Makalah Pemilihan Bentuk Usaha
Makalah Pemilihan Bentuk Usaha
Makalah Pemilihan Bentuk Usaha
Dosen Bapak Dr. Radhi Abdul Halim R, SE, MM, AK, CA, BKP, CSRS, CSRA, CSP.
Kelompok 2 :
NPM : 51621220018
Kelas : A3
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
PEMILIHAN BENTUK USAHA
Bagi perusahaan, keputusan bisnis sebagian besar dipengaruhi oleh pajak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Sistem perpajakan di hampir semua negara mempunyai perlakuan yang berbeda atas kewajiban
perpajakannya tergantung dari bentuk usaha lainnya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kewajiban
perpajakannya. Oleh karena itu pemilihan bentuk usaha dalam menjalankan bisnis merupakan faktor yang penting
dalam rangka meminimalkan beban pajak penghasilan. Oleh karena itu pemilihan bentuk perusahaan adalah tahap
awal dari pendirian suatu perusahaan haruslah dengan benar demi kemajuan perusahaan tersebut. Untuk memilih
bentuk perusahaan, tentunya harus melalui pertimbangan yang matang dan perlu diperhatikan dengan cermat
bagaimana bentuk perusahaan tersebut dan hendaklah diperhatikan bahwa sebelum keputusan mengenai bentuk
usaha apa yang akan diambil, haruslah terlebih dahulu diadakan studi perbandingan mengenai jumlah pajak yang
harus dipikul pada setiap bentuk usaha, termasuk pula pertimbangan berbagi faktor bukan pajak.
Memilih bentuk usaha yang tepat merupakan hal pertama yang harus diperhatikan oleh investor/pengusaha.
Terkait ketentuan perpajakan yang berlaku, investor/pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha yang mana
yang memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan beban pajak yang paling kecil, dan yang
paling penting dari pemilihan bentuk usaha adalah tentu saja untuk mempertimbangkan keberlangsungan usaha
dalam jangka panjang.
Menurut Pohan (Zain, 2003:97) , Beberapa faktor pajak yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pemilihan
bentuk usaha adalah :
1. Bagaimana hubungan antara tarif PPh wajib orang pribadi dan tarif PPh wajib pajak badan termasuk
ketentuan khusus yang mengatur hal ini.
2. Pengenaan PPh secara berganda, baik atas laba bruto usaha maupun penghasilan dari pembagian
keuntungan ( dividen ) kepada para pemegang sahamnya.
3. Kesempatan untuk dapat menunda pengenaan pajak pada tarif PPh lebih kecil / besar apabila dibandingkan
dengan kesempatan yang terdapat pada tarif PPh dan akumulasi penghasilan perusahaan.
4. Adanya ketentuan-ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto ( kompensasi kerugian) dan kredit
investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu.
5. Kemungkinan pengajuan personal holding company dan seterusnya.
6. Liberalisasi ketentuan-ketentuan yang mengatur fringe benefit dan/atau payment in kind.
Usaha bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian atas tiga bentuk badan Usaha tersebut
bersumber dari Undang-Undang 1945 khususnya pasal 33. Di Indonesia kita mengenal 3 macam bentuk badan
yaitu:
1. Badan Usaha Milik Negera (BUMN)
BUMN adalah suatu bangun usaha yang didirikan oleh Negara dan pemiliknya dipegang oleh Pemerintah
atau Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini terdapat berbagai macam antara lain yang berupa
Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Negara (PN), Perusahaan Umum (PERUM) dan Persero (PT.
Persero).
2. Koperasi
Koperasi adalah bentuk badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang
melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar
atas azas kekeluargaan.
3. Swasta
Bentuk badan usaha ini adalah badan usaha yang pemiliknya sepenuhnya berada ditangan individu atau
swasta. Yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga ukuran keberhasilannya juga dari banyaknya
keuntungan yang diperoleh dari hasil usahanya. Perusahaan ini sebenarnya tidaklah selalu bermotif
mencari keuntungan semata tetapi ada juga yang tidak bermotif mencari keuntungan. Contoh : Perusahaan
swasta yang bermotif nirlaba yaitu Rumah Sakit, Sekolahan, Akademik, dll.
