Jumat, 26 Juli 2013: Makalah Metode Penelitian Tafsir

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 35

https://lidadaryatiselaludihati.blogspot.com/?

m=1

Jumat, 26 Juli 2013


Makalah metode Penelitian Tafsir

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan zaman menyebabkan orang-orang


khususnya para ahli untuk terus meneliti berbagai
bentuk model penelitian. Salah satunya adalah model
penelitian tafsir yang sangat diperlukan karena
mempunyai banyak manfaat diantaranya di gunakan
untuk menafsirkan ayat-ayat yang terkandung dalam
Alquran.

Dalam perkembangannya, model penelitian tafsir


banyak yang melatar belakanginya salah satunya
adalah karena banyak bermunculan hadist-hadist palsu
setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw dan karena
banyak terjadi perubahan sosial yang belum pernah
terjadi di masa Rasulullah Saw.

Dalam kajian kepustakaan dapat di jumpai berbagai


hasil penelitian para pakar Alquran terhadap produk
tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Masing-masing
peneliti telah mengembangkan model-model
penelitian tafsir yang lengkap dengan hasil-hasilnya.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan


masalahnya adalah:

1. Apakah yang di maksud dengan tafsir dan apa


sajakah fungsinya?

2. Bagaimanakah latar belakang tafsir?

3. Apa sajakah model-model penelitian tafsir?

C. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi


tugas yang di berikan oleh dosen pembimbing mata
kuliah metode studi islam. Selain itu ada beberapa
tujuan yang lain, di antaranya:

1. Menjelaskan tentang tafsir beserta fungsinya

2. Menjelaskan latar belakang tafsir

3. Menyebutkan dan menjelaskan model-model


penelitian tafsir

BAB II

MODEL PENELITIAN TAFSIR


A. Pengertian Tafsir dan Fungsinya

Kata model berarti contoh, acuan, ragam, atau


macam[1]. Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan,
penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara
secara seksama dengan tujuan mencari kebenaran-
kebenaran objektif yang di simpulkan melalui data-data
yang terkumpul. Kemudian kebenaran-kebenaran
tersebut digunakan sebagai dasar atau landasan untuk
pembaharuan pengembangan atau perbaikan dalam
masalah-masalah teoretis dan praktis dalam bidang-
bidang pengetahuan yang bersangkutan.

Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara,


yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman
dan perincian[2]. Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-
tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain
mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan
timbangan (wazan) kata tafil diambil dari kata al-
fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-
kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan
dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah
yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.

Pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar


Alquran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda,
namun esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya
mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna
ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks
historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan
menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat
menunjuk kepada makna yang di kehendaki secara
terang dan jelas. Iman Al-Zarqani mengatakan bahwa
tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Alquran
baik dari segi pemahaman, makna atau arti sesuai di
kehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan
manusia[3]. Abu Hayan, sebagaimana dikutip Al-
Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang
didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara
mengucapkan lafal-lafal Alquran disertai makna serta
hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Az-
Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang
fungsinya untuk mengetahui
kandungan kitabullah (Alquran), dengan cara
mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah
yang terkandung didalamnya[4].

Dari beberapa definisi di atas kita menemukan tiga ciri


utama tafsir:

1. Di lihat dari segi objek pembahasannya adalah


kitabullah (Alquran) yang di dalamnya terkandung firman
Allah Swt yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad Saw melalui malaikat Jibril.

2. Dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan,


menerangkan,
menyingkap kandungan Alquran sehingga dapat di
jumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang
terkandung di dalamnya.

3. Dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil


penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang
didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang
dimilikinya, sehigga suatau saat dapat di tinjau kembali.

Dengan demikian, secara singkat dapat di ambil suatu


pengertian bahwa yang dimaksud dengan model
penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan,
atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap
penafsiran Aquran yang pernah dilakukan generasi
terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai
hal yang terkait dengannya.

Objek pembahasan tafsir, yaitu Alquran merupakan


sumber ajaran islam. Maka menurut, Quraish Shihab
pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran, melalui
penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat
besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran
mereka.

B. Latar Belakang Penelitian Tafsir

Dilihat dari segi usianya, penafsiran Alquran termasuk


yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah
lainnya dalam islam. Pada saat Alquran diturunkan lima
belas abad yang lalu, Rasullullah Saw yang berfungsi
sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah
menjelaskan arti dan kandungan Alquran kepada
sahabat-sahabatnya, khususnya ayat-ayat yang tidak
diketahui artinya. Setelah wafatnya Rasulullah mereka
terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang
mempunyai kemampuan semacam Ai Bin Abi Thalib, Ibn
‘Abbas, Ubay bin Kaab dan Ibn Mas’ud[5].

Disamping itu, para tokoh tafsir di kalangan sahabat


mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya di
kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah
tokoh-tokoh baru dari kalangan tabi’in di kota-kota
tersebut.
Penafsiran Rasululah SAW, penafsiran sahabat-
sahabat, serta penafsiran tabi’in di kelompokkan
menjadi satu kelompok yang selanjutnya dijadikan
periode pertama dari perkembangan tafsir.

Berlakunya periode pertama tersebut dengan


berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H,
merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan
tafsir. Pada periode kedua ini bermunculanlah hadits-
hadits palsu dan lemah di tengah masyarakat yang
mengakibatkan perubahan sosial semakin menonjol dan
timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi
pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat
dan tabi’in.

Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran Al-Qur’an


dari sejak zaman Rasulullah SAW hingga dewasa ini,
serta adanya sifat dari kandungan Al-Qur’an yang terus
menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang
mendorong timbulnya dua kegiatan. Pertama,kegiatan
penelitian disekitar produk-produk penafsiran yang
dilakukan generasi terdahulu, dan kedua, kegiatan
penafsiran Al-Qur’an itu sendiri[6].

C. Model-Model Penelitian Tafsir

1. Model Quraish Shihab

Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M.


Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif,
deskriptif, analitis, dan perbandingan. Model penelitian
ini berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir baik
yang bersifat primer, yakni yang di tulis oleh ulama tafsir
yang bersangkutan, maupun ulama lain. Data-data yang
di hasilkan dari berbagai literatur , kemudian
dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan
menggunakan pendekatan kategorisasi dan
perbandingan.

Hasil penetian H.M. Quraish Shihab terhadap Tafsir al-


Manar Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa
Syaikh Muhammad Abduh (1849-1909) adalah salah
seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal,
menganut prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat yang
kandungannya
tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-
ayat yang samar atau tidak terperinci dalam Alquran.

Dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu,


Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya
tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari
penelitian tersebut dihasilkan kesimpulan yang
berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang: 1.
Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan; 2. Corak-
corak penafsiran; 3. Macam-macam metode penafsiran
Alquran; 4. Syarat-syarat dalam menafsirkan Alquran; 5.
Hubungan tafsir modernisasi[7]. Berbagai aspek yang
berkaitan dengan penafsiran Alquran ini dapat
dikemukakan secara singkat sebagai berikut.

a. Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir

Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari


segi penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir
dapat dibagi ke dalam tiga periode[8]. Periode I, yaitu
masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in,
dimana tafsir belum tertulis dan secara umum
periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode
II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada
masa pemerintahan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (99-101 H)
dimana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan
penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab –bab
hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu
umumnya adalah tafsir bin al-Ma’tsur. Periode
III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara
khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli dimulai
oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya
berjudul Ma’ani Alquran.

Periodesasi tersebut masih dapat ditambahkan lagi


dengan periode keempat, yaitu periode munculnya para
peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitian itu,
sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-
karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada periode
sebelumya dengan mudah.

b. Corak-corak penafsiran
a. Corak sastra Bahasa, yang timbul akibat
kelemahan- kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri
dibidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk
menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan
kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.

b. Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan


kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak,
serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke
dalam lslam yang dengan sadar atau tidak masih
mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama
mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju
atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran
mereka.

c. Corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan


ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami
ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.

d. Corak Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya


ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab – mazhab fiqih
yang setiap golongan berusaha membuktikan
kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran –
penafsiran mereka terhadap ayat – ayat hukum.

e. Corak Tasawuf, akibat timbulnya gerakan – gerakan


sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai
pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi
terhadap kelemahan yang dirasakan.

f. Bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh


(1849 – 1905 M) corak – corak tersebut mulai berkurang
dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra
budaya kemasyarakatan.

c. Macam-macam metode penafsiran Alquran

Secara garis besar dapat dibagi dua:

1) Corak Ma’tsur ( Riwayat)


Metode Ma’tsur memiliki keistimewaan antara lain:

a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahai


Al-Qur’an.

b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika


menyampaikan pesan – pesannya.

c. Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat – ayat


sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektipitas
berlebihan.

Sedangkan kelemahannya yaitu:

a. kebahasaan dan kesusastaraan yang bertele –


tele.

b. Sering kali konteks turunnya ayat atau sisi


kronologis turunnya ayat – ayat hukum yang dipahami
dari uraian nasih mansukh hampir dapat dikatakan di
abaikan sama sekali[9].

