksud menyangkut biaya untuk

membeli tanah kuburan, biaya pemandian, pengkafanan, dan biaya

pemakaman;

2. Membayar utang-utang si mayit, bila ada;

3. Menunaikan wasiat si mayit, bila ada.

Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan,

yaitu sebagai berikut :

1. Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang) dalam pasal 832.

Menurut ketentuan undang-undnag ini, yang berhak menerima bagian

warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun diluar kawin dan

suami istri yang hidup terlama.Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris

ini dibagi dalam empat golongan yang masing-masing merupakan ahli

waris golongan pertama, kedua, ketiga, dan golongan keempat.


2. Secara testamentair (ahli waris karena ditujuk dalam wasiat = testamen)

dalam Pasal 899. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk

para ahli warisnya ditunjuk dalam surat wasiat/testamen.

Sifat Hukum Waris Perdata Barat (BW), yaitu menganut :

1. Sifat Pribadi yaitu ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok

ahli waris.

2. Sistem bilateral yaitu mewaris dari pihak ibu maupun bapak.

3. Sistem perderajatan adalah ahli waris yang derajatnya lebih dekat

dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.

Adapun hak-hak yang dipunyai ahli waris ialah sebagai berikut :

1. Hak Saisine

Hak tersebut diatur dalam Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata yang

menyatakan bahwa :Selain ahli waris dengan sendirinya karena hukum

memperoleh hak atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang

meninggal dunia.

Kata saisine berasal dari bahasa Perancis “Le mort saisit le vit “ yang

berati bahwa yang mati dianggap memberikan miliknya kepada yang masih hidup.

Maksudnya adalah bahwa ahli waris segera pada saat meninggalnya pewaris

mengambil alih semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris tanpa adanya

suatu tindakan dari mereka, kendatipun mereka tidak mengetahuinya.

2. Hak Hereditatis Petitio

Hak ini diberikan oleh undang-undang kepada para ahli waris terhadap

mereka, baik atas dasar suatu titel atau tidak menguasai seluruh atau sebagian dari
harta peninggalan, seperti juga terhadap mereka yang secar licik telah

menghentikan penguasaannya. Dalam KUH Perdata, hak ini diatur dalam Pasal

834 dan Pasal 835.

3. Hak untuk Menuntut Bagian Warisan

Hak ini diatur dalam Pasal 1066 KUH Perdata. Hak ini merupakan hak

yangterpenting dan merupakan ciri khas dari Hukum Waris. Pasal 1066

menyatakan bahwa: Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalm harta

peninggalan diwajibkan menerima berlangsungya harta peninggalan itu dalam

keadaan tidak terbagi. Pemisahan ini setiap waktu dapat dituntut, biarpun ada

larangan untuk melakukannya.Namun dapatlah diadakan persetujuan untuk

selama suatu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan.

4. Hak untuk Menolak Warisan

Hak untuk menolak warisan diatur dalam Pasal 1045 jo Pasal 1051 KUH

Perdata.Pasal 1051 berbunyi :

“Tiada seorang pun diharuskan menerima berlangsungnya harta


peninggalan dalam keadaan tidak terbagi. Pemisahan harta peninggalan itu
dapat sewaktuwaktu dituntut, meskipun ada ketentuan yang bertentangan
dengan itu. Akan tetapi dapat diadakan persetujuan untuk tidak
melaksanakan pemisahan harta peninggalan itu selama waktu tertentu.
Perjanjian demikian hanya mengikat untuk lima tahun, tetapi tiap kali
lewat jangka waktu itu perjanjian itu dapat diperbarui.”47

47
Iga Alfianita. 2017. ”Tinjauan Yuridis Pembagian Harta Warisan Pasangan Suami Istri
Yang beda Agama (Perspektif Hukum Islam dan KUHPerdata)”Skripsi. UIN Awaludin Makasar.
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan tentang Pembagian Warisan Kepada Ahli Waris yang

Berbeda Agama

Menurut kitab undang-undang hukum Perdata Pasal 832:

yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik
sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua
menurut peraturan tertera, dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah,
maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala
harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik Negara, yang mana
berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadaar harga harta peninggalan
mencukupi untuk itu.48 Sedangkan menurut KHI: Ahli waris ialah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf (c) KHI). 49

Ahli waris berdasarkan hubungan darah menurut undang-undang, yang

berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun

luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama (Pasal 832 KUHPerdata).

Dengan demikian, seseorang harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris.

Hubungan darah tersebut bisa sah atau luar kawin melalui garis ibu atau bapak.

Hubungan darh sah jika ditimbulkan segala akibat suatu perkawinan yang sah.

Hubungan luar kawin adalah hubungan antara laki-laki dengan seorang

perempuan dan pengakuan anak secara sah.50

Tidak semua keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris

tampil untuk mewaris. Kedudukan sebagai keluarga sedarah baru memberikan

kemungkinan untuk mewaris. Keluarga yang lebih dekat dengan pewaris yang

48
Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
49
Pasal 171 huruf (c) KHI
50
P.N.H. Simanjuntak., Op Cit. Halaman 218.
akan tampil untuk mewaris. Dengan demikian, menutup kemungkinan mewaris

keluarga yang lebih jauh. Untuk menentukan jauh dekatnya hubungan darah

keluarga, maka ahli waris dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu:

1. Golongan I, yakni terdiri dari suami istri dan anak beserta

keturunannya.

2. Golongan II, yakni terdiri dari orangtua dan saudara-saudar beserta

keturunannya.

3. Golongan III, yakni terdiri dari kakek dan nenek beserta seterusnya ke

atas.

4. Golongan IV, yakni terdiri dari keluarga dalam garis menyamping

yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III

beserta keturunannya.

Menurut Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata, Negara sebag penerima warisan

jika tidak ada lagi ahli waris (keluarga sedarah maupun suami atau istri yang

hidup terlama). Kedudukan Negara sebagai penerima warisan berbeda dengan ahli

waris. Adapun perebedaannya adalah:

1. Negara hanya berkewajiban membayar utang pewaris sepanjang aktiva

warisan mencukupi (Pasal 832 ayat 2 KUHPerdata).

2. Negara tidak dengan sendirinya mengambil alih hak dan kewajiban

pewaris, akan tetapi harus melalui putusan hakim (Pasal 833 ayat 3

KUHPerdata). 51

51
Ibid., Halaman 219
1. Bagian-bagian waris menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam ahli waris yang dinyatakan yang mendapat harta

warisan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:

a. Dzul faraa-idh, adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu

jumlahnya, meliputi: anak perempuan yang tidak didampingi anak laki-

laki, ibu, bapak, ada anak, duda, janda, saudara laki-laki dalam kalabah,

saudara perempuan dalam kalalah, serta saudara laki-laki dan

perempuan dalam kalalah..52

b. Ashabah

Ahli waris ashabah ini harus menunggu sisa pembagaian dari ahli waris

yang telah ditentukan bagiannya, dan keitimewaan ashabah ini ia dapat

menghabisi seluruh, kalu ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil

apa yang menjadi haknya. Secara umum ashabah ini terbagi kepada 2 (dua), yaitu:

1. Ashabah nasabiyah, yaitu menjadi ashabah disebabkan adanya

hubungan darah dengan si pewaris. Ashabah nasabiyah ini terbagi

keapada 3 (tiga) yaitu:

a. Ashabah bin Nafsi, yaitu menjadi ashabah dengan dirinya sendiri,

yaitu disebabkan karena kedudukannya. Adapun ahli waris yang

menjadi ashabah bin nafsi ini adalah seluruh ahli waris yang laki-laki

kecuali suami dan saudara laki-laki seibu.53

52
Eman Suparman., Op.cit. Halaman 19-22.
53
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak.2017. Hukum Waris Islam (Lengkap &
Praktis).Cetakan kelima.Jakarta:Sinar Grafika.Halaman 99-100.
b. Ashabah Bil Ghoiri (perempuan)

Ashabah bil ghair ialah setiap perempuan yang memerlukan orang

lain untuk menjadikan ashabah dan untuk bersama-sama menerima

sisa harta peninggalan dari ashabul furudh atau seluruh harta

peninggalan bila tidak ada aschabul furudh, dengan ketentuan laki-

laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan, sebagaimana yang

telah dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa ayat 11 dan 176. Ashabah bil

ghair dapat pula diartikan setiap perempuan yang menjadi ashabah

karena berbarengan dengan saudara laki-laki yang menjadi ashabah

karena berbarengan dengan saudara laki-laki yang menjadi ashabah

bi an-nafsi yang sama derajat dan kekuatan kekerabatannya.

