Skripsi Imi Nadrah Mingka

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 89

KAJIAN HUKUM KEDUDUKAN ANAK LI’AN

DALAM MENDAPATKAN HAK-HAKNYA SEBAGAI


ANAK

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Program Studi Ilmu Hukum

Oleh:

IMI NADRAH MINGKA


NPM: 1306200252

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ABSTRAK

KAJIAN HUKUM KEDUDUKAN ANAK LI’AN DALAM


MENDAPATKAN HAK-HAKNYA SEBAGAI ANAK

IMI NADRAH MINGKA


NPM:

Li’an adalah salah satu bentuk perceraian dalam hukum Islam.


Konsekuensi dari li’an adalah suami-istri bercerai untuk selamanya, dan apabila
suami tidak mengakui bahwa anak yang dikandung istrinya adalah anak
kandungnya, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya, serta si anak li’an
tersebut tidak mendapatkan nafkah dari ayahnya tersebut. Berdasarakan ketentuan
tersebut, maka hak-hak nasab, nafkah, pendidikan, dan lain-lain anak li’an
tersebut menjadi hilang, yang tentu saja merugikan si anak li’an tersebut. Dalam
kondisi tersebut seharusnya Negara hadir untuk melindungi hak-hak anak li’an
itu.
Penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, serta jenis penelitian ini
adalah penelitian yuridis normatif. Sumber data penelitian yang dipergunakan
adalah bersumber dari data sekunder. Alat yang dipergunakan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara studi
pustaka (library research). Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kedudukan anak li’an
menurut Kompilasi Hukum Islam sesuai dengan Pasal 162 bahwa anak lian
dinasabkan kepada ibunya, karena anak tersebut telah diiingkari oleh suami
ibunya sebagai anak kandungnya, sehingga anak tersebut tidak memiliki
hubungan apapun dengan suami ibunya tersebut. Bahwa akibat hukum terhadap
pengingkaran anak (li’an) oleh ayahnya adalah si anak tidak dinasabkan kepada
ayahnya serta hak-hak anak misalnya nafkah, pendidikan, kesehatan tidak lagi
menjadi kewajiban si ayah tersebut. Kewajiban-kewajiban ayah tersebut
berpindah kepada ibunya. Bahwa solusi pemberian hak-hak anak li’an oleh
Negara yaitu melalui perubahan-perubahan regulasi dan melibatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, misalnya adanya tes DNA untuk menemukan tentang
asal-usul anak li’an tersebut. Apabila tes DNA membuktikan si anak memiliki
kesamaan genetika dengan ayah yang mengingkarinya, maka hak-hak perdata
anak seharusnya dapat dipulihkan.

Kata kunci: kedudukan, anak li’an, hak-hak, anak


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr. Wbr.

Alhamdulillahirobbil’alamin dengan mengucapkan puji syukur kehadirat

Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala limpahan

rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan nikmat kesehatan, keselamatan

dan ilmu pengetahuan, Shalawat dan salam senantiasa dipersembahkan kepada

Nabi Besar Muhammad SAW, serta sahabatnya yang telah menuntun kita umat

Islam ke jalan yang benar.

Berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara. Sehubungan dengan itu, disusun Skripsi yang

berjudul : KAJIAN HUKUM KEDUDUKAN ANAK LI’AN DALAM

MENDAPATKAN HAK-HAKNYA SEBAGAI ANAK.

Dengan telah selesainya skripsi ini, skripsi ini tidak akan selesai tanpa

adanya bantuan, perhatian dan kasih sayang dari berbagai pihak yang membantu

serta mendukung pembuatan skripsi ini. Terimakasih secara khusus diberikan

kepada orang yang paling berjasa dan berharga dalam hidup saya, merekalah yang

selalu menjadi panutan untuk hidup saya dan inspirasi serta motivasi bagi saya

selama ini yakni “Ayahanda Samsul Bahri Mingka dan Ibunda Dows Tukinah”.

Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan memberikan kesehatan,

keberkahan serta rezeki yang berlimpah kepada mereka.

ii
Selanjutnya dengan selesainya skripsi ini, perkenankanlah saya haturkan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Bapak Dr. Agussani,

M.A.P. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

2. Ibu Hj.Ida Hanifah, S.H, M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara.

3. Bapak Faisal, S.H, M.Hum. Selaku Wakil Dekan I dan Bapak Zainuddin, S.H,

M.H. Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara.

4. Bapak Nurul Hakim, S.Ag., MA selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Lailatus

Sururiyah, SH., MA selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan penuh

perhatian, dan arahan serta saran dalam membimbing sehingga skripsi ini

selesai dengan baik.

5. Ibu Atikah Rahmi, S.H, M.H selaku Kepala Bagian Hukum Perdata Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

6. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar selama ini di Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

7. Kepada Ferdy Armansyah Mingka, dan Sofia Ananda Mingka selaku saudara

kandung yang telah memotivasi penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

8. Kepada Atika Rahmi Mingka, Am.Keb, SST., dan Fiky Adha Sitorus selaku

orang terdekat penulis yang selalu mendukung dan menyemangati penulis.

iii
9. Kepada Risya Maulyda Batubara, SE., dan Dewi Paramita Sinaga , SE., selaku

teman tersayang yang selalu menyemangati penulis.

10. Kepada Farah Dita Nuari Maqfira, SH., Debby Chintami, SH., Siva Fadillah

Sipahutar, SH., Sri Nanda Ayuni Pulungan, SH., Rini Nindi Irviyanti Harahap,

SH., Audina Putri Samosir, SH., selaku teman dekat penulis yang sudah

memotivasi dalam membuat skripsi ini.

11. Kepada teman-teman seperjuangan di kelas F1 pagi dan kelas B1 Pagi Hukum

Perdata , semoga apa yang di cita-citakan selama ini dapat tercapai, Amin.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada

semuanya, Saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat bukan hanya bagi saya,

akan tetapi juga bagi para pembaca. Mohon Maaf atas segala kesalahan selama

ini, begitupun disadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Semoga Allah

senantiasa melimpahkan Taufiq dan Hidayah-Nya kepada kita semua.

Wassalamu’alaikumWr. Wb

Medan, September 2018

Penulis

Imi Nadrah Mingka

iv
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... v

BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

1. Rumusan Masalah ....................................................................... 5

2. Faedah Penelitian ........................................................................ 5

B. Tujuan Penelitian ............................................................................. 6

C. Metode Penelitian............................................................................. 6

1. Sifat Penelitian ............................................................................ 7

2. Sumber Data ............................................................................... 7

3. Alat Pengumpul Data .................................................................. 8

4. Analisis Data .............................................................................. 8

D. Definisi Operasional ......................................................................... 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................

A. Anak Terlantar ................................................................................

1. Pengertian Anak..........................................................................

2. Macam-Macam Kedudukan Anak ...............................................

3. Anak Terlantar ............................................................................

4. Gejala dan Dampak Penelantaran Anak .......................................

5. Pengaturan Pemeliharaan Anak ...................................................

v
B. Pernikahan Siri .................................................................................

1. Pengertian Pernikahan Siri ........................................................

2. Akibat-akibat Pernikahan Siri ...................................................

3. Hukum Orang Yang Mengetahui Perkawinan Siri.....................

4. Sebab-sebab Berkembangnya Perkawinan Siri ..........................

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Hukum Islam Dan Undang-Undang Perlindungan Anak

Dalam Memberi Perlindungan Hukum Terhadap AnakDari

Pernikahan Siri ................................................................................

B. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Dari Pernikahan Siri

Yang Di Telantarkan .......................................................................

C. Hak-Hak Anak Dari Pernikahan Siri Menurut Hukum Islam Dan

Undang-Undang ..............................................................................

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................

B. Saran ......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT, sang Maha Pencipta alam semesta beserta isinya telah

menciptakan manusia berpasang-pasangan, sejak dilahirkan ke dunia manusia

sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya

dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama

itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. Dimana dalam keluarga gejala

kehidupan umat manusia akan terbentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan

seorang perempuan.

Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah

memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan. Perkawinan

merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Dalam keputusan perkawinan ialah akad

yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-

menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya

bukan muhrim.1

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting

terhadap manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Berdasarkan faktor

1
Martiman Prodjohamidjojo. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia
Legal Center Publishing, halaman 8.

1
2

tersebut, hukum mengatur masalah perkawinan secara detail. 2 Akibat hukum dari

perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-istri dan kemudian

dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan

anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan, dan

menimbulkan hubungan hukum dengan antara mereka dengan harta kekayaan

tersebut.

Perkawinan juga telah diatur oleh negara dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 yang memuat pengertian yuridis

dari perkawinan yaitu “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan

pengertian tersebut, maka tujuan dari sebuah perkawinan menurut Undang

Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan

kekal berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan menurut Hukum Islam seperti yang tertuang dalam Kompilasi

Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 adalah “akad yang sangat kuat atau

mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah

merupakan ibadah yang bertujuan untuk untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.” Untuk mewujudkan tujuan yang

disebutkan dan dijelaskan di atas, maka Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan mengatur substansi mengenai asas untuk mempersulit

2
Munir Fuady. 2014. Konsep Hukum Perdata. Jakarta: RajaGrafindo Persada, halaman
10.
3

terjadinya perceraian. Asas tersebut untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang

kekal dan berlangsung selama-lamanya.

Beragam kepentingan antara suami dan istri dapat terpenuhi secara damai,

tetapi juga dapat menimbulkan suatu permasalahan dalam perkawinan jika tata

cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan

sehingga melanggar hak satu sama lainnya dan dapat menyebabkan terjadinya

perceraian. Faktor penyebab terjadinya perceraian antara suami istri salah satunya

yaitu perzinaan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum

Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Pasal 116 KHI tersebut menjelaskan bahwa

perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak berbuat zina.

Perbuatan zina itu dapat dilakukan baik oleh suami atau istri. Perceraian

merupakan salah satu solusi konkrit jika salah seorang suami-istri berzina.

Beberapa kasus terjadi di mana seorang wanita yang telah bersuami melakukan

perselingkuhan dengan laki-laki lain, hingga mengakibatkan wanita tersebut

hamil. Apalagi kehamilan wanita tersebut saat si suami tidak tinggal bersama si

istri karena ada pekerjaan yang mengakibatkan keduanya berpisah jarak jauh.

Adanya dugaan yang dirasakan oleh suami bahwa anak yang berada dalam

kandungan istrinya bukanlah anak kandungnya. Dengan keragu-raguan bahwa

istrinya tersebut berbuat tidak jujur dan anak yang dikandung atau telah dilahirkan

oleh istrinya bukan berasal dari benihnya, melainkan berasal dari hubungan

dengan laki-laki lain yang disebut li’an, sehingga anak yang lahir itupun

dinyatakan anak hasil perbuatan zina disebut anak li’an.


4

Li’an merupakan jalan keluar bagi suami jika suami menuduh istrinya

berbuat zina dan dia kesulitan untuk mengajukan kesaksian. Jalan keluarnya ialah

suami me-li’an istrinya sebagaiman yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 6-9 tentang li’an, yang

artinya:

“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak


ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya
dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima:
bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang
yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”.

Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau

mengingkari anak dalam kandungan istrinya sebagai anaknya, atau juga

mengingkari anak yang telah lahir sebagai anaknya, sedangkan istrinya menolak

tuduhan atau pengingkaran itu.3 Apabila si istri menolak tuduhan suaminya

tersebut, berarti istri mempunyai fakta yang kuat untuk membantah tuduhan

tersebut. Baik si suami maupun si istri harus bersumpah untuk membuktikan

bahwa tuduhan itu benar dan tidak benar.

Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya ditulis KHI) menyatakan

bahwa seorang suami dapat mengingkari anak yang dikandung atau dilahirkan

oleh istrinya. Lebih jelasnya dinyatakan Pasal 101 itu adalah:

“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak

menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”.

3
Djamaan Nur. 1993. Fikih Munakahat. Semarang: Dina Utama Semarang, halaman 163.
5

KHI tampaknya menjelaskan secara lebih jauh berkenaan dengan anak sah

menyangkut batalnya keabsahan seorang anak kendatipun lahir dalam perkawinan

yang sah. Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami. Menurut hukum

Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan

istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikannya, untuk

menguatkan penolakannya suami harus dapat membuktikan bahwa:

1. Suami belum pernah men-jima’ (menyetubuhi) istrinya akan tetapi istrinya


tiba-tiba melahirkan;
2. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak men-jima’ (menyetubuhi)
istrinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur;
3. Bayi lahir sesudah lebih dari empat bulan dan si istri tidak tidak dijima’ oleh
suaminya.4

Konsekuensi dari li’an adalah terjadinya perceraian antara suami isteri

tersebut, dan mereka tidak boleh kawin kembali untuk selama-

lamanya, 5sedangkan status anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan tidak

dinasabkan kepada suaminya. 6 Dengan demikian anak tak lagi diakui oleh

ayahnya sehingga tak ada lagi kewajiban bagi ayahnya untuk menafkahinya.

