Jurnal Pembangunan Ekonomi Dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 20

Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.

3 (2021)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KETAHANAN


PANGAN DI PROPINSI SULAWESI UTARA

Denny Valentino Wehantouw 1, Paulus Kindangen2, Een N. Walewangko3


[email protected]

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Program Studi Magister Ilmu Ekonomi,


Universitas Sam Ratulangi

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh dari konsumsi beras, produksi beras dan tingkat
kemiskinan pada Indeks Ketahanann Pangan agar dapat berguna sebagai data dasar dalam
pengambilan keputusan tercapainya Ketahanan Pangan juga Stabilitas Ekonomi. Dalam penelitian
ini dengan mengumpulkan data sekunder yang diperlukan untuk mendapatkan informasi data, data
tersebut dianalisa menggunakan metode regresi linear berganda dengan menggunakan SPSS 22
dengan hasil yaitu produksi beras berpengaruh positif terhadap indeks ketahanan pangan kabupaten
di Provinsi Sulawesi Utara, Konsumsi Beras secara signifikan berpengaruh terhdap indeks
ketahanan pangan, Kemiskinan secara tidak signifikan berpengaruh terhdap indeks ketahanan
pangan dan Secara bersama-sama untuk variabel produksi beras, konsumsi beras dan tingkat
kemiskinan terhadap indeks ketahanan pangan memiliki pengaruh signifikan terhadap indeks
ketahanan pangan.

Kata Kunci : Produksi Beras, Konsumsi Beras, Kemiskinan dan Indeks Ketahanan Pangan

ABSTRACT
Tthe purpose of this study is to determine the effect of rice consumption, rice production and
poverty levels on the Food Security Index so that it can be useful as basic data in making decisions
to achieve Food Security as well as Economic Stability. In this study, by collecting secondary data
needed to obtain data information, the data were analyzed using multiple linear regression method
using SPSS 22 with the result that rice production had a positive effect on the district food security
index in North Sulawesi Province, Rice consumption significantly affected the index. food security,
poverty has no significant effect on the food security index and together for the variables of rice
production, rice consumption and poverty level on the food security index have a significant effect
on the food security index.

Keywords: Rice Production, Rice Consumption, Poverty and Food Security Index

132
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat dunia.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir rata-rata
pertumbuhan penduduk di Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun. Angka pertumbuhan tersebut
mencerminkan besarnya tantangan yang harus dihadapi dalam mencapai ketahanan pangan. Oleh
sebab itu pemerintah selalu menempatkan masalah ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas
pembangunan nasional yang tertuang dalam setiap tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) dan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang ini, pencapaian
kedaulatan pangan menjadi bagian dari agenda ketujuh Nawa Cita untuk Indonesia.
Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun
dinilai belum mencukupi dalam konteks ketahanan pangan, karena masih banyak variabel yang
berpengaruh untuk mencapai ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga. Melihat juga dari
kondisi yang sekarang ini terjadi, yaitu situasi pandemi yang disebabkan oleh Corona virus Disease
(Covid-19) yang berdampak pada aspek-aspek penting kehidupan kita baik itu kesehatan dan juga
ekonomi yang merujuk pada kebutuhan utama kita sebagai manusia, yakni makanan (pangan).
Sejak menyebarnya Covid-19 di Indonesia pada awal tahun 2020 menyebabkan kondisi
perekonomian Indonesia menjadi terpuruk. Pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti yang tertuang
dalam Asumsi Dasar Makro APBN 2020 ditargetkan akan tumbuh 5,3 %, namun terkontraksi
akibat pandemi sehingga pada akhir Triwulan IV 2020 tumbuh minus 2,07%. Selanjutnya
berdasarkan data BPS, ada 29,12 juta penduduk usia kerja yang terdampak pendemi ini, dengan
rincian : pengangguran karena pandemi sebesar 2,56 juta orang, bukan angkatan kerja karena
pandemi 0,76 juta orang, sementara tidak bekerja karena pandemi sebesar 1,77 juta orang dan yang
bekerja dengan mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 24,03 juta orang. Bahkan Kementerian
Tenaga Kerja Republik Indonesia mencatat hingga saat ini sudah lebih dari 5,6 juta tenaga kerja
yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dan dirumahkan akibat imbas dari pandemi ini.
Kesemuanya ini merupakan gambaran singkat bahwa kondisi di Indonesia saat ini sedang
mengalami kesulitan yang nantinya akan berdampak pada terhambatnya pemenuhan kebutuhan
dasar manusia yaitu kebutuhan pangan. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan di masa
pandemi menjadi masalah yang serius dan perlu mendapat perhatian khusus dari kita karena
berkaitan erat dengan kesehatan yang mana salah satu cara untuk tetap hidup sehat adalah dengan
mengkonsumsi bahan pangan yang sehat dalam jumlah yang cukup, beragam, seimbang dan
bergizi. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri dengan menetapkan berbagai kebijakan nasional yang tertuang
dalam kebijakan pananganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan pangan domestik dalam jumlah besar
merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya industri
pengolahan pangan itu sendiri. Ada dua cara untuk mencapi ketahanan pangan yaitu: 1 (1)
swasembada pangan dan (2) kecukupan pangan. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pokok
bagi manusia. Pemenuhannya pun telah dijamin oleh Negara. Dengan demikian suatu wilayah

133
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

dikatakan berhasil dalam pembangunan ketahanan pangan jika adanya peningkatan produksi
pangan, distribusi pangan yang lancar serta konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi
pada seluruh masyarakat.