Ada empat perempuan yang tergolong menjadi ashabah bil ghair yaitu

sebagai berikut:

1) Anak perempuan dikarenakan anak laki-laki;

2) Cucu perempuan dikarenakan cucu laki-laki;

3) Saudara perempuan seibu-sebapak dikarenakan saudara laki-laki

seibu sebapak;

4) Saudara perempuan sebapak diakrenakan saudara laki-laki

sebapak.54

c. Ashabah Ma‟al Ghoiri

Ashabah ma‟al ghairi yakni saudara perempuan yang mewarisi

bersama keturunan dari pewaris, mereka itu adalah :

54
Athoillah, Op Cit., Halaman 95.
1) Saudara perempuan sekandung; dan

2) Saudara perempuan seayah. 55

2. Ashabah sababiyah semuanya menerima bagian furudl al-muqaddarah

sebagi berikut:

a) Suami menerima 1/2 bila tidak ada anak atau cucu, 1/4 bila anak atau

cucu.

b) Isteri menerima bagian 1/4 bila tidak ada anak atau cucu, 1/8 bila ada

anak atau cucu. (QS Al-Nisa (4):12).56

c. Dzul Arham

Dzul arham adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan

pewaris melalui pihak wanita saja. Dzul arham akan mewaris kalau sudah tidak

ada dzul faraidh dan tidak ad ashabah.57

2. Bagian-bagian waris menurut Hukum Perdata

Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris,

yaitu isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari

pewaris. Menurut KUH Perdata, ahli waris menurut Undang-undang atau ahli

waris ab intestato berdasarkan hubungan darah dibagi menjadi empat golongan.

Adapun ahli waris menurut wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli

waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Ahli waris

menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan

segala kewajiban dari pewaris. Jadi mungkin kalau dalam hal ini orang tersebut

55
Eman Suparman, Op Cit., Halaman 19.
56
Ahmad Rofiq, Op Cit., Halaman 328.
57
Eman Suparman, Op Cit., Halaman 19.
tidak mempunyai hubungan darah/ikatan keluarga apapun dengan si pewaris

(Pasal 899 KUHPerdata).

Adapun bagian masing-masing ahli waris menurut BW yaitu sebagai

berikut:

a. Ahli Waris Golongan I (Pertama)

1) Keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta

keturunannya, tanpa membedakan jenis kelamin, waktu kelahiran dari

perkawinan pertama atau kedua, sebagaiman diatur dalam Pasal 852,

di mana bagian mereka sama besar, dan mewarisi kepala demi kepala

dan mengenal sistem pergantian.

2) Suami atau isteri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling lama.

Suami atau istri yang hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli

waris pada tahun 1935 sedangkan sebelumnya suami atau isteri tidak

saling mewaris. Dalam hal ini pembagian suami atau isteri dari

perkawinan pertama adalah sama besar dengan bagian anak , kecuali

isteri atau suami dari perkawinan kedua, yang mendapat bagian

maksimal ¼ bagian dari harta warisan atau tidak boleh melebihi bagian

anak yang terkecil, apabila dari perkawinan pertama dilahirkan anak,

sebagaimana diatur dalam Pasal 852 (a) KUH Perdata berbunyi:

“Anak-anak atau sekalian keturunan mereka walaupun dilahirkan


darilain-lain perkawinan , mewaris dan kedua orang tua ,kakek,nenek
atausemua keluarga sedarah mereka dalam garis lurus ke atas, dengan
tiadaperbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan
berdasarkankelahiran lebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi
kepala, jika dengan simeninggal (pewaris) mereka bertalian keluarga
dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri
sendirian, mereka mewarispancang demi pancang, jika mereka semua
atau sebagian dari mereka bertindak sebagai pengganti”.

3) Anak luar kawin yang diakui sah yang mendapat bagian warisan tidak

sama dengan anak sah.

b. Ahli Waris Golongan II (Kedua)

Ahli waris golongan kedua, yaitu keluarga dalam garis lurus ke atas,

meliputi orang tua, saudara-saudara laki-laki dan perempuan dan

keturunannya, bila tidak ada suami atau istri dan keturunannya, maka

warisan jatuh kepada keluarga sedarah golongan kedua.

c. Ahli Waris Golongan III (Ketiga)

Ahli waris golongan III, yaitu keluarga sedarah dalam garis lurus

ke atas jika si pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau

istri, orang tua, saudara-saudara atau keturunan saudara-sudara, maka yang

mendapat giliran adalah keluarga sedarah selanjutnya di dalam garis lurus

ke atas yang disebut golongan ke-III (ketiga).

Menurut Pasal 850 dan Pasal 853 ayat (1) KUH Perdata harta

peninggalan harus dibagi atau dibelah menjadi dua bagian yang sama

besarnya, satu bagian untuk semua keluarga sedarah dalam garis si bapak

lurus ke atas satu bagiam lainnya untuk semua keluarga sedarah yang

sama dalam garis ibu. Ahli waris yang terdekat derajatnya dalam garis

lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian dalam garisnya, dengan

mengesampingkan semua ahli waris lainnya (Pasal 853 ayat (2) KUH

Perdata.
d. Ahli Waris Golongan IV (Keempat)

Ahli waris golongan keempat, yaitu keluarga lainnya dalam garis

menyamping yang dibatasi sampai dengan derajat keenam, baik dari pihak

ayah maupun dari pihak ibu. Pasal 858 KUH Perdata, menentukan:

“Dalam hal tidak adanya sudara-saudara laki-laki dan perempuan


dan tidak adanya pula keluarga sedarah dalam satu garis ke atas,
setengah bagian dari warisan menjadi bagian sekalian keluarga
dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan setengah bagian
lainnya, kecuali dalam hal tersebut dalam Pasal 859 menjadi
bagian para sanak saudara dalam garis yang lain”.

Ahli waris golongan keempat baru akan tampil apabila tidak ada

ahli waris dari golongan ketiga.58

3. Pengaturan pembagian warisan kepada ahli waris yang beda agama

Kalangan mayoritas ulama konvensional (fuqaha dan mufassirin) telah

sepakat bahwa disebabkan beda agama dapat menghalangi hak waris (mawani‟ al-

irts). Tetapi, kemudian mereka terjadi perbedaan pendapat dalam masalah, kapan

orang kafir tidak boleh mewaris harta warisan (al-mauruts) orang muslim, apakah

orang muslim boleh mewarisi harta waris orang kafir apabila ditemukan adanya

sebab-sebab yang membolehkan untuk mewarisi, dan apakah selain agama Islam

seperti Yahudi dan Nasrani yang masih dalam satu rumpun agama Allah dapat

mewarisi satu sama lain.59

Mayoritas ulama konvensional mensikapi dua permasalahan pertama di

atas telah consensus, dalam hal ini Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i, dan para

pengikutnya bahwa tidak boleh orang kafir mewarisi tirkah orang muslim, atau

58
Maman Suparman, Op.Cit.,halaman 26-40.
59
Maimun Maimun. “Pembagian Hak Warisan Terhadap Ahli Waris Beda Agama Melalui
Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Hukum Kewarisan”. Dalan Jurnal ASAS Vol. 9 No. 1 Januari
2017
sebaliknya, apakah disebabkan karena hubungan memerdekakan budak (alwala‟),

hubungan perkawinan (al-zaujiyyah), dan/atau hubungan kekerabatan (al-

qarabah). Demikian juga kalau ada seorang muslim meninggal dunia, ia

meninggalkan seorang isteri non muslim (al-kitabiyah), atau kerabat non muslim

kemudian mereka masuk Islam sebelum tirkah al-muwarrits dibagikan, maka

mereka tetap tidak mendapatkan hak waris. 60

Berbeda dengan Jumhur ulama konvensional, Imam Ahmad bin Hanbal

berpendapat bahwa orang kafir dapat mewarisi tirkah orang muslim, dan juga

sebaliknya disebabkan al-wala‟, mereka yang beda agama tapi masih dalam satu

rumpun agama Allah, isteri non muslim, dan kerabat non muslim yang masuk

Islam sebelum tirkah dibagikan. Sementara Mu‟az bin Jabal, Mu‟awiyah bin Abi

Sofyan, Sa‟id bin al-Musayyab, Masruq, al-Nakha‟iy, Muhammad bin al-

Hanafiyyah, Muhammad bin „Ali bin al-Husain, bin „Ali bin Abi Thalin, dan

Ishaq bin Ruwaihah berpendapat bahwa orang muslim dapat mewaris dari orang

kafir, tetapi tidak sebaliknya. 61

Para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam mensikapi harta warisan

orang murtad. Jumhur fuqaha (Malikiyyah, Syafi‟iyyah, dan Hanabilah)

berpendapat bahwa orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang murtad, karena

tidak ada kewarisan antara orang muslim dengan orang kafir (la yarits al-muslim

al-kafir). Dengan murtad, seseorang telah ke luar dari Islam dan dia menjadi kafir.

Dia juga secara otomatis telah memutuskan silah syari‟ah kepada ahli warisnya.