Bentuk Badan usaha ini dapat dibagi kedalam beberapa macam :
1. Bentuk perseorangan
2. Bentuk Badan Usaha (Persekutuan/Partnership)
3. Bentuk Usaha Tetap
Perlakuan Perpajakan berbeda terletak pada besarnya tarif pajak yang dikenakan serta lapisan kena pajak sebagai
dasar pengenaan tarif pajak. Pada kondisi tertentu, satu bentuk lebih diuntungkan dari pada bentuk lainnya.
1. Bentuk Usaha Perserorangan / Usaha Orang Pribadi
Usaha perorangan adalah bentuk usaha yang kepemilikannya dimiliki oleh satu orang. Individu dapat
membuat usaha perorangan tanpa izin dan tata cara tertentu. Semua orang bebas membuat bisnis
(personal) tanpa adanya batasan untuk mendirikannya. Pada umumnya usaha perorangan bermodal kecil,
terbatasnya dalam jenis maupun jumlah produksinya, memilki tenaga kerja yang sedikit serta penggunaan
alat produksi dengan teknologi sederhana.
Ciri dan sifat usaha perorangan antara lain :
- Relatif lebih sederhana,mudah didirikan dan juga dibubarkan, karena didirikan oleh seseorang, tanpa
melibatkan partner.
- Perijinan lebih mudah.
- Keterbatasan SDM dan Modal.
- Tanggung Jawab tidak terbatas dan bisa melibatkan harta pribadi.
- Seluruh keuntungan dinikmati sendiri.
- Sulit dalam mengatur jalannya perusahaan karena umumnya diatur sendiri oleh pemiliknya.
- Keterbatasn akses terhadap modal ke Perbankan dan Lembaga Keuangan lainnya.
- Jangka waktu badan usaha tidak terbatas atau seumur hidup.
- Sewaktu-waktu dapat dipindahtangankan.
Bagi usaha yang bersifat usaha perorangan, secara akuntansi keuntungan usaha berupa selisih penerimaan
dan biaya merupakan keuntungan bagi pemilik perusahaan (orang pribadi), Dalam hal ini tidak ada
pemisahan antara harta usaha dengan harta pribadi pemilik, demikian pula dengan pengeluaran-
pengeluaran untuk kepentingan usaha dengan pengeluaran untuk kepentingan pribadi pemilik (prive).
Sebaliknya menurut ketentuan perpajakan harus dibedakan antara harta usaha dengan harta yang tidak
diperkenankan diperhitungkan sebagai biaya misalnya prive, gaji pemilik dan lain sebagainya. Khusus bagi
pengusaha yang omzet setahunnya belum melebihi Rp. 4.800.000.000 tidak di wajibkan untuk
menyelenggarakan pembukan tetapi dapat memilih melakukan pencatatan, sehingga dalam penghitungan
PPh diperkenankan untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan. Konsekuensi bagi pengusaha
yang memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan adalah kerugian usaha tidak diakui atau
tidak dapat dikompensasikan dengan laba usaha.
Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan seluruhnya akan dinikmati
dan masuk ke kantong pribadi perorangan. Keuntungan tersebut akan dikenai pajak sesuai dengan lapisan
tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang diperoleh di atas Rp 5.000.000.000,00 kelebihannya akan
dikenai tarif tertinggi perpajakan sebesar 35% UU HPP yang sebelumnya Rp. 500.000.000 kelebihannya
dikenai tarif tertinggi perpajakan sebesar 30%. Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya
dihitung berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan oleh perorangan. Dalam usaha perorangan tidak
dikenal adanya pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah harta
miliknya perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan keuntungan usaha tetap harus
dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan untuk usaha, sehingga dapat dipisahkan biaya
penyusutan harta yang berhubungan dengan usaha. Karena tidak adanya pemisahan antara harta usaha
dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan kewajiban mendaftar NPWP hanya melekat pada diri
perorangannya. begitu pula dengan kewajiban melaporkan pajaknya.
Keuntungan dari Perseorangan mempunyai keuntungan:
1. Mudah dan murah dalam proses pembentukannya.
2. Pemilik perusahaan mengendalian secara langsung perusahaannya, dengan demikian memungkinkan
pengusaha untuk bertindak lanjut cepat.
3. Tidak terlalu dipengaruhi oleh peraturan - peraturan pemerintahan .
4. Pemilik menerima semua keuntungan dan menanggung semua kerugian usaha.
5. Bebas dari pajak penghasilan apabila penghasilan masih dibawah PTKP
Kelemahan Perseorangan yaitu keterbatasa dalam mendapatkan modal
Dalam melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya, usaha perseorangan:
1. Menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi, yaitu pemilik yang sebenarnya dari
usaha tersebut untuk keperluan perpajakan.
2. Pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam menjalankan kegiatan usahanya, namun dalam hal
peredaran usaha pengusaha dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp. 4,8 miliar, pengusaha boleh
tidak melakukan pembukuan, namun wajib membuat pencatatan. Dalam menghitung penghasilan neto
untuk keperluan perpajakan, pengusaha menggunakan norma. Ketentuan mengenai pembukuan diatur
dalam Pasal 28 UU KUP, ketentuan mengenai norma penghitungan penghasilan neto diatur dalam
Pasal 14 UU PPh dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015, Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 54/PMK.03/2021, Tentang Tata Cara Melakukan pencatatan dan
kriteria tertentu serta tata cara menyelenggarakan pembukuan untuk tujuan perpajakan
3. Selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sesuai ketentuan UU PPh,
pengusaha juga boleh mengurangkan penghasilan netonya dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) yang dihitung berdasarkan keadaan/status perkawinan Wajib Pajak dan jumlah
tanggungannya. Ketentuan mengenai biaya yang dapat dikurangkan merajuk Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) RI No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP.
4. Dalam penghitungan pajak terutang, berlaku tarif pajak progresif, yaitu tarif pajak yang semakin
meningkat seiring besarnya penghasilan kena pajak. Ketentuan mengenai perubahan tarif pajak orang
pribadi berdasarkan UU HPP yang memperbaharui Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.
5. Apabila usaha yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam PP No 46/2013, dan
mengalami pokok-pokok perubahan menjadi PP No 23/2018, bagi pengusaha yang dalam satu tahun
pajak peredaran usahanya tidak lebih dari Rp 4,8 miliar, pengusaha wajib menghitung pajaknya secara
final dengan tarif 0,5% dari peredaran usaha setiap bulannya. Dan melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP ) mengatur Wajib Pajak orang
Pribadi UMKM dengan peredaran bruto sampai dangan Rp. 500 juta pertahun tidak perlu membayar
PPh Final sebesar 0,5 %.
Terkait dengan ketentuan perpajakan, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam memilih bentuk
usaha Perseorangan adalah:
1. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Perseorangan
Berdasarkan UU HPP ( UU N0.7 tahun 2021 tanggal 29 Oktober 2021 ) memperbaharui Pasal 17 ayat
(1) huruf a UU PPh
UU PPh
No Batasan Penghasilan Kena Pajak % Tarif PPh Progresif
1 s.d 50 Juta 5%
2 Lebih 50 juta s.d 250 Juta 15%
3 Lebih 250 Juta s.d 500 Juta 25%
4 Lebih 500 Juta 30%
UU HPP
No Batasan Penghasilan Kena Pajak % Tarif PPh Progresif
1 s.d 60 Juta 5%
2 Lebih 60 juta s.d 250 Juta 15%
3 Lebih 250 Juta s.d 500 Juta 25%
4 Lebih 500 Juta s.d 5 Milyar 30%
5 Lebih 5 Milyar 35%
25 % X 250.000.000 = 62.500.000
30 % X 132.500.000 = 39.750.000
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 19,3 %
Dari analisis di atas, ada beberapa hal penting yang perlu di catat :
1. Pertimbangan Investor, Beban pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan ternyata lebih
kecil dibandingkan daripada usaha berbentuk PT.
2. Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak yang jauh lebih besar dari
pada bentuk badan usaha lainnya. Namun kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas
dasar pertimbangan ini semata, harus memperhatikan pertimbangan lainnya.
3. Pemilihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan oleh
para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu satunya
pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih banyak variabel lain yang harus
diperhatikan investor.
Kelebihan dan kekurangan bentuk usaha CV, sebagaimana diuraikan Santoso dan Rahayu, (2013:91)
antara lain:
Kelebihan :
1. Relatif mudah dalam proses pendiriannya.
2. Kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi.
3. Cenderung lebih mudah memperoleh kredit.
4. Dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik.
5. Lebih fleksibel karena bagi sekutu akan lebih akan lebih mudah untuk menginvestasikan maupun
mencairkan kembali modalnya.
6. Tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT.
7. Anggaran dasar tidak perlu mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM
Kekurangan:
1. Kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak tergantung dari sekutu yang aktif yang bertindak
sebagai sekutu pemimpin CV.
2. Tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh terhadap semangat untuk
memajukan perusahaan.
3. Kewajiban sekutu yang tidak terbatas.
4. Perlindungan hukumnya masih dianggap minim
Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma berkewajiban untuk mendaftarkan NPWP yang terpisah
dengan kewajiban para pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan penghasilannya CV atau Firma yang
akan dikenai pajak dan dilaporkan oleh CV atau Firma sebagai Wajib Pajak. Sedangkan penghasilan
seorang investor dari penanaman modal di CV atau Firma adalah penghasilan berupa pembagian laba. Jika
seorang investor juga aktif menjalankan usaha, investor dapat saja menerima tambahan penghasilan lain
berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari CV atau Firma kepada pemilik tidak
dianggap sebagai terjadinya aliran penghasilan, sehingga pajak tidak mengakui adanya pengurangan
berupa biaya gaji pemilik di CV atau Firma. Sebaliknya penerimaan berupa gaji oleh pemilik tidak
dianggap sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik demikian juga atas pembagian laba yang diterima
oleh pemilik.
Pajak memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan CV atau Firma diperlakukan sebagai satu
kesatuan dalam penghitungan PPh atas keuntungan usaha. Satu kesatuan dalam hal ini adalah tambahan
kemampuan ekonomis dari usaha CV atau Firma hanya akan dikenai PPh satu kali yaitu di CV atau Firma.
Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan memiliki persamaan perlakuan perpajakan yaitu
keuntungan usaha sama-sama diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan penghasilan pemiliknya. Hanya
bedanya keuntungan usaha perorangan dikenai pajak di sisi perorangan sebagai WPOP sedangkan
keuntungan usaha CV dikenai pajak di sisi CV sebagai WP badan.
Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan pengurangan biaya berupa gaji pemilik dan
pembagian keuntungannya.
Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan usaha
perorangan yaitu dari sisi tarif pajak. Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak bagi CV adalah
sebelumnya dapat menggunakan skema PPh Final UMKM PPh Final PP 23/2018, masuk tahun 2022
sudah tidak diijinkan untuk menggunakan skema PPh Final UMKM. Jadi CV wajib menghitung PPh
badan dengan tarif umum yakni sebesar 22%, sedangkan tarif pajak perorangan tertinggi berubah dari
30% menjadi 35%.
Secara umum ketentuan perpajakan terkait CV diantaranya:
1. CV merupakan subjek pajak badan dalam negeri. Dalam UU PPh dijelaskan pengertian subjek PPh
pajak badan, bahwa subjek pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga,
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
2. Karena CV merupakan subjek pajak badan, maka CV harus mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
3. Selain harus mendaftarkan NPWP dan/atau PKP atas nama CV, CV juga harus menyelenggarakan
pembukuan.
4. Laba yang didistribusikan kepada sekutu tidak dikenai pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4
ayat (3) UU PPh yang menyebutkan bahwa bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif dikecualikan sebagai
objek pajak
5. Gaji yang dibebankan oleh CV kepada para sekutu tidak dapat menjadi pengurang sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 UU PPh
6. Dalam mengitung PPh nya CV menggunakan tarif tunggal 25 % atau 12,5% dan mengalami perubahan
pada tahun 2020 menggunakan tarif tunggal 22% atau 11% apabila memenuhi ketentuan Pasal 31E UU
PPh.
Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17 undang-undang Pajak
Penghasilan (sama dengan PT). Pembagian keuntungan kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa
dibebankan sebagai biaya CV, tidak dipotong PPh pasal 23 dan bagi yang menerima bukan sebagai obyek
pajak. Dengan kata lain, Pajak penghasilan hanya dikenakan pada Perusahaan (Badan) saja dan tidak ada
double taxation.
Contoh :
CV. B bergerak dalam usaha perdagangan besar, laba rugi tahun 2019 menunjukkan informasi sebagai
berikut:
Keterangan Jumlah (Rp)
Peredaran Usaha 60.000.000.000
Harga Pokok Penjualan 58.800.000.000
Laba Bruto 1.200.000.000
Biaya Operasi (tidak termasuk gaji para sekutu ) 500.000.000
Laba Usaha Sebelum Pajak 700.000.000
Contoh :
PT. C bergerak sebagai distributor Tas, Fashion, Aksesoris dll yang terbuat dari bahan yang aman dan
berkualitas. Laba/rugi PT.C tahun 2019 menunjukkan informasi sebagai berikut:
Pada saat laba usaha dibagikan kepada para megang saham, dikenai PPh atas dividen sebesar 10%,
yaitu :
Keterangan Jumlah (Rp )
Laba usaha yang akan dibagikan 525.000.000
sebagai dividen
PPh atas dividen (Pasal17 ayat (2c) UU 52.500.000
PPh
Sehingga total pajak terutang oleh PT dan persentasenya terhadap peredaran usaha dapat dihitung
sebagai berikut :
Keterangan Jumlah (Rp)
Jumlah PPh terutang 227.500.000
Persentase PPh Terutang terhadap laba 32,5%
Usaha
Perseroan komanditer (CV) maupun PT adalah dua bentuk badan usaha yang berorientasi pada profit
motive yang sangat diminati oleh para pengusaha. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih
antara CV dengan PT yaitu:
1. Pengakuan Biaya gaji bagi pemiliknya
Bagi perusahaan yang berbentuk perseroan komanditer (CV) yang modalnya tidak terbagi atas saham,
biaya gaji yang dibayarkan kepada anggota atau pemilik CV tersebut bukan merupakan biaya.
Sedangkan untuk perseroan terbatas (PT) yang modalnya terbagi atas saham maupun yang terbagi atas
saham, biaya gaji pemilik tersebut diakui sebagai biaya.
Dengan adanya perbedaan atas pengakuan gaji bagi pemiliknya antara CV ataupun PT yang modalnya
tidak terbagi atas saham, sehingga hal tersebut bisa dijadikan pertimbangan badan usaha mana yang
akan dipilih.
Bagi Pemilik CV ataupun PT yang ikut melaksanakan kegiatan usaha, baik sebagai direktur maupun
komisaris mendapatkan gaji atau sejenisnya, tentu memilih bentuk PT dibanding CV, karena dengan
dapat dikurangkannya pembayaran gaji atau sejenisnya kepada pemilik hal tersebut akan membuat laba
kena pajak perusahaan lebih rendah.
Gaji dari pemilik CV yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai pembagaian
keuntungan, tentu saja pengakuan penghasilannya diakui oleh pemilik CV tersebut, sedangkan untuk
PT selain harus diakui oleh orang pribadi pemilik PT, Penghasilan tersebut pajaknya sudah dihitung
pada saat pembayaran gaji.
Contoh:
Tuan A adalah CV.X yang modalnya tidak terbagi atas saham. Ia sekaligus sebagai direkturnya dan
mendapat gaji Rp. 400.000.000 untuk setahun. Bagaimana perbandinngan PPh terutang perusahaan itu
apabila menggunakan bentuk PT. Penghasilan kena pajak CV. X adalah Rp. 500.000.000,- setelah
memperhitungkan gaji Tuan A tersebut.
Besarnya PPh terutang dihitung sebagai CV dan sebagai PT adalah sebagai berikut:
Keterangan Bentuk PT Bentuk CV Selisih
Penghasilan Bersih 500.000.000 500.000.000 0
Koreksi Gaji 0 400.000.000 400.000.000
Penghasilan Kena 500.000.000 900.000.000 400.000.000
Pajak
PPh terhutang 125.000.000 225.000.000 100.000.000
Dari perhitungan diatas tampak bahwa PPh terutang bentuk usaha CV lebih Besar dibandingkan
dengan bentuk usaha PT.
2. Perlakuan keuntungan
Keuntungan yang didapat oleh badan udaha, apabila dibagikan kepada pemegang saham berupa
deviden akan terutang PPh. Namun bagi wajib pajak berbentuk CV akan modalnya tidak dibagikan atas
saham maka atas deviden yang dibagikan tidak terutang PPh. Sedangkan bagi PT yang sahamnya
dimiliki oleh badan usaha termasuk koperasi yang aktif atas pembagian devidennya tidak dipotong
PPh.
Dari pertimbangan itu apabila wajib pajak mendirikan usaha dalam bentuk perseroan terbatas maka
lebih menguntungkan kalau modalnya tidak dijual bebas dalam bentuk saham. Demikian pula apabila
bentuk usahanya berupa Perseroan Terbatas, maka pemegang saham cenderung setor modal saham ke
badan usaha yang jumlahnya tidak banyak tetapi modalnya rata-rata 25 %.
Contoh:
Keseluruhan laba bersih CV. X yang telah menjadi laba ditahan sebesar Rp. 500.000.000,- dibagi
sebagai deviden kepada pemegang anggotanya.
Bagaimana perbandingan PPh terhutang atas deviden yang dibagikan oleh CV. X dibanding kalau CV.
X sebagai PT. dan yang menerima deviden adalah sama yaitu Tuan A.
Dari perhitungan tersebut tampak besarnya PPh terutang atas deviden jauh lebih tinggi kalau berbentuk PT
Perorangan Dgn
Perorangan Dgn
Keterangan PT CV Norma
Pembukuan
Penghitungan *1)
Penjualan 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000
Beban Usaha 1.200.000.000 1.200.000.000 1.200.000.000 0
Laba Usaha 300.000.000 300.000.000 300.000.000 450.000.000
PTKP K/3 0 0 72.000.000 72.000.000
Penghasilan Kena Pajak 300.000.000 300.000.000 228.000.000 378.000.000
PPh Terutang 75.000.000 75.000.000 29.200.000 64.500.000
Laba Sesudah PPh 225.000.000 225.000.000 198.800.000 313.500.000
PPh 23 Atas Deviden 33.750.000 — — —
Total Beban Pajak 108.750.000 75.000.000 29.200.000 64.500.000
Persentase Beban Pajak 48,33 % 33,33 % 14,69 % 20,57 %
terhadap Laba Usaha
Asumsi:
1) Norma Penghitungan Untuk Pedagang Eceran 30% dari Peredaran Bruto
2) Beban Usaha 80% dari Penjualan
3) PTKP K/3 = Rp. 72.000.000
4) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen, dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%
Dari contoh diatas, terlihat bahwa total Beban PPh Terutang terendah adalah usaha perorangan dengan
pembukuan sebesar Rp. 29.200.000, sedangkan total Beban PPh Terutang terbesar adalah pada usaha perorangan
dengan Norma penghitungan sebesar Rp. 64.500.000. Hal ini terjadi karena secara umum Norma Penghitungan
menetapkan margin keuntungan usaha yang lebih besar (30%) daripada keuntungan usaha sebenarnya (20%
dengan pembukuan). Pada prakteknya, usaha perorangan/orang pribadi mengalami dilema, jika menggunakan
Pencatatan peredaran bruto (yang mudah/sederhana) dengan Norma penghitungan, Persentase keuntungan yang
sebenarnya masih jauh lebih kecil daripada % Keuntungan yang diterapkan dalam Norma penghitungan.
Sebaliknya, jika mau melakukan pembukuan, masih sulit dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Secara umum, seperti contoh diatas total beban pajak PT akan selalu lebih besar dari CV ataupun perorangan,
karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus dipotong dari dividen yang dibayarkan oleh PT, sedangkan
pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan pajak (bukan obyek pajak). Maka motivasi sesorang untuk lebih
memilih bentuk usaha PT dari pada CV adalah faktor-faktor lain selain faktor pajak.
Asumsi :
a) Beban Usaha 80% dari Penjualan
b) PTKP K/3 = Rp. 72.000.000
c) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen dengan tarif 15%
Dari contoh di atas terlihat bahwa total beban pajak penghasilan terkecil adalah CV sebesar Rp. 450.000.000,
diikuti Usaha Perorangan Rp. 463.400.000 dan yang terbesar adalah PT sebesar Rp. 652.500.000. Dengan
demikian perbedaan besarnya total beban pajak yang dibayar oleh usaha perorangan dan PT/CV tergantung pada
besarnya Penghasilan kena pajak (laba). Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tarif PPh pasal 17 untuk
badan (dengan tarif maximum 25%) dan orang pribadi (dengan tariff maximum 30%).
PPh pasal 23 yang dipotong oleh PT atas dividen yang dibagikan sebesar 15% adalah tidak final, sehingga
besarnya tariff efektif akan tergantung pada besarnya penghasilan pemegang saham (sebagai perorangan). Contoh:
jika penghasilan kena pajak pemegang saham (perorangan) diluar dividen ini sudah mencapai Rp. 200.000.000,
maka tarif efektif atas dividen ini menjadi 35% sehingga total beban pajak atas PT menjadi lebih besar lagi.
Kesimpulan:
Pilihan bentuk usaha ternyata berpengaruh terhadap aspek PPh yang akan dihadapi oleh seorang investor. Kajian
dari tiga pilihan apakah usaha perorangan, badan usaha yang modalnya tidak terbagi atas saham seperti CV atau
Firma atau PT ternyata menunjukkan bahwa pilihan bentuk usaha yang tidak terbagi atas saham memiliki
keuntungan pajak tersendiri. Keuntungan tersebut jika dibandingkan dengan usaha perorangan adalah pengenaan
tarif pajak tertinggi yang lebih rendah dibandingkan tarif pajak tertinggi perorangan. Jika dibandingkan dengan
bentuk PT maka keuntungan CV atau Firma adalah tidak dikenakannya pajak ganda (double tax) atas pembagian
laba atau dividen.
Kajian di atas tentunya hanya memandang dari sudut perpajakan khususnya PPh dengan kondisi apapun bentuk
usaha yang dipilih memberikan hasil yang sama bagi seorang investor. Secara lebih mendalam tentu pertimbangan
pemilihan bentuk usaha tidaklah sesederhana itu. Banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan, seperti aspek
tanggung jawab pemegang saham, aspek kemudahan akses ke pihak lain seperti bank, dan lain sebagainya. Namun
demikian sudut pandang aspek pajak ini setidaknya dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam
memilih bentuk usaha.
Usaha bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian atas tiga bentuk Badan Usaha tersebut
bersumber dari Undang - Undang 1945 khususnya pasal 33. Di Indonesia kita mengenal 3 macam bentuk badan
yaitu Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ), Koperasi dan Swasta. Bentuk badan usaha swastadapat dibagi
kedalam beberapa macam : Perseorangan, Firma, Perserikatan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas (PT),
Yayasan Pilihan bentuk badan usaha yang tersedia secara umum adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT),
Perseroan Kommanditer (CV) atau Perorangan (Pribadi). Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total beban
pajak PT akan selalu lebih besar dari CV, karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus dipotong dari dividen
yang dibayarkan oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan pajak (bukan obyek pajak).
Sedangkan (seperti ilustrasib tabel 2) perbedaan besarnya total beban pajak yang dibayar oleh usaha perorangan
dan PT/CV tergantung pada besarnya Penghasilan kena pajak (laba). Hal ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan tariff PPh pasal 17 untuk badan (dengan tariff maximum 30%) dan orang pribadi (dengan tarif
maximum 35%).
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak bukanlah satu-satunya alasan dalam pemilihan bentuk
usaha, namun pemilihan bentuk usaha yang tepat dapat memberikan penghematan pajak.
Saran
Pajak bukanlah satu-satunya alasan dalam pemilihan bentuk usaha, namun pemilihan bentuk usaha yang tepat
dapat memberikan penghematan pajak. Sehingga dalam melakukan penghematan tersebut bisa dengan cara
perencanaan pajak agar kewajiban perbajakan dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA