Makalah Rekayasa Ide

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

REKAYASA IDE
POLA ASUH ORANG TUA

Dosen Pengampu
INDAH VERAWATI S.Psi.,M.A
DISUSUN OLEH :
NAMA : 1,JOHAN STEVEN HUTAGALU
:2.ANANDA TO’ING BARUS
:3.MUFIDAH ARMINDY SIREGAR
:4.DILLY ANA DAMAYANTI

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya,

saya dapat menyelesaikan makalah. Saya menyampaikan rasa terimakasih., sebagai dosen

mata kuliah telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menyelesaikan tugas ini.

Harapan saya semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan tentang tugas, bagi para

pembaca agar mengetahui tentang Perkembangan Peserta Didik

Saya menyadari bahwa dalam penulisan critical jurnal riview ini masih banyak terdapat

kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari

para pembaca supaya dapat menjadi lebih baik lagi, demikian critical jurnal riview ini saya

buat, jika ada kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf.

Medan, 3 Semptember 2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pola asuh merupakan cara yang dilakukan orang tua dalam mendorong anak mencapai tujuan

yang diinginkan. Penerapan pola asuh yang tepat diharapkandapat membentuk seorang anak

dengan pribadi yang baik, penuh semangat dalambelajar dan juga prestasi belajar anak terus

meningkat seiring pertumbuhan danperkembangan yang dialami anak (Lestari, 2009). Pola

asuh orang tua sangatberpengaruh terhadap perkembangan motorik kasar dan halus,

perkembanganbahasa dan kemampuan sosial anak (Budiarnawan dkk., 2014).Salah satu fase

tumbuh kembang pada anak memiliki ciri dan tugasperkembangan seperti ketrampilan

motorik kasar, motorik halus, kemampuanbahasa dan sosial. Kemampuan tersebut

tergambarkan dari tingkah laku anakseperti keinginan untuk bermain, rasa ingin berpetualang

menjelajah dunia luar,dan berimajinasi menciptakan suatu tingkah laku (Sumiati dkk.,

2016).Pola pengasuhan anak secara tradisional menganggap bahwa ibu sebagaipengasuh

utama. Peran ibu adalah menghabiskan waktu untuk mengasuh anak dirumah secara

eksklusif. Peran wanita dalam lingkungan keluarga sangatfundamental, wanita ibarat lembaga

pendidikan bagi seorang anak (Sanya, 2008).Namun dengan berkembangnya zaman banyak

wanita ikut berlomba dengan laki-laki untuk mendapat kemajuan dalam bidang ekonomi,

sosial, industri dan ilmupengetahuan. Wanita dapat bekerja di luar lingkungan keluarga

secara terhormatsebagai wanita Menurut Sofian (2014), perkembangan anak tidak lepas dari

peran pentingorang tua, dimana orang tua bertanggung jawab dalam segala hal terutama

peranseorang ibu dalam mengasuh dan mendidik karena ibu sebagai guru pertama bagianak-

anaknya. Ketika ibu bekerja memiliki dampak negatif dan dampak positifterhadap

perkembangan anak. Dampak negatif dari ibu yang bekerja adalahkehadiran ibu dalam
kehidupan sehari–hari sang anak lebih sedikit, sehinggakesempatan ibu untuk memberikan

motivasi dan stimulasi dalam anak melakukantugas-tugas perkembangan motorik menjadi

terbatas. Dampak positif dari ibu

bekerja terhadap perkembangan anak dapat dilihat dari efek yang didapat apabila anak

memiliki interaksi sosial yang baik, perkembangan kognitif yang pesat, serta

fisik yang lebih aktif (Taju dkk., 2015).Menurut Yani dkk. (2011), selama proses mengasuh

dan mendidik anak akanmuncul suatu kedekatan antara orang tua dengan anak, tetapi tidak

semua orangtua memberikan kualitas pengasuhan yang efektif kepada anak-anak mereka. Hal

ini menimbulkan pola kedekatan yang berbeda di setiap orang tua dan anak. Pola asuh tak

lepas dari faktor karakter dari masing-masing orang tua, usia orang tua,jumlah anak yang

diasuh serta tingkat pendidikan orang tua lebih dominan dalammewarnai pola asuh yang

diterima anak-anak pada umumnya.Manfaat kedekatan anak bagi orangtua menurut Dariyo

(2007), yaitu

memperoleh rasa aman, perlindungan dan kenyamanan dari ibunya. Sedangkanmenurut

Santrock (2007), kedekatan anak sangat penting bagi perkembangan,khususnya kedekatan

rasa aman karena rasa aman yang diberikan orang tuakepada anak menjadi pondasi yang

mendukung perkembangan sosiemosionalyang sehat untuk tahun-tahun mendatang.

