Naila Khairunnisa - UTS Met Tasir II
Naila Khairunnisa - UTS Met Tasir II
Naila Khairunnisa - UTS Met Tasir II
1181030121
IAT/Ushuluddin
Pendahuluan
Tafsir secara bahasa bisa berasal dari kata alfasr yang kemudian dimasukkan kepada wajan taf’il,
untuk menunjukkan makna Ii altaktsii yang berarti al-ibamah; al-idlah, penjelasan, dan al-karyj, membuka
dari maksud-maksud yang sulit. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. AlFurqan (25): 33: "Tidaklah
orang-orang itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya". Kalimat (ahsnu tafsir), kata tafsirnya berarti tafsihl.
Selain itu tafsir bisa diambil dari kata safar yang juga berarti ai-kasyf, seperti dalam kalimat aifara al
shubhu yang bermakna hari telah terang. Adapun definisi tafsir menurut istilah adalah ilmu yang
memberikan pemahaman tentang kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan
menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukum – hukum dan hikmah yang dikandungnya.
Selain itu masih banyak definisi tafsir yang dikemukakan oleh para pakar tafsir, seperti al-
Suyuthi clan AlJurjani, namun pada dasarnya semua definisi itu mengarah pada satu pemahaman bahwa
inti dari tafsir adalah menjelaskan. Hanya saja ada yang lebih memfokuskan bahasan pada isi kandungan
al-Qur'an, seperti al-Suyuthi, atau memfokuskan pada permasalahan ayat, seperti al-Jurjani, atau
memfokuskan pada substansi al-Qur'an itu sendiri sebagaimana al-Zarkasyi. Tafsir pun di bagi dua
metode sesuai zamannya yaitu tafsir kontemporer dan tafsir modern, penafsiran modern lebih
menggunakan metode penafsiran tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’I Adapun corak tafsir modern
antara lain 'ilmi, adabi ijlima'i, bayani, dan ilhadi.
Istilah modern dalam kajian tafsir akan berbeda dengan kajian dalam disiplin ilmu lain. Dalam
kajian tafsir istilah modern mempunyai keterkaitan dengan periodisasi perkembangan pemikiran dalam
Islam, sedangkan dalam kajian lain seperti ulum al-Hadits istilah modern lebih ditekankan pada aspek
metodologi penyusunannya. Oleh sebab itu kemunculan pemikiran modern dalam tafsir akan merujuk
karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla dalam Tafsir Al-Manar sebagai pin tu gerbangnya. Sejak
kemunculannya yang pertama, tafsir al-Qur'an telah diwarnai oleh berbagai pengaruh, sehingga muncul
berbagai macam bentuk penafsiran yang identik dengan semangat intelektual pada saat munculnya tafsir
tersebut. Pada gilirannya, tafsir memiliki bentuk-bentuk yang permanen dari segi bahasa, fiqh, madzhab,
filsafat, tasawuf dan akhlak. Generasi pertama ahli tafsir adalah pelopor yang telah berhasil mencurahkan
seluruh kemampuan untuk melakukan pengkajian dan penelitian mengenai hal-hal itu. Namun, generasi
setelahnya, mengalami stagnasi, di mana mereka hanya melakukan pengulangan atau pengumpulan atas
apa-apa yang telah dilakukan pendahulunya, bahkan cenderung melakukan pemilahan sesuai dengan
kepentingan pribadi atau kelompoknya. Adapun gerakan Muhammad Abduh dan semua generasi
pendukung madzhab pemikirannya dalam tafsir, sebagai suatu gerakan modern dalam tafsir al-Qur'an,
telah menempuh jalan yang benar. Mereka mengambil contoh-contoh budaya yang aktual tetapi tidak
meninggalkan kaidah-kaidah lama. Untuk menyelamatkan dilema yang timbul akibat kontradiksi antara
pendapat lama dan pendapat baru tersebut, pintu ijtihad sangat mendesak untuk dibuka. Di sinilah
Muhammad Abduh dan madzhab penafsirannya telah sempurna melaksanakan persoalan itu. Persoalan-
persoalan ijtihad yang banyak muncul dari lingkungan Islam dan para ahli tafsir telah banyak dipengaruhi
oleh pemikiran ini. Dalam suasana seperti itu, di mana pintu ijtihad sudah dibuka, tafsir menjadi terbuka
untuk dipengaruhi dan diwarnai dengan arah politik yang berlaku pada masanya dan juga tuntutan
perkembagan social budaya yang ada. Oleh sebab itu adalah wajar bila Dr. Affat al-Syarqawi
mengatakan: “Sesungguhnya gerakan tafsir modern memainkan peran yang menentukan dalam
memajukan kesadaran berpolitik menurut pandangan Islam, dan memotivasi manusia untuk berjuang
demi membela kebenaran dan keadilan. Begitu hebat dan dahsyat perlawanan yang diberikan oleh
pengikut Al-Manar terhadap penjajah dan tanggung jawab para pemimpin negara - negara Islam juga
begitu besar terhadap musibah, kesengsaraan, clan pencaplokan negara-negara Islam oleh penjajah”.
Fenomena yang dapat menggambarkan kebangkitan modern di dunia tafsir adalah munculnya
usaha - usaha yang dikerahkan untuk menggabungkan antara al-Qur'an dengan teori-teori ilmiah yang
benar. Salah satu contoh adalah Tafsir Al - Jauhari karya Thanthawi Jauhari. Penafsiran Thanthawi sangat
menonjolkan kepeduliannya terhadap penggabungan antara hal-hal yang baru di dunia ilmiah dan nash -
nash al-Qur'an, walaupun ada kesan apa yang dilakukannya telah terlalu jauh dan memberikan beban
tersendiri untuk mentalwilkannya. Era modern juga mencatat adanya arah penafsiran kesusastraan di
dalam menafsirkan al-Qur'an dalam kedudukannya sebagai suatu teks suci yang berbahasa Arab.
Kecendrungan ini menjelaskan berbagai macam kemukjizatan dari segi al bayan di dalam al-Qur'an.
Seperti yang telah disinggung di awal, Tafsir kontemporer adalah tafsir atau penjelasan ayat
Alquran yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Pengertian seperti ini sejalan dengan
pengertian tajdid yakni usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan
jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial
masyarakat. Ada perbedaan prinsipal dalam tafsir Alquran di abad kontemporer dengan abad
abadsebelumnya. Prinsip prinsip tersebut dibangun pada paradigma yang ada di abad ini. Paradigma itu
sendiri lahir atau dirumuskan oleh para ahli karena tafsir menghadapi berbagai tantangan di atas.
Beberapa ulama menyimpulkan bahwa paradigmanya sebagai berikut: pertama, tafsir kontemporer ini
bersemangat mengembalikan Alquran sebagai kitab petunjuk. Sebelum itu, Alquran bagi mufasir
kontemporer diasumsikan sebagai wahyu yang progresif, maka mereka mengembangkan suatu medel
pembacaan yang lebih kritis dan produktif. Ali al-Harbi menjelaskan, bahwa pembacaan kritis pada
Alquran adalah pembacaan atas teks Alquran yang tidak terbaca, dan ingin menyingkap kembali apa yang
tak terbaca itu.