Apakah

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 14

Volume VI No 1

Maret 2023

Strategi Pencegahan dan Pengendalian DBD


(Kasus di Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung)
Made Agus Sugianto1

1 Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Badung, Bali

Korespondensi: * [email protected]

https://doi.org/10.47266/bwp.v6i1.184 | halaman: 141 - 154


Dikirim: 20-12-2022 | Diterima: 25-03-2023 | Dipublikasikan: 31-03-2023

Abstrak
Angka kesakitan DBD di Kabupaten Badung tahun 2021 mencapai 55 per 100.000 penduduk,
sementara di Kecamatan Kuta Utara mencapai besaran yang sama. Angka ini di atas target nasional
yaitu tidak lebih dari 49 per 100.000 penduduk. Penelitian ini bertujuan menggambarkan
karakteristik penderita DBD, memetakan daerah risiko serta menetapkan strategi terbaik
pencegahan dan pengendalian DBD di Kecamatan Kuta Utara. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penderita DBD terbanyak adalah kelompok umur dewasa dan berjenis kelamin laki-laki.
Penyebab tingginya angka DBD di Kecamatan Kuta Utara antara lain karena kepadatan penduduk
yang tinggi serta banyaknya mobilitas masyarakat. Penyebab lainnya adalah adanya penolakan
dari masyarakat serta jumantik yang tidak bekerja dengan baik. Penelitian ini menyimpulkan Desa
Canggu dan Desa Tibu Beneng termasuk kategori Daerah Risiko rendah, Kelurahan Kerobokan
dan Kelurahan Kerobokan Kaja termasuk dalam Daerah Risiko Sedang, sedangkan Desa Dalung
dan Kelurahan Kerobokan Kelod termasuk kategori Daerah Risiko Tinggi. Hasil scoring
menunjukkan bahwa prioritas pertama strategi pencegahan dan pengendalian DBD adalah
meningkatkan Promosi dan Edukasi Kesehatan kepada masyarakat. Rekomendasi penelitian ini
antara lain melakukan promosi dan edukasi secara massif kepada masyarakat, menggerakkan
semua komponen masyarakat, perlunya dukungan anggaran dan pelatihan kepada pengelola
program serta pengembangkan aplikasi sistem informasi surveilans penyakit.

Kata kunci: daerah risiko; surveilans penyakit; prioritas pencegahan dan pengendalian.

141
@ 2023 Kementerian PPN/Bappenas RI
Bappenas Working Papers Artikel Volume VI No. 1

I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia berfluktuasi setiap tahunnya dan
angka kesakitannya cenderung meningkat dan sebaran wilayah yang terjangkit semakin luas.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, ada 73.518 kasus DBD di Indonesia sepanjang 2021
dengan angka kesakitan (incidence rate) kasus DBD sebesar 27 per 100.000 (Pascawati et al.,
2022). Sementara angka kesakitan kasus DBD di Provinsi Bali Tahun 2021 adalah sebesar 61,3
per 100.000 penduduk. Angka ini masih di atas target nasional Angka Kesakitan DBD tahun 2021
yaitu kurang dari 49 per 100.000 penduduk. Namun demikian, capaian angka kematian kasus
DBD Provinsi Bali sebesar 0,2 % sudah mencapai target nasional yaitu lebih kecil dari 1 % (Dinkes
Provinsi Bali, 2022).
Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Badung Tahun 2021, meskipun angka
kesakitan maupun angka kematian sudah sesuai target nasional, namun beberapa UPTD
Puskesmas di Kabupaten Badung angka kesakitannya masih di atas target nasional (kurang dari
49 per 100.000 penduduk). Salah satunya adalah UPTD Puskesmas Kuta Utara dengan angka
kesakitan DBD mencapai 55 per 100.000 penduduk (Dinkes Kab.Badung, 2021).
Penyakit yang ditularkan oleh Aedes Aegypti ini sebenarnya dapat dikendalikan melalui
pemutusan rantai penularan dengan cara penaburan larvasida, fogging focus serta pemberantasan
sarang nyamuk (PSN). Namun demikian, pengendalian vektor di beberapa daerah endemis tidak
tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan tidak mampu memutus rantai penularan (Rosi et al.,
2020).
Cara pemberantasan yang lebih aman, murah dan sederhana adalah dengan PSN. Oleh
sebab itu kebijakan pemerintah dalam pengendalian vektor DBD lebih menitik beratkan pada
program ini, walaupun cara ini sangat tergantung pada peran serta masyarakat (Halid, 2022).
Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian DBD diwujudkan
dengan adanya juru pemantau jentik (jumantik). Peran jumantik sangat penting dalam sistem
kewaspadaan dini DBD karena berfungsi memantau keberadaan serta menghambat
perkembangan awal dari vektor penular DBD. Keaktifan kader jumantik dalam memantau
lingkungannya merupakan langkah penting untuk mencegah meningkatnya angka kasus DBD.
(Pratamawati, 2012).
Hasil penelitian di Kecamatan Kuta Utara tahun 2019 menunjukkan bahwa sebanyak 8
orang (32%) kepala lingkungan (ketua RT) menilai jumantik tidak bekerja dengan baik, dengan
alasan jumantik sering ijin, bekerja tidak tepat waktu dan jarang melapor kepada kepala
lingkungan. Sementara dari sisi jumantik, mereka merasa tidak bisa bekerja optimal karena
beberapa hal seperti penolakan dari masyarakat karena merasa tidak nyaman kamar mandinya
diperiksa, rumah yang dikunjungi kosong tanpa penghuni, dan ada anjing galak. Untuk
mengatasi masalah ini, semua jumantik perlu dibekali pengetahuan tentang teknik berkomunikasi
dan bernegosiasi kepada masyarakat (Sugianto, 2019). Penelitian di Provinsi Sumatera Utara juga
menyimpulkan bahwa kurangnya pelaksanaan pelatihan menjadi faktor penyebab lemahnya
program DBD. Pelatihan yang berkesinambungan akan meningkatkan kualitas SDM, akan
berdampak secara langsung terhadap kinerja petugas (Saragih et al., 2019).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular pada pasal 11 (1) menyatakan bahwa upaya pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan dalam Pengendalian Penyakit Menular dilakukan melalui
promosi kesehatan antara lain berupa penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya

142
Made Agus Sugianto Volume VI No. 1

pada pasal 27 (1) dinyatakan bahwa sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular meliputi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan yang
memiliki kompetensi yang sesuai dengan kegiatan pencegahan dan pengendalian (Kemenkes RI,
2014).
Selanjutnya, keberhasilan program pencegahan dan pengendalian DBD tidak terlepas
karena adanya dukungan sistem informasi yang terintegrasi dengan semua pemangku
kepentingan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem
Pemerintahan Berbasis Elektronik, pada Pasal 64 (4) huruf b menyatakan bahwa Integrasi
Layanan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik berbasis pada data terintegrasi untuk bagi
pakai data. Mengacu pada peraturan tersebut, Salah satu sistem informasi yang sudah
dikembangkan saat ini adalah pemetaan Penyakit DBD Berbasis sistem Informasi Geografis
(SIG). Sistem ini dapat memvisualisasikan persebaran penyakit dalam bentuk peta, yang meliputi
wilayah penyebaran penyakit serta informasi tingkat kerawanan demam berdarah setiap desa,
sehingga memudahkan instansi terkait memberikan dukungan penanganan secara efektif dan
lebih tepat sasaran (Veritawati et al., 2020). Demikian pula penggunaan sistem informasi
surveilans penyakit DBD di Kota Bandung. Aplikasi ini mampu mempercepat input, proses
sampai output laporan sehingga dapat mendeteksi secara dini Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD
(Ridwan et al., 2020). Selanjutnya penerapan sistem informasi surveilans demam berdarah dengue
yang dilakukan Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta, yang mana sistem ini membantu
dalam updating data penyakit DBD, sehingga membantu mempercepat proses pengambilan
keputusan (Ferdian Salim et al., 2021).
Masalah penyakit DBD bukan semata-mata tanggung jawab sektor kesehatan, melainkan
menjadi tanggung jawab semua komponen yang ada di masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan
keterlibatan semua pemangku kepentingan untuk ikut berpartisipasi menggerakkan masyarakat
untuk ikut berperan dalam pencegahan dan pengendalian DBD (Kinansi et al., 2018).

1.2. Gambaran Umum Kecamatan Kuta Utara


Sebagian besar wilayah Kecamatan Kuta Utara adalah daerah pemukiman/ perumahan
Penduduk yang merupakan wilayah penyangga pusat pariwisata di sekitar wilayah Kecamatan
Kuta Utara. Ketinggian wilayahnya adalah 100 cm dari permukaan laut, dimana Kecamatan Kuta
Utara termasuk dalam dataran rendah. Luas wilayah Kecamatan Kuta Utara adalah 33,86 km2
dengan pembagian masing-masing wilayah yaitu 3 Kelurahan dan 3 Desa, yakni: Kelurahan
Kerobokan Kelod, Kelurahan Kerobokan Kaja, Kelurahan Kerobokan, Desa Dalung, Desa
Tibubeneng dan Desa Canggu. Jarak tempuh rata-rata dari wilayah kecamatan ke Puskesmas
Induk adalah 5 km dengan waktu tempuh ± 10 menit dengan kendaraan bermotor.
Berdasarkan data demografi jumlah penduduk di Kecamatan Kuta Utara tahun 2021
sebanyak 95.189 jiwa dan jumlah KK sebanyak 17.552. Laju pertumbuhan penduduk sebesar -
0,83 dengan kepadatan penduduk sebesar 16.658,54 km2. Jumlah sarana pelayanan kesehatan
terdiri dari RS swasta 1 unit, Puskesmas Induk 1 unit, Puskesmas Pembantu 5 unit dan
Puskesmas Keliling 1 unit. Selain itu, ada 2 perguruan tinggi kesehatan yaitu Stikes Bina Husada
dan Fakultas Kesehatan Sains dan Teknologi Universitas Dhyana Pura Bali.

1.3. Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian DBD di Kecamatan Kuta Utara


Kegiatan utama program pencegahan dan pengendalian DBD adalah pemantauan jentik
berkala (PJB) yang dilakukan oleh juru pemantau jentik (Jumantik). Melalui Surat Keputusan
Bupati Badung Nomor 2242/02/HK/2016 tentang Penunjukan Petugas Juru Pemantau Jentik
di Kabupaten Badung, Sampai dengan saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten Badung telah

143
Bappenas Working Papers Artikel Volume VI No. 1

mengangkat sebanyak 118 orang jumantik yang ditempatkan di Kecamatan Kuta Utara. Dalam
Surat Keputusan Bupati Badung dijelaskan bahwa tugas tenaga jumantik meliputi; melakukan
pemantauan jentik minimal 30 rumah setiap hari, melakukan penyuluhan, menggerakan
masyarakat dalam pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), membantu pelaksanaan
Penyelidikan Epidemiologi (PE) dan membuat laporan kegiatan. Dengan semakin meningkatnya
kesadaran masyarakat tentang bahaya penyakit DBD, maka semakin besar pula tuntutan dan
harapan masyarakat terhadap kinerja jumantik dalam mencegah penularan DBD di
lingkungannya (Bupati Badung, 2016).
Standar Operasional Prosedur kegiatan jumantik diatur dalam buku Pedoman Jumantik
yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kecamatan, buku ini menguraikan tentang penyakit DBD,
pertolongan pertama untuk penderita tersangka DBD, pencegahan dan pengendalian DBD, serta
tugas dan tanggung jawab Jumantik. Selanjutnya, anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan
pencegahan dan pengendalian DBD bersumber dari APBD Kabupaten Badung, APBD Provinsi
Bali dan APBN. Anggaran ini dipergunakan untuk kegiatan pembinaan, honor Jumantik,
pengadaan perlengkapan jumantik, monitoring dan evaluasi kegiatan. Semua anggaran untuk
kegiatan pencegahan dan pengendalian DBD dikelola oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Badung
(Dinkes Kab.Badung, 2021a).
Sarana dan prasarana terkait program pencegahan dan pengendalian DBD meliputi; PSN
Kit, baju seragam jumantik, media KIE dan larvasida Abate. Dalam Buku Pedoman tentang
Petunjuk Teknis Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD oleh Jumantik, diatur tentang perlunya
dukungan berupa Pemberantasan Sarang Nyamuk Kit dan kelengkapan lainnya bagi kader
jumantik (Kemenkes RI, 2016).

1.4. Tujuan:
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan berikut ini;
a. Bagaimana karakteristik penderita DBD di Kecamatan Kuta Utara?
b. Bagaimana peta daerah risiko DBD di Kecamatan Kuta Utara?
c. Apa strategi terbaik pencegahan dan pengendalian DBD di Kecamatan Kuta Utara?

II. Metode Penelitian


Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain cross sectional study.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) serta wawancara
terstruktur menggunakan form penilaian kepada tenaga ahli. Sedangkan pengumpulan data
sekunder dengan cara penelusuran dokumen dan laporan kegiatan program DBD.
Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik penderita DBD, angka kesakitan DBD,
angka kematian DBD, angka bebas jentik dan angka kepadatan penduduk. Data yang sudah
terkumpul selanjutnya dilakukan proses pengolahan. Langkah awal proses pengolahan data
adalah memastikan kebenaran dan relevansi data. Selanjutnya data diatur sedemikian rupa agar
mengikuti urutan tertentu, setelah itu data diringkas untuk kemudian diolah sesuai
kebutuhannya.
Pengolahan data menggunakan aplikasi Excel untuk pembuatan grafik, dan untuk
merancang peta daerah risiko DBD, dipergunakan aplikasi ArcView GIS versi 3.3.
Proses analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities),
dan ancaman (threats) yang dikenal dengan analisis SWOT, dilaksanakan dalam suatu forum
focus group discussion (FGD). Kegiatan focus group discussion ini melibatkan 8 orang petugas

144
Made Agus Sugianto Volume VI No. 1

UPTD Puskesmas yang dianggap paham tentang program pencegahan dan pengendalian DBD,
yang mana setiap peserta FGD diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya terkait
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pelaksanaan pengendalian DBD. Hasil akhir dari
FGD ini adalah terpilihnya beberapa alternatif strategi pengendalian DBD di Kecamatan Kuta
Utara.
Pada Proses Hirarki Analitik, proses pemilihan alternatif strategi terbaik dilakukan
dengan cara memberikan skor yang melibatkan beberapa tenaga ahli. Tenaga ahli yang dipilih
pada kajian ini adalah sebanyak 7 orang, terdiri dari 2 orang tenaga kesehatan di UPT Puskesmas
Kuta Utara, 2 orang tenaga kesehatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Badung serta 3 orang
dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Dhyana Pura Bali. Hasil scoring
selanjutnya dikompilasi menggunakan Matriks Perbandingan Pairwise untuk mendapatkan
alternatif strategi terbaik.

III. Hasil dan Pembahasan


3.1. Karakteristik Penderita DBD di Kecamatan Kuta Utara
Karakteristik penderita DBD di Kecamatan Kuta Utara menurut jenis kelamin terlihat
pada Gambar 1.

37%

63%

Laki-laki Perempuan

Gambar 1. Proporsi Kasus DBD menurut Jenis Kelamin Tahun 2021


Sumber: UPTD Puskesmas Kuta Utara (2022)

Gambar 1. memperlihatkan proporsi penderita DBD di Kecamatan Kuta Utara didominasi


oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 63%, sedangkan perempuan yang menderita DBD
hanya 37%. Data ini sejalan dengan data penderita DBD di beberapa UPTD Puskesmas lainnya
di Kabupaten Badung seperti; UPTD Puskesmas Petang 1, Mengwi 1, Kuta 2 dan Kuta Selatan,
yang mana penderita DBD lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan
(Dinkes Kab.Badung, 2021).

145
Bappenas Working Papers Artikel Volume VI No. 1

7%

30%

43%

20%

Anak-anak Remaja Dewasa Lansia


(0-14) (15-19) (20-59) (60+ Thn)

Gambar 2. Proporsi Kasus DBD di Kecamatan Kuta Utara


menurut Kelompok Umur Tahun 2021
Sumber: UPTD Puskesmas Kuta Utara (2022)

Pada Gambar 2. terlihat bahwa penderita DBD terbanyak pada kelompok Dewasa (43%),
selanjutnya disusul kelompok umur anak-anak (30%) dan sisanya remaja (20%) dan lansia (7%).
Data ini sesuai dengan hasil penelitian di RS Bali Med Denpasar yang menyimpulkan bahwa
Infeksi dengue primer tertinggi terjadi pada kelompok umur dewasa (82,17%) (Saraswati and
Mulyantari, 2017).
Kelompok usia dewasa adalah kelompok yang memiliki tingkat produktivitas dan
mobilitas tinggi karena harus bekerja memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Mobilitas
yang tinggi mengakibatkan mudah tertular penyakit DBD, sehingga berpotensi menjadi awal
penyebaran penyakit dalam keluarga (Yanti et al., 2020).

120 109
Angka Kesakitan DBD

100
per 100.000 Pddk

80
61 58 54
60
40 31
15
20
-
Dalung Kerobokan Kerobokan Kerobokan Tibubeneng Canggu
Kaja Kelod

Desa/Kelurahan

Gambar 3. Angka Kesakitan DBD di Kecamatan Kuta Utara menurut


Desa/Kelurahan Tahun 2021
Sumber: UPTD Puskesmas Kuta Utara (2022)

Angka DBD di Kecamatan Kuta Utara Tahun 2021 terbanyak di Desa Dalung yaitu 109
per-100.000 penduduk, kemudian disusul Kelurahan Kerobokan sebanyak 61 per-100.000
penduduk, Kelurahan Kerobokan Kaja sebanyak 58 per-100.000 penduduk, Kelurahan Kerobokan
Kelod sebanyak 54 per-100.000 penduduk, Desa Tibubeneng sebanyak 31 per-100.000 penduduk
dan yang terkecil Desa Canggu sebanyak 15 per-100.000 penduduk.
146
Made Agus Sugianto Volume VI No. 1

Salah satu penyebab Kecamatan Kuta Utara memiliki angka kesakitan DBD yang tinggi
karena Kecamatan Kuta Utara berbatasan langsung dengan wilayah Kota Denpasar. Menurut
Waris, (2010), daerah perbatasan di Indonesia merupakan daerah yang rentan terhadap transmisi
berbagai penyakit menular, terutama penyakit bersumber binatang (DBD, malaria, dan filariasis).
Selain itu, tingginya angka DBD di Desa Dalung, karena faktor tingginya kepadatan
penduduk di desa tersebut. Hal ini seperti terlihat pada Tabel 2, yang mana Desa Dalung
merupakan desa dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Kuta Utara yaitu mencapai 5.227 km2.
Menurut Suyasa., dkk (2008), ada hubungan signifikan antara kepadatan penduduk dengan
keberadaan vektor DBD. Publikasi Kementerian Kesehatan RI (2016) juga menyatakan bahwa
faktor pertambahan penduduk dan peningkatan mobilitas penduduk menyebabkan penyebaran
virus DBD semakin mudah dan semakin meluas.

250
223
200 172
Angka Kesakita DBD
per 100.000 Pddk

150
100
105 99
50 55
0
2017 2018 2019 2020 2021
TAHUN

Gambar 4. Angka Kesakitan DBD di Kecamatan Kuta Utara Tahun 2017 - 2021
Sumber: UPTD Puskesmas Kuta Utara (2022)

Berdasarkan tren, terlihat bahwa angka kesakitan DBD di Kecamatan Kuta Utara pada
tahun 2018 menunjukkan tren peningkatan sebesar 124 poin (125%) dari 99 per-100.000
penduduk pada tahun 2018 menjadi 223 per-100.000 penduduk pada tahun 2020. Pada tahun 2021
angka DBD kembali mengalami tren penurunan sebanyak 168 poin (75%) menjadi 55 per 100.000
penduduk.
Tingginya angka kesakitan DBD pada tahun 2020 disebabkan karena tingginya angka
curah hujan pada tahun tersebut. Berdasarkan data BPS Kabupaten Badung, angka curah hujan
di Kabupaten Badung pada tahun 2020 mencapai angka 115,92 mm, sementara pada tahun 2019
angka curah hujan hanya 83,09 mm (BPS Kab. Badung, 2021).
Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Palembang yang
menyimpulkan bahwa curah hujan berkorelasi dengan kejadian DBD, korelasi paling kuat terjadi
dengan kasus DBD pada puncak curah hujan (Iriani, 2012). Demikian pula hasil penelitian di Kota
Surabaya yang menyimpulkan bahwa ada hubungan antara peningkatan suhu dengan
peningkatan kasus DBD (Fitriana and Yudhastuti, 2018).

3.2. Pemetaan Daerah Risiko DBD


Pemetaan daerah risiko DBD dilakukan untuk menggambarkan tingkat kerentanan
desa/kelurahan terhadap penyakit DBD. Atas dasar peta risiko penyakit DBD, upaya intervensi
pengendalian DBD bisa lebih difokuskan pada daerah rentan, sehingga penggunaan sumber daya
bisa lebih efisien.
Sebelum merancang peta, terlebih dahulu ditetapkan variabel rancangan peta yang

147
Bappenas Working Papers Artikel Volume VI No. 1

meliputi: angka bebas jentik, kepadatan penduduk, angka kesakitan DBD dan angka kematian
DBD. Variabel ini sebagai dasar dalam pemberian skor, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Definisi Variabel Rancangan Peta


Variabel Definisi Operasional Kategori Skor

Angka bebas Jentik Perbandingan rumah yang bebas 1 = >95%


jentik dengan seluruh rumah yang 2= 65%-95%
diperiksa (%)
3 = <65%

Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk pada satu 1 = < 2.000 per-km2


wilayah per-km2 2 = 2.000 – 5.000 per-km2
3 = >5.000 per-km2

Angka kesakitan DBD Perbandingan jumlah penderita 1 = <49 per-100 ribu penduduk
DBD dengan total penduduk (per- 2 = 49-100 per-100 ribu penduduk
100.000 penduduk)
3 = >100 per-100 ribu penduduk

Angka kematian DBD Perbandingan penderita DBD 1 = <1%


yang meninggal dengan seluruh 2 = 1%-3%
penderita yang ditangani (%)
3 = >3%

Daerah Risiko DBD Daerah yang memiliki risiko 1 = Skor <6 = Daerah risiko rendah
terhadap ancaman penyakit DBD 2 = Nilai 6 = Daerah risiko sedang
3 = Nilai >6 = Daerah risiko tinggi

Sumber: Hasil pengolahan data

Tabel 2. Hasil Perhitungan Nilai Skor berdasarkan Variabel


Angk Kepadata
Angka Tota
Kecamatan a Sko n Sko Sko Angka Sko Klasifika
No Kesakita l
Kuta Utara bebas r Pendudu r r Kematia r si
n Skor
jentik k n DBD

Risiko
1 Canggu 99,45 1
1.299 1 15 1 0 1 4 rendah

Risiko
2 Dalung 98,93 1
5.227 3 109 3 0 1 8 tinggi

Risiko
3 Kerobokan 99,01 1
2.120 2 61 2 0 1 6 sedang

Kerobokan Risiko
4 97,06 1
Kaja 3.918 2 58 2 0 1 6 sedang

Kerobokan Risiko
5 99,24 1
Kelod 2.114 2 54 2 16,67 2 7 tinggi

Tibubenen Risiko
6 99,03 1
g 1.981 1 31 1 0 1 4 rendah

Sumber: Hasil pengolahan data

148
Made Agus Sugianto Volume VI No. 1

Adapun peta daerah risiko DBD di Kecamatan Kuta utara seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta Daerah Risiko DBD di Kecamatan Kuta Utara


Sumber: Hasil pengolahan data

3.3. Analisis Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan


Threats (ancaman) (SWOT)
Penggunaan analisis SWOT dimaksudkan untuk mendapatkan beberapa alternatif
strategi. Dari sekian banyak alternatif terpilih, selanjutnya dilakukan penilaian agar diperoleh 1
(satu) alternatif terbaik untuk pencegahan dan pengendalian DBD. Hasil analisis SWOT dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Formula Strategi SWOT Pencegahan dan Pengendalian DBD


KEKUATAN: KELEMAHAN:
INTERNAL Tersedia SDM dengan jumlah Ada sebagian kader jumantik
cukup yang bekerja tidak disiplin
Tersedia Fasilitas Kesehatan Sistem informasi belum
yang memadai dimanfaatkan secara optimal
EKSTERNAL

PELUANG:
Ada dukungan anggaran dari
Pemkab Badung Meningkatkan Kapasitas SDM Meningkatkan Kapasitas SDM
Aparat desa/kelurahan Kesehatan Kesehatan
mendukung kegiatan PSN dan
penyuluhan kesehatan

TANTANGAN:
Masih ada masyarakat tidak
mendukung kegiatan PSN Meningkatkan Promosi dan Mengembangkan sistem
Koordinasi dengan perangkat Edukasi Kepada masyarakat informasi yang terintegrasi
daerah terkait belum berjalan
baik

Sumber: Hasil pengolahan data

149
Bappenas Working Papers Artikel Volume VI No. 1

3.4. Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP)


Setelah ditentukan opsi alternatif, maka selanjutnya dipilih alternatif terbaik dengan
menggunakan pendekatan Analisis Secara Hirarki. Pendekatan ini dipilih karena dapat membantu
menentukan pilihan terbaik yang melibatkan banyak kriteria berdasarkan intuisi dan persepsi
para ahli dengan tetap memperhatikan konsistensi. Proses pemilihan alternatif dilakukan dengan
menggunakan metode skoring, yaitu memberikan skor berdasarkan beberapa kriteria penilaian.
Strategi yang terpilih nantinya diharapkan dapat mengintervensi masalah secara efektif dan
efisiensi. Adapun kriteria yang digunakan sebagai berikut;
● Regulasi: ada regulasi yang berfungsi sebagai payung hukum.
● Efektifitas: opsi terpilih efektif menurunkan angka kesakitan DBD.
● Efisiensi: efisiensi dalam penggunaan sumber daya.
● Teknologi: tersedia teknologi yang mendukung implementasi strategi.
Adapun konsep pendekatan analisis secara hirarki seperti terlihat pada Gambar 6.

Pencegahan dan Pengendalian DBD


GOAL
di Kecamatan Kuta Utara

Level 1 Regulasi Efektifitas Efisiensi Teknologi


Kriteria

Level 2 Meningkatkan Mengembangkan Sistem Meningkatkan


Promosi dan Informasi terintegrasi Kapasitas SDM
Alternatif
Edukasi

Gambar 6. Skema Hirarki Model Proses Hirarki Analitik

Adapun hasil penilaian tenaga ahli tersebut kemudian dikompilasi ke dalam Matriks
Perbandingan Pairwise.

150
Made Agus Sugianto Volume VI No. 1

Tabel 4. Matriks Alternatif Strategi Pencegahan dan Pengendalian DBD


Kriteria Regulasi Efektifitas Efisien Teknologi Jumlah
Alternatif (%) (%) (%) (%) (%)

Mengembangkan sistem
14 28 13 69 124
informasi terintegrasi

Meningkatkan Kapasitas
43 14 17 23 97
SDM

Meningkatkan Promosi
43 58 69 8 178
dan Edukasi Kesehatan

Sumber: Hasil pengolahan data

Tabel 5. Matriks Kriteria dan Alternatif Strategi Terbaik

Kriteria Bobot Alternatif Strategi (%) Rank

Mengembangkan sistem informasi


Regulasi 0,25 31 II
terintegrasi

Efektifitas 0,25 Meningkatkan Kapasitas SDM 24 III

Meningkatkan Promosi dan Edukasi


Efisien 0,25 45 I
Kesehatan

Teknologi 0,25 Total 100


Sumber: Hasil pengolahan data

Dari Tabel 5. terlihat hasil rangking strategi pencegahan dan pengendalian DBD di
Kecamatan Kuta Utara, dengan urutan sebagai berikut:
- Prioritas I: Meningkatkan Promosi dan Edukasi Kesehatan
- Prioritas II: Mengembangan Sistem Informasi Terintegrasi
- Prioritas III: Meningkatkan Kapasitas SDM

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi


4.1. Kesimpulan
a. Karakteristik penderita DBD di Kecamatan Kuta Utara didominasi oleh jenis kelamin
laki-laki (63%) dengan kelompok umur terbanyak kelompok Dewasa (43%).
b. Hasil pemetaan memperlihatkan bahwa Desa Canggu dan Desa Tibu Beneng termasuk
kategori Daerah Risiko rendah, Kelurahan Kerobokan dan Kelurahan Kerobokan Kaja
termasuk dalam Daerah Risiko Sedang, sedangkan Desa Dalung dan Kelurahan
Kerobokan Kelod termasuk kategori Daerah Risiko Tinggi.
c. Hasil scoring strategi pencegahan dan pengendalian DBD menggunakan metode proses

151
Bappenas Working Papers Artikel Volume VI No. 1

hirarki analitik diperoleh hasil, prioritas pertama adalah meningkatkan Promosi dan
Edukasi Kesehatan, prioritas kedua adalah mengembangan Sistem Informasi
Terintegrasi dan prioritas ketiga adalah meningkatkan Kapasitas SDM.

4.2. Rekomendasi
1). UPTD Puskesmas Kuta Utara:
Melakukan promosi dan edukasi secara massif kepada masyarakat baik secara langsung
maupun tak langsung dengan memanfaatkan berbagai media yang ada termasuk media
sosial, yang difokuskan pada daerah resiko sedang dan resiko tinggi DBD, dengan
sasaran kelompok umur dewasa.
2). Kecamatan Kuta Utara:
Menggerakkan semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan
dan pengendalian DBD, termasuk melibatkan perguruan tinggi kesehatan yang ada di
wilayah Kecamatan Kuta Utara
3). Dinas Kesehatan Kabupaten Badung:
Melakukan advokasi kepada Bupati Badung agar mendapat dukungan anggaran dan
kebijakan pencegahan dan pengendalian DBD, serta melaksanakan pembinaan dan
pengawasan secara teratur kepada UPTD Puskesmas Kuta Utara.
4). BAPPEDA Kabupaten Badung:
Mengalokasikan anggaran untuk upaya promotif dan preventif penyakit DBD,
pengadaan material (abate, masker) dan sarana prasarana penunjang untuk jumantik.
5). Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Kabupaten Badung
Melaksanakan pelatihan terkait komunikasi dan negosiasi kepada jumantik serta
pelatihan terkait pengelolaan data berbasis aplikasi kepada pengelola program DBD
UPTD Puskesmas.
6). Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Badung:
Mengembangkan aplikasi sistem informasi surveilans penyakit yang di update setiap 3
bulan dan bisa di akses setiap saat oleh semua pemangku kepentingan.

Daftar Pustaka

BPS Kab. Badung (2021) ‘Angka Perbandingan Keadaan Curah Hujan dengan Angka Normal
Setiap Bulan di Kabupaten Badung (mm) Tahun 2018-2020’. Mangupura: Badan Pusat
Statistik Kabupaten Badung, p. 5.
Bupati Badung (2016) ‘Keputusan Bupati Badung tentang Penunjukan Petugas Juru Pemantau
Jentik di Kabupaten Badung’. Mangupura: Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, p. 3.
Dinkes Kab.Badung (2021a) ‘Laporan Kegiatan Jumantik Di Kabupaten Badung Tahun 2021’.
Mangupura: Dinas Kesehatan Kabupaten Badung.
Dinkes Kab.Badung (2021b) ‘Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Badung Tahun 2021’.
Mangupura: Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, p. 125.
Dinkes Provinsi Bali (2022) ‘Profil Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2021’. Denpasar: Dinas

152
Made Agus Sugianto Volume VI No. 1

Kesehatan Provinsi Bali, p. 120.


Ferdian Salim, M. et al. (2021) ‘Analisis Kesiapan Penerapan Sistem Informasi Surveilans Demam
Berdarah Dengue Readiness Assessment of Implementation of Dengue Surveillance
Information Systems’, Journal health and Science; Gorontalo journal health & Science
Community, 5(October 2020), pp. 313–329.
Fitriana, B. R. and Yudhastuti, R. (2018) ‘Hubungan faktor suhu dengan kasus demam berdarah
dengue (DBD) di Kecamatan Sawahan Surabaya’, The Indonesian Journal of Public
Health, 13(1), pp. 83–94.
Halid, M. (2022) ‘Edukasi Dampak Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam Meningkatkan
Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kelurahan Tanjung Karang’, Jurnal Pengabdian
kepada Masyarakat UBJ, 5(2), pp. 115–124.
Iriani, Y. (2012) ‘Association between Rainfall and Increased Cases of Child Dengue Hemorrhagic
Fever in Palembang City’, Sari Pediatricians, 13(6), p. 26.
Kemenkes RI (2014) ‘Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Penyakit Menular’. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI (2016) ‘Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah
Dengue (PSN DBD) Oleh Juru pemantau Jentik (Jumantik)’. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI, (2016) ‘Situasi Demam Berdarah Dengue di Indonesia’. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, p. 5.
Kinansi, R. R., Sastuti, T. and Sholichah, Z. (2018) ‘Pengendalian jentik Aedes sp. melalui
pendekatan keluarga di Provinsi Papua’, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
28(2), pp. 113–122.
Pascawati, N. A. et al. (2022) ‘Faktor yang Berhubungan dengan Pola Pengelompokkan Kasus
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Temanggung, Jawa Tengah’, BALABA: JURNAL
LITBANG PENGENDALIAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG
BANJARNEGARA, pp. 65–78.
Pratamawati, D. A. (2012) ‘Peran juru pantau jentik dalam sistem kewaspadaan dini demam
berdarah dengue di Indonesia’, Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National
Public Health Journal), 6(6), pp. 243–248.
Ridwan, W. et al. (2020) ‘Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Demam Development of
Health Information System for Early Detection of Dengue Haemorrhagic Fever in
Bandung’, Spiralkel, 12(1), pp. 1–14.
Rosi, M. F. et al. (2020) ‘Hubungan Antara Perilaku Hidup Bersih Masyarakat dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti di Desa Sanur Kaja Kota Denpasar’. Jurusan Kesehatan
Lingkungan.
Saragih, I. D. et al. (2019) ‘Analisis Indikator Masukan Program Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue Di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara’, Contagion: Scientific
Periodical Journal of Public Health and Coastal Health, 1(01). doi:
10.30829/contagion.v1i01.4821.
Saraswati, L. P. C. and Mulyantari, N. K. (2017) ‘Prevalensi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Primer Dan Sekunder Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Serologis Di Rumah Sakit Balimed
Denpasar’, E-Journal Medika, 6(8), pp. 1–6.

153
Bappenas Working Papers Artikel Volume VI No. 1

Sugianto, A. (2019) ‘Efektivitas Kinerja Jumantik Dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue
Di Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung’. Mangupura: Badan Litbang Kabupaten
Badung.
Suyasa, I. N. G., Putra, N. A. and Aryanta, I. W. R. (2008) ‘Hubungan faktor lingkungan dan
perilaku masyarakat dengan keberadaan vektor demam berdarah dengue (DBD) di wilayah
kerja Puskesmas I Denpasar Selatan’, Journal of Environmental Science, 3(1), p. 32.
Veritawati, I., Nova, S. and Mastra, R. (2020) ‘Sistem informasi pemetaan penyakit demam
berdarah berbasis informasi geografis’, Journal of Informatics and Advanced Computing,
1(1), p. 2. Available at:
http://journal.univpancasila.ac.id/index.php/jiac/article/view/1401.
Waris, L. (2010) ‘Studi Epidemiologi Penyakit Bersumber Binatang (Malaria, Filariasis &
Kecacingan) dan Kebijakan Pengendaliannya di Daerah Lintas Batas Indonesia-Malaysia
(Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur) Tahun 2010’. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang ….
Yanti, E., Fridalni, N. and Harmawati (2020) ‘Mencegah penularan virus corona’, Journal
Abdimas Saintika, 2(1), pp. 33–39. Available at: https://jurnal.syedzasaintika.ac.id/
index.php/abdimas/article/view/553/pdf.

154

Anda mungkin juga menyukai