Pada usia prasekolah (3-5 tahun), orang tua harus mengetahui tingkah lakuyang sangat

beragam seperti, agresif, banyak kemauan dan lain-lain. Apabilaorang tua salah

menyikapinya, maka akan berdampak tidak baik dalamperkembangan selanjutnya. Pada usia

tersebut, anak juga cenderung meniru siapa pun dan apa pun yang dilakukan orang tuanya, ini

yang disebut dengan prosesidentifikasi. Pada proses ini karakter anak terbentuk lebih banyak

dari petunjuk
orang tua (Rusilanti dkk., 2015), sedangkan menurut Ariyana (2009), pada usia 4-5 tahun

perkembangan yang paling menoniol adalah keterampilan motorik.Perkembangan motorik

sangat berkaitan erat dengan kegiatan fisik.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian adalah apakah ada hubungan pola asuh

pada anak ?

C. Manfaat Penelitian

Untuk mendukung teori – teori yang sudah ada sebelumnya sehubungan

dengan peran seorang ibu yang menjadi wanita karir dalam tumbuh kembang

motorik anak.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pola Asuh Orang Tua

Pengertian pola asuh Secara epistimologi kata “pola” diartikan sebagai cara kerja, dan kata

“asuh” berarti menjaga, merawat, mendidik membimbing, membantu, melatih anak yang

berorientasi menuju kemandirian. Secara terminology pola asuh orang tua adalah cara terbaik

yang ditempuh oleh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari tanggung jawab

kepada anak (Arjoni, 2017). Pola asuh adalah pola pengasuhan orang tua terhadap anak, yaitu

bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta

melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan sampai dengan membentuk perilaku

anak sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat

(Fitriyani, 2015). Berdasarkan definisi tentang pola asuh orang tua di atas, dapat disimpulkan

bahwa pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dalam

berinteraksi dengan anak selama mengadakan kegiatan pengasuhan untuk membentuk

perilaku anak yang baik.

2. Jenis-jenis pola asuh

Orang tua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anak. Cara

dan pola tersebut akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Dari penelitian

Diana baumrind pada 1971, ada beberapa pola asuh yang ditunjukan oleh para orang tua

(Santrock, 2011) yaitu:


a. Pola pengasuhan otoriter (Authoritarian parenting) Merupakan gaya pengasuhan yang

membatasi dan menghukum, dimana orangtua mendesak anak untuk mengikuti arahan

mereka. Orangtua yang menerapkan pola pengasuhan ini memberikan batas dan kendali yang

tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Ciri khas dari pola asuh otoriter adalah

anak diharuskan mengulang pekerjaan yang dianggap orang tua salah, orang tua mengancam

akan memberikan hukuman apabila anak tidak mematuhi perintahnya, dan orang tua

menggunakan suara yang keras ketika menyuruh anak untuk melakukan suatu pekerjaan.

Orang tua yang otoriter juga mungkin sering memukul anak itu, menegakkan aturan dengan

tegas tetapi tidak menjelaskannya, dan menunjukkan kemarahan kepada anak itu. Anak-anak

dari orang tua otoriter sering tidak bahagia, takut, dan cemas tentang membandingkan diri

mereka dengan orang lain, gagal memulai kegiatan, dan memiliki keterampilan komunikasi

yang lemah. Anak-anak dari orang tua otoriter dapat berperilaku agresif.

b. Pola pengasuhan demokratis (Authoritative Parenting) Merupakan gaya pengasuhan yang

mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan

mereka. Ada tindakan verbal memberi dan menerima, dan orangtua bersikap hangat serta

penyayang terhadap anaknya. Ciri khas dari pola asuh demokratis adalah adanya komunikasi

yang baik antara anak dan orang tua, dimana orang tua melibatkan diri dan berdiskusi tentang

masalah yang dialami anak. Orang tua biasa memberikan pujian apabila anak melakukan hal

yang baik dan mengajarkan anak agar melakukan segala 12 sesuatu secara mandiri dengan

rasa tanggung jawab dan mencerminkan rasa kasih sayang.

c. Pola pengasuhan membiarkan (Permissive Indulgent) Merupakan gaya pengasuhan di

mana orang tua sangat terlibat dengan anakanak mereka tetapi hanya sedikit menuntut atau

mengendalikan mereka. Orangtua semacam itu membiarkan anak-anak mereka melakukan

apa yang mereka inginkan. Hasilnya adalah bahwa anak-anak tidak pernah belajar

mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Beberapa orang tua dengan sengaja membesarkan anak-anak mereka dengan cara

ini karena mereka percaya kombinasi keterlibatan yang hangat dan sedikit pengekangan akan

menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak-anak yang orang tuanya

memanjakan jarang belajar menghargai orang lain dan sulit mengendalikan perilaku mereka.

Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak patuh, dan memiliki kesulitan dalam

hubungan teman sebaya. d. Pola asuh mengabaikan (Permissive Indifferent) Merupakan gaya

pengasuhan dimana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Orang tua

yang menerapkan pola pengasuhan ini tidak memiliki banyak waktu untuk bersama anak-

anak mereka, sehingga menyebabkan berhubungan dengan ketidakcakapan sosial terhadap

anak. Anakanak dari orang tua yang mengabaikan, mengembangkan perasaan bahwa

aspekaspek lain dari kehidupan orang tua adalah lebih penting daripada mereka. Anakanak

ini cenderung tidak kompeten secara sosial. Banyak yang memiliki kontrol diri yang buruk

dan tidak menangani independensi dengan baik. Mereka sering 13 memiliki harga diri yang

rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Pada masa remaja, mereka

mungkin menunjukkan pola bolos dan kenakalan. Dalam penelitian ini peneliti

menggabungkan jenis permissive indulgent dan permissive indiferent sehingga peneliti hanya

menggunakan 3 jenis pola asuh yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh

permisif.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh

anak adalah(Zulfikar, 2017):

a. Pendidikan Orang Tua Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan

mempengauhi persiapan mereka dalam menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang

dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain
terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi

pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu anak-anak dan menilai

perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.

b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil

jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua

terhadap anaknya.

c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat

disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam

mendidik anak kearah kematangan.

4. Dimensi Pola Asuh Menurut Frick membagi dimensi parenting practices dalam lima

dimensi (Mutiah, 2011) yaitu:

a. Involment with children sejauhmana orang tua terlibat bersama aktivitas bersama anak-

anaknya. Orang tua akan melakukan banyak hal bagi anakanak mereka dan dalam sepanjang

kehidupannya. Mereka akan menupayakan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya baik

kebutuhan secara fisik, emosi maaaupun sosial.

b. Positive parentig: suatu bentuk pujian atau reward yang diberikan orang tua kepada anak-

anaknya ketika melakukan suatu aktivitas yang membanggakan atau mencapai suatu

keberhasilan/prestasi.

c. Corporal punishment: pemberian hukuman, lebih mengarah kepada hukuman fisik. Orang

tua memberikan hukuman kepada anak ketika mereka tidak mau mematuhi ataupun tidak

mentaati apa yang di inginkan atau yang diharapkan oleh orang tuanya.
d. Monitoring: suatu kegiatan dari orang tua terhadap anak-anak dalam memantau aktivitas

anak, mencatat kegiatan anak serta memastikan bahwa mereka tetap dalam batas-batas yang

wajar dan tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. e. Consistency in the use of

such discipline : menerapkan apa yang telah dibuat sesuai kesepakatan atau memberikan

sanksi yang sesuai bila anak-anak melanggar aturan yang telah ditetapkan bersama.

B. Konsep Tindakan Pencegahan Kekerasan Pada Anak

1. Pengertian kekerasan terhadap anak Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, atau

penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum (Undang-Undang Republik Indonesia, 2014).

