Peta Ketahanan Dan Kercntanan Pangan Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2021

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2012 dan diresmikan pada


tanggal 22 april 2013, Kabupaten Pesisir Barat memiliki luas ± 2.907,23 Km2 atau
8,39 % dari luas wilayah Provinsi Lampung. Secara administrasi Kabupaten Pesisir
Barat dibagi menjadi 11 Kecamatan, 2 kelurahan dan 116 desa (pekon), Jumlah
penduduk Kabupaten Pesisir Barat tahun 2020 berdasarkan hasil sensuspenduduk
adalah 162.697 jiwa yang terdiridari 84.717 laki-laki dan 77.980 perempuan (dengan
rasio jenis kelamin sebesar 108.64). Letak astronomis, Pesisir Barat terletak antara 5 21’
sampai 5 28’ Lintang Selatan dan antara 105 48’ sampai 105 48’ Bujur Timur. Luaswilayah
Pesisir Barat, adalah berupa daratan, seluas 2.907,23 km2. IbukotaKabupaten Pesisir Barat
adalah Krui.

Secara geografis wilayah Kabupaten Pesisir Barat berbatasan langsung dengan:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Ujung Rembun, Desa Pancur Mas, Desa
Sukabanjar Kecamatan Lumbok Seminung, Desa Kubu Prahu Kecamatan Balik
Bukit, Desa Kutabesi, Desa Sukabumi Kecamatan Batu Brak, Desa Sukamarga,
Desa Ringinsari, Desa Sumber Agung, Desa Tuguratu, Desa Banding Agung
Kecamatan Suoh, Desa Hantatai, Desa Tembelang, Desa Gunung Ratu
Kecamatan Bandar Negeri Suoh Kabupaten Lampung Barat, Desa Gunung Doh
Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Desa Ngarit, Desa Rejosari, Desa Petekayu,
Desa Sirnagalih Kecamatan Ulu Belu, Desa Datar Lebuay Kecamatan Naningan
Kabupaten Tanggamus, Desa Way Beluah, dan Desa Melaya Kecamatan
Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera
Selatan;

1
2. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Tampang Tua Kecamatan Pematang
Sawa, Desa Sedayu, Desa Sidomulyo Kecamatan Semaka Kabupaten
Tanggamus;

3. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia;

4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tebing Rambutan Kecamatan Nasal


Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu.

Kondisi iklim Kabupaten Pesisir Barat dipengaruhi oleh keadaan alamnya


yang dilewati oleh jalur Pegunungan Bukit Barisan Selatan dan keberadaan
Samudera Hindia di sebelah barat. Menurut Oldeman dan Las Davis (1970),
Kabupaten Pesisir Barat memiliki dua tipe iklim, yakni:

1. Tipe iklim Zona A, yang memiliki > 9 bulan basah yang mengalami musim
penghujan (tingkat kelembaban pada bulan tersebut tinggi), zona ini terdapat di
bagian barat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) termasuk di
dalamnya wilayah Krui (Kabupaten Pesisir Barat) dan Bintuhan (Kabupaten
Kaur Provinsi Bengkulu);

2. Tipe iklim Zona B, dengan jumlah bulan basah 7-9 bulan, yang terdapat
dibagian Timur Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Secara umum curah
hujan di daerah ini berkisar antara 2500-3000 mm/tahun yang masuk dalam
kategori sedang. Tingkat kelembaban berkisar antara 50-80%, yang dikendalikan
oleh regim sirhudari panas (isohypothermic) pada dataran pantai di bagian barat
sampai dingin (iosthermic) di wilayah perbukitan.

Perekonomian Kabupaten Pesisir Barat tergantung pada sektor Pertanian,


Kehutanan, dan Perikanan, peranan terbesar dalam pembentukan Produk Domestik
Regional Bruto pada tahun 2020 dihasilkan oleh lapangan usaha Pertanian,
Kehutanan, dan Perikanan,yaitu mencapai 50,26 persen (angka ini menurun dari
52,38 persen di tahun 2016).
Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 114 dan Peraturan
Pemerintah No. 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi Pasal 75
mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
2
kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan
Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi, yang dapat digunakan untuk
perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi pasokan dan harga pangan serta
sebagai sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan kerawanan pangan
dan gizi.

Informasi tentang ketahanan dan kerentanan pangan penting untuk


memberikan informasi kepada para pembuat keputusan dalam pembuatan program
dan kebijakan, baik di tingkat pusat maupun tingkat lokal, untuk lebih
memprioritaskan intervensi dan program berdasarkan kebutuhan dan potensi
dampak kerawanan pangan yang tinggi. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu instrumen untuk mengelola krisis pangan dalam rangka upaya
perlindungan/penghindaran dari krisis pangan dan gizi baik jangka pendek,
menengah maupun panjang.

Dalam rangka menyediakan informasi ketahanan pangan yang yang akurat


dan komprehensif, disusunlah Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan/Food
Security and Vulnerability Atlas-FSVA sebagai instrumen untuk monitoring ketahanan
pangan wilayah. Di tingkatnasional FSVA disusun sejak tahun 2002 bekerja sama
dengan World Food Programme (WFP). Kerjasama tersebut telah menghasilkan Peta
Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas - FIA) pada tahun 2005. Pada tahun 2009,
2015, 2018 disusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and
Vulnerability Atlas – FSVA).

Sebagai tindak lanjut penyusunan FSVA Nasional disusun pula FSVA Provinsi
dengan analisis sampai tingkat kecamatan dan FSVA Kabupaten dengan analisis
sampai tingkat desa. Dengan demikian, permasalahan pangan dapat dideteksi
secara cepat sampai level yang paling bawah. FSVA kabupaten telah disusun sejak
tahun 2012 dan dimutakhirkan pada tahun 2016. Untuk mengakomodir
perkembangan situasi ketahanan pangan dan pemekaran wilayah desa, maka
dilakukan pemutakhiran FSVA Kabupaten pada tahun 2021.

3
Seperti halnya FSVA Nasional dan Provinsi, FSVA Kabupaten menyediakan
sarana bagi para pengambil keputusan untuk secara cepat dalam mengidentifikasi
daerah yang lebih rentan, dimana investasi dari berbagai sektor seperti pelayanan
jasa, pembangunan manusia dan infrastruktur yang berkaitan dengan ketahanan
pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap penghidupan,
ketahanan pangan dan gizi masyarakat pada tingkat desa.

Pengembangan FSVA tingkat desa merupakan hal yang sangat penting,


dimana kondisi ekologi dan kepulauan yang membentang dari timur ke Barat,
kondisi iklim yang dinamis dan keragaman sumber penghidupan masyarakat
menunjukkan adanya perbedaan situasi ketahanan pangan dan gizi di masing-
masing wilayah. FSVA Kabupaten akan menjadi alat yang sangat penting dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan untuk mengurangi kesenjangan
ketahanan pangan.

1.2. KERANGKA KONSEP KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

Peran pangan bukan hanya penting untuk memenuhi kebutuhan fisik dasar
dan mencegah kelaparan, namun lebih jauh dari itu peran pangan dengan
kandungan gizi di dalamnya bagi kecerdasan bangsa dan peningkatan kualitas
hidup manusia untuk menghasilkan manusia yang sehat, cerdas, aktif dan produktif
seperti disebutkan dalam definisi ketahanan pangan. Kecukupan pemenuhan
pangan dalam jumlah dan mutunya berkorelasi dengan produktivitas kerja dan
pertumbuhan otak serta kecerdasan dan pada akhirnya berperan dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat.

Dalam undang-undang didefinisikan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi


terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,
dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Menimbang pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan

4
nasional, Bab III Undang-undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 mengamanatkan
bahwa Pemerintah harus melakukan perencanaan penyelenggaraan pangan. Pada
pasal 6, penyelenggaraan pangan diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan,
kemandirian dan ketahanan pangan.

Definisi ketahanan pangan (food security) yang dianut oleh Food and Agricultural
Organisation (FAO) dan dirujuk oleh UU Pangan saat ini mengacu pada konsep awal
food security yang dihasilkan oleh World Food Summittahun 1996. Merujuk pada
konsep tentang pentingnya nutrition security yang diajukan oleh Unicef pada awal
tahun 1990an yang menambahkan aspek penyakit infeksi sebagai penyebab masalah
gizi disamping ketahanan pangan rumahtangga, maka International Food Policy
Research Institute (IFPRI) menyebut konsep ketahanan pangan FAO tersebut sebagai
Food and Nutrition Security. Pada tahun 2012 FAO1 mengajukan definisi food security
menjadi food and nutrition security untuk menyempurnakan konsep dan definisi
sebelumnya.

Upaya FAO ini sejalan dengan upaya Standing Committee on Nutrition (SCN),
suatu lembaga non struktural yang juga berada di bawah United Nations (PBB) yang
pada tahun 20132 juga merekomendasikan penyempurnaan definisi ketahanan
pangan (food security) menjadi ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security).
Dalam pemahaman baru ini, perwujudan ketahanan pangan tidak hanya
berorientasi pada upaya penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi setiap
individu, namun juga harus disertai upaya untuk meningkatkan efektivitas
pemanfaatan pangan bagi terciptanya status gizi yang baik bagi setiap individu.
Dalam konteks ini optimalisasi utilisasi pangan tidak cukup hanya dari kualitas
pangan yang dikonsumsi, namun juga harus didukung oleh terhindarnya setiap
individu dari penyakit infeksi yang dapat mengganggu tumbuh kembang dan
kesehatan melalui kecukupan air bersih dan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene
yang baik. Kerangka pikir ketahanan pangan dan gizi ini dituangkan dalam Gambar
1.1.

1
Disampaikan pada Commitee on World Food Security, 36th sessions of 15-22 October 2012, Rome-Italia
2
Disampaikan pada UNSCN Meeting of the Minds and Nutrition Impact of Food System, 25-28 March di New
York
5
Gambar 1.1. KonsepKetahanan Pangan dan Gizi
(Sumber: FAO dan UNSCN)

Analisis dan pemetaan FSVA dilakukan berdasarkan pada pemahaman


mengenai ketahanan pangan dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka
Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (Gambar 1.1). Kerangka konseptual tersebut
dibangun berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan, yaitu: ketersediaan, akses dan
pemanfaatan pangan, serta mengintegrasikan gizi dan kerentanan di dalam
keseluruhan pilar tersebut.

Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi


dalam negeri, cadangan pangan, serta pemasukan pangan (termasuk didalamnya
impor dan bantuan pangan) apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi
kebutuhan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, regional,
kecamatan dan tingkat masyarakat.

6
Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup
pangan yang bergizi, melalui satu atau kombinasi dari berbagai sumber seperti:
produksi dan persediaan sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan
pangan. Pangan mungkin tersedia di suatu daerah tetapi tidak dapat diakses oleh
rumah tangga tertentu jika mereka tidak mampu secara fisik, ekonomi atau sosial,
mengakses jumlah dan keragaman makanan yang cukup.

Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga


dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi.
Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan
makanan, keamanan air untuk minum dan memasak, kondisi kebersihan, kebiasaan
pemberian makan (terutama bagi individu dengan kebutuhan makanan khusus),
distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai dengan kebutuhan individu
(pertumbuhan, kehamilan dan menyusui), dan status kesehatan setiap anggota
rumah tangga. Mengingat peran yang besar dari seorang ibu dalam meningkatkan
profil gizi keluarga, terutama untuk bayi dan anak-anak, pendidikan ibu sering
digunakan sebagai salah satu proxy untuk mengukur pemanfaatan pangan rumah
tangga.

Dampak gizi dan kesehatan merujuk pada status gizi individu, termasuk
defisiensi mikronutrien, pencapaian morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan pangan, serta praktek-praktek perawatan umum, memiliki
kontribusi terhadap dampak keadaan gizi pada kesehatan masyarakat dan
penanganan penyakit yang lebih luas.