Jumhur dengan tegas menyatakan bahwa harta warisan mereka tidak bisa diwarisi

60
Ibid.
61
Ibid.
oleh siapapun, termasuk ahli warisnya yang sama-sama murtad. Harta warisannya

menjadi harta fai‟ yang harus diserhkan ke baitul maal untuk kepentingan

umum.Sedangkan menurut mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta warisan

orang murtad menjadi hak milik ahli warisnya yang beragama Islam dalam

pengertian dapat diwaris oleh ahli warisnya.62

B. Akibat Hukum Pembagian Warisan Ahli Waris Yang Berbeda Agama

1. Sebab-Sebab Mendapat Warisan Dalam Hukum Islam

Menurut hukum islam masalah kewarisan baru timbul apabila dipenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

a. Karena hubungan perkawinan

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan

adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan seseorang tersebut, yang

termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri dari si mayit.

b. Karena adanya hubungan darah

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan

adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayit, yang

termasuk dalam klasifikasi ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit,

saudara, anak saudara dan lain-lain.

c. Karena memerdekan si mayit

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayit

disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayit dari perbudakan, dalam hal ini

dapat saja seorang laki-laki atau seorang perempuan.

62
Ibid.
d. Karena sesama islam

Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tdak meninggalkan ahli waris

sama sekai (punah), maka harta warisannya diserahkan kepada Biatul Mal, dan

lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.63

Menurut Ahmad Rofiq dalam hukum perdata islam di Indonesia yang

menjadi sebab mewarisi adalah sebagai berikut:

a. Al-qarabah (pertalian darah)

Al-qarabah atau pertalian darah di sini mengalami pembaharuan yaitu, smua ahli

waris yang ada pertalian darah, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak diberi

hak untuk menerima bagian menurut dekat jauhnya kekerabatannya. Bahkan bayi

yang masih berada di dalam kandungan pun mempunyai hak yang sama dengan

yang sudah dewasa. Namun dalam hal ini, berlaku ketentuan ahli waris yang lebih

dekat dapat menutupi (menghijab) ahli waris yang jauh, sesuai ketentuan Al-

Qur‟an dan al-Sunnah. Karena itu dapat dinyatakan, bahwa sistem kekerabatan

yang dipakai dalam hukum islam adalah sistem hukum bilateral atau parental.

Artinya, penentuan hubungan kerabat dihubungkan kepada garis ibu dan garis

ayah. Meskipun bagian wanita hanya separuh dari bagian laki-laki.

b. Al-Mushaharah (hubungan perkawinan)

Perkawinan yang sah seorang laki-laki dan seorang perempuan, baik menurut

hukumagama dan kepercayaan maupunn hukum negara, menyebabkan adanya

hubungan saling mewarisi, apabila salah satunya meninggal dunia. Untuk

mengetahui adanya perkawinan tersebut , hanya dapat dibuktikan melalui akta

63
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak. Op.,cit. Halaman 55-56.
nikah yang dikelurakan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sebagian anggota

masyarakat sering mempersoalkan, untuk tidak mengatakan mempertentangkan,

antara ketentuan hukum agama dan hukum positif. Ini menimbulkan implikasi,

mereka merasa perkawinannya sah, apabila ketentuan hukum agama, syarat dan

rukunnya terpenuhi. Soal pencatatan dan akta nikah hanyalah soal administrasi

saja.

c. Al-Wala (memerdekakan hamba sahaya)

Al-Wala adalah hubungan kewarisan karena seseorang memerdekakan hamba

sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong. Jika yang memerdekakan budak

itu laki-laki disebut mu‟tiq dan jika perempuan disebut mu‟tiqah. Bagiannya 1/6

dari harta warisan pewaris. Dalam kompilasi sebab ketiga ini tidak dicantumkan,

karena dalam kehidupan sekarang ini, lebih-lebih di Indonesia, perbudakan tidak

diakui lagi keberadannya. Karena itu sebab-sebab saling mewarisi menurut

kompilasi hukum islam terdiri dari dua hal yaitu hubungan darah dan karena

hubungan perkawinan (Pasal 174 ayat (1) KHI).64

2. Sebab-Sebab Mendapat Warisan Dalam Hukum Perdata (BW)

Dalam Pasal 830 KUH Perdata (BW) disebutkan bahwa pewarisan hanya

terjadi karena kematian, ini berarti hanya kematian sajalah yang menjadi

penyebab mewaris (terjadinya pewarisan). Karenanya adalah yang paling penting

menentukan saat meninggalnya itu. Biasanya dianggap sebagai yang menentukan

ialah saat jantung berhenti berdenyut atau saat nafasnya berhenti berhembus.

64
Ahmad Rofiq. Op.,cit. Halaman 315-318.
Kemudian secara spesifik mengenai sebab-sebab para ahli waris berhak menerima

warisan adalah:

a. Hidup pada saat warisan terbuka seorang ahli waris menerima warisan adalah

karena ia masih hidup pada saat warisan terbuka sebagaimana dalam Pasal

836 KUH Perdata dengan pengecualinnya sebagaimana Pasal 2 ayat 2

KUHPerdata BW.

b. Bukan o

c. rang yang dinyatakan tidak patut (onwaardig). Orang yang menjadi ahli waris

tidak dinyatakan orang yang tidak patut untuk menerima warisan,

berdasrakan Pasal 836 KUHPerdata (BW).

d. Tidak menolak warisan. Orang yang tidak menolak (verwerpen) adalah orang

yang masih hidup dan tidak diwakili dengan cara menggantian sebagaiamana

diatur dalam Pasal 1060 KUHPerdata (BW). 65

3. Sebab-sebab Terhalang Mendapat Warisan Dalam Hukum Islam

Baik ahli waris dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan dapat

terhalang menjadi ahli waris dengan salah satu sebab berikut:

a. Perbedaan Agama

Orang Islam tidak mendapat pusaka dari orang yang tidak beragama Islam dan

demikian juga sebaliknya. Sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah orang Islam

mewarisi orang kafir dan tidaklah orang kafir mewarisi orang Islam” (HR.Bukhari

dan Muslim).

b. Membunuh
65
Anonim, “yuridis empiris”, http://datarental.blogspot.com/2009/06/hukum-kewarisan-
kuh-pedata-bw-dan.html. Diakses pada tanggal 17 Februari 2019.
Orang yang membunuh keluarganya tidak berhak mendapat pusaka dari

keluarganya yang dibunuhnya itu. Rasulullah SAW bersabda: “Yang membunuh

tidak mewarisi sesuatu pun dari yang dibunuhnya” (HR.Nasai).

c. Menjadi budak orang lain

Orang yang menjadi budak tidak berhak mendapat pusaka dari orang yang

merdeka. Allah SWT berfirman : “Allah SWT telah mengadakan perumpamaan

yaitu seorsng hamba yang dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu (QS. An-

Nahl:75).66

Menurut Eman Suparman dalam Hukum waris Indonesia Dalam Pespektif

Islam, Adat dan BW, menyebutkan ahli waris yang tidak patut dan tidak berhak

mendapatkan warisan adalah sebagai berikut:

a. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari

keluarga yang dibunuhnya;

b. Orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang

beragam islam, demikian pula sebaliknya;

c. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama

islam.67

Menurut Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak dalam Hukum

Waris Islam (lengap dan praktis), menyebutkan ahli waris yang tidak mendapat

warisan adalah sebagai berikut:68

a. Pembunuhan

66
Mukhlis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Op Cit., Halaman 11-12.
67
Eman Suparman. Op.,cit. Halaman 23.
68
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak. Op.,cit. Halaman 56-58.
Perbuatan pembunuh yang dilakukan oleh seseorang ahli waris terhadap si

pewaris menjadi penghalang baginya (ahli waris yang membunuh tersebut) untuk

mendapatkan warisan dari pewaris. Pada dasarnya pembunuhan itu adalah

merupakan tindak pidana kejahatan, namum dalam beberapa hal tertentu

pembunuhan tersebut tidak dipandang sebagai tindak pidana dan oleh karena itu

tidak dipandang sebagai dosa. Kategori pembunuhan tebagi dua yaitu:

1) Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, seperti pembunuhan

di medan perang, melaksanakan hukuman mati, dan membela jiwa, harta,

dan kehormatan.

2) Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum (tindak pidana

kejahatan), seperti pembunuhan dengan sengaja dan pembunihan yang

tidak disengaja.

b. Karena perbedaan/berlainan agama

Adapun yang dimaksud dengan berlainan agama adalah berbedanya agama

yang dianut antara pewaris dengan ahli waris, artinya seseorang muslim tidaklah

mewaris dari yang bukan muslim begitu pula sebaliknya seseorang yang bukan

muslim tidaklah mewaris dari seorang muslim. Apabila pembunuhan dapat

memutuskan hubungan kekerabatan hingga mencabut hak kewarisan, maka

demikian jugalah halnya dengan perbedaan agama, sebab wilayah hukum islam

(khususnya hukum waris) tidak mempunyai daya berlaku bagi orang-orang non

muslim.
Menurut Ahmad Rofiq dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi

Revisi, menyebutkan ahli waris yang tidak mendapat warisan adalah sebagai

berikut:69

a. Pembunuhan

Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya

menyebabkan ia terhalang untuk mewarisi. Kompilasi merumuskannya dalam

Pasal 173 berbunyi:

“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
1) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris;
2) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”

b. Berbeda Agama

Kompilasi tidak menegaskan secara ekspilisit perbedaan agama antara ahli

waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi. Kompilasi hanya

menegaskan bahwa ahli waris beragama islam saat meninggalnya pewaris (Pasal

171 huruf c). Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragam islam, Pasal 172

menyatakan: “ ahli waris dibandang beragama islam apabila diketahui dari kartu

identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang

baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau

lingkungannya”. Sedangkan identitas pewaris hanya dijelaskan dalam ketentuan

umum huruf b, yaituorang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan

meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beraga islam, meninggalkan ahli

69
Ahmad Rofiq. Op.,cit. Halaman 318-321.
waris dan harta peninggalan (Pasal 171). Yang dimaksud berbeda agama di sini

adalah antara orang islam dan non muslim. Perbedan agama yang bukan islam,

atau sama-sama non islam. Misalnya antara orang kristen dan budha tidak

termasuk dalam pengertian ini. Mereka tetap dapat saling mewarisi, karena berarti

tidak berlaku ketentuan hukum islam.

c. Perbudakan

Budak dinayatakan menjadi penghalang mewarisi, karena status dirinya

yang dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Kompilasi tidak

membicarakan masalah perbudakan tentu saja karena perbudakan tidak dikenal

dalam sistem hukum dan nilai-nilai hukum yang ada di Indonesia.

4. AkibatTerhalang Mendapat Warisan Dalam Hukum Perdata

Sesuai menurut Pasal 838 KUH Perdata yang dianggap tidak patut menjadi

ahli waris dan karenanya dikecualikan dari pewarisan ialah:

a. Mereka yang dengan putusan hakim di hukum karena dipersalahkan telah

membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal;

b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena secara

fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah

suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan

hukuman penjara 5 tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat;

c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah yang si

meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;


d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat

yang meninggal.70

Menurut M.U Sembiring dalam Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 838 tidak pantas

untuk mewaris yang karna itu dikecualikan dalam arti tidak berhak mewaris ialah:

a. Orang yang berdasarkan keputusan hakim dipidana karena membunuh atau

mencoba membunuh pewaris. Pembunuhan atau percobaan pembunuhan itu

terjadi karena kesengajaan (opzet) bukan karna chulpa. Pemberian gratie tidak

menyebabkan orang bersangkutan berubah menjadi orang yang pantas mewaris

oleh karena gratie bukanlah meniadakan pidan melainkan hanya meniadakan

pelaksanaan pidana.

b. Orang yang berdasarkan keputusan hakim dipidana karena memfitnah karena

pewaris melakukan suatu perbuatan pidana kejahatan (misdrijf), yang ancaman

pidananya adalah pidana penjara 5 tahun atau lebih berat lagi.

c. Orang yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris untuk membuat atau

mencabut surat wasiatnya. Biasanya ini terjadi suatu pewaris dalam keadaan

sakit. Dalam pengertian membuat atau mencabut juga termasuk merubah

wasiat.

d. Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat

pewaris. Menggelapkan harus diartikan sebagai menghilangkan. 71

70
M. Idris Ramulyo.2000.Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).Cetakan kedua. Jakarta:Sinar
Grafika. halaman 112.
71
M.U Sembiring.1989. Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris Kitab Menurut
Undang-Undang Hukum Perdata. Sumut:Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.Halaman 33-34
Menurut Maman Suparman dalam Hukum Waris Perdata menyebutkan

bahwa ahli waris yang tidak patut mewaris (onwaardig) menurut KUH Perdata

diatur dalam Pasal 838, 839, dan 840. Pasal 840 untuk ahli waris tanpa testament

dan Pasal 912 untuk ahli waris dengan testament. Adapun Pasal 838 KUH Perdata

menyatakan bahwa orang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris karena

dikecualikandari pewarisnya adalah sebagai berikut:72

a. Mereka yang dihukum karena dipersalahkan dalam membunuh atau mencoba

membunuh si yang meninggal.

b. Mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena memfitnah si yang

meninggal dengan mengajukan pengaduan telah melakukan kejahatan dengan

hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat.

c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang

meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.

d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat si

yang meninggal.

Adapun persamaan dan perbedaan ahli waris tanpa testament dan ahli

waris testament dapat dilihat dari segi persamaannya yang dianggap tidak layak

sebagi ahli waris dan perbedaan yang dianggap tidak pantas sebagai ahli waris.

Dua hal itu diuraikan sebagai berikut ini:

Persamaan yang dianggap tidak layak sebagai ahli waris:

a. Jika ia oleh hakim dihukum karena membunuh si peninggal warisan, jadi

wajib ada putusan hakim yang menghukumnya;

72
Maman Suparman. Op.Cit. Halaman 65.
b. Jika ia secara paksa mencegah kemauan si peninggal warisan untuk membuat,

mengubah, atau membatalkan testamentnya;

c. Jika ia melenyapkan, membakar, atau memalsukan testament dari si

peninggal warisan.

Perbedaan yang dianggap tidak pantas sebagai ahli waris:

a. Jika ia oleh hakim dihukum karena berusaha membunuh si peninggal

warisan;

b. Jika ia oleh hakim dianggap bersalah menuduh si peninggal warisan

secara palsu bahwa ia melakukan tindak kejahatan yang dapat diancam

hukuman penjara sedikitnya 5 tahun.

Maksud perbedaan tersebut, yaitu jika seseorang yang mencoba

membunuh atau memfitnah si peninggal warisan tetapi si peninggal warisan tetap

menghibahkan sesuatu kepada orang tersebut, maka dapat dianggap bahwa si

peninggal warisan telah mengampuni orang tersebut.73

C. Analisis Putusan No. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS

Berdasarkan putusan No. 2554/Pdt.G/2011/PA.JS, tentang pembagian

warisan terhadap ahli waris yang berbeda agama, yang diketahui bahwa:

1. Penggugat I yang bernama Hj. Prihastuti ekawati binti H. Soetojo, umur 50

tahun, agama islam, pekerjaan ibu rumah tangga tempat kediaman di kp.

Pulo RT. 003, RW 08, rangkapan jaya, pancoran mas, depok, Jawa Barat,

selanjutnya di sebut Penggugat I.

73
Ibid., Halaman 66.
2. Penggugat II yang bernama Hj. Muji Lestari Dwiwati binti Soetojo, umur

49 tahun, agama islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat kediaman di

jalan manggis 1, no 3, RT 011, RW 04, dr. Sahardjo, Manggarai Selatan,

Tebet, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Penggugt II.

3. Penggugat III yang bernama Yuli Herianti Sukmawati binti H. Soetojo,

umur 45 tahun, agama islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat kedaiman

di jalan Manggis 1, no 3, RT 011, RW 04 dr. Sahardjo, Manggarai Selatan,

Tebet, Jakarta Selatan selanjutnya disebut sebagai Penggugat III.

4. Penggugat IV yang bernama H. Reni Dhalianawati binti H. Soetojo, umur

41 tahun, agama islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat kediaman jl.

Manggis 1, no 3, RT 011, RW 04, dr Soehardjo manggarai selatan, tebet,

Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai Penggugat IV. Dengan ini

mengajukan gugatan kepada Sri Rahyuni Pujiastuti, umur 43 tahun, agama

kristen, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat kediaman jl. Manggis 1 no. 38

RT. 02, RW 04, dr. Sahardjo, Manggai Selatan, Tebet, Jakarta Selatan untuk

disebut sebagai tergugat.

Bahwa penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 17 November 2011

yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.

2554/Pdt.G/2011/PAJS tanggal 17 November 2011. Mengemukakan hal-hal

dengan perubahan sehingga menjadi sebagai berikut:

1. Bahwa pada tanggal 08 Mei 2007 telah meninggal dunia ibu dari orang tua

penggugat dan tergugat dalam keadaan beragam islam umur 66 tahun,

pekerjaan ibu rumah tangga yang beralmat di jl. Manggis 1 no. 3 RT 011,
RW 04, dr. Sahardjo, Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta Selatan

berdasarkan surat keterangan pelapor kematian nomor 62/`1.755.033 yang

dikeluarkan oleh kelurahan Manggarai Selatan pada tanggal 08 Mei 2007

dan dalam hal ini untuk selanjutnya disebut sebagai pewaris;

2. Bahwa semasa hidupnya pewaris telah menikah dengan seorang laki-laki

yang bernama H. Soetodjo alm. Berdasrkan akta nikah no. 43/1958 yang

dikeluarkan oleh kantor urusan agama kecamatan kampung melayu,

kabupaten/kota madya Jakarta Timur, tertanggal 08 Juni 1958;

3. Bahwa suami pewaris yang bernama almarhumah telah meninggal dunia

terlebih dahulu dari pewaris pada tanggal 25 Maret 2000. Berdasarkan

surat kematian penduduk n0mor 159/1.755.23/2000.yang dikelurakan oleh

kepala kelurahan Manggarai Selatan;

4. Bahwa selama pewaris mneikah dengan almarhumah telah dikaruniai lima

orang anak yang masing-masing terdiri dari penggugat I-IV dan tergugat.

