Resume Bab 5 Anggun Bula

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

Resume

Nama : Anggun Bula


Nim : 551422076
Kelas : C
Matkul : Pancasila

BAB 5
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

A. Pengertian Etika
Kata etika berasal dari kata dalam bahasa Yunani “ēthos” yang berarti
adat/kebiasaan, kebiasaan cara bertindak dan karakter. Makna yang sama juga
dimiliki oleh sebuah kata dalam bahasa Latin “mos, mōris”. Dari kata ini
kemudian lahir kata moral. Oleh karena itu, secara etimologis (dari asal-usul
katanya) antara etika dan moral itu sinonim dan tidak ada perbedaan arti dan
oleh karena itu kedua kata itu bisa dipakai secara bergantian tanpa merubah
arti untuk menerangkan ilmu atau filsafat mengenai tindakan manusiawi.

Hanya saja dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di lingkungan


yang berbahasa Anglo-Saxon, kedua kata itu sering dibedakan. Kata “etika”
dipakai dalam pendekatannya yang lebih mendasarkan diri pada akal budi
sedangkan kata “moral” dipakai dalam kaitannya dengan pendekatan otoritaswahyu kitab suci
(keagamaan) sehingga ada orang yang menyebut moral
sebagai etika teologi. Ada juga orang yang membedakannya: istilah moral
dipakai untuk menerangkan baik buruknya manusia sebagai manusia secara
keseluruhan sedangkan istilah etika untuk menerangkan pemikiran sistematis
tentang moralitas (Magnis Suseno, 2003).

Salah satu kebutuhan manusia ialah orientasi sebelum kita membuat


sesuatu: dimana kita berada, situasinya, kemana kita harus melangkah, apa
tujuan kita dsb. Manusia adalah makluk yang tahu dan mau. Kemuan
mengandaikan adanya pengetahuan. Manusia hanya bisa bertindak dengan
bijaksana kalau dia sudah tahu terlebih dahulu variable-variable pengetahuan
yang mendasari tindakannya. Kalau tidak, maka dia akan ngawur saja atau
bahkan dia akan bingung dan diam di tempat. Dengan demikian, Etika adalah
Ilmu filsafat yang mencar orientasi fundamental, “Bagaimana aku harus
hidup dan bertindak?” Kenyataannya, ada banyak pihak yang memberitahu hal
itu (orang tua, adat, agama dsb) tetapi apakah mereka ini benar? Bagaimana
kalau satu sama lain saling bertentangan? Kita harus ikut yang mana? Etika
menjadi fungsi kritis supaya kita tidak ikut-ikutan saja dalam bertindak dan
dengan demikian mempunyai dasar rasional dalam bertindak. Etika membantu
kita untuk bisa mempertanggung jawabkan tingkah laku kita secara rasional.

1. Etika dan Moral

Ajaran Moral, atau ajaran, wejangan, khotbah, kumpulan peraturan dan


ketetapan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi
manusia baik. Sumber langsung dari ajaran moral adalah:
kedudukan/kewenangan, misal orang tua, guru, pemuka
masyarakat/agamawan dan tulisan bijak. Sementara, sumber dasar dari ajaran
tersebut adalah agama, tradisi, adat-istiadat, ideologi tertentu.

Berikut ini ciri-ciri kekhususan moral:

1. Norma moral langsung berkaitan dengan inti karakter manusia.


Karakter menyangkut inti, kekhasan manusia yang muncul dari dalam.
Maka pembahasan mengenai moral sangat terkait dengan karakter pada
diri seseorang.
2. Norma moral menjadi norma yang menegaskan kewajiban dasar
manusia dalam bentuk perintah atau larangan. Jadi ia berfungsi sebagai
imperatif kategoris.
3. Norma moral berlaku umum. Artinya, berlaku bagi siapa saja, kapan
saja dan di mana saja dan dalam situasi apapun. Dasar dari universalitas
itu adalah objektivitas dan pertanggungjawaban rasional.
4. Norma moral berkaitan dengan hati nurani, hati nurani adalah institusi
tertinggi dari manusia dalam menetapkan sebuah perilaku yang baik
(K. Bertens, 2007: 17-18).

