Skripsi Imi Nadrah Mingka
Skripsi Imi Nadrah Mingka
Skripsi Imi Nadrah Mingka
SKRIPSI
Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ABSTRAK
Assalamu’alaikumWr. Wbr.
Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala limpahan
Nabi Besar Muhammad SAW, serta sahabatnya yang telah menuntun kita umat
dengan baik. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
Dengan telah selesainya skripsi ini, skripsi ini tidak akan selesai tanpa
adanya bantuan, perhatian dan kasih sayang dari berbagai pihak yang membantu
kepada orang yang paling berjasa dan berharga dalam hidup saya, merekalah yang
selalu menjadi panutan untuk hidup saya dan inspirasi serta motivasi bagi saya
selama ini yakni “Ayahanda Samsul Bahri Mingka dan Ibunda Dows Tukinah”.
ii
Selanjutnya dengan selesainya skripsi ini, perkenankanlah saya haturkan
2. Ibu Hj.Ida Hanifah, S.H, M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
3. Bapak Faisal, S.H, M.Hum. Selaku Wakil Dekan I dan Bapak Zainuddin, S.H,
Sumatera Utara.
4. Bapak Nurul Hakim, S.Ag., MA selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Lailatus
perhatian, dan arahan serta saran dalam membimbing sehingga skripsi ini
5. Ibu Atikah Rahmi, S.H, M.H selaku Kepala Bagian Hukum Perdata Fakultas
6. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar selama ini di Fakultas Hukum
persatu.
7. Kepada Ferdy Armansyah Mingka, dan Sofia Ananda Mingka selaku saudara
8. Kepada Atika Rahmi Mingka, Am.Keb, SST., dan Fiky Adha Sitorus selaku
iii
9. Kepada Risya Maulyda Batubara, SE., dan Dewi Paramita Sinaga , SE., selaku
10. Kepada Farah Dita Nuari Maqfira, SH., Debby Chintami, SH., Siva Fadillah
Sipahutar, SH., Sri Nanda Ayuni Pulungan, SH., Rini Nindi Irviyanti Harahap,
SH., Audina Putri Samosir, SH., selaku teman dekat penulis yang sudah
11. Kepada teman-teman seperjuangan di kelas F1 pagi dan kelas B1 Pagi Hukum
Perdata , semoga apa yang di cita-citakan selama ini dapat tercapai, Amin.
semuanya, Saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat bukan hanya bagi saya,
akan tetapi juga bagi para pembaca. Mohon Maaf atas segala kesalahan selama
ini, begitupun disadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Semoga Allah
Wassalamu’alaikumWr. Wb
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................. 1
C. Metode Penelitian............................................................................. 6
1. Pengertian Anak..........................................................................
v
B. Pernikahan Siri .................................................................................
Undang-Undang ..............................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................................
B. Saran ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT, sang Maha Pencipta alam semesta beserta isinya telah
dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama
itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. Dimana dalam keluarga gejala
kehidupan umat manusia akan terbentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan
seorang perempuan.
Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah
merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam
yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-
bukan muhrim.1
1
Martiman Prodjohamidjojo. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia
Legal Center Publishing, halaman 8.
1
2
tersebut, hukum mengatur masalah perkawinan secara detail. 2 Akibat hukum dari
dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan
tersebut.
Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 yang memuat pengertian yuridis
dari perkawinan yaitu “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan
Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan
Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 adalah “akad yang sangat kuat atau
2
Munir Fuady. 2014. Konsep Hukum Perdata. Jakarta: RajaGrafindo Persada, halaman
10.
3
Beragam kepentingan antara suami dan istri dapat terpenuhi secara damai,
tetapi juga dapat menimbulkan suatu permasalahan dalam perkawinan jika tata
sehingga melanggar hak satu sama lainnya dan dapat menyebabkan terjadinya
perceraian. Faktor penyebab terjadinya perceraian antara suami istri salah satunya
yaitu perzinaan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum
Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Pasal 116 KHI tersebut menjelaskan bahwa
perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak berbuat zina.
Perbuatan zina itu dapat dilakukan baik oleh suami atau istri. Perceraian
merupakan salah satu solusi konkrit jika salah seorang suami-istri berzina.
Beberapa kasus terjadi di mana seorang wanita yang telah bersuami melakukan
hamil. Apalagi kehamilan wanita tersebut saat si suami tidak tinggal bersama si
istri karena ada pekerjaan yang mengakibatkan keduanya berpisah jarak jauh.
Adanya dugaan yang dirasakan oleh suami bahwa anak yang berada dalam
istrinya tersebut berbuat tidak jujur dan anak yang dikandung atau telah dilahirkan
oleh istrinya bukan berasal dari benihnya, melainkan berasal dari hubungan
dengan laki-laki lain yang disebut li’an, sehingga anak yang lahir itupun
Li’an merupakan jalan keluar bagi suami jika suami menuduh istrinya
berbuat zina dan dia kesulitan untuk mengajukan kesaksian. Jalan keluarnya ialah
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 6-9 tentang li’an, yang
artinya:
Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau
mengingkari anak yang telah lahir sebagai anaknya, sedangkan istrinya menolak
tersebut, berarti istri mempunyai fakta yang kuat untuk membantah tuduhan
bahwa seorang suami dapat mengingkari anak yang dikandung atau dilahirkan
3
Djamaan Nur. 1993. Fikih Munakahat. Semarang: Dina Utama Semarang, halaman 163.
5
KHI tampaknya menjelaskan secara lebih jauh berkenaan dengan anak sah
yang sah. Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami. Menurut hukum
Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan
lamanya, 5sedangkan status anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan tidak
dinasabkan kepada suaminya. 6 Dengan demikian anak tak lagi diakui oleh
ayahnya sehingga tak ada lagi kewajiban bagi ayahnya untuk menafkahinya.
Berdasarkan wacana di atas, maka terlihat jelas bahwa anak li’an tak akan
konsekuensi logis dan hukum akibat dari adanya sumpah li’an. Apabila dilihat
dari ketentuan hukum Islam, maka semua hak-hak anak yang tidak diakui oleh
ayahnya ditanggung oleh ibunya. Secara syar’iat memang anak li’an tersebut tidak
4
Amiur Nuruddin. Azhari Akmal Tarigan. 2014. Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, Cet. ke-5, Jakarta:
Kencana, halaman 284.
5
Djamaan Nur, Op. Cit., halaman 167.
6
Hasan Ayyub. 2005.Fikih Keluarga, penterjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, halaman 350.
6
lagi memiliki hak dari ayahnya karena hubungan tersebut diputus oleh ayahnya,
hukum terhadap hak-hak anak li’an yang secara biologis dapat dibuktikan dengan
tes Deoxyribo Nucleic Acid(DNA), apabila si ayah Tak mengakui anak tersebut
sebagai anaknya.Berkaca dari peristiwa yang dialami oleh kasus anak di luar
memutuskan:
wajib memberikan nafkah terhadap anak tersebut. Nafkah yang dimaksud dalam
hal ini adalah nafkah anak, berupa biaya pemeliharaan, biaya kebutuhan pokok
anak, biaya pendidikan anak dan segala biaya yang diperlukan untuk menunjang
Melihat putusan MK tersebut di atas, maka ada peluang bagi anak li’an
untuk memperoleh hak-hak selain hak-hak perdata (nasab, waris, wali) dari ayah
biologisnya dengan memakai analogi dari putusan MK itu.Ayah adalah ayah yang
memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya, maupun ayah biologis
teknologi bahwa si anak li’an tersebut secara genetik memang anak dari laki-laki
yang mengingkarinya, maka kewajibannya sebagai ayah dalam hal nafkah anak,
berupa biaya pemeliharaan, biaya kebutuhan pokok anak, biaya pendidikan anak
solusi yang konkrit terhadap eksistensi anak li’an tersebut. Kedua regulasi
tersebut secara nyata mengabaikan hak-hak anak li’an dengan hanya terpaku dan
tersurat bahwa anak li’an dinasabkan kepada keluarga ibunya dan hak nafkahnya
Meskipun ketentuan serta norma agama tidak dapat dibantah, tetapi negara
dapat saja membuat kebijakan bahwa anak yang tak diakui oleh ayahnya, maka
harus ada tes DNA untuk membuktikan terkait status anak tersebut. Apabila tes
DNA menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak dari si ayah yang tak
memberikan nafkah hidup, pendidikan dan lain-lain selain hak nasab, wali serta
hak warisan.
8
1. Rumusan Masalah
ayahnya ?
