Stovia
Stovia
Stovia
Awalnya pasien kesehatan jiwa di wilayah kolonial Belanda masih diserahkan kepada rumah sakit militer.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels misalnya, semua urusan
pengobatan termasuk kesehatan mental menjadi kewenangan rumah sakit militer. Awalnya mayoritas
pasien adalah mantan prajurit Belanda yang mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). ada
1848, rumah sakit tentara di Semarang membangun bangsal khusus untuk penderita gangguan jiwa
dengan menggunakan metode ilmiah dalam perawatannya.
Secara hukum, Resolusi 21 Mei 1831 No.1 Pasal 1 dianggap sebagai tonggak awal munculnya layanan
kesehatan jiwa di Hindia Belanda. Dalam resolusi disebutkan bahwa setiap rumah sakit besar di
Weltevreden (Jakarta), Semarang, dan Surabaya akan disediakan kamar untuk merawat penderita
gangguan jiwa. Pemerintah Hindia Belanda juga mengesahkan peraturan resmi (Staatsblad van
Nederlandsch Indie) No. 54 tentang “Krankzinnigenwezen Reglementen (Peraturan Tentang Pengidap
Sakit Jiwa)”. Peraturan tersebut membagi bangsal perawatan kesehatan jiwa untuk pasien Eropa dan
bumiputra.
Di Batavia, terdapat sebuah rumah sakit yang dikelola komunitas Tionghoa yang juga melayani
perawatan penderita gangguan jiwa. Meskipun dimiliki oleh komunitas Tionghoa, namun rumah sakit
tersebut juga melayani bumiputra. Rumah sakit tersebut hanya dicatat dalam sejarah sebagai “Chinezeen
Hospitaal (Rumah Sakit Tionghoa)” dan sudah ada dalam gambar yang dibuat pada masa VOC.
Lokasinya diperkirakan berada di area Pecinan Glodok.
Pada 1862, pemerintah kolonial memberikan tugas kepada dokter FH Bauer dan WM Smit untuk meneliti
kondisi dan jumlah penderita gangguan jiwa di Hindia Belanda. Berdasarkan penelitian tersebut,
ditemukan sekitar 550 orang dengan gangguan kesehatan jiwa dengan
kondisi memprihatinkan seperti dipasung, ditelantarkan, atau dirawat di rumah sakit militer yang tidak
dikhususkan untuk perawatan jiwa. Oleh karena itu, perlu didirikan sebuah institusi kesehatan jiwa yang
manusiawi untuk menangani penderita gangguan jiwa. Sehingga pada 1881 pemerintah membuka layanan
kesehatan jiwa pertama dengan nama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg (sekarang Rumah Sakit
Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi).
Apa itu pasung? Pasung adalah sebuah alat, biasanya terdiri dari sepasang belahan kayu yang
diberi lubang dan kemudian ditangkupkan/dikunci. Tangan atau kaki penderita gangguan jiwa
dimasukkan ke lubang tersebut supaya mereka tidak bisa bergerak. Karena keterbatasan
edukasi dan pelayanan kesehatan jiwa, masyarakat dahulu menggunakan cara ini untuk
menahan penderita gangguan jiwa agar tidak membahayakan diri mereka sendiri maupun
sekitarnya, akan tetapi cara seperti ini tidak manusiawi dan sudah semestinya ditinggalkan
Meskipun pada awalnya rumah sakit tersebut hanya diperuntukkan bagi orang Eropa, namun sejak tulisan
J.W Hoffman yang berjudul “Krankzinnigenverpleging in Nederlandsch Indie (Perawatan Penyakit
Jiwa di Hindia Belanda)” terbit, rumah sakit ini juga menerima pasien bumiputra. Bagi pemerintah Hindia
Belanda, alasan bumiputra diperbolehkan menjadi pasien rumah sakit jiwa adalah untuk menunjukkan
bahwa yang bisa terkena gangguan jiwa bukan hanya orang Belanda, karena mereka menganggap
penyakit jiwa merupakan aib yang mengganggu pemerintah pada saat itu.
Kemunculan akses terhadap pelayanan kesehatan jiwa membuat masyarakat bumiputra menjadi semakin
sadar akan isu tersebut, mereka tidak lagi menganggap bahwa “kelinglungan” dari kerabat mereka
disebabkan oleh unsur-unsur mistik yang mereka percayai. Selain itu, pemerintah juga menampung
bumiputra penderita gangguan jiwa yang dinilai membahayakan masyarakat tanpa biaya. Dalam hal ini,
kebanyakan pasien bumiputra masuk rumah sakit jiwa melalui jalur pengadilan dan penjara, karena
dinilai mengganggu tatanan sosial masyarakat.
Psikiater Belanda di Hindia Belanda seperti van Loon dan van Wulfften Palthe menjelaskan sejumlah
penyakit mental khusus di Asia Tenggara yang ditetapkan sebagai sindrom terikat
budaya, antara lain amok, latah, dan koro. “Amok” adalah sebutan yang diberikan untuk ledakan
kekerasan tiba-tiba yang umumnya terjadi setelah rasa malu yang teramat sangat, sehingga individu
tersebut menyerang semua orang dan segala sesuatu yang terlihat. Serangan dapat berlangsung beberapa
jam, setelah itu terjadi amnesia. Sangat sedikit kasus amok yang dirawat di rumah sakit jiwa karena
individu dengan gangguan ini seringkali dibunuh untuk mencegah pertumpahan darah. Menurut dr. PKM
Travaglino, psikiatris yang bertugas di RSJ Lawang, pasien “amok” memiliki ciri-ciri gejala skizofrenia.
“Latah” terjadi kebanyakan pada wanita berusia lebih tua, yang setelah kaget, meniru gerakan orang-
orang di sekitarnya. “Koro” adalah ketakutan tidak wajar bahwa penis akan menciut dan menghilang,
biasanya berkaitan dengan harga diri atau kehormatan penderita.
Bila dirawat, pasien amok akan menjalani perawatan kejiwaan. Jika dianggap sudah membaik, mereka
akan ditempatkan pada bagian pertanian milik rumah sakit. Mereka baru dibebaskan jika dianggap tidak
membahayakan lingkungan, sesuai hukum tentang kejiwaan yang ditetapkan pada 1879. Namun hal ini
akhirnya digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai senjata untuk mengurung orang-orang dengan
alasan politik. Kebijakan ini dijadikan alat represif pemerintah untuk menangkapi orang-orang yang
membelot dengan alasan “amok”.
Pemerintah menjadikan biaya dari pasien Eropa, priyayi (bangsawan bumiputra), dan Tionghoa untuk
mensubsidi seluruh operasional rumah sakit jiwa. Semua pasien ditempatkan pada rumah sakit yang sama
meskipun bangsal untuk pasien yang dirawat gratis hanya terbuat dari bambu. Selain itu, di kota-kota
besar juga semakin banyak klinik psikiatris, yang mempermudah akses masyarakat. Jika masyarakat
penduduk kota besar sudah semakin sadar akan kesehatan jiwa karena mudahnya layanan akses
kesehatan, mereka yang hidup di desa dan jauh dari layanan kesehatan jiwa masih menggunakan metode
pasung.
Rumah sakit jiwa pertama yang didirikan oleh pemerintah kolonial terletak di dekat Buitenzorg (Bogor)
dan mulai menerima pasien pada tahun 1882. Lokasi yang dipilih adalah lahan partikelir seluas 117
hektar yang digunakan sebagai lahan pertanian, peternakan, dan perikanan serta sarana rekreasi sebagai
bagian dari upaya penyembuhan pasien. Dari rencana awal
pembangunan rumah sakit jiwa berkapasitas 400 kemudian berkembang menjadi 650. Terdapat tiga
dokter yang bertugas saat itu, antara lain dr. Bauer , dr. J.W. Hofman dan dibantu seorang Dokter Djawa
yaitu dr. Soemeroe. Tenaga yang dipekerjakan terdiri dari 35 orang Eropa dan 95 bumiputera dan
peranakan Tionghoa. Pada tahap awal rumah sakit jiwa ini hanya menerima pasien laki-laki. Bangsal
untuk perempuan baru dibangun pada 1895. Saat ini rumah sakit jiwa Bogor dikenal dengan nama Rumah
Sakit Jiwa dr. Marzoeki Mahdi.
Rumah sakit jiwa kedua dibuka di dekat Lawang pada tahun 1902 dengan kapasitas 500 tempat tidur.
Kapasitas terus ditingkatkan dengan pembangunan beberapa paviliun hingga mampu menampung 1000
pasien. Atas usulan Dr. D.J. Hulshoff Pol, didirikan beberapa bangunan tambahan (annex) di daerah Suko
dan Sempu yang berada di lereng pegunungan Tengger. Oleh karena itu, kapasitas pasien yang dapat
ditampung pada rumah sakit jiwa Lawang bertambah menjadi 4200. Rumah sakit jiwa Lawang saat ini
dikenal dengan nama Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Dua rumah sakit jiwa tambahan didirikan di dekat Magelang dan dekat Sabang, di sebuah pulau di utara
Aceh. Keduanya dibuka pada tahun 1923. Rumah sakit jiwa besar ini merawat pasien dari latar belakang
Eropa dan bumiputra. Pasien bumiputra hanya dirawat atas indikasi sosial: yang berarti telah mengganggu
masyarakat, melakukan kekerasan, atau mengganggu ketertiban sosial. Untuk pasien Eropa, perawatan
yang tersedia termasuk mandi terus menerus, perawatan di tempat tidur, dan perawatan udara terbuka.
Untuk pasien bumiputra, digunakan metode terapi okupasi yaitu pekerjaan (biasanya di pertanian) untuk
pasien laki-laki. Pengekangan fisik, pengekangan kimia, dan isolasi jarang digunakan.
Dua jenis lembaga lain didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu klinik perawatan akut dan
koloni pertanian. Pada 1920-an, beberapa klinik (doorgangshuizen) untuk pengobatan kasus akut
hingga enam bulan didirikan di sejumlah kota. Jika perawatan di fasilitas ini terbukti tidak berhasil,
pasien dipindahkan ke rumah sakit jiwa yang lebih besar. Klinik semacam ini dibuka di Surakarta,
Batavia (Jakarta), Palembang, Padang, Medan, Banjarmasin, Bangli (Bali), Makassar, dan Manado.
Klinik-klinik tersebut dijalankan oleh perawat (mantri) dan dokter bumiputra. Adapun koloni pertanian
telah menjadi bagian dari rumah sakit jiwa sebagai sarana terapi okupasi, meskipun ada juga koloni
pertanian yang berupa satu institusi terpisah. Koloni pertanian tersebut didirikan pada tahun 1930-an
untuk pasien jangka panjang di Lenteng Agung, dekat Batavia.
Fasilitas rumah sakit jiwa di Hindia Belanda seringkali tidak memadai, sehingga menyebabkan kepadatan
pasien, perawatan yang buruk, penelantaran, dan penempatan individu dengan gangguan jiwa di penjara.
Salah satu psikiatris lulusan STOVIA, dr. Latumeten, menyaksikan bahwa meskipun kebanyakan
individu bumiputra dengan penyakit mental ditoleransi dalam komunitas mereka, beberapa ditempatkan
di bangsal khusus yang terbuat dari bahan kayu atau bambu. Selama kuartal kedua abad kedua puluh,
sejumlah bangsal psikiatri di rumah sakit umum dibuka, dimana sebagian besar diperuntukkan bagi
pasien Eropa.
Di Sekolah Kedokteran Bumiputra atau STOVIA, Ilmu Psikiatri diajarkan berdampingan dengan Ilmu
Syaraf (Neurologi). Kelas praktek dibuka sejak tahun 1921 dengan diampu oleh seorang ahli neurologi
kejiwaan. Sejak tahun 1923 siswa STOVIA tahun ke-III dan ke-IV ditempatkan untuk magang di poli
syaraf selama 1-2 bulan. STOVIA juga menambahkan kurikulum
mengenai teori psikiatris yang diajarkan pada siswa tahun ke-V dan ke-VI masing-masing sebanyak 3 jam
pelajaran.
Rumah Sakit Pusat (CBZ - Centraale Burgerlijke Ziekeninrichting, sekarang RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo) menjadi tempat magang siswa STOVIA dalam mengenali dan mengobservasi pasien
penderita penyakit jiwa. Pada dasarnya mereka tidak pernah kekurangan pasien, terlebih setelah krisis
ekonomi tahun 1923-1924 yang mengakibatkan jumlah pasien terkait kesehatan jiwa meningkat. Meski
demikian, kendala yang dialami oleh Rumah Sakit Pusat dan siswa STOVIA adalah begitu jarangnya
ditemui kasus akut untuk dipelajari. Bagaimanapun, setidaknya pada tahun 1926 telah jamak dirasakan
pentingnya pengembangan pendidikan terkait ilmu syaraf dan ilmu jiwa, bersamaan dengan beranjaknya
STOVIA menjadi institusi pendidikan tinggi setingkat universitas.
Lahir pada 7 Juli 1880 di Amurang, Sulawesi Utara, Roland Tumbelaka tercatat memulai pendidikan
kedokterannya pada 4 Mei 1895 dan berhasil lulus pada 6 Desember 1900. Penempatan tugas dinas
Roland Tumbelaka yang pertama adalah di Manado, selanjutnya dipindahkan ke Tahuna, Sangihe Talaud
dan terakhir di Gorontalo. Ketika di Gorontalo inilah, Roland berpikiran untuk melanjutkan studinya ke
Universiteit van Amsterdam, Belanda. Tanpa
menyia-nyiakan waktu, pada 10 September 1908 Roland Tumbelaka berangkat ke Amsterdam dan
berhasil menyandang gelar Arts pada 1909. Roland Tumbelaka kembali melanjutkan studi untuk meraih
gelar doktor bidang psikiatri di Faculteit der Geneeskunde Universiteit Utrecht. Ia lulus dengan disertasi
mengenai penyakit Realich-Alzheimer.
Saat di Belanda, Roland menikah dengan Marie Alberta Ditmars. Mereka dikaruniai dua anak yang
bernama Johanna Maria Tumbelaka dan Simon Joseph Tumbelaka. Selanjutnya, Roland Tumbelaka
pulang ke tanah air pada 1920 dan langsung diangkat sebagai dokter pemerintah dengan penempatan di
Gouvernement Krankzinnigengesticht (rumah sakit jiwa pemerintah) di Lawang, Malang. Ia dipercaya
menjabat sebagai direktur rumah sakit sementara pada 1921 sampai 1922 ketika direkturnya, dr.
Travaglino cuti pulang ke Belanda. Tidak lama berselang, Roland beralih menjadi dokter partikelir yang
menjalankan praktik medis spesialis psikiatri di di Jalan Kramat nomor 49 Menteng, lalu di Kramat 128
Weltevreden.
Selain aktif di bidang kedokteran, Roland juga mengambil peran dalam bidang pergerakan dengan
mendirikan Persatoean Minahasa bersama Dr. G.S.S.J. Ratulangi. Pada 1925 Roland juga sempat menjadi
direktur rumah sakit jiwa Magelang sebelum akhirnya diangkat menjadi Inspecteur van het
Krankzinnigenwezen Hindia Belanda. Setelah hampir delapan tahun memimpin Departemen
Krankzinnigen (Penyakit Jiwa) dari Dienst der Volksgezondheid (Dinas Kesehatan Rakyat), pada
November 1937 Roland Tumbelaka mengajukan pensiun.
Nasib naas menimpa Dr. Roland Tumbelaka di usia senjanya yang ke-65. Ketika kembali ke Indonesia
dari Belanda, ia ditangkap di Buitenzorg (sekarang Bogor) oleh para ekstremis, kemudian dibunuh dan
dikuburkan di bawah rumpun pisang pada sebuah lahan kebun karet di Dramaga. Selain bukti fisik,
jasadnya dikenali dari pakaiannya serta tanda inisial “RT” yang diketemukan. Setelah itu pemerintah
Indonesia membentuk “Komite Pemakaman Djenasah dr. Roland Tumbelaka” untuk melakukan
pemakaman kembali dengan kehormatan militer karena Roland berpangkat letnan kolonel. Tanggal 28
November 1948 jenazah Roland Tumbelaka akhirnya dimakamkan di tanah kelahirannya di Bitung,
Amurang.
Prof. Dr. J.A. Latumeten merupakan seorang ahli jiwa generasi pertama. Meskipun tidak banyak
informasi mengenai masa kecilnya, dari catatan STOVIA diketahui bahwa Jonas Andreas Latumeten lahir
di Ambon pada tahun 1888. Ia masuk STOVIA pada 10 Januari 1903 dan lulus 19 Agustus 1911. Setelah
lulus dari STOVIA, ia bekerja di Rumah Sakit Jiwa Lawang di Malang dan menjadi asisten dr. PHM
Travaglino.
Pada tanggal 2 November 1919, diadakan pertemuan besar yang menghadirkan beragam organisasi
nasionalis, seperti Boedi Oetomo, Ambonsch Studiefonds, dan Sarekat Hindia. Dalam pertemuan itu,
Latumeten ikut berpidato tentang nasib dokter bumiputra di tengah sikap rasis pemerintah kolonial. Selain
mengajak para dokter bumiputra untuk melakukan pemogokan di dinas masing-masing, Ia juga
mencemooh kebijakan pemerintah yang melarang dokter bumiputra membuka praktik meskipun sudah
mengundurkan diri. “Kalau mereka melarang, anggap saja kami dukun. Tak perlu ada izin,” katanya,
disambut tepuk tangan para peserta pertemuan.
Pada 1922, Latumeten berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya dan bergabung dengan Asosiasi
Dokter Hindia cabang Belanda, hingga menjadi ketua pada 1924. Saat menjadi ketua Asosiasi Dokter
Hindia, Latumeten pernah mengeluarkan tulisan yang dimuat dalam surat kabar Het Vaderland tanggal 23
Februari 1924, berisi sanggahan terhadap pendapat psikiatris Belanda F.H. van Loon (dosennya sewaktu
di STOVIA) mengenai kondisi “amok”. Van Loon menyebutkan bahwa “amok” terjadi dikarenakan sifat
manusia di Hindia yang masih primitif dan tidak bisa menahan emosi. Pendapat tersebut oleh Latumeten
disanggah melalui tulisan tandingan karena penilaian van Loon tidak objektif dan terpengaruh prasangka
rasial. Latumeten menuliskan jika bumiputra yang berkelahi mereka sebut sebagai “amok”, namun jika
orang Belanda mereka sebut sebagai “ekspresi budaya”. Latumeten menerima gelar kedokteran Belanda
pada tahun yang sama. Setahun berikutnya ia meraih gelar doktoral dalam bidang medis.
Setelah kembali ke Hindia, Latumeten tak banyak aktif di pergerakan secara politik. Ia lebih fokus pada
pengobatan, khususnya untuk bumiputra. Pada 1927 ia menjadi pengawas rumah sakit jiwa di Sabang.
Tahun 1936, ia kembali bertugas di Rumah Sakit Jiwa Lawang hingga pendudukan Jepang. Namun, pada
Mei 1945 Latumeten ikut ditangkap oleh Kenpeitai dan dijebloskan ke penjara.
Setelah Indonesia merdeka, pada awal tahun 1946 Latumeten diangkat menjadi profesor psikiatri di
Sekolah Tinggi Kedokteran yang merupakan cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di
usia senjanya, ia masih dipercaya menjadi inspektur rumah sakit jiwa di Kementerian Kesehatan
Indonesia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung bersama Dr. Radjiman Wediodiningrat. Latumeten
meninggal dunia pada 30 Mei 1948 dalam usia 60 tahun.
Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang merupakan tokoh kedokteran jiwa yang namanya diabadikan menjadi nama
rumah sakit jiwa di Manado, Sulawesi Utara. Ia lahir di Rembokan, Minahasa pada tanggal 2 Oktober
1893. Ratumbuysang merupakan salah satu sepupu dari pahlawan nasional Dr. G.S.S.J. Ratulangi.
Pada tahun 1918, sebagai siswa tingkat akhir semestinya ia menempuh ujian dokter pada bulan
November, akan tetapi pada bulan September di Batavia terjadi wabah influenza. Siswa STOVIA
terutama yang tingkat akhir dikerahkan untuk memberantas penyakit itu. Ratumbuysang ikut terjun
langsung dalam pengerahan itu hingga jatuh sakit. Karena penyakit yang dideritanya itu merupakan
akibat pelaksanaan tugas yang diberikan oleh STOVIA, maka Ratumbuysang dinyatakan lulus tanpa
melakukan ujian. Akan tetapi Kepala Inspeksi Kesehatan tidak mengakui ijazahnya dan mengharuskan ia
sekolah kembali. Akhirnya ia berhasil lulus dari STOVIA dengan gelar Indische Arts pada tahun 1921
dan kemudian berdinas di banyak tempat seperti Semarang, Lamongan, Palembang, Jambi, Cianjur,
Tasikmalaya, dan Banda Neira.
Selain menjadi dokter, Victor Ratumbuysang juga dikenal sebagai penentang kolonialisme. Ia pernah
menjalani straf overplaatsing (perpindahan tugas sebagai hukuman) sebanyak tiga kali karena dinilai
membangkang dari pemerintah kolonial. Saat itu, ia ditempatkan di wilayah Tahuna, Kayu Agung dan
Amuntai. Saat di Amuntai, ia “diselamatkan” oleh dr. Sam Ratulangi dan Front Nasional hingga akhirnya
dipindahkan ke RSJ Lawang. Selain aktif dalam kedokteran, Victor Ratumbuysang juga aktif dalam
bidang pendidikan. Ia termasuk pendiri dari Universitas Sam Ratulangi dan Institut Perguruan Tinggi atau
IKIP di Sulawesi Utara. Dirinya juga pernah tercatat sebagai salah seorang pengajar bidang psikiatri di
NIAS (Sekolah Kedokteran Hindia Belanda) Surabaya.
Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat
Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat lahir 21 April 1879 di Desa Mlati, Yogyakarta. Ia mengenyam
pendidikan kedokteran di Sekolah Dokter Djawa (cikal bakal STOVIA) dan lulus pada 22 Desember
1898. Radjiman pertama kali bertugas di Rumah Sakit Weltevreden yang menjadi sebuah kehormatan
bagi Radjiman karena tidak semua lulusan Dokter Djawa dapat diterima di sana. Selain itu, saat berdinas
di rumah sakit tersebut Radjiman juga dipercaya
untuk memegang jabatan yang paling sensitif yaitu Chirurgie (bedah). Radjiman juga sempat mendapat
tugas ke beberapa daerah lain yaitu Banyumas, Purworejo, Semarang, dan Madiun.
Pada saat di Madiun, Radjiman juga mendapatkan tawaran untuk menjadi assisten leraar (asisten
pengajar) di STOVIA. Pada 1902, Radjiman menerima tawaran tersebut dan meninggalkan Madiun.
Pekerjaan sebagai assisten leraar ini membuktikan bahwa penguasaan bahasa Belanda Radjiman benar-
benar meyakinkan. Sambil menjadi asisten pengajar, Radjiman meneruskan sekolahnya untuk meraih
gelar Indisch Arts. Berkat ketekunannya, Radjiman berhasil lulus pada tanggal 5 November 1904.
Radjiman kemudian mendapat tugas sebagai dokter Rumah Sakit Jiwa di Lawang. Disanalah Radjiman
mulai mendalami ilmu jiwa. Bahkan di waktu luangnya, Radjiman gemar menyepi hingga membuat
penyepian di dekat rumah sakit. Pada saat itu Radjiman juga mengembangkan pendekatan terapi alternatif
kejiwaan yang disebut sebagai “Rassen Psychologie”.
Pada tahun 1906 Radjiman meminta pensiun dari pemerintah Hindia Belanda untuk dapat mengabdi di
Kraton Surakarta. Radjiman melakukan metode pengobatan kombinasi antara ilmu kedokteran dan
“kebatinan” yang membuat pasien merasa kagum. Lambat laun Radjiman mendapat kepercayaan sebagai
dokter pribadi raja Surakarta Hadiningrat. Berkat pengabdian dan jasanya yang besar dalam pelayanan
kesehatan di Keraton Surakarta, Sunan Pakubuwono X memberikan gelar kehormatan “Kanjeng Raden
Tumenggung” (KRT) dengan nama Wedyodiningrat.
Dokter Radjiman melanjutkan belajar di Universitas Amsterdam-Nederland pada tahun 1910 dan
mendapat gelar Guropees Art. Beliau juga sempat mempelajari ilmu kebidanan, penyakit wanita dan
bedah serta Gudascopie Urinoir di Berlin, Jerman. Tahun 1919-1920 belajar ilmu rontgenologie di
Amsterdam Nederland kemudian tahun 1931 memperdalam Gudascopie Urinoir di Paris Perancis, dan
mendapat 3 sertifikat dari Paris.
Pada masa pergerakan nasional, Dr. Radjiman Wedyodiningrat merupakan salah satu di antara tokoh
pergerakan nasional yang berkiprah melalui Boedi Oetomo sejak organisasi tersebut didirikan hingga
berubah menjadi Partai Indonesia Raya pada 1935. Beliau menjabat sebagai ketua Boedi Oetomo pada
1914-1915.
Sejak tahun 1918 ia berkiprah di bidang politik dengan menjadi salah seorang anggota Volksraad (Dewan
Rakyat) bentukan pemerintah Hindia Belanda. Ia menjabat sebagai anggota dewan mewakili organisasi
Boedi Oetomo selama beberapa periode hingga tahun 1931. Ia juga pernah memimpin penerbitan majalah
tengah bulanan Timboel (1926-1930). Menjelang kemerdekaan Indonesia, Dr. Radjiman tergabung dalam
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan di masa awal
kemerdekaan, ia sempat menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan Dewan
Pertimbangan Agung Republik Indonesia. Pada 20 September 1952, Dr. Radjiman mengembuskan
nafasnya yang terakhir. Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat mendapat gelar Pahlawan Nasional pada
tahun 2013.
dr. R. Soemeroe
dr. Raden Soemeroe lahir di Purbalingga pada 1874 yang merupakan dokter perintis pengobatan dan
penanganan kejiwaan di Hindia Belanda, dr Raden Soemeroe masuk Sekolah Dokter Djawa pada 17 Juni
1889 dan lulus pada 9 Februari 1895. Sebagai seorang Dokter Djawa, dr. Raden Soemeroe menekuni ilmu
neurologi yang merupakan cabang ilmu dalam bidang kedokteran yang berfokus pada otak dan sistem
saraf. Ia kemudian bertugas di rumah sakit jiwa pertama yang terletak di Buitenzorg (Bogor) yang saat
itu bernama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg sebagai penerjemah juru bahasa dan juga sebagai
memandu psikiatris Eropa memahami latarbelakang kultur para pasien bumiputra.
Salah satu peran besar dr. Raden Soemeroe terkait pelayanan kesehatan jiwa bagi kaum bumiputra adalah
pemahamannya terkait bahasa, budaya dan kondisi lingkungan bumiputra sehingga memudahkan
pelayanan terhadap pada pasien bumiputra. hal ini kemudian memberikan masukan dan perubahan
kebijakan pada para pejabat komite layanan medis sipil Hindia Belanda untuk menempatkan Dokter
Djawa sebagai pendamping dokter jiwa Eropa pada berbagai rumah sakit jiwa di Hindia Belanda. Bagi
pemerintah kolonial, kebijakan ini juga sangat menguntungkan karna meminimalisir anggaran layanan
kesehatan pemerintah dengan mengurangi para dokter Eropa yang digaji lebih mahal, dan sejak 1912
anggaran untuk berbagai rumah sakit jiwa semakin ditekan sehingga pasien bumiputra lebih banyak
ditangani oleh Dokter Jawa dengan pengawasan rutin dokter Eropa
dr. Raden Soemeroe dalam menangani para pasiennya sangat mengurangi pemakaian obat penenang dan
mengutamakan pendekatan humanis. Pada tahun 1926 ketekunan dan keahliannya mendapatkan apresiasi
dari Ratu Belanda yang memberikan bintang penghargaan padanya. Namanya kini diabadikan menjadi
nama jalan menuju ke RSJ dr. Marzoeki Mahdi, Bogor.
dr. Marzoeki Mahdi adalah seorang dokter kelahiran Sumatera Barat yang lahir di Kota Gadang, pada 14
Mei 1890 dan wafat dalam usia 77 tahun pada 27 Mei 1967. Ia masuk STOVIA pada 9 November 1908
dan lulus pada 23 Mei 1918. Pada tahun 1942 ia dipercaya memimpin Rumah Sakit Jiwa Bogor dan
menjadi direktur pertama di instansi itu setelah kemerdekaan (1945-1946). Selama masa
kepemimpinannya, dr. Marzoeki Mahdi dikenal sebagai salah satu pelopor gerakan kesehatan jiwa setelah
Indonesia merdeka. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama rumah sakit jiwa tersebut.
Selain menjadi seorang dokter, dr. Marzoeki Mahdi juga berpartisipasi dalam pergerakan nasional Bangsa
Indonesia. Ia pernah menjadi ketua Boedi Oetomo Cabang Semarang pada tahun 1926. Ia juga menangani
pejuang Indonesia yang terluka di dalam suatu pertempuran di Bogor tahun 1945. Dirinya pun dikabarkan
cukup dekat dengan salah satu tokoh asal Betawi yaitu M.H. Thamrin.
Mohamad Amir lahir pada 27 Januari 1900 di Sumatera Barat. Ia sempat menempuh pendidikan dasar di
Palembang dan Batavia, sebelum akhirnya masuk sebagai siswa
kedokteran di STOVIA pada tahun 1918. Dirinya juga aktif dalam organisasi kepemudaan, dan ikut
mendirikan perkumpulan Jong Sumatranen Bond (JSB), sebuah organisasi pemuda daerah yang
memayungi para pemuda keturunan Sumatera. Para pemuda Sumatra ini bergabung untuk bersama-sama
berusaha memperbaiki taraf kehidupan penduduk di daerah asal mereka. Di organisasi tersebut, Mohamad
Amir aktif sebagai redaktur surat kabar Pemoeda Soematra yang mulai diterbitkan oleh Pengurus JSB
sejak 1918. Pada tanggal 8 Februari 1920, M. Amir terpilih menjadi ketua JSB menggantikan dr. Tengkoe
Mansoer yang telah lulus dari STOVIA.
Setelah tamat belajar di STOVIA, Jakarta, tahun 1924, M. Amir mendapat kesempatan untuk meneruskan
belajar di negeri Belanda dengan beasiswa. Dikarenakan keprihatinannya terhadap kesehatan kejiwaan di
tanah koloni, ia lalu memusatkan perhatian pada pengkajian dalam bidang psikiatri (ilmu penyakit jiwa)
di Fakultas Kedokteran Universitas Utrecht. Tahun 1925 M. Amir terpilih menjadi Komisaris Pengurus
Indonesische Vereeniging di Belanda, yang sejak 11 Januari 1925 dinamakan Perhimpunan Indonesia,
di bawah Soekiman Wirjosandjojo sebagai Ketua. Di era kemerdekaan, ia sempat menghadiri sidang
PPKI. Ia juga sempat diangkat menjadi wakil gubernur untuk wilayah Sumatera, yang hanya berlangsung
singkat karena kekacauan sosial dan politik yang terjadi di bagian timur Sumatera pada tahun 1945-1946.