Kekerasan terhadap anak menurut WHO adalah semua bentuk perlakuan yang salah baik

secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi yang

berdampak atau berpotensi membahayakan kesehatan anak, perkembangan anak, atau harga

diri anak dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan

(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2017). Berdasarkan

definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan segala bentuk

perlakuan buruk terhadap anak baik secara fisik, emosional, seksual, maupun penelantaran

sehingga memiliki dampak yang sangat buruk bagi masa depan anak.

2. Jenis kekerasan terhadap anak Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak, (2017) jenis kekerasan terhadap anak, yaitu:

a. Kekerasan fisik, meliputi:

1) Ditonjok, ditendang, dicambuk atau dipukul dengan benda

2) Dicekik dibekap, ditenggelamkan atau dibakar dengan sengaja


3) Diancam dengan pisau atau senjata lainnya

b. Kekerasan seksual, meliputi:

1) Sentuhan secara seksual tanpa izin

2) Percobaan hubungan seksual

3) Hubungan seksual dengan paksaan secara fisik

4) Hubungan seksual dengan paksaan dibawah pengaruh atau kekuasaan

c. Kekerasan emosional, meliputi:

1) Perkataan oleh pengasuh atau orang tua bahwa mereka tidak disayangi atau tidak pantas

disayang.

2) Tidak pernah dilahirkan atau mengharapkan mati saja

3) Berupa hinaan atau merendahkan mereka

d. Penelantaran anak, meliputi:

1) Tidak masuk sekolah tanpa keterangan

2) Anak terlibat dalam kegiatan illegal untuk memperoleh kebutuhan dasar hidupnya

3) Anak terlihat kotor

4) Anak kekurangan pakaian yang pantas dan tampak tidak berenergi

3. Faktor kerentanan terjadinya kekerasan terhadap anak Menurut Wilkins, (2014) Kekerasan

dapat dipicu dari beberapa faktor yang secara umum dibedakan menjadi tiga faktor yaitu,

faktor yang berasal dari individu, faktor lingkungan, dan hubungan.


a. Faktor Individu yaitu pendidikan rendah, kurangnya pengetahuan dan keterampilan

menghindar dari kekerasan, kontrol perilaku buruk, pernah mengalami riwayat kekerasan,

pernah menyaksikan kejadian seksual, dan penggunaan obat-obatan.

b. Faktor lingkungan sosial komunitas yaitu kebudayaan atau kebiasaan yang mendukung

adanya tindakan kekerasan seksual, kekerasan yang dilihat melalui media, kelemahan

kesehatan, pendidikan, ekonomi dan hukum, aturan yang tidak sesuai atau berbahaya untuk

sifat individu wanita atau lakilaki.

c. Faktor hubungan yaitu kelemahan hubungan antara anak dan orang tua, konflik dalam

keluarga, berhubungan dengan seorang penjahat atau pelaku kekerasan, dan tergabung dalam

geng atau komplotan. Menurut KPAI, (2014) faktor penyebab kekerasan antara lain :

a. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hak anak.

b. Pola asuh atau pendidikan karakter di rumah.

c. Kemiskinan dan lemahnya pengetahuan masyarakat.

d. Penyebaran perilaku jahat antar generasi seperti, efek dari duplikasi/ mencontoh/ meniru.

e. Ketegangan sosial seperti, pengangguran, sakit, ukuran keluarga yang besar, kehadiran

seseorang yang cacat mental dalam rumah, penggunaan alkohol dan obat-obatan.

f. Isolasi Sosial.

g. Belum mempunyai sistem database tentang kekerasan terhadap anak di tingkat

provinsi/kabupaten/kota untuk menscreening potensi tindak kekerasan seksual di suatu

wilayah.

h. Lemahnya Penegakan Hukum


4. Dampak kekerasan terhadap anak Konsekuensi dari kekerasan terhadap anak mungkin

bervariasi tergantung pada jenis kekerasan dan keparahannya, dampak dari kekerasan

terhadap anak dan masyarakat secara umum bisa serius dan membahayakan baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang. Kekerasan yang dialami oleh anak dalam berbagai

jenisnya akan mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, emosional dan fisik anak.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, (2017) dampak

dari kekerasan yang terjadi untuk setiap jenis kekerasan dapat dilihat dari berbagai tanda atau

ciri-ciri sebagai berikut: a. Kekerasan fisik:

