Resume Bab 5 Anggun Bula
Resume Bab 5 Anggun Bula
Resume Bab 5 Anggun Bula
BAB 5
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
A. Pengertian Etika
Kata etika berasal dari kata dalam bahasa Yunani “ēthos” yang berarti
adat/kebiasaan, kebiasaan cara bertindak dan karakter. Makna yang sama juga
dimiliki oleh sebuah kata dalam bahasa Latin “mos, mōris”. Dari kata ini
kemudian lahir kata moral. Oleh karena itu, secara etimologis (dari asal-usul
katanya) antara etika dan moral itu sinonim dan tidak ada perbedaan arti dan
oleh karena itu kedua kata itu bisa dipakai secara bergantian tanpa merubah
arti untuk menerangkan ilmu atau filsafat mengenai tindakan manusiawi.
Sementara etika justru merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral, “Mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana
kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab terhadap ajaran moral itu.” Bisa
dikatakan, etika itu kurang dari ajaran moral sebab etika tidak berwewenang untuk
menetapkan apa yang boleh/tidak boleh. Etika lebih dari ajaran moral sebab etika berusaha
untuk mengerti mengapa atau atas dasar apa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu (K.
Bertens, 2007).
2. Etika dan Agama
Dari berbagai ragam penafsiran atas Wahyu atau dogma agama tersebut, maka munculnya
berbagai ragam perbedaan pandangan atau pendapat, di sinilah peran etika untuk mengkritisi
interpretasi yang ada dan kemungkinan mencari apakah masih ada interpretasi baru sebagai
alternatif kebuntuan. Dalam batasbatas universal, semua umat beragama menyakini bahwa
wahyu Tuhan atau Allah itu sempurna tetapi kemampuan manusia untuk memahaminya itu
terbatas sehingga ada kemungkinan si penafsirnya yang salah menterjemahkan atau
menafsirkannya, dan bukan wahyunya itu sendiri (Magnis Seseno, 2003).
Hubungan antara etika dan agama digambarkan berikut ini: Berikut ini
perbedaan dan kaitan antara etika dan hukum:
1. Pertama, penilaian hukum lebih terfokus pada kodifikasi (berdasarkan pasal-pasal atau
ayat-ayat), sedangkan etika lebih melihat dimensi moralitas atau subjektif.
2. Kedua, penilaian hukum lebih membatasi diri pada aspek lahiriah, yakni ketaatan
seseorang terhadap seperangkat peraturan, sedangkan penilaian etika mengarah pada
dimensi batiniah seseorang.
3. Ketiga, hukum didasarkan pada kehendak masyarakat dan negara, sedangkan penilaian
moral didasarkan pada norma yang melebihi negara, yakni harkat dan martabat
manusia.
4. Keempat, sanksi jelas
5. Kelima, norma hukum menciptakan sikap legalisme dalam arti ketaatan seseorang
terhadap sejumlah peraturan secara membabi buta (heteronom), sedangkan etika
menekankan sifat otonom dalam arti kesadaran dari dalam diri (K. Bertens, 2007: 43-
45).
Walaupun metode etika itu ada banyak, namun dalam setiap model
pendekatan etika itu selalu ada sikap kritis. Pada dasarnya etika tidak
memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan, nilai-nilai, normanorma, dan pandangan
moral secara kritis. Etika mengamati realita moral secara kritis dan mengungkapkan
pertanggungjawaban atas sikap moral dan dalam kerancuan berusaha menyingkapkan tabir
kerancuan itu secara rasionalis.
1. Etika Deontologi
Istilah “deontologis”, berasal dari kata Yunani, deon yang berarti
kewajiban. Menurut Broad, bahwa dalam teori deontologi terdapat tindakan
tertentu yang secara etis benar atau salah bukan karena konsekuensikonsekuensi
tindakan tersebut (Paul Edward, ed, 372 dan C. Henry Peschke, 13). Deontologi
melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Deontologi adalah suatu
aliran dalam etika, yang tidak menggantungkan kewajiban secara keseluruhan pada
teori nilai, tetapi menganggapnya bahwa suatu tindakan atau perbuatan itu betul, tanpa
adanya pertimbangan apakah ada kebaikan pada suatu hal (Dagobart D. Runes, 1971:
76).
2. Etika Teleologis
3. Etika Keutamaan
4. Etika Pancasila
Dalam konteks etika politik pancasila, moral sebagai titik pijak politik
menjadi sangat penting karena mengetuk nurani. Orang yang mampu masuk
ke dalam dimensi moral dalam kehidupannya mudah menyesuaikan dengan
etika Pancasila sebagai etika politik dalam penyelenggaraan negara. Pancasila
sebagai etika politik mempunyai kecenderungan formal (abstrak). Maka perlu
membangun syarat-syarat tindakan nyata, permujudan moral supaya
operasional.
Eric Weil mengusulkan perlunya perwujudan dengan melakukan
perubahan sudut pandang individu ke komunitas. Sudut pandang individu
hanya menilai maksud, mengetuk hasrat-hasrat jahat, menentukan batas-batas
kekerasan, tetapi tidak memberi pemacu ke tindakan. Dengan kata lain, moral
cenderung melarang dan kurang membekali perwujudan tindakan.