Kerentanan dalam peta ini selanjutnya merujuk pada kerentanan terhadap


kerawanan pangan dan gizi. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau
kelompok masyarakat ditentukan oleh pemahaman terhadap faktor-faktor risiko
dan kemampuan untuk mengatasi situasi tertekan.

Kerawanan pangan dapat menjadi kondisi yang kronis atau transien.


Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang untuk
memenuhi kebutuhan pangan minimum dan biasanya berhubungan dengan

7
struktural dan faktor-faktor yang tidak berubah dengan cepat, seperti iklim
setempat, jenis tanah, sistem pemerintahan daerah, infrastruktur publik, sistim
kepemilikan lahan, distribusi pendapatan dan mata pencaharian, hubungan antar
suku, tingkat pendidikan, sosial budaya/adat istiadat dll.

Kerawanan pangan transien adalah ketidakmampuan sementara yang bersifat


jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum yang sebagian besar
berhubungan dengan faktor dinamis yang dapat berubah dengan cepat/tiba-tiba
seperti penyakit menular, bencana alam, pengungsian, perubahan fungsi pasar,
tingkat hutang dan migrasi. Perubahan faktor dinamis tersebut umumnya
menyebabkan kenaikan harga pangan yang lebihmempengaruhi penduduk miskin
dibandingkan penduduk kaya, mengingat sebagian besar dari pendapatan
penduduk miskin digunakan untuk membeli makanan. Kerawanan pangan transien
yang berulang dapat menyebabkan kerawanan aset rumah tangga, menurunnya
ketahanan pangan dan akhirnya dapat menyebabkan kerawanan pangan kronis.

1.3. Metodologi

Kerentanan pangan dan gizi adalah masalah multi-dimensional yang


memerlukan analisis dari sejumlah parameter.Kompleksitas masalah ketahanan
pangan dan gizi dapat dikurangi dengan mengelompokkan indikator proxy ke
dalam tiga kelompok yang berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu ketersediaan
pangan, keterjangkauan/akses rumah tangga terhadap pangan dan pemanfaatan
pangan secara individu. Pertimbangan gizi, termasuk ketersediaan dan
keterjangkauan bahan pangan bergizi tersebar dalam ketiga kelompok tersebut.

Indikator

Kerentanan terhadap kerawanan pangan tingkat nasional, provinsi maupun


kabupaten, memiliki karakteristik masing-masing sehingga tidak semua indikator
nasional maupun provinsi dapat digunakan untuk memetakan kerentanan terhadap
kerawanan pangan di tingkat kabupaten. Pemilihan indikator FSVA
Kabupatendidasarkan pada: (i) hasil review terhadap pemetaan daerah rentan
rawan pangan yang telah dilakukan sebelumnya; (ii) tingkat sensitivitas dalam
8
mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; (iii) keterwakilan pilar ketahanan
pangandangizi; dan (iv) ketersediaan data pada seluruh desa.

Indikator yang digunakan dalam FSVA Kabupaten terdiri dari 6 (enam) indikator
yang mencerminkan tiga aspek ketahanan pangan.

Tabel 1.1. Indikator FSVA Kabupaten 2021

Indikator Definisi Sumber Data


A. Aspek Ketersediaan Pangan
Rasio luas lahan pertanian Luas lahan pertanian BPS; Pusat Data
terhadap jumlah dibandingkan dengan jumlah Informasi Kementan
penduduk penduduk 2020; Dinas Pertanian
Kab Pesisir Barat,
2020
Rasio jumlah sarana dan Jumlah sarana dan prasarana Potensi Desa 2020,
prasarana penyedia ekonomi penyedia pangan BPS; Dinas
pangan terhadap jumlah (pasar, minimarket, toko, Koperindag
rumah tangga warung, restoran dll) Kabupaten Pesisir
dibandingkan jumlah rumah Barat, 2020
tangga desa
B. Aspek Akses terhadap Pangan
Rasio jumlah penduduk Jumlah penduduk dengan Data Terpadu
dengan tingkat status kesejahteraan terendah Kesejahteraan Sosial
kesejahteraan terendah (penduduk dengan tingkat Jumlah Penduduk
kesejahteraan pada Desil 1)
terhadap jumlah Desa dari SP 2020;
dibandingkan jumlah penduduk
penduduk desa Dinas Sosial
desa

9
Indikator Definisi Sumber Data
Desa yang tidak memiliki Desa yang tidak memiliki akses Potensi Desa 2020,
akses penghubung penghubung memadai dengan BPS
memadai melalui darat kriteria:(1) Desa dengan sarana
transportasi darat tidak dapat
atau air atau udara
dilalui sepanjang tahun; (2)
Desa dengan sarana transportasi
airatauudara namun tidak
tersedia angkutan umum
C. Aspek Pemanfaatan Pangan
Rasio jumlah rumah Jumlah rumah tangga desil 1 Data Terpadu
tangga tanpa akses air s/d 4 dengan sumber air Kesejahteraan Sosial;
bersih terhadap jumlah bersih tidak terlindung Dinas
rumah tangga desa dibandingkan jumlah rumah Kependudukan dan
tangga desa Catatan Sipil, 2021
Rasio jumlah tenaga Jumlah tenaga kesehatan Potensi Desa 2020,
kesehatan terhadap jumlah terdiri atas: 1) Dokter BPS
penduduk desa umum/spesialis; 2) dokter Jumlah penduduk
gigi; 3) bidan; 4) tenaga dari SP 2020
kesehatan lainnya (perawat,
tenaga kesehatan masyarakat,
tenaga gizi, apoteker/asisten
apoteker) dibandingkan
jumlah penduduk desa

Metode Analisis

1. Analisis Indikator Individu

Analisis indikator individu dilakukan dengan mengelompokkan indikator


individu kedalam beberapa kelas berdasarkan metode sebaran empiris.

10
Sementaraitu data kategorik mengikuti standar pengelompokkan yang sudah
ditetapkan oleh BPS.

2. Analisis Komposit

Metodologi yang diadopsi untuk analisis komposit adalah dengan


menggunakan metode pembobotan. Metode pembobotan digunakan untuk
menentukan tingkat kepentingan relatif indikator terhadap masing-masing aspek
ketahanan pangan. Metode pembobotan dalam penyusunan FSVA mengacu pada
metode yang dikembangkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam
penyusunan Global Food Security Index (EIU 2016 dan 2017) dan International Food
Policy Research Institute (IFPRI) dalam penyusunan Gobal Hunger Index (IFPRI 2017).
Goodridge (2007) menyatakan jika variabel yang digunakan dalam perhitungan
indeks berbeda, maka perlu dilakukan secara tertimbang (pembobotan) untuk
membentuk indeks agregat yang disesuaikan dengan tujuannya.

Langkah-langkahperhitungananalisiskompositadalahsebagaiberikut:

a. Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to scale (0 –


100)

b. Menghitung skor komposit kabupaten/kota dengan cara menjumlahkan hasil


perkalian antara masing-masing nilai indikator yang sudah distandarisasi dengan
bobot indikator, dengan rumus:

𝟗
𝒀(𝒋) = ∑ 𝒂𝒊 𝑿𝒊𝒋………………………………………………………...… (1)
𝒏=𝟏

Dimana:
Yj : Skor komposit kabupaten/kota ke-j
ai : Bobot masing-masing indikator
Xij : Nilai standarisasi masing-masing indikator pada kabupaten/kota ke-j

11
Besaran bobot masing-masing indicator dibagi sama besar untuk setiap aspek
ketahanan pangan, karena setiap aspek memiliki peran yang sama besar terhadap
penentuan ketahanan pangan wilayah. Bobot untuk setiap indicator mencerminkan
signifikansi atau pentingnya indicator tersebut dalam menentukan tingkat
ketahanan pangan suatu wilayah.

Tabel 1.2 Bobot Indikator Individu

Bobot
No Indikator
Kabupaten Kota
1. Rasio luas lahan pertanian terhadap jumlah 1/6 -
penduduk
2. Rasio jumlah sarana dan prasarana penyedia 1/6 1/3
pangan terhadap jumlah rumah tangga
Sub Total 1/3 1/3
3. Rasio jumlah penduduk dengan tingkat 1/6 1/6
kesejahteraan terendah terhadap jumlah
penduduk desa
4. Desa yang tidak memiliki akses penghubung 1/6 1/6
memadai melalui darat atau air ata udara
Sub Total 1/3 1/3
5. Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih 1/6 1/6
terhadap jumlah rumah tangga desa
6. Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah 1/6 1/6
penduduk desa
Sub Total 1/3 1/3

c. Mengelompokan desa/kelurahan ke dalam 6 kelompok prioritas berdasarkan cut


off point komposit. Skor komposit yang dihasilkan pada masing-masing wilayah
dikelompokkan ke dalam 6 kelompok berdasarkan cut off point komposit. Cut off
point komposit merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing perkalian
antara bobot indikator individu dengan cut off point indikator individu hasil
standarisasi z-score dan distance to scale (0-100).

12
………………………………………………………...… (2)

Dimana:
Kj : cut off point komposit ke-J
ai : Bobot indikator ke-i
Cij : Nilai standarisasi cut off point indikator ke-I kelompok ke-j

Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah desa/kelurahan yang


cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada desa/kelurahan
dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6 merupakan
desa/kelurahan yang memiliki ketahanan pangan paling baik. Penting untuk
menegaskan kembali bahwa sebuah desa/kelurahan yang diidentifikasikan sebagai
relatif lebih tahan pangan (kelompok Prioritas 4-6), tidak berarti semua kpenduduk
di dalamnya juga tahan pangan. Demikian juga, tidak semua pendudukdi
desa/kelurahan Prioritas 1-3 tergolong rentan pangan.

3. Pemetaan

Hasil analisis indikator individu dan komposit kemuadian divisualisasikan


dalam bentuk peta. Peta-peta yang dihasilkan menggunakan pola warna seragam
dalam gradasi warna merah dan hijau. Gradasi merah menunjukkan variasi tingkat
kerentanan pangan tinggi dan gradasi hijau menggambarkan variasi kerentanan
pangan rendah. Untuk kedua kelompok warna tersebut, warna yang semakin tua
menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari ketahanan atau kerentanan pangan.

13
BAB 2
KETERSEDIAAN PANGAN

Undang-undang Pangan No. 18 tahun 2012 mendefinisikan ketersediaan


pangan sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan
cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat
memenuhi kebutuhan. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan,
menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali,
dan/atau mengubah bentuk Pangan. Sedangkan cadangan pangan nasional adalah
persediaan pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan pangan, gangguan
pasokan dan harga, serta keadaan darurat. Penyediaan pangan diwujudkan untuk
memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan
perseorangan secara berkelanjutan.

Mayoritas bahan pangan yang diproduksi maupun didatangkan dari luar


wilayah harus masuk terlebih dahulu ke pasar sebelum sampai ke rumah tangga.
Oleh karena itu, selain kapasitas produksi pangan, keberadaan sarana dan prasarana
penyedia pangan seperti pasar akan terkait erat dengan ketersediaan pangan di
suatu wilayah.

2.1. LAHAN PERTANIAN

Rasio luas lahan pertanian terhadap jumlah penduduk adalah perbandingan


antara luas lahan pertanian dengan jumlah penduduk di wilayah pekon tersebut.
Rasio luas lahan pertanian terhadap jumlah penduduk digunakan sebagai salah satu
indikator dalam aspek ketersediaan pangan karena lahan pertanian memiliki
korelasi yang positif terhadap tingkat ketersediaan pangan dengan mempengaruhi
kapasitas produksi pangan3. Oleh sebab itu, semakin tinggi rasio luas lahan

3
Yudhistira (2013) Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Fakultas Ekonomi dan Bisnis
14
pertanian terhadap jumlah penduduk maka diasumsikan ketersediaan pangan juga
akan semakin baik, begitu pula sebaliknya.

