Pertanian NTB
Pertanian NTB
Pertanian NTB
Tulisan dari Ni Putu Nita Yuniarti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
ADVERTISEMENT
Follow
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang memegang peran dalam pemenuhan
kebutuhan pangan tiap masyarakat. Sektor ini menjadi kunci dalam ketahanan pangan nasional.
Sektor ini juga menjadi prioritas pembangunan yang tercantum dalam Sustainable Development Goals
melalui tujuan 2 yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, memperbaiki nutrisi dan
mempromosikan pertanian yang berkelanjutan.
Selain itu, sektor pertanian juga menjadi penggerak perekonomian nasional, di mana sektor ini sebagai
salah satu penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Sektor pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan sektor unggulan yang mampu
memberikan hasil produksi padi cukup besar bagi daerah ini. Provinsi ini dikenal dengan sebutan “Bumi
Gora” atas keberhasilan sektor pertanian NTB dalam mencapai swasembada pangan pada beberapa
tahun silam.
Saat ini, Provinsi NTB ditetapkan sebagai salah satu lumbung pangan nasional yang akan menopang
kebutuhan pangan di Indonesia. Selain berperan dalam ketahanan pangan nasional, sektor pertanian
Provinsi NTB juga turut menopang perekonomian daerah di mana sektor ini menjadi penyedia tenaga
kerja terbesar di NTB.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik merilis data hasil survei angkatan kerja nasional (Sakernas) bulan Agustus 2022
bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu sebesar
34,57 persen.
Perbesar
Selain itu, share PDRB sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar selama beberapa tahun
berturut, di mana sektor ini menyumbang sebesar 21,39 persen dari PDRB NTB tahun 2022.
Keberhasilan sektor pertanian didukung oleh ketersediaan lahan sebagai sarana petani dalam
membudidayakan tanamannya. Sayangnya, saat ini banyak ditemukan fenomena alih fungsi lahan
pertanian.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan proses pengubahan lahan pertanian menjadi penggunaan selain
pertanian. Alih fungsi lahan telah umum dilakukan mengingat semakin berkembangnya sektor
perekonomian non pertanian.
ADVERTISEMENT
Fenomena alih fungsi lahan pertanian dipandang bak pisau bermata dua, di satu sisi kebutuhan
perekonomian masyarakat tidak bisa terpenuhi melalui sektor pertanian saja, tetapi ketahanan pangan
masyarakat bisa terancam akibat tergerusnya lahan pertanian.
Selain itu, ditemukan pula banyak petani yang mengalihfungsikan lahannya akibat penerimaan hasil
panen yang tidak cukup untuk memenuhi biaya kebutuhan pertanian.
Perbesar
Biaya pengelolaan lahan pertanian seperti pupuk dan obat-obatan pertanian yang semakin mahal
berdampak pada keengganan dalam bertani dan lebih memilih untuk melepas lahan miliknya.
Alih fungsi lahan yang semakin tidak terkendali akan berdampak pada penurunan produksi tanaman
pangan. Terbatasnya hasil produksi pangan mungkin saja tidak mencukupi kebutuhan pangan penduduk
negeri yang semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Terkait masalah tersebut, pemerintah telah menetapkan instrumen mengenai alih fungsi lahan pertanian
melalui Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Adanya Undang-Undang ini diharapkan mampu membawa kabar baik dalam mengurangi ancaman alih
fungsi lahan pertanian, meskipun nyatanya alih fungsi lahan pertanian masih mengancam Indonesia
hingga saat ini.
Masifnya alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman yang cukup serius bagi ketahanan pangan,
khususnya di wilayah Bumi Gora ini. Berdasarkan data BPS, luas panen provinsi NTB terus menurun
selama lima tahun terakhir.
Tahun 2022, luas panen padi provinsi NTB berkurang hampir enam ribu hektare. Sebanyak 6
kabupaten/kota di Provinsi NTB yang mengalami penurunan luas panen padi apabila dibandingkan
dengan tahun 2021. Fenomena alih fungsi lahan di Provinsi NTB erat kaitannya dengan industrialisasi dan
kegiatan pariwisata yang semakin gencar dilakukan.
Perbesar
Luas Panen Padi Provinsi NTB 2018-2022. (Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi NTB, diolah)
Ditinjau dari sisi produksi padi, produksi beras Provinsi NTB justru meningkat di tahun 2021 dan 2022.
Tahun 2022, produksi padi NTB sebesar 827.524,88 ton dan meningkat 2,35 persen dibandingkan
produksi beras di tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Hal ini berarti bahwa meskipun terjadi penurunan luas panen padi, tetapi sisi produksi beras justru
mengalami peningkatan. Peningkatan produksi beras tahun 2022 diakibatkan oleh meningkatnya
produksi pada kabupaten/kota yang berpotensi.
Perbesar
Produksi Beras Provinsi NTB 2018-2022 (Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi NTB, diolah)
Ancaman alih fungsi lahan pertanian memang sulit dihindari saat ini mengingat semakin berkembangnya
sektor ekonomi non pertanian. Oleh karena itu, diperlukan komitmen antara pemangku kepentingan dan
masyarakat dalam mengatasi permasalahan ini.
Pertama, pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi NTB perlu menguatkan peraturan daerah terkait
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam mempertahankan lahan pertanian
produktif.
Kedua, lahan pertanian yang dialihfungsikan atas kebutuhan tertentu perlu disediakan lahan
penggantinya. Untuk itu, diperlukan kerja sama antara pemilik lahan yang ingin mengalihfungsikan
lahannya dengan pihak terkait agar lahan yang dialihfungsikan tercatat dan diperoleh lahan pengganti.
ADVERTISEMENT
Selain itu, seni memanfaatkan lahan sempit di area perkotaan dengan bercocok tanam secara hidroponik
juga merupakan solusi yang cukup menjanjikan.
Ketiga, mengupayakan ketersediaan lahan pertanian melalui intensifikasi pertanian dengan memberikan
subsidi pupuk atau obat-obatan pertanian, perbaikan aliran irigasi, penetapan harga jual hasil padi yang
wajar, dan lain-lain demi menjaga hasil produksi pertanian.
Sebagai salah satu lumbung pangan nasional, mari bahu membahu membangun pertanian NTB dan
mencari solusi bersama terkait alih fungsi lahan demi menjaga ketahanan pangan nasional hingga masa
depan anak cucu nanti.
Potret Ketahanan Pangan di Indonesia
Arif Rahman
Tulisan dari Arif Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
ADVERTISEMENT
Follow
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia sehingga peningkatan ketahanan
pangan selalu menjadi isu strategis dalam pencapaian pembangunan suatu negara. Mengingat
pentingnya ketahanan pangan, setiap negara pada umumnya akan lebih mendahulukan pembangunan
ketahanan pangan, sebagai fondasi bagi pembangunan sektor-sektor lainnya.
Ketahanan pangan itu sendiri ialah suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya
masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan (Undang-Undang No. 18
tahun 2012).
Ketahanan pangan juga menjadi salah satu isu penting yang menjadi target utama dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Perhatian pada ketahanan pangan
difokuskan pada tujuan kedua (zero hunger atau tanpa kelaparan), yakni mengentaskan kelaparan,
mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang baik, serta mendukung pertanian berkelanjutan.
Di Indonesia, ketahanan pangan juga masuk dalam sembilan agenda prioritas atau Nawa Cita yang
menjadi visi-misi Presiden Jokowi. Dimana ketahanan pangan menjadi salah satu dari tiga dimensi
pembangunan yaitu dimensi pembangunan sektor unggulan.
ADVERTISEMENT
Indikator yang biasa digunakan untuk melihat sejauh mana capaian ketahanan pangan di suatu negara
ialah Indeks Ketahanan Pangan Global (IKPG). Penilaian IKPG terdiri dari empat aspek, yaitu aspek
keterjangkauan, aspek ketersediaan, aspek kualitas dan keamanan, dan aspek ketahanan dan sumber
daya alam
Selain IKPG, terdapat ukuran lain yang disusun oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian
Pertanian untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan suatu wilayah beserta faktor-faktor
pendukungnya yaitu Indeks Ketahanan Pangan (IKP).
IKP merupakan penyesuaian dari indeks yang telah ada berdasarkan ketersediaan data tingkat provinsi
hingga kabupaten/kota. Terdapat tiga aspek yang digunakan untuk membentuk IKP, yaitu aspek
ketersediaan, aspek keterjangkauan, dan aspek pemanfaatan pangan.
ADVERTISEMENT
Ketersediaan maksudnya pangan cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi bagi
masyarakat, rumahtangga, dan perseorangan secara berkelanjutan. Tersedia tidak hanya dalam hal
volume, akan tetapi juga beragam, terjamin keamanan, mutu, dan gizi nya, serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
Sementara keterjangkauan dimaknai bahwa pasokan pangan terdistribusi secara merata ke seluruh
wilayah dengan harga yang stabil dan terjangkau serta berkelanjutan. Adapun pemanfaatan diartikan
bahwa rumah tangga mampu mengakses cukup pangan dan mengelola konsumsinya sesuai kaidah gizi
dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah provinsi yang cenderung memiliki tingkat kerentanan
yang lebih tinggi daripada provinsi dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6
merupakan provinsi yang memiliki ketahanan pangan paling baik.
Pada tingkat global, tren ketahanan pangan Indonesia sepanjang 2012-2019 cenderung semakin
membaik dari tahun ke tahun. Kondisi ini setidaknya terlihat dari peringkat Indonesia dalam Indeks
Ketahanan Pangan Global (IKPG) yang terus meningkat. IKPG pada tahun 2019 sebesar 62,6. Angka ini
membaik dari tahun 2018 yang sebesar 54,8. Skor ini membawa Indonesia ke posisi 62 dunia, naik dari
tahun sebelumnya yang di posisi 65.
Selanjutnya, menurut hasil perhitungan IKP 2019 berdasarkan 3 aspek ketahanan pangan diperoleh hasil
bahwa secara umum wilayah Indonesia bagian barat memiliki nilai IKP lebih baik dibandingkan dengan
Indonesia bagian timur.
ADVERTISEMENT
Lima provinsi dengan urutan skor terbaik adalah Bali (85,15), DI Yogyakarta (83,63), Sulawesi Utara
(81,44), Jawa Tengah (78,85) dan Sulawesi Selatan (78,69). Sedangkan lima provinsi dengan urutan skor
terendah, yaitu Papua (25,13), Papua Barat (30,12), Nusa Tenggara Timur (50,69), Maluku (52,35) dan
Kalimantan Barat (55,17).