Berdasarkan wacana di atas, maka terlihat jelas bahwa anak li’an tak akan

diakui oleh ayahnya, sehingga hanya ibunyalah yang menanggung semua

konsekuensi logis dan hukum akibat dari adanya sumpah li’an. Apabila dilihat

dari ketentuan hukum Islam, maka semua hak-hak anak yang tidak diakui oleh

ayahnya ditanggung oleh ibunya. Secara syar’iat memang anak li’an tersebut tidak

4
Amiur Nuruddin. Azhari Akmal Tarigan. 2014. Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, Cet. ke-5, Jakarta:
Kencana, halaman 284.
5
Djamaan Nur, Op. Cit., halaman 167.
6
Hasan Ayyub. 2005.Fikih Keluarga, penterjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, halaman 350.
6

lagi memiliki hak dari ayahnya karena hubungan tersebut diputus oleh ayahnya,

namun bagaimana dengan kepedulian negara dapat memberikan perlindungan

hukum terhadap hak-hak anak li’an yang secara biologis dapat dibuktikan dengan

tes Deoxyribo Nucleic Acid(DNA), apabila si ayah Tak mengakui anak tersebut

sebagai anaknya.Berkaca dari peristiwa yang dialami oleh kasus anak di luar

perkawinan yang melibatkan Machica Mochtar dengan Moerdiono, di mana

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang

memutuskan:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata


dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Melalui putusan tersebut, maka mewajibkan ayah dan keluarga ayahnya

wajib memberikan nafkah terhadap anak tersebut. Nafkah yang dimaksud dalam

hal ini adalah nafkah anak, berupa biaya pemeliharaan, biaya kebutuhan pokok

anak, biaya pendidikan anak dan segala biaya yang diperlukan untuk menunjang

kelangsungan dan perkembangan anak sampai dewasa atau mandiri, sesuai

dengan Pasal 45 UU Perkawinan Jo. Pasal 80 ayat (4) KHI.7

Melihat putusan MK tersebut di atas, maka ada peluang bagi anak li’an

untuk memperoleh hak-hak selain hak-hak perdata (nasab, waris, wali) dari ayah

biologisnya dengan memakai analogi dari putusan MK itu.Ayah adalah ayah yang

memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya, maupun ayah biologis

(genetik). Artinya apabila dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan


7
Bahruddin Muhammad, “Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 Terhadap Pembagian Hak Waris Anak Luar Perkawinan”, melalui
http//:badilag.mahkamahagung.go.id, diakses Kamis, 9 Agustus 2018, Pukul 23.00 wib.
7

teknologi bahwa si anak li’an tersebut secara genetik memang anak dari laki-laki

yang mengingkarinya, maka kewajibannya sebagai ayah dalam hal nafkah anak,

berupa biaya pemeliharaan, biaya kebutuhan pokok anak, biaya pendidikan anak

dan segala biaya yang diperlukan untuk menunjang kelangsungan dan

perkembangan anak sampai dewasa, dapat diwajibkan kepada ayah tersebut.

Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam ternyata tidak memberikan

solusi yang konkrit terhadap eksistensi anak li’an tersebut. Kedua regulasi

tersebut secara nyata mengabaikan hak-hak anak li’an dengan hanya terpaku dan

berpedoman kepada ketentuan serta norma agama saja. Kenyataan tersebut

tersurat bahwa anak li’an dinasabkan kepada keluarga ibunya dan hak nafkahnya

juga dibebankan kepada ibunya saja.

Meskipun ketentuan serta norma agama tidak dapat dibantah, tetapi negara

dapat saja membuat kebijakan bahwa anak yang tak diakui oleh ayahnya, maka

harus ada tes DNA untuk membuktikan terkait status anak tersebut. Apabila tes

DNA menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak dari si ayah yang tak

mengakuinya tersebut, negara dapat mewajibkan si ayah tersebut untuk

memberikan nafkah hidup, pendidikan dan lain-lain selain hak nasab, wali serta

hak warisan.
8

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk

mengangkat suatu penelitian yang berjudul “Kajian Hukum Kedudukan Anak

Li’an Dalam Mendapatkan Hak-Haknya Sebagai Anak”.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka dapat disimpulkan

beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana kedudukan anak li’an menurut KHI ?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap pengingkaran hak-hak anak li’an oleh

ayahnya ?

c. Bagaimana solusi pemberian hak-hak anak li’an oleh negara?

2. Faedah Penelitian

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pemasukan

untuk memperkaya khasanah dan referensi dibidang ilmu hukum khususnya di

bidang hukum perdata mengenai hak-hak anak khususnya hak-hak anak li’an.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan masukan konstruktif bagi

pemerintah dan atau legislatif dalam upaya pembaharuan hukum perkawinan

nasional yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak li’an sebagai anak,

sehingga beban materil seorang ibu dapat diminimalisir dalam membesarkan

dan mendidik anak li’an tersebut.


9

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan anak li’an menurut KHI.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pengingkaran hak-hak anak li’an

oleh ayahnya.

3. Untuk mengetahui solusi pemberian hak-hak anak li’an oleh negara.

C. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis. Penelitian

deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin

tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. 8 Jenis penelitian ini

adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif membahas

doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. 9 Metode pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-

undangan yaitu suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan

hukum yang berkaitan dengan undang-undang.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian yang dipergunakan adalah bersumber dari

data sekunder, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang

berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:

8
Soerjono Soekanto. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, halaman 10.
9
Zainuddin Ali. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 24.
10

a. Bahan hukum primer, yang berupa produk perundang-undangan,

putusan-putusan hakim, 10 yang dalam penelitian ini terdiri dari Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam dan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIII/2010.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,

dan komentar-komentar atas putusan pengadilan, 11 berupa buku bacaan

yang berkaitan dengan hukum perkawinan.

c. Bahan hukum tersier bahan hukum penunjang yaitu pada dasarnya

mencakup bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan

acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, misalnya

abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan,

ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan

seterusnya. 12

10
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. Cet. Ke- 4, halaman 141.
11
Zainuddin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Cet. Ke-3,
halaman 47.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.2012.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. Edisi 1. Cet, Ke-14. halaman 33.
11

3. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam

penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara studi pustaka (library research)

atau penelusuran literatur di perpustakaan terhadap bahan-bahan hukum

tertulis yang relevan. Literatur diperoleh melalu membaca referensi,

melihat, mendengar seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah, serta

mengunduh melalui internet.

4. Analisis Data

Data yang terkumpul, baik dari tulisan atau dokumen, cara berfikir,

pendapat-pendapat akan dianalisis secara deskriptif dengan pola pikir yang

induktif. Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis

kualitatif yang menguraikan hasil penelitian dengan kalimat-kalimat sehingga

dapat memecahkan masalah.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional atau kerangka konsep adalah kerangka yang

menggambarkan hubungan antara definisi-definisi/ konsep-konsep khusus yang

akan diteliti. Definisi operasional mempunyai tujuan untuk mempersempit

cakupan makna variabel sehingga data yang diambil akan lebih terfokus,13 maka

dijabarkanlah definisi operasional sebagai berikut:

13
Ida Hanifah, dkk. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, halaman 5.
12

1. Kajian Hukum adalah proses yang dilakukan untuk meneliti, menelaah dan

mempelajari suatu peristiwa yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

serta hukum yang ada.

2. Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami istri yang sah,

namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi

(hakim) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah

suami istri itu diambil sumpahnya (li’an).

3. Hak-hak anak adalah sesuatu yang mutlak diberikan kepada anak, dan

penggunaannya tergantung kepada anak itu sendiri.

4. Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum

mengalami masa pubertas.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perceraian menurut Ulama Fikih dan Kompilasi Hukum Islam

Fenomena keretakan rumah tangga atau lebih khusus gagalnya perkawinan

yang penyebabnya sangat bervariasi, seperti pernikahan dini, perkawinan paksa,

dan perselingkuhan secara nyata telah mendistorsi perkawinan ke dalam bentuk

pengamalan agama secara artifisial-duniawi; perkawinan dimaknai sekedar

sebagai “lembaga penyalur” hasrat biologis manusia.14 Keretakan rumah tangga

inilah yang kemudian berujung pada terjadinya perceraian atau talak.

Secara etimologi, talak mempunyai arti membuka ikatan,

melepaskannya. 15 Secara terminologis menurut Abdul Rahman al-Jaziri

sebagaimana dikutip oleh Nuruddin dan Tarigan, bahwa perceraian adalah

melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan

ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.16Menurut bahasa

Indonesia, cerai artinya pisah, putus hubungan sebagai suami isteri, talak.17 Dalam

Islam pada prinsipnya perceraian itu dilarang. Talak atau perceraian merupakan

alternatif terakhir sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh, manakala bahtera

kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan

kesinambungannya.

14
Andi Sjamsu Alam, Andi Sjamsu Alam, “Usia Perkawinan Dalam Perspektif Filsafat
Hukum Dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Hukum Perkawinan Indonesia”,
www.badilag.net, diakses Minggu, 28 Januari 2018, Pukul 20.00 Wib.
15
Sayyid Sabiq. 2006.Fiqh Sunah. Jilid 3. terjemahan Nor Hasanudin. Jakarta: Pena,
halaman 206.
16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., halaman 207.
17
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Cet. ke-1. Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia, halaman 261.

13
14

Menurut kitab-kitab fikih, setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat

terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian,

yaitu:

1. Terjadinya nusyuz (durhaka)dari pihak istri, sebagaimana termaktub dalam Al-


Qur’an surat An-Nisa ayat 43.
2. Nusyuz suami terhadap istri, yang diterangkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 128.
3. Terjadinya syqaq (pertengkaran terus-menerus antara suami-istri), yang
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 35.
4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan
saling tuduh-menuduh antara keduanya. 18

Menurut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, perkawinan dapat putus karena: “a. kematian; b. perceraian; c. atas

keputusan pengadilan”. Pasal 113 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan hal yang sama ketika

membahas tentang putusnya perkawinan.

Alasan terjadinya perceraian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 pada Pasal 9, yakni:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendpat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

18
Ibid., halaman 209.
15

6. Antara suami-istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan


tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan beberapa alasan

terjadinya perceraian adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri;
6. Antara suami-istri terus-menerus terjadii perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7. Suami melanggar taklik talak;
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.

Sebab-sebab terjadinya (dibolehkannya talak sebenarnya banyak sekali, di

antaranya adalah ketidakcocokan antara suami istri, sehingga tidak ada mahabbah

(cinta kasih) antara mereka berdua, istri berakhlak jelek, istri tidak taat lagi

kepada suaminya dalam hal-hal yang baik, suami berakhlak buruk dan

menzhalimi (menyiksa) istrinya tanpa alasan yang benar, suami atau istri tidak

mampu melakukan kemaksiatan (dosa besar) yang menyebabkan mereka berdua

mengalami keadaan yang jelek, sampai kemudian terjadi perceraian. Sebab yang

lain seperti suami atau istri mabuk-mabukan atau mengkonsumsi obat terlarang.

Hal lain yang bisa menyebabkan talak adalah hubungan yang sangat buruk

antara seorang istri dengan orang tua suaminya (mertua istri), yang disebabkan

karena keadaan diri seorang istri yang kurang baik. Talak juga bisa disebabkan
16

karena kondisi fisik istri yang sangat buruk, misalnya seorang istri tidak bisa

menjaga kebersihan dirinya dan tidak pernah berpakaian bagus serta tidak mau

memakai wangi-wangian di depan suaminya, atau tidak bisa mengucapkan

perkataan yang baik dan selalu bermuka masam (cemberut) ketika bertemu dan

berkumpul dengan suami atau keluarganya.19

Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukan perceraian (talak).

Menurut beberapa pendapat yang paling sahih (mazhab Hanafi dan Hambali)

bahwa talak itu hukumnya dilarang (makruh), kecuali darurat.20 Menurut mazhab

Hambali bahwa hukum talak itu bisa menjadi wajib, haram, mubah, dan sunnah.

Talak itu hukumnya wajib, jika terjadi perselisihan yang terus-menerus antara

suami istri dan tidak bisa didamaikan. Talak hukumnya menjadi haram, yaitu talak

yang tidak mempunyai alasan, talak seperti itu tidak ada kemaslahatannya baik

bagi dirinya, istrinya maupun anaknya. Talak hukumnya mubah, jika adanya

kebutuhan, misalnya istri berakhlak (karakter) buruk yang tidak bisa

disembuhkan, tidak menjalankan ajaran agama, misalnya tidak menjalankan salat

padahal sudah dinasihati.21

Dalam Islam pada prinsipnya perceraian itu dilarang, ini dapat dilihat

pada isyarat Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal

yang paling dibenci oleh Allah. Secara implisit bahwa talak atau perceraian

merupakan alternatif terakhir, sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh,

manakala bahtera rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keuntuhan dan

19
Anonim, “Permasalahan Talak dan Rujuk”, www.almanhaj.or.id., diakses Selasa, 20
Februari 2018, Pukul 19.00 Wib.
20
Mardani. 2016.Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, halaman 146.
21
Sayyid Sabiq, Op. Cit., halaman 207-208.
17

kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar

sebelum terjadinya talak atau perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian

antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah

pihak.22

Tentang hukum cerai atau talak ini para ahli fikih berbeda pendapat.

Pendapat yang paling benar di antara semua pendapat itu yaitu yang mengatakan

terlarang, kecuali karena alasan yang benar.23 Dilarangnya perceraian itu

disebabkan bercerai itu bagian dari kufur terhadap nikmat Allah, sedangkan

menikah adalah salah satu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi

tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Oleh karena itu siapa saja yang mau

merusak hubungan antara suami istri oleh Islam dipandang telah keluar dari Islam

dan tidak punya tempat terhormat dalam Islam.

B. Konsep Li’an Menurut Ulama Fikih dan Kompilasi Hukum Islam

Li’an adalah mashdar dari kata kerja, la’ana-yula’inu-la’anan24 bermakna

jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami istri yang saling me-

li’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul

sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena orang yang bersumpah

li’an itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima la’nat

(kutuk) Allah jika pernyataannya tidak benar.Abu Al-Qasim mengatakan bahwa

kata li’an berasal dari kata dasar la’ana (menjauhkan), karena setiap orang dari

22
Ahmad Rofiq. 1997. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, halaman 269.
23
Sayyid Sabiq, Op.Cit., halaman 11.
24
Ahmad Warson Munawir. 2002. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap. Cet.
ke-2. Surabaya: Pustaka Progresif, halaman 1274.
18

sepasang suami istri melaknat dirinya dalam sumpah yang kelima, jika dia orang

yang berdusta.25

Menurut al Hamdani, li`an adalah sumpah seorang suami apabila ia

menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu diucapkan empat kali bahwa

tuduhannya itu benar dan pada sumpah yang kelima itu ia meminta kutukan

kepada Allah swt jika ia berdusta. Pihak istri juga bersumpah empat kali bahwa

dirinya tidak berbuat sebagaimana yang dituduhkan suaminya, pada sumpah yang

kelima ia bersedia menerima kutukan Allah swt jika ternyata tuduhan suaminya

itu benar.26 dalam Ensiklopedia Islam disebutkan, li`an dalam istilah fikih ialah

kesaksian atau sumpah yang diucapkan suami yang menuduh istrinya berbuat

zina.27

Menurut Amir Syarifuddin, terdapat beberapa kata kunci yang akan

menjelaskan hakikat dari perbuatan li’an, yaitu:

1. Kata “sumpah”. Kata ini menunjukkan bahwa li’an itu adalah salah satu
bentuk dari sumpah atau kesaksia kepada Allah yang jumlahnya lima kali.
Empat yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya dan kelima
kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila ia berbohong.
2. Kata “suami” yang dihadapkan kepada “istri”. Hal ini mengandung arti bahwa
li’an berlaku antara suami-istri dan tidak berlaku di luar lingkungan keduanya.
Orang yang tidak terikat dalam tali pernikahan saling melaknat tidak disebut
dengan istilah li’an.
3. Kata “menuduh berzina”, yang mengandung arti bahwa sumpah yang
dilakukan oleh suami itu adalah bahwa istrinya berbuat zina, baik ia sendiri
mendapatkan istrinya berbuat zina atau meyakini bahwa bayi yang dikandung
istrinya bukanlah anaknya. Bila tuduhan yang dilakukan suami itu tidak ada
hubungannya dengan zina atau anak yang dikandung tidak disebut dengan
li’an.