Bahwa saat pewaris masih hidup hingga pewaris meninggal dunia, anak

pewaris yang bernama Sri Rahyuni Pujiastuti telah pindah agama dari

semula beragam islam dan berpindah keagama kristen;

5. Bahwa oleh karena anak pewaris yang bernama (tergugat) yang telah

beragama kristen baik sebelum maupun saat pewaris meniggal dunia,

maka sesuai ketentuan yang berlaku anak tersebut menjadi terhalang untuk

menjadi ahli waris dari pewaris dan oleh karena itu para penggugat mohon

kepada ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan Cq. Majelis Hakim


pemeriksa perkara ini agar memutuskan menetapkan para penggugat

sebagai para ahli waris dari pewaris yang sah menurut hukum;

6. Bahwa pada saat pewaris meninggal dunia, kedua orang tua pewaris telah

meninggal terlebih dahulu dari pewaris;

7. Bahwa selain meninggalkan ahli waris yag sah menurut hukum

sebagaiamana tersebut diatas pewaris juga meninggalkan harta

peninggalan berupa:

a. Sebidang tanah seluas 162M2 yang terletak di Manggarai Selatan

berdasarkan sertifikat hak milik nomor 859 yang dikeluarkan oleh

BPN Jakarta Selatan;

b. Sebidang tanah seluad 242M2 yang terletak di Manggarai Selatan

berdasarkan sertifikat hak milik nomor 810 yang dikeluarkan oleh

BPN Jakarta Selatan;

c. Sebidang tanah seluas 353M2 terletak di Manggarai Selatan

berdaarkan sertifikat hak milki nomor 1066 yang dikelurakan oleh

BPN Jakarta Selatan;

d. Sebidang tanah seluas 529M2 yang terletak di kelurahan Gandoang

berdasrkan sertifikat hak milik nomor 648 yang dikelurakan oleh BPN

kabupaten Bogor;

e. Sebidang tanah seluas 461M2 terletak di Desa Kelurahan Rangkapan

Jaya kecamatan pancoran mas, Depok, Jawa Barat berdasrkan salinan

akta jual beli nomor 36/2000 dikelurakan oleh PPAT di Depok

tertanggal 19 Februari 2000;


f. Sebidang tanah seluas 348M2 yang terletak di Desa Kelurahan

Gandoang, kecamatan Cileungsi, Boggor, Jawa Barat berdasrkan

salinan akta jual beli nomor 929/2000 dikeluarkan selaku PPAT di

Cileungsi Bogor tertanggal 08 Desember 2000.

8. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut daitas para penggugat mohon kepada

ketua pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk menetapkan secara hukum

almarhumah (pewaris) telah meninggal dunia pada tanggal 08 Mei 2007

dan menetapkan para ahli waris yang sah menurut hukum dan berhak atas

harta waris pewaris adalah Penggigat I-IV. Para penggugat juga mohon

agar para ahli waris yang sah dari pewaris ditetapkan bagian haknya

sebagaimana masing-masing sesuai dengan ketentuan Hukum Islam.

Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas maka penggugat

memohon agar ketua pengadilan agama Jakarta Selatan Cq. Majelis Hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutuskan sebagai berikut.

PRIMAIR

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan secara hukum almarhumah telah meninggal dunia pada

tanggal 08 Mei 2007;

3. Menetapkan para hali waris pewaris almarhumah yang sah dan berhak

atas harta pewaris adalah anak erempuan pewaris (penggugat I-IV);

4. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris seuai dengan Hukum

Islam;

5. Menetapkan biaya perkara sesuai hukum.


SUBSIDAIR

Apabila Majelis Hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini berpendapat

lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (es aequo et bono).

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang,bahwa maksud dan tujuan gugatan Para Penggugat adalah

sebagaimana telah diuraikan di atas;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan para

Penggugat dan Tergugat, namun tidak berhasil;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Mahkamah

Agung RI Nomor 1 Tahun 2008, Majelis Hakim telah memerintahkan kedua belah

pihak yang berperkara untuk mengikuti proses mediasi dengan mediator Drs.

Muhail, S.H., namun berdasarkan laporan Mediator tanggal 30 Januari 2012,

mediasi tersebut telah gagal mendamaikan para Penggugat dan Tergughat;

Menimbang, bahwa para Penggugat mengajukan gugatan waris terhadap

Tergugat dengan objek sengketa sebagaimana yang dikemukakan oleh para

Penggugat dalam duduk perkara; Menimbang, bahwa dalam perkara waris yang

harus dibuktikan adalah siapa pewaris, siapa ahli waris, harta warisan dan setelah

itu baru menetapkan bagian masing-masing ahli waris;

Menimbang, bahwa terhadap dalil gugat para Penggugat Tersebut,

Tergugat telah mengajukan jawaban yang pada pokoknya menyatakan benar Hj.

Asnah binti H. Abdullah telah meninggal dunia pada tanggal 8 Mei 2007, dan

para Penggugat dan Tergugat adalah anak kandung Hj. Asnah binti H. Abdullah

dan H. Soetojo bin Partomiharjo, dan benar pula harta yang disebutkan para
Penggugat seperti dalam gugatan angka 8, adalah harta peninggalan Hj. Asnah

binti H. Abdullah;

Menimbang, bahwa pengakuan Tergugat tersebut merupakan pengakuan

yang bulat dan murni, oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 174 HIR jo.

Pasal 1925 KUHPerdata, sepanjang yang diakui oleh Tergugat tersebut dalil gugat

para Penggugat harus dinyatakan telah terbukti;

Menimbang, bahwa meskipun dalil gugatan para Penggugat telah terbukti,

namun demikian perkara waris berhubungan erat dengan hak-hak keperdataan

lainnya, maka para Tergugat tetap dibebani wajib bukti;

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil gugatannya, para Penggugat

telah mengajukan bukti surat P.1, sampai dengan P.16, dan dua orang saksi, yaitu;

Ahmad Sidi Sumitro bin Wignyo Kesowo dan Dwi Nurlina Ochtini binti

YoyoMasro;

Menimbang, bahwa bukti P.1 s/d P.3 adalah surat biasa bukan akta, oleh

karena itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian apapun dalam perkara ini;

Menimbang, bahwa bukti P.4 s/d P.16 merupakan foto kopi akta otentik

yang telah dicocokan dengan aslinya, oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal

1888 KUHPerdata mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna;

Menimbang, bahwa dua orang saksi yang diajukan para Penggugat

tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil sebagai saksi, maka keterangan

kedua saksi tersebut dapat dijadikan bukti dalam perkara ini;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.6 dan pengakuan Tergugat serta

dikuatkan oleh keterangan dua orang saksi, telah terbukti bahwa Hj. Asnah binti
H. Abdullah telah meninggal dunia pada 8 Mei 2007, dan oleh karena itu pula

terbuka untuk menetapkan ahli waris, harta warisan dan bagian masing-masing

ahli waris;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.7, maka Hj. Asnah binti H.