Gambar 1
Jumlah Penduduk Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2011-2020

Jumlah Penduduk Provinsi Sulawesi Utara


Tahun 2011-2020

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Sumber: sulut.bps.go.id

Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan beberapa daerah
Kabupaten yang memiliki potensi daerah terutama dalam pemenuhan pangan terhadap masyarakat.
Tetapi permasalahan mungkin dapat terjadi pada saat ini, dimana menurut data BPS Sulawesi
Utara, dari tahun 2011 hingga 2019 terjadi peningkatan jumlah penduduk di setiap tahunnya yang
cukup signifikan yaitu rata-rata 1,04% per tahun atau bertambah kurang lebih 25.000 jiwa. Dan
untuk tahun 2020 terjadi peningkatan yang cukup tinggi yaitu naik sebanyak 115.000 jiwa atau
4,39% seperti pada gambar 1.1. Sementara itu tingkat konsumsi pangan masyarakat di Sulawesi
Utara adalah lebih tinggi atau berada di atas Angka Kecukupan Energi Ideal sebesar 2.000
kkal/kapita/hari yaitu sebesar 2.021 kkal/kapita/hari dimana kelompok pangan padi-padian (beras)
menyumbang energi paling besar yaitu 1.166,9 kkal/kapita/hari (Joseph:2017). Konsumsi yang
terlalu tinggi, merupakan salah satu ancaman bila produksi beras menurun akibat perubahan cuaca
ekstrim dan bencana alam melanda berbagai daerah penghasil beras.
Propinsi Sulawesi Utara berdasarkan posisi geografisnya terletak di jazirah utara pulau
Sulawesi dan merupakan salah satu dari tiga propinsi di Indoensia yang terletak di sebelah Utara
garis katulistiwa dengan memiliki iklim dan kesuburan tanah yang baik untuk berbagai jenis
budidaya tanaman tahunan serta untuk tanaman pangan. Dilihat dari kondisi stabilitas ketahanan
pangan di Propinsi Sulawesi Utara masih dinilai cukup stabil dikarenakan adanya ketersediaan
pasokan beras dimana terdapat 8 (delapan) kabupaten dari total 15 Kabupaten/Kota yang terdapat di
Sulawesi Utara yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten
Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten

134
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

Minahasa merupakan daerah penghasil beras, berikut adanya kemudahan bagi masyarakat untuk
memperoleh/mengaksesnya bahan pangan tersebut serta harga beras yang relatif stabil. Di samping
itu adanya program pemerintah yang berfokus untuk bercocok tanam demi meningkatkan jumlah
produksi kebutuhan pangan (beras). Untuk itulah kondisi kedelapan kabupaten ini, dapat dijadikan
acuan yang mewakili kabupaten/kota lainya untuk mengukur tingkat ketahanan pangan di Propinsi
Sulawesi Utara. Berdasarkan data yang di publikasi oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian RI dapat di lihat adanya peningkatan Indeks Ketahanan Pangan dari tahun 2016 sampai
dengan 2019, berikut perkembangannya :

Gambar 2
Indeks Ketahanan Pangan 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2016-2019

Sumber: bkp.pertanian.go.id

Perkembangan indeks ketahanan pangan beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara


mengalami peningkatan dari tahun 2016-2019, untuk Kabupaten dengan nilai indeks tertinggi di
tahun 2016 adalah Kabupaten bolaang mongondow dengan skor 74,43 persen, di tahun 2017 ada
Kabupaten Minahasa dengan skor yang dicapai sebesar 72,08 persen, di tahun 2018 ada Kabupaten
Minahasa utara dengan nilai skor 79,41 persen dan di tahun 2019 dengan skor tertinggi di capai
oleh Kabupaten Minahasa dengan skor yang di capai 85,03 persen. Peningkatan angka indeks
ketahanan pangan yang ada di pegaruhi oleh faktor-faktor lain, diantaranya jumlah produksi dari
tanaman pangan seperti beras. Dalam kaitan tersebut, ketahanan pangan lebih diarahkan pada
kebutuhan dasar yang terjangkau oleh masyarakat, dalam hal ini diantaranya adalah beras sebagai
kebutuhan pokok masyarakat. Beras mempunyai peran strategis dalam memantapkan ketahanan

135
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

pangan, ketahanan ekonomi, dan keamanan serta stabilitas politik nasional. Oleh sebab itu pasokan
dan harga yang stabil, tersedia sepanjang waktu, terdistribusi secara merata dan dengan harga
terjangkau merupakan kondisi ideal yang diharapkan dari komoditi ini.
Namun di sisi lain surplus beras tidak serta merta mencerminkan ketangguhan ketahanan
pangan Provinsi Sulawesi Utara jika kesenjangan antar rumah tangga dalam mengakses pangan
tidak tertangani. Dengan demikian peranan pendistribusian bahan pangan juga perlu mendapat
perhatian yang serius. Penjualan beras ke konsumen dalam Provinsi Sulawesi Utara bisa
melibatkan delapan pelaku mulai dari petani, pedagang lokal, pengusaha RMU, kontraktor
(pedagang besar), DOLOG, grosir, pedagang pengecer dalam propinsi dan terakhir konsumen
(Sudana. Et al. 2002). Dan untuk data perkembangan dari masing-masing Kabupaten yang ada di
Provinsi Sulawesi Utara dalam hal produksi beras dapat dilihat dalam grafik pada gambar 3 berikut:

Gambar 3
Produksi Beras 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2016-2019

Sumber : Sulawesi Utara dalam angka 2017-2020

Produksi beras di Provinsi Sulawesi Utara khususnya 8 kabupaten penghasil beras


mengalami penurunan hasil panen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi padi di
Sulawesi Utara pada 2019 diperkirakan sebesar 277,78 ribu ton gabah kering giling (GKG) atau
mengalami penurunan sebanyak 49,15 ribu ton atau 15,03 persen dibandingkan tahun 2018.
Sementara itu kenaikan produksi padi tahun 2019 yang relatif besar terjadi di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara, Sementara penurunan produksi padi tahun 2019 yang relatif besar terjadi di
Kabupaten Bolaang Mongondow, Minahasa, Minahasa Tenggara, Minahasa Selatan, dan Minahasa
Utara. Dua kabupaten dengan produksi padi GKG tertinggi pada tahun 2018 dan 2019 adalah
Kabupaten Bolaang Mongondow dan Minahasa. Namun, pada 2019 terjadi penurunan produksi
pada dua kabupaten tersebut dibandingkan dengan produksi 2018. Data BPS Sulut juga mencatat,
136
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

jika produksi padi pada tahun 2019 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk,
produksi beras di Sulawesi Utara pada 2019 sebesar 155,29 ribu ton atau mengalami penurunan
sebanyak 27,48 ribu ton atau 15,03 persen dibandingkan tahun 2018. Selain produksi beras ada juga
faktor yang mampu mendorong meningkatnya ketahanan pangan diantaranya konsumsi beras.
Konsumsi beras Provinsi Sulawesi Utara khususnya untuk daerah Kabupaten bervariasi,
tergantung dari konsumen dalam selera memilih jenis makanan yang akan di konsumsi.
Pengeluaran untuk konsumsi makanan bagi penduduk masih mengambil bagian terbesar dari
seluruh pengeluaran rumah tangga. Peningkatan proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan
dapat menjadi indikator menurunnya kesejahteraan penduduk dan meluasnya kemiskinan karena
dalam kondisi pendapatan yang terbatas, seseorang akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan
makanan sehingga pendapatan yang terbatas, sebagian besar dibelanjakan untuk konsumsi
makanan, Konsumsi pangan merupakan gambaran dari aspek ketersediaan dan kemampuan
keluarga tersebut untuk membeli dan memperoleh pangan. Dan berikut adalah grafik yang
menggabmbarkan perkembangan konsumsi beras di Provinsi Sulawesi Utara khsusus untuk 8
daerah Kabupaten.

Gambar 4
Perkembangan Konsumsi Beras 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2016-2019

Sumber : Sulawesi Utara dalam angka 2017-2020

Perkembangan konsumsi beras masyarakat Sulawesi Utara khususnya 8 Kabupaten yang


ada didalamnya di tahun 2018 mengalami penurunan, tetapi di tahun 2019 kembali mengalami
peningkatan, dan peningkatan konsumsi yang paling menonjol adalah Kabupaten Bolaang
Mongondow Selatan, dan di tahun 2 sebelumnya yaitu 2016 konsumsi beras tertinggi ada di
Kabupaten Minahasa tenggara.
Masalah kekurangan konsumsi pangan dan kondisi rawan pangan yang meluas di
masyarakat suatu negara menjadi semakin penting untuk dicari penyelesaiannya sehingga peranan
pangan menjadi sangat penting dalam proses kehidupan dan pembangunan bangsa. Masalah
137
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

kekurangan konsumsi pangan dan rawan pangan ini sebenarnya merupakan masalah yang berulang
kali dialami oleh mayarakat dunia sejak dahulu sampai sekarang dan dalam negara yang relatif
majupun masih ada penduduk yang rawan pangan, untuk itu berbgai macam upaya yang dilakukan
pemerintah setempat dalam hal mejaga kestabilan ketahanan pangan yang ada khususnya di
Provinsi Sulawesi Utara guna keberlangsungan hidup masyarakat yang ada dan untuk mengurangi
angka kemiskinan yang ada. Pengeluaran rumah tangga terhadap konsumsi sangat erat kaitannya
dengan pendapatan yang diperoleh rumah tangga tersebut. Pendapatan yang diperoleh dalam suatu
rumah tangga mencerminkan tingkat kesejahteraan atau kemiskinan rumah tangga tersebut.
Menurut Badan Pusat Statistik (2010), kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan dasar baik makanan maupun non makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Sedangkan kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidaksejahteraan keluarga dan
dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan
yang diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Garis kemiskinan sangat sensitif terhadap
faktor harga, penentuan standar minimum kebutuhan dasar, pemilihan jenis paket komoditi, serta
karakteristik wilayah.
Kondisi kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara khusus untuk daerah Kabupaten memiliki
perkembangan dan penurunan presentase angka pada setiap tahunnya berikut di tampilkan dalam
grafik berikut:

Gambar 5
Presentase Tingkat Kemiskinan 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2016-2019

Sumber : Sulawesi Utara dalam angka 2017-2020

Grafik presentase perkembangan kemiskinan untuk daerah kabupaten di Provinsi Sulawesi


Utara mengalami penurunan pada setiap tahunnya, untuk daerah yang memiliki tingkat kemiskinan
tertinggi di sepanjang tahun 2016-2019 adalah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, di
ikuti oleh daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Dan untuk presentase terendah di Kabupaten
Bolaang Mongondow Timur. Kabupaten Bolaang Mongondow Selatandan Minahasa Tenggara

138
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

mempunyai angka kemiskinan tertinggi dibanding kabupaten kota lainnya. Namun, angka tersebut
berfluktuasi dan cenderung menurun. Hingga tahun 2018, 2 (dua) kabupaten ini masih tetap
menempati angka kemiskinan tertinggi. Diketahui bahwa 2 (dua) kabupaten ini adalah daerah
otonomi baru yang relatif kurang terjamah oleh kabupaten induknya sebelum pemekaran. Sehingga,
2 (dua) kabupaten inipasca dimekarkan menjadi daerah otonomi baru dapat dipastikan memiliki
banyak keterbatasan akses karena kurangnya infrastruktur yang memadai, investasi kesehatan,
pendidikan, ekonomi dan sarana publik lainnya serta aksesbilitas dalam meningkatkan pendapatan
dan mendapatkan lapangan kerja. Oleh sebab itu, kerja keras pemerintah sangat dibutuhkan dalam
menentukan kebijakan dan arah pembangunan. Dalam menganalisis angka kemiskinan, tidak hanya
dilihat dari angka yang tertinggi ataupun yang terendah, karena angka tersebut adalah relatif,
tergantung dari start awal pada saat daerah tersebut melaksanakan pembangunan. Kaca mata yang
sebenarnya adalah ketika kita membandingkan angka kemiskinan suatu daerah yang setiap
tahunnya berangsur-angsur mengalami penurunan dan apabila terjadi shock baik nasional maupun
regional, daerah tersebut tetap stabil dan mampu mem-pressure kenaikan angka kemiskinan dengan
sekecil-kecilnya. Hal ini dapat dijadikan tolak ukur kinerja pemerintah dalam mengurangi
kemiskinan dan fokus pada kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya dalam hal penilaian terhadap situasi ketahanan pangan membutuhkan ukuran
yang komprehensif dengan melibatkan serangkaian indikator. Indikator-indikator tersebut
digabungkan untuk menghasilkan nilai komposit ketahanan pangan yang selanjutnya dijadikan
sebagai Indeks Ketahanan Pangan (IKP). IKP ini disusun oleh Badan Ketahanan Pangan
Kementerian Pertanian Republik Indonesia dengan mengadopsi pengukuran indeks global (Global
Food Security Index – GFSI) dengan berbagai penyesuaian metodologi sesuai dengan ketersediaan
data dan informasi di tingkat daerah.
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dilihat pengaruh dari produksi beras, konsumsi
beras dan tingkat kemiskinan yang dalam hal ini merupakan tingkat pendapatan terhadap indeks
ketahanan pangan. Pemerintah harus mendorong masyarakat untuk memahami dan memaknai,
pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi nasional, meskipun pemerintah kerap
mengklaim Indonesia telah berhasil mencapai swasembada pada beberapa komoditas pangan
tertentu, namun harus diakui pencapaian swasembada belum mantap karena amat riskan digoyang
krisis ekonomi.
Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan
peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil
dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial
dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini
bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional yang menyababkan inflasi
meningkat sebagaimana tertulis pada penelitian terdahulu dari Widiarsih (2012). Menurut Badan
Pusat Statistik Sebagai bahan pangan pokok, beras merupakan penyumbang paling tinggi pada
inflasi. Selama 2010, kontribusi beras terhadap inflasi 1,29 persen dari total 6,96 persen. Artinya,
beras menyumbang 18,5 persen men-dekati 19 persen dari total inflasi.

139
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

Berdasarkan latar belakang diatas dimana pentingnya ketahanan pangan pada ekonomi maka
tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh dari konsumsi beras, produksi beras dan tingkat
kemiskinan pada Indeks Ketahanann Pangan di 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yang
adalah daerah pengahasil beras agar dapat berguna sebagai data dasar dalam pengambilan
keputusan tercapainya Ketahanan Pangan juga Stabilitas Ekonomi.

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh produksi beras terhadap indeks ketahanan pangan di 8 Kabupaten
di Provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara,
Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow
Selatan dan Bolaang Mongondow Timur.
2. Untuk mengetahui pengaruh konsumsi beras terhadap indeks ketahanan pangan di 8 Kabupaten
di Provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara,
Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow
Selatan dan Bolaang Mongondow Timur.
3. Untuk mengetahui pengaruh kemiskinan terhadap indeks keatahanan pangan di 8 Kabupaten di
Provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara,
Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow
Selatan dan Bolaang Mongondow Timur.
4. Untuk mengetahui pengaruh secara bersama produksi beras, konsumsi beras, dan kemiskinan
terhadap indeks ketahanan pangan di 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten
Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow,
Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Timur.

Tinjauan Pustaka
Konsep Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinnya pangan bagi negara sampai pada
perorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan
dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Pembangunan ketahanan dan gizi dilakukan secara sistematik dengabn melibatkan lintas sektor.
Pedekatan ini diarahkan untuk mewujudkan ketersediaan pangan yang memadai melalui produksi
pangan domestik dan perdagangan; tercapainya stabilitas ketersediaan dan akses pangan,
tercukupinya kualitas (keragaman dan keamanan pangan) dan kualitas konsumsi pangan yan
didukung oleh perbaikan infrastruktur. Untuk mewujudkan konsisi tersebut, diperlukan dukungan
kebijakan ekonomi makro yang mampu mewujudkan stabilitas pasokan dan harga pangan.
Menurut Oxfam (2001) ketahanan pangan adalah kondisi ketika: “setiap orang dalam segala
waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi
hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam
artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak ataspangan melalui pembelian, pertukaran maupun

140
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

klaim). Baliwati (2004) menyatakan bahwa ketahanan pangan rumah tangga petani setiap saat
memiliki aksesibilitas secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya agar dapat hidup produktif dan sehat.
Menurut Riyadi (2003), diversifikasi pangan merupakan suatu proses pemilihan pangan
yang tidak hanya tergantung pada satu jenis pangan, akan tetapi memiliki beragam pilihan
(alternatif) terhadap berbagai bahan pangan. Pertimbangan rumah tangga untuk memilih bahan
makanan pokok keluarga di dasarkan pada aspek produksi, aspek pengolahan, dan aspek konsumsi
pangan. Penganekaragaman pangan ditujukan tidak hanya untuk mengurangi ketergantungan akan
jenis pangan tertentu, akan tetapi dimaksudkan pula untuk mencapai keberagaman komposisi gizi
sehingga mampu menjamin peningkatan kualitas gizi masyarakat.

Produksi
Produksi adalah hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan
beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi
diartikan sebagai aktivitas dalam menghasilkan output dengan menggunakan teknik produksi
tertentu untuk mengolah atau memproses input sedemikian rupa (Sukirno:2002).
Produksi diartikan sebagai penggunaan atau pemanfaatan sumber daya yang mengubah
suatu komoditi menjadi komoditi lainnya yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dan
dimana atau kapan komoditi-komoditi tersebut dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang
dikerjakan oleh konsumen terhadap komoditi itu (Miller dan Mainers, 2000). Dengan demikian
produksi itu tidak terbatas pada pembuatannya saja tetapi juga penyimpanannya, distribusi,
pengangkutan, pengeceran, pemasaran kembali, upaya-upaya mensiasati lembaga regulator atau
mencari celah hukum demi memperoleh keringanan pajak atau lainnya.

Konsumsi
Perilaku masyarakat membelanjakan sebagian dari pendapatan untuk membeli sesuatu
disebut pengeluaran konsumsi. Konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan siap pakai (disposable
income). Dengan kata lain, fungsi konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat pengeluaran
konsumsi dengan tingkat pendapatan yang siap dibelanjakan (Prasetyo:2011).
Menurut Rosyidi (2020) Konsumsi diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa-
jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Konsumsi atau lebih tepatnya
pengeluaran konsumsi pribadi adalah pengeluaran oleh rumah tangga atas barang-barang akhir dan
jasa.
Kebutuhan seseorang beraneka ragam, kebutuhan untuk makan, kebutuhan untuk pakaian,
kebutuhan untuk perawatan dan sebagainya. Berdasarkan kebutuhan yang diperlukan tersebut maka
seseorang membeli barang untuk dikonsumsi pun pasti lebih dari satu. Maka terdapat kombinasi
barang-barang yang dibelanjakan oleh seseorang. Semua kombinasi dari barang-barang dengan
jumlah total uang yang dibelanjakan sama dengan pendapatan disebut garis anggaran (budget line)
(Pindyck : 2009).

141
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

Kemiskinan
Kemiskinan dapat dikatakan sebagai suatu keadaan seseorang Ketika tidak mampu
memenuhi berbagai kebutuhan pangan, perumahan dan pakaian, rendahnya tingkat pendapatan,
pendidikan dan keahlian yang rendah, terkucilkan secara sosial yang disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
Menurut Kartasasmita (1996) (dalam Sartika dkk:2016) menjelaskan bahwa kemiskinan
suatu daerah dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Presistent Proverty, yaitu kemiskinan yang kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini
umumnya merupakan daerah-daerah yang krisis sumber daya alam atau daerah terisolir;
2. Cyclical Proverty, yaitu kemiskinan yang meliputi pola siklus ekonomi secara keseluruhan;
3. Seasonal Proverty, yaitu kemiskinan musin seperti yang sering dijumpai pada kasus nelayan
dan pertanian tanaman pangan;
4. Eccidental Proverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu
kebijakan tertentu di daerah yang berakibat pada kesejahteraan suatu masyarakat;

Faktor-faktor penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (1997) (dalam Sartika dkk : 2016)
antara lain :
a. Secara Mikro; kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber
daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki
sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah;
b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia yang rendah
produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber
daya manusia karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adamya
diskriminasi atau karena keturunan;
c. Kemiskinan muncul karena akibat perbedaan akses dalam modal;
Faktor pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pola konsumsi
rumah tangga. Pendapatan yang semakin tinggi menunjukkan daya beli yang semakin meningkat,
dan semakin meningkat pula aksesibilitas terhadap pangan yang berkualitas lebih baik
(Sinaga:2017)

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasil, dengan data yang di peroleh dari Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia dan Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Utara yaitu Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa
Tenggara, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Utara,
Bolaang Mongondow Timur. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Menurut Sugiyono (2008) metode penelitian kuantitatif merupakan metode penelitian
yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel
tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif

142
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

atau statistik, dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengertian diatas,
peneliti akan mendeskripsikan tentang seberapa Jenis penelitian ini adalah kuantitatif, untuk
meneliti pengaruh produksi beras, konsumsi beras dan kemiskinan terhadap indeks ketahanan
pangan dari Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara dengan data sekunder. Dan jenis data yang
digunakan adalah Data Panel. Objeknya adalah Provinsi Sulawesi Utara.

Data dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh
berdasarkan data yang tersedia dan yang telah disusun dan dipublikasikan oleh lembaga atau
instansi tertentu yang bersumber dari laporan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI
dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawei Utara, Dinas Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Utara
dan lain-lain. Teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data panel (pool data).
Dikarenakan pada penelitian ini menggunakan data jenis time series dan juga cross section. Agar
lebih akurat dalam melakukan analisisnya, maka dari itu teknik analisis data panel digunakan.
Menurut Gujarati (2003) menyatakan bahwa data panel yaitu gabungan dari data time series (antar
waktu) dan data cross section (antar individu dan ruang). Alat pengolahan data yang digunakan yatu
menggunakan software Microsoft Excel, SPSS 22.

Data yang di kumpulkan pada penelitian ini yakni ;


a. Data Produksi Beras pada 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten
Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow,
Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Timur
tahun 2016-2019 (Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara);
b. Data Konsumsi Beras pada 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten
Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow,
Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Timur
tahun 2016-2019 (Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara);
c. Data persentase Kemiskinan pada 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten
Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow,
Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Timur
tahun 2016-2019 (Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara);
d. Data Indeks Ketahanan Pangan pada 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yakni
Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa Selatan, Bolaang
Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang
Mongondow Timur tahun 2016-2019 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian
Republik Indonesia).

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel


Data yang digunakan dalam model penelitian ini akan disajikan pada lampiran. Variabel-
variabel yang diamati dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

143
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

a. Produksi Beras (X1) adalah jumlah produksi beras masing-masing Kabupaten sampel di
Propinsi Sulawesi Utara yang diukur dalam satuan ton per tahun.
b. Konsumsi Beras (X2) adalah jumlah konsumsi beras masing-masing Kabupaten sampel di
Propinsi Sulawesi Utara yang diukur dalam satuan ton per tahun.
c. Tingkat kemiskinan (X3) adalah jumlah penduduk miskin masing-masing kabupaten sampel
di Provinsi Sulawesi Utara yang diukur dalam satuan persen per tahun.
d. Indeks Ketahanan Pangan (Y) adalah nilai atau indikator untuk mengukur tingkat ketahanan
pangan yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Republik
Indonesia untuk masing-maisng kabupaten sampel di provinsi Sulawesi Utara dengan skala
0-100.

Metode Analisis
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kuantitatif berupa metode
regressi linear berganda. Pengelolahan data dalam penelitian ini menggunakan program Microsoft
Excel 2013 dan SPSS 22.

Analisis Regresi Linear Berganda


Analisis Regresi Linear berganda berfungsi untuk mencari pengaruh dari dua atau lebih
variabel Independent ( variabel bebas atau X terhadap variabel dependent (variabel terikat atau Y).
Dalam hal untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya, maka peneliti
menggunakan analisis linear berganda. Analisis regresi berganda merupakan studi ketergantungan
dari satu variabel yang disebut variable tidak bebas (dependent variable), pada satu atau lebih
variabel, yaitu variabel yang menerangkan, dengan tujuan untuk memperkirakan dan atau
meramalkan nilai rata-rata dari variable tidak bebas apabila nilai variabel yang menerangkan sudah
diketahui. Variabel yang menerangkan sering disebut variable bebas (independent variable). Model
analisis regresi berganda sebagai berikut
Y = f(X1, X2, X3)
Kemudian dibentuk dalam model ekonometrika dengan persamaan sebagai berikut :
Y =  +  1X1 + 2X2 +  3X3 + e
Dimana :
Y = Indeks Ketahanan Pangan
X1 = Tingkat Produksi Beras
X2 = Tingkat Konsumsi Beras
X3 = Tingkat Kemiskinan
 = Konstanta/ Intercept
 = Koefisien Regresi
e = Standar Eror
Metode kuadrat terkecil/Ordinary least square merupakan estimasi titik sampel, karena itu
masalah verifikasi estimasi titik tersebut melalui interal estimasi maupun uji hipotesis melalui uji t.
dengan menggunakan table distribusi t kita mendapatkan nilai t kritis (t c) dengan signifikansi tα/2dan

144
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

df (degree of freedom) n-k dimana n adalah jumlah observasi dan k adalah jumlah parameter
estimasi termasuk konstanta. (Widarjono : 2016).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Regresi Linear Berganda


Berikut hasil regresi untuk mengetahui Pengaruh Produksi Beras, Konsumsi Beras
dan Tingkat Kemiskinan terhadap Indeks Ketahanan Pangan di Sulawesi Utara. Data di
dapatkan dari BPS (Badan Pusat Statistik) dan diolah menggunakan program SPSS 22.
Estimasi Regresi Linear Berganda
Berikut ini merupakan hasil olah data dengan menggunakan SPSS untuk mengetahui
pengaruh antara variabel Indeks Ketahanan Pangan (Y) (variabel dependen) dengan Produksi Beras
(X1), Konsumsi Beras (X2), dan Tingkat Kemiskinan (X3), (variabel independen) di 8 Kabupaten
Sulawesi Utara
Y = -19.095 + 3.359X1 + 9.201X2 + (-0.729X3 ) + e
Tabel 1
Hasil Regresi Linear Berganda
Coefficientsa

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta T Sig.


1 (Constant) -19,095 45,480 -,420 ,678
x1 3,359 1,335 ,418 2,516 ,018
x2 9,201 6,303 ,219 1,460 ,156
x3 -,729 ,450 -,271 -1,622 ,116
a. Dependent Variable: Y
Sumber Data: Hasil Olahan SPSS 22

Analisis Regresi Linear Berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel


independen terhadap variabel dependen. Persamaan regresi linier berganda dapat diartikan sebagai
berikut:
1) Nilai konstanta senilai -19. 095 artinya dalam kondisi ceteris paribus, jika semua variabel bebas
sama dengan nol, maka Indeks Ketahanan Pangan (Y) sebagai variabel terikat menjadi -
19.095.
2) Nilai koefisien X1 sebesar 3.359 artinya jika terjadi peningkatan produksi beras (X1) maka
indeks ketahanan pangan (Y) akan meningkat dan meningkat sebesar 3.359. Dengan nilai t
hitung 2.516> t tabel 1.309. Artinya, secara signifikan berpengaruh terhdap indeks ketahanan
pangan.

145
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

3) Nilai koefisien X2 sebesar 9..201 artinya jika terjadi peningkatan konsumsi beras (X2) maka
indeks ketahanan pangan (Y) akan meningkat sebesar 9.201. Dengan nilai t hitung 1.460 > t
tabel 1.309. Artinya, secara signifikan berpengaruh terhdap indeks ketahanan pangan.
4) Nilai koefisien X3 sebesar -0.729 artinya jika terjadi kenaikan tingkat kemiskinan (X3) maka
indeks ketahanan pangan (Y) akan turun sebesar 0.729. Dengan nilai t hitung -1.622 < t tabel
1.309. Artinya, secara tidak signifikan berpengaruh terhdap indeks ketahanan pangan.

Tabel 2
Uji Determinant R Square

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate


1 ,616a ,380 ,313 6,24244
a. Predictors: (Constant), x3, x2, x1

Sumber: Hasil Olahan SPSS 22

Dari nilai determinan R menunjukan nilai sebesar 0.380 = 38%. Artinya, bahwa variable
indeks ketahanan pangan yang dapat dijelaskan dengan menggunakan variable produksi beras,
konsumsi beras dan tingkat kemiskinan adalah sebesar 38% dan sisanya di pengaruhi oleh factor-
faktor lain di luar model.

Tabel 3
Uji F Statistik
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 668,011 3 222,670 5,714 ,004b
Residual 1091,105 28 38,968
Total 1759,115 31
a. Dependent Variable: Y
b. Predictors: (Constant), x3, x2, x1
Sumber: Hasil Olahan SPSS 22.

Nilai F hitung sebesar 5.714. Nilai F table 5% dan df dimana besarnya ditentukan oleh
numerator (k-1/3-1=2) dan df untuk denominator (n-k/32-3=29) maka diperoleh nilai f table 3.33.
Nilai F hitung 5.714 > F table sebesar 3.33. Artinya secara bersama-sama variable produksi beras,
konsumsi beras dan tingkat kemiskinan berpengaruh terhadap indeks ketahanan pangan

Pembahasan
Ketahanan pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Setiap orang berhak memperoleh
makanan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya. Pangan merupakan salah satu kebutuhan

146
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

dasar dan terpenting bagi manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi manusia,
tidak dapat ditunda dan juga tidak dapat disubsitusikan dengan bahan lain. Pangan juga merupakan
komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas serta sebagai pilar
untuk pembangunan nasional yang berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik
suatu negara yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan masyarakatnya.
Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan
peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil
dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial
dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini
bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional. Menurut Badan Pusat
Statistik “Sebagai bahan pangan pokok, beras merupakan penyumbang paling tinggi pada inflasi.
Selama 2010, kontribusi beras terhadap inflasi 1,29 persen dari total 6,96 persen. Artinya, beras
menyumbang 18,5 persen mendekati 19 persen dari total inflasi”.
Bagi Indonesia termasuk di dalamnya Propinsi Sulawesi Utara, pangan sering diidentikan
dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah
membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti naiknya harga beras pada waktu
krisis ekonomi yahun 1997/1998 yang berkembang menjadi krisis multidimensi telah memicu
kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dimana pentingnya ketahanan pangan pada ekonomi maka
tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh dari konsumsi beras, produksi beras dan tingkat
kemiskinan pada Indeks Ketahanann Pangan agar dapat berguna sebagai salah satu kriteria dalam
pengambilan keputusan guna tercapainya Ketahanan Pangan yang berdampak pada stabilitas
ekonomi dan stabilitas Nasional.
Selanjutya, Nilai strategis dari beras disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling
penting. Industri pengolahan beras memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi, yakni
dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan dan sebagai
wage good, dalam bidang lingkungan, yakni menjaga tataguna air dan kebersihan udara, dan di
bidang sosial politik yakni sebagai perekat bangsa dan untuk mewujudkan keamanan dan
ketertiban.
Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa produksi beras dan berpengaruh positif dan
signifikan dengan Indeks Ketahanan Pangan di Sulawesi Utara dalam hal ini di 8 Kabupaten yang
menjadi sampel. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dari Denny Arianto (2010) yang
memiliki hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu metode analisis yang digunakan adalah
analisis data panel dengan membandingkan perilaku ketersediaan beras di tiap kabupaten/kota di
Jawa Tengah. Dari hasil regresi diketahui bahwa luas panen dan rata-rata produksi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
ketersediaan beras adalah sangat penting, sehingga pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan
ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri dan ditopang
dengan tambahan impor. Pertimbangan ini menjadi semakin penting karena jumlah penduduk yang
semakin bertambah dengan sebaran populasi yang cukup luas. Untuk itu, guna memenuhi

147
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

kebutuhan pangan penduduknya, diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah mencukupi dan
tersebar yang memenuhi kecukupan konsumsi.
Hasil berikutnya dari penelitian ini adalah variabel konsumsi beras berpengaruh positif dan
signifikan dengan Indeks Ketahanan Pangan. Hasil ini didukung juga dari penelitian sebelumnya
dari Mahdalena (2014) yang mengatakan bahwa ketersediaan beras di Sumatera Utara secara parsial
dipengaruhi oleh harga beras domestik, harga kedelai domestik, konsumsi beras, dan jumlah tenaga
kerja di sektor pertanian, dan secara parsial tidak dipengaruhi oleh harga beras impor dan luas
panen jagung.
Undang-Undang pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga
memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan Kedaulatan
Pangan (food soveregnity), yaitu hak negara dan bangsa yang secara mandiri menetukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan menentukan sistem pangan sesuai dengan
potensi sumber daya lokal; Kemadirian Pangan (food resilience), yaitu kemampuan negara dan
bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam di dalam negeri untuk pemenuhan
kebutuhan pangan yang cukup sampai pada perseorangan dengan memanfaatkan sumber daya yang
ada serta kearifan lokal scara bermartabat, dan Keamanan Pangan (food safety), yaitu kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologi, kimia, dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Berdasarkan penelitian terdahulu dari Joseph (2017) menunjukan pola komsumsi
masyarakat di Sulawesi Utara sebagian besar ada pada kelompok pangan padi-padian, yaitu sebesar
1.166,9 kkal/kapita/hari dari total Angka Kecukupan Energi (AKG) masyarakat Sulawesi Utara
sebesar 2.021 kkal/kapita/hari. Hal ini memberikan gambaran bahwa masyarakat di Sulawesi Utara
masih sangat tergantung pada beras sebagai bahan pangan pokok. Selanjutnya dengan adanya
pertambahan penduduk cukup signifikan, maka ini akan berdampak pada permintaan beras yang
terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini harus diantisipasi oleh Pemerintah Provinsi dengan
memperhatikan produksi beras serta menetapkan cadangan pangan yang tepat sehingga kedepannya
tidak terjadi kekurangan.
Hal lain yang berkaitan dengan konsumsi adalah bahwa pangan merupakan pengeluaran
terbesar bagi rumah tangga (lebih dari 50% dari jumlah pengeluaran). Ini berkaitan juga dengan
tingkat kemiskinan, yang mana bahwa rumah tangga yang tergolong miskin akan memberikan porsi
lebih besar dalam pengeluarannya untuk pemenuhan kebutuhan pangan.
Pengujian variabel ketiga yaitu pengaruh kemiskinan terhadap indeks ketahanan pangan
pada penelitian ini diperoleh hasil yaitu kemiskinan berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap Indeks Ketahanan Pangan. Hasil ini juga didukung hasil penelitian sebelumnya dari
Zakiah (2016) yaitu hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum daerah dengan garis
kemiskinan rendah mempunyai konsumsi energi lebih rendah dibandingkan daerah dengan garis
kemiskinan lebih tinggi, yang berarti masyarakat dengan ekonomi lebih rendah tidak tahan pangan.
Ini jika angka tingkat kemiskinan semakin meningkat maka indeks ketahanan pangan akan semakin
rendah.

148
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

Selanjutnya secara bersama-sama,ketiga variabel tersebut yaitu produksi beras, konsumsi


beras dan kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap Indeks Ketahanan Pangan di propinsi
Sulawesi Utara. Ini sejalan dengan program pemerintah propinsi Sulawesi Utara melalui Dinas
Pangan Daerah untuk tetap memantau ketersediaan pasokan pangan beras serta tersedianya pangan
di pasaran yang beragam, seimbang dan bergizi untuk di konsumsi masyarakat. Dan dalam hal
pengentasan kemiskinan, melalui program Operasi Daerah Selesaikan Kemiskinan (ODSK)
diantaranya menjaga kestabilan harga barang, menggiatkan ekspor, melakukan promosi potensi
sumber daya di Sulawesi Utara untuk menarik para investor, harga komoditi pertanian di Sulawesi
Utara (cengkih, pala dan kopra) yang terus membaik, pembangunan Rumah Sakit Daerah, dan lain
sebaginya, diharapkan mampu menjawab tantangan ini.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian menunjukan bahwa produksi beras yang ada di 8 Kabupaten di Provinsi
Sulawesi Utara yakni Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa
Selatan, Bolaang Mongondow, Bolmut, Bolsel dan Boltim berpengaruh positif signifikan
terhadap indeks ketahanan pangan.
2. Hasil penelitian menunjukan bahwa konsumsi beras yang ada di 8 Kabupaten di Provinsi
Sulawesi Utara yakni Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa
Selatan, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan
dan Bolaang Mongondow Timur berpengaruh posifif signifikan terhadap indeks ketahanan
pangan.
3. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kemiskinan yang ada di 8 Kabupaten di Provinsi
Sulawesi Utara yakni Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa
Selatan, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan
dan Bolaang Mongondow Timur berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap indeks
ketahanan pangan.
4. Hasil penelitian menunjukan bahwa produksi beras, konsumsi beras dan tingkat kemiskinan
yang ada di 8 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten Minahasa, Minahasa
Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow
Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Timur secara simultan
berpengaruh positif dan signifikan pada indeks ketahanan pangan.

Saran
1. Perlu adanya terobosan-terobasan baru melalui program dan kegiatan dari pemerintah untuk
menjaga produksi dan kualitas panen sehingga ketersediaan pangan pokok yaitu beras tetap
dapat mencukupi kebutuhan masyarakat di Sulawesi Utara.

149
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

2. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dapat bekerjasama dan atau mengikutsertakan BUMN
serta pihak swasta yang terkait untuk turut serta peduli dan memberikan bantuan seperti
pelatihan khusus petani, permodalan, alat-alat pertanian serta diversifikasi pangan.
3. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui isntansi terkait diharapkan terus dapat
memantau dan menjaga kestabilan harga beras lokal dan mengedukasi masyarakat perihal
pola konsumsinya untuk tidak sepenuhnya bergantung pada jenis pangan padi-padian dalam
memenuhi kebutuhan gizi (karbohidrat). Perlu adanya penganekaragaman pangan seperti
umbi-umbian dan lain-lain diluar beras namun tetap memperhatikan nilai gizi dan keamanan
dari bahan pangan tersebut.
4. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara lebih lagi meningkatkan kerjasama dan koordinasi
dengan pemerintah kabupaten/kota yang ada dalam hal pengentasan kemiskinan melalui
program-program baru yang pro rakyat.

DAFTAR PUSTAKA
Andi, Prasetyo. 2011. Analisis Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten karanganyar dilihat dari
Rasio Pendapatan Daerah pada APBD 2006-2008. Skripsi. Surakarta. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Baliwati,Y. F, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Denny Arianto (2010) Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, RataRata Produksi, Harga Beras,
dan Jumlah Konsumsi Beras Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah.
Gujarati, Damodar, 2003, Ekonometri Dasar. Terjemahan: Sumarno Zain, Jakarta: Erlangga.
Joseph, H, Gabriel, 2017. Analisis Pola Konsumsi Pangan di Propinsi Sulawesi Utara, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara, Jurnal Ilmiah Sains, vol. 17 No. 2,
Oktober 2017.
Miller, R.L, dan Meiners E, R. 2000. Teori Mikroekonomika Intermediate, Penerjemahan Haris
Munandar. PT Grafindo Persada, Jakarta.
Mahdalena, Wenny L.G. Supriana, Tavi. Lubis, Satria Negara. 2015. FaktorFaktor yang
Mempengaruhi Ketersediaan Beras dan Jagung di Provinsi Sumatra Utara. Jurnal Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara,
Oxfam. 2001. The Impact of Rice Trade Liberization on Food Security in Indonesia. A study
conducted for Oxfam – Great Britain.
Riyadi H. 2003. Penilaian Gizi Secara Antopometri. Bogor: Departemen Gizi dan Masyarakat.
Salemba Medika, Jakarta.
Rosyidi, Suherman, 2020, Pengantar Teori Ekonomi : Pendekatan Kepada Teori Mikro dan Makro,
Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Robert Pindyck & Daniel L. Rubinfeld. 2007. Mikroekonomi edisi keenam. Indeks: Jakarta.
Sukirno, Sadono, 2002. Makro Ekonomi Modern, P.T.Rajawali Grafindo Persada : Jakarta.
Sartika, Cica, Balaka, Yani, M, Rumbia, Aya, Wali, 2016. Studi Faktor-Faktor Penyebab
Kemiskinan Masyarakat Desa Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna, Jurnal Ekonomi,
vol.1, April 2016.

150
Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol.22 No.3 (2021)

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA
Widiarsih, Dwi, 2012. Pengaruh Sektor Komoditi Beras Terhadap Inflasi Bahan Makanan, Jurnal
Sosial Ekonomi Pembangunan Tahun II, No. 6, Juli 2012.
Zakiah (2016) Ketahanan Pangan dan Kemiskinan di Provinsi Aceh

151

Anda mungkin juga menyukai