Berdasarkan wilayah kelompok prioritas, provinsi di Indonesia dibagi menjadi 5 wilayah kelompok
prioritas yaitu prioritas 1, 3, 4, 5, dan 6.
Provinsi yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah Papua dan Papua Barat. Sedangkan Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Kalimantan Barat dan Kep. Bangka Belitung masuk dalam kelompok 3.
Kemudian, Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Bengkulu, Riau, dan Nusa Tenggara Barat masuk ke
dalam kelompok 4.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, provinsi yang masuk ke dalam kelompok 5 adalah Aceh, Maluku Utara, DKI Jakarta, Sulawesi
Tengah, Jambi, Gorontalo, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Utara, dan Jawa Timur. Sementara, 11 provinsi lainnya masuk dalam kelompok 6.
Penyebab terjadinya kondisi rentan pangan di setiap wilayah tentu berbeda-beda, maka intervensi
program pemerintah untuk mencegah dan mengatasinya pun idealnya spesifik lokasi. Secara umum,
program pemerintah untuk peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan
dibedakan berdasarkan wilayah kabupaten dan wilayah perkotaan.
Program peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan wilayah kabupaten yaitu
peningkatan penyediaan pangan di daerah non sentra produksi, penanganan stunting, penanganan
kemiskinan, peningkatan akses air bersih, penurunan pangsa pengeluaran pangan, serta peningkatan
pendidikan perempuan dan terakhir penyediaan tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
Adapun program peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan di daerah
perkotaan yaitu peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat, sosialisasi pola konsumsi
pangan beragam, bergizi seimbang dan aman, peningkatan akses rumah tangga terhadap air bersih,
peningkatan sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat, penanganan balita stunting,
mendukung kesehatan anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), dan penyediaan bahan pangan
yang cukup dan beragam, akses layanan kesehatan, jaminan kesehatan, pendidikan gizi, dan jaring
pengaman sosial.
Kabar Harian
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
ADVERTISEMENT
Follow
Sejak awal kemunculannya, fenomena pembangunan ekonomi menjadi perhatian khusus para ekonom.
Untuk memahami berbagai fenomena perekonomian tersebut, terdapat berbagai teori ekonomi yang
bermunculan, salah satunya teori pertumbuhan ekonomi.
Secara umum, teori pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni teori
pertumbuhan ekonomi klasik dan teori pertumbuhan ekonomi modern.
Lantas, apa saja yang dapat dipahami melalui teori pertumbuhan ekonomi klasik? Simak uraian
selengkapnya berikut ini.
Mengenal Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Dalam jurnal berjudul Pengaruh Tingkat Investasi dan Belanja Pemerintah terhadap Produk Domestik
Regional Bruto di Provinsi Lampung dalam Perspektif Ekonomi Islam oleh Oktari A., pertumbuhan
ekonomi dalam teori klasik dianalisis berdasarkan kepercayaan dan efektivitas mekanisme pasar bebas.
Tak hanya itu, teori pertumbuhan ekonomi klasik menjadikan pertambahan penduduk sebagai salah
satu indikator utama yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Mengutip dari buku Ekonomi & Akuntansi: Mengasah Kemampuan Ekonomi Kelas XI SMA/MA yang
disusun oleh Bambang Widjajanta, dkk., tokoh-tokoh dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik beserta
pemikirannya masing-masing antara lain sebagai berikut:
Perbesar
ADVERTISEMENT
Adam Smith memandang bahwa pembangunan ekonomi merupakan proses dari pertumbuhan sekaligus
perkembangan ekonomi dengan memanfaatkan mekanisme pasar. Menurutnya, suatu perekonomian
akan tumbuh dan berkembang apabila mekanisme pasar berjalan baik dan sempurna.
Terdapat tiga unsur utama dalam bertumbuhnya hasil produksi menurut Adam Smith, di antaranya:
2. Pertambahan dalam ketersediaan barang modal. Hal tersebut berkaitan dengan tabungan
masyarakat yang diinvestasikan oleh para pemilik modal dengan harapan memperoleh
keuntungan.
3. Spesialisasi dan pembagian kerja diiringi dengan perluasan pasar dan perkembangan
perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.
Perbesar
Berbeda dengan Adam Smith, Malthus lebih menyoroti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan
pertumbuhan penduduk. Ia menyebut bahwa ekonomi akan tumbuh dalam jangka panjang jika
pertumbuhan penduduk lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ia memandang pertumbuhan penduduk berdasarkan deret ukur. Sedangkan pertumbuhan
pangan berdasarkan deret hitung yang menyebabkan terjadinya kekurangan pangan di masa depan.
Kondisi demikian membuat masyarakat akan hidup dalam kondisi pas-pasan.
Perbesar
David Richardo
Sama halnya dengan Malthus, Richardo memandang pertumbuhan penduduk yang terlalu besar dapat
meningkatkan jumlah tenaga kerja. Kondisi demikian secara tak langsung memengaruhi jumlah upah
yang diterima. Ia menilai jika jumlah upah tersebut hanya bisa membiayai tingkat hidup minimum. Pada
tahapan ini, perekonomian akan mengalami stagnasi.
Richardo dan Maltus memiliki pemikiran yang sama berkaitan dengan pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan pangan. Makin tinggi pertumbuhan penduduk, makin tak mencukupi ketersediaan pangan
yang menyebabkan perekonomian mengalami kemandekan.
Dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik, setidaknya terdapat empat hal yang perlu digaris bawahi,
yakni jumlah penduduk, jumlah barang-barang modal, ketersediaan sumber daya alam, dan teknologi
yang digunakan.
Konsekuensi Ledakan Penduduk di Negara Berkembang
Inggriana Sahara Bintang, lahir di Cirebon, dan sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
0
Tulisan dari Inggriana Sahara Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Follow
Hubungan keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan perkembangan ekonomi telah menjadi
bahasan yang panjang dalam sejarah analisis ekonomi, setidaknya sejak tahun 1798 ketika
Perbesar
Thomas Malthus mengatakan bahwa, “Pertumbuhan penduduk akan menekan standar hidup dalam
jangka panjang”. Teori Thomas Malthus sederhana: mengingat jumlah lahan yang tetap, populasi
pertumbuhan pada akhirnya akan mengurangi jumlah sumber daya yang dapat dikonsumsi setiap
individu, yang pada akhirnya akan menyebabkan adanya kekurangan pangan, pertumbuhan penyakit dan
risiko perang.
Populasi dunia saat ini kurang lebih mencapai tiga miliar orang dan tumbuh sekitar dua persen dalam
satu tahun. Pertumbuhan penduduk sangat pesat selama 20 tahun terakhir. Penduduk adalah syarat
terbentuknya suatu negara, keseimbangan penduduk sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
lingkungannya. Penduduk dapat dianggap sebagai penghalang dalam pembangunan ekonomi suatu
negara. Di negara ‘miskin modal’ dan terbelakang secara teknologi, pertumbuhan penduduk mengurangi
output dengan menurunkan ketersediaan modal per kapita. Jumlah penduduk yang terlalu banyak tidak
baik untuk pembangunan ekonomi.
Ledakan penduduk adalah keadaan di mana pertumbuhan penduduk melonjak dengan cepat dalam
waktu yang relatif pendek. Hal ini terjadi biasanya karena angka kelahiran yang tinggi dan angka
kematian tergolong rendah atau sampai pada penurunan drastis. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan angka kematian mengalami penurunan drastis, yaitu antara lain karena membaiknya gizi
dan kondisi kesehatan masyarakat. Ledakan penduduk juga bisa disebabkan oleh adanya pernikahan dini,
yang nantinya akan meningkatkan jumlah kelahiran apabila tidak dibarengi dengan program keluarga
berencana.
Dalam konteks negara berkembang terbelakang, pertumbuhan penduduk yang cepat mengurangi
ketersediaan modal per kepala yang menurunkan produktivitas angkatan kerjanya. Akibatnya,
pendapatan mereka berkurang dan kapasitas mereka untuk menabung juga berkurang yang pada
gilirannya berdampak buruk pada pembentukan modal. Tingkat penduduk yang over-population
membutuhkan lebih banyak investasi untuk memenuhi kebutuhan investasi demografis dan pada saat
yang sama dapat mengurangi kapasitas seseorang untuk menabung. Dengan adanya hal ini, seluruh
investasi diserap habis oleh investasi demografis tanpa ada yang tersisa untuk pembangunan ekonomi.
Populasi yang besar pun menyebabkan adanya masalah pengangguran, di mana sebagian besar orang
datang ke tenaga kerja atau tempat-tempat yang tidak memungkinkan untuk menyediakan pekerjaan.
Dari adanya masalah pengangguran ini, yang kemudian menciptakan permasalahan baru, yaitu
kurangnya ketersediaan pangan. Meningkatnya populasi berarti lebih banyak mulut untuk diberi makan,
yang pada gilirannya menciptakan tekanan pada stok makanan yang tersedia. Inilah alasannya, negara-
negara terbelakang dengan populasi yang berkembang pesat pada umumnya dihadapkan pada masalah
kekurangan pangan. Terlepas dari semua upaya mereka untuk meningkatkan produksi pertanian, mereka
tidak dapat memberi makan populasi mereka yang terus bertambah.
Kelangkaan pangan mempengaruhi pembangunan ekonomi dalam dua hal. Pertama, pasokan pangan
yang tidak memadai menyebabkan kekurangan gizi masyarakat yang menurunkan produktivitas mereka.
Hal tersebut semakin mengurangi kapasitas produksi para pekerja. Kedua, kekurangan pangan memaksa
untuk mengimpor biji-bijian pangan yang tidak perlu membebani sumber daya devisa mereka.
Kelangkaan pangan ini yang kemudian membuat harga pangan meningkat sehingga seringkali hanya
dapat dibeli oleh sebagian besar orang yang memiliki uang dari hasil bekerjanya.
Pertumbuhan penduduk yang cepat sebagian besar bertanggung jawab atas berlanjutnya lingkaran setan
kemiskinan di negara-negara terbelakang. Karena pertumbuhan populasi yang cepat, orang-orang
diharuskan menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membesarkan anak-anak mereka.
Jadi tabungan dan tingkat pembentukan modal tetap rendah, penurunan pendapatan per kapita,
kenaikan tingkat harga umum yang menyebabkan kenaikan tajam dalam biaya hidup. tidak ada kemajuan
dalam teknologi pertanian dan industri, kekurangan komoditas esensial, standar hidup yang rendah,
pengangguran massal, dan lain-lain. Akibatnya, seluruh perekonomian negara terbelakang dikelilingi oleh
lingkaran setan kemiskinan.