Abdullah dan H. Soetojo adalah suami isteri yang sah dan berdasarkan bukti P.7,

s/d P.10 yang dikuatkan oleh keterangan dua orang saksi para Penggugat, telah

terbukti bahwa Para Penggugat dan Tergugat adalah anak kandung dari Pewaris

Hj. Asnah binti H. Abdullah;

Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Tergugat dan dikuatkan pula

oleh keterangan dua orang saksi para Penggugat, telah terbukti pula bahwa para

Penggugat beragama Islam, oleh karena itu pula para Penggugat dapat ditetapkan

sebagai ahli waris Hj. Asnah binti H. Abdullah;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para Penggugat yang diakui

oleh Tergugat, telah terbukti pula bahwa Tergugat sejak sebelum meninggalnya

Pewaris sampai dengan sekarang telah pindah agama ke agama Kristen;

Menimbang, bahwa dalam sengketa waris, apabila terdapat perbedaan

agama antara pewaris dengan ahli waris, maka Majelis Hakim sependapat dengan

Yurisprudensi mahkamah Agung RI Nomor 172/K/Sip./1974yang menyatakan

bahwa hukum waris yang dipakai adalah hukum si Pewaris;

Menimbang, bahwa Pewaris Hj. Asnah binti H. Abdullah sampai

meninggalnya tetap beragama Islam, maka hukum yang dipakai dalam pembagian

waris dalam perkara ini adalah hukum Islam;


Menimbang, bahwa dalam hukum Islam berdasarkan hadits dari Usamah

bin Zaid Rasulullah bersabda “ la yaritsu al-muslim al-kafira wa la yaritsu al-

kafira al-muslim”. Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah jilid III,

Hadits ini diriwayatkan oleh 4 orang ahli hadits;

Menimbang, bahwa Pasal 171 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam

menetapkan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris,

beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris;

Menimbang, bahwa majelis hakim sependapat dengan Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia dalam Yurisprudensi Nomor 368 K/ AG/1995 tanggal

16 Juli 1998 dan Yurisprudensi Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 Februari 1999

yang kemudian diambil alih sebagai pendapat majelis bahwa ahli waris yang tidak

beragama Islam tidak dapat menjadi ahli waris;

Menimbang, bahwa berdasarkan hadits dan beberapa Yurisprudensi

tersebut Pengadilan berpendapat bahwa Tergugat kehilangan haknya untuk

menjadi ahli waris karena telah keluar dari agama Islam;

Menimbang, namun demikian oleh karena sampai meninggalnya Pewaris,

Tergugat tetap menjalin hubungan baik dengan Pewaris sebagai ibu kandungnya,

maka sangat bertentangan dengan rasa keadilan, apabila Tergugat sama sekali

tidak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut. Oleh karena itu Pengadilan

berpendapat bahwa Tergugat dapat diberikan bagian dari harta warisan tersebut

melalui wasiat wajibah yang bagiannya tidak boleh melebihi bagian ahli waris

yang sah;
Menimbang, bahwa bagian Tergugat sebanyak 1/9 bagian dari seluruh

harta warisan Pewaris, sudah patut dan memenuhi rasa keadilan, yang harus

dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka Tergugat

ditetapkan mendapat bagian dari harta warisan melalui wasiat wajibah sebanyak

1/9 bagian yang harus dikeluarkan sebelum harta warisan tersebut dibagikan

kepada ahli waris;

Menimbang, bahwa tentang harta warisan sebagaimana gugatan para

Penggugat angka 8 telah diakui oleh Tergugat bahwa harta-harta tersebut adalah

benar harta peninggalan Hj. Asnah binti H. Abdullah, oleh karena itu berdasarkan

pengakuan tersebut yang bersesuaian pula dengan keterangan saksi-saksi

Penggugat, harus dinyatakan telah terbukti bahwa harta-harta sebagaimana dalam

gugatan para Penggugat angka 8. 1) s/d 6) adalah harta peninggalan (tirkah) dari

Hj. Asnah binti H. Abdullah;

Menimbang, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan setempat, maka

selengkapnya harta warisan (tirkah) pewaris adalah sebagai berikut:

1. Sebidang tanah seluas 162 M2 (seratus enam puluh dua meter persegi)

yang di atasnya berdiri sebuah bangunanyang terletak di Jalan Gang

Manggis I RT 011, RW 004, Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan

Tebet, Jakarta Selatan,dengan batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Selatan : RUMAH Bapak Yosep;

b. Sebelah Utara : Jalan Raya (Jalan Manggis I);

c. Sebelah Timur : Rumah Hj. Asnah (Sertifikat No. 810);


d. Sebelah Barat : Rumah Bapa Kamiso;

2. Sebidang tanah seluas 242 M2 (dua ratus empat puluh dua meter persegi)

yang di atasnya berdiri sebuah bangunan yang terletak di Jalan Gang

Manggis I RT 011, RW 004, Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan

Tebet, Jakarta Selatan,dengan batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Selatan : Rumah H. Rosid dan Rumah Bapak Jaih;

b. Sebelah Utara : Jalan Raya;

c. Sebelah Timur : Rumah Bapak Suwadi;

d. Sebelah Barat : Rumah Hj. Asnah (Sertifikat No. 859);

3. Sebidang tanah seluas 353 M2 (tiga ratus lima puluh tiga meter persegi)

yang di atasnya berdiri sebuah bangunan yang terletak di Jalan Manggis I

RT 013, RW 05, No. 38, Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet,

Jakarta Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Selatan :Rumah Bapak Nainggolan;

b. Sebelah Utara :Jalan Setapak & Rumah Bapak Amat Andong;

c. Sebelah Timur :Tanah Sekolah Yayasan As-Syafi‟iyah, Rumah Bapak

Jatmiko dan Rumah Bapak Amat Andong;

d. Sebelah Barat :Jalan Kecil/ Rumah Bapak Yoto dan Yayasan

AsSyafi‟iyah;

4. Sebidang Tanah seluas 529 M2 (lima ratus dua puluh Sembilan meter

persegi) yang terletak di Kelurahan Gandoang berdasarkan Sertifikat Hak

Milik No. 648 yang dikeluarkan oleh Bapan Pertanahan Nasional

Kabupaten Bogor;
5. Sebidang Tanah seluas 461 M2 (empat ratus enam puluh satu meter

persegi) yang di atasnya berdiri sebuah bangunan yang terletak di Jalan

Raya Sawangan RT 01 RW 03 No. 38 Kelurahan Rangkapan Jaya,

Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, dengan batas-batas sebagai

berikut:

a. Sebelah Selatan : Jalan Raya Sawangan;

b. Sebelah Utara : Rumah H. Rahmat Baktimulya;

c. Sebelah Timur : Tanah Bapak Joko;

d. Sebelah Barat : Jalan Kampung;

6. Sebidang Tanah seluas 348 M2 (tiga ratus empat puluh delapan meter

persegi) yang terletak di Desa/Kelurahan Gandoang, Kec. Cileungsi,

Bogor, Jawa Barat berdasarkan Salinan Akta Jual Beli No. 929/2000

dikeluarkan oleh Drs. H. Masa‟an Dj Azuli, SH.,MM., selaku Pejabat

Pembuat Akta Tanah di Cileungsi, Bogor, tertanggal 8 Desember 2000;

Menimbang, bahwa oleh karena telah terbukti adanya Pewaris, ahli waris

dan harta warisan, maka dapat ditetapkan bagian masing-masing ahli waris

sebagai berikut:

1. Hj. Prihastuti Ekawati Binti H. Soetojo (anak perempuan) memperoleh 2/9

bagian;

2. Hj. Muji Lestari Dwiwati Binti H. Soetojo (anak perempuan) memperoleh

2/9 bagian;

3. Yuli Heriyanti Sukmawati Binti H. Soetojo, sebagai anak perempuan

kandung (anak perempuan) memperoleh 2/9 bagian;


4. Hj. Reny Dhalianawati Binti H. Soetojo, sebagai anak perempuan kandung

(anak perempuan) memperoleh 2/9 bagian;

Menimbang, bahwa tentang kedudukan hukum ahli waris anak perempuan,

majelis hakim sependapat dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 86 K/AG/1994 tanggal 27 Juli 1995 yang kemudian diambil alih

sebagai pendapat majelis bahwa ahli waris anak perempuan dapat menjadi hajib

(penghalang bagi ahli waris lain), maka majelis akan menetapkan ahli waris dari

Pewaris adalah Para Penggugat dan berhak atas keseluruhan harta warisan

Pewaris setelah dikurangi bagian Tergugat dari wasiat wajibah;

Menimbang, bahwa para Penggugat mengajukan gugatan waris dan akan

memberikan hadiah kepada Tergugat, namun Majelis hakim berpendapat bahwa

hal itu bertentangan dengan rasa keadilan, karenanya harus ditolak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di

atas, gugatan para Penggugat dapat dikabulkan sebagian dan ditolak untuk selain

dan selebihnya;

Menimbang, bahwa oleh karena gugatan dikabulkan sebagian dan ditolak

sebagian lainnya, maka Para Penggugatdihukum membayar seluruh biaya

perkara;

Memperhatikan semua pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan ketentuan hukum syara‟yang berkaitan dengan perkara ini:

MENGADILI

1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan telah meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 8 Mei 2007;


3. Menyatakan bahwa ahli waris adalah sebagai berikut:

3.1. (anak perempuan);

3.2. (anak perempuan);

3.3. sebagai anak perempuan kandung (anak perempuan);

3.4. sebagai anak perempuan kandung (anak perempuan);

4. Menyatakan bahwa harta peninggalan (tirkah) Hj. Asnah binti H. Abdullah

adalah sebagai berikut:

4.1. Sebidang tanah seluas 162 M2 (seratus enam puluh dua meter

persegi) yang diatasnya berdiri sebuah bangunanyang terletak di

Jalan Gang Manggis I RT 011, RW 004, Kelurahan Manggarai

Selatan, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan,dengan batas-batas

sebagai berikut:

a. Sebelah Selatan : RUMAH Bapak Yosep;

b. Sebelah Utara : Jalan Raya (Jalan Manggis I);

c. Sebelah Timur : Rumah Hj. Asnah (Sertifikat No. 810);

d. Sebelah Barat : Rumah Bapa Kamiso;