25
Ibnu Qudamah. 2013. Al-Mughni. Penerjemah Abdul Syukur. Jakarta: Pustaka Azzam,
halaman 126.
26
H.S.A. Al Hamdani. 2002. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka
Amani, halaman 287.
27
Tim Penulis Ensiklopedi Islam. 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jilid 2. Jakarta:
Djambatan, halaman 658.
19

4. Kata “suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi”. Hal ini
mengandung arti bahwa seandainya dengan tuduhannya itu suami mampu
mendatangkan empat orang saksii sebagaimana dipersyaratkan waktu
menuduh zina, tidak dinamakan dengan li’an; tetapi melaporkan apa yang
terjadi untuk diselesaikan oleh hakim. 28

Apabila suami menuduh istri berbuat zina dan istrinya menyangkal

tuduhan, wajib bagi suami untuk membuktikan dengan empat orang saksi. Bila

dia tidak mampu membuktikan dengan empat orang saksi, suami diancam dengan

hukuman dera delapan puluh kali, lantaran berani menuduh istri berbuat zina

secara qadzaf atau tanpa alat bukti. Cuma untuk menghindari hukuman dera

tersebut, hukum memberi jalan keluar melalui upaya li`an sebagai pengganti

qadzaf.

Begitu pula pihak istri, untuk menghindari diri dari ancaman hukuman

dera (rajam) dibenarkan hukum melakukan li`an sebagai pengganti bukti atas

penyanggahannya terhadap tuduhan zina. Namun sekiranya istri mengaku, suami

terbebas dari beban menghadirkan empat orang saksi atau jika dalam keadaan

qadzaf, suami tidak perlu dibebani melakukan li`an apabila istri mengakui

tuduhan perbuatan zina.

Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat

orang saksi, haruslah ia bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa ia benar.

Pada kali yang kelima ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau

tuduhannya itu dusta. Istri yang menyanggah tuduhan tersebut lalu bersumpah

juga empat kali bahwa suaminya telah berdusta. Pada kali yang kelima ia

28
Amir Syarifuddin. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. ke-3. Jakarta: Kencana, halaman 289.
20

mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu

benar.29

Dasar hukum pengaturan li`an bagi suami yang menuduh istrinya berzina

ialah firman Allah SWT, yang artinya:

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak


ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya
dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima:
bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.”
(QS. An-Nur: 6-7).

Kemudian berlanjut dengan An-Nur ayat 8 dan 9, yang artinya:

“Istrinya itu terhindar dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama

Allah bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang yang yang

berdusta; dan sumpah yang kelima bahwa kemarahan Allah atasnya bila

suaminya itu termasuk orang yang benar”.

Empat ayat tentang prosesi li’an tersebut di atas dikuatkan oleh Nabi

dengan hadisnya dari Ibnu Umar menurut yang diriwayatkan Muslim, yang

artinya:

“Seseorang yang bernama ‘Uwainir al-‘Ajlaniy bertanya kepada Nabi


SAW: “Ya Rasulullah bagaimana pendapat anda kalau seseorang di antara
kami mendapati istrinya berbuat tidak senonoh, apa yang akan
diperbuatnya kalau dia bicara tentang suatu perkara yang bersar; kalau dia
diam berarti mendiamkan sesuatu yang besar pula”. Nabi tidak menjawab,
sesudah itu dia datang lagi dan berkata: “Ya Rasulullah apa yang saya
tanyakan dulu berlaku terhadap diri saya”. Kemudian turunlah ayat-ayat
surat An-Nur, Nabi membacakannya dan memberi peringatan kepadanya
dan menyebutkan bahwa azab dunia itu lebih enteng dari azab akhirat. Dia
berkata, tidak, demi Allah saya tidak berdusta kepadanya. Kemudian Nabi
memanggil istrinya dan memberi pengajaran kepadanya seperti itu pula
dan berkata: demi Allah dia itu adalah berdusta. Nabi memulai sumpah

29
Sayid Sabiq, Op. Cit., halaman 211.
21

dari pihak suami sebanyak empat kali kemudian diikuti oleh si perempuan.
Kemudian Nabi menceraikan keduanya”.

Berdasarkan empat ayat dan satu hadis yang disebutkan di atas terlihat

gambaran yang jelas tentang li’an dengan urutan kejadian sebagai berikut:

1. Suami menduga secara kuat bahwa istrinya berbuat zina. Untuk itu dia
mengajukan perkaranya kepada hakim untuk diadili. Seandainya tuduhan itu
tidak ditolak oleh istrinya, dalam arti ia mengaku berbuat zina sebagaimana
yang dituduhkan suaminya, maka hakim dapat menetapkan vonis zina
terhadap istrinya.
2. Kalau istrinya mengakui apa yang dituduhkan itu suami harus membuktikan
kebenaran tuduhannya itu dengan mengemukakan empat orang saksi. Dengan
cara ini hakim dapat menetapkan vonis bahwa istrinya telah berbuat zina.
Berlakulah sanksi zina terhadap istri.
3. Seandainya suami tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka dia
ditetapkan sebagai pembuat fiitnah zina (qadzaf), dan untuk itu berlakulah
ancaman had qadzaf.
4. Bila suami yakin bahwa dia benar dengan tuduhannya itu, namun secara
hukum tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, maka untuk
menghindari had qazaf itu dia menempuh cara li’an yang prosesinya
disebutkan dalam ayat 6-7 surat An-Nur di atas.Dengan selesainya suami
mengucapkan sumpah li’an-nya tersebut, maka ditetapkanlah 3 (tiga) hal,
yaitu:
a. Suami dibebaskan dari ancaman had qadzaf;
b. Suami putus hubungan nasabnya dengan anak yang dikandung istrinya; dan
c. Dengan selesainya li’an, berarti dia berada di pihak yang benar bahwa
istrinya itu berbuat zina. Oleh karena itu diberlakukanlah terhadap istri had
zina, yaitu dirajam sampai mati karena muhsan.
5. Bila memang istri itu berbuat zina sesuai dengan sumpah suaminya, maka
berhaklah dia atas ancaman yang berat itu. Namun bila tidak betul melakukan
perbuatan zina sebagaimana yang dituduhkan suaminya, maka cara untuk
menghindarkan diri dari ancaman had zina tersebut dia harus menempuh cara
menolak li’an yang telah disampaikan suaminya dengan cara sebagaimana
disebutkan dalam ayat 8 dan 9 surat An-Nur.30

Li’an dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1. Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi laki-

laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-laki yang

30
Amir Syarifuddin, Op. Cit., halaman 291-293.
22

menzinai istrinya dan suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinai

istrinya atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran

pengakuannya tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak,

bukan dengan jalan me-li’an atau mengadakan mula’anah. Tetapi jika tidak

terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat

zina.

2. Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Suami

boleh tidak mengakui kehamilan istri, biar dalam keadaan bagaimanapun,

karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad

nikahnya.

Suatu perbuatan dinamakan li’an tersebut apabila telah terpenuhi rukun

dan syarat yang ditentukan. Adapun rukun dari li’an dapat dilihat dari unsur-unsur

yang membina hakikat dari li’an sebagaimana terdapat dalam definisi li’an di

atas. Sedangkan syarat bagi li’an itu ada yang berkenaan dengan syarat umum

untuk setiap unsur rukun dan ada pula syarat secara umum.

Adapun rukun li’an itu adalah sebagai berikut:

1. Suami, yaitu orang yang bersumpah untuk menegakkan kesaksian dan dari
segi ia adalah orang yang menuduh orang lain berbuat zina yang untuk itu
patut dikenai sanksi fitnah berbuat zina atau qazaf, maka suami itu harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Ia adalah seorang yang sudah dikenai beban hukum atau mukallaf, yaitu
telah dewasa, sehat akalnya dan berbuat dengan kesadaran sendiri. Bila
suami itu belum dewasa, atau tidak sehat akalnya atau dalam keadaan
terpaksa, maka sumpah yang diucapkannya tidak sah, dan bila dia
memfitnah pun tidak dikenai sanksi qazaf, maka dengan demikian tidak
sah li’an yang dilakukannya.
b. Suami itu adalah muslim, adil, dan tidak pernah dihukum karena qazaf.
c. Suami tidak mampu mendatangkan saksi empat orang untuk membuktikan
tuduhan zina yang dituduhkan kepada istrinya. Bila seandainya suami
23

mempunyai bukti yang lengkap tidak boleh menempuh li’an karena li’a itu
adalah sebagai pengganti tuduhan yang dapat dibuktikan.
2. Istri yang di-li’an, syarat-syaratnya yaitu:
a. Ia adalah istri yang masih terikat perkawinan dengan suaminya. Karena
li’an itu hanya berlaku di antara suami istri dan tidak berlaku untuk yang
lain.
b. Ia adalah orang mukallaf dalam arti sudah dewasa, sehat akal, dan berbuat
dengan penuh kesabaran. Syarat ini ditetapkan karena istri pun akan
melakukan li’an balik sebagai bantahan terhadap apa yang disampaikan
oleh suaminya.
c. Ia adalah orang yang muhsan, yaitu bersih dari kemungkinan sifat-sifat
yang tercela yang menyebabkan dia pantas untuk dituduh berzina. Syarat
ini ditentukan karena kalau dia tidak muhsan suami yang menuduhnya
tidak berhak dikenai had qazaf atau ta’zir dan oleh karenanya dia tidak
perlu melakukan li’an.
3. Tuduhan suami bahwa istrinya telah berbuat zina. Adapun tuduhan zina
berkenaan dengan li’an yang dilakukan istrinya dan kedua menafikan anak
yang dikandung oleh istrinya itu.31

Para pakar hukum Islam mengingatkan agar para hakim dalam

menerapkan sumpah li`an ini terlebih dahulu memperingatkan dan menasihati

agar para pihak tidak melaksanakan li`an sebab resikonya besar sekali baik di

dunia maupun di akhirat nanti.32 Para ulama` sepakat bahwa menurut sunnah

dalam li`an, laki-laki didahulukan yaitu dia mengucapkan kesaksian sebelum

istrinya. Para ulama juga berselisih pendapat tentang keharusan mendahulukan ini.

Syafi`i dan lainnya berkata, “wajib laki-laki dahulu”. Jika perempuan

mengucapkan li`an lebih dulu maka li`an-nya tidak sah. Alasan mereka karena

li`an itu untuk menolak tuduhan suami. 33

Aturan tentang li’an hukum positif di Indonesia juga ada diatur mengenai

li’an tetapi lebih dikhususkan kepada apa yang disebut dengan pengingkaran atau

penyangkalan anak, seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2)

31
Ibid., halaman 293-295.
32
Abdul Manan. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana, halaman 461.
33
Sayyid Sabiq, Op. Cit., halaman 218.
24

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pengertian li’an yang

diadopsi oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bersumber dari

ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang penyangkalan anak melalui cara

li’an. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada

menyebutkan kata li’an, tetapi menggunakan kata penyangkalan anak, juga tidak

menjelaskan pengertian li’an secara eksplisit, tetapi hanya menjelaskan makna

secara global saja. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

dalam Pasal 87 dan Pasal 88. Ketentuan Pasal 100 tentang hubungan nasab anak

dengan ibunya, Pasal 101 tentang suami yang mengingkari kelahiran anak, Pasal

125-128 dan Pasal 162 tentang li’an Kompilasi Hukum Islam.

Li’an merupakan acara khusus di Pengadilan Agama yang diatur dalam

pasa-lpasal tertentu di dalam Kompilasi Hukum Islam. 34Li’an merupakan salah

satu penyebab putusnya hubungan perkawinan antara suami istri, sesuai dengan

Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam yang menekankan bahwa li’an juga

menyebabkan putusnya perkawinan antara suami dan istri untuk selama-lamanya.

Pelaksanaan li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang

Pengadilan Agama sebagaiman yang disebutkan dalam Pasal 128 Kompilasi

Hukum Islam. Li’an merupakan perintah hakim kepada suami yang menuduh

istrinya berselingkuh untuk mengucapkan sumpah. Apabila istrinya tidak hadir,

maka harus disebutkan namanya oleh suami, dan jika istrinya hadir, maka harus

34
A. Mukti Arto. 1998.Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, halaman 226.
25

ditunjuk dengan isyarat tangannya. Pendapat lain mengatakan harus dihubungkan

antara menyebutkan nama dengan isyarat tangan. 35

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada pasal

yang secara rinci mengatur tentang proses penyelesaian perkara li’an, Undang-

Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan bahwa suami boleh

menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya, dan suami berhak

mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama, didalam Kompilasi Hukum

Islam dipaparkan dengan jelas tidak hanya pengertian tentang li’an namun proses

penyelesaian dalam perkara li’an dijelaskan dalam beberapa pasal.

C. Konsep Anak menurut Aturan Perundang-Undangan di Indonesia

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-

hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan

bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945

dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Anak. Dari sisi

kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi

penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak

kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. 36

35
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf. 1992.Kunci Fiqh Syafi’i. alih bahasa Hafid
Abdullah.Cet. ke-1. Semarang: Asy Syifa’, halaman 257.
36
Abdi Koro. 2012.Perlindungan Anak Dibawah Umur. Bandung: PT. Alumni, halaman
63.
26

Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan

perundang-perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya

keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan

perlindungan pada anak. Terjadi banyak kontradiksi yang cukup tajam tentang

kriteria anak dan kriteria batas awal kedewasaan dalam sistem hukum positif di

Indonesia.

Meskipun tiap manusia sebagai subjek hukum tetapi tidak semua manusia

dipandang cakap melakukan perbuatan hukum. Ada beberapa golongan yang oleh

hukum dipandang sebagai subjek hukum yang “tidak cakap’ hukum, sehingga

dalam melakukan perbuatan hukum, subjek hukum tersebut harus diwakili atau

dibantu oleh orang lain, seperti: 1. Anak yang masih di bawah umur, belum

dewasa, atau belum menikah; 2. Orang yang berada dalam pengampuan orang lain

yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk dan pemboros, walaupun dari sisi usia

sudah dewasa.

Kedewasaan selalu dihubungkan dengan kematangan mental, kepribadian,

pola pikir dan prilaku sosial, namun dilain hal kedewasaan juga erat hubungannya

dengan pertumbuhan fisik dan usia. Kedewasaan juga kadang dikaitkan dengan

kondisi seksual seseorang walaupun kemampuan reproduksi manusia tidak selalu

ditentukan oleh faktor usia. Kedewasaan merupakan perpaduan yang seimbang

antara jiwa, raga dan intelektual. Ukuran kedewasaan memang sangat relatif,

tergantung dari perspektif mana melihatnya. Kedewasaan menurut pandangan

sosiologi belum tentu sama dengan kedewasaan menurut pandangan hukum,


27

begitu juga kedewasaan menurut pandangan adat belum tentu sama dengan

kedewasaan menurut pandangan agama.

Dalam BW “kedewasaan” dikaitkan dengan sejumlah tahun tertentu.

Orang yang telah mencapai umur genap 21 tahun atau telah menikah sebelum

mencapai usia itu (Pasal 330 BW) dianggap sudah dewasa, karena kedewasaan

dikaitkan dengan kecakapan melakukan tindakan hukum, maka pembuat undang-

undang (BW) berangkat dari anggapan bahwa orang yang telah mencapai usia

genap 21 tahun (atau telah menikah) sudah dapat merumuskan kehendaknya

dengan benar dan sudah dapat menyadari akibat hukum dari perbuatannya, dan

karenanya sejak itu orang tersebut cakap untuk bertindak dalam hukum

(handelings-bekwaam).37

Batas usia memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat

disebut sebagai anak. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimum

sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut

beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat

bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-

tindakan hukum yang dilakukan anak itu. Untuk menetapkan ketentuan hukum

yang lebih berprospek dalam meletakkan batas usia maksimum seorang anak,

akan ditemukan pendapat yang sangat beraneka ragam kedudukan hukum yang

diberikan pada status kedewasaan seorang anak.

37
Ade Maman Suherman dan J. Satrio. 2010. Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur.
Jakarta: PT Gramedia, halaman 9-10.
28

Batasan umur seseorang yang masih dalam kategori anak, berdasarkan

beberapa peraturan yang ada di Indonesia cukup beragam, yang antara lain adalah

sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) yang kemudian

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Menurut Pasal 1 KHA/Keppres No.36 Tahun 1990, "Anak adalah setiap orang

yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang

berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal".

3. Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia, "Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun

dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal

tersebut adalah demi kepentingannya".

4. Undang-Undang RI. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberi batasan

yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak

perempuan berumur 16 tahun dan anak laki-laki berumur 19 tahun.

5. Undang-Undang RI. No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Pasal 1

ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”

6. Undang-Undang RI. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1

angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal
29

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan

belas) tahun dan belum pernah kawin”.

7. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO

tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.

8. Undang-Undang RI. No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,

dan DPRD: “Usia pemilih minimal 17 (tujuh belas) tahun.”

9. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai

pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum

berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330

yang berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur

genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.

Berdasarkan beberapa pengertian dan batasan umur anak sebagaimana

tersebut di atas yang cukup bervariasi tersebut, kiranya menjadi perlu untuk

menentukan dan menyepakati batasan umur anak secara jelas dan lugas agar

nantinya tidak terjadi permasalahan yang menyangkut batasan umur anak itu

sendiri. Dalam lingkup Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia serta

Undang-undang tentang Perlindungan Anak sendiri ditetapkan bahwa anak adalah

seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan, dan belum pernah menikah.38

Berbagai undang-undang yang ada di Indonesia terkait dengan batasan

usia dewasa seseorang menjadi polemik tersendiri. Seseorang yang dianggap

dewasa oleh sebuah undang-undang, ternyata masih dianggap anak-anak oleh

38
Pardomuan, “Batasan Mengenai Anak menurut Hukum Positif di Indonesia”,
www.lawofpardomuan.blogspot.com, diakses Sabtu, 25 Agustus 2018, Pukul 22.00 Wib.
30

undang-undang lainnya. Belum adanya kesepahaman dan kesepakatan dalam

berbagai undang-undang yang ada tersebut, tentu saja menjadi dua mata pisau

yang sangat membahayakan bagi masyarakat sebagai pihak yang diwajibkan

mematuhi aturan tersebut. Dapat saja terjadi seseorang yang melaksanakan hukum

keluarga yang nota benenya merupakan hukum perdata dipidana karena dianggap

melakukan kejahatan dalam pandangan hukum pidana, karena adanya perbedaan

pandangan terkait masalah ukuran kedewasaan seseorang.

Peraturan-peraturan batasan usia anak di atas dapat dipahami bahwa

pengertian anak di Indonesia cukup berfariasi, baik dari batasan usia minimal

maupun maksimal. Secara keseluruhan ketentuan mengatur anak adalah seseorang

yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan batasan usia minimal orang yang

dapat disebut sebagai anak yang dihitung sejak lahir, atau setelah mencapai usia

tertentu (misalnya 12 tahun), atau bahkan ada yang menentukan keberadaan anak

dihitung sejak ia dalam kandungan ibunya. Keragaman ketentuan ini menujukan

adanya kekhususan penentuan usia anak dalam rangka melindungi kepentingan

hukum anak.39

Berdasarkan hal itu, maka menjadi sebuah keharusan jika undang-undang

tersebut direvisi agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang

mayoritas tidak tahu aturan hukum tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah dan

legislatif seharusnya lebih responsif dan sensitif menyahuti berbagai kemungkinan

kerugian, ketidakadilan dan kezoliman yang akan dirasakan oleh masyarakat

39
Widodo. 2011. Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya.
Yogyakarta: Aswaja Pressindo, halaman 1-2.
31

disebabkan tidak adanya kesamaan dalam memberikan usia dewasa bagi

seseorang.

Batasan usia anak dalam aturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia memang sangat variatif. Walaupun demikian yang paling penting

adalah terlindunginya hak-hak anak di Indonesia. Undang-undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak,

pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih

memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan

yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan

demikian, pembentukan undang-undang dirasakan perlu dengan pertimbangan

bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan

pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan

bernegara apalagi terkait dengan negara kesejahteraan.

Orangtua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga

dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh

hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara

dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesbilitas bagi

anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara

optimal dan terarah yang diarahkan kepada pengembangan kualitas sumber daya

manusia. Perlindungan hukum untuk anak menegaskan bahwa

pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara

merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi


32

terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan

terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,

spritual, maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan

terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,

tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai

Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan

negara.40

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin yakni sejak

dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun, yang merupakan titik

awal dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif.

Upaya perlindungan terhadap anak tidak terlepas dari bentuk-bentuk

perlindungan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 merumuskan hak-

hak anak sebagai berikut:

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan

khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi

warga negara yang baik dan berguna;

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam

kandungan maupun sesudah dilahirkan;

40
Abdi Koro, Op. Cit., halaman 64.
33

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan

wajar.

Perlindungan anak berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

serta prinsip-prinsip konvensi hak-hak Anak, yang meliputi:41

1. Non Diskriminasi;

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan ;

4. Penghargaan terhadap pendapat anak (Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002).

Pengertian asas untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan

adalah bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib dilindungi oleh

negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Artinya, pihak-pihak

tersebut, wajib mewujudkan dan tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud (hak

hidup, hak kelangsungan hidup dan hak berkembang). Pengertian asas

penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya penghormatan atas hak untuk

mengambil keputusan, terutama terhadap hal yang berkaitan dengan

kehidupannya.

Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-

hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

41
Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: Mandar Maju, halaman 14.
34

dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang

berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera (Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2002).42

Ditinjau secara garis besar makan dapat disebutkan bahwa perlindungan

anak dapat dibedakan dalam 2 pengertian ialah:43

a. Perlindungan yang bersifat yuridis, yaitu meliputi:


1) Bidang hukum publik
2) Bidang hukum keperdataan
b. Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi:
1) Bidang sosial
2) Bidang pendidikan

Perlindungan anak yang bersifat yuridis ini, menyangkut semua aturan

hukum yang mempunyai dampak langsung dari kehidupan seorang anak, dalam

arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Bagi Indonesia di

samping hukum tertulis, berlaku pula hukum yang tidak tertulis, sehingga ruang

lingkup perlindungan anak yang bersifat yuridis ini, meliputi pula ketentuan-

ketentuan hukum adat.

Seminar Perlindungan Anak/Remaja yang diadakan oleh Pra Yumana pada

tahun 1977 terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak, yaitu:

a. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun
lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan
pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan
sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya
b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh perorangan,
keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk
pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan
jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai
dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya
seoptimal mungkin.44

42
Ibid., halaman 16.
43
Irma Setyowati Soemitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi
Aksara, halaman13.
44
Ibid.
35

Aspek perlindungan anak, akan terbatas pada bidang hukum keperdataan,

khususnya bidang hukum kekeluargaan, mengingat aspek hukum perlindungan

anak mempunyai jangkauan yang luas, seperti tersebut di muka, yaitu meliputi

juga hukum publik, di antara lain: Hukum Pidana, Hukum Acara, Hukum Tata

Negara.45

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, hak-hak anak meliputi:

a. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai


dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi;
b. Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan;
c. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi;
d. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh atau diasuh
oleh pihak lain apabila karena sesuatu hal orang tua tidak mewujudkannya;
e. Hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani dan rohani, jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental spritual dan sosial;
f. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran bagi yang cacat memperoleh
pendidikan luar biasa;
g. Hak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan
juga memberi informasi;
h. Hak berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang
sebaya dan yang cacat berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan
memelihara taraf kesejahteraan sosial;
i. Selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
1) Diskriminasi;
2) eksploitasi, baik ekonomi atau seksual;
3) penelantaran;
4) kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
5) ketidakadilan; dan
6) perlakuan salah lainnya terhadap pelaku hal-hal yang tersebut dengan
hukuman.
j. Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali apabila terdapat aturan
hukum yang meniadakannya;
k. Hak untuk memperoleh perlindungan dari:
1) penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
2) pelibatan dalam sengketa bersenjata;
3) pelibatan dalam kekerasan sosial;

45
Ibid., halaman 14.
36

4) pelibatan dalam peristiwa yang mengadung unsur kekerasan;


5) pelibatan dalam peperangan;
l. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan
atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau hukuman
penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan itu merupakan upaya
terakhir;
m. Anak yang dirampas kekebasannya, berhak :
1) mendapat perlakuan yang manusiawi dan penempatannya dipisah dari
orang tua;
2) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari
setiap tahapan hukum;
3) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang obyektif dan tidak memihak;
n. Anak yang menjadi korban, berhak memperoleh bantuan hukum dan
bantuan lainnya.46

46
Ibid., halaman 17-18.
37

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Anak Li’an Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam

masyarakat. Perkawinan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di

dunia berlanjut dari generasi ke generasi. Perkawinan juga mengatur hubungan

antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling tolong-menolong

dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta pengorbanan. Perkawinan merupakan

salah satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Allah, baik itu manusia,

hewan, dan tumbuhan.0 Perkawinan merupakan jalan bagi manusia untuk

memperoleh keturunan, berkembang biak, dan kelestarian hidupnya, setelah

masingmasing pasang siap melakukan peranannya yang positif dalam

mewujudkan tujuan perkawinan. 47

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 19

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mengatur secara limitatif mengenai

alasan-alasan perceaian. Perceraian tidak hanya atas keinginan suami saja tetapi

juga bisa terjadi atas keinginan sang istri yang harus didasari oleh alasan tertentu

yang dapat dibenarkan oleh hukum. Walaupun dalam agama Islam

memperbolehkan untuk bercerai bukan berarti agama Islam menyukai perceraian.

karena pada dasarnya perceraian menurut hukum Islam itu tidak diperbolehkan

kecuali dalam keadaan tertentu. Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam perceraian

47
Sayyid Sabiq. 1981. Fikih Sunnah. Jilid 6. Bandung: PT Alma’arif, halaman 5.

37
38

yang dapat disebut perceraian sebab li’an adalah karena suami menuduh istri

berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir

dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Menurut hukum Islam, li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia

menuduh istri berbuat zina dan ia tidak bisa mendatangkan empat orang saksi

untuk menguatkan dakwaanya. Li’an merupakan cara penyelesaian lain dalam

perkara cerai talak dengan alasan istri berbuat zina yang tidak dapat diselesaikan

dengan prosedur ikrar talak biasa.48

Li’an adalah lafadz dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata

la’ana, yang secara harfiah berarti "saling melaknat". Cara ini disebut dalam

term li’an karena dalam prosesinya tersebut kata "laknat" tersebut.49

Berdasarkan definisi yang sederhana tersebut, terdapat beberapa kata kunci

yang akan menjelaskan hakikat dan perbuatan li’an itu, yaitu sebagai berikut:

1. Kata “sumpah”. Kata ini menunjukkan bahwa li’an itu adalah salah satu
bentuk dari sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya lima kali.
Empat yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya dan kelima
kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila dia berbohong.
2. Kata “suami” yang dihadapkan kepada “istri”. Hal ini mengandung arti bahwa
li’an berlaku antara suami istri dan tidak laku di luar lingkungan keduanya.
Orang yang tidak terikat dalam tali perkawinan saling melaknat tidak disebut
dengan istilah li’an.
3. Kata “menuduh berzina”, yang mengandung arti bahwa sumpah yang
dilakukan oleh suami itu adalah bahwa istrinya berbuat zina, baik ia sendiri
mendapatkan istrinya berbuat zina atau meyakini bahwa bayi yang dikandung
istrinya bukanlah anaknya.
4. Kata “suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi”. Hal ini
mengandung arti bahwa seandainya dengan tuduhannya itu suami

48
Fariha Yustisia, Liliek Istiqomah, Yusuf Adiwibowo , “Kedudukan Hukum Anak Yang
Lahir Akibat Dari Perceraian Li’an Dalam Hukum Waris Islam”, melalui
http//:portalgaruda.go.id, diakses Minggu, 8 Juli 2018, Pukul 17.00 Wib.
49
Anwar Hafidzi, Binti Musyarrofah.Penolakan Nasab Anak Li’an dan Dhihar dengan
Ta’liq (Analisis Komparatif Naskah Kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu dengan alMughni) “,
dalam Ulul AlbabJurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, Volume 1, Nomor 2, April 2018.
39

mendatangkan empat orang saksi sebagaimana dipersyaratkan waktu menuduh


zina, tidak dinamakan dengan li’an; tetapi melaporkan apa yang terjadi untuk
diselesaikan oleh hakim.50

Rukun li’an: Suami, tidak akan jatuh li’an apabila yang menuduh zina atau

yang mengingkari anak itu laki-laki lain yang tidak mempunyai ikatan pernikahan

(bukan suaminya). Istri, tidak akan jatuh li’an apabila yang dituduh tersebut

bukan istrinya. Shighat atau lafaz li’an, yaitu lafadz yang menunjukkan tuduhan

zina atau pengingkaran kandungan kepada istrinya.51

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak di

jelaskan tentang li’an, tetapi dijelaskan tentang pengingkaran atau penyangkalan

anak yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2). Ketentuan Dalam Pasal 44

ayat (1) memberikan hak kepada suami untuk mengingkari anak yang dikandung

oleh istrinya dengan membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu

adalah akibat dari perzinaan tersebut, dan pada ayat ke (2) disebutkan tentang

siapa yang berhak memutuskan terhadap sah atau tidaknya anak tersebut. Dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur Pasal 101 mengenai seorang suami yang

mengingkari sahnya anak sedangkan istrinya menyangkalnya, dapat meneguhkan

pengingkarannya dengan li’an. Allah telah menentukan cara-cara membuktikan

zina yang dilakukan oleh suami atau istri yang terikat dalam ikatan perkawinan

yang sah. Apabila suami menyaksikan dengan mata kepala sendiri perbuatan zina

istrinya secara in flagrante delicto, sedangkan suami tidak bisa menghadirkan

empat orang saksi, maka Allah memberikan jalan keluar, melalui sumpah

50
Amir Syarifuddin, Op. Cit., halaman 288-289.
51
Anik Mukhifah, “Analisis Pendapat Imam Al-Syafi’i Tentang Hakam Tidak Memiliki
Kewenangan Dalam Menceraikan Suami Istri Yang Sedang Berselisih”, melalui
www.uinwalisongo.ac.id, diakses Rabu, 18 Juli 2018, Pukul 10.00 Wib.
40

li’anuntuk membuktikan pasangan perkawinannya telah melakukan zina.52 Jika si

istri mengakui perbuatannya, suami terbebas dari beban menghadirkan 4 orang

saksi atau jika dalam keadaan qadzaf, suami tidak perlu dibebani untuk

melakukan li’an apabila istri mengakui tuduhan perbuatan zina.

Kompilasi Hukum Islam, sedikit lebih jelas disebutkan mengenai

pengertian li’an walaupun tidak secara eksplisit. Pada Pasal 101 Kompilasi

Hukum Islam disebutkan:

“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang istri tidak

menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”.

Kemudian di dalam Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam (KHI) lebih jelas

disebutkan:

“Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan/atau

mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya,

sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.”

Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa li’an juga

menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.

Dari keterangan pasal-pasal di atas, baik yang terdapat pada Undang-

Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, dapat diambil suatu

kesimpulan sebagai penjelasan bahwa li’an merupakan salah satu bentuk

perceraian yang dilakukan di depan pengadilan yang dapat juga disertai dengan

penyangkalan/pengingkaran oleh suami terhadap sahnya anak dalam kandungan

ataupun yang sudah lahir dari istrinya karena tuduhan zina yang memiliki

52
Neng Djubaedah. 2010. Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Ditinjau dari Hukum Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, halaman 126.
41

serangkaian ketentuan ataupun mekanisme tertentu untuk melakukan li’an

tersebut.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 127 juga mengatur mengenai tata

cara li’an dengan tetap berdasarkan kepada Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9,

yaitu:

1. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan/atau pengingkaran

anak tersebut, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah

atas dirinya apabila tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut dusta”.

2. Istri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat

kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti

sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya bila tuduhan

dan/atau pengingkaran tersebut benar”.

3. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak

terpisahkan.

4. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap

tidak terjadi li’an.

Dengan selesainya diucapkan sumpah li’an, maka hakim kemudian

menceraikan kedua suami istri yang bermula’anah tersebut dan di antara keduanya

tidak boleh terjadi perkawinan lagi untuk selama-lamanya yang didasarkan pada

sabda Rasulullah SAW:

“Suami istri yang saling mengutuk itu, apabila telah bercerai, maka

keduanya tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya”. (Hadist/Riwayat Al-

Turmudzi).
42

Hal tersebut juga dipertegas di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125

yang menyebutkan bahwa li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami

istri untuk selama-lamanya.53

Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan li’an hanya sah apabila

dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama, atau dengan perkataan lain

dilakukan di muka hakim. Dengan pelaksanaan li’an di hadapan sidang

pengadilan akan dapat diberikan surat keterangan telah terjadinya li’an dan dapat

diketahui akibat-akibat hukumnya yang timbul. Kompilasi Hukum Islam dalam

mengatur bahwa li’an harus dilakukan di hadapan sidang adalah dengan

menggunakan metode istislah atau sering disebut mashlahah mursalah.

Pada sisi lain KHI yang menjelaskan tentang batas waktu suami

melayangkan gugatan pengingkaran anak, Pasal 102 menjelaskan bahwa:

1. Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari

sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah

suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat

yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama.

2. Pengingkaran sesudah masa lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.

Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas

minimal usia kandungan, demikian juga waktu 360 hari bukan menunjukkan

batas maksimal usia bayi dalam kandungan, akan tetapi menjelaskan batas waktu

mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Al-Qur’an memberi petunjuk

53
Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama.
Jakarta: Pustaka Bangsa Press, halaman 150.
43

yang jelas tentang masalah ini. Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah

6 bulan dihitung saat akad nikah dilangsungkan.54

Berkenaan dengan hak anak dari istri yang dicerai li`an UU No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, tidak membahasnya secara jelas. Namun undang-

undang ini hanya menyebutkan dalam salah satu pasalnya tentang akibat

putusnya perkawinan karena perceraian, yang juga menjelaskan tentang hak anak.

Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan akibat putusnya

karena perkawinan ialah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana terjadi

perselisihan tentang penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak

dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan ibu ikut

memikul biaya tersebut.

Sedangkan Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 156:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Anak yang belum mumayis berhak mendapatkan hadhanah dari dari

ibunya, kecuali jika ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya

digantikan oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;

2. Ayah;

54
Ahmad Rofiq. 2013.Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, halaman
101.
44

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

b. Anak yang sudah mumayis berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya;

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselaa-

matan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah

telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan

Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat

lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah

menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut

dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,

Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),

(c), dan (d);

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-

anak yang tidak turut padanya.

Dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam berikutnya, tepatnya Pasal 162

lebih tegas dijelaskan tentang akibat terjadinya cerai li`an:


45

“Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya, dan

anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya

terbebas dari kewajiban memberi nafkah”.

Jadi menurut ketentuan Pasal 162 tersebut anak tidak lagi mendapatkan

nafkah dari ayahnya, dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 171 huruf (c)

Kompilasi Hukum Islam:

“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.

Dikarenakan anak tersebut telah dinafikan (dianggap tidak ada) oleh

ayahnya maka hubungan nasab antara bapak dan anaknya terputus, sehingga

tidak boleh saling mewarisi, sedangkan anak dan ibu boleh saling mewarisi.55

Berdasarkan ketentuan dari KHI tersebut maka anak li’an sama kedudukannya

dengan anak zina. Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian

yang luas (anak tidak sah).56 Anak zina dalam hukum Islam hanya dinasabkan

kepada ibunya. Dengan demikian semua hak-hak perdata dari anak li’an tersebut

beralih kepada ibunya.

Apabila dikaji secara lebih lanjut beberapa ketentuan yang terdapat dalam

KHI terkait dengan li’an saling bertentangan antara satu pasal dengan pasal

lainnya. Terkait dengan li’an KHI mmbahasnya dalam 6 (enam) pasal pada 3

(tiga) bab yang berbeda. Pasal 101 tentang li’an sebagai peneguhan terhadap

55
Sayyid Sabiq, Op. Cit., halaman 221.
56
D.Y. Witanto. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka, halaman
41.
46

pengingkaran sahnya anak yang tidak disangkal oleh istri masuk dalam bab

pemeliharaan anak. Pasal 125 tentang akibat li’an, Pasal 126 tentang sebab

terjadinya li’an, Pasal 127 KHI tentang tata cara li’an, dan Pasal 128 KHI tentang

sahnya li’an di depan pengadilan termuat dalam bab putusnya perkawinan. Selain

dijelaskan dalam Pasal 125 KHI bab putusnya perkawinan, akibat li’an juga

disebutkan kembali dalam Pasal 162 pada bab akibat putusnya perkawinan.

Penjelasan tentang sebab terjadinya li’an dalam Pasal 126 KHI, li’an

terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan/atau mengingkari anak dalam

kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan

dan/atau pengingkaran tersebut. Menurut ketentuan Pasal 126 KHI, li’an terjadi

karena adanya penolakan dari istri atas tuduhan berzina dan/atau pengingkaran

suami terhadap anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya.

Ketentuan sebab terjadinya li’an dalam Pasal 126 KHI di atas sejalan

dengan ketentuan yang mengatur tentang tata cara li’an dalam Pasal 127 KHI

yang juga mengharuskan adanya penolakan dari istri atas tuduhan dan/atau

pengingkaran suami. Bahkan Pasal 127 KHI menegaskan bahwa jika tuduhan

dan/atau pengingkaran suami tidak diikuti dengan adanya penolakan dari istri atas

tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut maka dianggap tidak pernah terjadi li’an.

Hal itu berarti bahwa semua akibat hukum dari li’an juga tidak dapat ditetapkan

selama li’an yang dilakukan belum dianggap sah berdasarkan ketentuan Pasal 127

KHI.

Di samping terdapat ketentuan yang mengatur tata cara li’an terdapat pula

ketentuan yang menyebutkan syarat keabsahan li’an yang dilakukan suami istri,
47

yakni ketentuan Pasal 128 KHI yang berbunyi li’an hanya sah apabila dilakukan

di hadapan sidang Pengadilan Agama.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa anak tersebut dianggap

tidak memiliki pertalian darah dengan ayah biologisnya, sehingga tanggung jawab

sepenuhnya berada di pundak sang ibu, termasuk di dalamnya adalah memberi

nafkah. Bahkan menurut Imam Malik, dan Imam Syafii yang masyhur di kalangan

madzhabnya, anak tersebut boleh dinikahi ayah boiologisnya karena dianggap

tidak memiliki pertalian darah dengannya. Di samping itu ayah biologisnya tidak

berkewajiban memberi nafkah dan warisan. Namun menurut mayoritas ahli fikih,

meskipun dianggap tidak memiliki pertalian darah, sang ayah biologis tetap

diharamkan untuk menikahinya.

B. Akibat Hukum terhadap Pengingkaran Anak(Li’an) oleh Ayahnya

Pada dasarnya anak istri itu dibangsakan kepada suami dengan tanpa

pengakuan, apakah suami itu meninggal atau hidup selama dia tidak

menafikannya dan ber-li’an dan itu (anak) lazim bagi yang kurang akal dan tidak

membutuhkan kepada dakwaan anak dari istri. Anak itu tidak dinafikan dari

suami kecuali dari keadaan yang dinafikan daripadanya oleh Rasulullah SAW,

bahwa Ajlany menuduh istrinya dan mengingkari kehamilan istrinya lalu dia

mendatangi Rasulullah saw, dan nabi me-li`an-kan di antara keduanya dan nabi

menafikan anak di antara keduanya.57

57
Imam Syafi`i. 1985. al-Umm. penterjemah Ismail Yakub, dkk. Jakarta : Faizan, halaman
96.
48

Jika seorang laki-laki tidak mengakui anaknya karena li`an, hubungan

nasab antara bapak dan anaknya terputus, anak tersebut dinisbatkan kepada

ibunya.58 Hadis Nabi SAW yang artinya:

Dari Ibnu Umar ra, meriwayatkan bahwa seorang laki-laki me-li`an

istrinya pada masa Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW menceraikan

keduanya dan mengikutkan anak mereka kepada ibunya. 59

Hadis lain menyebutkan, yang artinya:

Ibn Umar ra. berkata: Nabi SAW telah menyumpah li`an antara seorang

suami dengan istrinya, dengan membebaskannya dari anak itu (anak itu

tidak bernasab kepadanya), dan memisahkan di antara keduanya dan

melanjutkan nasab anak itu kepada ibunya. (HR. Bukhori)60

Hadist ini dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak hanya

dinisbatkan kepada suami yang setempat tidur, yang artinya:

Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda: “anak itu untuk

tikar dan bagi orang yang zina mendapat batu”. (Muttafaq Alaih). 61

Berdasarkan berbagai hadis di atas, anak itu menjadi hak bagi orang yang

memiliki tempat tidur, yakni suami. Orang yang zina mendapat bagian batu,

yakni dirajam dengan batu, sehingga jika terjadi suatu sengketa tentang anak ini,

apakah anak ini dari suaminya si istri atau dari orang lain, maka menurut

58
Sayyid Sabiq, Op. Cit., halaman 96.
59
M. Nahirudin al Albani. 2005. Mukhtashar Shahih Muslim. Penterjemah Elly Latifah.
Jakarta: Gema Insani Press, halaman 416.
60
Muhamad bin Ismail. 1995. Shahih Bukhori. Juz 5. Semarang: Dina Utama, halaman
236.
61
Ibid.
49

ketentuan harus di hak kan kepada suami. Sedangkan di sini tidak ada suami yang

setempat tidur tersebut karena suami telah menyangkalnya.

Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Perkawinan disebutkan, bahwa

seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya,

bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu lahir

akibat dari perzinahan tersebut. Perkawinan menimbulkan suatu akibat hukum.

Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan

hukum. Suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka anak

yang dilahirkan dari perkawinan itu juga merupakan anak yang tidak

sah.62Kelahiran seorang anak akan membawa konsekuensi hukum tertentu dalam

hubungan kekerabatan khususnya antara si anak dengan orang tua biologisnya.

Pada dasarnya setiap anak, baik lahir dalam perkawinan yang sah maupun

di luar perkawinan, dilahirkan memiliki status dan kondisi fitrah yang bersih,

tanpa dosa dan noda. Tidak ada anak yang lahir dengan membawa dosa turunan

dari siapapun termasuk dari kedua orang tuanya yang melakukan

perzinaan.63Adanya anak menunjukkan adanya bapak dan ibu yang melahirkan

dari hasil hubungan antara laki-laki dan perempuan dan menghasilkan seorang

anak.

Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang

sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram

antara anak dengan ayahnya. Seorang anak dapat dikatakan anak sah apabila anak

62
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. 1987. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: Bina Aksara, halaman 5.
63
M. Nurul Irfan. 2012. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Amzah,
halaman 161.
50

itu dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di

luar perkawinan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Menurut

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, status anak dibedakan

menjadi dua yaitu:

1. Anak sah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No.1 Tahun 1974

pasal 42: adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99

menyatakan anak sah adalah: anak yang lahir dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar

rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

2. Anak luar kawin. Anak luar kawin sebagaimana diatur dalam UU No. 1

Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di

luar perkawinan hanya mempunyaihubungan keperdataan dengan ibunya

dan keluarga ibunya saja”. Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 adalah

“anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan nasab

dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Sedangkan pengertian anak luar

kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan

perempuan tersebut belum berada dalam suatu ikatan perkawinan yang sah

dengan lelaki yang menyetubuhinya.

Dalam suatu perkawinan yang sah, apabila terjadi adanya penyangkalan

seorang ayah terhadap anak yang dilahirkan dari istrinya yang terbukti berbuat

zina, secara keperdataan akan mengakibatkan atau akan menempatkan posisi

anak tersebut sebagai anak luar kawin, yang mana akan membawa kesulitan
51

besar pada diri dan kehidupan selanjutnya bagi anak yang disangkal

kelahirannya.

Tidak beda dengan Undang-Undang Perkawinan, bahwa menurut Hukum

Islam seorang anak yang lahir di luar perkawinan, hanya mempunyai

hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jadi anak yang dilahirkan di

dalam perkawinan namun disangkal/diingkari oleh ayahnya, juga menjadi anak

tidak sah, artinya: tidak mempunyai bapak, dalam pengertian bahwa antara si

anak dan bapak tidak ada hubungan anak bapak dengan macam-macam hak dan

kewajiban seperti misalnya:

1. Hak radla, yaitu hak anak untuk mendapatkan pelayanan makanan

pokoknya dengan jalan menyusu pada ibunya. Dalam masa penyusuan ini

yang bertanggung jawab dalam hal pembiayaannya adalah kerabat terdekat

menurut garis nasab dan dalam hal ini ayahnyalah yang memiliki kedudukan

tersebut.

2. Hak hadhanah, yaitu tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau

anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.

3. Hak walayah (perwalian), yaitu dalam pemeliharaan anak dari kecil sampai

baligh. Dalam Hulum Islam perwalian anak dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. perwalian dalam pemeliharaan dan pendidikan anak;

b. perwalian harta;

c. perwalian nikah.

4. Hak nafkah yaitu hak untuk mendapatkan nafkah adalah hak anak yang

berhubungan langsung dengan nasab. Begitu anak lahir, maka hak nafkahnya
52

sudah mulai harus dipenuhi. Hak nafkah anak ini saling terkait dengan

masing-masing hak-hak di atas.

Menurut para ahli fikih, orang yang pertama yang bertanggung jawab atas

nafkah anak adalah kerabat terdekat dalam garis nasab, dan dalam hal ini adalah

ayah kandung. Dengan demikian anak yang diingkari hanya mempunyai ibu, yaitu

seorang perempuan yang melahirkannya, dalam pengertian bahwa antara si anak

dan si ibu itu ada hubungan hukum yang sama seperti halnya dengan anak sah,

yang mempunyai bapak. Adanya peraturan yang berlaku saat ini yang

memberikan hak kepada seorang ayah untuk menyangkal anak yang dilahirkan

istrinya adalah sebagai bentuk ketidakadilan bukan terhadap ibunya saja namun

terutama bagi si anaknya sendiri.

Penetapan keabsahan anak, adalah hal yang tidak mudah bagi seorang

anak yang meskipun lahir dalam ikatan perkawinan yang sah, namun

mendapatkan penyangkalan dari ayahnya yang menjadi suami ibunya. Namun

demikian fenomena kehidupan telah banyak menggambarkan adanya

penyangkalan anak tersebut. Namun dibalik itu juga tidak sedikit demi status

seorang anak yang dikandung oleh seorang perempuan yang di luar nikah

kemudian perempuan tersebut segera dinikahkan, meskipun bukan dengan laki-

laki yang menghamilinya, hal ini semata-mata demi status anak yang lahir, baik

ditinjau dari segi agama, hukum dan sosial.

Anak yang telah dinafikan dari ayahnya itu terhalang warisnya dari sudut

ayahnya, pada waktu hidupnya karena anak itu dinafikan dari warisan yang

dicegahnya karena asal urusannya adalah nasabnya, maka sesungguhnya anak itu
53

ternafikan selama ayahnya ber-li`an yang menetapkan atas penafianya dengan

li`an.64

Menurut Sayid Syabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan

karena tiga hal yaitu sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan, dan wala`

(pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum Islam lainnya disebutkan ada

empat sebab hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang

yang telah meninggal dunia yaitu:

1. Perkawinan

2. Kekerabatan/nasab

3. Wala` (pemerdekaan budak)

4. Hubungan sesama Islam.65

Dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam berikutnya, tepatnya Pasal 162

lebih tegas dijelaskan tentang akibat terjadinya cerai li`an:

Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya, dan

anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya

terbebas dari kewajiban memberi nafkah”.

Jadi menurut ketentuan Pasal 162 tersebut anak tidak lagi mendapatkan

nafkah dari ayahnya. Ketika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 171 huruf (c)

Kompilasi Hukum Islam:

“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
64
Imam Syafi’i, Op. Cit., halaman 108.
65
Moh, Muhibin dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 72.
54

Kedudukan anak dalam keluarga yang dilahirkan akibat dari li’an

mempunyai status hukum yang sama dengan anak zina. Anak zina adalah anak

yang dilahirkan dari sutu perbuatan zina antara laki-laki dan perempuan yang

belum terikat suatu perkawinan yang sah. Sedangkan anak li’an adalah anak yang

dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah namun tidak di akui oleh

suami bahwa anak itu sebagai keturunannya dan hakim memutuskan hubungan

nasabnya setelah melakukan sumpah li’an.

Anak yang lahir akibat dari perceraian li’an dalam hubungan

kenasabannya hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga

ibunya saja. Terhadap suami ibunya maupun ayah biologisnya tidak ada hubungan

nasab. Apabila si ayahnya menarik kembali tuduhannya terhadap ibunya maka

nasab anaknya shah kembali pada ayahnya dan hilang pengaruh li’an itu terhadap

si anak. Menurut para fuqaha apabila ada seorang laki-laki yang berzina dengan

perempuan yang sudah menikah, kemudian melahirkan anak, maka anak itu tidak

dinasabkan kepada bapak biologisnya, melainkan kepada suami dari ibunya

tersebut dengan ketentuan bahwa si suami tidak menafikan anak tersebut. Setiap

anak yang terlahir dari ibu, yang telah mempunyai suami, di nasab kan kepada

suami ibunya, kecuali ia menafikkan anaknya tersebut dengan li’an, maka

hukuman hukumnya li’an.66

Demikian pula dengan masalah warisan, bahwa anak yang telah dinafikan

(li’an) oleh ayahnya maka si anak tak dapat warisan. Hal ini dikarenakan bahwa

hubungan antara anak dan ayah dalam hukum kewarisan Islam ditentukan sah atau

66
M. Nurul Irfan, Op. Cit., halaman 245
55

tidaknya anak tersebut dalam suatu hubungan perkawinan antara laki-laki dengan

perempuan. Dengan adanya suatu ikatan perkawinan yang sah maka anak itu

dapat mewarisi harta orang tua tanpa adanya suatu penghalang dalam hal waris

mewarisi. Disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam

atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam

bidang pewarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 67

Hubungan kewarisan antara laki-laki dengan anak yang telah dili’an oleh

suaminya terputus semenjak selesainya sumpah li’an yang mengandung

menafikan anak itu dan tidak dari pemisahan yang dilakukan oleh hakim.

Putusnya nasab antara anak dengan ayahnya terjadi semenjak ayahnya

mengingkari anak tersebut, bukan disebabkan oleh tindakan hakim yang

menceraikan antara suami dan istri. Menurut Imam Hambali mengatakan bahwa

seandainya dalam li’an itu tidak langsung disebutkan menafikan anak yang akan

lahir oleh si suami, maka hubungan antara anak tersebut dan laki-laki itu tidak

terputus dengan sendirinya.

Menurut Abu Bakar berpendapat bahwa anak yang lahir dari perempuan

yang sudah di li’an itu putus hubungannya dengan silaki-laki terhitung semenjak

perkawinan di antara keduanya dinyatakan putus, meskipun dalam ucapan li’an

tidak menyebutkan menafikan anak.68Dalam hal hubungan kewarisan antara laki-

laki dengan anak yang dili’an terputus dan untuk selanjutnya hubungan

kewarisannya hanya dengan ibunya saja. Di samping mempunyai hubungan


67
Riduan Syahrani. 2004. Seluk-beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: P.T.
Alumni, halaman 93.
68
Amir Syarifuddin. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana , halaman 146.
56

kewarisan dengan ibunya, anak li’an juga mempunyai hubungan kewarisan

dengan orang-orang yang bertalian keluarga dengan ibunya yang bertalian hanya

melalui garis perempuan. Oleh karena anak li’an tidak mempunyai hubungan

kewarisan dengan laki-laki yang mengawini ibunya, maka ia tidak mempunya ahli

waris ashabah.

Anak li’an apabila meninggal dunia maka yang menjadi ashabah adalah

ibunya sendiri setelah harta itu dibagikan kepada ahli waris furudnya dan sisa

hartanya milik ashabah. Kalau anak li’an tidak mempunyai ahli waris furudh

maka harta warisan anak li’an jatuh pada ashabah ibunya. Menurut Abu Hanifah

mengatakan bahwa apabila anak li’an meninggal dan tidak mempunyai ahli waris

furudh maka hartanya diserahkan kepada baitul maal.69 Mengenai harta warisan

yang ditinggalkan oleh anak li’an ibunya mendapatkan 1/3, saudara-saudaranya

yang seibu mendapatkan 1/3 bagian. Kemudian sisanya ada yang berpendapat

diserahkan ke baitul maal ada yang berpendapat diberikan kepada dzawil arham

dan ada yang berpendapat di kembalikan kepada ibu dan saudara-saudarnya seibu

dengan sistim raad. 70

Terkait demikian, dapat dipahami apabila seorang suami telah

mengucapakan sumpah li’an kepada si istri, maka semenjak itulah akan

menimbulkan suatu akibat hukum yang dimana anak tersebut terputus dengan

suami si ibunya yang me-li’an. Sama halnya dalam masalah warisan anak itu

hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan oleh ibunya, tetapi tidak

dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya.
69
Ibid.
70
Djunaidi Abd. Syakur, Asyari Abta. 2005. Ilmu Waris Al-Faraidl. Surabaya: Pustaka
Hikmah Perdana, halaman 215.
57

Dengan kata lain, anak li’an tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan

keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya

maupun dari ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya. Anak li’an hanya

mendapatkan harta dari ayah biologisnya dengan cara wasiat wajibah bukan

dengan menjadi ahli warisnya.

Walau hak waris anak tercegah dari ayah biologisnya karena sebab li’an

tersebut, tetapi jika dilihat dari segi ketentuan Allah, maka anak tersebuttetap

sebagai anaknya sendiri. Oleh sebab itu, anak tersebut tidak boleh menerima zakat

yang dikeluarkan ayah biologisnya, jika ayahnya membunuhnya tidak ada

hukuman qishash-nya antara anak ini dengan anak-anak dari ayahnya yang

menjadi muhrim, tidak boleh saling jadi saksi di pengadilan, tidak dianggap

dikenal nasabnya, tidak boleh mengakui orang lain sebagai ayahnya.

Jika di kemudian hari suami mencabut tuduhannya, maka anaknya sah

nasabnya dengannya, anak itu menjadi lebih berhak kepada ayahnya, dan sekalian

akibat li’an terhapus dari anaknya.

C. Solusi Pemberian Hak-Hak Anak Li’an oleh Negara

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

senantiasa harus dijaga dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak sebagai

manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari Hak

Asasi Manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Anak. Apabila dilihat dari sisi
58

kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan dan generasi

penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945

serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Anak tersebut,

maka sebenarnya tidak ada hak-hak anak yang harus diabaikan. Artinya tanpa

melihat apakah anak tersebut anak zina, anak luar kawin, anak angkat, anak tiri,

anak sumbang, anak li’an, maka negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban

untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi anak.

Status seorang anak dalam Islam sangat berkait erat dengan sebuah

keabsahan suatu pernikahan. Pernikahan yang sah atau terlahirnya seseorang

dalam atau akibat perkawinan yang sah, akan memastikan satus anak tersebut

secara jelas. Sebaliknya, perkawinan yang tidak sah atau terlahirnya seorang anak

dalam (akibat) perkawinan yang tidak sah, akan berimplikasi pada ketidakjelasan

status anak tersebut secara legal formal.71

Dengan penetapan status anak itulah dapat diketahui hubungan nashab

antara anak dengan ayahnya, menyangkut kewarisan dan perwalian. Kendatipun

pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma laki-laki dan sejatinya

harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Seorang

anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir

dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang

sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, biasa disebut dengan anak zina atau

71
Busman Edyar, “Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang Undang Perkawinan”, dalam Al
Istinbath Jurnal Hukum Islam, Volume 1, Nomor 2, 2016, halaman 182.
59

anak di luar perkawinan yang sah dan ia memiliki hubungan nasab dengan

ibunya.72

Ketentuan hukum Islam tersebut apabila dikaitkan dengan salah satu

bentuk li’an, maka anak li’an dipastikan kehilangan seluruh hak-haknya dari

ayahnya karena telah diingkari oleh ayahnya sendiri. Tidak ada solusi apapun

terkait dengan status hukum anak li’an selain menerima segala bentuk

konsekuensi yang harus dihadapinya seumur hidupnya. Anak li’an beserta ibunya

akan menanggung segala akibat yang timbul dari adanya sumpah li’an tersebut.

Status nasab anak yang di-li’an ayahnya tidak akan memperoleh hak yang

menjadi kewajiban ayahnya karena ketidakabsahan pada anak li’an tersebut.

Konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki

kewajiban memberikan hak anak li’an. Sebaliknya anak itu pun tidak bisa

menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajiban yang dipandang menjadi hak anak

bila statusnya sebagai anak li’an. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang

merupakan hubungan keperdataan itu biasanya bersifat material karena sesuai

dengan pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz

Ad-Daqaiq”: “anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak

ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak

mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya

melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan

seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara

72
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., halaman 276.
60

perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan

jalan lain.

Pendapat diatas sejalan dengan Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam,

menyebutkan bahwa: “Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk

selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya

terbebas dari kewajiban memberi nafkah”. Anak li’an tersebut bisa dijadikan

sebagai anak angkat oleh orang lain.

Pengingkaran seorang suami terhadap anak yang dilahirkan oleh istrinya,

meskipun dalam undang-undang perkawinan tidak diatur. Majlis Ulama Indonesia

mengeluarkan fatwa tentang status anak zina dan perlakuan terhadapnya.

Fatwanya menegaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab,

wali nikah, waris, dan nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya,

anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan

ibunya dan keluarga ibunya. Berdasarkan hal tersebut untuk memberikan

perlindungan terhadap anak hasil zina Majelis Ulama Indonesia memberikan

hukuman bagi pezina berupa ta’zir yaitu dengan mencukupi kebutuhan hidup

anak tersebut, dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

Harus digarisbawahi bahwa nasab disyariatkan dalam lingkup tujuan

pemeliharaan keturunan (hifz al-nasl). Sedangkan nafkah termasuk dalam tujuan

pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs), keduanya merupakan maqasid(tujuan) dari nilai-

nilai dasar yang berbeda. Perlu diingat bahwa kewajiban nafkah dipahami

berdasar kebiasaan yang diterima masyarakat (‘urf). Dalam arti dipulangkan

kepada fitrah, sedangkan nasab berdasar firāsy (konsep bahwa anak sah adalah
61

anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah) diatur oleh pemeliharaan

berdasar ketetapan agama.

Dilihat dari perspektif tujuan pemeliharaan keturunan (hifz al-nasl), Islam

tidak membolehkan seseorang mengingkari keturunannya karena dapat

menimbulkan mudarat bagi isteri dan anaknya. Tetapi jika diyakini telah terjadi

pengkhianatan, maka Islam memberlakukan li’an sebagai solusi. Menurut syariat

Islam juga tidak membiarkan seseorang mengasuh anak yang diyakini bukan

keturunannya sendiri.

Pensyaratan nikah dan li’an menunjukkan sisi realis dan sifat moderatnya

ajaran Islam dalam hal nasab. Sebab dengan nikah seseorang tidak bisa

mengingkari keturunannya, dan jika ia dikhianati, ia diberikan jalan keluar lewat

li’an. Jadi cukup realis jika nasab anak tidak ditautkan pada orang yang malah

menolaknya. Di sisi lain dalam konteks hubungan sosial, Rasulullah dengan keras

mengancam orang yang berani menuduh anak li’an sebagai anak zina. Jadi

seorang anak yang hanya punya nasab kepada ibu tidak boleh dikucilkan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hak-hak anak yang telah di li’an

oleh ayahnya menjadi ternafikan. Ketentuan tersebut tentu saja merugikan anak

tersebut yang sebenarnya hanya menjadi korban dari konflik antara ibunya dan

mungkin ayah biologisnya. Dalam kasus li’an ini maka paling tidak apabila

mengacu kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,

dalam hal penetapan ayah biologis yang memikul tanggung jawab nafkah,

digunakan pendekatan interkonektif dengan ilmu-ilmu yang relevan. Hal ini

dimungkinkan karena teknologi telah dapat membuktikan hubungan darah


62

seseorang dengan ayah biologisnya. Meskipun secara syariat tidak mungkin lagi

untuk menuntut hak nasab, hak waris, namun masih terbuka kemungkinan dengan

untuk mendapatkan hak-hak nafkah melalui adanya tes DNA (Deoxyribo Nucleic

Acid).

Terbukanya kemungkinan untuk mendapatkan hak-hak nafkah, pendidikan

sampai tingkat dewasa tersebut, karena pada pada dasarnya terjadinya li’an karena

ayah biologis tidak mengakui anak yang dikandung oleh istrinya sebagai anak

kandungnya. Melalui tes DNA, maka akan dapat dibuktikan si anak itu berasal

dari benih laki-laki yang mana. Apabila tes DNA membuktikan bahwa benih si

anak berasal dari suami ibunya, maka anak tersebut merupakan anak kandung dari

suami istri itu. M. Nurcholis Bakry mengatakan bahwa di dalam DNA-lah

informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan mengatur program keturunan

selanjutnya.73

Penggunaan tes DNA digunakan dalam kasus pembuktian keturunan dari

anak yang dilahirkan dari seorang model Rusia Angel Ermakova hasil

hubungannya dengan mantan petenis nomor satu dunia Boris Becker asal Jerman.

Dalam kasus ini Becker menolak (mengelak) bahwa anak yang dilahirkan

Ermakova adalah anaknya. Tetapi setelah dilakukan tes DNA ternyata hasilnya

positif yaitu bahwa anak tersebut anak Boris Becker hasil hubungan gelapnya

dengan Boris Becker.74

73
M. Nurcholis Bakry. 1996. Bioteknologi dan Al-Qur’an (Referensi Da’i Modern). Beirut:
Daral Zahra, halaman 58.
74
Sri Lumatus Sa’adah, “Status Nasab Anak Akibat Li’an Yang Dibuktikan Dengan Tes
DNA (Analisis Tes DNA Sebagai Alat Bukti)”, dalam Al-‘Adalah, Volume 7, Nomor 2, Agustus
2004, halaman 97.
63

Terbukanya tes DNA sebagai satu elemen penting untuk membuktikan

dari benih siapa ia berasal, sebenarnya mengindikasikan bahwa ilmu pengetahuan

memberikan solusi hukum yang dapat mengatasi beberapa kasus hukum yang

masih dapat dicarikan solusi konkritnya. Artinya adalah penemuan teknologi

dapat dimanfaatkan untuk mencari kepastian serta perlindungan yang menjadi

tujuan penting dari hukum. Makna lain yang dapat diambil dari teknologi yang

dikaitkan dengan peristiwa hukum adalah untuk mencari kemaslahatan.

Menurut Dr. Herawati Sudoyo dan Dr. Helena Suryadi, menyatakan

bahwa hasil tes DNA adalah 100% akurat bila dikerjakan dengan benar. 75Oleh

sebab itu, DNA dapat dijadikan ratio legisdalam penetapan sebuah nasab.

Berdasarkan keakuratan dan kebenaran yang 100% tersebut, maka untuk kondisi

saat ini, penggunaan teknologi untuk membuktikan kebenaran sebuah nasab

merupakan sebuah keniscayaan, sehingga ketika terjadi sumpah li’an oleh suami

yang ditolak oleh istri, kemudian dilakukan tes DNA ternyata anak tersebut adalah

anak si suami, maka seharusnya suami tidak dapat mengelak atas tuduhannya

tersebut. Meskipun secara syari’at hukumnya telah sah, namun untuk melepaskan

tanggung jawab terhadap nafkah si anak, suami seharusnya tidak dapat mengelak

begitu saja.

Persoalan mengenai kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang

sah dalam pandangan hukum keluarga yang dibahas meliputi masalah-masalah

yang dianggap tabu dan aib bagi suatu keluarga. Namun terlepas dari kerumitan

itu hukum melihat persoalan kedudukan anak luar kawin merupakan problematika
75
Bahruddin Muhammad, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis Teknologi
Al-Qiyafah (Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur Rahman)”, melalui www.badilag.net,
diakses Senin, 20 Agustus 2018, Pukul 21.08 Wib.
64

yang perlu mendapat perhatian yang serius mengingat dampak dari persoalan

tersebut bukan hanya berhubungan dengan masalah hukum dan segala aspek yang

menyertainya, namun juga menimbulkan persoalan sosial yang dapat mengganggu

kelangsungan hidup anak-anak yang dilahirkan dari suatu hubungan yang tidak

sah sebagai insan pribadi yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam

memikul masa depan bangsa.76

Pokok persoalan dalam hukum keluarga menyangkut asal-usul keturunan

seorang anak yang lahir di luar perkawinan bertumpu pada hubungan hukum

antara si anak dengan ayah biologisnya, sedangkan hubungan hukum dengan

pihak ibu hampir tidak pernah menjadi persoalan karena hubungan itu telah

tercipta dengan sendirinya tanpa harus didahului dengan perbuatan hukum apa

pun, kecuali terhadap apa yang disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang menganut prinsip pengakuan mutlak, dimana seorang ibu biologis

tidak secara otomatis akan menjadi ibu yang memiliki hubungan perdata dengan

anaknya tanpa tindakan pengakuan. Undang-Undang Perkawinan maupun

Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal lembaga pengakuan anak oleh ibu

kandung, karena undang-undang telah menentukan bahwa anak yang lahir demi

hukum langsung memiliki hubungan keperdataan dengan pihak ibu dan keluarga

ibunya. Hal ini didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa tidak terlalu sulit

untuk menentukan siapa ibu biologis dari si anak, dibandingkan untuk

menentukan siapa ayah biologis dari si anak dalam hal kelahiran tanpa didahului

oleh adanya perkawinan.

76
Ibid.
65

Problematika hukum yang dihadapi oleh anak li’an sebenarnya telah

terjawab baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, namun ada hak-hak yang mestinya

didapat oleh anak li’an yang pada masa lalu pembuktian terhadap status anak

li’an-nya belum ditemukan teknologinya, sehingga hukum yang ada pada masa itu

menjadi kaku tanpa kompromi. Oleh karena itu pemakaian teknologi yang

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dunia secara global

seharusnya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin termasuk dalam bidang

hukum.

Dalam konteks terkait hak-hak anak li’an terhadap kewajiban ayahnya,

maka adanya tes DNA itu menjadikan semua asal-usul anak menjadi jelas,

sehingga si ayah yang tidak mengakuinya itu tidak lagi dapat menghindar dari

konsekuensi yang muncul dari hasil temuan DNA itu. Tes DNA membuat anak

li’an menjadi jelas kepada siapa dia akan dapat menuntut perlindungan maupun

kepastian akan mendapatkan hak-haknya dalam hal nafkah, biaya pendidikan

sampai ia dewasa. Meskipun juga tak dapat ditolak konsekuensi terhadap sumpah

li’an adalah bahwa si anak tidak dinasabkan kepada ayah yang telah

mengingkarinya tersebut sesuai dengan syariat yang berlaku.

Perlindungan hukum terhadap anak apalagi yang menjadi korban

perceraian menjadi sangat penting dilakukan oleh negara. Meskipun telah banyak

regulasi yang ada di Indonesia mengatur tentang hak-hak anak, namun khusus

bagi anak li’an nampaknya tidak jadi perhatian yang serius dari pihak eksekutif,

legislatif maupun yudikatif. Padahal berbagai regulasi yang ada tersebut sejatinya
66

memberikan amanah yang sangat besar kepada negara untuk menjaga hak-hak

anak.

Menarik untuk dibaca analisis dari Bahruddin Muhammad terkait dengan

persoalan anak luar kawin dan juga anak li’an, yaitu:

Bertolak dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,


persoalan untuk menentukan silsilah keturunan bukan hal yang sulit dan
mustahil lagi. Asal-usul keturunan akan dapat ditentukan melalui tes DNA
sehingga akan diketahui siapa ayah dari anak. Berpangkal tolak dari
kenyataan tersebut, maka prinsip hubungan keperdataan anak luar kawin
hanya terhadap ibu dan keluarga ibunya dipandang saat ini sudah tidak
relevan lagi, mengingat dari sudut pandang persamaan hak dan kedudukan
di mata hukum, hal tersebut bertentangan dengan prinsip hak asasi
manusia yang diatur dalam Konstitusi khususnya sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Setiap
orang berhak mendapatkan pengakuan jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. 77

Berdasarkan norma di atas, perspektif kepentingan si anak maupun ibu

kandungnya dalam Pasal 43 ayat (1) UUP yang disebutkan bahwa anak luar kawin

atau anak li’an hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya jelas bertentangan dengan rasa keadilan. Kedudukan hukum anak atau ibu

kandungnya sama sekali tidak memperoleh ruang dan kesempatan untuk

membuktikan siapa ayah biologis si anak, sedangkan hak-hak keperdataan itu baru

lahir bagi si anak, jika ada pengakuan dari ayah biologisnya. Hal tersebut

menunjukkan ketidakseimbangan perlakuan hukum yang diberikan oleh Undang-

Undang, karena status dan kedudukan si anak semata-mata hanya digantungkan

pada pengakuan si ayah, artinya jika si ayah bilogis tidak dengan sukarela mau

mengakui anaknya, maka hukum tidak bisa memberikan kedudukan apa-apa bagi

77
Ibid.
67

si anak, padahal jika kita kembali mempersoalkan proses lahirnya si anak itu ke

dunia, maka antara ayah dan ibunya biologisnya memiliki peran yang seimbang

atas terjadinya kelahiran tersebut. Si anak yang tidak pernah meminta untuk

dilahirkan, sehingga tidak ada alasan yang tepat untuk membebankan segala risiko

hukum kepada si anak.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila dikaitkan dengan kasus

pengingkaran anak dengan menggunakan sumpah li’an, dan ternyata anak tersebut

positif anak dari orang tua yang telah melaksanakan sumpah li’an setelah melalui

tes DNA maka tidak dapat diragukan lagi anak tersebut mempunyai hubungan

nasab kepada orang tuanya (ayah dan ibunya). Hal ini dikarenakan alat bukti

sumpah li’an biasanya ditempuh hanya karena adanya pengelakan atas keterangan

dari salah satu pihak dalam hal ini adalah pihak istri, sehingga atas penyangkalan

ini perlu didukung dengan sumpah. Atas dasar inilah maka alat bukti sumpah li’an

berfungsi hanya untuk meyakinkan kebenaran dari suatu keterangan. Dalam

konteks inilah maka jumhur ulama berpendapat bahwa buktilah yang sebenarnya

menjadi keterangan dalam menyelesaikan suatu perkara. Sedangkan sumpah

hanyalah merupakan pengganti dari keterangan.78

Apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 maka akan terlihat kemiripan kasusnya. Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010 diberlakukan secara general baik terhadap anak

sebagai akibat perzinaan, sebagai akibat perkawinan monogami secara di bawah

tangan atau sebagai akibat perkawinan poligami di bawah tangan, memiliki akibat

78
Hasbi Ash Siddieqi. 1988. Peradilan Hukum Acara Islam. Bandung: Alma’arif, halaman
106.
68

hukum lahirnya hak dan kewajiban menurut hukum antara kedua belah pihak

secara timbal balik. Lebih spesifk lagi bahwa untuk membuktikan bahwa anak

yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hukum

mempunyai hubungan darah.

Ayah yang dimaksud dalam putusan MK tersebut adalah ayah yang

memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya, maupun ayah biologis

(genetik). Kewajiban tersebut merupakan kewajiban hukum memberikan nafkah

kepada anak. Sebab, anak yang dilahirkan dari hubungan biologis tanpa ikatan

perkawinan yang sah, secara kodrati tidak berbeda dengan anak sah. Anak li’an

secara hukum adalah anak yang diragukan seorang laki-laki (suami) merupakan

anak kandungnya disebabkan laki-laki (suami) itu telah menuduh istrinya berzina,

oleh sebab itu laki-laki (suami) tersebut yakin bahwa anak yang dikandung

istrinya bukan anak kandungnya.

Melalui tes DNA dapatlah dibuktikan bahwa seorang anak itu ayah

biologisnya siapa. Berdasarkan temuan teknologi itulah, seharusnya baik pihak

eksekutif, legislatif maupun yudikatif dapat bersinergi untuk segera merevisi

ketentuan perundang-undangan agar memperbaiki segala kekurangan terkait

dengan perlindungan dan kepastian hukum terhadap anak yang berstatus anak

li’an. Perlindungan hukum itu memastikan hak-hak anak misalnya nafkah, biaya

pendidikan, kesehatan dan lain-lain dapat dibebankan kepada ayah biologisnya,

meskipun secara hukum agama keduanya tidak memiliki hubungan apapun.


69

Melalui penemuan teknologi dan ilmu pengetahuan seperti tes DNA itu

pula seorang anak li’an akan memperoleh kepastian hukum terkait status

hukumnya. Apabila memang dimungkinkan, temuan tes DNA yang dapat

menemukan kesamaan genetik antara dua orang tersebut, merupakan sarana

untuk membatalkan adanya sumpah li’an, karena tuduhan tersebut nyatanya tidak

terbukti. Untuk alasan yang terakhir diperlukan upaya-upaya penemuan dalil-dalil

hukum agar pembatalan sumpah li’an tersebut dapat terjadi.

Baik dalam Undang-Undang Perkawinan maupun KHI anak li’an hanya

dinasabkan kepada ibunya dan oleh sebab itu maka kewajiban ayahnya menjadi

hilang, sehingga anak li’an tak berhak menuntut apapun kepada ayahnya. Temuan

atas tes DNA memungkinan negara memberikan kewajiban kepada ayah biologis

untuk memberikan hak nafkah, biaya pendidikan dan kesehatan kepada anak

tersebut hingga dewasa.


70

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka kesimpulannya adalah:

1. Bahwa kedudukan anak li’an menurut Kompilasi Hukum Islam sesuai

denganPasal 162 bahwa anak lian dinasabkan kepada ibunya, karena anak

tersebut telah diiingkari oleh suami ibunya sebagai anak kandungnya,

sehingga anak tersebut tidak memiliki hubungan apapun dengan suami ibunya

tersebut.

2. Bahwa akibat hukum terhadap pengingkaran anak(li’an) oleh ayahnya adalah

si anak tidak dinasabkan kepada ayahnya serta hak-hak anak misalnya nafkah,

pendidikan, kesehatan tidak lagi menjadi kewajiban si ayah tersebut.

Kewajiban-kewajiban ayah tersebut berpindah kepada ibunya.

3. Bahwa solusi pemberian hak-hak anak li’an oleh Negara yaitu melalui

perubahan-perubahan regulasi dan melibatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi, misalnya adanya tes DNA untuk menemukan tentang asal-usul anak

li’antersebut. Apabila tes DNA membuktikan si anak memiliki kesamaan

genetika dengan ayah yang mengingkarinya, maka hak-hak perdata anak

seharusnya dapat dipulihkan.

B. Saran

1. Sebaiknya ketentuan tentang hukum li’an tidak secara gampang diterima oleh

pihak pengadilan, karena implikasinya yang begitu luas bagi baik bagi istri

70
71

maupun anak. Putusan terhadap sumpah li’an pada satu sisi memberikan rasa

ketidakadilan bagi wanita maupun anak yang di-li’an.

2. Sebaiknya pasangan suami-istri tidak menempuh jalan li’an yang berakibat

hilangnya hak-hak anak yang di-li’an serta dampak sosial yang akan diderita

si anak sepanjang hidupnya.

3. Sebaiknya baik pihak legislatif, eksekutif maupun yudikatif memberikan

ruang kepada temuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tes DNA untuk

membuktikan asal-usul anak, sehingga perlindungan dan kepastian hukum

terhadap anak li’an segera dapat ditemukan.


72

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A. Mukti Arto. 1998.Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdi Koro. 2012.Perlindungan Anak Dibawah Umur. Bandung: PT. Alumni.

Abdul Manan. 2003.Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan


Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Press.

______. 2006.Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.


Jakarta: Kencana.

Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf. 1992.Kunci Fiqh Syafi’i, alih bahasa Hafid
Abdullah, cet. ke-1 , Semarang: Asy Syifa’.

Ade Maman Suherman dan J. Satrio. 2010. Penjelasan Hukum Tentang Batasan
Umur. Jakarta: PT Gramedia.

_______. 1997. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Ahmad Warson Munawir. 2002.Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap.


Cet. ke-25. Surabaya: Pustaka Progresif.

Ahmad Rofiq. 2013.Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Amir Syarifuddin. 2008.Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana .

_______. 2009.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat


dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. ke-3. Jakarta: Kencana.

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan. 2014.Hukum Perdata Islam di Indonesia


Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974
sampai KHI. Cet. ke-5. Jakarta: Kencana.

D.Y. Witanto. 2012.Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan.
Jakarta: Prestasi Pustaka.

Djamaan Nur. 1993.Fikih Munakahat. Semarang: Dina Utama Semarang.

72
73

Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. 1987.Asas-Asas Hukum Perkawinan di


Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Djunaidi Abd. Syakur, Asyari Abta. 2005.Ilmu Waris Al-Faraidl. Surabaya:


Pustaka Hikmah Perdana.

H.S.A. Al Hamdani. 2002.Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:


Pustaka Amani.

Hasan Ayyub. 2005.Fikih Keluarga.Penterjemah M. Abdul Ghoffar. Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar.

Hasbi Ash Siddieqi. 1988.Peradilan Hukum Acara Islam. Bandung: Alma’arif.

Ibnu Qudamah. 2013.Al-Mughni.Penerjemah Abdul Syukur. Jakarta: Pustaka


Azzam.

Ida Hanifah, dkk., 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Imam Syafi`i. 1985. al-Umm.Penterjemah Ismail Yakub. dkk. Jakarta : Faizan.

Irma Setyowati Soemitro.1990.Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi


Aksara.

M. Nahirudin al Albani. 2005. Mukhtashar Shahih Muslim.Penterjemah Elly


Latifah. Jakarta: Gema Insani Press.

M. Nurcholis Bakry. 1996.Bioteknologi dan Al-Qur’an (Referensi Da’i Modern).


Beirut: Daral Zahra.

M. Nurul Irfan. 2012.Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta:
Amzah.

Mardani. 2016.Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Martiman Prodjohamidjojo. 2011.Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:


Indonesia Legal Center Publishing.

Moh, Muhibin dan Abdul Wahid. 2009.Hukum Kewarisan Islam, Sebagai


Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Muhamad bin Ismail. 1995. Shahih Bukhori. Juz 5. Semarang: Dina Utama.

Munir Fuady. 2014.Konsep Hukum Perdata. Jakarta :Raja Grafindo Persada.


74

Neng Djubaedah. 2010.Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undangan di


Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group. Cet. Ke- 4.

Riduan Syahrani. 2004.Seluk-beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandng: P.T.


Alumni.

Sayyid Sabiq. 1981.Fikih Sunnah. Jilid 6. Bandung: PT Alma’arif.

_______. 2006.Fiqh Sunah. Jilid 3. terj. Nor Hasanudin. Jakarta: Pena.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.2012.Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat. Edisi 1. Cet Ke-14.Jakarta: Rajawali Pers.

Soerjono Soekanto. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Tim Penulis Ensiklopedi Islam. 2002.Ensiklopedi Islam Indonesia.Jilid 2. Jakarta:


Djambatan.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. ke-1. Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia.
Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: Mandar Maju.

Widodo.2011.Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya.


Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Zainuddin Ali.2011.Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Cet. Ke-3.

B. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang


Perubahanterhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.

Republik Indonesia Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang


Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Republik Indonesia Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIII/2010


Terhadap Persoalan Anak Luar Kawin.
75

C. Jurnal Ilmiah

Anwar Hafidzi, Binti Musyarrofah, Penolakan Nasab Anak Li’an dan Dhihar
dengan Ta’liq (Analisis Komparatif Naskah Kitab Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu dengan alMughni) “, dalam Ulul AlbabJurnal Studi dan
Penelitian Hukum Islam,Volume 1, Nomor 2, April 2018.

Busman Edyar, “Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Positif dan Hukum
Islam Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang
Undang Perkawinan”, dalam Al Istinbath Jurnal Hukum Islam, Volume 1,
Nomor 2, 2016.
Sri Lumatus Sa’adah, “Status Nasab Anak Akibat Li’an Yang Dibuktikan Dengan
Tes DNA (Analisis Tes DNA Sebagai Alat Bukti)”, dalam Al-‘Adalah,
Volume 7, Nomor 2, Agustus 2004.

D. Situs Internet

Andi Sjamsu Alam, Andi Sjamsu Alam, “Usia Perkawinan Dalam Perspektif
Filsafat Hukum Dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Hukum
Perkawinan Indonesia”, www.badilag.net, diakses tanggal 28 Januari
2018.

Anik Mukhifah, “Analisis Pendapat Imam Al-Syafi’i Tentang Hakam Tidak


Memiliki Kewenangan Dalam Menceraikan Suami Istri Yang Sedang
Berselisih”, Skripsi, Semarang: IAIN Walisongo, 2010), h. 20, melalui
www.uinwalisongo.ac.id, diakses tanggal 18 Juli 2018.

Bahruddin Muhammad, “Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


46/PUU-VIII/2010 Terhadap Pembagian Hak Waris Anak Luar
Perkawinan”, melalui http//:badilag.mahkamahagung.go.id, diakses
tanggal 9 Agustus 2018.

_______, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis Teknologi Al-


Qiyafah (Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur Rahman)”, melalui
www.badilag.net, diakses tanggal 20 Agustus 2018 pukul 21.08 WIB.

Fariha Yustisia, Liliek Istiqomah, Yusuf Adiwibowo , “Kedudukan Hukum Anak


Yang Lahir Akibat Dari Perceraian Li’an Dalam Hukum Waris Islam”,
dalam http//:portalgaruda.go.id., diakses tanggal 8 Juli 2018.

Pardomuan, “Batasan Mengenai Anak menurut Hukum Positif di Indonesia”,


www.lawofpardomuan.blogspot.com, diakses tanggal 25 Agustus 2018
pukul 22.00 WIB.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Fuady Munir. 2015. Konsep Hukum Perdata. Jakarta: Rajawali Pers. Fakultas
Fakultas Hukum. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi, Medan: Fakultas Hukum.
K wantjik Saleh. 1975. Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang. Jakarta:
PT Ichtiar Baru.
Komariah. 2008. Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Muhammad Fu’ad Syakir. 2002. Perkawinan Terlarang. Jakarta: CV Cendekia
Sentra Muslim.
MR Martiman Prodjohamidjojo. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta
Selatan: CV Karya Gemilang.
Maidin Gultom. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan.
Bandung: PT Refika Aditama.
Rusdi Malik. 2009. Memahami Undang-Undang. Jakarta: Universitas Trisakti.
Sudarsono. 2015. Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Sayuti Thalib. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Tutik Triwulan Tutik. 2008. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional.
Jakarta. Media grafika.
Taufiqurrohman syahuri. 2013. Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: Kencana, Halaman 68.
Wagiati Soetodjo. 2008. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT Refika Aditama.
Yuswirman. 2011. Hukum Keluarga Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam
Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Rajawali
Pers.

B. Sumber Kewahyuan
Al-Qur’an
C. Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negar Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1917 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
D. Internet
Adil Indonesia, “Metode Penelitian”, melalui
http://Ip3madilindonesia.blogspot.co.id.
Rotsania, “Penelantaran Anak”, melalui http://rotsania.blogspot.co.id.
Ayu Nadia Maryandani, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang menjadi
Korban Penelantaran Oleh Orang Tua Berdasarkan Hukum Pidana
Indonesia”, melalui http://c:\users\acer\downloads\skripsi.
Fathia R Santoso, “Penelantaran Pada Anak”, melalui
http://fathiasantosostiedj.blogspot.co.id.

ii
Rindri Andewi Gati, “Kawin Siri Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan
Administrasi Kependudukan”, melalui www.academia.edu.
Fandi Israwan, “Makalah Nikah Siri”, melalui
https://fandyisrawan.wordpress.com/2014/02/26/makalah-nikah-siri/.
Sofyan Hadi, “Pengertian dan Hukum Nikah Siri Menurut Syariat Agama Islam”,
melalui https://www.satujam.com.
Tribbun News, “Nikah Siri Sah Secara Agama Tapi Tak Punya Kekuatan
Hukum”, melalui http://www.tribbunnews.com/metropolitan.com
Rustam Agus, “Nikah Siri Melanggar UU”, melalui
http://kabar24.bisnis.com/read/20141225/16/385845/nikah-siri-
melanggarundang-undang.
Muhammad Imam Wahyudi, “Fenomena Nikah Siri Dalam Negara Hukum
Indonesia, melalui
http://www.kompasiana.com/muhammadimamwahyudi/fenomena-nikah-
siri-dalam-negara-hukum-indonesia.

iii

Anda mungkin juga menyukai