Dari 118 Pekon di Kabupaten Pesisir Barat, 17 pekon masuk dalam prioritas 1
(14 %) yaitu Pekon Kotakarang, Pekon Sukamarga, Pekon Pekon Lok, Pekon Bandar
Dalam, Pekon Pasar Pulau Pisang, Pekon Sukadana, Pekon Labuhan, Pekon
Penggawa Lima Ulu, Pekon Rawas, Pekon Kampung Jawa, Kelurahan Pasar Krui,
Kelurahan Pasar Kota Krui, Pekon Sumber Rejo, Pekon Penyandingan, Pekon
Pemerihan, Pekon Tanjungrejo, dan Pekon Pagar Bukit, 18 pekon, prioritas 2 (15 %)
dan 24 pekon prioritas 3 (20 %). Kecamatan yang memiliki rasio luas lahan pertanian
terhadap jumlah penduduk prioritas 1-3 sebagian besar tersebar di Kecamatan
Bangkunat yaitu sebanyak 11 pekon.

Gambar 2.1. Peta Indikator Prioritas luas lahan pertanian

15
Tabel 2.1 Sebaran rasio luas lahan pertanian terhadap jumlah penduduk
berdasarkan prioritas
Jumlah Desa Persentase
Prioritas Rasio lahan sawah
(Pekon)
1 ≤ 0,0292 17 14%

2 0,0292 - 0,0465 18 15%

3 0,0465 - 0,0772 24 20%

4 0,0772 - 0,1139 24 20%

5 0,1139 - 0,1693 18 15%

6 > 0,1693 17 14%

Gambar 2.2 Sebaran rasio luas lahan pertanian terhadap jumlah penduduk
berdasarkan prioritas

2.2. PRODUKSI

Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat telah mempromosikan produksi


pertanian dan telah mengadopsi beberapa tindakan perlindungan bagi petani.
Pertanian (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) telah memberikan
16
kontribusi sebesar 50,26 % dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
Pesisir Barat pada tahun 2020 dan memberikan peluang yang signifikan untuk
berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan pangan, penanggulangan
kemiskinan, dan dinamika pertumbuhan ekonomi. Padi dan jagung merupakan
bahan pokok di Kabupaten Pesisir Barat, dimana secara 5 tahun rata-rata
menyumbang 116.330,22 Ton atau sekitar 97,38% dari total produksi serealia
kabupaten.

Berdasarkan Tabel 2.2 dan Gambar 2.1, produksi umbi-umbian di Kabupaten


Pesisir Barat mengalami penurunan jika dibanding tahun tahun 2016. Penurunan ini
terutama disebabkan oleh berkurangnya luas tanam. Produksi padi berfluktuasi
selama 5 tahun terakhir, produksi padi menurun jika dibanding dari tahun dasar
2016 sebanyak 93.986,26 ton tahun menjadi 86.031,11 ton pada tahun 2020.
Tabel 2.2 Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian 2016-2020 (Ton)
Rata-rata
No Serealia 2016 2017 2018 2019 2020
5 tahun
1 Padi 93.986,26 94.969,92 99.652,00 85.806,74 86.031,11 92.089,21
2 Jagung 24.953,09 23.079,87 26.319,00 27.515,95 19.337,16 24.241,01
3 Ubi Kayu 2.750,81 2.533,42 3.404,00 2.196,69 2.236,27 2.624,24
4 Ubi Jalar 336,83 230,97 288,00 798,46 845,10 499,87
JUMLAH 122.026,99 120.814,18 129.663,00 116.317,84 108.449,64 119.454,33

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat 2016-2020

1 Padi
2 Jagung
3 Ubi Kayu
4 Ubi Jalar

Gambar 2.3. Grafik Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian 2016-2020


17
Pada tahun 2020, total produksi serealia dan umbi-umbian mencapai
86.031,11 ton padi, 19.337,16 ton jagung, 2.236,27 ton ubi kayu, dan ubi jalar 845,10
ton. Total produksi serealia dan laju pertumbuhan produksi tahun 2016-2020
menunjukkan pertumbuhan sebesar -2% %, yaitu dari total produksi tahun 2016
sebesar 122.026,99 ton menjadi 108.449,64 ton pada tahun 2020. Sebaran total
produksi serealia selama 5 tahun terbesar terjadi pada tahun 2018 yaitu sebesar
129.663,00 ton dan terkecil pada tahun 2020, Produksi serealia pertahun dan laju
pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Produksi Total Serealia per Tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi (2016-2020)
Produksi Total Serealia Laju
Kecamatan Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020 2016 – 2020
1. Bangkunat 28.194,45 29.186,61 35.763,00 31.867,66 10.565,74 -13%
2. Karya 6.428,80 5.914,11 7.536,00 6.688,69 5.807,56 -2%
Penggawa
3. Krui 4.418,06 4.411,23 5.635,00 4.096,16 5.148,79 3%
Selatan
4. Lemong 7.312,14 5.313,58 4.027,00 5.755,67 4.513,00 -8%
5. Ngambur 23.481,94 24.666,41 24.250,00 21.745,87 20.368,66 -3%
6. Ngaras 13.147,00 12.647,66 15.942,00 11.460,37 26.563,06 20%
7. Pesisir 26.347,77 26.599,85 24.051,00 24.509,16 24.486,53 -1%
Selatan
8. Pesisir 3.498,67 3.078,04 3.167,00 2.437,90 2.766,16 -4%
Tengah
9. Pesisir 5.449,61 5.012,52 5.127,00 5.359,71 4.853,16 -2%
Utara
10. Pulau 358,43 37,05 218,00 178,11 197,90 -9%
Pisang
11. Way Krui 3.390,14 3.947,10 3.947,00 2.218,54 3.179,08 -1%
Jumlah 122.026,99 120.814,18 129.663,00 116.317,84 108.449,64 -2%

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat 2016-2020

18
2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 2.4 Grafik Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian 2016-2020

Padi
Produksi padi pada tingkat kecamatan di Kabupaten Pesisir Barat selama 5
tahun terakhir (2016-2020) telah dianalisis dan disajikan pada Tabel 2.4. Produksi
padi mengalami peningkatan di 3 (tiga) kecamatan. Peningkatan terjadi di
kecamatan Ngambur, Krui Selatan, dan Ngaras. Produksi padi tertinggi di
Kecamatan Pesisir Selatan sebesar 25.262,28 ton pada tahun 2017.

Tabel 2.4 Produksi Padi 2016 - 2020 (Ton)


Produksi Padi Laju
Kecamatan Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020 2016 – 2020
1. Bangkunat 16.224,88 15.119,52 17.487,00 14.712,26 7.605,88 -11%

2. Karya 6.293,83 5.779,80 7.474,00 6.631,17 5.776,99 -2%


Penggawa
3. Krui Selatan 4.236,65 4.303,08 4.879,00 3.501,17 4.579,06 2%

4. Lemong 5.563,60 5.274,00 3.968,00 5.523,82 4.433,84 -4%

5. Ngambur 15.246,27 17.622,48 18.454,00 15.252,86 16.231,01 1%

6. Ngaras 10.193,32 9.913,20 12.880,00 7.065,23 13.086,90 6%

7. Pesisir 24.858,19 25.262,28 23.040,00 23.598,27 23.760,43 -1%


Selatan

19
Produksi Padi Laju
Kecamatan Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020 2016 – 2020
8. Pesisir 2.914,25 2.761,92 2.984,00 2.373,14 2.593,52 -2%
Tengah
9. Pesisir Utara 5.065,15 5.012,52 4.539,00 4.930,28 4.784,40 -1%

10. Pulau Pisang - - - - - 0%

11. Way Krui 3.390,14 3.921,12 3.947,00 2.218,54 3.179,08 -1%

Jumlah 93.986,26 94.969,92 99.652,00 85.806,74 86.031,11 -2%

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat 2016-2020

Gambar 2.5 Grafik Produksi Padi 2016 - 2020 (Ton)

2016 2017 2018 2019 2020

Jagung
Pada tahun 2020, produksi jagung mencapai 19.337,16 ton. Hal ini
menunjukkan terjadi penurunan 30%. Penurunan produksi pada tahun 2020
disebabkan alih fungsi lahan. Sebaran produksi jagung terbesar terjadi pada tahun
2019, yaitu sebesar 27.515,95 ton. Kontribusi terbesar terjadi di Kecamatan
Bangkunat sebesar 15.684,90 ton, menyusul Kecamatan Ngambur sebesar 6.247,01
ton dan terendah Kecamatan Pulau Pisang dan Kecamatan Way Krui sebesar 0 Ton.
Secara rinci produksi jagung tahun 2016-2020 disajikan pada Tabel 2.5.

20
Tabel 2.5 Produksi Jagung 2016 - 2020 (Ton)
Produksi Jagung Laju
Kecamatan Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020 2016 – 2020
1. Bangkunat 11.177,97 12.760,80 16.272,00 15.684,90 2.824,36 -15%

2. Karya 134,97 114,52 22,00 37,73 10,78 -18%


Penggawa
3. Krui Selatan 102,25 20,45 588,00 377,30 431,20 64%

4. Lemong 1.689,17 - - 172,48 - -20%

5. Ngambur 7.820,08 6.826,21 5.519,00 6.247,01 3.864,63 -10%

6. Ngaras 2.323,12 2.045,00 2.549,00 4.139,52 12.006,76 83%

7. Pesisir 948,88 1.218,82 776,00 441,98 145,53 -17%


Selatan
8. Pesisir 200,41 69,53 5,00 5,39 53,90 -15%
Tengah
9. Pesisir Utara 384,46 - 588,00 409,64 - -20%

10. Pulau Pisang 171,78 8,18 - - - 0%

11. Way Krui - 16,36 - - - 0%

Jumlah 24.953,09 23.079,87 26.319,00 27.515,95 19.337,16 -5%

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat 2016-2020

Gambar 2.6 Grafik Produksi Jagung 2016 - 2020

2016 2017 2018 2019 2020

21
Ubi Kayu

Produksi ubi kayu meningkat/menurun dari 2.750,81 ton pada tahun 2016
menjadi 2.236,27 ton pada tahun 2020. Daerah yang merupakan sentra produksi ubi
kayu terbesar pada tahun 2020 berada di Kecamatan Ngaras Rincian produksi ubi
kayu tahun 2016-2020 disajikan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Produksi Ubi Kayu 2016 - 2020 (Ton)


Produksi Ubi Kayu Laju
Kecamatan Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020 2016 – 2020
1. Bangkunat 791,60 1.306,29 1.860,00 989,50 79,16 -18%

2. Karya - 19,79 40,00 19,79 19,79 -


Penggawa
3. Krui Selatan 79,16 39,58 139,00 217,69 138,53 15%

4. Lemong 59,37 39,58 59,00 59,37 79,16 7%

5. Ngambur 415,59 217,72 277,00 197,90 197,90 -10%

6. Ngaras 534,33 573,98 475,00 197,90 1.009,29 18%

7. Pesisir 415,59 118,75 158,00 257,27 336,43 -4%


Selatan
8. Pesisir 316,64 217,72 178,00 59,37 118,74 -13%
Tengah
9. Pesisir Utara - - - 19,79 59,37 -

10. Pulau Pisang 138,53 - 218,00 178,11 197,90 0%

11. Way Krui - - - - - 0%

Jumlah 2.750,81 2.533,42 3.404,00 2.196,69 2.236,27 -4%

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat 2016-2020

22
Gambar 2.7 Grafik Produksi Ubi Kayu 2016 - 2020

2016 2017 2018 2019 2020

Ubi Jalar
Produksi ubi jalar terbesar selama kurun waktu 5 tahun (2016 - 2020) terjadi
pada tahun 2020, yaitu sebesar 845 Ton. Kecamatan Ngaras merupakan
penyumbang terbesar, yaitu sebesar 460 ton, Kecamatan Pesisir Selatan sebesar
244,14 ton, Kecamatan Ngambur sebesar 75,12 ton dan Kecamatan Bangkunat
sebesar 56,34 ton. Rincian produksi ubi jalar tahun 2016 - 2020 disajikan pada Tabel
2.7.