4.2 Sebidang tanah seluas 242 M2 (dua ratus empat puluh dua meter persegi)

yang di atasnya berdiri sebuah bangunan yang terletak di Jalan Gang

Manggis I RT 011, RW 004, Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan

Tebet, Jakarta Selatan,dengan batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Selatan: Rumah H. Rosid dan Rumah Bapak Jaih;

b. Sebelah Utara : Jalan Raya;

c. Sebelah Timur : Rumah Bapak Suwadi;


d. Sebelah Barat : Rumah Hj. Asnah (Sertifikat No. 859);

4.3 Sebidang tanah seluas 353 M2 (tiga ratus lima puluh tiga meter persegi)

yang di atasnya berdiri sebuah bangunan yang terletak di Jalan Manggis I

RT 013, RW 05, No. 38, Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet,

Jakarta Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Selatan: Rumah Bapak Nainggolan;

b. Sebelah Utara : Jalan Setapak & Rumah Bapak Amat Andong;

c. Sebelah Timur : Tanah Sekolah Yayasan As-Syafi‟iyah, Rumah Bapak

Jatmiko dan Rumah Bapak Amat Andong;

d. Sebelah Barat : Jalan Kecil/ Rumah Bapak Yoto dan Yayasan

AsSyafi‟iyah; 4.1.Sebidang Tanah seluas 529 M2 (lima ratus dua

puluh Sembilan meter persegi) yang terletak di Kelurahan

Gandoang berdasarkan Sertifikat Hak Milik No. 648 yang

dikeluarkan oleh Bapan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor;

4.4 Sebidang Tanah seluas 461 M2 (empat ratus enam puluh satu meter

persegi) yang di atasnya berdiri sebuah bangunan yang terletak di Jalan

Raya Sawangan RT 01 RW 03 No. 38 Kelurahan Rangkapan Jaya,

Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, dengan batas-batas sebagai

berikut:

a. Sebelah Selatan : Jalan Raya Sawangan;

b. Sebelah Utara : Rumah H. Rahmat Baktimulya;

c. Sebelah Timur : Tanah Bapak Joko;

d. Sebelah Barat : Jalan Kampung;


1) Sebidang Tanah seluas 348 M2 (tiga ratus empat puluh delapan

meter persegi) yang terletak di Desa/Kelurahan Gandoang, Kec.

Cileungsi, Bogor, Jawa Barat berdasarkan Salinan Akta Jual Beli

No. 929/2000 dikeluarkan oleh Drs. H. MAS'AN DJ AZULI,

SH.,MM., selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di Cileungsi,

Bogor, tertanggal 8 Desember 2000;

2) Menetapkan bahwa Tergugat (Sri Rahyuni Pujiastuti),anak

perempuan kandung dari Pewaris,mendapat bagian dari harta

warisan Pewaris melalui wasiat wajibah sebanyak 1/9 bagian; 5.

Menetapkan bagian masing-masing ahli waris terhadap harta

warisan (tirkah),setelah dikurangi bagian Tergugatadalah sebagai

berikut:

a) (anak perempuan) memperoleh 2/9 bagian;

b) (anak perempuan) memperoleh 2/9 bagian;

c) sebagai anak perempuan kandung (anak perempuan)

memperoleh 2/9 bagian;

d) sebagai anak perempuan kandung (anak perempuan)

memperoleh 2/9 bagian;

3) Menghukum para Penggugat dan Tergugat untuk membagi dan

menyerahkan bagian masing-masing sebagaimana termuat dalam

diktum angka 5 dan 6 di atas, dan apabila tidak dapat dibagi secara

natura, dapat dilelang di muka umum dan hasilnya dibagi sesuai

dengan bagian masing-masing;


4) Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya;

5) Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara yang

hingga putusan ini sebanyak Rp 5. 326.000,00 (lima juta tiga ratus

dua puluh enam ribu rupiah);

Demikian putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang dijatuhkan

dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Senin,tanggal 12

September 2012Masehi bertepatan dengan tanggal 25 Syawal 1433Hijriyyah oleh

kami, Drs. Yasardin, S.H., M.H. sebagai Ketua Majelis, Dra. Hj. Athiroh

Muchtar, S.H., M.H. dan Drs. H. Rosyid Ya‟kub, M.H. masing-masing sebagai

Hakim Anggota, putusan mana pada hari itu juga diucapkanoleh Majelis

tersebutdalam persidangan yang terbuka untuk umum, dibantu oleh Hamdani,

S.HI. sebagai Panitera Pengganti,dengan dihadiri oleh Para Penggugat dan

Tergugat.

Berdasarkan uraian diatas maka dengan ini , dalam peruntukan pemberian

wasiat wajibah tidak dilihat dari suatu segi agama seseorang yang diberikan, tetapi

dilihat dari kedekatan pewaris dengan penerima wasiat wajibah tersebut. Dimana

dalam perkara ini, Tergugat merupakan orang dekat si pewaris yang dianalogikan

sama dengan kedudukan dengan anak angkat atau orang tua angkat yang dalam

Kompilasi Hukum Islam berhak mendapat wasiat wajibah. Tetapi, jika dilihat

dalam perkara di atas pembagian warisan terhadap ahli waris yang berbeda agama

adalah Tergugat kurang tepat yang mendapatkan wasiat wajibah. Karena dalam

kitab fikih islam , penghalang atau penggugur menjadi ahli waris adalah salah

satunya berbeda agama dengan dasar hukum dalam hadist Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa : “Muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan begitu

juga sebaliknya kafir tidak boleh mewarisi atau mempusakai orang muslim”(H.R

Bukhari dan Muslim). Dan juga ditegaskan pula dengan firman Allah pada surah

Al-Baqarah:180

Pada KHI yang sebelumnya diuraikan dalam Pasal 171 huruf (c)

menyatakan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah, hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dalam hal ini

sangat jelas bahwasanya ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris itu

terhalang/gugur baginya untuk menjadi ahli waris dari pewaris. Kecuali ketika

pewaris meninggal ia sudah kembali kepada keyakinan agamanya dari kristen ke

islam dan sampai terbukanya waris tersebut.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.

368K/AG/1995 tanggal 16 juli 1998 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung

Republik Indinesia Nomor 51K/AG/1999 tanggal 29 Februari 1999 yang

kemudian diambil alih sebagai pendapat majelis bahwa ahli waris yang tidak

beragama Islam tidak dapat menjadi ahli waris. Tetapi dikarenakan dalam amar

putusan tersebut, hakim memberikan bagian ahli waris yang berbeda agama

menurut wasiat wajibah, dengan alasan sampai meninggalnya Pewaris, Tergugat

tetap menjalin hubungan baik dengan Pewaris sebagai ibu kandungnya, maka

sangat bertentangan dengan rasa keadilan, apabila Tergugat sama sekali tidak

mendapatkan bagian harta warisan. Dalam wasiat wajbah yang memperoleh


wasiat wajibah adalah yang tidak sedarah dengan pewaris seperti anak angkat atau

orang tua angkat.

Kurang setuju dengan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta

Selatan, karena telah melanggar apa yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam,

karena dalam sepengetahuan, yang telah ditetapkan Hukum Islam, adalah yang telah

diterapkan di dalam Al Quran dan Hadist. Maka dari itu kekuatannya menjadi

mengikat lebih besar dari pada Hukum Perdata di karenakan di tinjau dari agama si

Pewaris adalah Islam. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memang

mempunyai` wewenang untuk mengambil keputusan dalam perkara

No.2554/pdt.G/2011/PA.JS tetapi jika dilihat dengan dasar-dasar hukum yang ada,

dapat dilihat keputusan hakim yang bertentangan dengan yang telah tertulis dalam Al-

Quran yang menjadi pedoman bagi umat islam. Padahal dalam dasar hukum yang

ada, jika Pewaris beragama Islam maka yang menjadi ahli warisnya pula beragama

islam dan harta dibagi menurut ketentuan Hukum Islam dan jika ahli warisnya

beragama non muslim maka gugur/terhalangnya bagi ia mewarisi harta dari pewaris

tersebut. Dan jika pewarisnya beragama non muslim dan ahli warisnya beragama

muslim, maka haram bagi dirinya untuk mempusakai harta non muslim tersebut.

Penerapan Hukum harus berhati-hati dan melihat duduk masalah yang

menjadi pokok masalah tersebut. jika di dudukkan suatu masalah seperti di atas

pembagian warisan terhadap ahli waris beda agama, dimana dengan duduk

perkaranya si Pewaris beragama Muslim atau memelukagama Islam, sekiranya

menurut peneliti, yang pertama kali dilihat aturan dari Kompilasi Hukum Islam

dimana si pewaris beragama Islam, kemudian dilihat dari KUHPerdata. Dan juga

dalam melaksanakan suatu wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh
semua ahli waris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 195 ayat 3 dalam Kompilasi

Hukum Islam.