Peningkatan populasi menyebabkan peningkatan permintaan akan produk makanan, pakaian, rumah,
dan keperluan lainnya yang dibarengi dengan kenaikan harga dan biaya hidup. Hal tersebut yang
membawa pada keadaan standar hidup rendah. Kemiskinan melahirkan banyak anak yang semakin
meningkatkan tingkat kemiskinan. Dengan demikian, konsekuensi dari pertumbuhan penduduk adalah
menurunkan taraf hidup.
Terbatasnya lahan karena lonjakan penduduk juga akan menimbulkan pemukiman atau daerah kumuh
sebagai akibat dari mahalnya harga tanah dan rumah, khususnya di perkotaan. Selain terbatasnya lahan
tempat tinggal, sarana kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, juga akan
mengalami hal serupa, di mana pemerintah mengalami kesulitan menyediakan sarana-sarana tersebut
karena lokasi-lokasi sudah dipadati oleh pemukiman penduduk dan akan sangat membutuhkan jumlah
dana yang besar.
Terlepas dari banyaknya faktor dan dampak dari adanya ledakan penduduk, tentu harus menjadi
perhatian serius bagi masyarakat maupun pemerintah. Hal-hal yang kiranya bisa dilakukan guna
mengatasi ledakan penduduk adalah:
1. Melaksanakan program KB
Pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat mengurangi potensi dampak negatif dari pertumbuhan
penduduk yang cepat. Di tahun 1950 dam 1973, negara-negara yang notabenenya adalah negara miskin,
memperoleh manfaat dari lingkungan investasi yang positif dan kesempatan kerja yang semakin
meningkat.
Populasi Penduduk
Banjir Pada Lahan Pertanian: Mengancam Ketahanan Pangan
Seorang mahasiswaPendidikan Geografi yang memiliki minat dalam penulisan konten. Dengan latar
belakang pendidikan yang saya miliki, saya tertarik untuk memberikan pengetahuan mengenai dunia
pendidikan, lingkungan, dan geografi.
Tulisan dari Tabita Devi Kurniawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa tahun ini, Indonesia sering kali dihadapkan dengan bencana banjir yang menimbulkan banyak
sekali kerugian bagi masyarakat, salah satunya pada bidang pertanian. Padahal, Indonesia menjadi salah
satu negara produsen bahan pangan utama di dunia, khususnya pada sektor padi. Sektor pertanian telah
menjadi kekuatan dalam menentukan ketahanan pangan serta pertumbuhan ekonomi bangsa. Lalu
bagaimana dampak dari banjir pada lahan pertanian dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan?
Berdasarkan letak astronomisnya, Indonesia berada pada 6°LU-11°LS dan 95° BT-141°BT. Dengan posisi
tersebut, mengakibatkan wilayah Indonesia memiliki iklim muson tropis. Iklim tropis membuat kondisi
fisik (tanah, udara, suhu) di Indonesia cocok untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Dibalik anugerah tersebut, iklim tropis cenderung mengalami perubahan cuaca, suhu, serta arah angin
yang cukup ekstrem. Didukung dengan kondisi alam yang saat ini telah mengalami perubahan akibat
perubahan iklim, menyebabkan Indonesia rawan mengalami beragam bencana alam, salah satunya
adalah banjir.
Banjir merupakan peristiwa tergenangnya daratan akibat volume air yang berlebihan. Banjir
berpengaruh besar terhadap aktivitas masyarakat Indonesia, termasuk pertanian. Berdasarkan data
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada semester awal tahun 2023, lebih dari 113 ribu
hektar lahan pertanian yang tersebar di 22 provinsi terdampak banjir.
ADVERTISEMENT
Pada musim banjir, lahan pertanian akan terendam air dalam waktu yang cukup lama. Air dapat merusak
tumbuhan yang mengakibatkan gagal panen. Selain itu, petani juga harus berhadapan dengan penyakit
serta hama, khususnya keong mas yang hidup di daerah rawa atau sawah. Hal ini mengharuskan petani
menunda waktu tanam sampai banjir surut.
Bencana ini juga mengakibatkan pengurangan jumlah lahan pertanian. Banjir rob telah merendam lahan
pertanian khususnya di daerah pesisir utara Jawa. Sehingga lahan tersebut tidak dapat dimanfaatkan
lagi.
Perbesar
Iklim tropis membuat kondisi fisik (tanah, udara, suhu) di Indonesia cocok untuk dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian. Foto: Dok. pribadi
Ketahanan pangan adalah kesanggupan negara dalam memastikan ketersediaan bahan pangan dan
kemudahan masyarakat dalam mendapatkan pangan dengan stabil. Disinilah peran penting sektor
pertanian dibutuhkan.
Namun, apabila banjir pada lahan pertanian terus terjadi, petani akan mengalami gagal panen. Gagal
panen dapat mengakibatkan penurunan pasokan bahan pangan di Indonesia. Jika pasokan bahan pangan
hanya sedikit, sedangkan permintaan dan kebutuhan masyarakat yang terus tinggi, hal ini akan
menyebabkan naiknya harga pangan di pasar dan ancaman bagi ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Menurut data Bank Dunia tahun 2022, kurang lebih 34% penduduk Indonesia tergolong dalam kelompok
miskin dan rentan. Ketika terjadi kenaikan harga bahan pangan, penduduk dengan penghasilan rendah
akan sulit mendapatkan pangan yang sesuai dengan pendapatan mereka. Sehingga kesejahteraan
masyarakat menurun bahkan berpotensi mengalami kelaparan dan malnutrisi.
Kenaikan harga pangan juga akan merugikan petani sebagai produsen dan para pedagang. Apabila harga
pangan terus naik, daya beli masyarakat akan ikut berkurang. Akibatnya petani dan pedagang akan
merugi.
Perbesar
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, penyebab banjir di wilayah Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu adalah faktor
pengairan. Ketika terjadi hujan, terdapat air limpasan yang mengalir dari desa daerah hulu ke daerah
hilir. Hal ini didukung dengan kondisi drainase yang tidak berfungsi dengan normal.
Air hujan yang mengalir cenderung membawa tanah dan berakhir mengendap di saluran air.
Pengendapan ini dapat memperlambat laju air bahkan mengurangi daya tampung air, sehingga memicu
terjadi luapan. Oleh karena itu, program rehabilitasi jaringan sungai yang dilakukan pemerintah bersama
petani seperti pengerukan, pembersihan, dan pelebaran saluran air dapat mengurangi banjir yang
terjadi.
Selain itu, penggunaan bibit varietas toleran rendaman merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap
banjir yang tepat dilakukan, khususnya pada wilayah dengan kerawanan tinggi. Menurut penelitian pada
Jurnal Tanah Lingkungan, varietas benih padi yang ditanam petani saat ini hanya memiliki toleransi
rendaman selama 4-7 hari saja. Dengan program penanaman varietas bibit toleran rendaman seperti
Ciherang atau Inpara 3, benih dapat tahan terhadap rendaman air selama 10-14 hari. Akan tetapi,
kenyataannya penggunaan varietas bibit tahan rendaman air ini masih belum banyak dikenal petani.
ADVERTISEMENT
Banjir pada lahan pertanian dapat mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Sebagai negara agraris,
pertanian menjadi kekuatan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Oleh sebab itu, mitigasi,
adaptasi, serta kebijakan terhadap banjir perlu dilakukan untuk menjaga ketersediaan bahan pangan di
negara ini. Upaya pemerintah dalam membangun infrastruktur serta penetapan kebijakan yang tepat
perlu didukung petani serta masyarakat untuk menghadapi tantangan banjir di lahan pertanian pada
masa depan.
Banjir
Pertanian
Bahan Pangan
Swasembada Beras: Datang, Pergi, dan Kembali
Humas Balitbangtan BPTP Jawa Tengah, Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Tulisan dari Hendril Heirul Riza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
ADVERTISEMENT
Follow
37 tahun yang lalu, atau tepatnya pada tahun 1984, Indonesia mencetak sejarah untuk pertama kalinya
mencapai swasembada beras dengan produksi mencapai 25,8 juta ton.
BPS dalam rilisnya pada tahun 1985 menyebutkan bahwa kondisi Indonesia sukses merengkuh
swasembada beras pada tahun 1984 tercatat mempunyai jumlah penduduk 161 juta jiwa dengan tingkat
konsumsi beras perkapita mencapai 132,53 kg/tahun. (Statistik Indonesia 1984. www.bps.go.id)
Jika melihat pada ketentuan FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations) pada tahun
1999, suatu negara dapat dikatakan mencapai swasembada pangan apabila jumlah produksi pangan
telah mencapai 90% dari kebutuhan nasional. (Produksi Dalam Negeri Cukupi Kebutuhan Domestik,
www.pertanian.go.id) Sehingga apa yang terjadi di Indonesia hampir 4 dekade lampau telah memenuhi
kriteria swasembada beras, karena ambang batas produksi nasional telah dilewati bahkan mencapai
surplus lebih dari 4 juta ton beras.
Perbesar
Namun sayang, keberhasilan tersebut perlahan mulai pudar sejak memasuki tahun 1990. Perlahan
produksi mulai tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan rasio
ketercukupan beras tidak lagi sama saat swasembada diraih. Jumlah konsumsi semakin meningkat
namun tidak diiringi dengan jumlah yang sama pada sektor produksi. Alhasil tahun tersebut menjadi
awal naik turunnya gelombang perberasan di Indonesia.
Perbesar
Iswara N RadityaBaca selengkapnya di artikel "Swasembada Beras ala Soeharto: Rapuh dan Cuma
Fatamorgana", https://tirto.id/c2eV
37 Tahun Kemudian
Perlu proses perlahan dalam perubahan paradigma pembangunan pertanian. Keberhasilan swasembada
beras yang pernah terjadi menjadi simbol semangat untuk meraihnya kembali. Berkat kerja sama antara
pemerintah dengan seluruh stakeholder terkait dari pusat hingga pelosok daerah, asa meraih
swasembada beras terus digaungkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk langkah terukur dari Kementerian Pertanian adalah untuk pemantapan ketahanan
pangan, yang meliputi aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan pemanfaatan pangan.
Kebijakan ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan pangan, difokuskan pada peningkatan
ketersediaan pangan yang beranekaragam berbasis potensi sumberdaya lokal, penanganan kerawanan
pangan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan. Dalam aspek keterjangkauan pangan,
difokuskan pada stabilisasi pasokan dan harga pangan serta pengelolaan cadangan pangan. Sedangkan
pada aspek pemanfaatan pangan, difokuskan pada: percepatan penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis sumber daya dan kearifan lokal; dan ditunjang dengan pengawasan mutu dan keamanan
pangan segar. (http://bkp.pertanian.go.id/)
Selain faktor-faktor di atas, tidak lupa peranan sektor mekanisasi pertanian yang membawa dampak
signifikan dalam peningkatan produksi baik kecepatannya maupun kuantitas jumlahnya. Hal ini yang
dioptimalkan saat pemerintahan Jokowi sehingga hasil produksi pertanian Indonesia khususnya beras
semakin tinggi.
Haruskah Sekuritisasi Pangan di Indonesia?
Feny Nuroktaviani
Feny Nuroktaviani mahasiswi jurusan Hubungan Internasional di Universitas Al Azhar Indonesia. Tertarik
dengan isu Lingkungan dan sosial masyarakat. Saat ini sedang menjalani program magang di Tay Juhana
Foundation
Tulisan dari Feny Nuroktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
Follow
Pandemi telah memperburuk kerawanan pangan yang bahkan sebelum Virus Corona muncul sudah di
kondisi mengkhawatirkan. Pasalnya ketersediaan akses pangan dan konsumsi masyarakat menjadi
menurun, bukan hal yang tidak mungkin dapat memicu krisis pangan disertai peningkatan harga pangan
yang parah.
Secara umum krisis pangan didefinisikan sebagai kondisi di mana kelangkaan pangan dialami oleh
sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh kesulitan distribusi pangan, dampak
perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, hingga konflik sosial. Untuk menepis situasi-situasi
tersebut, ketahanan pangan pun harus terus diupayakan agar terhindar dari krisis pangan yang
menghantui.
Hingga saat ini, 1 dari 10 penduduk dunia kurang memiliki akses terhadap pangan yang cukup. Hal ini
disebabkan oleh ketersediaan pangan terbatas hingga harga pangan yang tinggi. Jika terus seperti ini, isu
pangan dapat menjadi isu keamanan nasional karena menyangkut keamanan manusia dari ketersediaan
pangan.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki banyak lahan subur. Namun, di balik itu semua
ternyata negara ini hanya memiliki 26,3 juta ha tanah yang subur dan terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Bukan menjadi rahasia bahwa Pulau Jawa menjadi sentra produksi pangan di Indonesia. Sisa lahan
lainnya yang kurang subur dan marginal atau bisa disebut lahan sub-optimal mendominasi lahan di
Indonesia, yang luasnya hampir mencapai 150 juta ha. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab
Indonesia masih mengalami kesulitan dalam menyediakan ketahanan pangan, terutama di daerah-
daerah.
ADVERTISEMENT
Banyak faktor yang mengancam ketahanan dan ketersediaan pangan, termasuk di antaranya perubahan
iklim yang berdampak mempengaruhi masa panen tanaman. Bagaimana tidak, perubahan iklim
meningkatkan frekuensi dan cuaca ekstrem yang dapat mengganggu tanaman dan mengubah musim
panen dan membuat pasokan pangan tidak stabil.
Belum lagi Indonesia yang masih sering impor kebutuhan pokok karena adanya kelangkaan pangan.
Faktor penyebabnya beragam dari terbatasnya kapasitas sistem pangan dalam menjaga rantai pasok dari
hulu ke hilir, hingga perlunya resiliensi produsen pertanian terhadap perubahan iklim. Sebagai contoh,
kelangkaan bawang putih di Indonesia disebabkan oleh sedikitnya produsen yang memproduksi benih
bawang putih sehingga petani tidak bisa mengembangbiakkan bawang putih. Lingkaran kausal negatif ini
berakibat rendahnya benih dan bawang putih itu sendiri di pasaran. Banyak produsen dan petani yang
terseok mengingat butuh biaya yang mahal mencapai Rp 50-60 juta per hektarnya untuk memproduksi
bawang putih. Padahal kebutuhan Indonesia terhadap bawang putih mencapai 500 ribu ton per tahun.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, kelangkaan kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe yang dikenal sebagai makanan asli
tradisional Indonesia. Nyatanya, di tahun 2020 Indonesia mengimpor kedelai lebih dari 90% untuk
produksi tahu dan tempe. Tingginya biaya produksi menyebabkan harga kedelai lokal tidak mampu
bersaing dengan kedelai impor yang lebih murah.
Krisis pangan menjadi erat hubungannya dengan kemiskinan. Di saat yang sama, menurunnya sumber
daya manusia pada pertanian turut mempengaruhi ketahanan pangan. Pada Maret 2021 jumlah
penduduk miskin di Indonesia mencapai 10,14% dengan penduduk miskin perkotaan 7,89% dan
pedesaan 13,10%, di mana garis kemiskinan makanan mencapai 73,96%. Bukan suatu kebetulan banyak
publikasi menunjukkan 22 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan. Ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan pangan menyebabkan rentannya krisis pangan dalam keluarga miskin. Ketahanan
pangan seharusnya menjadi kunci untuk mengurangi penduduk miskin.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks jangka panjang, regenerasi petani yang menurun turut menyebabkan penurunan
ketahanan pangan. Tahun 2017 profesi petani menurun menjadi 34% dan rata-rata penurunannya setiap
tahun mencapai 3%. Menurut Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menurunnya minat di sektor
pertanian disebabkan oleh ketersediaan lahan, biaya pertanian hingga pendapatan yang tidak menentu.
Jika minat profesi petani turun, lalu bagaimana nasib ketahanan pangan kita yang masih mengandalkan
petani.
Penjelasan di atas menunjukkan isu pangan dapat mengancam keamanan dan kedaulatan suatu negara
terutama jika menyebabkan konflik yang tidak diinginkan. Jika kita menilik lebih jauh dengan melihat
ketersediaan pangan yang tidak aman, isu pangan sudah seharusnya menjadi perhatian kita karena
keamanan pangan menyangkut keamanan manusia dan negara. Melihat situasi saat ini, pemerintah
perlu meningkatkan ketahanan pangan dengan memproduksi di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, Indonesia memerlukan ketersediaan pangan dalam
jumlah yang mencukupi dan tersebar di pelosok daerahnya, sehingga memenuhi kecukupan konsumsi
maupun stok nasional.
Pemerintah perlu men-”sekuritisasi” isu pangan di mana sekuritisasi dapat diartikan sebagai proses
mengagendakan sebuah isu menjadi isu keamanan. Ini berarti, isu yang awalnya bersifat non-politik yang
tidak menimbulkan debat publik dan negara, berubah menjadi isu politik yang mendesak adanya
kebijakan publik dan membutuhkan keputusan pemerintah sebagai bentuk tata pemerintahan bersama,
yang kemudian menjadi isu keamanan ketika ancamannya nyata dan mempunyai ukuran darurat.
Dari permasalahan yang sudah disinggung di atas, pemerintah dapat mensekuritisasi pangan untuk
menciptakan dan memperbaiki ketahanan pangan. Belakangan ini, pemerintah menerjemahkan
sekuritisasi pangan dalam bentuk bagaimana agar pangan kita terlindungi dari pestisida yang berlebihan.
Padahal, sekuritisasi seharusnya mencakup semua aspek pangan yang perlu dipastikan keamanannya.
Sesuai amanah UU Pangan, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin
pangan kita aman di segala aspek.
ADVERTISEMENT
Sebagai langkah awal, sekuritisasi pangan bisa mengambil strategi membangun sektor pertanian dan
pedesaan tangguh pangan. Selain untuk menaikkan produksi pangan di daerah, perencanaan strategi
tersebut akan berkontribusi untuk pengentasan kemiskinan dan persiapan sistem pertanian yang dapat
menarik minat orang untuk berinovasi dalam bidang pertanian. Dari contoh tersebut, memang jalan
sekuritisasi pangan ke depan masih panjang. Namun pada akhirnya, diharapkan meningkatkan produksi
dan kemudian ketahanan pangan dalam negeri.
Tantangan dan Peluang: Meningkatkan Produktivitas Pertanian dengan Big Data
Kiki Yulianto
Tulisan dari Kiki Yulianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
ADVERTISEMENT
Follow
Pada tahun 2050, diperkirakan jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 9,1 miliar jiwa.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), produksi pangan perlu ditingkatkan hampir 70%
untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Oleh karena itu, peningkatan
produktivitas pertanian sangat penting dalam memastikan hasil panen yang tinggi dan profitabilitas
pertanian yang stabil.
Kebutuhan untuk memproduksi lebih banyak makanan untuk memberi makan populasi yang terus
bertambah dan menggunakan lebih sedikit lahan untuk itu. Namun, pemerintah dihadapkan pada
tantangan akibat perubahan iklim dan isu lingkungan yang berdampak langsung pada produksi pangan.
Untuk mencapai target produksi pangan ini, pembuat kebijakan dan pemimpin industri mengambil
dukungan dari inovasi teknologi. Untuk mengatasi tantangan dari lonjakan permintaan pangan
pemanfaatan teknologi seperti Big data, Cloud Computing, dan yang lainnya akan sangat membantu
meningkatkan efisiensi dan membantu mendapatkan pola dari data yang terkumpul untuk
memproyeksikan prediksi keputusan di masa depan.
Big data memiliki cakupan yang luas di bidang industri pertanian dari hulu ke hilir, mulai dari tahapan
budidaya, monitoring lahan, penanganan pasca panen, sampai distribusi. Big data dapat mengumpulkan
data dan pelacakan fisik secara real time untuk memperkirakan keputusan yang tepat untuk
meningkatkan industri pertanian di masa depan.
ADVERTISEMENT
Penerapan big data sangat penting bagi industri pertanian, karena industri pertanian yang
memanfaatkan big data mempunyai potensi untuk memecahkan permasalahan dengan solusi yang
akurat, khususnya di Indonesia yang merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia.
Data yang terkumpul pada big data akan diproyeksikan dalam bentuk pola-pola penting dalam kumpulan
data yang berguna. Dalam mekanisme Big Data terdapat beberapa fitur seperti, Artificial Intelligence,
machine learning, dan yang lain-lain.
Big data memiliki peran penting dalam meningkatkan produktivitas industri pertanian karena mampu
memprediksi proses budidaya dan peningkatan hasil panen. Hal ini baik untuk mengambil keputusan
usaha tani yang akurat. Usaha tani pada sektor pertanian sangat rentan dengan fluktuasi harga pasar.
ADVERTISEMENT
Big data memungkinkan orang menggunakan indikator yang telah ditetapkan untuk memantau
peningkatan atau penurunan biaya dan pendapatan. Big data di industri pertanian sepenuhnya
didasarkan pada penggunaan teknologi, informasi, dan analitik untuk memberikan informasi yang
berguna bagi petani.
Big data dapat dimanfaatkan untuk memperoleh informasi tentang industri pertanian atau terbukti
bermanfaat bagi segmen atau area tertentu untuk meningkatkan efisiensinya.
Selain itu, dengan menerapkan big data akan mengurangi pemborosan pangan. Menurut Departemen
urusan sosial dan ekonomi PBB, ada sekitar 30% makanan hilang atau terbuang di berbagai tahapan
Supply Chain.
Big data adalah kunci untuk mengurangi pemborosan dengan merekam data dari toko-toko ataupun
bagian supply chain mulai dari hulu sampai hilir. Kesenjangan supply dan demand antara produsen dan
konsumen dapat dilacak dengan menelusuri jumlah truk dan rutenya. hal ini dapat membantu
mengurangi pemborosan yang mungkin terjadi jika menggunakan big data.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada proses budidaya big data dapat mengoptimalkan penggunaan peralatan pertanian.
Dengan mengintegrasikan dengan sensor yang mendeteksi dan mencatat data penting terkait jumlah
peralatan pertanian yang tidak digunakan, jumlah bahan bakar, dan pengingat perbaikan alat pertanian
serta mengontrol peralatan dari jarak jauh.
Big data juga berfungsi untuk memberikan instruksi terpadu terkait jumlah dan waktu yang tepat untuk
penggunaan pestisida, hal ini sangat bermanfaat untuk pengelolaan pengeluaran mereka dengan lebih
baik dan mampu menghemat pengeluaran biaya akibat penggunaan pestisida yang berlebihan sekaligus
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Pertumbuhan populasi global yang pesat telah menimbulkan masalah yang sangat mendesak yaitu
peningkatan permintaan pangan. Agar kebutuhan pangan dapat terpenuhi, langkah-langkah yang harus
diambil untuk meningkatkan hasil panen dan penggunaan big data dapat memberikan informasi penting
tentang pola iklim, kebutuhan pupuk, dan tingkat kelembaban tanah.
ADVERTISEMENT
Selain itu langkah-langkah cerdas dapat diambil untuk mendapatkan varietas benih yang lebih baik dan
tahan terhadap penyakit, sehingga dapat meningkatkan hasil panen.
Kekhawatiran terhadap keamanan pangan yang semakin meningkat di seluruh dunia dapat diatasi
dengan memasukkan big data pada sektor industri pertanian. Setiap tahun jutaan orang menderita
penyakit yang berhubungan dengan makanan. Sistem pertanian yang lebih baik dapat membantu
mendeteksi kontaminasi virus atau mikroba sejak dini, di sinilah big data berperan.
Big data memungkinkan pengumpulan data dalam jumlah besar dengan berbagai variabel seperti kondisi
cuaca, tingkat kelembaban, dll. Data ini dapat digunakan untuk menentukan kesehatan tanaman. Salah
satu cara termudah bagi petani untuk mengakses data ini adalah melalui hasil pembacaan sensor
pertanian atau pun citra satelit.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan big data di bidang industri pertanian telah membuktikan bahwa terdapat banyak peluang
kemajuan teknologi di sektor ini. Potensi pertumbuhan dan peluang baru yang industri pertanian
menarik para spesialis. Penerapan Big Data masih dalam tahap awal, namun terbukti bermanfaat dalam
mengatasi permasalahan utama.
Untuk mendapatkan manfaat penuh dari big data, para pelaku industri pertanian dan pemangku
kebijakan harus bersama-sama mendorong pengembangan dan mengadopsi sistem pengelolaan industri
pertanian yang berbasis big data.
Revolusi teknologi juga telah membuka pintu bagi sektor industri pertanian dengan memperkenalkan big
data. proses pengumpulan dan analisis big data tidak hanya memainkan peran penting dalam
meningkatkan produktivitas, tapi juga terbukti dalam mengurangi risiko krisis pangan global.
Menjembatani Pertumbuhan Kota dan Ketahanan Pangan
SDGs Network ITB adalah entitas SDGs di Indonesia, dengan tujuan ingin berpartisipasi mengakselerasi
pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di Indonesia.
Tulisan dari SDGs Network ITB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
ADVERTISEMENT
Follow
Walaupun pulau Jawa merupakan sentral penghasil padi di Indonesia, tapi terus terjadi penyusutan
lahan sawah di pulau Jawa. "Di daerah yang dilalui jalan tol, penyusutan lahan sawahnya lebih tinggi
secara signifikan dibandingkan dengan daerah yang tidak dilalui jalan tol."
Begitu yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Yogi, M.S. dalam webinar "Tantangan dalam Mencapai SDGs:
Pertumbuhan Perkotaan, Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan di Pulai Jawa". Webinar ini
diselenggarakan Kamis, 24 September 2020, lalu.
Selain Yogi, terdapat dua pembicara lain, yaitu Dr. Iwan Kustiwan, ST., MT. (KK Perencanaan dan
Perancangan Kota ITB) dan Dr. (Cand.) Deni Nugraha, SE., M.Si. (KK Sistem dan Pemodelan Ekonomi).
Webinar yang diselenggarakan oleh Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK) ITB ini dimoderatori oleh Dr. Ir. Siti Herni Rochana, M.Si. (KK Sistem dan Pemodelan Ekonomi).
Yogi sendiri fokus menyampaikan pengaruh infrastruktur jalan tol terhadap alih fungsi lahan sawah di
Pulau Jawa. Ia memaparkan, pembangunan jalan tol akan terus berlanjut, sehingga lahan sawah di Pulau
Jawa akan menyusut lebih cepat.
Yogi berpendapat, pembangunan jalan tol memang perlu didukung untuk pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Namun, lahan pertanian harus tetap terlindungi untuk menjaga ketahanan pangan di
Indonesia.
"Perlu digencarkan sosialisasi UU No.41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan," ujar Yogi memberi saran, "Dan Perpres No.59 tahun 2019 mengenai payung hukum
pelaksanaan pengendalian alih fungsi lahan sawah di Indonesia di lahan pertanian sepanjang jalan tol.
Khususnya di Pulau Jawa."
Dr. Iwan Kustiwan, ST., MT. : Fenomena urbanisasi dan petumbuhan penduduk dapat berpengaruh
pada ketersediaan lahan pertanian
Berdasarkan kecenderungan urbanisasi di Indonesia, diprediksi pada tahun 2045, 82% penduduk
Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Pulau Jawa yang khususnya memiliki dampak polarisasi yang
cukup tinggi.
"Pertumbuhan penduduk Pulau Jawa sendiri juga sangat pesat. Seiring dengan pertumbuhan penduduk
perkotaan dan pertumbuhan ekonomi, ketersediaan lahan juga terdampak," ujar Iwan,
Hal tersebut menjadi tantangan bagi ketahanan pangan di Indonesia. Di samping itu, status daya dukung
lahan pertanian di Pulau Jawa beberapa tahun belakangan ini berada dalam kondisi yang sangat
mengkhawatirkan.
Iwan sendiri menggunakan metode pendekatan/pemodelan system dinamics dari data-data sekunder
dari BPS terkait dinamika perkembangan perkotaan tahun 2000-2015. Hasilnya, diperoleh gambaran
perilaku dasar tahun 2000-2100 bahwa penduduk perkotaan akan mengalami pertumbuhan secara
eksponensial dari tahun ke tahun.
"Luas lahan terbangun akan mengalami kenaikan secara linier, sedangkan luas lahan pertanian akan
mengalami penurunan secara linier," papar Iwan.
Jika tren tersebut tetap berlangsung tanpa adanya intervensi, maka diprediksi pada tahun 2044
ketersediaan lahan pertanian dan kebutuhan lahan pertanian akan bertemu di satu titik angka yang sama
(tipping point). Pada saat itu, status daya dukung lahan pertanian adalah 1, atau sudah tiada lagi lahan
untuk pertanian.
Iwan berpendapat diperlukan intervensi, agar kelangkaan lahan pertanian dapat dihambat. Ada 4
simulasi model. Pertama ialah kebijakan pengembangan kawasan pedesaan, kedua ialah kebijakan
intensifikasi kawasan terbangun di perkotaan, ketiga ialah kebijakan intensifikasi pertanian, dan keempat
ialah skenario gabungan dari tiga kebijakan sebelumnya.
"Dari ke-empat skenario tersebut, urutan skenario yang memiliki dampak paling besar menuju paling
kecil terhadap tipping point 2044 adalah skenario 4 (2148), skenario 3 (2090), skenario 1 (2088), dan
skenario 2 (2045)," ujar Iwan.
Iwan menambahkan, rekomendasi skenario tersebut akan lebih baik jika didukung dengan pola spasial
dinamika pertumbuhan dan pengaruhnya terhadap daya dukung lahan pertanian.
Dr. (Cand.) Deni Nugraha, SE., M.Si.: Mengonsep usaha berbasis pariwisata untuk warga terdampak
pembangunan waduk
Pembangunan Waduk Jatigede bertujuan agar mampu mengairi 90.000 Ha sawah, pengendalian banjir,
suplai air baku, dan sumber daya listrik. Namun dengan kehadirannya, terdapat 10.924 kepala keluarga
yang terdampak baik kehilangan rumah maupun lahan pertanian atau peternakan.
"Kami mendapatkan data bahwa masyarakat masih menginginkan usaha di bidang pertanian atau
peternakan karena hal itulah yang sudah dilakukan secara turun temurun di keluarganya," ujar Deni yang
berfokus pada pengelolaan kawasan Waduk Jatigede secara berkelanjutan.
Hasil tersebut didapat dari penelitian tahun 2014-2020 menunjukan data-data mengenai inventarisasi
arah minat penduduk di tempat relokasi. Inventarisasi tersebut berdasarkan potensi saat ini dan
kecenderungan minat masa depan, hasil analisis pengambungan waduk terhadap sosial, budaya,
ekonomi masyarakat, model pemberdayaan masyarakat terdampak melalui kegiatan usaha berbasis
pariwisata, dan juga model keberlanjutan usaha pada era new normal melalui digitalisasi usaha mikro
kecil.
Deni dan tim berupaya mengonsep usaha berbasis pariwisata pada warga terdampak. Beberapa aksi
yang dilakukan antara lain mengonsep usaha berbasis pariwisata warga terdampak, pelatihan
pemberdayaan masyarakat, pelatihan pendampingan kewirausahaan, pengembangan kapasitas
kelompok usaha produktif, dan membuat aplikasi marketplace usaha masyarakat.
"Masyarakat Jatigede memiliki potensi pengembangan yang cukup besar. Walau begitu, perlu tetap
dilakukan persiapan lapangan pekerjaan bagi masyarakat," ujar Deni.
Deni juga memberikan saran bagi pemerintah untuk menugaskan fasilitator/pendamping untuk
masyarakat terdampak di kawasan Waduk Jatigede.***
Ketahanan Pangan Indonesia
imadechandramandira
ADVERTISEMENT
Ketahanan pangan di Indonesia mulai ramai menjadi perbincangan setelah Menteri Pertahanan
(Menhan) “Prabowo Subianto” ditunjuk untuk menggarap proyek lumbung nasional. Pertanyaan yang
bermunculan adalah kenapa bukan Menteri Pertanian, melainkan Menteri Pertahanan? Food and
Agriculture Organization of the United Nation (FAO) atau badan pangan dan pertanian PBB menyatakan
bahwa krisis pangan dunia terjadi akibat virus corona, sehingga Indonesia memulai menyiapkan proyek
lumbung nasional di Kalimantan Tengah. Lumbung nasional dipersiapkan guna mewujudkan ketahanan
pangan Indonesia kedepan. Dalam UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan disebutkan bahwa Ketahanan
Pangan adalah "kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
Pandemi covid19 telah mengubah tatanan dunia termasuk Indonesia tidak hanya disektor Kesehatan dan
ekonomi, melainkan kondisi ketahanan pangan. Teori Malthus 1798 tentang ketahanan pangan, salah
satunya menjelaskan tentang pertambahan penduduk dapat diibaratkan deret kali atau deret ukur
sehingga pelipatgandaan jumlah penduduk setiap 25 tahun, sedangkan peningkatan sarana-sarana
kehidupan berjalan lebih lambat, yakni menurut deret hitung atau deret tambah. Dapat diartikan bahwa
pertumbuhan jumlah manusia lebih cepat dibandingkan dengan produksi makanan atau kebutuhan
pangan kita yakni pelipatan ganda.
Perbesar
Menteri Pertanian (Mentan) yahrul Yasin Limpo mengklaim stok pangan nasional untuk periode 2020
cukup kuat. Stok beras nasional sebesar 6,4 juta ton akan kembali bertambah pada puncak panen Mei
2020 (5/5/2020). Cadangan pangan nasional yang cukup untuk periode 2020 tampaknya berbanding
terbalik dengan pandemic covid19 yang sampai pertengahan tahun tidak mengalami penurunan,
sehingga Presiden Joko Widodo memerintahkan pembuatan lumbung pangan nasional yang memiliki
tujuan lebih jauh lagi apabila covid19 tak kunjung usai serta upaya pemulihan yang memakan waktu
cukup lama.
ADVERTISEMENT
Kembali kepertanyaan awal kenapa Menhan yang menggarap proyek lumbung nasional, bukan Mentan.
Dalam dunia pertahanan, terdapat perkembangan lingkungan strategis yang mana salah satunya adalah
keamanan pangan, air, dan energi. Dengan bertambahnya jumlah manusia, kualitas hidup, serta
berkembangnya industry yang memanfaatkan lahan produktif, sehingga ketersediaan lahan makin
sempit. Diperkirakan tahun 2043 jumlah penduduk dunia mencapai 12,3 miliar jiwa dimana 80,2% atau
sekitar 9,8 miliar jiwa dari jumlah tersebut hidup diluar wilayah ekuator dan hampir bisa dipastikan akan
makin berupaya mencari pangan, air, dan energi di daerah ekuator. Dalam kata lain Indonesia merupakan
negara yang berada di daerah ekuator yang akan menjadi target negara lain untuk memanfaatkan
sumber daya alamnya.
Perbesar
ADVERTISEMENT
Sumber: bkp.pertanian.go.id
Menhan menjadi orang yang dipercaya untuk menggarap proyek lumbung nasional salah satu
pertimbangannya adalah bahwa presiden tidak hanya memikirkan jangka pendek selama covid19 saja
melaikan jangka Panjang yang nantinya Indonesia bisa berdaulat secara pangan. Menhan yang
merupakan purnawirawan Jenderal bintang tiga dirasa mengerti secara komprehensif modal Indonesia
secara geografis dan demografi. Pemilihan lokasi di Kalimantan Tengah yang merupakan salah satu paru-
paru dunia menjadi pertimbangan yang matang disamping agar lumbung padi nasional tidak terpusat
hanya di Jawa saja. Selain itu pertimbangan pemindahan Ibukota ke Kalimantan nantinya menjadi salah
satu faktor kenapa lumbung nasional berada di Pulau tersebut diluar faktor politik yang ada. Dari segi
demografi, padatnya Pulau Jawa menjadi salah satu faktor, transmigrasi penduduk dari Jawa ke
Kalimantan khususnya para pekerja di bidang pertanian dapat menjadikan salah satu cara transfer
pengetahuan. Pendidikan yang terpusat di Jawa nantinya bisa dinikmati pula di Kalimantan yang
dipastikan akan mengalami pertumbuhan disemua bidang layaknya Jawa apabila program lumbung
nasional dan Ibukota berjalan sesuai dengan rencana.
ADVERTISEMENT
Penunjukan Menhan sebagai penggarap proyek lumbung nasional merupakan langkah tepat ditengah
situasi pandemi covid19, dikarenakan keamanan pangan, air, dan energi merupakan perkembangan
lingkungan strategis dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia diluar unsur politik didalamnya. Proyeksi
lumbung nasional diharapkan tidak sekedar menjadi proyek sesaat dikala pandemi, melainkan jangka
panjang yang mana menjadikan Indonesia berdaulat di bidang pangan demi terwujudnya ketahanan
pangan.
Efisiensi Produksi Padi Terhadap Alih Fungsi Lahan
International Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) merupakan organisasi
terbesar di dunia dalam bidang pertanian dan ilmu terkait. IAAS Indonesia memiliki 11 Local Committees
di seluruh kota Indonesia.
Tulisan dari VDST IAAS Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apakah kamu pernah mendengar temanmu makan mie dengan nasi? Atau bahkan kamu sendiri
melakukan hal tersebut? Yang seperti ini memang sudah sangat wajar di Indonesia. Malah, ada anggapan
jika makan tidak pakai nasi maka bukan ‘makan’ namanya. Namun, jika kamu bertamu ke negara-negara
luar, hal ini tidak lazim adanya - terutama ke negara-negara di benua Eropa dan Amerika yang makanan
pokok sehari-harinya bukan nasi. Diperkirakan, jumlah yang mengonsumsi beras sebagai konsumsi
primer sampai dengan 98% dari total jumlah penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Bahkan, Indonesia
menempati peringkat keempat sebagai konsumen beras tertinggi di dunia setelah Tiongkok, India, dan
Bangladesh pada tahun 2019-2020 menurut data dari United States Department of Agriculture (2021).
ADVERTISEMENT
Konsumsi beras yang tinggi di Indonesia membuat permintaan beras juga meningkat. Hal ini
menyebabkan pemerintah menetapkan kebijakan pengelolaan berencana pada komoditi beras demi
memenuhi ketahanan pangan di Indonesia, baik kebijakan produksi beras maupun kebijakan impor.
Regulasi terkait beras juga mengalami perubahan yang signifikan menyebabkan pengadaan beras
berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat Indonesia (Rahmasuciana, et al., 2016).
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang pesat akan sangat mempengaruhi jumlah permintaan beras di
Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2018) di Kecamatan Asparaga, Gorontalo,
kenaikan jumlah penduduk berbanding positif dengan kebutuhan beras, sehingga pertambahan
penduduk di Indonesia juga akan meningkatkan konsumsi beras masyarakat Indonesia.
Pertambahan penduduk juga meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian,
seperti : perumahan, pabrik, pertokoan, dan sarana lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Prabowo,
dkk (2020) yang menyatakan bahwa kompetisi antara penggunaan sektor pertanian untuk sektor non
pertanian disebabkan oleh tiga fenomena ekonomi sosial. Ketiga faktor tersebut antara lain keterbatasan
sumber daya alam, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, jika konversi
lahan pertanian terus terjadi, produksi beras dalam negeri tidak dapat mencukupi kebutuhan penduduk
yang berdampak pada ketahanan pangan di Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistika tahun 2020, produksi padi di Indonesia sepanjang Januari hingga
September 2020 diperkirakan sekitar 45,45 juta ton GKG (Gabah Kering Giling), atau mengalami
penurunan sekitar 1,49 juta ton (3,17 %) dibandingkan produksi di 2019 yang sebesar 46,94 juta ton
GKG. Sementara itu, potensi produksi sepanjang Oktober hingga Desember 2020 sebesar 9,71 juta ton
GKG. Dengan demikian, total potensi produksi padi pada 2020 diperkirakan mencapai 55,16 juta ton
GKG, atau mengalami kenaikan sebanyak 556,51 ribu ton (1,02 persen) dibandingkan tahun 2019 yang
sebesar 54,60 juta ton GKG.
Jika masyarakat terus menjadikan beras sebagai makanan pokok yang sulit didiversifikasi, maka akan
berimplikasi pada sisi permintaan. Permintaan yang tinggi setidaknya menuntut pemerintah menerapkan
kebijakan harga beras murah. Harga beras nasional dikendalikan untuk melindungi konsumen beras,
khususnya masyarakat berpendapatan rendah. Kebijakan harga beras murah memang menguntungkan
konsumen, namun merugikan bagi petani produsen padi. Pada gilirannya, harga beras murah akan
menekan bahkan menghilangkan insentif ekonomi bagi petani produsen padi dan tidak menutup
kemungkinan bagi petani untuk beralih ke non padi.
ADVERTISEMENT
Kondisi produktivitas seperti ini dapat ditingkatkan melalui upaya intensifikasi atau perbaikan teknologi.
Upaya ini lebih memungkinkan mengingat peningkatan produksi melalui ekstensifikasi atau perluasan
lahan sawah semakin tidak efisien. Keterbatasan anggaran pemerintah untuk pembukaan lahan irigasi
dan tingginya kompetisi penggunaan lahan untuk kegiatan nonpertanian, berdampak pada peningkatan
produksi padi melalui perluasan lahan sawah menjadi semakin mahal. Alternatif yang perlu dipikirkan
adalah meningkatkan produktivitas lahan melalui efisiensi.
Konsep efisiensi yang digunakan dalam tulisan ini mengacu kepada efisiensi yang dikemukakan oleh
Farrell (1957) dan Coelli et al. (1998). Efisiensi digolongkan menjadi tiga, yaitu efisiensi teknis, efisiensi
alokatif, dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis memperlihatkan kemampuan relatif dari perusahaan
(Usahatani) untuk memperoleh output tertentu dengan menggunakan jumlah input tertentu pada
tingkat teknologi tertentu. Efisiensi alokatif memperlihatkan kemampuan relatif dari usahatani untuk
menggunakan input untuk menghasilkan output pada kondisi biaya minimal atau keuntungan maksimal
pada tingkat teknologi tertentu. Efisiensi alokatif bisa diperoleh pada kondisi usahatani yang efisien
secara teknis. Jika efisiensi alokatif diperoleh pada kondisi efisien secara teknis usahatani tersebut
berada pada kondisi efisiensi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya peningkatan produksi beras nasional melalui jalur ekstensifikasi tampaknya semakin sulit
karena terbatasnya penyediaan lahan pertanian produktif dan konversi lahan dari pertanian ke non
pertanian sulit dibendung karena berbagai alasan. Upaya peningkatan produksi beras melalui efisiensi
teknis menjadi pilihan yang tepat. Efisiensi teknis usahatani padi di Indonesia diduga masih dapat
ditingkatkan karena tingkat efisiensi teknis usahatani padi menurut penelitian sebelumnya berkisar 50-
90 %.
Peningkatan IP (Intensitas Pertanaman) merupakan langkah kebijakan dan program yang strategis untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan lahan yang tersedia. Strategi ini merupakan kompensasi dari
konversi lahan, mengingat kondisi keuangan negara tidak memungkinkan membuka sawah baru dengan
fasilitas irigasinya. Potensi dan peluang lain adalah meningkatkan mutu intensifikasi melalui penggunaan
varietas unggul dan teknik budidaya yang sudah maju dengan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu).
Upaya terakhir ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi per satuan luas lahan. Strategi
peningkatan produksi melalui peningkatan IP dan penerapan teknologi PTT pada lahan sawah yang ada
memerlukan dukungan berbagai kebijakan, antara lain : perbaikan infrastruktur berupa jaringan irigasi,
jalan usahatani, dan jalan desa. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan membuka
akses pasar, baik pasar input maupun pasar hasil pertanian. Selain itu, juga diperlukan pengadaan dan
penyaluran kredit lunak yang mudah diakses sebagai sumber modal petani. Dengan pendekatan dan
dukungan kebijakan ini, diharapkan produksi padi masih tetap tumbuh bahkan mampu mencapai dan
mempertahankan swasembada beras.
ADVERTISEMENT
Written by: Alfa Putri Lathifa dan Nur Baetikha Janah - IAAS LC UNDIP
References:
Badan Pusat Statistik (BPS). 2020. “Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia 2020 (Angka Sementara)”
diakses dari http://www.bps.go.id/, diakses pada tanggal 3 Mei 2021 pada jam 22.45 WIB.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2020. “Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia 2020 (Angka Tetap)”
diakses dari http://www.bps.go.id/, diakses pada tanggal 3 Mei 2021 pada jam 23.10 WIB.
Ismail, I. 2018. Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap Konsumsi Beras di Kecamatan Asparaga Kabupaten
Gorontalo. Gorontalo Development Review. 1(1) : 74-85.
Kusnadi, N., N. Tinaprilla, S. H. Susilowati, dan A. Purwoto. 2016. Analisis efisiensi usahatani padi di
beberapa sentra produksi padi di Indonesia. Repository Kementerian Pertanian.
ADVERTISEMENT
Noer, S. R., W. A. Zakaria, dan K. Murniati. 2020. Analisis efisiensi produksi usahatani padi ladang di
Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan. J. Ilmu Ilmu Agribisnis : Journal of Agribusiness
Science. 6 (1) : 17-24.
Prabowo, R., A. Z. N. Bambang. dan Sudarno. 2020. Pertumbuhan Penduduk dan Alih Fungsi Lahan
Pertanian. Mediagro. 16 (2) : 26-36.
Rahmasuciana, D.Y., Mulyo, D.H. and MASY, M. 2016. Pengaruh Pengadaan Beras dan Operasi Pasar
terhadap Harga Beras dalam Negeri. Agro Ekonomi. 26(2) : 129-138.
Riyadi DM. 2002. Permasalahan dan Agenda Pengembangan Ketahanan Pangan: Tekanan penduduk,
degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Pusat Dalam: Prosiding Studi Pembangunan dan Proyek
Koordinasi Kelembagaan Ketahan Pangan.
Feradis
Perencana pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau
ADVERTISEMENT
Follow
Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang
sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan
kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga
terjadi jika ketahanan pangan terganggu.
Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Karena itu perlu diwaspadai risiko langkanya bahan pangan bagi keberlangsungan hidup negara.
Mengingat tingginya risiko kelangkaan bahan pangan ini, Presiden RI Pertama, Bung Karno, pernah
mengingatkan rakyat Indonesia dalam salah satu pidatonya, “Pangan merupakan mati hidupnya suatu
bangsa. Bila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, maka malapetaka”.
Prediksi IMF terhadap perekonomian global yaitu pertumbuhan ekonomi dunia turun hingga 3%,
terburuk setelah Krisis Malaise (The Great Depression) 1930-an dan ekonomi negara-negara berkembang
tumbuh minus 2,2%.
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 berdampak pada berbagai tatanan kehidupan masyarakat. Pada masa pandemi
kebijakan PSBB terdapat potensi kelangkaan bahan pangan di perkotaan dan kelebihan produksi di
perdesaan. Pasca pandemi, pasokan supplies raw material berpotensi terhadap penurunan produksi di
perdesaan sehingga ketahanan pangan menjadi terganggu.
Dalam laporan “Early Warning Early Action Report on Food Security and Agriculture” FAO memberi
peringatan tentang potensi krisis pangan sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Berbagai bantuan pemerintah seperti pembagian sembako ataupun Program Keluarga Harapan (PKH)
untuk sementara dapat mengatasi situasi kurang pangan yang mungkin terjadi di tingkat keluarga.
Konsumsi pangan sangat menentukan apakah seluruh anggota keluarga bisa mencapai derajat kesehatan
yang optimal atau tidak. Kondisi ketahanan pangan keluarga yang rapuh memunculkan kekhawatiran
lanjutan yaitu memburuknya status gizi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada anak, kurang gizi menyebabkan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan potensinya, sehingga anak-
anak tumbuh kerdil dan kurus (stunting). Pada usia muda, berpengaruh terhadap perkembangan otak
sehingga kemampuan berpikir terbatas, bahkan bisa menyebabkan gangguan fungsi otak secara
permanen. Selain itu, juga menyebabkan kurang tenaga sehingga menyebabkan orang lemah, malas dan
produktivitas menurun.
Ketahanan gizi merupakan cerminan intake gizi dan status gizi masyarakat yang menjadi input bagi
terbentuknya individu yang sehat. Banyak faktor yang menentukan ketahanan gizi. Kemiskinan
menyulitkan akses pangan dan merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi ketahanan gizi
keluarga yang optimal.
Munculnya masalah gizi kurang, termasuk stunting yang dialami negara-negara sedang berkembang,
merupakan indikasi lemahnya ketahanan gizi di kalangan penduduknya. Indonesia termasuk negara
dengan jumlah penderita gizi kurang (malnutrisi) masih relatif tinggi, meski diakui sudah lebih baik
daripada dekade sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kita juga masih harus mengatasi persoalan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), <2,5 kg. Kasus
BBLR terjadi ketika ibu hamil mengalami kurang pangan. Kondisi pandemi Covid-19 dapat menyebabkan
kurangnya kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi masyarakat. Ibu hamil termasuk kelompok
rawan yang bisa terdampak kurang pangan akibat pandemi Covid-19.
Menurut Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan Kemendesa PDTT RI, tahapan pengembangan
ketahanan pangan desa sebagai berikut, pada tahap pertama, dilakukan pengumpulan data pangan desa,
meliputi: identifikasi ketersediaan pangan desa, pemetaan potensi sumber daya produksi (lahan, air,
SDM dan kelembagaan), identifikasi aksesibilitas desa terhadap pangan.
Tahap kedua, peningkatan produksi pangan, meliputi: perlindungan dan bantuan petani (bibit, pupuk,
peralatan, insentif dan asuransi) dan pemanfaatan teknologi pertanian (smartfarming).
ADVERTISEMENT
Tahap ketiga, penguatan cadangan pangan desa, meliputi: pembangunan gudang untuk penyimpanan
hasil panen, pembangunan sarana prasarana pendukung distribusi dan logistik, dan inovasi teknologi
pengolahan pangan agar lebih awet.
Tahap keempat, manajemen perdagangan, meliputi penguatan peran Badan Usaha Milik Desa (BUM
Desa) dan koperasi untuk menjamin stabilisasi pasokan dan harga.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa memiliki keleluasaan
untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kondisi adat dan budaya setempat, termasuk
dalam pemanfaatan dana untuk ketahanan pangan.
Desa merupakan basis produksi bahan pangan. Lebih dari 97% desa berbasis pertanian. Desa memiliki
BUM Desa. Terdapat lebih dari 45.595 BUM Desa. BUM Desa dapat dimanfaatkan untuk ketahanan
pangan. Selain itu, adanya Permendesa PDTT No.1/2015 telah mengarusutamakan ketahanan pangan
dalam pembangunan desa.
ADVERTISEMENT
Desa memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) yang dapat digunakan untuk
ketahanan pangan. Dana desa yang dialokasikan tahun 2020 sebesar Rp72 triliun diperuntukkan bagi
74.953 desa. Begitu juga tahun 2021, dana desa dianggarkan sebesar Rp 72 triliun sebagaimana
dituturkan Menteri Desa, PDTT RI, dan akan diprioritaskan untuk pembangunan nasional berkelanjutan
di desa atau Sustainable Development Goals (SDGs) dimana salah satu tujuannya adalah mengakhiri
kelaparan.
Krisis Makanan: Bagaimana Ketahanan Pangan Kita?
BRORIVAI CENTER
Tulisan dari BRORIVAI CENTER tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
ADVERTISEMENT
Follow
Kumparan.com - Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap
saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tertuang
dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996).
Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar
dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan
suatu bangsa.
Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan
ekonomi, bahkan dapat begejolak secara sosial dan politik apabila ketahanan pangan terganggu. Kondisi
pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan ketahanan nasional.
Menurut FAO Agricultural and Development Economics Division (June 2006) tentang “Food Security",
ketahanan pangan dimaknai sebagai ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk
mengaksesnya.
Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam
kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.
Ketahanan pangan juga merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau
ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan,
kelangkaan bahan bakar, ketidakstabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Penilaian ketahanan dapat dilihat dari kacamata keswadayaan atau keswasembadaan perorangan (self-
sufficiency) dan ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor risiko yang dihadapi oleh
suatu negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hari ini masih banyak orang lapar. Salah satu ancaman serius dan ditakuti
oleh umat manusia di muka bumi ini adalah terjadinya kelangkaan akan kecukupan pangan. Kelangkaan
pangan ini telah menimbulkan persoalan-persoalan sosial dan politik yang serius.
Di negara-negara Timur Tengah dan Afrika menjadi pengalaman yang berharga. Tingginya harga pangan
menjadi salah satu sebab munculnya gerakan reformasi yang radikal. Mozambique adalah salah satu
negara contoh yang mengalami persoalan pangan dan berakhir pada ketidakstabilan politik.
Adanya dampak sosial yang cukup memprihatinkan dari meroketnya harga pangan dunia menciptakan
kerusuhan-kerusuhan horizontal dan sekaligus mengancam stabilitas keamanan negara itu.
ADVERTISEMENT
Tuntutan masyarakat akan pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin mahal mendorong permintaan
akan peningkatan pendapatan demi bertahan dalam situasi ekonomi dan politik yang sulit.
Berdasarkan laporan Food Security Information Network (FSIN), 2017, kemungkinan krisis pangan dunia
semakin memburuk, dan tampaknya keadaan ini akan bertambah parah di sejumlah tempat di dunia,
khususnya di beberapa negara yang ketahanan pangannya rendah, sehingga berpotensi menghadapi
tingginya risiko kelaparan.
Wilayah dan negara yang disinyalir memiliki potensi kelaparan yang tinggi antara lain di beberapa
wilayah di Timur Laut Nigeria, Somalia, Sudan Selatan dan Yemen. Penyebab kelaparan di beberapa
negara ini yakni karena adanya konflik bersenjata, kekeringan, buruknya situasi ekonomi makro, dan
politik.
Sebagaimana yang diumumkan FSIN, bahwa terdapat 108 juta orang menghadapi tingkat kritis
kerawanan pangan pada 2016, dan terus meningkat secara drastis dari angka di tahun sebelumnya yang
tercatat sekitar hanya 80 juta orang. Penyebaran daerah rawan pangan akan terjadi di beberapa wilayah
Asia lainnya menyusul Irak, Suriah, Malawi dan Zimbabwe.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Organisasi Pangan Dunia
(FAO), diestimasi sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan. Penyebab
utamanya adalah kemiskinan.
Saat ini, Indonesia juga dinilai turut menghadapi hal yang sama seperti negara-negara di Timur Tengah
dan Afrika. Fakta menunjukkan bahwa masih banyak penduduk bangsa kita yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangannya.
Secara kasat mata di wilayah bagian timur Indonesia, seperti Papua, NTT dan Maluku dan sebagian
Kalimantan dihadapkan pada masalah ketahanan pangan yang serius.
Estimasi adanya 20 juta atau 19,4 juta orang di Indonesia yang kelaparan setiap harinya menarik untuk
menjadi atensi agar dapat diteliti lebih jauh sebab musabab, sekaligus dapat memastikan langkah-
langkah ideal yang dapat menjadi solusi bagi aksi pemerintah di masa depan.
ADVERTISEMENT
Meskipun Indonesia dinilai berhasil menurunkan angka kelaparan hingga setengahnya, tapi masih
banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi penduduk yang kini tidak lagi memiliki
makanan yang cukup.
Seperti diketahui, presentase penduduk Indonesia yang kelaparan, turun dari 19,7 persen di tahun 1990-
1992, menjadi hanya 7,9 persen di tahun 2014-2016. Faktor pertumbuhan ekonomi yang pesat cukup
membantu Indonesia menurunkan angka kelaparan hingga 50 persen.
Kondisi ini tidak serta merta menyelesaikan masalah, karena Indonesia masih dinilai lambat dalam
mengatasi pemenuhan kebutuhan pangan dengan meningkatkan pasokan melalui peningkatan produksi
beras dan mengembangkan tanaman bernilai lebih tinggi.
Karena itu, fokus pemerintah pada pasokan pangan nasional harus mengacu pada pemahaman yang
lebih modern tentang isu ketahanan pangan. Ketahanan pangan itu sendiri jangan hanya dimaknai
sebagai ketersediaan domestik dan stabilitas pasokan pangan.
ADVERTISEMENT
Sejak pertengahan 1990-an, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sudah menambahkan akses individu
(keterjangkauan makanan dan preferensi makanan individu) dan pemanfaatan (keamanan pangan dan
manfaat gizi) untuk mencapai yang disebut ketahanan pangan.
Konsepsi ketahanan atau yang lazim disebut “keamanan pangan/food security” ini menunjukkan bahwa
solusi yang lebih efektif untuk masalah ini adalah meningkatkan persaingan di pasar pangan domestik.
Persaingan yang dimaksud adalah mengarah pada kemajuan teknologi, peningkatan kualitas makanan,
dan penurunan harga.
Persaingan di pasar pangan domestik dan peningkatan ketersediaan pangan pada dasarnya dapat
membuka peluang terciptanya pasar dan juga impor yang lebih murah.
Disinilah kemudian muncul dilema dalam mengatasi kondisi krisis makanan, karena banyaknya
kepentingan dan perbedaan pandangan tentang pentingnya atau tidak pentingnya impor untuk
mencapai ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Sebagian masyarakat memiliki pemahaman bahwa impor adalah penyebab tidak tercapainya ketahanan
pangan dan merugikan para petani, atau sebaliknya, karena tidak adanya alternatif tambahan impor
akan menimbulkan potensi terjadinya krisis makanan.
Dalam upaya mengaktualisasikan konsep ketahanan pangan sungguh dilematis, karena sangat terkait
dengan dinamika politik domestik, apalagi menjelang pemilu 2019.
Secara faktual, bila kita mencermati undang-undang yang ada (lihat Perpres Nomor 48 Tahun 2016),
menetapkan dan mencatat bahwa impor hanya diperbolehkan ketika suplai domestik tidak cukup,
sehingga kebijakan impor sifatnya sangat situasional dan dibutuhkan pertimbangan yang matang.
Pada dasarnya yang harus dipahami oleh masyarakat luas adalah tidak ada pemerintahan yang berhasil
dalam merencanakan produksi dan konsumsi secara akurat untuk seluruh negeri, apalagi sebuah negara
dengan populasi yang sangat besar seperti Indonesia.
Perbesar
ADVERTISEMENT
Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan
pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan
seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, berkembang menjadi
krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial dan stabilitas politik.
Pentingnya swasembada pangan menjadi keniscayaan. Artinya kita harus mampu untuk mengadakan
sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang
sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimiliki dan pengetahuan lebih yang
dapat menopang kegiatan ekonomi.
Hari ini, isu swasembada menarik untuk dibicarakan karena Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris
di samping potensi maritim. Lajunya pertumbuhan penduduk yang positif membuat Indonesia harus
terus menerus memacu produksi berasnya agar tetap swasembada beras.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, fenomena banjir dan kekeringan yang semakin tidak terkendali dan tingginya laju konversi
fungsi lahan sawah ke penggunaan yang lain di luar produksi beras akhir-akhir ini, mengisyaratkan bahwa
risiko akan terjadinya kegagalan produksi beras di negeri ini semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Merosotnya kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan
irigasi bahkan telah membuat kondisi produksi semakin buruk, sehingga sangat mungkin terjadi suatu
periode waktu tingkat produksi beras nasional jatuh pada level yang jauh di bawah target.
Artinya, pada saat tertentu Indonesia akan kekurangan beras dalam jutaan ton. Suka atau tidak suka,
jelas kiranya jalan menuju ketahanan pangan nasional yang lestari bukanlah swasembada beras semata,
tetapi swasembada pangan. Pada saatnya penduduk negeri ini harus melakukan diversifikasi pangan
untuk mengatasi masalah nasional ini.
ADVERTISEMENT
Dihadapkan pada isu impor beras dalam mengatasi ketahanan pangan, tentu menjadi penilaian
tersendiri bagi pemerintah karena dianggap gagal mewujudkan swasembada. Ini juga dimaknai sebagai
bentuk kegagalan pemerintahan di bidang pertanian.
Akhir-akhir ini, isu yang mengemuka dan menjadi polemik mengenai keterbatasan dan ketersediaan
beras di gudang Bulog yang tinggal 590.000 ton, yang dinilai jauh dari batas aman stok beras nasional
yaitu 2 juta ton. Tidak mengherankan, ketika Bulog tidak mampu menyerap beras dari petani maka
pasokan beras ke masyarakat juga akan ikut terganggu.
Sekalipun pemerintah mencari solusi untuk mengatasi masalah penyerapan beras oleh Bulog dengan
menaikkan harga pembelian gabah maupun beras, namun tetap saja stok beras tidak memadai, sehingga
alternatif impor tetap menjadi pilihan. Sungguh ironis negeri ini.
ADVERTISEMENT
Dalam UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan sesungguhnya tidak hanya berbicara tentang ketahanan
pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan
kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan
pangan (food safety).
Kedaulatan pangan menjadi harapan dan hak semua segenap bangsa dan negara dan untuk secara
mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang mampu
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal.
Wujud kemandirian ini tercermin pada kemampuan negara dan bangsa kita dalam memproduksi pangan
yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang
cukup sampai di tingkat perseorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia,
sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, dalam menyikapi urusan pangan ini, pemerintah harus mengevaluasi tujuan dan sasaran
swasembada pangan itu sendiri. Kita harus merujuk pada kemampuan bangsa ini untuk menjamin
kebutuhan pangan seluruh penduduk secara proporsional (cukup).
Konsep ketahanan pangan dan swasembada, serta pemenuhan kebutuhan pangan tidak selalu
didasarkan dari sisi impor, melainkan didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal dan
apabila terjadi krisis, aksi impor hanya bersifat “last resort”.