2) Metode penalaran: pendekatan dan corak –


coraknya.

a. Metode Tahlily

Metode ini dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai


metode tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufasir
berusaha menjelaskan ayat – ayat Al-Qur’an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat
– ayat Al-Qur’an sebagai mana tercantum dalam
mushaf[10].

Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk


memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran
terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-
kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala
aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap
ayat. Analisi ayat dilakukan secara mendalam sejalan
dengan keahlian, kemampuan dan
kecenderungan mufassir.

Cara penafsiran ayat-ayat dalam Tafsir Al-


Kasysyaf karangan Al-
Zamakhsyari dan Tafsir Al-Kabir karangan Al-Razi,
biasanya dijadikan sebagai contoh untuk memahami
tafsir dengan cara tahlily.

b. Metode Ijmali (metode global)

Cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan


menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada
suatu ayat secara global. Metode ini cukup dengan
menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat
secara garis besar.

c. Metode Muqarin

Metode tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara


membandingkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang
satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang
mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih
kasus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi
yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama
atau diduga sama dan atau membandingkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.
Yang tampak bertentangan serta membandingkan
pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran
Al-Qur’an.

Prosedur penafsiran dengan cara muqarin adalah:

1). Menginventarisasi ayat-ayat yang mempunyai


kesamaan dan kemiripan redaksi.

2). Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat


tersebut.

3). Mengadakan penafsiran.

d. Metode Maudlu’iy

Metode ini berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an


dari berbagai surat yang berkaitan dengan berbagai
persoalant atau topik yang di tetapkan sebelumnya.
Kemudian penafsir membahas dan menganalisis
kandungan
ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh[11].

Metode maudlu’iy mempunyai dua pengertian:

Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam


Alquran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara
umum dan merupakan tema sentralnya, serta
menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka
ragam dalam surat antara satu dengan yang lainnya dan
juga dengan tema tersebut , sehingga satu surat
tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kedua, penafsiran
yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Alquran yang
membahas satumasalah tertentu dari bebagai ayat atau
surat Alquran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai
dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna
menarik petunjuk Alquran secara utuh tentang masalah
yang dibahas itu.

2. Model Ahmad Al-Syarbashi

Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan


penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode
deskriptif, eksploratif dan analisis. Sedangkan sumber
yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau
kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn
Jarir Al-Thabari, Al-Zamakhsyari, Jalaluddin Al-Suyuthi,
Al-Raghib Al-Ashfahani, Al-Syatibi, Haji Khalifah[12].
Hasil penelitian itu mencakup tiga bidang:
1. Mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an yang di
bagi kedalam tafsir pada masa sahabat Nabi.

2. Mengenai corak tafsir, yaitu tafsir, ilmiah, tafsir sufi,


dan tafsir politik.

3. Mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.

Menurutnya,tafsir pada zaman Rasullullah SAW, pada


masa pertumbuhan islam disusun pendek dan ringkas
karena penguasaan bahasa arab yang
murni cukup memahami gaya dan susunan Al-Qur’an.
Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa arab
yang murni tadi mengalami kerusakan akibat
percampuran masyarakat arab dengan bangsa-bangsa
lain. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang
arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa arab
seperti ilmu Nahwu (gramatika) dan Balagbab (retorika).
Disamping itu, mereka juga mulai menulis tafsir Al-
Qur’an untuk dijadikan pedoman bagi kaum muslim,
sehingga umat islam dapat memahami banyak hal yang
samar dan sulit untuk ditangkap maksudnya.

Tentang tafsir ilmiah, Ahmad Al-Syarbashi mengatakan,


sudah dapat kita pastikan bahwa dalam Al-Qur’an tidak
terdapat suatu teks induk yang bertentangan
dengan bermacam kenyataan ilmiah. Munculnya istilah
tafsir ilmiah yang dikemukakan Al-Syarbashi tersebut di
dasarkan data pada kitab Tafsir Ar-Razi. Dalam kaitan
ini ia mengatakan bahwa dalam kitab Tafsir Ar-Razi
banyak bagiannya yang di anggap ilmiah,sama halnya
dengan kitab tafsir Muhammad bin Ahmad Al-Iskandrani
denga judul yaitu,Kasyful Asrar A-Nuraniyah al-
Qur’aniyyah fi Ma Yata’allaqu bi al-Arwah al-
Samawiyyah wa al-Ardliyah.Demikian juga kitab-kitab
tafsir yang lain seperti Muqaranatu Ba’dhi Mababith al-
Hai’ah bi al-Warid fi al-Nushushy Syar’iyyah,Karya
Abdullah Pasha Fikri;Kitab Tafsir al-Jawahir karya
Syaikh Thantawi Jauhari,dan kitab-kitab tafsir lainnya
yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an secara ilmiah.

Selanjutnya,tentang tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakan


ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf Al-
Qur’an dan berusaha menerangkan hubungannya yang
satu dengan yang lainnya[13]. Adanya tafsir sufi
tersebut ,Al-Syarbashi mendasarkan kepada kitab-kitab
tafsir yang dikarang para ulama sufi.Untuk itu ia
mengutip pendapat Al-Thusi yang mengatakan bahwa
segala sesuatu yang telah dapat dijangkau dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan,segala sesuatu
yang telah dapat dipahami dan segala sesuatu yang
telah diungkapkan serta diketahui oleh manusia,
semuanya itu berasal dari dua huruf yang terdapat Pada
permulaan Kitabullah,yaitu bismillah dan al-hamdulillah
karna keduanya bermakna billah(karena
Allah)dan lillah(bagi Allah).Ilmu dan pengetahuan apa
saja yang dimiliki manusia atau apa saja
yang telah dapat di mengerti olaeh manusia tidaklah ada
dengan sendirinya,melainkan adanya Allah dan bagi
Allah.

Mengenai tafsir politik,Al-Syarbashi mendasarkan pada


pendapat-pendapat kaum Khawarij dan lainnya yang
terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat Al-
Qur’an.Menurut mereka terdapat ayat-ayat Al-Qur’an
yang berkenaan dengan perilaku dan peran politik yang
dimainkan oleh kelompok yang bertikai.Misalnya ayat
yang artinya;Diantara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya demi keridhaan Allah.(QS.Al-
Baqarah,2:207).Menurut kaum Khawarij , ayat tersebut
turun berkenaan dengan Ibn Muljam, orang yang
membunuh ‘Ali bin Adi Thalib.Selanjutnya,ayat yang
artinya:jika ada dua golongan dari orang-orangyang
beriman berperang,damaikanlah antara keduanya(QS
Al-Hujarat,9).Menurut kaum Khawarij ayat tersebut
diturunkan Allah berkaitan dengan terjadinya
peperangan antara golongan Ali bin Abi Thalib dengan
golongan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Selanjutnya,mengenai gerakan pembaharuan di bidang


tafsir,Ahmad AL-Syarbasri mendasarkan pada beberapa
karya ulama yang muncul pada awal abad ke-20. Ia
menyebutkan Sayyid Rasyid Ridha murid Syeikh
Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan
kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-manar.Untuk
langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah
penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang
diberi nama Tafsir al-Manar, yang artinya kitab tafsir
yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan
perkembangan zaman.Menurut Al-Syarbasri,
Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan
ajaran-ajaran Al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat
disamping membuktikan bahwa islam adalah agama
yang memiliki sifat universal, umum, abadi,dan cocok
bagi segala keadaan, waktu dan tempat.Metode tafsir
yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsirnya itu
adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis-
hadis shaih serta dengan tetap berpegang pada makna
menurut pengertian bahasa Arab.Hal ini dilakukan,
karena Syeikh Muhammad Abduh memandang bahwa
teks induk Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang saling
melengkapi dan menyempurnakan.
3. Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali

Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh


pemikir Islam abad modern yang produktif. Ia
menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak
eksploratif,deskriptif,dan analitis dengan berdasar pada
rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama
terdahulu[14].

Tentang macam-macam metode memahami Al-


Qur’an,Al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik
dan metode modern dalam memahami AlQur’an.
Selanjutnya, Muhammad Al-Ghazali mengemukakan
bahwa metode modern itu timbul sebagai akibat dari
adanya kelemahan pada berbagai metode. Dalam
hubungan ini, Muhammad Al-Ghazali menginformasikan
adanya pendekatan atsariyah atau tafsir bi al-ma’tsur.

Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang


terkandung dalam metode penafsiran masa
lalu,terutama jika dikaitkan dengan keharusan
memberikan jawaban terhadap berbagai masalah
kontemporer dan modern,Muhammad Al-Ghazali
sampai pada suatu saran antara lain: “Kita inginkan saat
ini adalah karya-karya keislaman yang menambah
tajamnya pandangan islam dan bertolak dari pandangan
Islam yang benar dan berdiri di atas argument yang
memiliki hubungan dengan Al-Qur’an. Kita hendaknya
berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah
relatif dan spekulatif, bisa benar bisa juga salah. Disisi
lain,kita juga menutup mata terhadap adanya manfaaat
atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan
lainnya,bila itu semua menggunakan metode yang tepat.
Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang diajukan
Muhammad Al-Ghazali dari hasil penelitiannya.