Tidak menyetujui dalam arti bertolak belakang dengan keputusan hakim

dengan beralasan bahwa ahli waris dalam masa pewaris masih hidup berkelakuan

baik serta hakim memberikan kepada ahli waris yang beragama non muslim dengan

memerika wasiat wajibah. Sebagaimana kita ketahui bahwa wasiat awajibah dibuat

pada saat pewaris masih hidup dengan kata lain pewaris membuat wasiat wajibah

bukan karena paksaan oleh siapapun. Wasiat wajibah seperti yang kita ketahui dalam

Hukum Islam bahwa konsep wasiat wajibah diberikan kepada anak angkat dan orang

tua angkat. Oleh sebab itu pemberian warisan kepada ahli waris non muslim tidak

mengenal adanya konsep wasiat wajibah, dalam hal ini ahli waris yang berbeda

agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan tentang pembagian ahli waris yang beda Agama adalah dalam

Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim: orang Islam tidak mendapat pusaka

dari orang yang tidak beragama Islam dan demikian juga sebaliknya sabda

Rasulullah SAW: “tidaklah orang Islam mewarisi orang kafir dan tidaklah

orang kafir mewarisi orang Islam” (HR. Bukhari dan Muslim).

a. Menurut Hukum Islam adalah dalam Hukum Islam ahli waris

dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: Dzul faraa-idh, Ashabah,

dan Dzul arham.

b. Menurut Hukum Perdata adalah dalam Hukum Perdata/ BW ada

empat golongan, yaitu: Golongan I, yakni terdiri dari suami istri

dan anak beserta keturunannya. Golongan II, yakni terdiri dari

orangtua dan saudara-saudar beserta keturunannya. Golongan III,

yakni terdiri dari kakek dan nenek beserta seterusnya ke atas.

Golongan IV, yakni terdiri dari keluarga dalam garis menyamping

yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III

beserta keturunannya.

2. Akibat terhadap pembagian warisan ahli waris beda Agama adalah tidak

mendapat warisan. Dalam Hukum Islam sebab akibat tidak mendapat

warisan karena perbedaan Agama, membunuh, dan menjadi budak orang


lain. Dalam Hukum Perdata akibat terhalangnya mendapat warisan,

mereka dengan putusan Hakim di hukum karena dipersalahkan telah

membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal, mereka yang

dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah

mengajukan pengaduan terhadap pada yang si meninggal ialah suatu

pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan

hukuman penjara 5 tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat, mereka

yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si meninggal untuk

membuat atau mencabut surat wasiatnya.

3. Kasus diatas peran hakim sangatlah penting dalam memutuskan suatu

perkara. Kasus di atas menunjukkan bahwa mengenai status hak waris

bagi pewaris yang beda agama tidak berhak atau terhalang mendapatkan

warisan karena statusnya yang berbeda Agama walaupun di masa

kehidupan ahli waris dengan pewaris adalah baik. Tidak setuju dengan

putusan hakim yang memutuskan bahwa Pewaris berhak mendapatkan

warisan dengan alasan pemberian wasiat wajibah. Sedangkan yang

diketahui bahwa wasiat wajibah diberikan kepada ahli waris yang tidak

sedarah dengan si Pewaris seperti anak angkat dan orang tua angkat.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kompilasi Hukum Islam harus memperluas dan menerangkan secara rinci

tentang pembagian warisan terhadap ahli waris yang berbeda agama.


2. Untuk memberi para pencari keadilan agar tidak ada lagi penafsiran

hukum, atau kepastian hukum. Agar menghindari itu, peraturan waris beda

agama tidak hanya memuat aturan umum saja, tetapi memuat penjelasan-

penjelasan yang sangat jelas dan teliti agar tidak ada lagi terjadi kesalahan

penafsiran dengan ketentuan yang ada dalam aturan yang ada, dan

membelah point-point yang ada dalam pembagian warisan terhadap ahli

waris yang berbeda agama.

3. Pengadilan Agama seharusnya dapat melihat bahwa perkara Kewarisan

Islam merupakan sebuah kopetensi Absolut Pengadilan Agama yang

mengadili dan memeriksa perkara tersebut. Hakim juga seharusnya juga

dapat melihat bahwa dalam perkara kewarisan tersebut hukum mana yang

dipakai/ menyelesaikan dalam perkara tersebut dilihat dari hukum agama

mana yang dianut oleh Pewaris.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir Muhammad. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Cetakan ke-V. Bandar


Lampung: PT Citra Aditya Bakti.

Ahmad Rofiq. 2015. Hukum Perdata Islam Di Indonesia Edisi Revisi. Cetakan
kedua. Jakarta: Rajawali Pers.

Athoillah. 2018. Fikih Waris Metode Pembagian Waris Praktis. Cetakan I


Bandung:Yrama Widya.

Djaja S. Meliala. 2018. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata.cetakan ke-1. Bandung: Nuansa Aulia.

Effendi Perangin. 2016. Hukum Waris. Cetakan ke-14 Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Eman Suparman. 2018. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam. Adat.
dan BW.Februari Cetakan Kelima (Revisi). Bandung: PT. Refika
Aditama.

Mahmud Yunus Dulay dan Nadlrah Naimi. 2011. Fiqih Muamalah. Cetakan
pertama.Medan: Ratu Jaya.

Maman Suparman. 2018. Hukum Waris Perdata. Cetakan Ketiga . Jakarta; Sinar
Grafika.

M. Idris Ramulyo. 2000. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam


Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW).Cetakan kedua. Jakarta:Sinar Grafika.

M.U Sembiring. 1989. Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris Kitab
Menurut Undang-Undang Hukum Perdata. Sumut: Program Pendidikan
Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Muhammad Jawad Mughniyah. 2011. Fiqih Lima Mazhab : Ja‟fari, Hanafi,


Maliki, Syafi‟I, Hambali. Cetakan kedua tujuh. Jakarta: Lentera.

Mukhlis Lubisdan Mahmun Zulkifli. 2014. Ilmu Pembagian Waris. Cetakan


pertama.Bandung; Citapustaka Media.

Neng Yani Nurhayani. 2015. Hukum Perdata. Bandung: CV. Pustaka Setia.
P.N.H. Simanjuntak. 2018. Hukum Perdata Indonesia. Cetakan ke-4 Jakarta:
Prenadamedia Group.

Sayuti Thalib. 2018. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Edisi Revisi).


CetakanKedua. Jakarta; Sinar Grafika.

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak.2017. Hukum Waris Islam (Lengkap


& Praktis).Cetakan kelima.Jakarta:Sinar Grafika.

Titik Triwulan Tutik. 2018. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional.
Cetakan ke-5 Jakarta: Kencana.

B. Artikel, Makalah, Jurnal dan Karya Ilmiah

Iga Alfianita. 2017. Tinjauan Yuridis Pembagian Harta Warisan Pasangan Suami
Istri Yang beda Agama (Perspektif Hukum Islam dan KUHPPerdata)
(Skripsi) Program Sarjana Ilmu Hukum UIN Awaludin, Makasar

Ilyas. “Kedudukan Ahli Waris NonMuslim Terhadap Harta Warisan PewarisIslam


Ditinjau Dari Hukum Islam Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Kompilasi
Hukum Islam”. Dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 17 No. 1 April
2015.

Ima Maryatun Kibtiyah. 2013. Tinjauan Hukum Islam Mengenai Kewarisan Beda
Agama Menurut Yusuf Al-Qaradawi (Skripsi) Program Sarjan Strata Satu,
Program Sarjana Syari‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta.

Maimun Maimun. ”Pembagian Hak Warisan Terhadap Ahli Waris Beda Agama
Melalui Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Hukum Kewarisan”.Dalam
jurnal ASAS Vol.9 No.1 Januari 2017.

Oktavia Milayani. Kedudukan Hukum Ahli Waris Yang Dengan Cara Mengganti
Atau Ahli Waris “BIJ PLAATSVERVULLING” MENURUT BURGERLIJK
WETBOEK. Al‟Adl, Volume IX Nomor 3, Desember 2017.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Al-Qur‟an dan Hadist.

Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).


D. Internet.

Anonim, “yuridis empiris”, http://datarental.blogspot.com/2009/06/hukum


kewarisan-kuh-pedata-bw-dan.html. Diakses pada tanggal 17 Februari
2019.

Rohmatul Izad, “Relasi Muslim dan Non Muslim dalam Al-Quran”,


https://alif.id/read/rohmatul-izad/relasi-muslim-dan-non-muslim-dalam-
al-quran-b210416p/. Diakses tanggal 05 Juli 2018, Hari Kamis.

Anda mungkin juga menyukai