2. Faedah Penelitian
a. Secara teoritis
bidang hukum perdata mengenai hak-hak anak khususnya hak-hak anak li’an.
b. Secara praktis
nasional yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak li’an sebagai anak,
B. Tujuan Penelitian
oleh ayahnya.
C. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
2. Sumber Data
8
Soerjono Soekanto. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, halaman 10.
9
Zainuddin Ali. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 24.
10
hukum primer dan sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan
seterusnya. 12
10
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. Cet. Ke- 4, halaman 141.
11
Zainuddin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Cet. Ke-3,
halaman 47.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.2012.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. Edisi 1. Cet, Ke-14. halaman 33.
11
penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara studi pustaka (library research)
4. Analisis Data
Data yang terkumpul, baik dari tulisan atau dokumen, cara berfikir,
induktif. Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis
D. Definisi Operasional
cakupan makna variabel sehingga data yang diambil akan lebih terfokus,13 maka
13
Ida Hanifah, dkk. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, halaman 5.
12
1. Kajian Hukum adalah proses yang dilakukan untuk meneliti, menelaah dan
2. Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami istri yang sah,
namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi
(hakim) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah
3. Hak-hak anak adalah sesuatu yang mutlak diberikan kepada anak, dan
4. Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan
Indonesia, cerai artinya pisah, putus hubungan sebagai suami isteri, talak.17 Dalam
Islam pada prinsipnya perceraian itu dilarang. Talak atau perceraian merupakan
alternatif terakhir sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh, manakala bahtera
kesinambungannya.
14
Andi Sjamsu Alam, Andi Sjamsu Alam, “Usia Perkawinan Dalam Perspektif Filsafat
Hukum Dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Hukum Perkawinan Indonesia”,
www.badilag.net, diakses Minggu, 28 Januari 2018, Pukul 20.00 Wib.
15
Sayyid Sabiq. 2006.Fiqh Sunah. Jilid 3. terjemahan Nor Hasanudin. Jakarta: Pena,
halaman 206.
16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., halaman 207.
17
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Cet. ke-1. Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia, halaman 261.
13
14
terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian,
yaitu:
keputusan pengadilan”. Pasal 113 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan hal yang sama ketika
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendpat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
18
Ibid., halaman 209.
15
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri;
6. Antara suami-istri terus-menerus terjadii perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7. Suami melanggar taklik talak;
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
antaranya adalah ketidakcocokan antara suami istri, sehingga tidak ada mahabbah
(cinta kasih) antara mereka berdua, istri berakhlak jelek, istri tidak taat lagi
kepada suaminya dalam hal-hal yang baik, suami berakhlak buruk dan
menzhalimi (menyiksa) istrinya tanpa alasan yang benar, suami atau istri tidak
mengalami keadaan yang jelek, sampai kemudian terjadi perceraian. Sebab yang
lain seperti suami atau istri mabuk-mabukan atau mengkonsumsi obat terlarang.
Hal lain yang bisa menyebabkan talak adalah hubungan yang sangat buruk
antara seorang istri dengan orang tua suaminya (mertua istri), yang disebabkan
karena keadaan diri seorang istri yang kurang baik. Talak juga bisa disebabkan
16
karena kondisi fisik istri yang sangat buruk, misalnya seorang istri tidak bisa
menjaga kebersihan dirinya dan tidak pernah berpakaian bagus serta tidak mau
perkataan yang baik dan selalu bermuka masam (cemberut) ketika bertemu dan
Menurut beberapa pendapat yang paling sahih (mazhab Hanafi dan Hambali)
bahwa talak itu hukumnya dilarang (makruh), kecuali darurat.20 Menurut mazhab
Hambali bahwa hukum talak itu bisa menjadi wajib, haram, mubah, dan sunnah.
Talak itu hukumnya wajib, jika terjadi perselisihan yang terus-menerus antara
suami istri dan tidak bisa didamaikan. Talak hukumnya menjadi haram, yaitu talak
yang tidak mempunyai alasan, talak seperti itu tidak ada kemaslahatannya baik
bagi dirinya, istrinya maupun anaknya. Talak hukumnya mubah, jika adanya
Dalam Islam pada prinsipnya perceraian itu dilarang, ini dapat dilihat
pada isyarat Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal
yang paling dibenci oleh Allah. Secara implisit bahwa talak atau perceraian
manakala bahtera rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keuntuhan dan
19
Anonim, “Permasalahan Talak dan Rujuk”, www.almanhaj.or.id., diakses Selasa, 20
Februari 2018, Pukul 19.00 Wib.
20
Mardani. 2016.Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, halaman 146.
21
Sayyid Sabiq, Op. Cit., halaman 207-208.
17
antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah
pihak.22
Tentang hukum cerai atau talak ini para ahli fikih berbeda pendapat.
Pendapat yang paling benar di antara semua pendapat itu yaitu yang mengatakan
disebabkan bercerai itu bagian dari kufur terhadap nikmat Allah, sedangkan
menikah adalah salah satu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi
tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Oleh karena itu siapa saja yang mau
merusak hubungan antara suami istri oleh Islam dipandang telah keluar dari Islam
jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami istri yang saling me-
li’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul
sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena orang yang bersumpah
li’an itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima la’nat
kata li’an berasal dari kata dasar la’ana (menjauhkan), karena setiap orang dari
22
Ahmad Rofiq. 1997. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, halaman 269.
23
Sayyid Sabiq, Op.Cit., halaman 11.
24
Ahmad Warson Munawir. 2002. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap. Cet.
ke-2. Surabaya: Pustaka Progresif, halaman 1274.
18
sepasang suami istri melaknat dirinya dalam sumpah yang kelima, jika dia orang
yang berdusta.25
menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu diucapkan empat kali bahwa
tuduhannya itu benar dan pada sumpah yang kelima itu ia meminta kutukan
kepada Allah swt jika ia berdusta. Pihak istri juga bersumpah empat kali bahwa
dirinya tidak berbuat sebagaimana yang dituduhkan suaminya, pada sumpah yang
kelima ia bersedia menerima kutukan Allah swt jika ternyata tuduhan suaminya
itu benar.26 dalam Ensiklopedia Islam disebutkan, li`an dalam istilah fikih ialah
kesaksian atau sumpah yang diucapkan suami yang menuduh istrinya berbuat
zina.27
1. Kata “sumpah”. Kata ini menunjukkan bahwa li’an itu adalah salah satu
bentuk dari sumpah atau kesaksia kepada Allah yang jumlahnya lima kali.
Empat yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya dan kelima
kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila ia berbohong.
2. Kata “suami” yang dihadapkan kepada “istri”. Hal ini mengandung arti bahwa
li’an berlaku antara suami-istri dan tidak berlaku di luar lingkungan keduanya.
Orang yang tidak terikat dalam tali pernikahan saling melaknat tidak disebut
dengan istilah li’an.
3. Kata “menuduh berzina”, yang mengandung arti bahwa sumpah yang
dilakukan oleh suami itu adalah bahwa istrinya berbuat zina, baik ia sendiri
mendapatkan istrinya berbuat zina atau meyakini bahwa bayi yang dikandung
istrinya bukanlah anaknya. Bila tuduhan yang dilakukan suami itu tidak ada
hubungannya dengan zina atau anak yang dikandung tidak disebut dengan
li’an.
25
Ibnu Qudamah. 2013. Al-Mughni. Penerjemah Abdul Syukur. Jakarta: Pustaka Azzam,
halaman 126.
26
H.S.A. Al Hamdani. 2002. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka
Amani, halaman 287.
27
Tim Penulis Ensiklopedi Islam. 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jilid 2. Jakarta:
Djambatan, halaman 658.
19
4. Kata “suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi”. Hal ini
mengandung arti bahwa seandainya dengan tuduhannya itu suami mampu
mendatangkan empat orang saksii sebagaimana dipersyaratkan waktu
menuduh zina, tidak dinamakan dengan li’an; tetapi melaporkan apa yang
terjadi untuk diselesaikan oleh hakim. 28
tuduhan, wajib bagi suami untuk membuktikan dengan empat orang saksi. Bila
dia tidak mampu membuktikan dengan empat orang saksi, suami diancam dengan
hukuman dera delapan puluh kali, lantaran berani menuduh istri berbuat zina
secara qadzaf atau tanpa alat bukti. Cuma untuk menghindari hukuman dera
tersebut, hukum memberi jalan keluar melalui upaya li`an sebagai pengganti
qadzaf.
Begitu pula pihak istri, untuk menghindari diri dari ancaman hukuman
dera (rajam) dibenarkan hukum melakukan li`an sebagai pengganti bukti atas
terbebas dari beban menghadirkan empat orang saksi atau jika dalam keadaan
qadzaf, suami tidak perlu dibebani melakukan li`an apabila istri mengakui
orang saksi, haruslah ia bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa ia benar.
Pada kali yang kelima ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau
tuduhannya itu dusta. Istri yang menyanggah tuduhan tersebut lalu bersumpah
juga empat kali bahwa suaminya telah berdusta. Pada kali yang kelima ia
28
Amir Syarifuddin. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. ke-3. Jakarta: Kencana, halaman 289.
20
mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu
benar.29
Dasar hukum pengaturan li`an bagi suami yang menuduh istrinya berzina
“Istrinya itu terhindar dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
berdusta; dan sumpah yang kelima bahwa kemarahan Allah atasnya bila
Empat ayat tentang prosesi li’an tersebut di atas dikuatkan oleh Nabi
dengan hadisnya dari Ibnu Umar menurut yang diriwayatkan Muslim, yang
artinya:
29
Sayid Sabiq, Op. Cit., halaman 211.
21
dari pihak suami sebanyak empat kali kemudian diikuti oleh si perempuan.
Kemudian Nabi menceraikan keduanya”.
Berdasarkan empat ayat dan satu hadis yang disebutkan di atas terlihat
gambaran yang jelas tentang li’an dengan urutan kejadian sebagai berikut:
1. Suami menduga secara kuat bahwa istrinya berbuat zina. Untuk itu dia
mengajukan perkaranya kepada hakim untuk diadili. Seandainya tuduhan itu
tidak ditolak oleh istrinya, dalam arti ia mengaku berbuat zina sebagaimana
yang dituduhkan suaminya, maka hakim dapat menetapkan vonis zina
terhadap istrinya.
2. Kalau istrinya mengakui apa yang dituduhkan itu suami harus membuktikan
kebenaran tuduhannya itu dengan mengemukakan empat orang saksi. Dengan
cara ini hakim dapat menetapkan vonis bahwa istrinya telah berbuat zina.
Berlakulah sanksi zina terhadap istri.
3. Seandainya suami tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka dia
ditetapkan sebagai pembuat fiitnah zina (qadzaf), dan untuk itu berlakulah
ancaman had qadzaf.
4. Bila suami yakin bahwa dia benar dengan tuduhannya itu, namun secara
hukum tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, maka untuk
menghindari had qazaf itu dia menempuh cara li’an yang prosesinya
disebutkan dalam ayat 6-7 surat An-Nur di atas.Dengan selesainya suami
mengucapkan sumpah li’an-nya tersebut, maka ditetapkanlah 3 (tiga) hal,
yaitu:
a. Suami dibebaskan dari ancaman had qadzaf;
b. Suami putus hubungan nasabnya dengan anak yang dikandung istrinya; dan
c. Dengan selesainya li’an, berarti dia berada di pihak yang benar bahwa
istrinya itu berbuat zina. Oleh karena itu diberlakukanlah terhadap istri had
zina, yaitu dirajam sampai mati karena muhsan.
5. Bila memang istri itu berbuat zina sesuai dengan sumpah suaminya, maka
berhaklah dia atas ancaman yang berat itu. Namun bila tidak betul melakukan
perbuatan zina sebagaimana yang dituduhkan suaminya, maka cara untuk
menghindarkan diri dari ancaman had zina tersebut dia harus menempuh cara
menolak li’an yang telah disampaikan suaminya dengan cara sebagaimana
disebutkan dalam ayat 8 dan 9 surat An-Nur.30
1. Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi laki-
laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-laki yang
30
Amir Syarifuddin, Op. Cit., halaman 291-293.
22
istrinya atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran
pengakuannya tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak,
bukan dengan jalan me-li’an atau mengadakan mula’anah. Tetapi jika tidak
zina.
2. Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Suami
karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad
nikahnya.
dan syarat yang ditentukan. Adapun rukun dari li’an dapat dilihat dari unsur-unsur
yang membina hakikat dari li’an sebagaimana terdapat dalam definisi li’an di
atas. Sedangkan syarat bagi li’an itu ada yang berkenaan dengan syarat umum
untuk setiap unsur rukun dan ada pula syarat secara umum.
1. Suami, yaitu orang yang bersumpah untuk menegakkan kesaksian dan dari
segi ia adalah orang yang menuduh orang lain berbuat zina yang untuk itu
patut dikenai sanksi fitnah berbuat zina atau qazaf, maka suami itu harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Ia adalah seorang yang sudah dikenai beban hukum atau mukallaf, yaitu
telah dewasa, sehat akalnya dan berbuat dengan kesadaran sendiri. Bila
suami itu belum dewasa, atau tidak sehat akalnya atau dalam keadaan
terpaksa, maka sumpah yang diucapkannya tidak sah, dan bila dia
memfitnah pun tidak dikenai sanksi qazaf, maka dengan demikian tidak
sah li’an yang dilakukannya.
b. Suami itu adalah muslim, adil, dan tidak pernah dihukum karena qazaf.
c. Suami tidak mampu mendatangkan saksi empat orang untuk membuktikan
tuduhan zina yang dituduhkan kepada istrinya. Bila seandainya suami
23
mempunyai bukti yang lengkap tidak boleh menempuh li’an karena li’a itu
adalah sebagai pengganti tuduhan yang dapat dibuktikan.
2. Istri yang di-li’an, syarat-syaratnya yaitu:
a. Ia adalah istri yang masih terikat perkawinan dengan suaminya. Karena
li’an itu hanya berlaku di antara suami istri dan tidak berlaku untuk yang
lain.
b. Ia adalah orang mukallaf dalam arti sudah dewasa, sehat akal, dan berbuat
dengan penuh kesabaran. Syarat ini ditetapkan karena istri pun akan
melakukan li’an balik sebagai bantahan terhadap apa yang disampaikan
oleh suaminya.
c. Ia adalah orang yang muhsan, yaitu bersih dari kemungkinan sifat-sifat
yang tercela yang menyebabkan dia pantas untuk dituduh berzina. Syarat
ini ditentukan karena kalau dia tidak muhsan suami yang menuduhnya
tidak berhak dikenai had qazaf atau ta’zir dan oleh karenanya dia tidak
perlu melakukan li’an.
3. Tuduhan suami bahwa istrinya telah berbuat zina. Adapun tuduhan zina
berkenaan dengan li’an yang dilakukan istrinya dan kedua menafikan anak
yang dikandung oleh istrinya itu.31
agar para pihak tidak melaksanakan li`an sebab resikonya besar sekali baik di
dunia maupun di akhirat nanti.32 Para ulama` sepakat bahwa menurut sunnah
istrinya. Para ulama juga berselisih pendapat tentang keharusan mendahulukan ini.
mengucapkan li`an lebih dulu maka li`an-nya tidak sah. Alasan mereka karena
Aturan tentang li’an hukum positif di Indonesia juga ada diatur mengenai
li’an tetapi lebih dikhususkan kepada apa yang disebut dengan pengingkaran atau
penyangkalan anak, seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2)
31
Ibid., halaman 293-295.
32
Abdul Manan. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana, halaman 461.
33
Sayyid Sabiq, Op. Cit., halaman 218.
24
ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang penyangkalan anak melalui cara
menyebutkan kata li’an, tetapi menggunakan kata penyangkalan anak, juga tidak
dalam Pasal 87 dan Pasal 88. Ketentuan Pasal 100 tentang hubungan nasab anak
dengan ibunya, Pasal 101 tentang suami yang mengingkari kelahiran anak, Pasal
satu penyebab putusnya hubungan perkawinan antara suami istri, sesuai dengan
Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam yang menekankan bahwa li’an juga
Hukum Islam. Li’an merupakan perintah hakim kepada suami yang menuduh
maka harus disebutkan namanya oleh suami, dan jika istrinya hadir, maka harus
34
A. Mukti Arto. 1998.Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, halaman 226.
25
yang secara rinci mengatur tentang proses penyelesaian perkara li’an, Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan bahwa suami boleh
menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya, dan suami berhak
Islam dipaparkan dengan jelas tidak hanya pengertian tentang li’an namun proses
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-
hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi
penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak
35
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf. 1992.Kunci Fiqh Syafi’i. alih bahasa Hafid
Abdullah.Cet. ke-1. Semarang: Asy Syifa’, halaman 257.
36
Abdi Koro. 2012.Perlindungan Anak Dibawah Umur. Bandung: PT. Alumni, halaman
63.
26
perlindungan pada anak. Terjadi banyak kontradiksi yang cukup tajam tentang
kriteria anak dan kriteria batas awal kedewasaan dalam sistem hukum positif di
Indonesia.
Meskipun tiap manusia sebagai subjek hukum tetapi tidak semua manusia
dipandang cakap melakukan perbuatan hukum. Ada beberapa golongan yang oleh
hukum dipandang sebagai subjek hukum yang “tidak cakap’ hukum, sehingga
dalam melakukan perbuatan hukum, subjek hukum tersebut harus diwakili atau
dibantu oleh orang lain, seperti: 1. Anak yang masih di bawah umur, belum
dewasa, atau belum menikah; 2. Orang yang berada dalam pengampuan orang lain
yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk dan pemboros, walaupun dari sisi usia
sudah dewasa.
pola pikir dan prilaku sosial, namun dilain hal kedewasaan juga erat hubungannya
dengan pertumbuhan fisik dan usia. Kedewasaan juga kadang dikaitkan dengan
antara jiwa, raga dan intelektual. Ukuran kedewasaan memang sangat relatif,
begitu juga kedewasaan menurut pandangan adat belum tentu sama dengan
Orang yang telah mencapai umur genap 21 tahun atau telah menikah sebelum
mencapai usia itu (Pasal 330 BW) dianggap sudah dewasa, karena kedewasaan
undang (BW) berangkat dari anggapan bahwa orang yang telah mencapai usia
dengan benar dan sudah dapat menyadari akibat hukum dari perbuatannya, dan
karenanya sejak itu orang tersebut cakap untuk bertindak dalam hukum
(handelings-bekwaam).37
disebut sebagai anak. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimum
sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut
beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat
tindakan hukum yang dilakukan anak itu. Untuk menetapkan ketentuan hukum
yang lebih berprospek dalam meletakkan batas usia maksimum seorang anak,
akan ditemukan pendapat yang sangat beraneka ragam kedudukan hukum yang
37
Ade Maman Suherman dan J. Satrio. 2010. Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur.
Jakarta: PT Gramedia, halaman 9-10.
28
beberapa peraturan yang ada di Indonesia cukup beragam, yang antara lain adalah
sebagai berikut:
bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
2. Menurut Pasal 1 KHA/Keppres No.36 Tahun 1990, "Anak adalah setiap orang
berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal".
3. Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, "Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak
ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai
angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal
29
tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.
8. Undang-Undang RI. No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum
berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330
yang berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.
tersebut di atas yang cukup bervariasi tersebut, kiranya menjadi perlu untuk
menentukan dan menyepakati batasan umur anak secara jelas dan lugas agar
nantinya tidak terjadi permasalahan yang menyangkut batasan umur anak itu
seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
38
Pardomuan, “Batasan Mengenai Anak menurut Hukum Positif di Indonesia”,
www.lawofpardomuan.blogspot.com, diakses Sabtu, 25 Agustus 2018, Pukul 22.00 Wib.
30
berbagai undang-undang yang ada tersebut, tentu saja menjadi dua mata pisau
mematuhi aturan tersebut. Dapat saja terjadi seseorang yang melaksanakan hukum
keluarga yang nota benenya merupakan hukum perdata dipidana karena dianggap
pengertian anak di Indonesia cukup berfariasi, baik dari batasan usia minimal
yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan batasan usia minimal orang yang
dapat disebut sebagai anak yang dihitung sejak lahir, atau setelah mencapai usia
tertentu (misalnya 12 tahun), atau bahkan ada yang menentukan keberadaan anak
hukum anak.39
mayoritas tidak tahu aturan hukum tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah dan
39
Widodo. 2011. Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya.
Yogyakarta: Aswaja Pressindo, halaman 1-2.
31
seseorang.
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak,
bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan
dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh
optimal dan terarah yang diarahkan kepada pengembangan kualitas sumber daya
terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,
terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,
tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai
Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara.40
dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun, yang merupakan titik
awal dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif.
40
Abdi Koro, Op. Cit., halaman 64.
33
wajar.
1. Non Diskriminasi;
adalah bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib dilindungi oleh
tersebut, wajib mewujudkan dan tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud (hak
penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya penghormatan atas hak untuk
kehidupannya.
hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal
41
Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: Mandar Maju, halaman 14.
34
hukum yang mempunyai dampak langsung dari kehidupan seorang anak, dalam
arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Bagi Indonesia di
samping hukum tertulis, berlaku pula hukum yang tidak tertulis, sehingga ruang
lingkup perlindungan anak yang bersifat yuridis ini, meliputi pula ketentuan-
a. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun
lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan
pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan
sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya
b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh perorangan,
keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk
pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan
jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai
dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya
seoptimal mungkin.44
42
Ibid., halaman 16.
43
Irma Setyowati Soemitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi
Aksara, halaman13.
44
Ibid.
35
anak mempunyai jangkauan yang luas, seperti tersebut di muka, yaitu meliputi
juga hukum publik, di antara lain: Hukum Pidana, Hukum Acara, Hukum Tata
Negara.45
45
Ibid., halaman 14.
36
46
Ibid., halaman 17-18.
37
BAB III
dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta pengorbanan. Perkawinan merupakan
salah satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Allah, baik itu manusia,
alasan-alasan perceaian. Perceraian tidak hanya atas keinginan suami saja tetapi
juga bisa terjadi atas keinginan sang istri yang harus didasari oleh alasan tertentu
karena pada dasarnya perceraian menurut hukum Islam itu tidak diperbolehkan
kecuali dalam keadaan tertentu. Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam perceraian
47
Sayyid Sabiq. 1981. Fikih Sunnah. Jilid 6. Bandung: PT Alma’arif, halaman 5.
37
38
yang dapat disebut perceraian sebab li’an adalah karena suami menuduh istri
berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir
dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Menurut hukum Islam, li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia
menuduh istri berbuat zina dan ia tidak bisa mendatangkan empat orang saksi
perkara cerai talak dengan alasan istri berbuat zina yang tidak dapat diselesaikan
Li’an adalah lafadz dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata
la’ana, yang secara harfiah berarti "saling melaknat". Cara ini disebut dalam
yang akan menjelaskan hakikat dan perbuatan li’an itu, yaitu sebagai berikut:
1. Kata “sumpah”. Kata ini menunjukkan bahwa li’an itu adalah salah satu
bentuk dari sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya lima kali.
Empat yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya dan kelima
kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila dia berbohong.
2. Kata “suami” yang dihadapkan kepada “istri”. Hal ini mengandung arti bahwa
li’an berlaku antara suami istri dan tidak laku di luar lingkungan keduanya.
Orang yang tidak terikat dalam tali perkawinan saling melaknat tidak disebut
dengan istilah li’an.
3. Kata “menuduh berzina”, yang mengandung arti bahwa sumpah yang
dilakukan oleh suami itu adalah bahwa istrinya berbuat zina, baik ia sendiri
mendapatkan istrinya berbuat zina atau meyakini bahwa bayi yang dikandung
istrinya bukanlah anaknya.
4. Kata “suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi”. Hal ini
mengandung arti bahwa seandainya dengan tuduhannya itu suami
48
Fariha Yustisia, Liliek Istiqomah, Yusuf Adiwibowo , “Kedudukan Hukum Anak Yang
Lahir Akibat Dari Perceraian Li’an Dalam Hukum Waris Islam”, melalui
http//:portalgaruda.go.id, diakses Minggu, 8 Juli 2018, Pukul 17.00 Wib.
49
Anwar Hafidzi, Binti Musyarrofah.Penolakan Nasab Anak Li’an dan Dhihar dengan
Ta’liq (Analisis Komparatif Naskah Kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu dengan alMughni) “,
dalam Ulul AlbabJurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, Volume 1, Nomor 2, April 2018.
39
Rukun li’an: Suami, tidak akan jatuh li’an apabila yang menuduh zina atau
yang mengingkari anak itu laki-laki lain yang tidak mempunyai ikatan pernikahan
(bukan suaminya). Istri, tidak akan jatuh li’an apabila yang dituduh tersebut
bukan istrinya. Shighat atau lafaz li’an, yaitu lafadz yang menunjukkan tuduhan
anak yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2). Ketentuan Dalam Pasal 44
ayat (1) memberikan hak kepada suami untuk mengingkari anak yang dikandung
oleh istrinya dengan membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu
adalah akibat dari perzinaan tersebut, dan pada ayat ke (2) disebutkan tentang
siapa yang berhak memutuskan terhadap sah atau tidaknya anak tersebut. Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur Pasal 101 mengenai seorang suami yang
zina yang dilakukan oleh suami atau istri yang terikat dalam ikatan perkawinan
yang sah. Apabila suami menyaksikan dengan mata kepala sendiri perbuatan zina
empat orang saksi, maka Allah memberikan jalan keluar, melalui sumpah
50
Amir Syarifuddin, Op. Cit., halaman 288-289.