Sementara etika justru merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral, “Mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana
kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab terhadap ajaran moral itu.” Bisa
dikatakan, etika itu kurang dari ajaran moral sebab etika tidak berwewenang untuk
menetapkan apa yang boleh/tidak boleh. Etika lebih dari ajaran moral sebab etika berusaha
untuk mengerti mengapa atau atas dasar apa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu (K.
Bertens, 2007).
2. Etika dan Agama

Etika tidak mengganti agama atau bertentangan dengan agama tetapi


diperlukan oleh agama/wan. Interpretasi hukum/perintah yang termuat dalam
wahyu (Kitab Suci), terutama yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Namun, karena keterbatasan kemampuan manusia, maka penafsirannya tidak
selamanya tepat, atau mungkin dalam bahasa ekstrim bahkan mungkin bisa
salah. Oleh karena itu, memang tidak ada jaminan penafsiran itu bersifat
mutlak kebenarannya. Wahyu bersifat mutlak, tetapi penafsiran atas wahyu
atau dogma tidak selalu benar, atau bahkan hanya mendekati kebenaran.

Dari berbagai ragam penafsiran atas Wahyu atau dogma agama tersebut, maka munculnya
berbagai ragam perbedaan pandangan atau pendapat, di sinilah peran etika untuk mengkritisi
interpretasi yang ada dan kemungkinan mencari apakah masih ada interpretasi baru sebagai
alternatif kebuntuan. Dalam batasbatas universal, semua umat beragama menyakini bahwa
wahyu Tuhan atau Allah itu sempurna tetapi kemampuan manusia untuk memahaminya itu
terbatas sehingga ada kemungkinan si penafsirnya yang salah menterjemahkan atau
menafsirkannya, dan bukan wahyunya itu sendiri (Magnis Seseno, 2003).

Berikut ini beberapa hubungan kritis antara etika dan agama:

1. Agama dan etika sama-sama meletakkan dasar moral;70


2. Sifat dogmatis agama dapat diantisipasi dengan sikap kritis dalam etika;
3. Sementara etika dapat membantu menafsirkan agama yang cenderung statis;
4. Agama dapat mengkoreksi kecenderungan etika yang bebas, meskipun meletakkan hati
nurani sebagai pijakan dasar (Magnis Suseno, 2003).

Hubungan kritis-dialektis antara etika dan agama ini mensyaratkan


keterbukaan di antara keduanya. Agama khususnya harus membuka diri dari
kecenderungan menutup diri dan bersifat dogmatis, sementara etika yang
cerderung ‘bebas’ dan tak terarah juga harus menahan diri dari hasrat untuk
mengkritis dogma- dogma agama dengan tanpa batas; maka disinilah peran
agama ‘mengkritik’ kecenderungan etika yang bercorak rasionalistik murni.
3. Etika dan Hukum

Hubungan antara etika dan agama digambarkan berikut ini: Berikut ini
perbedaan dan kaitan antara etika dan hukum:

1. Pertama, penilaian hukum lebih terfokus pada kodifikasi (berdasarkan pasal-pasal atau
ayat-ayat), sedangkan etika lebih melihat dimensi moralitas atau subjektif.
2. Kedua, penilaian hukum lebih membatasi diri pada aspek lahiriah, yakni ketaatan
seseorang terhadap seperangkat peraturan, sedangkan penilaian etika mengarah pada
dimensi batiniah seseorang.
3. Ketiga, hukum didasarkan pada kehendak masyarakat dan negara, sedangkan penilaian
moral didasarkan pada norma yang melebihi negara, yakni harkat dan martabat
manusia.
4. Keempat, sanksi jelas
5. Kelima, norma hukum menciptakan sikap legalisme dalam arti ketaatan seseorang
terhadap sejumlah peraturan secara membabi buta (heteronom), sedangkan etika
menekankan sifat otonom dalam arti kesadaran dari dalam diri (K. Bertens, 2007: 43-
45).

4. Hubungan Etika, Norma dan Fakta

Etika beserta aktualisasinya sebetulnya tidak dapat dipisahkan dengan


pandangan hidup, atau filasafat hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarakat
yang mempunyai pandangan hidup berbasis pada keyakinan ontologis
materialis (bahwa yang-ada/being adalah materi), maka parameter material
atau prinsip mendasar dalam praktek kehidupan masyarakat tersebut. Material
adalah tujuan tertinggi yang ingin dicapai dalam sebuah tindakan, apa yang
dikatakan baik ataupun yang menyangkut keburukan berdasarkan capaian
materi yang diperoleh. Demikian juga masyarakat yang mendasarkan pada
pandangan atau falsafah ateisme, maka praktik atau perilaku dan tindakannya
tidak didasarkan pada otoritas wahyu Tuhan.
5. Metode Etika

Walaupun metode etika itu ada banyak, namun dalam setiap model
pendekatan etika itu selalu ada sikap kritis. Pada dasarnya etika tidak
memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan, nilai-nilai, normanorma, dan pandangan
moral secara kritis. Etika mengamati realita moral secara kritis dan mengungkapkan
pertanggungjawaban atas sikap moral dan dalam kerancuan berusaha menyingkapkan tabir
kerancuan itu secara rasionalis.

Etika berusaha menjernihkan masalah-masalah moral. Norma moral


berarti tolok ukur untuk mengukur kebaikan orang. Dia dinilai dalam kapasitasnya sebagai
manusia. Penilaian moral selalu mengacu kepada baikburukya manusia sebagai manusia secara
keseluruhan, yakni menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi
baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu/ profesi atau norma
tertentu yang terbatas, misalnya sebagai dosen, dokter, hakim dan lain-lain.

Norma khusus adalah norma-norma yang hanya berlaku dalam


lingkungan terbatas, misalnya dalam sepak bola, bola tidak boleh disentuh
dengan tangan, tetapi itu hanya berlalu dalam permainan saja. Setelah selesai
permainan maka norma itu tidak berlaku. Ada banyak norma-norma seperti ini,
misalnya sebagai guru, hakim, pemain, pedagang dsb. Norma ini terbatas
dalam kalangan tertentu. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, beberapa norma
agama pun juga terbatas pada para pemeluknya sendiri. Norma yang bersifat
umum ada 3:

1. Norma sopan-santun: norma yang menyangkut sikab lahiriah manusia.


Walaupun sikab lahirian seharusnya mencerminkan sikab hati tetapi
tidak semua pelanggaran norma sopan santun menjadikan dia buruk
secara moral.
2. Norma Hukum: Adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh
masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan
umum (Bonum Comune). Ini norma yang tidak dibiarkan dilanggar dan
pelanggarannya dikenakan sangsi hukum. Norma hukum tidak selalu
sama dengan norma moral, bisa terjadi bahwa kesadaran moral
seseorang (suara hati) akan melanggar hukum tetapi pelanggaran itu
tidak bisa dipakai untuk mengukur bahwa dia orang yang buruk. Bisa
terjadi bahwa pelanggaran hukum bukan menjadi pelanggaran moral.
3. Norma moral: adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan
seseorang. Dengan norma moral inilah kita dinilai.
B. Aliran-aliran Etika

1. Etika Deontologi
Istilah “deontologis”, berasal dari kata Yunani, deon yang berarti
kewajiban. Menurut Broad, bahwa dalam teori deontologi terdapat tindakan
tertentu yang secara etis benar atau salah bukan karena konsekuensikonsekuensi
tindakan tersebut (Paul Edward, ed, 372 dan C. Henry Peschke, 13). Deontologi
melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Deontologi adalah suatu
aliran dalam etika, yang tidak menggantungkan kewajiban secara keseluruhan pada
teori nilai, tetapi menganggapnya bahwa suatu tindakan atau perbuatan itu betul, tanpa
adanya pertimbangan apakah ada kebaikan pada suatu hal (Dagobart D. Runes, 1971:
76).

Konsekuensi perbuatan dalam hal ini tidak boleh menjadi


pertimbangan. Perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan
hanya karena wajib dilakukan. Karena itu bisa dimengerti bahwa deontologi selalu
menekankan: perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak
menjadikan perbuatan itu baik. Kita tidak pernah boleh melakukan sesuatu yang jahat
supaya dihasilkan sesuatu yang baik. Misalnya, kita tidak boleh mencuri atau berdusta
untuk membantu orang lain dan dengan itu berbuat baik kepadanya. Mencuri atau
berdusta tidak boleh. Kewajiban itu bagi deontologi tidak bisa ditawar-tawar (K. Bertens,
2007: 69).

2. Etika Teleologis

Etika teleologis berpandangan, bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat


berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan
etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit- real. Saat
dihadapkan oleh dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain,
maka etika teleologis membantu memberikan jawaban. Jawaban yang diberikan oleh
etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik
meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain (Arqom Kuswanjono, 2013).

3. Etika Keutamaan

Apakah keutamaan itu? Secara etimologis kata “keutamaan” merupakan


terjemahan dari kata bahasa Inggris “virtue” , dari bahasa Latin “virtus” dan pararel
dengan istilah “arête” dalam bahasa Yunani (Lorens Bagus, 1996: 457). Kata sifat Inggris
“virtuous” biasa diterjemahkan dengan “saleh”, dan dalam bahasa-bahasa barat Virtue
sering dikaitkan dengan kesalehan. Jadi mempunyai arti moral kental. Sebelumnya
dalam budaya Yunani kuno kata “arête” mempunyai arti kekuatan atau kemampuan,
misalnya untuk berperang atau untuk menanami sawah atau membuat kereta. Arête
adalah kemampuan untuk melakukan perannya dengan baik.

4. Etika Pancasila

Dalam kedudukannya sebagai dasar filsafat negara, maka nilai-nilai


Pancasila harus dijabarkan dalam suatu norma yang merupakan pedoman pelaksanaan
dalam penyelenggaraan kenegaraan bahkan kebangsaan dan kemasyarakatan. Terdapat
dua macam norma kehidupan kenegaraan dan kebangsaan, yakni norma hukum dan
norma moral. Suatu norma hukum positif merupakan penjabaran dari Pancasila secara
eksplisit ke dalam bentuk perundang-undangan, hal itu yang kemudian disebut tertib
hukum Indonesa.
Namun, di samping tertib hukum, dalam praktiknya norma moral menjadi
pijakan dasar pelaksanaan tertib hukum. Pijakan norma moral ini sekaligus menjadi
koreksi-konstruktif dalam pelaksanaan hukum, sebab bagaimanapun tujuan hukum dan
moral itu sendiri adalah tercapainya masyarakat yang adil dalam semua kehidupan
kemanusiaan (Kaelan, 2009: 140).

5. Etika Moral Politik Pancasila

Dalam konteks etika politik pancasila, moral sebagai titik pijak politik
menjadi sangat penting karena mengetuk nurani. Orang yang mampu masuk
ke dalam dimensi moral dalam kehidupannya mudah menyesuaikan dengan
etika Pancasila sebagai etika politik dalam penyelenggaraan negara. Pancasila
sebagai etika politik mempunyai kecenderungan formal (abstrak). Maka perlu
membangun syarat-syarat tindakan nyata, permujudan moral supaya
operasional.
Eric Weil mengusulkan perlunya perwujudan dengan melakukan
perubahan sudut pandang individu ke komunitas. Sudut pandang individu
hanya menilai maksud, mengetuk hasrat-hasrat jahat, menentukan batas-batas
kekerasan, tetapi tidak memberi pemacu ke tindakan. Dengan kata lain, moral
cenderung melarang dan kurang membekali perwujudan tindakan.

Anda mungkin juga menyukai