Tabel 2.7 Produksi Ubi Jalar 2016 - 2020 (Ton)


Ubi jalar Laju
Kecamatan Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020 2016 – 2020
1. Bangkunat - - 144,00 481,00 56,34 -

2. Karya - - - - - -
Penggawa
3. Krui Selatan - 48,12 29,00 - - -

4. Lemong - - - - - -

5. Ngambur - - - 48,10 75,12 -

6. Ngaras 96,24 115,48 38,00 57,72 460,11 76%

7. Pesisir 125,11 - 77,00 211,64 244,14 19%


Selatan
8. Pesisir 67,37 28,87 - - - -20%
Tengah
23
Ubi jalar Laju
Kecamatan Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020 2016 – 2020
9. Pesisir Utara - - - - 9,39 -

10. Pulau Pisang 48,12 28,87 - - - 0%

11. Way Krui - 9,62 - - - 0%

Jumlah 336,83 230,97 288,00 798,46 845,10 30%

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat 2016-2020

Gambar 2.8 Grafik Produksi Ubi Jalar 2016 - 2020

2016 2017 2018 2019 2020

2.3. SARANA DAN PRASARANA PENYEDIA PANGAN


Rasio jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah
tangga adalah perbandingan antara jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan
(pasar, minimarket, toko, warung, restoran, dll) dengan jumlah rumah tangga di
pekon. Sarana dan prasarana penyedia pangan diasumsikan sebagai tempat
penyimpan pangan (stok pangan) yang diperoleh dari petani sebagai produsen
pangan maupun dari luar wilayah, yang selanjutnya disediakan bagi masyarakat
untuk konsumsi. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio sarana dan prasarana
penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga di pekon maka diasumsikan
semakin baik tingkat ketersediaan pangan di pekon tersebut.

24
Dari 118 pekon di Kabupaten Pesisir Barat, 17 pekon masuk dalam prioritas 1
(14,4%), 18 pekon prioritas 2 (15,3 %) dan 24 pekon prioritas 3 (20,3 %). Seperti
terlihat pada gambar dan table di bawah ini.

Gambar 2.9. Peta indikator sarana penyedia pangan

Tabel 2.8 Sebaran rasio sarana prasarana ekonomi berdasarkan prioritas


Prioritas Rasio Sarana Persentase
No. Jumlah Pekon
Ekonomi
1 Prioritas 1 ≤ 0,0426 17 14,4%

2 Prioritas 2 0,426 - 0,0580 18 15,3%

3 Prioritas 3 0,0580 - 0,0823 24 20,3%

4 Prioritas 4 0,0823 - 0,1126 24 20,3%

5 Prioritas 5 0,1126 - 0,1343 18 15,3%

6 Prioritas 6 > 0,1343 17 14,4%

25
Gambar 2.10. Rasio Sarana Ekonomi
Sebaran
SebaranRasio Sebaran Rasio
Rasio Sarana Prasarana Ekonomi Berdasarkan Prioritas Persentase
Sarana Prasarana Sarana Prasarana
Ekonomi Ekonomi
Berdasarkan Berdasarkan
Prioritas Persentase, Prioritas Persentase,
Prioritas 6, 14%, Prioritas 1, 14%,
Sebaran Rasio
15% 15%
Sarana Prasarana
Ekonomi
Berdasarkan
Prioritas Persentase,
Prioritas 1
Sebaran Rasio Prioritas 2, 15%,
Sarana Prioritas 2
15%
Prasarana Prioritas 3
Ekonomi
Berdasarkan Prioritas 4
Prioritas Prioritas 5
Persentase, Sebaran Rasio
Prioritas 5, 15%, Sebaran Rasio Sarana Prasarana Prioritas 6
15% Sarana Prasarana Ekonomi
Ekonomi Berdasarkan
Berdasarkan Prioritas Persentase,
Prioritas Persentase, Prioritas 3, 20%,
Prioritas 4, 20%, 20%
20%

2.4. Strategi Pemenuhan Ketersediaan Pangan

Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Pesisir Barat dari tahun 2016-2020


mencapai 8 % per tahun sementara pertumbuhan produksi padi dan jagung
mencapai -2% dan -5 %. Rata-rata kepemilikan lahan petani di Kabupaten Pesisir
Barat adalah sebesar 360 meter persegi. Rasio lahan pertanian dibandingkan lahan
total adalah sebesar 22% . Rasio sarana ekonomi penyedia pangan pada prioritas 1-3
mencapai 39,9 %. Hal tersebut menjadi tantangan dalam pemenuhan ketersediaan
pangan.

Strategi untuk Meningkatkan Ketersediaan Pangan.

Kebijakan kabupaten mengenai ketersediaan pangan pada periode 2021-2026


bertujuan untuk (i) meningkatkan produktivitas; (ii) perluasan lahan sawah; (iii)

26
mengurangi dampak iklim-terkait resiko; (iv) memperkuat kelembagaan bagi petani.
Strategi untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut:
(i) Peningkatan produktivitas
a. Perbaikan penggunaan varietas tanaman
b. Penyediaan sarana dan Prasarana Pertanian
c. Melaksanakan sosialisasi dalam penggunaan pestisida dalam perawatan
tanaman pangan dan pertanian
d. Melakukan optimalisasi dalam penggunaan bahan organik.
e. Pemberdayaan Sumber daya hasil pertanian

(ii) Perluasan lahan sawah


a. Oprimalisasi pengendalian alih fungsi lahan pertanian
b. Optimalisasi penggunaan lahan
c. Pengembangan dan rehabilitasi Jaringan Irigasi
d. Pembangunan sumur pompa dan dam/embung

(iii) Pengurangan dampak iklim terkait resiko


a. Pengendalian Organisme Penganggu Tanaman (OPT)
b. Mengurangi kehilangan hasil (susut) pada saat panen dan pengolahan hasil
panen

(iv) Penguatan kelembagaan bagi petani


a. Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok Wanita Tani (KWT) yang
melaksanakan program Pekarangan Pangan Lestari (P2L)
b. Menciptakan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) pada
kelompok tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)

27
BAB 3
AKSES TERHADAP PANGAN

Keterjangkauan pangan atau akses terhadap pangan adalah kemampuan


rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi
sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Pangan
mungkin tersedia di suatu wilayah tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga
tertentu karena terbatasnya: (1) Akses ekonomi: kemampuan keuangan untuk
membeli pangan yang cukup dan bergizi; (2) Akses fisik: keberadaan infrastruktur
untuk mencapai sumber pangan; dan/atau (3) Akses sosial: modal sosial yang
dapat digunakan untuk mendapatkan dukungan informal dalam mengakses
pangan, seperti barter, pinjaman atau program jaring pengaman sosial. Dalam
penyusunan FSVA Kabupaten, indikator yang digunakan dalam aspek
keterjangkauan pangan hanya mewakili akses ekonomi dan fisik saja, yaitu: (1)
Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah terhadap jumlah
penduduk Pekon; dan (2) Pekon yang tidak memiliki akses penghubung memadai
melalui darat, air atau udara.

3.1 PENDUDUK DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TERENDAH

Berbagai program penanggulangan kemiskinan sudah dijalankan oleh


pemerintah termasuk pemerintah Kabupaten Pesisir Barat Rasio kemiskinan telah
berkurang dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk miskin Kabupaten
Pesisir Barat terus mengalami penurunan dari 15,91 % (24.200 jiwa) tahun 2016
menjadi 14,29 % (22.240 jiwa) tahun 2020

Tabel 3.1 Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan Kabupaten Pesisir Barat
Tahun
Keterangan
2016 2017 2018 2019 2020
Persentase penduduk 15,91 15,61 14,82 14,48 14,29
miskin
Sumber: Kabupaten Dalam Angka, BPS

28
Pada tingkat Pekon berdasarkan data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
tahun 2018, terdapat 18 Pekon yang memiliki rasio rumah tangga dengan dengan
tingkat kesejahteraan terendah diatas 0,2382 (Prioritas 1). Sebanyak 18 Pekon
(15,25%) masuk prioritas 2, dan 23 Pekon (19,49%) masuk Prioritas 3. Oleh karena
itu, program-program penanggulangan kemiskinan Kabupaten ke depan masih
harus ditingkatkan dan diprioritaskan di 59 Pekon tersebut.

Pada gambar 3.1 dan tabel 3.2 memperlihatkan kondisi sebaran sekala
prioritas pekon/desa dengan tingkat kesejahteraan terendah yang merupakan
indikator penyebab terjadinya kerentanan pangan di suatu wilayah.

Gambar 3.1. Peta indikator sebaran tingkat kesejahteraan penduduk

29
Tabel 3.2 Sebaran Pekon dengan tingkat kesejahteraan terendah berdasarkan skala
prioritas
Prioritas Range Jumlah Pekon Persentase (%)
1 ≥0,2382 18 15,25
2 0,1868 < 0,2382 18 15,25
3 0,1297 < 0,1868 23 19,49
4 0,1077 < 0,1297 25 21,19
5 0,0811 < 0,1077 18 15,25
6 < 0,0811 16 13,56

Sebaran Desa Tingkat Kesejahteraan Penduduk Terendah berdasarkan


skala prioritas

25

20

15

10

0
≥0,2382 0,1868 < 0,1297 < 0,1077 < 0,0811 < < 0,0811
0,2382 0,1868 0,1297 0,1077
1 2 3 4 5 6
Jumlah Desa 18 18 23 25 18 16
Persentase (%) 15.25 15.25 19.49 21.19 15.25 13.56

Gambar 3.2. Grafik sebaran Pekon/Desa dengan tingkat kesejahteraan penduduk terendah
berdasarkan skala prioritas.

3.2 AKSES TRANSPORTASI

Kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan kemiskinan, dimana


masyarakat yang tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis
yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk kurang memiliki kesempatan
ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai. Dengan kata lain, kelompok miskin ini
masih kurang mendapatkan akses terhadap program pembangunan pemerintah.
Investasi pada infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan,
bandara dan lain-lain), listrik, infrastruktur pertanian (irigasi), fasilitas pendidikan
dan kesehatan dapat sepenuhnya mengubah suatu wilayah sehingga menciptakan

30
landasan pertumbuhan ekonomi dan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat
yang tinggal di daerah terpencil.

Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang


rendah adalah rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani/produsen
(farm gate price) di daerah perpekonan dibandingkan dengan harga di perkotaan
untuk komoditas dengan kualitas sama (komoditas belum diubah atau diproses).
Rendahnya harga komoditas pertanian ditingkat petani merupakan akibat dari
tingginya biaya transportasi untuk pemasaran hasil pertanian dari Pekon surplus.
Biaya transportasi akan lebih tinggi pada moda kendaraan bermotor melewati jalan
setapak dan jalan kecil dengan tenaga manusia atau hewan, misalnya pada daerah
yang tidak memiliki akses jalan yang memadai. Tingginya harga komoditas
pertanian di tingkat petani akan meningkatkan pendapatan yang diterima oleh
masyarakat petani. Walaupaun demikian, peningkatan pendapatan saja tanpa
dibarengi dengan perbaikan akses terhadap pelayanan jasa dan infrastruktur belum
cukup untuk menjamin kesejahteraan masyarakat petani.

Keterbelakangan infrastruktur menghalangi laju perkembangan suatu wilayah.


Infrastruktur yang lebih baik akan menarik investasi yang lebih besar pada berbagai
sektor, yang pada akhirnya dapat menjadi daya dorong bagi penghidupan yang
berkelanjutan.

Berdasarkan data PODES (Potensi Desa) 2020, BPS, di Kabupaten Pesisir Barat,
hampir semua pekon memiliki akses penghubung bagi kendaraan roda 4 sepanjang
tahun. Pekon yang bisa dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun kecuali saat
tertentu (ketika turun hujan, longsor, pasang, dll) terdapat di Kecamatan Pulau
Pisang (Pekon Sukamarga, Pekon Pekon Lok, Pekon Bandar Dalam, Pasar Pulau
Pisang, Sukadana dan Labuhan) dan Kecamatan Bangkunat (Pekon Siring Gading
dan Pekon Way Tias). Sementara Pekon yang bisa dilalui kendaraan roda 4
sepanjang tahun kecuali sepanjang musim hujan terdapat di 2 Pekon yaitu di
Kecamatan Bangkunat (Pekon Way Haru dan Bandar Dalam)

31
Jalan merupakan moda transportasi utama di Kabupaten Pesisir Barat akan
tetapi terdapat beberapa kecamatan di mana moda transportasi air masih menjadi
bagian penting dari moda transportasinya. Kondisi geografis hanya memungkinkan
mengunakan moda transportasi air. Masyarakat menggunakan perahu motor
sebagai moda transportasinya, contohnya di wilayah Kabupaten Pulau Pisang. Data
yang akurat untuk moda transportasi air tidak tersedia, jenis transportasi ini tidak
dimasukkan sebagai salah satu indikator akses infrastruktur.

3.3 Strategi Peningkatan Akses Pangan

Strategi Pengurangan Kemiskinan dan Peningkatan Akses terhadap Pangan

Strategi Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Barat untuk menanggulangi


kemiskinan seperti yang termuat dalam RPJMD Kabupaten Pesisir Barat tahun 2021-
2026 diantaranya:

• Mempercepat pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat miskin


• Mendorong peningkatan dan perluasan program perlindungan social.
• Mendorong tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat agrobisnis dan agroindustri
• Peningkatan ketersediaan sarana dan utilitas pendukung perdagangan untuk
terjaminnya distribusi dan ketersediaan pangan pokok dan penting
• Mendorong terbentuknya desa sebagai pusat agroindustry
• Mendorong pemerataan pembangunan infrastruktur yang handal,
mengkoneksikan seluruh pelosok daerah, terintegrasi dengan upaya
pembangunan bidang lainnya sesuai dengan RTRW
• Mendorong tersusunnya moda transportasi yang baik antar desa/pekon.

32
BAB 4
PEMANFAATAN PANGAN

Aspek ketiga dari konsep ketahanan pangan adalah pemanfaatan pangan.


Pemanfaatan pangan meliputi: (1) Pemanfaatan pangan yang bisa di akses oleh
rumah tangga; dan (2) Kemampuan individu untuk menyerap zat gizi secara efisien
oleh tubuh. Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan, dan
penyajian makanan termasuk penggunaan air selama proses pengolahannya serta
kondisi budaya atau kebiasaan dalam pemberian makanan terutama kepada
individu yang memerlukan jenis pangan khusus sesuai dengan kebutuhan masing-
masing individu (seperti saat masa pertumbuhan, kehamilan, menyusui, dll) atau
status kesehatan masing-masing individu. Dalam penyusunan FSVA Kabupaten,
aspek pemanfaatan pangan meliputi indikator sebagai berikut: (1) Rasio jumlah
rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga; dan (2) Rasio
jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk.

4.1 AKSES TERHADAP AKSES AIR BERSIH

Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah
tangga merupakan perbandingan antara jumlah rumah tangga Desil 1-4 dengan
sumber air bersih tidak terlindung dengan jumlah rumah tangga di desa. Air bersih
adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi
syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak4. Sumber air bersih yang
tidak terlindungi berpotensi meningkatkan angka kesakitan serta menurunkan
kemampuan dalam menyerap makanan yang pada akhirnya akan mempengaruhi
status gizi individu.

Kondisi Rasio rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah
tangga dari hasil pemetaan dapat dilihat pada gambar 4.1 di bawah ini.

4
Permenkes 416 Tahun 1990
33
Gambar 4.1. Peta rasio rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga

Kondisi sebaran desa berdasarkan rumah tangga tanpa akses air bersih
berdasarkan skala prioritas dari hasil peta diatas secara rinci terdapat pada table 4.1
dibawah ini.

Tabel 4.1 Sebaran desa berdasarkan rumah tangga tanpa akses air bersih
berdasarkan skala prioritas

Prioritas Range Jumlah Desa Persentase


1 ≥0,4948 18 15,25
2 0,3774 < 0,4948 18 15,25
3 0,2395 < 0,3774 23 19,49
4 0,0928 < 0,2395 25 21,19
5 0,0370 < 0,0928 18 15,25
6 < 0,0370 16 13,56

34
Sebaran desa berdasarkan rumah tangga tanpa akses air bersih
berdasarkan skala prioritas

25

20

15

10

0
≥0,4948 0,3774 < 0,2395 < 0,0928 < 0,0370 < < 0,0370
0,4948 0,3774 0,2395 0,0928
1 2 3 4 5 6
Jumlah Desa 18 18 23 25 18 16
Persentase 15.25 15.25 19.49 21.19 15.25 13.56

Gambar 4.2. Sebaran Desa dengan Rumah Tangga tanpa akses air Bersih berdasarkan skala prioritas

4.2 RASIO TENAGA KESEHATAN


Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan
penduduk adalah jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan yang terdiri dari: (1)
Dokter umum/spesialis; (2) Dokter gigi; (3) Bidan; dan (4) Tenaga kesehatan lainnya
(perawat, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, apoteker/asisten apoteker)
dibandingkan dengan kepadatan penduduk. Tenaga kesehatan berperan penting
dalam menurunkan angka kesakitan penduduk (morbiditas) dan meningkatkan
pengetahuan masyarakat akan pentingnya makanan yang beragam bergizi
seimbang dan aman.

Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan


penduduk menunjukkan kemampuan jumlah tenaga kesehatan yang ada di wilayah
desa untuk melayani masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan yang memadai akan
meningkatkan status pemanfaatan pangan masyarakat. Kondisi rasio tenaga
kesehatan terhadap kepadatan penduduk bisa terlihat pada gambar 4.3 dibawah ini

35
Gambar 4.1. Rasio tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk.

Kondisi skala Prioritas rasio tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk


disuatu desa berdsarkan gambaran peta diatas dapat terlihat sebaran desa secara
rinci seperti pada tabel 4.2 dibawah ini.

Tabel 3.2 Sebaran rasio tenaga kesehatan di desa berdasarkan skala prioritas
Prioritas Range Jumlah Desa Persentase
1 ≥ 8,9898 18 15,25
2 4,7825 < 8,9898 18 15,25
3 2,1743 < 4,7825 23 19,49
4 1,1724 < 2,1743 25 21,19
5 0,3133 < 1,1724 18 15,25
6 < 0,3133 16 13,56

36
Sebaran Rasio Tenaga Kesehatan terhadap kepadatan penduduk
berdasarkan skala prioritas

25

20
Jumlah Pekon

15

10

0
≥ 8,9898 4,7825 < 2,1743 < 1,1724 < 0,3133 < < 0,3133
8,9898 4,7825 2,1743 1,1724
1 2 3 4 5 6
Jumlah Desa 18 18 23 25 18 16
Persentase 15.25 15.25 19.49 21.19 15.25 13.56

4.3 DAMPAK (OUTCOME) DARI STATUS KESEHATAN


Ketahanan pangan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi status
kesehatan dan gizi masyarakat. Status gizi anak ditentukan oleh asupan makanan
dan penyakit yang dideritanya. Status gizi anak balita diukur dengan 3 indikator
yaitu:

1. Berat Badan Kurang dan Berat Badan Sangat Kurang yang biasa dikenal dengan
underweight (berat badan berdasarkan umur (BB/U) dengan Zscore dari-2 dari
median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada gabungan dari
kurang gizi akut dan kronis);
2. Pendek atau stunting (tinggi badan berdasarkan umur (TB/U) dengan Zscore
kurang dari-2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu ke
kurang gizi kronis jangka panjang); dan
3. Kurus atau wasting (berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) dengan
Zscore kurang dari-2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu
kepada kurang gizi akut atau baru saja mengalami kekurangan gizi).

Jumlah penderita gizi buruk di Kabupaten Pesisir Barat pada tahun 2016 - 2020
sebanyak 3 balita. Jumlah penderita gizi buruk yang ditemukan di Kecamatan
37
Bangkunat ( 1 balita), Kecamatan Ngambur (1 balita), dan di Kecamatan Karya
Penggawa (1 balita).

Tabel 4.2 Penderita Gizi Buruk 2016 - 2020


Penderita Gizi Buruk
No. Kecamatan
2016 2017 2018 2019 2020
1 Lemong 0 0 0 0 0
2 Pesisir Utara 0 0 0 0 0
3 Pulau Pisang 0 0 0 0 0
4 Karya Penggawa 0 0 0 0 1
5 Way Krui 0 0 0 0 0
6 Pesisir Tengah 0 0 0 0 0
7 Krui Selatan 0 0 0 0 0
8 Pesisir Selatan 0 0 0 0 0
9 Ngambur 0 0 0 1 0
10 Ngaras 0 0 0 0 0
11 Bangkunat 0 0 1 0 0
Total 0 0 1 1 1

Grafik Kasus Gizi Buruk Tahun 2016 - 2020


1
Jumlah Penduduk Gizi Buruk

0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Lemo Pesisir Pulau Karya Way Pesisir Krui Pesisir Ngam Ngara Bangk
ng Utara Pisang Pengg Krui Tenga Selata Selata bur s unat
awa h n n
2016 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2017 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2018 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
2019 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
2020 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

Gambar 4.2 Grafik data series penderita gizi buruk kabupaten Pesisir Barat 2016 - 2020

Angka kematian balita dan ibu saat melahirkan merupakan dampak dari
status kesehatan dan gizi. Angka kematian balita di Kabupaten Pesisir Barat pada
tahun 2021 adalah 1 jiwa. Sementara angka kematian ibu saat melahirkan di
Kabupaten Pesisir Barat sebanyak 6 jiwa. Angka kematian balita terdapat di
38
Kecamatan Lemong sebanyak 1 jiwa sedangkan angka kematian ibu saat melahirkan
pada tahun 2021 terdapat di Kecamatan Pesisir Tengah 2 jiwa, Kecamatan Pesisir
Selatan sebanyak 2 Jiwa, kecamatan Karya Penggawa sebanyak 1 Jiwa dan
kecamatan Bangkunat sebanyak 1 Jiwa, untuk lebih lengkap dapat dilihat pada
Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Jumlah Kematian Balita dan Ibu Saat Melahirkan per Kecamatan
Jumlah Jumlah Kematian
No. Kecamatan Kematian Ibu Saat Total
Balita Melahirkan
1 Lemong 1 0 1
2 Pesisir Utara 0 0 0
3 Pulau Pisang 0 0 0
4 Karya Penggawa 0 1 1
5 Way Krui 0 0 0
6 Pesisir Tengah 0 2 2
7 Krui Selatan 0 0 0
8 Pesisir Selatan 0 2 2
9 Ngambur 0 0 0
10 Ngaras 0 0 0
11 Bangkunat 0 1 1
Total 1 6 7

2
1.8
1.6
1.4
Jumlah Kematian

1.2
1
0.8 Balita
0.6 Ibu Saat Melahirkan
0.4
0.2
0

Gambar 4.3 Grafik Jumlah Kematian Balita dan Ibu Saat Melahirkan per Kecamatan

39
4.4. STRATEGI PENINGKATAN PEMANFAATAN PANGAN
Strategi Untuk Memperbaiki Status Gizi dan Kesehatan Kelompok Rentan
Masalah gizi kronis (stunting) masih tetap ada di Kabupaten Pesisir Barat
yang merupakan masalah gizi kronis akibat kurang optimalnya pertumbuhan janin
dan bayi di usia dua tahun pertama kehidupannya, terutama gabungan dari
kurangnya asupan gizi, paparan terhadap penyakit yang tinggi serta pola
pengasuhan yang kurang tepat. Semua faktor ini dapat menyebabkan kerusakan
yang tidak dapat diperbaiki, yang akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya
beban penyakit dan kematian pada balita.

Kurang gizi pada usia dini, terutama stunting dapat menghambat


perkembangan fisik dan mental yang akhirnya mempengaruhi prestasi dan tingkat
kehadiran di sekolah. Anak yang kurang gizi lebih cenderung untuk masuk sekolah
lebih lambat dan lebih cepat putus sekolah. Dampak ke masa depannya adalah
mempengaruhi potensi kemampuan mencari nafkah, sehingga sulit keluar dari
lingkaran kemiskinan. Anak yang menderita kurang berat badan menurut umur
(kurang gizi) dan secara cepat berat badannya meningkat, maka pada saat dewasa
cenderung untuk menderita penyakit kronik yang terkait gizi (kencing manis,
tekanan darah tinggi dan penyakit jantung koroner). Dampak jangka panjang, oleh
kurang gizi pada masa anak-anak juga menyebabkan rendahnya tinggi badan dan
pada ibu-ibu dapat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yang
akhirnya menyebabkan terulangnya lingkaran masalah ini pada generasi
selanjutnya.

Untuk menurunkan prevalensi stunting, maka intervensi gizi harus segera


direncanakan dan dilakukan secara efektif pada semua tingkatan, mulai dari rumah
tangga sampai tingkat nasional. Untuk mencegah dan mengatasi masalah
kekurangan gizi secara efektif, perlu prioritas untuk kelompok rentan gizi,
memahami penyebab kurang gizi yang bersifat multidimensi, intervensi yang tepat
dan efektif untuk mengatasi penyebabnya, dan meningkatkan komitmen serta
investasi dalam bidang gizi. Berikut ini adalah rekomendasi untuk mengatasi
masalah gizi:
40
1. Fokus pada kelompok rentan gizi, termasuk:
a. Anak usia di bawah dua tahun. Usia dua tahun pertama di dalam kehidupan
adalah usia yang paling kritis sehingga disebut “jendela peluang (window of
opportunity)” karena mencegah kurang gizi pada usia ini akan sangat berarti
untuk kelompok ini pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Meskipun kerusakan sudah terjadi dan seharusnya dihindari sejak dari usia 9
bulan sampai usia 24 bulan, kerentanan anak terhadap penyakit dan resiko
kematian masih tinggi di usia lima tahun pertama. Itulah sebabnya banyak
intervensi kesehatan dan gizi yang difokuskan pad anak di bawah lima
tahun. Intervensi kesehatan dan gizi harus difokuskan pada anak di bawah
dua tahun, akan tetapi apabila anggaran memadai maka perlu dilakukan juga
untuk anak di bawah lima tahun.
b. Anak-anak kurang gizi ringan. Kelompok ini memiliki resiko lebih tinggi
untuk meninggal karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Anak
yang terdeteksi kurang gizi seharusnya dirawat dengan tepat untuk
mencegah mereka menjadi gizi buruk.
c. Ibu hamil dan menyusui, karena kelompok ini memerlukan kecukupan gizi
bagi pertumbuhan dan perkembangan janin, dan untuk menghasilkan ASI
(Air Susu Ibu) untuk bayi mereka.
d. Kurang gizi mikro untuk semua kelompok umur, terutama pada anak-anak,
ibu hamil dan menyusui. Kekurangan gizi mikro pada semua kelompok
umur cukup tinggi disebabkan karena asupan karbohidrat yang tinggi,
rendahnya asupan protein (hewani), sayur dan buah serta makanan yang
berfortifikasi. Pada kondisi ini biasanya prevalensi stunting pada balita juga
cukup tinggi.
2. Perencanaan dan penerapan intervensi multi-sektoral untuk mengatasi TIGA
penyebab dasar kekurangan gizi (pangan, kesehatan dan pengasuhan).
Satu sektor saja (sektor kesehatan atau pendidikan atau pertanian) tidak dapat
mengatasi masalah gizi secara efektif karena masalah tersebut bersifat
multisektor.

41
a. Intervensi langsung dengan manfaat langsung terhadap gizi (terutama
melalui Sektor Kesehatan):
▪ Memperbaiki gizi dan pelayanan ibu hamil, terutama selama 2 trimester
pertama usia kehamilan: makan lebih sering, beraneka ragam, dan bergizi;
minum pil besi atau menggunakan suplemen gizi mikro tabor (sprinkle)
setiap hari; memeriksakan kehamilan sekurangnya 4 kali selama periode
kehamilan.
▪ Promosi menyusui ASI selama 0-24 bulan: inisial menyusui dini segera
sesudah bayi lahir; menyusui ASI ekslusif sampai 6 bulan pertama,
melanjutkan pemberian ASI sampai 24 bulan; melanjutkan menyusui
walaupun anak sakit.
▪ Meningkatkan pola pemberian makanan tambahan untuk anak usia 6-24
bulan; mulai pemberian makanan tambahan sejak anak berusia 7 bulan;
pemberian makanan lebih sering, jumlah sedikit, beraneka ragam dan
bergizi (pangan hewani, telur, kacang-kacangan, polong-polongan, kacang
tanah, sayur, buah dan minyak); hindari pemberian jajan yang tidak sehat.
▪ Pemantauan berat dan tinggi badan bayi 0-24 bulan atau jika sumber daya
memungkinkan, untuk anak 0-59 bulan secara teratur, untuk mendeteksi
kurang gizi secara dini sehingga bisa dilakukan intervensi sedini mungkin.
Meningkatkan komunikasi mengenai berat badan anak, cara mencegah dan
memperbaiki kegagalan berat dan tinggi anak dengan keluarga.
▪ Mengatasi masalah kurang gizi akut pada balita dengan menyediakan
fasilitas- fasilitas dan manajemen berbasis masyarakat berdasarkan
pedoman dari WHO/UNICEF dan Kementerian Kesehatan.
▪ Memperbaiki asupan gizi mikro: promosi garam beryodium;
penganekaragaman asupan makanan; fortifikasi makanan; pemberian bil
besi untuk ibu hamil; pemberian vitamin A setiap 6 bulan sekali untuk
anak 6-24 bulan (atau anak 6-59 bulan jika alokasi anggaran mencukupi),
serta ibu menyusui dalam jangka waktu 1 bulan setelah melahirkan atau
masa nifas; pemberian obat cacing.

42
b. Intervensi tidak langsung dengan manfaat tidak langsung terhadap gizi
(terutama melalui sektor di luar kesehatan)
3. Prioritas dan peningkatan investasi serta komitmen dalam hal gizi untuk
mengatasi masalah gizi.
Dampak ekonomi akibat kekurangan gizi pada anak-anak adalah sangat tinggi.
Kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan hilangnya produktivitas pada
masa dewasa, dan tingginya biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ada
beberapa macam bentuk dari malnutrisi pada masa anak-anak yang dapat
menyebabkan hilangnya produktivitas mereka pada masa dewasa yang
berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif. Kekurangan energi-protein
berkontribusi sebesar 10% dari hilangnya produktivitas pada masa dewasa,
kekurangan zat besi (anemia) berkontribusi sebesar 4% dan kekurangan zat
yodium sebesar 10%. Malnutrisi pada masa anak-anak juga berpotensi
menyebabkan hilangnya produktivitas tenaga kerja kasar.
Investasi dibidang gizi merupakan salah satu jenis intervensi pembangunan
yang paling efektif dari segi biaya, karena memiliki rasio manfaat-biaya yang tinggi,
bukan hanya untuk individu, tetapi juga pembangunan negara yang berkelanjutan,
sebab intervensi ini dapat melindungi kesehatan, mencegah kecacatan dan dapat
memacu produktivitas ekonomi dan menjaga kelangsungan hidup.

43
BAB 5
KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN KOMPOSIT

Pembahasan mengenai kondisi ketahanan dan kerentanan pangan di suatu


wilayah pemerintahan sebagaimana disebutkan di dalam Bab 1 dimana kondisi
kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis secara komposit ditentukan
berdasarkan 6 indikator yang berhubungan dengan ketersediaan pangan, akses
pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan pangan dan gizi, yang dijelaskan
secara rinci pada Bab 2, 3 dan 4. Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan
komposit (Peta 6.1) ditetapkan melalui Analisis Pembobotan.

5.1. KONDISI KETAHANAN PANGAN

Peta komposit menjelaskan kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan


suatu wilayah (kecamatan) yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi
kerawanan pangan. Berdasarkan hasil pembobotan, Pekon-Pekon dikelompokkan ke
dalam 6 prioritas. Prioritas 1 merupakan prioritas utama yang menggambarkan
tingkat kerentanan yang paling tinggi, sedangkan prioritas 6 merupakan prioritas
yang relatif lebih tahan pangan. Dengan kata lain, wilayah (Pekon) prioritas 1
memiliki tingkat resiko kerentanan terhadap kerawanan pangan yang lebih besar
dibandingkan wilayah (Pekon) lainnya sehingga memerlukan perhatian segera.
Meskipun demikian, wilayah (Pekon) yang berada pada prioritas 1 tidak berarti
semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan, juga sebaliknya wilayah
(Pekon) pada prioritas 6 tidak berarti semua penduduknya tahan pangan.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, dari 2 Kelurahan dan 116 Pekon yang ada
diwilayah Kabupaten Pesisir Barat maka didapatkan 4 Pekon (Prioritas 1), 4 Pekon
(Prioritas 2), 22 Pekon (Prioritas 3), 45 Pekon (Prioritas 4), 30 Pekon (Prioritas 5) dan
13 Pekon (Prioritas 6).

Gambaran lengkap dari hasil analisis kondisi ketahanan pangan diwilayah


Kabupaten Pesisir Barat, dari secara komposit dari beberapa indikator yang telah
dibahas sebelumnya dapat di lihat pada gambar berikut :
44
Gambar 6.1. Kondisi Ketahanan Pangan Kabupaten Pesisir Barat secara komposit

Tabel 6.1. Sebaran Jumlah Pekon berdasarkan Prioritas

Prioritas Jumlah Pekon Persentase (%)

1 4 3,39

2 4 3,39

3 22 18,64

4 45 38,14

5 30 25,42

6 13 11,02

TOTAL 118 100

45
Pekon rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 1 hanya terdapat di
wilayah Kecamatan Bangkunat (4 Pekon), sebagaimana terlihat pada Gambar 5.2
berikut.

BANGKUNAT, 4

Gambar 6.2 Sebaran Jumlah Pekon Priroitas 1 Per Kecamatan

Pekon rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 2 terdapat di wilayah


Kecamatan Bangkunat (3 Pekon) dan Kecamatan Pesisir Utara (1 Pekon)
sebagaimana terlihat pada Gambar 5.3.

PESISIR UTARA,
1

BANGKUNAT, 3

Gambar 6.3 Sebaran Jumlah Pekon Priroitas 2 per Kecamatan

46
Pekon rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 3 terdapat di wilayah
Kecamatan Pesisir Utara (3 Pekon), Kecamatan Lemong (3 Pekon), Kecamatan Pulau
Pisang (6 Pekon), Kecamatan Karya Penggawa (1 Pekon), Kecamatan Krui Selatan
(1 Pekon), Kecamatan Pesisir Selatan (1 Pekon), Kecamatan Ngambur ( 1 Pekon),
Kecamatan Ngaras (1 Pekon) dan Kecamatan Bangkunat (5 Pekon) sebagaimana
terlihat pada Gambar 5.4 berikut.

LEMONG, 3
BANGKUNAT, 5

PESISIR UTARA, 3
NGARAS, 1

NGAMBUR, 1

PULAU PISANG, 6

PESISIR
SELATAN, 1

KRUI SELATAN, 1
KARYA
PENGGAWA, 1

Gambar 6.4 Sebaran Jumlah Pekon Prioritas 3 Per Kecamatan

5.2. FAKTOR PENYEBAB KERENTANAN PANGAN


Desa/Pekon rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 1 secara umum
disebabkan oleh: (1) kondisi luas lahan pertanian terhadap kepadatan penduduk (2)
kurangnya sarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga di Pekon
tersebut, (3) Permasalahan dalam tingkat kesejahteraan penduduk, (4) Kondisi jalan
penghubung antar pekon yang memadai dan (5) Akses masyarakat di desa tersebut
terhadap kebutuhan air bersih

Desa/Pekon rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 2 secara umum


disebabkan oleh: (1), kondisi luas lahan pertanian terhadap kepadatan penduduk
(2) kurangnya sarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga di Pekon

47
tersebut, (3) Akses masyarakat di desa tersebut terhadap kebutuhan air bersih dan
(4) Kebutuhan tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk di Pekon tersebut

Desa/Pekon rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 3 secara umum


disebabkan oleh: 1), kondisi luas lahan pertanian terhadap kepadatan penduduk (2)
kurangnya sarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga di Pekon
tersebut.

48
BAB 6
REKOMENDASI KEBIJAKAN

Penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan pada suatu wilayah


berbeda dengan wilayah lainnya, dengan demikian cara penyelesaiannya juga
berbeda. Peta ini membantu memahami keadaan diantara wilayah (desa), dan
dengan demikian akan membantu para pengambil kebijakan untuk dapat
menentukan langkah-langkah yang tepat dalam menangani isu-isu ketahanan
pangan yang relevan di wilayahnya.

Fokus lokasi penanganan kerentanan pangan di wilayah desa diprioritaskan pada:

- Desa-desa prioritas 1-2 yang tersebar di Kecamatan Bangkunat dan Kecamatan


Pesisir Utara menjadi fokus utama dalam penanganan kerawanan pangan

- Untuk desa-desa dalam prioritas 3 yang tersebar di Kecamatan Lemong,


Kecamatan Pesisir Utara, Kecamatan Pulau Pisang, Kecamatan Karya Penggawa,
Kecamatan Krui Selatan, Kecamatan Pesisir Selatan, Kecamatan Ngambur,
Kecamatan Ngaras dan Kecamatan Bangkunat tidak boleh dikesampingkan
dalam rangka penanganan kerentanan pangan

- Desa-desa yang lokasinya jauh dari ibu kota kabupaten atau di wilayah yang
berbatasan dengan kabupaten lain

- Desa-desa di Kepulauan yang menghadapi kendala akses fisik terhadap sumber


pangan.

- Desa-desa yang masih terkendala terhadap akses melalui jalur darat yang bisa
dilalui roda 4 sepanjang tahun.

Upaya-upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan ditekankan pada


penyebab utama kerentanan pangan di desa seperti digambarkan pada diagram di
bawah ini.

49
Gambar 6.1 Kerangka Intervensi untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan

Masalah Ketersediaan Membuka lahan pertanian baru


Pangan Meningkatkan Kapasitas Produksi Pembangunan Pertanian dan
Luas lahan pertanian (sawah) Mengembangkan potensi lahan Pedesaan
yang mengalami penurunan pertanian non sawah
Keterbatasan sarana penyediaan Penyediaan sarana dan prasarana
pangan
Masalah Akses Pangan Penyediaan Lapangan Kerja

Daya beli terbatas karena Mempermudah akses pangan


Peningkatan Akses Pangan
kemiskinan Jaring pengaman sosial rumah
tangga miskin

Masalah Infrastruktur
Pembangunan Infrastruktur Dasar Perbaikan infrastrukur
Terbatasnya akses terhadap air
(air bersih)
bersih

Masalah Kesehatan dan Gizi


Penyediaan Tenaga Kesehatan
Peningkatan fasilitas dan tenaga
Distribusi tenaga kesehatan yang
kesehatan
tidak merata

Program-program peningkatan ketahanan pangan dan penanganan


kerentanan pangan wilayah kabupaten diarahkan pada kegiatan:

a. Peningkatan penyediaan pangan di daerah non sentra produksi dengan


mengoptimalkan sumberdaya pangan lokal.

b. Dalam hal penyediaaan pangan lokal , guna mendukung peningkatan produksi


dapat dilaksanakan dengan pengembangan, pembangunan dan rehabilitasi serta
pemeliharaan prasarana pertanian dan peningkatan kelembagaan pertanian.

c. Memberikan arahan kepada para Kepala Desa (Peratin) untuk penggunaan


anggaran desa agar lebih difokuskan dalam pembangunan pendukung
ketahanan pangan di wilayah desanya.

d. Untuk penanganan jalur tansportasi antar pekon dapat dilaksanakan melalui


peningkatan layanan angkutan perhubungan laut dan darat terutama pada
pusat-pusat kegiatan dan produksi.

50
e. Penanganan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja, padat karya,
redistribusi lahan; pembangunan infrastruktur dasar (jalan, air bersih), dan
pemberian bantuan sosial; serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat
karya untuk menggerakan ekonomi wilayah.

f. Peningkatan akses air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih;
sosialisasi dan penyuluhan.

g. Penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU) untuk memenuhi


kebutuhan perumahan dan permukiman, serta kebutuhan sektor terkait lainnya
seperti industry, perdagangan, transportasi, pariwisata dan jasa lainnya sebagai
upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial.

h. Peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada seluruh tingkat baik
secara individu, keluarga maupun masyarakat.

51
SAMBI,]TAN BUPATI PESISIR BARAT
PROVINSILAMPUNG

DAT.,AM ITANGKA PENERBITAN

PETA KiTAHANAN DAN KERFN'IANAN PANGAN/


FOOD SECURITTAND YIILNERAiJIIlTY ATLAS (FSVA)
KABUPATEN PESISIIi BARAT TAHUN 2021

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Marilah kita panjatkan puji dan svukur ke hadirat Allah Subhanahu


Wata'ala aias Rahmat dan Karunia-N,va schingga kita menrlapat kenikmatan
dan berada tialam keadaan sehat wal AJiat.

Sebagaimetna dimaklumi bersarna bahwa ketahanan pangan mcrupakan


suatu kondisi terpenuhinya Fangan bagi ricgara sampai clengan
perseorangan vanB tercennin clad tetsedianva pangan vang cukup baik
jumlah maupun mutunya, ama , beragam, bcrgizi, rnerata dan teiangkau
serta tidak I dengan agama, ke1'akinan dan butlava masyarakat untuk l-ritlup
sehat, aktif dan produltif secara berkelanjutan.

Olch karena itu, kctahanan pangan akan mudah terwujud, apabila


antara pemcrintah pusat, provilsi Llan kabupaten serta masvarakat bersama-
sama berkomitmen, konsistcn dan bersinergi untuk mewuiudkan ketahanan
PanSan.

Kemampuan untuk menghasilkarl pangan dan tefl,l'ujudnya ketal-Enan


pangan, bukan konrlisi vang bersifat statis, meiainkan bersifat din.rmis.
Artinya, bahwa keberhasjlan ptncapaian produksi pan€ian, belum
scpenuhr-rva mcnjamin tercapain,v.r kciahanan pangan. Hal ini mengingat
pangan tersebut, bclum tentu sepenuhnva dapat diakses dan clijangkau oleh
seluruh kelompok rnasyarakat.
Pada era globalisasi yang serba terbuka sepefti sekarang ini, pengaruh
petkembangan g)obd sargal bcrpotensi )renerh)kan status ketahara,
pangan baik di tingk.rt internasional, nasional, regional bahkan sampai
dengan ketahanan pangan tingkat perceorangan. Beberapa pengaruh global
yang perlu mendapat perhatian vang merupakan tantangan dan hambatan
riala[r upaya mewujudkan ketahanal-Iat-r pangan kedepan, diantaranya
adalah :

1. Adanya pcngaruh pcrubahan iklim global, diantaranya


mcngakibatkan munculnya berbagai bencana alam seperti
kekerir-rgan, kebakaran sehingga mengancam terhadap keberhasilan
peningkatan produksi bahan parlgan.
2. Terjadinya kciangkaan clan kompctisi pemanfaatan sumberdaya
alam, diantaranva mengakibatkan teladinya alih fungsi lahan
pertanian ke non pertaniary sehingga lahan- lahan produktil untuk
melakukan usaha tani/ komoditas pangan semakin berkurang.
3. Pengaruh globalisasi perdagangan internasional, cliantaranya akan
berpengaruh terjadinva gejolak pasar dunia akan secara cepat
tnengakilratkan terjadin\,'a gejoiak harga di pasar
nasional/ domestik, vang tentunva dampaknya akan dirasakan oleh
masyarakat.

Bcrbagai tantangan dalan-r pembangunan ketahanan pangan tcrscbut,


juga terus dihantui dengan penambahan jumlah penduciuk delrgan angka
cukup tinggi, baik di Kabupaten Pesisir Barat maupun secara nasional, v;rng
tentunva mcmcrlukan pemcnuhan bahan pangan vang cukup, bcrkualitas
dengan harga yang terjangkau tlaya beli masyarakat.

Beberapa bentuk implcmentasi program daiam rangka tantangan


pcmbangunan ketahanan pangian, termasuk diantaranya antisipasi untuk
pcnanganan teiadinva kerau'arlarl pangar bansien akibat terjaclinva
bencana n-uupun kronis akibat shuktur masyarakat I'ang miskin dan kondisi
iihastruktur desa ),ang buruk.
Unclang-undang No. 18 Tal-run 2012 tentang Pangan Pasal 114 dan
Peraturan Pernerintah No. 17 tal-run 2015 tentaig Ketahanan Pangan dar1 Gizi
Pasal 75 mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenanganr-rva berkeu,ajiban memban[jun, lnenvusun, dan mengembangkan
Sistem InJormasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi, _vang dapat digunakan
untuk pcrcncanaan, pcmantauan,:1an or,aluasi, stabilisasi pasokan dan harga
pangan serta sebagai sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan
kelau,anan pangan dan gizi.

Informasi tentang ketahanan dan kercntanan pan€jan penting


untuk memberika. informasi kepacla pata pcngambil keputusan dalam
pembuatan progratn dan kebijakan, baik di tingkat pusat maupun tingkat lokal,
untuk lebih memprioritaskan intervensi dan program berdasarkan kebutuhan
dan potensi darnpak kerawanan pangan yang tinggi. Informasi teisebut dapat
dinranfaalkan sebagai salah satu instrulnen Ltotuk mengelola krisis pangao
dalam ralrgka upaya perlindungan/ penghindaran dari krisis pangan dan gizi
[..i] iJr]Al a lpn.iek. mcn"r'tAah rnar'l'un t'nnj.rng
Daiam rangka menl'ediakan informasi ketahanan panpian yang akurat
dan komprehensif, maka clisusuniah Peta Ketahanan dan Kercntanan
Pangan/Food SeL:urity and Vulnerabilihl Atlas (|SVA) sebagai salah satu
instrumcn van61 dapat digunakan untuk monitoring ketahanan pangan rlisuatu
r,r.ilayah.

Scbagai tindak laniui penyusunan FSVA Nasional dan dan FSVA


Provillsi dengan analisis sampai dengan tingkat kecamatan maka disusun pula
FSVA Kabupaten Pesisir Barat clengan melalukan analisis serta validasi data
sampai dengan tingkat Desa/Pckon. Dengan demikian, permasalahar-r par-rgan
dapat terdeteksi secara cepat bcrclasarkan cakupan r,r'ilavahnya. Untuk
nrerrgakomodir pcrkembangan situasi ketahanan pangan di wi1a1-ah r,1csa,
maka dilakukan pemutakhiran Peta FSVA Kabuparen Pesisir Barat tahun 2021.

Maka berdasarkan pertimbangan diatas, Pada hari ini sava nyatakan


PENERBITAN Peta Ketahanan dan Kercntanan Pangan/Food Sccu t), and
Vuincrability Atlas (ISVA) Kabupaten Pesisir Barat tahurl 2tJ21 sebagai iarana
inJormasi bagi para pengambil keputusan untuk secara cepat dalam
mengidentilikasi daelah vang lcbih rentan, sehingga program clari belbagai
sektor, sepcrti pelayar-un jasa, pembangunan manusia dan infrastruktur vang
berkaitan dengan ketahanan pangiln, ciapai memberikan dampak yang lebih
baik terhadap penghidupan scrta ketahanan pangan dan gizi nusr/arakat cli
tingkat desa.

Saya pesanlan keparla sciuruh Perangkat Dacrah Pemerintah


Kabupaien Pesisir Barat untuk dap.rt memanfaatkan Peta ini clalan,
perencanaan pemantapan ket;rhanan pangan vang sekaligus menurunkan
serta mengurangi lokasi vang rentan akan kerart,anan pangan.
Demikian beberapa lul r.ang perlu saya sampaikan dalam
kesempatan yang baik ini, semoga segala upaya yang kita lakukan mendapat
ridho Allah subhamahu wata'aia

Terima kasih atas perhatiannya.

Wabillahi taufll< wal hida


Wassalamu'alaikum \\,abarakatuh.

&f rt ,znb"- 2921

,}
KATA PENGANTAR

Dalarr1 pengelolaan program ketahanan pangan masih dibatasi oleh kurangnva

informasi yang akurat dan tertata dengan baik. Untuk mengatasi hal tersebut, Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah menvusun
inlormasi mengcnai ketahanan dan kerawanan pangan'Iahun 2020 daiam bentuk Peta
Kerau,anan dan Ketahanan Pangan (Food Securittl and Vrlnernbilittl ALlas/FSVA) d,alar:.L
bentuk Rasio dengan berdasarkan data yang dikeluarkan dari data PODES, TNP2K,
PBDT dan BPS Pusat.

Penvusunan FSVA ini mengacu pada beberapa indikator yang terkait dengan
masalah rawan pangan sehingga diharapkan dapat memJasilitasi kebutuhan tentan€i
inlormasi lokasi keberadaaan kantung-kantung rawan pangan di tingkat kecamatan
dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Diharapkan dengan adanva Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) ini
dapat di€iunakan oleh para pcngambil kcbijakan dan praktisi pembangunan karcna
FSVA ini memberikan arah prioritas kebutuhan dan rckomendasi kegiatan secaia

konkrit- Di:ngan upaya bersarra antar para pemangku kepentingal secara bersama kiia
merancang strategi dan menjalankan strategi ketahanan pangan secara efekti{ dengan
prioritas utama terhadap masyarakat miskin dan kekrmpok )-ang paling ra\4-an pangan.
Kami berharap kerja sama yang berkelanjutan daiam mewujudkan ketahanan
pangan bagi seluruh masvarakat di Kabupaten Pcsisir Barat. Saran vang membangun
untuk kesempurnaan FSVA ini akan kami te ma dengan senang hati.

K?
oi N;i
'tlq{
Marauru i,""

\\..
uda/ IV.c
NIP. 19620311 1
DAFTAR ISI

SAMBUTAN BUPATI

KATA PENGANTAR

RINGKASAN EKSEl(UTIF

I PENOAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1-2- Kerangka (onsep Ketahanan Pangan dan Gjzi
1.3. Metodologi

2 KETERSEOIAAN PANGAN
2.1. Lahan Pertanian
2.2. Produksi PanBan
2.3.sarana dan Prasdrana Ekonomi
2.4. Strategi Pemenuhan Ketersediaan Pangan

3 AKSES PANGAN

3.1. Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga


3.2. Akses Penghubung
3.4. Stratega Peningkatan Akses Pangan

4 PEMANFAATAN PANGAN
4.1. Akses Air Bersih
4.2. Akses Tenaga Kesehatan
4.3. Strategi Pemenuhan Pangan

5 KETAHANAN DAN I(ERENTANAN PANGAN KOMPOSIT


5.1. Kondisi (etahanan Pangan
5.2. Faktor Penvebab Kerentanan Pangan

6 RE(OMENDASIKEBIJAKAN
RINGKASAN EKSEI(UTIF

1.. Ketersediaan informasi kctahanan p;rngan yang akurat, kornprehensif, dan terfata
dengan baik sangat pentinE untuk mendukung upava pcncegahan clan

penanganan kerawanan pangan tlan gizi, karena dapat memberikarn arah dan
rckomendasi kepada pcmbuat kcputusan dalan-r penyusunan program, kebija*an,
serta pelaksanaall intervensi di tingkat pusat dan daerah. Penyediaan informasi
ketahanan pangan sejalan (lengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan dan Peraturan Pcmerintah Nomot 17 Tahun 2015 tcntang
Ketahanan I'angan dan Cizi yanu mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kcr-enangannya unfuk rncmbangun, rnenyusun, dan
mengembangkan Sistcm Informasi Pangan dan Gizi vang terintcgrasi.

2. Peta Ketahanan clan Kerentanan Pangan (Fbod SecurihJ atd Vulrcrabilihl Atlas -
FSVA) n-rerupakan peta tematik vang menggambarkan visualisasi geogra{is ciari
hasil analisa data jnclikator ketentanan ierhadap kerananan pangan. lnformasi
daiam FSVA menjclaskan lokasi wiiayah rentan terhadap kerawanan pangan dan
indikator utama daerah tersebut rentan tclhadap kerawanan pangan.

3. ISVA Kabupatcn mcrupakan peta yang menggambarkan situasj ketahanan dan


kerentanan pangan wilavah dcsa. Indikator vang digunakan cialam penvusunan
ISVA merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketelsediaan,
kete4.urgkaual dan pemanfaatan pangan. Pemilihan indikator didasarkan pada:
(i) kctcrwakiian 3 pilar ketahar.nn pangan (ii) tingkat sensitifitas dalam mengukur
situasi ketahanan pangan dan gJzi; dan (iii) ketersediaan data tersedia secaia iutin
untuk periode tertentu vang rnencakup seluruh wiiar,.ah des.r. Enam in(likator
digunakan tlalam penyusunan FSVA Kabupaten.

4. Inclikator pada aspek ketersecliaan pangan adalah (1) Ilasio luas lahan pertanian
terhadap juniah penduduk; dan (2) Rasio jumlah sarana cian prasarana penvcdia
pangan terhadap jurnlah runrah tangga. lndikator pada akscs pangan adala}r (1)
Rasio penduciuk dengan tingkat kcscjahteraan terendah terhadap total jumlair
penducluk; clan (2) Desa dengan akses penghubung kutang memadai. Indikator
pada aspek pemanfaatan pangan aclalah: (1) Rasio rumah tangga tanpa akses air
bersih; dan (2) Rasio tenaga kesehatan terhadap pencluduk.

5. Desa/kelurahan/Pekon dikLasilikasikan dalam 6 kelompok ketahanan pangan


dan gizi berdasarkan pada tingkat keparahan dan penr,'ebab dari situasi
ketahanan pangan clan gizi. Desa/ kelur ahan/ Pckon di Priodtrs 1, 2 dan 3
,nerupakan wilavah rentan paDgan dengan klasilikasi Prioritas 1 tingkat rentan
panElan tinggi, Prioritas 2 rentan pangan seclan6y dan pritoritas 3 rentan pangan

rendah- Desa/keiurahan di Prioritas;1, 5, dan 5 merupakan wiiayair tahan pangan


dcngan klasifikasi prioritas .tr tirhan pangan renclah, pfioritas 5 tahan p.rngan
scdang, sedangkan pdodtas 6 yaitu tahan pangan tinggi-

6. Hasil analisis FSVA 202-t menunjcrkkan bahwa rlesa rentan paDgan Plioritas l-3
sebanyak 30 desa/Pekon dari 1lfl cicsa/pekon (25,12%) yang terciiri dari ,1

tlesa/pekon (3,399i) Prioritas 1; .1 .lesa/pekon (3,39%) Prioritas 2; dan 22

desa/pekon (1tt,o4?,i). Atlapun sebaran desa/pekon yang termasuk kedalam


pdoritas 1 - prioritas 3 dapat terlihat pada tablc di bawah ini :

Nama Pekon
No Kecamatan
Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3
Ma13ya, Pagar Dalam,
1 Lemong

Balam, Kota Karang,


2
Pesisir Utara Baturaja
Pasar Pu au Pisang,
Sukadana, Sukamarga,
3 Pulau Pisang
Pekon Lok, Bandar Dalam,
labuhan
Karya
4 Asahan Way Sindi

5
6 PesisirTeneah
7 KrulSelatan Su ka Jadi
8 Pesisir Selatan Tulung Bamban
9 NBambur Ulok Mukti
10 NEaras Mulang Maya
Sumber Rejo, Suka
Way Haru, Siring TanjLlng Kemala,
Negeri, Kota lawa,
11 B3ngkunat Gading, Way Tias, Sukamarga, Pagar
Penyandingan, Tanjung
Bandar Dalam Bukit
Reio
7. Karakteristik desa rentan pangan r.litandai tlengan laktor ketersediaan pangan di
suatu pekon vang tcrlihat tlari luas lahan pertanian tcrhadap jumlah penduduk,
sarana penl,edia pangan cli suatu pekon terhadap jumlah rumah tangga, jumlah
tenaga kesehatan yang tidak merata antu tiap desa/pekon serta dava beli
masyarak.rt terl1adap penenuhan pangan yang di tandai clengan kondisi
kcscjahteraan penduduk cli suatu clesa/pekon.

1l- Program-program peningkatan ketahanan pangan dan menangani kt:rentanan


pangan desa diarahkan pada kcgiatan:

a. Poringkatan penyediaan pangan cli daerah non sentra produksi dengan


nengoptimalkan sumberdaya pangan lokal.

b. Dalam hal penyediaaan pangan lokal , guna mendukung peningkatarl


produksi dapat clilaksanakan c{engan pcngcmbangary pembangunan dan
rehabilitasi serta pemcliharaan prasarana peltanian dan pcningkatan
kelembagaan pertadan-

c. Menrberikan arahan kepacla para Kepala Desa (Peratin) untuk penggunaan


anggaran desa agar lebih diJokuskan dalam pembangunan pendukung
ketahanan pangan di u-ilayah clesanya.

d. Untuk penanganan jalur tansportasi antar pekon dapat dilaksanakan melalui


pcningkiltan layanan angkuian perhubungan laut dan darat terutama pada
pusat-pusat kegiatan dan ploduksi.

e. Penanganan ken-fskinan melalui pcn,vcdiaan lapangan kerja, padat karya,


redistribusi lahan; pembanEsunan infrastruktur dasar (alan, air bersih), dan
pemberian bantuan sosial; serta pcmbangunan usaha
pro.iuktif/ UMKM/padat karya untuk menggerakan ckonomi wilayah.
f- Peningkatan akses air bersih melalui pcnl,ediaau fasilitas dan lavanan air
bersih; sosialisasi dan pentuluhan.

iv
g. PcD,vediaan prasarana, sarana dan utilitas unum (P!iU) untuk memenuhi
kelrutuhan perumahan dan permukimaq serta kebutuhan sektor terkait
lainnya seperti industrv, pcrdagan€lan, transportasi, pariu,isata dan iasa
iainnl,a sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan peiavanan
sosial.

h. Peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada seluruh tingkat baik
secara inciividu, keluarga rnaupun lnasvarakat.

Anda mungkin juga menyukai