1) Adanya luka lebam, bekas gigitan atau patah tulang yang tidak terjelaskan

2) Sering tidak masuk sekolah

3) Cedera tetapi sering ditutup-tutupi

4) Tampak ketakutan ketika ada kehadiran orang tertentu

5) Sering lari dari rumah

b. Kekerasan seksual:

1) Sering mimpi buruk

2) Adanya perubahan nafsu makan anak

3) Anak memperlihatkan perilaku seksual yang aneh/tidak pantas

4) Memperlihatkan kurang rasa percaya pada seseorang

5) Perubahan yang tiba-tiba pada kepribadian anak

c. Kekerasan emosional:

1) Anak memperlihatkan perilaku yang ekstrim


2) Perkembangan fisik dan emosional anak lambat

3) Anak sering complain sakit kepala atau perut sakit karena alasan yang tidak jelas

4) Anak terlihat frustasi ketika mengerjakan tugas

5) Anak mencoba bunuh diri

d. Penelantaran anak:

1) Tidak masuk sekolah tanpa keterangan

2) Anak terlibat dalam kegiatan illegal untuk memperoleh kebutuhan dasar hidupnya

3) Anak terlihat kotor

4) Anak kekurangan pakaian yang pantas dan tampak tidak berenergi

5. Tindakan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Menurut UNICEF Indonesia, (2012)

Upaya perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan, sebuah keluarga harus

meningkatkan kapasitasnya untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak-hak

anak. Untuk itu, dalam memaksimalkan upaya pencegahan tindak kekerasan pada anak ada

beberapa hal yang bisa dilakukan seperti:

a. Upaya pencegahan primer. Pencegahan ini ditujukan pada seluruh lapisan untuk

memperkuat kemampuan segenap anggota masyarakat dalam memelihara dan memastikan

anak tetap dalam perlindungan. Inisiatif tersebut mencakup kegiatan-kegiatan yang bertujuan

untuk mengubah sikap dan perilaku masyrakat melalui advokasi dan peningkatan kesadaran,

penguatan ketrampilan sebagai orang tua, pengembangan kebutuhan akan bentuk-bentuk

alternatif mendisiplinkan anak yang bukan lagi hukuman fisik dan 20 meningkatkan

kepekaan atas dampak kekerasan terhadap anak. Berbagai kegiatan sosialisasi ini bisa

dilakukan dan didukung oleh pemerintah dalam bentuk peraturan-peraturan terkait


perlindungan anak, kampanye media massa, serta pengembangan materi-materi dalam

kegiatan penyuluhan keagamaan yang mengarahkan pada pola pengasuhan yang ramah anak.

Sehingga, keluarga yang memiliki keterbatasan wawasan dapat mengimplementasikan hal

tersebut, meningkatkan tanggungjawabnya sebagai orang tua dan memperbaiki

keterampilannya dalam mendidik anak, serta membantu mensosialisasikan nilai-nilai anti

kekerasan bagi anak melalui pola pengasuhan yang sesuai.

b. Upaya pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder merupakan upaya intervensi dini, yang

ditujukan pada anak dan keluarga yang telah diketahui rentan atau berisiko mengalami

perlakuan salah atau penelantaran. Intervensi ini bertujuan untuk mencegah keluarga-

keluarga yang berada dalam risiko melakukan perlakuan salah guna mengubah keadaan

sebelum terjadi hal buruk terhadap anak.

c. Upaya pencegahan tersier. Upaya ini dilakukan untuk merespon keadaan anak yang dalam

risiko tinggi atau sedang mengalami kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi

apapun bentuknya. Jika tindakan kekerasan yang dialami oleh anak dilakukan oleh

keluarganya sendiri maka anak tersebut perlu ditempatkan dalam pengasuhan alternatif

sementara waktu. Disamping itu juga harus ada dukungan psikososial dari pihak yang

berwenang serta layanan hukum dan penyelidikan yang ramah anak, namun jika kemudian

anak mendapatkan perlakuan yang salah dari pihak luar (bukan keluarga) maka selayaknya

keluarga bersikap bijak dalam hal ini seperti meningkatkan kendali dan pengawasan terhadap

anak dan melakukan upaya-upaya yang dapat menghindarkan anak dari tindak kekerasan

dilingkungan sosialnya.

Menurut KPAI, (2014) tindakan pencegahan kekerasan terhadap anak dapat dilakukan

dengan cara, yaitu:

a. Membangun hubungan yang berkualitas antara orang tua dan anak.


b. Memberikan pengetahuan tentang pendidikan kesehatan dan reproduksi.

c. Membangun “Defend Mechanism” mekanisme pertahanan dalam rangka penanaman

pengetahuan bagian tubuh dan penghargaan terhadap tubuh melalui pendidikan seksualitas

sejak dini.

d. Membangun komunikasi efektif dua arah.

e. Menanamkan rasa percaya dengan orang tua.

f. Membangun keberanian dan ketangguhan diri.

g. Menanamkan rasa empati.

h. Menanamkan budi perkerti dengan memberi contoh teladan.

i. Menanamkan rasa kasih.

j. Membangun kewaspadaan dengan tidak membiasakan berbicara pada orang lain.


BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Pola asuh adalah keseluruhan interaksi antar orang tua dengan anak,dimana orang tua

bermaksud untuk membimbing, menjaga anaknya agar anak-anaknya berkembang secara

sehat dan baik. Berdasarkan pembahasan yangdilakukan dapat disimpulkan pola asuh yang

diterapkan keluarga luas terhadapanak yang ditinggal kedua orang tua ada 4 macam pola asuh

sebagai berikut: polaasuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh permisif, dan pola asuh

situasional.Dari macam-macam pola asuh yang diterapkan oleh keluarga luas bahwapola asuh

permisif yang paling dominan digunakan untuk mendidik anak, dimanapola asuh yang mana

orang tua bersikap membiarkan setiap tingkah laku anak dantidak pernah memberikan

hukuman kepada anak. Pada saat kondisi yangberlebihan barulah orang memberikan

hukuman. Orang tua yang menggunakanpola asuh permisif adalah orang tua yang bersikap

yang tidak mau peduli aktifitasyang dilakukan anak.

B.Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penulis memberikan saransebagai berikut: Sebagai

bahan acuan untuk mahasiswa berikutnya untukmelakukan penelitian lebih lanjut yang

berkaitan dengan perilaku anak yangtinggal dengan keluarga luas


Daftar Pustaka

Adek, (2008), Pengaruh pola asuh orang tua terhadap karakteristik anak viewed

15 September, available from http://valmband.multiply.com/journal/item/31/pengaruh_

pola_asuh_orang_tua_terhadap_k arakteristik_anak

Agustin, Mubiar. dan Wahyudin. (2010). Penilaian perkembangan anak usia. dini.Bandung :

CV Falah Production.

Anwar, M. (2000). Peranan gizi dan pola asuh dalam meningkatkan kualitas.tumbang anak.

diakses tanggal 5 Maret 2015http://anak.ad.co.k/beritabaru/berita

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. :Rineka Cipta.

Baradja, Abu Bakar. (2005). Psikologi perkembangan, tahapan-tahapan dan

aspek- aspeknya, Jakart a: Studia Pres.Dewi, (2009), Faktor risiko gangguan berbahasa pada

anak. Maret 2015 availablefrom https://speechclinic.wordpress.com/

Dewi, (2008). Mengenal bentuk pola asuh orang tua. available fromhttp://www.pewarta-

kabarindonesia.blogspot.com/. Februari 2015

Dewi, S. P & Eveline Siregar. (2004). Mozaik Teknologi. Pendidikan. Jakarta:

Kencana.Edward, (2006). Ketika anak sulit diatus : panduan orangtua mengubah masalah

perilaku anak : PT. Mizan Pustaka.


Fitriyanti, D., Induniasih., Nursanti, I., & Prayogi, S.A. (2011). Hubungan antara pola asuh

ibu dengan perkembangan bahasa anak toddler.

Ghozali, I. (2001), Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS. (EdisiKedua), Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai