28 - Analisis Saham Sektor Perbankan
28 - Analisis Saham Sektor Perbankan
28 - Analisis Saham Sektor Perbankan
Kelompok 10 :
JAKARTA
2020
Pasar modal berperan penting dalam menunjang perekonomian suatu negara
karena pasar modal berfungsi sebagai lembaga perantara yang dapat
menghubungkan pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang mempunyai
kelebihan dana. Perusahaan memerlukan dana untuk membiayai dan
mengembangkan proyek-proyeknya yang secara tidak langsung dapat
meningkatkan kegiatan perekonomian negara dan kemakmuran masyarakat.
Sementara itu, seorang investor yang mempunyai kelebihan dana dapat memilih
alternatif investasi yang memberikan return yang paling optimal. Investasi
saham mempunyai daya tarik bagi investor karena dengan investasi berupa
saham, investor mempunyai harapan untuk memperoleh keuntungan berupa
capital gain ataupun deviden saham.
Risiko sistematik yang dikenal dengan istilah resiko pasar terbentuk oleh faktor-
faktor makro yang bersifat uncontrollable sehingga tidak dapat dikendalikan,
seperti berbagai kebijakan pemerintah, stabilitas sosial, politik, keamanan
nasional dan faktor kondisi makro misalnya tingkat inflasi dan tingkat
bunga.Dalam penelitian ini pendekatan fundamental makro yang digunakan
yaitu tingkat inflasi dan suku bunga SBI.
Disisi lain, fluktuasi tingkat suku bunga juga menjadi faktor yang menentukan
tingkat daya beli masyarakat. Tingkat bunga mempengaruhi pertumbuhan
konsumsi melalui tabungan. Tingkat bunga yang tinggi akan mendorong
masyarakat untuk mengkonsumsi kearah yang berlawanan, karena tingkat
bunga yang tinggi akan membuat masyarakat semakin banyak yang memilih
asset finansial berupa deposito berjangka atau obligasi dan mengalihkan
portofolio sahamnya.
Rasio keuangan terdiri dari rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio aktivitas,
rasio rentabilitas/ profitabilitas dan rasio pasar.Rasio profitabilitas digunakan
untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang
merupakan fokus utama dalam penilaian prestasi perusahaan (analisis
fundamental perusahaan). Rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rasio profitabilitas yang diproxykan dengan Return On Assets (ROA)
dan rasio pasar yang di proxykan dengan Earning Per Share (EPS). Return On
Assets (ROA) menggambarkan kinerja keuangan perusahaan dalam
menghasilkan laba bersih dari aktiva yang digunakan untuk operasional
perusahaan. ROA digunakan untuk mengetahui kinerja perusahaan berdasarkan
kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan jumlah assets yang dimiliki.
(Susilowati &Turyanto,2011:19). Dengan kata lain Return On Assets (ROA)
akan berpengaruh terhadap return saham. Sesuai dengan hasil penelitian
Hardiningsih, et.al (2009) menunjukkan bahwa ROA positif dengan return
saham. Selain itu untuk menganalisis risiko dan membandingkan pendapatan
per lembar saham perusahaan dengan perusahaan lain, maka investor dapat
mengunakan rasio Earning Per Share (EPS). Menurut Gantyowati dan Arwanta
(2004), investor dapat menggunakan rasio Earning Per Share (EPS) untuk
mengetahui kinerja perusahaan. Hubungan laba yang diperoleh dengan investasi
yang ditetapkan pemegang saham diamati secara cermat oleh komunitas
keuangan.Analis menelusuri beberapa ukuran pokok yang menggambarkan
kinerja perusahaan dalam hubungannya dengan kepentingan investor
(Wulandari, et al, 2011:2). Ukuran-ukuran tersebut meliputi laba usaha per
saham, laba bersih per saham (eaning per share), dan nilai buku per saham
(price earning ratio) (Samsul, 2006: 204) Berdasarkan beberapa bukti empiris
hasil penelitian dan teori yang mendasarinya sebagaimana diuraikan dimuka,
maka permasalahan yang menghubungkan pendekatan keuntungan/laba
terhadap return saham yaitu melalui rasio profitabilitas dengan Nur Ismanidar:
Return Saham 51 menggunakan indikator Return On Assets (ROA) dan rasio
pasar dengan menggunakan indikator Earning Per Share (EPS). Para investor
dan analis dapat menilai portofolio yang kuat dan sehat atas suatu investasi.
Penelitian pengaruh fundamental makro dan mikro telah banyak dilakukan
diantaranya, Fogler dan Kritzman (1994:51) yang menyatakan bahwa faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap return saham, ialah “Return Market (IHSG),
Deviden Yield, perubahan Earning Per Share (EPS), Price Earning Ratio, Debt
Equity Ratio dan harga saham”. Selain itu penelitian dari Chen, Roll, dan Ross
(1986) berpendapat bahwa terdapat empat faktor lain yang mendasari perubahan
harga saham, seperti kegiatan industri, tingkat inflasi, perbedaan antara tingkat
bunga jangka pendek dan jangka panjang, dan perbedaan antara tingkat
keuntungan obligasi yang berisiko tinggi dan berisiko rendah (Haruman,et
al.2005:464). Namun menurut Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari, et. al
(2011:12) yang menguji pengaruh Earning Per Share (EPS) terhadap return
saham pada perusahaan pertambangan di BEI periode 2007-2011 menunjukan
hasil bahwa Earning Per Share (EPS) tidak berpengaruh terhadap return saham.
Hasil penelitian Subalno (2010) menunjukkan bahwa secara parsial Return On
Assets (ROA), Nilai Tukar dan Suku Bunga SBI berpengaruh signifikan
terhadap return saham. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Widodo
(2002), Faried (2008), Natarsyah (2000),Ulupui (2005), Arista dan Astohar
(2012) bahwa Return On Assets (ROA) secara simultan dan parsial berpengaruh
terhadap return saham. Kesimpulan lain yang sedikit berbeda adalah dari
penelitian Harjito dan Aryayoga (2009), Sasongko dan Wulandari (2006),
Anastasia, et al, (2003) Prasetyo (2006) bahwa Return On Assets (ROA) secara
simultan dan parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. Tidak
hanya pada fundamental mikro, research gap juga terjadi pada fundamental
makro, inflasi dan suku bunga yang sesuai dengan logika teori ekonomi akan
berpengaruh negatif terhadap return saham. Akan tetapi dari hasil penelitian
Sangkyun (1997), menemukan inflasi tidak berpengaruh terhadap return saham.
Sedangkan Hardiningsih, et. al (2002) menemukan bahwa inflasi berpengaruh
positif terhadap return saham (Zulbetti 2010:51). Selanjutnya penelitian Prasetia
(2006) dan Meta (2005) yang menyatakan bahwa suku bunga tidak berpengaruh
terhadap return saham bertentangan dengan penelitian Nurdin (1999),
Triayuningsih (2003), Subalno (2010) yang menyatakan bahwa suku bunga
berpengaruh terhadap return saham.
Hasil penelitian yang variatif tersebut mendorong dilakukannya penelitian
lanjutan dan mengeksplorasi prediktabilitas dari return saham dan juga
memperjelas research gap pengaruh faktor fundamental pada return saham.
Perusahaan sektor pertambangan merupakan sektor usaha yang dinilai dapat
memberikan return tinggi untuk investor serta mempunyai kinerja yang cukup
signifikan. Tingginya harga komoditas tambang telah menjadi pendorong
meningkatnya ekspor sektor pertambangan. Dari sisi volume, ekspor sektor
pertambangan pada tahun 2007 juga mengalami kenaikan 7,8% atau mencapai
245 juta ton. Kenaikan volume ekspor pertambangan ini terjadi pada komoditas
nikel (tumbuh 103,7%), aluminium (65,5%) dan batubara (7,9%). Dengan
pertumbuhan kinerja sektor yang mengalami kenaikan, maka akan
meningkatkan pula keuntungan yang akan diperoleh perusahaan dan hal ini
dapat menjadi faktor pendorong meningkatnya minat investor di pasar modal
sehingga dapat meningkatkan jumlah permintaan saham perusahaan
pertambangan. Akan tetapi dengan adanya krisis keuangan global dan fluktuasi
harga minyak dunia tahun 2008-2009 menyebabkan kinerja sektor
pertambangan turut terkena dampak. Hal ini dapat mempengaruhi kinerja
perusahaan dan akan direspon oleh investor sehingga dapat mempengaruhi
harga saham perusahaan (Priatinah &Kusuma, 2012:52) Berdasarkan penjelasan
di atas maka dalam penelitian ini peneliti memilih sektor pertambangan yang
dinilai dapat menghasilkan returnyang tinggi bagi investor dan memiliki risiko
yang sangat tinggi dikarenakan sektor pertambangan dipengaruhi oleh kondisi
perekonomian baik skala domestik maupun global. Analisis Fundamental
Tujuan analisis fundamental adalah untuk menentukan apakah nilai saham
berada pada posisi underpriced atau overpriced. Saham dikatakan underpriced
bilamana harga saham di pasar saham lebih kecil dari harga wajar atau nilai
yang seharusnya (nilai intrinsik), dan saham dikatakan overpriced apabila harga
saham di pasar saham lebih besar dari nilai intrinsiknya (Susilowati &Turjanto,
2011:21). Sedangkan analisis teknikal ini dasar yang digunakan dalam proses
peramalan, melalui trend harga pasar historis para analisis akan berusaha untuk
menentukan suatu pola pergerakan harga saham yang spesifik. Analisis teknikal
lebih cocok untuk trading (spekulasi) dalam jangka pendek atau perlindungan
(hedging) sehingga dalam memilih saham, baik untuk dijual atau dibeli, investor
merujuk pada dua analisis tersebut yaitu analisis fundamental dan analisis
teknikal.
Return Saham Analisis fundamental dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
yaitu analisis fundamental yang bersifat mikro (internal) dan analisis
fundamental yang bersifat makro (eksternal).Analisis fundamental yang bersifat
mikro merupakan suatu studi yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
laporan keuangan perusahaan untuk mengetahui kinerja perusahaan melalui
laporan tahunan baik yang bersifat moneter maupun non moneter yang
merupakan sumber informasi bagi investor sebagai salah satu dasar
pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi di pasar modal. Hal ini
tentunya akan mempengaruhi return yang akan diterima oleh investor. Oleh
karena itu, analisis fundamental secara makro dan analisis fundamental secara
mikro dapat menjelaskan pergerakan harga saham yang berimbas kepada return
yang diterima oleh investor. Konsep Return Saham Return atas investasi dalam
saham terdiri atas dividend dan capital gain. Dividen merupakan distribusi
pendapatan korporasi kepada para pemegang saham, baik dalam bentuk cash
dividend maupun stock dividend.. Sedangkan capital gain merupakan selisih
antara harga beli dan harga jual saham dari instrumen suatu investasi (Keown,
et.al.,1996:282) Return yang diharapkan merupakan tingkat return yang
diantisipasi investor di masa datang. Sedangkan return yang terjadi merupakan
tingkat return yang telah diperoleh masa lalu. Antara tingkat return yang
diharapkan dan return yang terjadi atau return aktual merupakan risiko yang
harus dipertimbangkan dalam proses investasi (Astuti dan Maruddani, 2009:72).
Jogiyanto membedakan konsep return menjadi dua kelompok yaitu return
tunggal dan return portofolio. Return tunggal merupakan hasil yang diperoleh
dari investasi yang berupa return realisasi dan return ekspektasi. Return realisasi
(realized return) merupakan return yang terjadi yang dihitung berdasarkan data
historis dan berfungsi sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan. Return
historis juga berguna sebagai dasar penentu return ekspektasi (expected return)
di masa datang. Return ekspektasi (expected return) merupakan return yang
diharapkan akan diperoleh oleh investor di masa mendatang (Jogiyanto,
1998:85) Dari kedua konsep tersebut (dividend yield dan capital gain), maka
konsep return yang digunakan dalam penelitian ini adalah capital gain yang
lazim juga disebut sebagai capital actual. Alasan digunakan capital gain, karena
tidak semua perusahaan membagikan deviden.
Apabila data yang digunakan adalah data bulanan maka dividend yield tidak
dapat diketahui setiap bulan, karena lazimnya dividend yield dapat diketahui
setiap setahun sekali. Konsep capital gain yaitu selisih antara harga saham saat
ini (Closing price pada periode t) dengan harga saham periode sebelumnya
(Closing price pada periode t-1) dibagi dengan harga saham periode sebelumnya
(Closing price pada periode t-1). Closing price adalah harga penutup atau harga
perdagangan terakhir untuk suatu periode. Karena ketersediaannya, closing
price adalah harga yang paling sering digunakan untuk analisis (Salim, 2003).
Dengan demikian, sesuai dengan konsep return individu yang digunakan yaitu
(Pt – Pt-1) / Pt-1 Inflasi Menurut Sadono (2008), Inflasi merupakan faktor
fundamental makro dari indikator makroekonomi yang menggambarkan kondisi
ekonomi yang kurang sehat, karena harga-harga barang secara umum meningkat
sehingga melemahkan daya beli masyarakat. Harga barang-barang akan selalu
mengalami suatu perubahan, biasanya berupa kenaikan. Namun jika kenaikan
itu hanya terjadi pada satu atau dua barang saja tidak dapat disebut sebagai
inflasi. Perubahan yang berupa kenaikan harga barang-barang secara umum dan
berlangsung terus menerus, dalam istilah ekonomi disebut dengan inflasi
(Zulbetti, 2011:56) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa infasi
merupakan suatu indikator yang menunjukkan kecenderungan kenaikan harga-
harga yang berlaku umum dalam suatu perekonomian. Laju inflasi dapat
mempengaruhi tingkat daya beli masyarakat yang berakhir pada penurunan
konsumsi masyarakat yang berdampak pada sektor riil dan riil interest rate yang
sering menjadi acuan dalam keputusan investasi akan mempengaruhi motivasi
atau minat investasi menjadi turun serta akan mengurangi tingkat pendapatan
riil yang diperoleh investor dari investasinya. Suku Bunga Menurut Dornbush,
et.al. (2008), tingkat suku bunga menyatakan tingkat pembayaran atas pinjaman
atau investasi lain, di atas perjanjian pembayaran kembali, yang dinyatakan
dalam persentase tahunan (Kewal, 2012:58) Tingkat bunga menggambarkan
mengenai kondisi perekonomian suatu negara, artinya semakin baik
perekonomian suatu negara semakin rendah tingkat bunganya. Jika suku bunga
deposito tinggi, maka investor akan cenderung menyukai menempatkan
dananya dalam deposito, apalagi deposito merupakan instrumen keuangan Nur
Ismanidar: Return Saham 55 yang bebas risiko. Sebaliknya jika suku bunga
deposito rendah, investor cenderung akan menginvestasikan dananya ke dalam
bentuk saham. Menurut Kewal (2012:58), disisi lain fluktuasi tingkat suku
bunga yang terjadi merupakan faktor yang menentukan tingkat daya beli
masyarakat. Suku bunga mempengaruhi laba perusahaan dalam dua cara, yaitu:
a. Karena bunga merupakan biaya, maka makin tinggi suku bunga, makin
rendah laba perusahaan apabila hal lain tetap konstan.
Rasio ini mengukur seberapa banyak laba bersih yang bisa diperoleh dari
seluruh asset yang dimiliki dan ditanamkan ke dalam sebuah perusahaan
(efisiensi aktiva). Kemampuan perusahaan dalam mengelola aktiva untuk
menghasilkan keuntungan mempunyai daya tarik dan mampu mempengaruhi
investor untuk membeli saham perusahaan tersebut. Peningkatan Return On
Assets (ROA) akan menambah daya tarik investor untuk menanamkan dananya
dalam perusahaan. Sehingga harga saham perusahaan akan meningkat, dengan
kata lain Return On Assets (ROA) akan berdampak positif terhadap return
saham. Earning Per Share (EPS) Indikator faktor fudamental mikro yang kedua
ialah Earning Per Share (EPS) atau laba per lembar saham merupakan
perbandiangan antara jumlah earning after tax (EAT) dengan jumlah saham
yang beredar. Menurut Susilowati&Turyanto (2011:18), Earning Per
Share(EPS) merupakan rasio yang menggambarkan tingkat laba yang diperoleh
oleh para pemegang saham, dimana tingkat laba (per lembar saham)
menunjukkan kinerja perusahaan terutama dari kemampuan laba yang dikaitkan
dengan pasar. Earning Per Share termasuk salah satu rasio pasar yang pada
dasarnya mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasar
yang melampaui pengeluaran
Return On Assets (ROA) adalah salah satu faktor untuk menentukan suatu
keuntungan (return) yang diharapkan pada suatu perusahaan dengan risiko yang
melekat pada saham tersebut. Nilai inilah yang diestimasi oleh para pemodal
atau analis, dan hasil dari estimasi ini dibandingkan dengan nilai saham pasar
sekarang (current market price) sehingga dapat diketahui saham-saham yang
overprice maupun yang underprice. Penelitian oleh Haryanto dan Sugiharto
(2003) mengatakan bahwa profitabilitas perusahaan adalah salah satu cara untuk
menilai secara tepat sejauh mana tingkat pengembalian yang akan didapat dari
aktivitas investasinya. Pengaruh Earning Per Share terhadap Return Saham
Menurut Sahetapy (1999) Earning Per Share (EPS) merupakan suatu indikator
dari apa yang dipikirkan oleh investor tentang kinerja perusahaan pada masa
lalu dan masa yang akan datang. Earning Per share (EPS) yang semakin tinggi
akan semakin menarik investor dalam menanamkan sahamnya, karena Earning
Per share (EPS) menunjukkan laba yang berhak didapatkan oleh pemegang
saham atas satu lembar saham yang dimilikinya (Triayuningsih,2003:15). Laba
merupakan alat ukur utama kesuksesan suatu perusahaan, karena itu para
pemodal seringkali memusatkan perhatian pada besarnya Earning Per Share
(EPS) dalam melakukan analisis saham. Semakin tinggi nilai Earning Per Share
(EPS) tentu saja menggembirakan pemegang saham karena semakin besar laba
yang disediakan untuk pemegang saham Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa Earning Per Share (EPS) memiliki hubungan yang positif
dengan return saham.
Sementara dari aksi jual beli investor asing tidak banyak pergerakan, aksi beli
investor asing 4,18% atau senilai Rp 60,1 miliar dengan 181,9 juta saham.
Kemudian aksi jual investor asing sedikit lebih kecil 2,40% atau Rp 34,5 miliar
dengan 103,6 juta saham
Analisis Fundamental
1. SAHAM BANK MNC (Bank MNC Internasional Tbk)
PT. Bank MNC Internasional, Tbk. (MNC Bank) lahir setelah MNC Group
mengakuisisi PT. Bank ICB Bumiputera, Tbk. Dengan visi baru "Menjadi
Bank masa depan yang memberikan layanan bintang lima, yang mengikuti
gaya hidup nasabah berlandaskan teknologi terkini dan membuat semua
transaksi keuangan menjadi mudah".
Produk dan layanan MNC Bank siap dinikmati oleh seluruh segmen nasabah
dari bisnis hingga consumer. Dengan dukungan dan komitmen yang tinggi
dari MNC Group serta manajemen baru yang berpengalaman di bidang
perbankan, MNC Bank akan terus berkembang menjadi bank terkemuka di
Indonesia.
2. SAHAM BANK BJB (Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dn Btn
Tbk)
Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank Jabar
Banten / Bank BJB) (BJBR) didirikan pada tanggal 08 April 1999. Bank
BJB sebelumnya merupakan sebuah perusahaan milik Belanda di
Indonesia yang dinasionalisasi pada tahun 1960 yaitu N.V. Denis (De
Eerste Nederlandsche Indische Shareholding) dan memulai kegiatan
usaha komersialnya pada tanggal 20 Mei 1961.
emegang saham yang miliki 5% atau lebih saham Bank BJB, yaitu:
Pemda Propinsi Jawa Barat (pengendali) (38,262%), Pemda Kabupaten
Bandung (7,022%) dan Pemda Propinsi Banten (5,369%).