51
Anik Mukhifah, “Analisis Pendapat Imam Al-Syafi’i Tentang Hakam Tidak Memiliki
Kewenangan Dalam Menceraikan Suami Istri Yang Sedang Berselisih”, melalui
www.uinwalisongo.ac.id, diakses Rabu, 18 Juli 2018, Pukul 10.00 Wib.
40
saksi atau jika dalam keadaan qadzaf, suami tidak perlu dibebani untuk
pengertian li’an walaupun tidak secara eksplisit. Pada Pasal 101 Kompilasi
Kemudian di dalam Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam (KHI) lebih jelas
disebutkan:
mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya,
Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa li’an juga
perceraian yang dilakukan di depan pengadilan yang dapat juga disertai dengan
ataupun yang sudah lahir dari istrinya karena tuduhan zina yang memiliki
52
Neng Djubaedah. 2010. Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Ditinjau dari Hukum Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, halaman 126.
41
tersebut.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 127 juga mengatur mengenai tata
cara li’an dengan tetap berdasarkan kepada Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9,
yaitu:
1. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan/atau pengingkaran
anak tersebut, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah
kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti
sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya bila tuduhan
3. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
4. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap
menceraikan kedua suami istri yang bermula’anah tersebut dan di antara keduanya
tidak boleh terjadi perkawinan lagi untuk selama-lamanya yang didasarkan pada
“Suami istri yang saling mengutuk itu, apabila telah bercerai, maka
Turmudzi).
42
Hal tersebut juga dipertegas di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125
Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan li’an hanya sah apabila
pengadilan akan dapat diberikan surat keterangan telah terjadinya li’an dan dapat
Pada sisi lain KHI yang menjelaskan tentang batas waktu suami
1. Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah
suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas
minimal usia kandungan, demikian juga waktu 360 hari bukan menunjukkan
batas maksimal usia bayi dalam kandungan, akan tetapi menjelaskan batas waktu
53
Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama.
Jakarta: Pustaka Bangsa Press, halaman 150.
43
yang jelas tentang masalah ini. Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah
Berkenaan dengan hak anak dari istri yang dicerai li`an UU No. 1 Tahun
undang ini hanya menyebutkan dalam salah satu pasalnya tentang akibat
putusnya perkawinan karena perceraian, yang juga menjelaskan tentang hak anak.
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak
digantikan oleh:
2. Ayah;
54
Ahmad Rofiq. 2013.Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, halaman
101.
44
matan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah
“Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya, dan
Jadi menurut ketentuan Pasal 162 tersebut anak tidak lagi mendapatkan
nafkah dari ayahnya, dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 171 huruf (c)
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
ayahnya maka hubungan nasab antara bapak dan anaknya terputus, sehingga
tidak boleh saling mewarisi, sedangkan anak dan ibu boleh saling mewarisi.55
Berdasarkan ketentuan dari KHI tersebut maka anak li’an sama kedudukannya
dengan anak zina. Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian
yang luas (anak tidak sah).56 Anak zina dalam hukum Islam hanya dinasabkan
kepada ibunya. Dengan demikian semua hak-hak perdata dari anak li’an tersebut
Apabila dikaji secara lebih lanjut beberapa ketentuan yang terdapat dalam
KHI terkait dengan li’an saling bertentangan antara satu pasal dengan pasal
lainnya. Terkait dengan li’an KHI mmbahasnya dalam 6 (enam) pasal pada 3
(tiga) bab yang berbeda. Pasal 101 tentang li’an sebagai peneguhan terhadap
55
Sayyid Sabiq, Op. Cit., halaman 221.
56
D.Y. Witanto. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka, halaman
41.
46
pengingkaran sahnya anak yang tidak disangkal oleh istri masuk dalam bab
pemeliharaan anak. Pasal 125 tentang akibat li’an, Pasal 126 tentang sebab
terjadinya li’an, Pasal 127 KHI tentang tata cara li’an, dan Pasal 128 KHI tentang
sahnya li’an di depan pengadilan termuat dalam bab putusnya perkawinan. Selain
dijelaskan dalam Pasal 125 KHI bab putusnya perkawinan, akibat li’an juga
disebutkan kembali dalam Pasal 162 pada bab akibat putusnya perkawinan.
Penjelasan tentang sebab terjadinya li’an dalam Pasal 126 KHI, li’an
terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan/atau mengingkari anak dalam
kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan
dan/atau pengingkaran tersebut. Menurut ketentuan Pasal 126 KHI, li’an terjadi
karena adanya penolakan dari istri atas tuduhan berzina dan/atau pengingkaran
suami terhadap anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya.
Ketentuan sebab terjadinya li’an dalam Pasal 126 KHI di atas sejalan
dengan ketentuan yang mengatur tentang tata cara li’an dalam Pasal 127 KHI
yang juga mengharuskan adanya penolakan dari istri atas tuduhan dan/atau
pengingkaran suami. Bahkan Pasal 127 KHI menegaskan bahwa jika tuduhan
dan/atau pengingkaran suami tidak diikuti dengan adanya penolakan dari istri atas
tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut maka dianggap tidak pernah terjadi li’an.
Hal itu berarti bahwa semua akibat hukum dari li’an juga tidak dapat ditetapkan
selama li’an yang dilakukan belum dianggap sah berdasarkan ketentuan Pasal 127
KHI.
Di samping terdapat ketentuan yang mengatur tata cara li’an terdapat pula
ketentuan yang menyebutkan syarat keabsahan li’an yang dilakukan suami istri,
47
yakni ketentuan Pasal 128 KHI yang berbunyi li’an hanya sah apabila dilakukan
tidak memiliki pertalian darah dengan ayah biologisnya, sehingga tanggung jawab
nafkah. Bahkan menurut Imam Malik, dan Imam Syafii yang masyhur di kalangan
tidak memiliki pertalian darah dengannya. Di samping itu ayah biologisnya tidak
berkewajiban memberi nafkah dan warisan. Namun menurut mayoritas ahli fikih,
meskipun dianggap tidak memiliki pertalian darah, sang ayah biologis tetap
Pada dasarnya anak istri itu dibangsakan kepada suami dengan tanpa
pengakuan, apakah suami itu meninggal atau hidup selama dia tidak
menafikannya dan ber-li’an dan itu (anak) lazim bagi yang kurang akal dan tidak
membutuhkan kepada dakwaan anak dari istri. Anak itu tidak dinafikan dari
suami kecuali dari keadaan yang dinafikan daripadanya oleh Rasulullah SAW,
bahwa Ajlany menuduh istrinya dan mengingkari kehamilan istrinya lalu dia
mendatangi Rasulullah saw, dan nabi me-li`an-kan di antara keduanya dan nabi
57
Imam Syafi`i. 1985. al-Umm. penterjemah Ismail Yakub, dkk. Jakarta : Faizan, halaman
96.
48
nasab antara bapak dan anaknya terputus, anak tersebut dinisbatkan kepada
Ibn Umar ra. berkata: Nabi SAW telah menyumpah li`an antara seorang
suami dengan istrinya, dengan membebaskannya dari anak itu (anak itu
Hadist ini dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak hanya
Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda: “anak itu untuk
tikar dan bagi orang yang zina mendapat batu”. (Muttafaq Alaih). 61
Berdasarkan berbagai hadis di atas, anak itu menjadi hak bagi orang yang
memiliki tempat tidur, yakni suami. Orang yang zina mendapat bagian batu,
yakni dirajam dengan batu, sehingga jika terjadi suatu sengketa tentang anak ini,
apakah anak ini dari suaminya si istri atau dari orang lain, maka menurut
58
Sayyid Sabiq, Op. Cit., halaman 96.
59
M. Nahirudin al Albani. 2005. Mukhtashar Shahih Muslim. Penterjemah Elly Latifah.
Jakarta: Gema Insani Press, halaman 416.
60
Muhamad bin Ismail. 1995. Shahih Bukhori. Juz 5. Semarang: Dina Utama, halaman
236.
61
Ibid.
49
ketentuan harus di hak kan kepada suami. Sedangkan di sini tidak ada suami yang
seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu lahir
Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan
hukum. Suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka anak
yang dilahirkan dari perkawinan itu juga merupakan anak yang tidak
Pada dasarnya setiap anak, baik lahir dalam perkawinan yang sah maupun
di luar perkawinan, dilahirkan memiliki status dan kondisi fitrah yang bersih,
tanpa dosa dan noda. Tidak ada anak yang lahir dengan membawa dosa turunan
dari hasil hubungan antara laki-laki dan perempuan dan menghasilkan seorang
anak.
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang
sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram
antara anak dengan ayahnya. Seorang anak dapat dikatakan anak sah apabila anak
62
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. 1987. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: Bina Aksara, halaman 5.
63
M. Nurul Irfan. 2012. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Amzah,
halaman 161.
50
itu dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di
luar perkawinan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Menurut
1. Anak sah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No.1 Tahun 1974
pasal 42: adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
menyatakan anak sah adalah: anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar
2. Anak luar kawin. Anak luar kawin sebagaimana diatur dalam UU No. 1
Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di
dan keluarga ibunya saja”. Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 adalah
perempuan tersebut belum berada dalam suatu ikatan perkawinan yang sah
seorang ayah terhadap anak yang dilahirkan dari istrinya yang terbukti berbuat
anak tersebut sebagai anak luar kawin, yang mana akan membawa kesulitan
51
besar pada diri dan kehidupan selanjutnya bagi anak yang disangkal
kelahirannya.
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jadi anak yang dilahirkan di
tidak sah, artinya: tidak mempunyai bapak, dalam pengertian bahwa antara si
anak dan bapak tidak ada hubungan anak bapak dengan macam-macam hak dan
pokoknya dengan jalan menyusu pada ibunya. Dalam masa penyusuan ini
menurut garis nasab dan dalam hal ini ayahnyalah yang memiliki kedudukan
tersebut.
2. Hak hadhanah, yaitu tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau
anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.
3. Hak walayah (perwalian), yaitu dalam pemeliharaan anak dari kecil sampai
baligh. Dalam Hulum Islam perwalian anak dibagi menjadi tiga, yaitu:
b. perwalian harta;
c. perwalian nikah.
4. Hak nafkah yaitu hak untuk mendapatkan nafkah adalah hak anak yang
berhubungan langsung dengan nasab. Begitu anak lahir, maka hak nafkahnya
52
sudah mulai harus dipenuhi. Hak nafkah anak ini saling terkait dengan
Menurut para ahli fikih, orang yang pertama yang bertanggung jawab atas
nafkah anak adalah kerabat terdekat dalam garis nasab, dan dalam hal ini adalah
ayah kandung. Dengan demikian anak yang diingkari hanya mempunyai ibu, yaitu
dan si ibu itu ada hubungan hukum yang sama seperti halnya dengan anak sah,
yang mempunyai bapak. Adanya peraturan yang berlaku saat ini yang
memberikan hak kepada seorang ayah untuk menyangkal anak yang dilahirkan
istrinya adalah sebagai bentuk ketidakadilan bukan terhadap ibunya saja namun
Penetapan keabsahan anak, adalah hal yang tidak mudah bagi seorang
anak yang meskipun lahir dalam ikatan perkawinan yang sah, namun
penyangkalan anak tersebut. Namun dibalik itu juga tidak sedikit demi status
seorang anak yang dikandung oleh seorang perempuan yang di luar nikah
laki yang menghamilinya, hal ini semata-mata demi status anak yang lahir, baik
Anak yang telah dinafikan dari ayahnya itu terhalang warisnya dari sudut
ayahnya, pada waktu hidupnya karena anak itu dinafikan dari warisan yang
dicegahnya karena asal urusannya adalah nasabnya, maka sesungguhnya anak itu
53
li`an.64
karena tiga hal yaitu sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan, dan wala`
(pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum Islam lainnya disebutkan ada
empat sebab hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang
1. Perkawinan
2. Kekerabatan/nasab
Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya, dan
Jadi menurut ketentuan Pasal 162 tersebut anak tidak lagi mendapatkan
nafkah dari ayahnya. Ketika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 171 huruf (c)
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
64
Imam Syafi’i, Op. Cit., halaman 108.
65
Moh, Muhibin dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 72.
54
mempunyai status hukum yang sama dengan anak zina. Anak zina adalah anak
yang dilahirkan dari sutu perbuatan zina antara laki-laki dan perempuan yang
belum terikat suatu perkawinan yang sah. Sedangkan anak li’an adalah anak yang
dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah namun tidak di akui oleh
suami bahwa anak itu sebagai keturunannya dan hakim memutuskan hubungan
ibunya saja. Terhadap suami ibunya maupun ayah biologisnya tidak ada hubungan
nasab anaknya shah kembali pada ayahnya dan hilang pengaruh li’an itu terhadap
si anak. Menurut para fuqaha apabila ada seorang laki-laki yang berzina dengan
perempuan yang sudah menikah, kemudian melahirkan anak, maka anak itu tidak
tersebut dengan ketentuan bahwa si suami tidak menafikan anak tersebut. Setiap
anak yang terlahir dari ibu, yang telah mempunyai suami, di nasab kan kepada
Demikian pula dengan masalah warisan, bahwa anak yang telah dinafikan
(li’an) oleh ayahnya maka si anak tak dapat warisan. Hal ini dikarenakan bahwa
hubungan antara anak dan ayah dalam hukum kewarisan Islam ditentukan sah atau
66
M. Nurul Irfan, Op. Cit., halaman 245
55
tidaknya anak tersebut dalam suatu hubungan perkawinan antara laki-laki dengan
perempuan. Dengan adanya suatu ikatan perkawinan yang sah maka anak itu
dapat mewarisi harta orang tua tanpa adanya suatu penghalang dalam hal waris
mewarisi. Disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam
Hubungan kewarisan antara laki-laki dengan anak yang telah dili’an oleh
menafikan anak itu dan tidak dari pemisahan yang dilakukan oleh hakim.
menceraikan antara suami dan istri. Menurut Imam Hambali mengatakan bahwa
seandainya dalam li’an itu tidak langsung disebutkan menafikan anak yang akan
lahir oleh si suami, maka hubungan antara anak tersebut dan laki-laki itu tidak
Menurut Abu Bakar berpendapat bahwa anak yang lahir dari perempuan
yang sudah di li’an itu putus hubungannya dengan silaki-laki terhitung semenjak
laki dengan anak yang dili’an terputus dan untuk selanjutnya hubungan
dengan orang-orang yang bertalian keluarga dengan ibunya yang bertalian hanya
melalui garis perempuan. Oleh karena anak li’an tidak mempunyai hubungan
kewarisan dengan laki-laki yang mengawini ibunya, maka ia tidak mempunya ahli
waris ashabah.
Anak li’an apabila meninggal dunia maka yang menjadi ashabah adalah
ibunya sendiri setelah harta itu dibagikan kepada ahli waris furudnya dan sisa
hartanya milik ashabah. Kalau anak li’an tidak mempunyai ahli waris furudh
maka harta warisan anak li’an jatuh pada ashabah ibunya. Menurut Abu Hanifah
mengatakan bahwa apabila anak li’an meninggal dan tidak mempunyai ahli waris
furudh maka hartanya diserahkan kepada baitul maal.69 Mengenai harta warisan
yang seibu mendapatkan 1/3 bagian. Kemudian sisanya ada yang berpendapat
diserahkan ke baitul maal ada yang berpendapat diberikan kepada dzawil arham
dan ada yang berpendapat di kembalikan kepada ibu dan saudara-saudarnya seibu
menimbulkan suatu akibat hukum yang dimana anak tersebut terputus dengan
suami si ibunya yang me-li’an. Sama halnya dalam masalah warisan anak itu
hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan oleh ibunya, tetapi tidak
dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya.
69
Ibid.
70
Djunaidi Abd. Syakur, Asyari Abta. 2005. Ilmu Waris Al-Faraidl. Surabaya: Pustaka
Hikmah Perdana, halaman 215.
57
Dengan kata lain, anak li’an tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan
keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya
maupun dari ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya. Anak li’an hanya
mendapatkan harta dari ayah biologisnya dengan cara wasiat wajibah bukan
Walau hak waris anak tercegah dari ayah biologisnya karena sebab li’an
tersebut, tetapi jika dilihat dari segi ketentuan Allah, maka anak tersebuttetap
sebagai anaknya sendiri. Oleh sebab itu, anak tersebut tidak boleh menerima zakat
hukuman qishash-nya antara anak ini dengan anak-anak dari ayahnya yang
menjadi muhrim, tidak boleh saling jadi saksi di pengadilan, tidak dianggap
nasabnya dengannya, anak itu menjadi lebih berhak kepada ayahnya, dan sekalian
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus dijaga dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari Hak
Asasi Manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Anak. Apabila dilihat dari sisi
58
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan dan generasi
penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup.
maka sebenarnya tidak ada hak-hak anak yang harus diabaikan. Artinya tanpa
melihat apakah anak tersebut anak zina, anak luar kawin, anak angkat, anak tiri,
anak sumbang, anak li’an, maka negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban
Status seorang anak dalam Islam sangat berkait erat dengan sebuah
dalam atau akibat perkawinan yang sah, akan memastikan satus anak tersebut
secara jelas. Sebaliknya, perkawinan yang tidak sah atau terlahirnya seorang anak
dalam (akibat) perkawinan yang tidak sah, akan berimplikasi pada ketidakjelasan
pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma laki-laki dan sejatinya
harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Seorang
anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir
dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang
sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, biasa disebut dengan anak zina atau
71
Busman Edyar, “Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang Undang Perkawinan”, dalam Al
Istinbath Jurnal Hukum Islam, Volume 1, Nomor 2, 2016, halaman 182.
59
anak di luar perkawinan yang sah dan ia memiliki hubungan nasab dengan
ibunya.72
bentuk li’an, maka anak li’an dipastikan kehilangan seluruh hak-haknya dari
ayahnya karena telah diingkari oleh ayahnya sendiri. Tidak ada solusi apapun
terkait dengan status hukum anak li’an selain menerima segala bentuk
konsekuensi yang harus dihadapinya seumur hidupnya. Anak li’an beserta ibunya
akan menanggung segala akibat yang timbul dari adanya sumpah li’an tersebut.
Status nasab anak yang di-li’an ayahnya tidak akan memperoleh hak yang
kewajiban memberikan hak anak li’an. Sebaliknya anak itu pun tidak bisa
menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajiban yang dipandang menjadi hak anak
bila statusnya sebagai anak li’an. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang
dengan pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz
Ad-Daqaiq”: “anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak
ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak
mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya
melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan
seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara
72
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., halaman 276.
60
jalan lain.
menyebutkan bahwa: “Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk
selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya
terbebas dari kewajiban memberi nafkah”. Anak li’an tersebut bisa dijadikan
Fatwanya menegaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab,
wali nikah, waris, dan nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya,
anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan
hukuman bagi pezina berupa ta’zir yaitu dengan mencukupi kebutuhan hidup
anak tersebut, dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
nilai dasar yang berbeda. Perlu diingat bahwa kewajiban nafkah dipahami
kepada fitrah, sedangkan nasab berdasar firāsy (konsep bahwa anak sah adalah
61
anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah) diatur oleh pemeliharaan
menimbulkan mudarat bagi isteri dan anaknya. Tetapi jika diyakini telah terjadi
Islam juga tidak membiarkan seseorang mengasuh anak yang diyakini bukan
keturunannya sendiri.
Pensyaratan nikah dan li’an menunjukkan sisi realis dan sifat moderatnya
ajaran Islam dalam hal nasab. Sebab dengan nikah seseorang tidak bisa
li’an. Jadi cukup realis jika nasab anak tidak ditautkan pada orang yang malah
menolaknya. Di sisi lain dalam konteks hubungan sosial, Rasulullah dengan keras
mengancam orang yang berani menuduh anak li’an sebagai anak zina. Jadi
seorang anak yang hanya punya nasab kepada ibu tidak boleh dikucilkan.
oleh ayahnya menjadi ternafikan. Ketentuan tersebut tentu saja merugikan anak
tersebut yang sebenarnya hanya menjadi korban dari konflik antara ibunya dan
mungkin ayah biologisnya. Dalam kasus li’an ini maka paling tidak apabila
dalam hal penetapan ayah biologis yang memikul tanggung jawab nafkah,
seseorang dengan ayah biologisnya. Meskipun secara syariat tidak mungkin lagi
untuk menuntut hak nasab, hak waris, namun masih terbuka kemungkinan dengan
untuk mendapatkan hak-hak nafkah melalui adanya tes DNA (Deoxyribo Nucleic
Acid).
sampai tingkat dewasa tersebut, karena pada pada dasarnya terjadinya li’an karena
ayah biologis tidak mengakui anak yang dikandung oleh istrinya sebagai anak
kandungnya. Melalui tes DNA, maka akan dapat dibuktikan si anak itu berasal
dari benih laki-laki yang mana. Apabila tes DNA membuktikan bahwa benih si
anak berasal dari suami ibunya, maka anak tersebut merupakan anak kandung dari
informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan mengatur program keturunan
selanjutnya.73
anak yang dilahirkan dari seorang model Rusia Angel Ermakova hasil
hubungannya dengan mantan petenis nomor satu dunia Boris Becker asal Jerman.
Dalam kasus ini Becker menolak (mengelak) bahwa anak yang dilahirkan
Ermakova adalah anaknya. Tetapi setelah dilakukan tes DNA ternyata hasilnya
positif yaitu bahwa anak tersebut anak Boris Becker hasil hubungan gelapnya
73
M. Nurcholis Bakry. 1996. Bioteknologi dan Al-Qur’an (Referensi Da’i Modern). Beirut:
Daral Zahra, halaman 58.
74
Sri Lumatus Sa’adah, “Status Nasab Anak Akibat Li’an Yang Dibuktikan Dengan Tes
DNA (Analisis Tes DNA Sebagai Alat Bukti)”, dalam Al-‘Adalah, Volume 7, Nomor 2, Agustus
2004, halaman 97.
63
memberikan solusi hukum yang dapat mengatasi beberapa kasus hukum yang
tujuan penting dari hukum. Makna lain yang dapat diambil dari teknologi yang
bahwa hasil tes DNA adalah 100% akurat bila dikerjakan dengan benar. 75Oleh
sebab itu, DNA dapat dijadikan ratio legisdalam penetapan sebuah nasab.
Berdasarkan keakuratan dan kebenaran yang 100% tersebut, maka untuk kondisi
merupakan sebuah keniscayaan, sehingga ketika terjadi sumpah li’an oleh suami
yang ditolak oleh istri, kemudian dilakukan tes DNA ternyata anak tersebut adalah
anak si suami, maka seharusnya suami tidak dapat mengelak atas tuduhannya
tersebut. Meskipun secara syari’at hukumnya telah sah, namun untuk melepaskan
tanggung jawab terhadap nafkah si anak, suami seharusnya tidak dapat mengelak
begitu saja.
yang dianggap tabu dan aib bagi suatu keluarga. Namun terlepas dari kerumitan
itu hukum melihat persoalan kedudukan anak luar kawin merupakan problematika
75
Bahruddin Muhammad, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis Teknologi
Al-Qiyafah (Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur Rahman)”, melalui www.badilag.net,
diakses Senin, 20 Agustus 2018, Pukul 21.08 Wib.
64
yang perlu mendapat perhatian yang serius mengingat dampak dari persoalan
tersebut bukan hanya berhubungan dengan masalah hukum dan segala aspek yang
kelangsungan hidup anak-anak yang dilahirkan dari suatu hubungan yang tidak
sah sebagai insan pribadi yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam
seorang anak yang lahir di luar perkawinan bertumpu pada hubungan hukum
pihak ibu hampir tidak pernah menjadi persoalan karena hubungan itu telah
tercipta dengan sendirinya tanpa harus didahului dengan perbuatan hukum apa
pun, kecuali terhadap apa yang disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menganut prinsip pengakuan mutlak, dimana seorang ibu biologis
tidak secara otomatis akan menjadi ibu yang memiliki hubungan perdata dengan
Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal lembaga pengakuan anak oleh ibu
kandung, karena undang-undang telah menentukan bahwa anak yang lahir demi
hukum langsung memiliki hubungan keperdataan dengan pihak ibu dan keluarga
ibunya. Hal ini didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa tidak terlalu sulit
menentukan siapa ayah biologis dari si anak dalam hal kelahiran tanpa didahului
76
Ibid.
65
terjawab baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, namun ada hak-hak yang mestinya
didapat oleh anak li’an yang pada masa lalu pembuktian terhadap status anak
li’an-nya belum ditemukan teknologinya, sehingga hukum yang ada pada masa itu
menjadi kaku tanpa kompromi. Oleh karena itu pemakaian teknologi yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dunia secara global
hukum.
maka adanya tes DNA itu menjadikan semua asal-usul anak menjadi jelas,
sehingga si ayah yang tidak mengakuinya itu tidak lagi dapat menghindar dari
konsekuensi yang muncul dari hasil temuan DNA itu. Tes DNA membuat anak
li’an menjadi jelas kepada siapa dia akan dapat menuntut perlindungan maupun
sampai ia dewasa. Meskipun juga tak dapat ditolak konsekuensi terhadap sumpah
li’an adalah bahwa si anak tidak dinasabkan kepada ayah yang telah
perceraian menjadi sangat penting dilakukan oleh negara. Meskipun telah banyak
regulasi yang ada di Indonesia mengatur tentang hak-hak anak, namun khusus
bagi anak li’an nampaknya tidak jadi perhatian yang serius dari pihak eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Padahal berbagai regulasi yang ada tersebut sejatinya
66
memberikan amanah yang sangat besar kepada negara untuk menjaga hak-hak
anak.
kandungnya dalam Pasal 43 ayat (1) UUP yang disebutkan bahwa anak luar kawin
atau anak li’an hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya jelas bertentangan dengan rasa keadilan. Kedudukan hukum anak atau ibu
membuktikan siapa ayah biologis si anak, sedangkan hak-hak keperdataan itu baru
lahir bagi si anak, jika ada pengakuan dari ayah biologisnya. Hal tersebut
pada pengakuan si ayah, artinya jika si ayah bilogis tidak dengan sukarela mau
mengakui anaknya, maka hukum tidak bisa memberikan kedudukan apa-apa bagi
77
Ibid.
67
si anak, padahal jika kita kembali mempersoalkan proses lahirnya si anak itu ke
dunia, maka antara ayah dan ibunya biologisnya memiliki peran yang seimbang
atas terjadinya kelahiran tersebut. Si anak yang tidak pernah meminta untuk
dilahirkan, sehingga tidak ada alasan yang tepat untuk membebankan segala risiko
pengingkaran anak dengan menggunakan sumpah li’an, dan ternyata anak tersebut
positif anak dari orang tua yang telah melaksanakan sumpah li’an setelah melalui
tes DNA maka tidak dapat diragukan lagi anak tersebut mempunyai hubungan
nasab kepada orang tuanya (ayah dan ibunya). Hal ini dikarenakan alat bukti
sumpah li’an biasanya ditempuh hanya karena adanya pengelakan atas keterangan
dari salah satu pihak dalam hal ini adalah pihak istri, sehingga atas penyangkalan
ini perlu didukung dengan sumpah. Atas dasar inilah maka alat bukti sumpah li’an
konteks inilah maka jumhur ulama berpendapat bahwa buktilah yang sebenarnya
tangan atau sebagai akibat perkawinan poligami di bawah tangan, memiliki akibat
78
Hasbi Ash Siddieqi. 1988. Peradilan Hukum Acara Islam. Bandung: Alma’arif, halaman
106.
68
hukum lahirnya hak dan kewajiban menurut hukum antara kedua belah pihak
secara timbal balik. Lebih spesifk lagi bahwa untuk membuktikan bahwa anak
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hukum
memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya, maupun ayah biologis
kepada anak. Sebab, anak yang dilahirkan dari hubungan biologis tanpa ikatan
perkawinan yang sah, secara kodrati tidak berbeda dengan anak sah. Anak li’an
secara hukum adalah anak yang diragukan seorang laki-laki (suami) merupakan
anak kandungnya disebabkan laki-laki (suami) itu telah menuduh istrinya berzina,
oleh sebab itu laki-laki (suami) tersebut yakin bahwa anak yang dikandung
Melalui tes DNA dapatlah dibuktikan bahwa seorang anak itu ayah
dengan perlindungan dan kepastian hukum terhadap anak yang berstatus anak
li’an. Perlindungan hukum itu memastikan hak-hak anak misalnya nafkah, biaya
Melalui penemuan teknologi dan ilmu pengetahuan seperti tes DNA itu
pula seorang anak li’an akan memperoleh kepastian hukum terkait status
untuk membatalkan adanya sumpah li’an, karena tuduhan tersebut nyatanya tidak
dinasabkan kepada ibunya dan oleh sebab itu maka kewajiban ayahnya menjadi
hilang, sehingga anak li’an tak berhak menuntut apapun kepada ayahnya. Temuan
atas tes DNA memungkinan negara memberikan kewajiban kepada ayah biologis
untuk memberikan hak nafkah, biaya pendidikan dan kesehatan kepada anak
BAB IV
A. Kesimpulan
denganPasal 162 bahwa anak lian dinasabkan kepada ibunya, karena anak
sehingga anak tersebut tidak memiliki hubungan apapun dengan suami ibunya
tersebut.
si anak tidak dinasabkan kepada ayahnya serta hak-hak anak misalnya nafkah,
3. Bahwa solusi pemberian hak-hak anak li’an oleh Negara yaitu melalui
teknologi, misalnya adanya tes DNA untuk menemukan tentang asal-usul anak
B. Saran
1. Sebaiknya ketentuan tentang hukum li’an tidak secara gampang diterima oleh
pihak pengadilan, karena implikasinya yang begitu luas bagi baik bagi istri
70
71
maupun anak. Putusan terhadap sumpah li’an pada satu sisi memberikan rasa
hilangnya hak-hak anak yang di-li’an serta dampak sosial yang akan diderita
ruang kepada temuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tes DNA untuk
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf. 1992.Kunci Fiqh Syafi’i, alih bahasa Hafid
Abdullah, cet. ke-1 , Semarang: Asy Syifa’.
Ade Maman Suherman dan J. Satrio. 2010. Penjelasan Hukum Tentang Batasan
Umur. Jakarta: PT Gramedia.
D.Y. Witanto. 2012.Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
72
73
Ida Hanifah, dkk., 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
M. Nurul Irfan. 2012.Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta:
Amzah.
Muhamad bin Ismail. 1995. Shahih Bukhori. Juz 5. Semarang: Dina Utama.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. ke-1. Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia.
Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: Mandar Maju.
B. Peraturan Perundang-undangan
C. Jurnal Ilmiah
Anwar Hafidzi, Binti Musyarrofah, Penolakan Nasab Anak Li’an dan Dhihar
dengan Ta’liq (Analisis Komparatif Naskah Kitab Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu dengan alMughni) “, dalam Ulul AlbabJurnal Studi dan
Penelitian Hukum Islam,Volume 1, Nomor 2, April 2018.
Busman Edyar, “Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Positif dan Hukum
Islam Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang
Undang Perkawinan”, dalam Al Istinbath Jurnal Hukum Islam, Volume 1,
Nomor 2, 2016.
Sri Lumatus Sa’adah, “Status Nasab Anak Akibat Li’an Yang Dibuktikan Dengan
Tes DNA (Analisis Tes DNA Sebagai Alat Bukti)”, dalam Al-‘Adalah,
Volume 7, Nomor 2, Agustus 2004.
D. Situs Internet
Andi Sjamsu Alam, Andi Sjamsu Alam, “Usia Perkawinan Dalam Perspektif
Filsafat Hukum Dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Hukum
Perkawinan Indonesia”, www.badilag.net, diakses tanggal 28 Januari
2018.
B. Sumber Kewahyuan
Al-Qur’an
C. Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negar Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1917 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
D. Internet
Adil Indonesia, “Metode Penelitian”, melalui
http://Ip3madilindonesia.blogspot.co.id.
Rotsania, “Penelantaran Anak”, melalui http://rotsania.blogspot.co.id.
Ayu Nadia Maryandani, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang menjadi
Korban Penelantaran Oleh Orang Tua Berdasarkan Hukum Pidana
Indonesia”, melalui http://c:\users\acer\downloads\skripsi.
Fathia R Santoso, “Penelantaran Pada Anak”, melalui
http://fathiasantosostiedj.blogspot.co.id.
ii
Rindri Andewi Gati, “Kawin Siri Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan
Administrasi Kependudukan”, melalui www.academia.edu.
Fandi Israwan, “Makalah Nikah Siri”, melalui
https://fandyisrawan.wordpress.com/2014/02/26/makalah-nikah-siri/.
Sofyan Hadi, “Pengertian dan Hukum Nikah Siri Menurut Syariat Agama Islam”,
melalui https://www.satujam.com.
Tribbun News, “Nikah Siri Sah Secara Agama Tapi Tak Punya Kekuatan
Hukum”, melalui http://www.tribbunnews.com/metropolitan.com
Rustam Agus, “Nikah Siri Melanggar UU”, melalui
http://kabar24.bisnis.com/read/20141225/16/385845/nikah-siri-
melanggarundang-undang.
Muhammad Imam Wahyudi, “Fenomena Nikah Siri Dalam Negara Hukum
Indonesia, melalui
http://www.kompasiana.com/muhammadimamwahyudi/fenomena-nikah-
siri-dalam-negara-hukum-indonesia.
iii