4. Model Penelitian Lainnya

Selanjutnya, dijumpai pula penelitian yang dilakukan


para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari Al-
Qur’an. Di antaranya ada yang memfokuskan
penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-
metode,kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an,
kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta ada pula
yang khusus meneliti mengenai
corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi
pada abad keempat.

Selanjutnya, Amin Abdullah dalam bukunya yang


berjudul studi agama juga telah melakukan penelitian
deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan
tafsir . Ia mengatakan,jika dilihat secara garis besar
perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad
pertengahan , agaknya tidak terlalu meleset jika
dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir Al-Qur’an
secara leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol[15].

Lebih lanjut Amin Abdullah


mengatakan,meskipun begitu,masih perlu digarisbawahi
bahwa karya tafsir mutakhir kaya dengan metode
komparatif di dalam memahami dan menafsirkan arti
suatu kosa kata Al-Qur’an.

Karya tafsir yang menonjol I’jaz umpamanya,akan


membuat kita terpesona akan keindahan bahasa Al-
Qur’an,tetapi belum dapat menguak nilai-nilai spiritual
dan sosio moral Al-Qur’an untuk kehidupan sehari-hari
manusia. Begitu juga penonjolan Asbab al-Nuzul bila
terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin
ditonjolkan,sudah tentu bermanfaat untuk mempelajari
latar belakang sejarah turunnya ayat per ayat,tetapi juga
mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara
ajaran Al-Qur'an yang bersifat universal dan
transendental bagi kehidupan manusia dimanapun
mereka berada.
BAB III

PENUTUP

Model berarti contoh, acuan, ragam, atau macam


sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan.
Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara,
yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman
dan
perincian. Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-
tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.

Tiga ciri utama tafsir yaitu: 1. di lihat dari segi objek yaitu
Alquran; 2. dari segi tujuannya adalah untuk
menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan
Alquran; 3. Dari segi sifat dan kedudukannya adalah
hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir.

Model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam,


acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama
terhadap penafsiran Aquran yang pernah dilakukan
generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang
berbagai hal yang terkait dengannya.

Penelitian tafsir terjadi dalam dua periode, yaitu periode


pertama ketika Rasulullah, para sahabat dan
para tabi’in. Periode kedua yaitu pada saat
bermunculan hadits-hadits palsu dan lemah di tengah
masyarakat.

Model penelitian tafsir yaitu:

1. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M.


Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif,
deskriptif, analitis, dan perbandingan. Penelitian ini
menghasilkan beberapa kesimpulan mengenai tafsir
diantaranya periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan tafsir yang terbagi 3, corak-corak
penafsiran yang terbagi 6, macam-macam metode
penafsiran Alquran yang secara garis besar terbagi 2,
yaitu corak ma’tsur dan metode penalaran yang terdiri
dari metode tahlily, ijmali,muqarin dan maudlu’iy; syarat-
syarat dalam menafsirkan Alquran, dan hubungan tafsir
modernisasi.

2. Model Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian


tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif,
eksploratif dan analisis yang mencakup 3 bidang yaitu
Mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an yang di bagi
kedalam tafsir pada masa sahabat Nabi, mengenai
corak tafsir, dan mengenai gerakan pembaharuan di
bidang tafsir.

3. Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali cara penelitian


tafsir yang
bercorak eksploratif,deskriptif,dan analitis dengan
berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis
ulama terdahulu.

4. Model Penelitian Lainnya di antaranya ada yang


memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-
Qur’an, metode-metode,kaidah-kaidah dalam penafsiran
Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta
ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah
penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada abad
keempat.

[1] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metologi Studi


Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),
cet.XVIII, hlm. 209.

[2] Ibid hlm. 209.

[3] Ibid, hlm. 210

[4]Ibid, hlm. 210


[5] Ibid, hlm. 212

[6] Ibid, hlm. 214

[7] Ibid, hlm. 215

[8] Ibid, hlm. 215


[9] Ibid, hlm. 218

[10] Ibid, hlm. 219

[11] Ibid, hlm 222

[12] Ibid, hlm 224

[13] Ibid, hlm. 225

[14] Ibid, hlm. 227

[15] Ibid, hlm. 230

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 2011)

Unknown di 06.12

Berbagi

2 komentar:

Ÿ
Unknown19 September 2014 pukul 07.08

azansyahrer.blogspot.com : bagus sekali, dan sangat


membantu
Balas

Unknown30 November 2014 pukul 16.44

ya sama....

Balas

Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya
UnknownLihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai