(Revisi) Bab 1, 2, 3, 4. 5 Ellza Mutia F - Edit-1
(Revisi) Bab 1, 2, 3, 4. 5 Ellza Mutia F - Edit-1
(Revisi) Bab 1, 2, 3, 4. 5 Ellza Mutia F - Edit-1
SKRIPSI
195110800111004
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
PERNYATAAN KEASLIAN
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
APPROVAL SHEET
iv
KATA PENGANTAR
v
ABSTAK
vi
ABSTRACT
vii
DAFTAR ISI
Contents
PERNYATAAN KEASLIAN.................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................... iii
APPROVAL SHEET................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR............................................................................................... v
ABSTAK.................................................................................................................... vi
ABSTRACT............................................................................................................... vii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. xiv
BAB I......................................................................................................................... 1
BAB II PENDAHULUAN......................................................................................... 1
2.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
2.7 Metodologi....................................................................................................... 20
viii
2.1. Lingkungan Geografis Desa Madiredo........................................................ 21
Selain bertani, beberapa diantara mereka memelihara dua sampai lima sapi yang
mereka manfaatkan susunya untuk diperah. Kandang sapi terletak di bagian belakang
rumah, setelah dapur. Sapi betina diperah susunya setiap 15 hari sekali, yang berarti
dalam satu bulan, masyarakat yang memelihara sapi betina mendapatkan penghasilan
dari susu sapi tersebut dua kali selama satu bulan. Susu sapi yang diperah kemudian
dijual di Koperasi Susu dan pendapatannya bisa mencapai 900.000 rupiah tiap
perahannya.............................................................................................................. 29
5. 1 . Kesimpulan............................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 78
ix
Gambar 2.1 Letak Gerografis Madiredo 22
Gambar 3.3b Buruh Perempuan yang sedang merempes pohon apel ......................... 48
Gambar 4.3a Buruh perempuan mengambil jeruk peras milik petani ........................ 70
Gambar 4.3.b Cabai dan sawi yang dibawa pulang buruh perempuan ....................... 71
x
xi
BAB I PENDAHULUAN
Pujon terletak di dataran tinggi yang cocok untuk ditanami sayuran yang cocok
untuk ditanami sayuran dan buah-buahan. Desa Madiredo merupakan salah satu
desa yang terletak di Kecamatan Pujon. Desa ini berbatasan secara langsung dengan
Dilansir dari (kumparan.com) tahun 2020 total 90% luas kebun apel di Desa
Madiredo mencapai 420 hektar yang berarti jika dijumlahkan luas kebun di desa ini
mencapai 467 hektar. Ketika mengunjungi Desa Madiredo, saya melihat bahwa
lahan pertanian di Desa Madiredo tidak hanya ada budidaya apel, pada beberapa
wilayah ada beberapa jenis tanaman lainnya seperti wortel, kentang, buncis, pokcoy,
jagung, dan sebagainya. Kedua jenis tanaman (buah dan sayuran) terletak
berdampingan di struktur tanah yang sama. Dalam hal pertanian, masyarakat Jawa
tergantung pada budidaya padat karya, kecil-kecilan, dan aneka tanaman (multicrop)
(Geertz, 1983). Kondisi geografis itu, menguntungkan desa ini untuk pertanian. Hal
ini menjadikan sebagian besar pekerjaan warga di desa ini adalah petani.
miliknya yang biasanya adalah sayuran untuk kemudian dijual di pasar dan
mendapatkan keuntungan darinya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh (Suryanata,
1
2
malang pada tahun 1984 tercatat total ada 7,3 juta pohon apel di Batu bertambah
menjadi total 9 juta pohon apel di tahun 1988. Produksinya sendiri naik dari 146.690
ton menjadi 275.065 ton. Lahan seluas 1 hektar pohon apel dapat menghasilkan total
10 ton buah apel dalam sekali panen. Dalam sejarahnya, para petani di tahun 1950
Budidaya apel kemudian mulai masuk ke Pujon sekitar tahun 1990. Pada saat
itu, ketika budidaya apel sedang populer dan banyak peminatnya di Malang,
masyarakat Pujon mulai ikut budidaya apel. Cuaca dingin di waktu itu menjadi
faktor utama pendukung budidaya apel menjamur dan diminati banyak petani.
Pohon apel yang usianya masih muda dan sedang sehat-sehatnya menjadikan
banyak petani pemilik lahan budidaya apel memiliki kedudukan yang istimewa.
pekerjaan yaitu petani dan buruh tani untuk menggarap kebun. Menurut penjelasan
dari (bps.go.id) petani sendiri memiliki definisi seseorang yang mempunyai usaha di
bidang pertanian dengan risikonya untuk kemudian dijual. terdapat dua jenis petani,
bukan merupakan petani, melainkan orang yang bekerja di ladang atau sawah milik
membeli lahan kebun untuk mengusahakan budidaya apel. Beberapa petani lainnya
mengganti lahan kebun sayuran miliknya menjadi kebun apel, pada saaat itu. Ini
kemudian berdampak pada perluasan kesempatan kerja bagi para buruh tani di
Madiredo.
adalah para perempuan. Mereka bekerja sebagai buruh tani apel, menggarap
pekerjaan bertani di kebun apel milik petani dengan mengharapkan upah harian
darinya. Pencitraan dari buruh perempuan sendiri adalah buruh yang ideal, terampil,
rapi, teliti, dan patuh. Selain itu, buruh perempuan dianggap bahagia dengan
dan mudah diatur (Tjandraningsih, 2021). Dalam pertanian apel, buruh perempuan
perempuan juga memetik apel ketika sudah masa panen. Keterlibatan buruh
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi apel semakin merosot. Dilansir dari
Klimatologi dan Geofisika terus meningkat. Tercatat di tahun 2009 ke tahun 2010
produksi apel yang semula 129.15,2 ton turun mencapai 84.278,9 ton yang berarti
produksi apel hanya mencapai 70.000 ton. Pada tahun 2013 produksi apel kembali
naik menjadi 83.891, 5 ton. Selanjutnya, produksi apel kembali menurun menjadi
menginggalkan tempat tinggalnya untuk mencari kesempatan kerja yang lebih luas
dan besar, menandakan bahwa migrasi di masyarakat pedesaan Jawa masih rendah
(Husken, 1998). Hal itu menjadi salah satu faktor perempuan di Desa Madiredo
apel itu sendiri karena usianya yang sudah tidak remaja, membuat para petani apel
menghindari kerugian yang akan didapat pada kemudian hari. lahan bekas apel
tersebut kemudian dirombak sedemikian rupa menjadi lahan sayuran, seperti dulu
Setelah melalui masa kejayaan apel malang, dinamika produksi apel malang
pada saat ini sedang mengalami penurunan. Penurunan produksi apel ternyata
menyandarkan hidupnya di sektor ini. Hal itu membuat para petani pemilik lahan
tenaga kerja yang tertutup, yaitu mengurangi para pekerja yang kurang produktif.
yang baik yaitu ikut mendorong kesejahteraan keluarganya. Selain itu, kebutuhan
Hal ini kemudian menjadi penting untuk dikaji lebih jauh untuk mengetahui
geografi Desa Madiredo yang strategis untuk ditanami berbagai macam tanaman.
Kemudian tidak hanya berdampak pada pertanian saja, buruh tani perempuan yang
bekerja di kebun apel juga terkena imbas dari turunnya produksi apel. Ini juga
menjadi menarik untuk ditelusuri lebih mendalam mengenai sejauh mana pengaruh
perubahan dinamika penurunan produksi apel bagi buruh tani wanita dan bagaimana
Desa Madiredo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pujon
dimana desa ini memiliki wilayah perkebunan yang luasnya mencapai 467 hektar.
Lahan seluas 467 hektar juga ditanami berbagai macam sayuran yang cocok untuk
dataran tinggi. Kondisi geografis ini, menjadikan mayoritas warga di Desa Madiredo
bekerja sebagai petani atau buruh tani. Produksi apel sendiri mulai masa
keemasannya di Malang pada tahun 1970 an. Hal ini menjadi salah satu faktor
terbukanya lapangan pekerjaan di Desa Madiredo yaitu sebagai buruh tani apel.
Salah satu yang menangkap peluang pekerjaan ini adalah perempuan. Namun, dalam
beberapa tahun terakhir, produksi apel menurun yang berdampak pada keseluruhan
aspek yang berhubungan dengan pertanian apel. Dalam hal ini, kemudian peneliti
3. Bagaimana perilaku dan strategi yang dilakukan buruh tani perempuan terhadap
setelah dinamika apel mengalami penurunan. Berkaitan dengan itu, penelitian ini juga
mendeskripsikan dan mengkaji lebih dalam mengenai strategi yang dilakukan para
buruh tani perempuan untuk bertahan di kondisi ketika dinamika penurunan buruh apel.
Harapannya penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian di masa
depan mengenai pertanian subsisten dan cash crop khususnya pada pertanian apel
di malang. Tidak hanya itu, penelitian saya juga harapannya bisa dijadikan sebagai
Madiredo dan masyarakat yang lebih luas mengenai pola perubahan pertanian yang
7
terjadi di Desa Madiredo sebagai pusat pertanian di Pujon, Kabupaten Malang. Hal
ini menjadi penting karena pola perubahan yang terjadi merupakan bagian dari
sejarah pertanian di desa tersebut. Kemudian, harapannya penelitian ini juga bisa
kewargadesaan yang kuat, usaha pemilikan tanah oleh orang-orang luar mendapat
tantangan dari lokal dan mustahil, terdapat peningkatan tajam dalam stratifikasi,
serta konflik intra-elit juga meningkat dan memecah belah desa dan wilayah
Koncincin yang memiliki sistem pertanian komersial. Wilayah Koncincin tidak ada
sistem kepangkatan intern yang rumit, pasar tanah terbuka yang membolehkan siapa
saja membeli tanah di desa, dan tidak ada persoalan mengenai warga local atau
Koncincin sangat berbeda (dari segi politik dan ekonomi) dengan desa-desa di
Annam dan Tonkin pada masa kolonial. Selain itu, Popkin juga ingin mengetahui
mengapa dan bagaimana perubahan di daerah Annam dan Tonkin itu terjadi.
Berawal dari sistem pajak dari Perancis yang dibebankan kepada laki-laki di
setiap desa termasuk petani miskin. Di Annam dan Tonkin ketika petani tersebut
tidak dapat membayar pajaknya, maka pajak tersebut akan dibebankan ke anggota
keluarga lainnya. Ketika anggota keluarga lainnya tidak bisa membayarkan pajak
8
tersebut, maka harta dari petani tersebut akan di lelang, dan apabila cara tersebut
masih gagal, maka petani akan menjual anaknya sebagai budak kepada orang lain.
Sistem ini berpengaruh besar kepada petani subsistensi yang miskin cadangan tunai
(Popkin, 1986). Mereka akan menjual hasil tani sesegera mungkin setelah panen.
Banyaknya petani yang melakukan hal yang sama membuat harga menjadi turun
drastis.
dibandingkan dengan Annam dan Tonkin. Kehadiran Prancis sendiri lebih kuat di
menguasai daerah ini. Tiap kelas di Koncincin sedikit lebih tinggi dibandingkan
di Annam dan Tonkin tidak cukup menjelaskan besarnya perbedaan politik dan
ekonomi di kedua wilayah tersebut (Popkin, 1986). Dua faktor yang menjadi
terdapat banyak tanah luas dan tidak bertuan dan sistem produksi seperti sistem
irigasi dan curah hujan di wilayah Koncincin lebih dibandingkan dengan daerah
mengenai sistem pengairan seperti daerah lainnya. Hal yang mebuat daerah
Koncincin minim konflik intra desa dan intra desa dibandingkan dengan wilayah
lainnya.
9
Terdapat dua jenis tanaman yang dipaksakan dalam sistem itu yaitu, tanaman
tahunan yang dapat digilir dengan padi (tebu, nila, tembakau) dan tanaman keras
yang tidak dapat digilir dengan padi (kopi, teh, dan lada). Dalam tulisannya, Geertz
mengambil kasus dua tanaman yang memberi keuntungan yang tinggi untuk
ekonomi rakyat petani, yaitu tenu dan kopi. Berbeda dengan kopi, tenaga kerja
yang dibutuhkan untuk tebu berubah-ubah besarnya sesuai dengan musim. Tenaga
Penelitian tentang pertanian subsisten dan cash crop juga telah dilakukan oleh
Siti Zurinani (2012) berjudul “Budidaya Kopi di Hutan dan Dinamika Pelapisan
Sosial Petani Jawa”. Dalam tulisannya Zurinani (2012) ingin mengetahui apakah
penanaman kopi di hutan mengubah status quo ataukah mempertahankan status quo
sawah yang ditanami padi dan jagung untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi dan
memadatkan kawasan hutan dengan budidaya kopi. Mereka tidak menebang atau
kopi di sela-sela pohon yang sebelumnya sudah ada di hutan. Pada saat itu,
Semakin berjalannya waktu, akses jalan menuju pasar menjadi lebih baik dan
nyaman. Kepemilikan barang untuk produksi kopi juga semakin modern yang
menjadikan proses produksi budidaya kopi lebih efektif. Tidak hanya itu,
peningkatan. Salah satu petani yang sebelumnya termasuk kelas menengah, ketika
kopi di pasar yang tinggi dan peran pemerintah, petani tersebut mulai menanam kopi
dan berhasil menguasai 3,3 ha kebun kopi di hutan. Petani tersebut kemudian di
tahun 2000 membeli televisi dengan parabolanya dan memperbesar daya listrik dari
Jawa Timur mengalami perubahan ekonomi yang disebabkan oleh berubahnya tata
guna lahan yang dramatis. Dimulai dari tahun 1980 dimana permintaan pasar
11
terhadap buah-buahan meningkat yang cepat ditanggapi oleh para petani di lahan
secara drastis karena ini. Salah satu buah yang mulai diproduksi karena
Dalam penelitiannya, (Suryanata, 2002) memilih dua lokasi yaitu Sukarejo yang
pertaniannya sudah terintegrasi dengan pasar sejak akhir abad 19 karena produksi
sayurannya dan desa Wanasari dimana mesyarakatnya hanya bertani untuk sekedar
buahan mengubah sistem pertanian dan orientasi kedua desa tersebut kepada pasar.
Pada tahun-tahun awal menanam pohon apel, para petani juga secara bersamaan
Pupuk kandang mulai tergantikan oleh pupuk kimia pada akhir tahun 1970-an.
Hal ini bersamaan dengan peluang investasi menanam sayuran meluas dan peluang
berdagang juga membesar. Hal ini berdampak pada penurunan daya tarik
(maro) yang menghubungkan petani miskin dan kaum pemilik modal. Beberapa
separuh hasil dari usahanya kepada mereka pemilik modal yang mau membiayai
Sukarejo. Para petani kecil di desa ini tetap bisa menanam sayuran meskipun pohon
12
apel yang tumbuh di lahannya disewa orang lain. Pohon apel sendiri menjadi aset
tumbuhnya. Kebutuhan uang tunai biasanya berasal dari biaya pemeliharaan kebun
apel yang belum membuahkan hasil. Untuk hal itu, cara yang dilakukan adalah
menyewakan sebagian pohon yang digarap. Permasalahan nominal dari uang yang
dibayar akan dirundingkan oleh penyewa dan pemilik lahan, namun dalam hal ini
pemilik lahan memiliki posisi yang lebih lemah dibandingkan penyewa. (Suryanata,
2002) juga mengungkapkan bahwa sekitar seperempat dari pemilik lahan bekerja
sebagai pekerja upahan di lahan mereka sendiri. Dengan ini, para pemilik lahan
dapat sekaligus memastikan bahwa tanaman sayur mereka tidak terinjak-injak oleh
penyewa.
Budidaya apel juga memunculkan lembaga baru serupa dengan sistem bagi hasil
sayuran di tahun 1970-an. Para pemilik lahan yang miskin modal mencari kredit
untuk membiayai tenaga kerja dan produksi apel, sementara itu pemaro apel
bekerja di lahan milik petani. Dalam hal ini, pemilik lahan masih memiliki hak
lahan telah mengubah hubungan kerja petani, proses diferensiasi, dan mempercepat
proses diferensiasi ekonomi. Meskipun pola distribusi lahan tidak banyak, tetapi
perubahan ini berhasil menghasilkan kelas petani apel kaya yang memiliki kekuatan
desa mereka.
Indarti, dkk (2016). Dalam tulisannya (Indarti, Luthfi, & Kismini, 2016) membahas
tentang transformasi pertanian di Desa Kunir dari padi ke tembakau dan diferensiasi
ekonomi di masyarakat desa tersebut. Pada awalnya, bentuk pertanian di Desa Kunir
adalah subsisten yaitu hanya dengan mengandalkan tanaman padi dan palawija
masuk. Ketika para peteni hanya menanam padi dan palawija, dalam satu tahun di
musim hujan mereka akan menanam padi dan pada saat musim kemarau, petani
akan menanam palawija. Satu tahun hanya dibagi dua pertanian yang berbeda yaitu
padi dan palawija. Kemudian tembakau masuk dan mengubah pola pertanian disana.
Tanaman padi yang dahulunya ditanam mulai bulan oktober sampai maret, kini
penanamannya mulai januari sampai april. Pada bulan april disaat yang bersamaan,
petani akan mulai menuai benih tembakau untuk dipelihara sampai masa panen di
bulan September. Kemudian di bulan Oktober, petani baru akan menanam palawija.
Karena tembakau membutuhkan perawatan yang lebih intensif, buruh tani lebih
sering bekerja pada saat tembakau dibandingkan padi dan palawija. Dikatakan,
14
petani menjadi lebih kapitalis pada saat tembakau masuk karena orientasi mereka
keuntungan. Selain itu, tidak sama dengan pada saat pertanian padi, gotong royong
dan kerja sama sudah tidak efektif di pertanian tembakau. Buruh tani tembakau
menjadi bergantung dengan petani pemilik lahan. Karena perbedaan ekonomi antar
keduanya cukup mencolok, terkadang ketika buruh tani membutuhkan, mereka akan
Suryanata, (2002) dan Indarti, dkk (2016) dengan penelitian yang saya lakukan
perbedaan sistem pertanian komersial dan subsisten. Dalam studi kasus yang
dibahas dalam penelitian Samuel Popkin (1986), Zurinani (2012), Suryanata, (2002)
dan Indarti, dkk (2016) terdapat daerah yang menggunakan sistem pertanian
subsisten. Berbeda dengan penelitian saya, pertanian yang saya lakukan di Desa
Yuni Aster Juanda, dkk (2019) dalam tulisannya, membahas mengenai strategi
apa saja yang dilakukan para buruh tani untuk bertahan hidup. Dalam kasus yang
dikaji (Juanda , Alfiandi, & Indraddin, 2019) kebanyakan kelas ekonomi buruh tani
hidup keluarga masih belum terpenuhi hanya dengan bekerja sebagai buruh tani
saja. Salah satu strategi yang dilakukan para buruh tani untuk memenuhi
15
memiliki persamaan dengan penelitian yang saya lakukan yaitu mengenai strategi
tulisan Tania Li (2020). Dalam bukunya, (Li & Semedi, 2022) menyinggung tentang
kebun kebanyakan dikerjakan oleh perempuan. Selain itu dalam tulisannya, Li juga
membahas mengenai bagaimana para buruh tani wanita muda yang ekspresif dalam
biasa digunakan pekerja wanita tua untuk melindungi badan. Mereka menggunakan
kombinasi kaos dan celana jeans yang modis, seolah mereka tidak melakukan
pertanian di lahan milik keluarga mereka telah dibahas oleh Kavita Baliyan (2018).
Baliyan melakukan studinya di Uttar Pradesh Barat, India mengenai buruh petani
perempuan yang bekerja hanya ketika kebutuhan pekerja petani meningkat. Mereka
merupakan buruh tani perempuan cadangan yang pekerjaannya tidak tetap dan
pertanian tebu, gandum, dan yang lainnya seperti kentang dan beras.
terdapat pemisahan yang jelas berdasarkan jenis kelamin. Dalam pertanian padi,
milik petani pemilik, maka akan semakin banyak buruh tani perempuan yang
dipanggil untuk bekerja di lahan miliknya, begitu juga sebaliknya. Sementara itu,
petani yang hanya memiliki lahan yang kecil, akan mengurangi biaya pengeluaran
Sistem pertanian yang dikendalikan oleh rumah tangga atau unit berbasis
kerabat, maka keputusan produksi dan investasinya juga dibuat di tingkat rumah
tangga itu sendiri (Ortiz, 2005). Pada tahun sebelumnya, Ortiz melakukan studi
kasus mengenai pasar tenaga kerja kopi di Kolombia. Produksi kopi meningkat
karena dianggap tidak cocom untuk bejerja di ladang. Namun, dalam sejarah
disebutkan bahwa perempuanlah yang memiliki peran utama dalam panen. Terdapat
yaitu dari perempuan itu sendiri memang menolak dan suami atau ayah mereka yang
sebelum tahun 1960 adalah karena keluarga mereka membutuhkan penghasilan dan
dan Ortiz (1999) dengan penelitian yang saya lakukan adalah ketiganya membahas
perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang saya lakukan adalah
17
pertanian komersial.
Berdasarkan kajian pustaka yang telah saya lakukan, dalam penelitian ini, saya
mencoba menggabungkan dua hal terkait perubahan pola pertanian dan eksistensi
yang mereka dapatkan secara turun temurun. Tidak hanya perkebunan apel, sayuran
yang mereka tanam juga mereka serahkan ke pengepul untuk dijual di pasar. Hal itu
selain karena lahan yang dimiliki masyarakat Madiredo cukup luas, mereka
menyadari keuntungan yang di dapat dari pasar. Hal ini merupakan bagian dari
perilaku petani rasional. Dalam bukunya yang berjudul “Petani Rasional” (Popkin,
kemungkinan hasil yang terkait dengan pilihan mereka sesuai dengan preferensi dan
nilai mereka (Popkin, 1986). Para petani secara sadar membuat pilihan yang mereka
Popkin bukan tentang kepentingan pribadi, petani tetap memikirkan lingkungan dan
Maka dari itu Popkin menyebut petani rasional bertindak dengan cara
individu (petani) dan konsepsi secara luas tentang peran desa dalam kehidupan
ekonomi petani. Dalam tulisannya Popkin memodifikasi asumsi atau teori ekonomi
resiko, menerapkan logika investasi desa, hubungan patron-klien serta pasar, melihat
konflik dan pengorbanan antara keuntungan pribadi dan kolektif yang terlihat dalam
Popkin mengevaluasi para ahli ekonomi moral yang mengatakan bahwa dalam
suatu desa, tanah dimiliki bersama dan pajak dibayar oleh desa dengan tujuan
memberikan jaminan subsisten bagi penduduk desa yang miskin. (Popkin, 1986)
perhitungan petani adalah bertahan hidup dari lingkungan yang beresiko tidak
mengarah ke lantai subsistensi dan asuransi seluruh desa yang luas. Tetapi, prosedur
mendistribusikan nilai tanah dan pajak menguntungkan petani kaya. Sementara itu,
standard, dan prosedur desa serta pertukaran patron-klien adalah fixed (tetap) dan
ditentukan oleh kebudayaan yang sudah ada, Popkin memiliki pendapat bahwa
dengan pertimbangan kuasa dan interaksi strategis antar individu. Dalam hal ini
selalu ada pengorbanan antara norma yang bertentangan dan tidak konsisten. Norma
19
sendiri tidak dapat secara langsung dan sederhana menentukan tindakan. Popkin
ramah tentang desa dan ikatan patron-klien dan pandangan yang terlalu keras
tentang potensi pasar. Ekonomi moral tidak selalu melihat dengan dekat pada cara-
cara di pasar yang dapat menguntungkan petani. Popkin memiliki pandangan bahwa
petani melihat satu sama lain ketidakpastian atau ancaman yang cukup untuk
membuat interaksi sosial menjadi sulit. Kemudian, Popkin juga mengkritik ekonomi
moral yang berpendapat bahwa teknologi dan perkembangan pasar tidak bernilai,
mereka mengejar tujuan mereka secara rasional. Dalam hal ini, Popkin tidak
mengaitkan pandangan bahwa individu hanya peduli pada komoditas material dan
pendapatan uang.
Dalam hal ini masyarakat petani Madiredo tidak terkecuali buruh perempuan
juga memiliki sifat rasional petani seperti yang dijelaskan oleh Popkin. Para pekerja
perempuan di Madiredo terbuka atas pasar kerja dan dapat memilih pekerjaan tani
masyarakat petani, terhadap teori ekonomi moral. Asumsi ini mengenai hubungan
20
sepenuhnya merusak petani, bukan karena kapitalisme atau kolonialisme selalu lebih
baik dari pada yang diasumsikan oleh ekonomi moral, tetapi karena lembaga
I.7 Metodologi
etnografi dengan pendekatan kualitatif. Dalam tulisan (Windiani & Nurul, 2016)
dijelaskan bahwa ciri khas dari metode etnografi adalah keterlibatan penuh peneliti
metode etnografi sendiri adalah untuk memahami perilaku suatu masyarakat yang
tersebut.
Malang. Saya memilih Desa Madiredo sebagai lokasi penelitian saya dengan
latar belakang desa ini merupakan salah satu desa yang memiliki lahan pertanian
karena itu, banyak masyarakat di Desa Madiredo yang bekerja sebagai petani
untuk menggarap lahan milik sendiri maupun lahan pertanian milik orang lain.
21
yang bekerja sebagai buruh tani. Latar belakang saya memilih buruh perempuan
bagaimana lingkungan sosial dan budaya mereka pada saat bekerja sebagai
petani. Selain itu, saya juga memilih informan petani di Madiredo untuk
terutama yang bekerja di pertanian dan sudah tinggal sejak lama di desanya
untuk mendapatkan informasi lebih luas dan mendalam mengenai sejarah dan
secara langsung kehidupan masyarakat yang diteliti. Hal ini selaras dengan
tulisan (Windiani & Nurul, 2016) bahwa keterlibatan penuh peneliti dalam
data yang mendalam. Dalam pengambilan data, saya menggunakan alat bantuan
seperti buku, alat tulis, dan alat perekam suara agar mempermudah saya untuk
mendapatkan data yang lengkap dan mendalam. Data-data yang saya dapatkan
dari lapangan kemudian saya susun dan rapikan kembali dalam catatan lapangan
(field note) yang nantinya akan diolah kembali untuk menjadi data utama yang
akan ditulis dalam penelitian ini. Wawancara dan observasi partisipasi menjadi
perempuan pada saat bertani. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data yang
lengkap dan mandalam, saya akan mengikuti pekerjaan buruh tani perempuan
Penulisan pada skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama yaitu
pendahuluan diawali dengan sub bab latar belakang. Sub bab ini berisi latar
belakang dan urgensi saya dalam melakukan penelitian ini. Selanjutnya terdapat
sub bab rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka
yang berisi penelitian terdahulu mengenai pertanian, teori yang digunakan untuk
terjadi di Desa Madiredo setelah produksi apel turun? Bab selanjutnya yaitu bab
tiga menjawab pertanyaan tentang bagaimana perubahan pola produksi dari apel
strategi yang dilakukan buruh tani perempuan terhadap pola produksi apel ke
Bab ini berisi tentang letak geografis Madiredo dan potensi-potensi alam yang
penjelasan mengenai masyarakat Madiredo, pada bagian ini saya akan membagi ke 3
aspek kehidupan di Madiredo, yaitu (1) Ekonomi, (2) Sosial-Budaya, dan (3) Agama.
Pada bagian akhir, saya akan menyinggung sedikit mengenai masyarakat pertanian di
Madiredo.
saya tempuh selama kurang lebih 1 jam. Dari jalanan datar berisi kendaraan roda
dua dan empat dengan pemandangan kanan dan kiri dipenuhi pemukiman,
beberapa terlihat bangunan ruko tinggi sampai memasuki jalanan yang berkelok-
kelok naik dan turun dengan pemandangan di samping kanan jurang, akhirnya
Pujon, Kabupaten Malang. Desa ini berbatasan langsung dengan wilayah hutan
di sebelah utara dan berbatasan Desa Ngroto di bagian selatan. Sementara itu
pada bagian timur Desa Madiredo berbatasan dengan Desa Wiyurejo dan Desa
Taman Sari yang berbatasan di sebelah barat (Profil Desa Madiredo, 2020).
Jarak yang perlu ditempuh untuk sampai ke jalan provinsi hanya sekitar 3
24
25
kilometer. Akses menuju desa ini cukup mudah dengan transportasi pribadi roda
empat atau dua maupun dengan transportasi umum. Jalanan di Desa Madiredo
tinggi yang bervariasi dengan kontur tanah yang naik-turun dan berkelok-kelok.
Jalanan di Madiredo sendiri masih cukup untuk diisi dua kendaraan roda dua
dari arah yang berbeda. Di beberapa wilayah ketika ada kendaraan roda empat
tegal dan hasil tani berupa sayur mayur yang akan dikirim ke pasar, mobil pick
up tersebut juga berisi aneka ragam sayuran yang biasanya dijual keliling untuk
masyarakat Madiredo.
kekhasannya sendiri yaitu menjadi salah satu pusat pertanian sayur dan produksi
apel terbesar di Malang. Lahan pertanian di Madiredo diisi oleh berbagai macam
budidaya sayuran seperti sawi, wortel, tomat, buncis, cabai, tomat, dan masih
banyak lagi. Tidak berhenti disana, di Desa Madiredo juga terdapat perkebunan
Terdapat dua jenis lahan pertanian yang ada di Desa Madiredo, yaitu tegal
atau kebun (baik sayur maupun buah-buahan) dan tetelan yang merupakan hutan
milik negara yang dikelola oleh masyarakat secara individu. Tegal atau
Tetelan atau hutan milik negara terletak di pegunungan yang terletak di bagian
utara Desa Madiredo. Kehadiran kebijakan yang dibuat oleh Perhutani yaitu
ini masyarakat petani disekitar hutan diizinkan masuk dan mengelola hutan
ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh (Zurinani, 2012) kebijakan PHBM
Berdasarkan data yang didapat dari Balai Desa Madiredo, luas lahan
pertanian di Madiredo mencapai 500 km 2. Dari 500 km2 tersebuh masih banyak
pertaniannya berupa tanaman keras yang masa produksinya bisa mencapai lebih
dari 20 tahun. Sementara itu, luas tetelan atau hutan milik negara bisa mencapai
400 km2 dimana hanya seluas 250 km2 saja yang dikelola masyarakat.
tersebut adalah Bengkaras, Sobo, Lebo, Ndelik, Meduran, Persil, dan Mantung.
Ndelik yang jika diartikan “Ndelik” Secara bahasa Indonesia adalah “sembunyi”
dusunnya sendiri terletak di belakang dan jauh dari balai desa. Kemudian ada
dusun Meduran yang diceritakan dahulu sekitar tahun 1800 an orang Madura
Madiredo yang mereka tempati diberi nama Meduran. Namun kini banyak
warga Madura tersebut yang sudah kawin beranak dengan warga lokal sehingga
untuk sekarang sedikit ditemui orang atau warga asli keturunan Madura di
perluasan di Madiredo. Diceritakan dahulu ada orang yang memiliki lahan luas.
kepada salah satu warga Blok Nongko bagaimana asal-usul nama dari Blok
Nongko.
28
Madiredo untuk pertama kalinya. Padahal, pada saat itu saya sampai disana
sekitar pukul 12 siang hari. Meskipun tengah hari, pada saat itu matahari disana
tidak terasa menyengat sama sekali. Suhu tertinggi di Desa Madiredo hanya
semakin menurun. Suhu terendahnya bisa mencapai 12º celcius pada malam
hari. Suhu yang tidak pernah hangat di Madiredo membuat air di Madiredo ikut
Tidak hanya terdapat bentangan lahan pertanian berwarna hijau dan asri
yang sangat luas, Desa Madiredo memiliki lokasi wisata yang dapat menarik
para wisatawan dari luar untuk berkunjung, yaitu Telaga Madiredo. Dahulu,
Telaga Madirodo dianggap telaga mistis dimana tidak satupun orang berani
luar Madiredo untuk mandi, bermain air atau sekedar menikmati hawa dingin di
Madiredo adalah 5000 untuk satu orangnya. Namun, terkhusus untuk warga
hijau berundak yang diisi oleh berbagai macam budidaya sayuran dan budidaya
apel. Sementara itu, bagian kiri adalah sungai kecil aliran dari telaga itu sendiri.
Terdapat dua kolam, yang pertama lebih dangkal, biasanya untuk bermain anak-
anak dan orangtua yang mendampinginya dan yang lebih dalam, biasanya untuk
29
orang dewasa. Tidak hanya telaga untuk bermain air, disana juga terdapat
beberapa tempat bermain untuk anak-anak seperti perahu gowes kecil dan kolam
berisi pasir pantai. Kemudian juga ada spot tempat duduk gantung
menggunakan tali dan kayu yang menghadap langsung ke bentangan lahan hijau
dingin yang membuat suasana semakin nikmat. Tidak jarang juga kita bisa
Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa terdapat banyak masjid yang megah
menjadi 6 karena kiyai dari satu pesantren tersebut meninggal dan kebetulan
pesantren di Madiredo sendiri bisa menampung 500 – 900 santri baik dari
masyarakat lokal Madiredo maupun dari berbagai macam daerah di luar Malang
raya, seperti Kudus, Banyuwangi, Demak, dan lainnya. Hal itu yang membuat
Agama
popular adalah monol. Monol berasal dari kata ‘monolan’ atau sepeda motor
yang jog bagian belakangnya diubah dengan kayu pipih supaya bisa
mengangkut hasil sayuran yang dipanen di pagi atau siang hari. Untuk hasil
oleh olahan buah apel, salah satunya adalah Carang Apel. Pembuatan olahan
buah apel tersebut membutuhkan pekerja wanita, sama halnya dengan para
dengannya.
31
Sub Terminal Agribis Mantung Pujon (UPT STA Mantung) atau masyarakat
pada dinas. Mengenai mekanisme dari Pasar Mantung ini adalah dengan
cara lelang dengan sasaran harga yang lebih berpihak pada petani. Selain
Mereka bertugas membersihkan wortel, kentang, atau hasil tegal yang kotor
tanah.
sapi yang mereka manfaatkan susunya untuk diperah. Kandang sapi terletak
di bagian belakang rumah, setelah dapur. Sapi betina diperah susunya setiap
15 hari sekali, yang berarti dalam satu bulan, masyarakat yang memelihara
sapi betina mendapatkan penghasilan dari susu sapi tersebut dua kali selama
satu bulan. Susu sapi yang diperah kemudian dijual di Koperasi Susu dan
terlihat mewah dengan garasi mobil dan taman kecil di depan rumah
sampai rumah kecil tidak memiliki garasi berada di dalam gang sempit
seluas 1,5 meter ada di Madiredo. Dari banyaknya variasi bentuk rumah di
disana. Saya pernah masuk ke rumah milik petani apel yang mengusahakan
Terdapat dua bangunan yaitu bangunan lama dan baru. Bangunan lama
terlihat sangat tua, gelap, dan kumuh. Bagian depan adalah ruangan yang
diberi tv. Masuk lebih dalam mulai terlihat dapur dengan bangunan baru
yang cukup luas. Terdapat satu pasang meja dan 4 kursi yang biasanya
bincang santai di sore hari. Masuk melalui pintu yang ada di dapur menuju
bangunan baru sangat terasa perbedaannya. Cat tembok yang lebih cerah,
33
banyak furnitur rumah yang baru lebih modern penuh mengisi seluruh
menjadi terlihat semakin megah. Terdapat dua kamar dibawah dan tiga
kamar di atas. Dapur rumah tersebut juga terlihat modern dan baru dengan
adanya kitchen set. Dinding rumah tersebut juga tidak dibiarkan kosong.
Sementara itu, rumah keluarga yang memiliki kebun sayur dari tetelan
dengan luas tidak seberapa, harus masuk gang sempit. Rumah yang
sebagian besar dindingnya berbahan kayu ini terlihat padat dan kecil.
Ruang tamu berisi meja, kursi biasa berbahan kayu. Lantainya belum
kamar, untuk orang tua dan satu anak. Ada satu ruangan lainnya berisikan
kasur cukup lebar satu yang di depannya tv tabung. Sementara itu bagian
dapur masih berupa tanah, sehingga untuk masak dan makan, harus
bahwa batas minimal usia menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun dan
wanita adalah 16 tahun. Ini terlihat jelas dari perbedaan usia ibu dan anak
disini. Mayoritas jarak usia anak pertama dan ibu 18-20 tahun.
perempuan menikah dan memiliki anak di usia dini. Dalam hal ini, mereka
secara negara yaitu bekerja sama dengan lembaga yang mengurus urusan
pernikahan setempat.
angka kelahiran yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data yang didapat
dari balai desa dimana jumlah penduduk anak (usia 0 – 15) dan penduduk
1
Dalam bahasa lokal ‘preman’ artinya adalah pekerja tani
35
Relasi antar warga Madiredo sangat akrab dan bisa dipastikan mereka
mengenal satu sama lain. “Tinggal nyebut jenenge sopo, rt piro sudah pasti
kenal” (Tinggal menyebutkan siapa namanya dan dari RT berapa orang tersebut,
pasti warga kenal), tegas Pak Wid. Guyub atau akrab, saling mengenal satu sama
lain, begitu pengakuan dari salah satu warga lokal Madiredo yang dituakan.
36
saling mengenal sampai keturunan paling bawahnya. Hal ini saya bisa rasakan
ketika saya berjalan-jalan pada sore hari bersama warga lokal seusia saya,
banyak warga sekitar yang kebetulan sedang di luar pulang dari ibadah atau
sekedar menikmati sore hari melihat saya dengan tatapan yang bingung
bertanya-tanya siapa saya dan kira-kira ada urusan apa saya disini.
Madiredo sendiri, ada pak Khaldun yang sebelumnya merupakan petani yang
bekerja di lahan milik pak bagus yang kemudian dinikahkan dengan anak
perempuan pak bagus atau istilahnya dipek mantu karena sifat pak Khaldun yang
Rendahnya migrasi (dalam hal ini urbanisasi) juga menjadi faktor yang
untuk mencari peluang ekonomi yang lebih banyak di kota. Mereka yang
biasanya meninggalkan desa untuk pergi ke kota, adalah siswa yang merantau
juga memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar Madiredo dan tinggal di luar
Madiredo.
merupakan salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia yang didirikan oleh
KH. Hasyim Asy’ari yang menjungjung tinggi nilai nasionalisme (Farih, 2016).
dengan ajaran agama islam, oleh karena itu ajaran dari NU memiliki ciri khasnya
kepercayaan agama islam yang mereka anut. Oleh karena itu, di setiap aspek
partisipasi masyarakat, yaitu kenduran atau slametan. Acara ini diadakan bagi
Partisipasi masyarakat tidak hanya dibutuhkan pada saat hari slametan tersebut
inti dari acara-acara tersebut, tetapi mereka juga berkumpul untuk menyiapkan
hidangannya dari pagi hari. Untuk acara kecil, hanya anggota keluarga yang
dimintai bantuan untuk menyiapkan acaranya, tetapi untuk acara besar tetangga-
tetangga akan dimintai bantuannya juga (Geertz, 2013). Biasanya ibu-ibu yang
sibuk urusan dapur anak-anak akan bermain bersama di kamar atau pada bagian
depan rumah.
39
berisi air di sangkar burung peliharaannya, atau memberi makan sapi yang
menuju tegal nya, dan ibu mulai menanak nasi sembari memasak sayur dan lauk
pagi, disana mulai terlihat banyak orang keluar rumah. Anak-anak berjalan
mbak, ibu-ibu jejer-jejer baris berangkat bareng-bareng ngoten niku teng tegal.
Mlaku titil-titil ngono kui. Biasane sekeluarga ngoten Mbak, enten ibu, bapak
nek enek anak e seng iso bantu diajak” (Biasanya kalau pagi-pagi jam 6 gitu
barengan gitu. Biasanya sekerluarga gitu Mbak, ada ibu. Bapak, kalau ada
anaknya yang bisa bantu, diajak), terang Bu Novi kepada saya, saat saya ikut
keluarga Bu Novi pergi ke tetelan untuk ngunduh (panen) ucet3 yang sudah siap.
Karena pada saat itu kami berangkat sedikit terlambat, jadi saya tidak sempat
melihat para petani perempuan berangkat menuju tegal (kebun milik sendiri)
maupun tetelan (kebun milik negara, biasanya budidaya sayuran). Jarak yang
3
Sebutan warga lokal untuk buncis pendek
40
perlu ditempuh dari rumah Bu Novi menuju tetelan kurang lebih 2 kilometer.
berupa aspal. Ketika sudah mulai masuk wilayah perkebunan, jalanan mulai
berkelok-kelok dan tidak rata. Sampai di tetelan milik Bu Novi, saya melihat
suami Bu Novi sudah lebih dulu mengerjakan pekerjaannya yaitu memetik ucet
tegal dengan menaiki sepeda monolan yaitu sepeda motor yang dimodifikasi
digunakan sebagai tempat hasil tani dari tegal. Mereka biasanya menggunakan
setelan celana berbahan kaos atau kargo dengan menggunakan atasan berbahan
kaos yang nyaman dipakai untuk berkebun. Tidak lupa biasanya mereka
sengatan matahari di kebun mereka. Sepatu yang digunakan adalah sepatu boots
menyapa tetangga yang kebetulan sedang melakukan aktivitas pagi hari di luar
rumah atau memberi makan bayinya. Pakaian yang mereka kenakan biasanya
adalah kaos santai dengan celana longgar berbahan kain bermotif ramai, juga
41
ada yang mengenakan celana berbahan kaos, jilbab kaos yang langsung
kain segi empat yang dibentuk segitiga dan dikenakan di atas topi.
Tidak hanya itu, sering terlihat mobil pick up di pagi hari membawa
yang bekerja di perkebunan apel. mobil pick up yang dikendarai oleh bapak-
bapak, berjalan sesuai rute menjemput buruh petani perempuan dari yang
rumahnya paling jauh dari kebun sampai yang paling dekat. Pada saat itu,
kebetulan saya ikut kerja Mak Nur yang rumahnya paling dekat dengan wilayah
pertanian. Pada saat mobil pick up berhenti di depan rumah Mak Nur, terlihat
sudah ada sekitar 10 petani perempuan yang duduk di bagian belakang mobil.
Saya sendiri dipersilahkan oleh ibu-ibu disana untuk duduk di depan, di samping
sopir.
42
dan perempuan. Hal ini ditentukan oleh alat pertanian yang digunakan (Geertz,
mata apel atau bunga apel), mbungkus (melapisi buah apel supaya terlindungi
dari hama), dan ngunduh (panen). Sementara itu, di budidaya sayur pekerjaan
Suatu saat saya ikut Mak Roh bekerja di tetelan milik Pak Agus yang
terletak di lereng pegunungan. Pada saat itu, tetelan milik Pak Agus
sedang diisi tanaman Tomat sayur yang sudah mulai berbuah, tinggal
menunggu beberapa hari untuk siap diunduh. Mak Roh bekerja naleni
(mengikat) batang tomat yang mulai merembet supaya tidak menganggu
tanaman di sebelahnya. Sementara itu, petani laki-laki biasanya bekerja
menyemprotkan obat (cairan pestisida) atau biasanya menggembur tanah
dengan cangkul supaya bisa kembali di tanami tumbuhan lainnya. Selain
itu, mereka biasanya juga bertugas untuk membawa hasil panen
(sayuran) untuk dibawa ke pengepul.
Mayoritas keluarga di Madiredo biasanya memiliki lahan perkebunan yang
lahan milik orang lain, atau mengolah lahan perkebunan milik pemerintah. “Iki
seko kene tekan kono iku mbak, iku punya e nana anak pertama saya. Nah, yang
seterusnya kesana sampe bates iku lho mbak. Itu punya e izam anak saya yang
kecil itu.” (Ini dari sini sampai sana itu Mbak, itu milik Nana, anak pertama
saya. Nah, yang setrusnya kesana sampai batas itu lo Mbak, itu milik Izam, anak
saya yang kecil), jelas Bu Novi kepada saya mengenai pembagian kebun yang
Pada bab ini akan dijelaskan lebih mendalam mengenai pertanian di Madiredo.
awal budidaya apel masuk ke Madiredo sampai pada produksi apel yang
mengalami penurunan pada beberapa tahun belakang. Terakhir, pada bab ini
memperjelas, saya membagi bagian ini menjadi 3, yaitu (1) buruh perempuan,
aneka tanaman atau multicrop (Geertz, 1983). Begitu juga dengan perkebunan
memasuki wilayah perkebunan, saya dapat melihat bentangan lahan hijau yang
sangat luas. Kebun apel yang kebetulan saya lewat pada saat itu pun tidak terlalu
luas, hanya berisi sekitar 30-40 pohon apel saja. Itu pun pohon apel yang sudah
rusak karena pengaruh pestisida. Terlihat dari batangnya yang berwarna biru.
Di kontur tanah bagian atas ketika ditanami apel, bawahnya tidak bisa
ditanami buah-buah lainnya karena nanti buah apelnya tidak mau thukul
(tumbuh). Oleh karena itu biasanya ditanami sayur-sayuran seperti wortel, sawi,
buncis juga sekaligus sembari menunggu waktu panen buah apel. Hal ini sejalan
43
44
dengan yang dijelaskan (Geertz, 1983) dimana para petani akan menanam
berbagai jenis sayuran seperti bawang merah, kol, sawi, dan sebagainya di
Tidak ada aturan atau urutan sayur apa yang selanjutnya ditanam, semuanya
terserah dan mengikuti keinginan pemilik tanah. “Pokok e sak sak e pak tani”
(Pokoknya terserah pemilik lahan), ucap Mak Roh ketika menjelaskan kepada
saya mengenai tanaman apa saja yang akan dibudidayakan. Masa panen sayuran
dikerjakan Mak Roh bersama dengan 3 teman petani perempuan lainnya ini
hanya perlu berjalan kaki menuju utara untuk ke budidaya sayuran yang
yang paling dekat dengan wilayah lahan pertanian (terutama budidaya sayuran)
adalah wilayah blok nongko. Budidaya sayuran yang berada di tetelan biasanya
45
milik keluarga petani yang tidak terlalu kaya. Mereka biasanya mendapatkan
lahan sayuran tersebut secara turun menurun. Oleh karena itu, kebanyakan
budidaya sayuran di tetelan biasanya digarap cukup satu keluarga ayah, ibu, dan
Madiredo sendiri berada di dataran tinggi, jadi sayuran seperti sawi, wortel,
membudidayakan sayuran sangat tidak menentu dan memiliki resiko yang lebih
tinggi dibandingkan dengan apel. Sesuai dengan hukum ekonomi, petani sayuran
akan mendapatkan keuntungan yang lebih ketika kebetulan jenis sayuran yang
Sehingga, hanya ada satu jenis sayuran yaitu dari petani tersebut. Namun, hal itu
jarang terjadi karena usaha tani sayuran sendiri sudah ada dimana-mana dan
biasanya dalam sekali waktu para petani yang kaya mengusahakan dua jenis
akan dilapisi mulsa plastik. Untuk lahan yang cukup luas biasanya, terdapat 3 –
4 lubang di mulsa plastik. Langkah terakhir adalah menanam bambu tipis yang
46
budidaya sayurannya melimpah. Tidak harus ada krisis ekonomi untuk petani
komersil bukan sebagai respon tindakan penghabisan dalam situasi yang buruk,
terjadi diferensiasi sosial yang nyata dan terlihat sepeti pemerataan kemiskinan
karena para petani kaya kehilangan kontrolnya atas tenaga kerja dan kehilangan
desa ini mulai berkembang dengan adanya berbagai proses komerisalisasi dan
moneterisasi.
Budidaya pohon apel berasal dari kawasan beriklim sedang yang berada di
wilayah tropis. Suhu dan cuaca menjadi faktor yang penting untuk keberhasilan
budidaya pohon apel. Pohon apel sendiri membutuhkan suhu yang dingin untuk
sempurna. Dibutuhkan waktu 4,5 – 7 bulan untuk sampai tahap panen buah
47
apel, tergantung pemilik kebun apel itu sendiri. Itu berarti dalam satu tahun bisa
tahun 1930 an dibawa oleh peneliti dan petani dari Belanda dan Australia.
Kemudian, pada tahun 1953 Depatermen Pertanian mendatangkan dua jenis apel
yaitu Rome Beauty dan Princes Noble dari luar negeri. Pada tahun-tahun itulah
mulai berkembang banyak jenis-jenis apel di Indonesia dan apel mulai masuk di
masa kejayaannya pada tahun 1970 an. Berdasarkan catatan dari Balijetstro
(Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika), pada tahun 1984
terdapat total 7.3 juta pohon apel yang kemudian berkembang menjadi 9 juta
pohon pada 4 tahun berikutnya yaitu, 1988. Produksi apelnya sendiri naik dari
Di Malang, kawasan pusat buah apel yang cukup terkenal adalah Kota Batu.
Namun sekarang, karena perubahan suhu dan cuaca –selain itu juga di Kawasan
Batu sendiri banyak dibangun berbagai taman hiburan yang membuat semakin
sempitnya ruang hijau, Batu kini bukan lagi merupakan pusat apel. “Juragan-
juragan dari Jakarta itu, nek mau nyari apel pergine ke Batu mbak. Padalah
apel ndek Batu iku wes punah. Hawa ne wes panas. Wes dadi pabrik kabeh ndek
kono iku”(Juragan-Juragan dari Jakarta itu, kalau mau nyari apel, perginya ke
Batu Mbak. Padahal ape di Batu itu sudah punah. Hawanya sudah panas. Sudah
jadi pabrik semua disana itu), terang Pak Joko, yang saat itu mengantarkan saya
4
Menghilangkan daun-daun kering yang ada di sekitar mata atau bunga apel supaya tidak menghalangi
pertumbuhannya
48
Apel mulai masuk Madiredo di awal tahun 1990 pada saat itu bersamaan
dengan masa kejayaan buah apel malang sehingga permintaan buah apel dari
pasar sangat tinggi. Berbeda dengan wilayah Batu dimana apel menjadi
Banyak petani di Madiredo pada saat itu yang dengan berani bertaruh
Salah satu faktor yang menyebabkan apel mulai berkembang dan mencapai
masa kejayaannya di Madiredo adalah pada saat itu iklim dan suhu di Madiredo
yang sangat mendukung untuk budidaya apel. Selain itu, dengan kemajuan ilmu
Madiredo, dimana kondisi pohon apel itu sendiri masih remaja dan
menghasilkan buah apel yang sempurna dan manis. “Disini cuacanya agak asrep
Mbak. Tapi enggak sedingin dulu pas tahun 1990 an. Pohon apel masih remaja
dan bagus-bagusnya”, (jelas supir mobil pick up yang mengantar para buruh
perempuan ke tegal pagi itu). Pada saat memasuki masa kejayaannya, luas kebun
kendaraan baru, banyak petani apel sukses yang kemudian melakukan ibadah
naik haji. Hal ini berkaitan dengan satu-satunya agama yang dianut para
masyarakat Madiredo adalah Islam. Tidak semua penganut agama islam dapat
dicapai (Geertz, Involusi Pertanian , 1983). Oleh karena itu, beberapa petani di
Madiredo yang sukses dipanggil dengan sebutan “Pak Haji” atau “Bu Haji”.
bersamaan dengan umur pohon apel yang sudah tidak muda lagi secara perlahan
hasil panen mulai berkurang karena penurunan produktivitas pohon apel itu
sendiri. Perubahan cuaca semakin drastis dan tidak bisa diprediksi selama 5
terjadi pada bulan April - Oktober dan musim hujan terjadi pada bulan
November – Maret, namun sekarang cuaca hujan maupun panas sulit untuk
diprediksi lagi. Terkadang dalam seminggu cuaca bisa panas tidak ada hujan
sama sekali, kemudian di minggu selanjutnya cuaca tiba-tiba menjadi dingin dan
berkembang di waktu malam hari sekitar pukul 20.00 – 23.00. Hal ini bisa
cara menebas batang pohon apel dan membakarnya sehingga akan tumbuh
batang baru dari pohon yang sama. Tidak sedikit juga petani yang merombak
lahan pohon apelnya menjadi lahan budidaya sayuran. Selain budidaya sayuran,
ada juga petani yang bertaruh dengan mencoba meraba-raba mengganti lahan
pohon apelnya menjadi pohon jeruk. Hal ini dapat menjadi pilihan yang dirasa
dapat menguntungkan para petani, karena tidak seperti apel biaya produksi jeruk
Mereka biasanya berasal dari keluarga yang memiliki lahan kebun sayuran
sekitar 5000 meter sampai 10.000 meter di tetelan. Pada bagian sebelumnya
telah disebutkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha budidaya sayuran
mereka mulai menanam. Mereka juga cenderung pesimis dengan perolehan yang
budidaya sayuran. Selain itu, permintaan dari pasar yang selalu meminta sayuran
yang masih segar, sementara petani tidak memiliki teknologi yang cukup untuk
51
membuat sayuran yang sedang mereka usahakan untuk tetap segar, juga
Dalam hal ini perempuan juga memiliki akses yang terbatas untuk
mencari pekerjaan sekitar rumah dengan upah harian yang rendah (Geertz,
yang baru saja lulus dari sekolah menengahnya, sampai diatas lanjut usia yang
bahkan sudah ada dua generasi dibawahnya. Hampir 75% usia buruh tani
di Madiredo lebih dari yang tercacatat secara resmi di KTP. Banyak juga
sebagai ‘Ibu Rumah Tangga”, namun, kesehariannya bekerja sebagai buruh tani.
sampai proses panen dalam suatu pertanian (Geertz, 1983). Untuk kebun apel,
52
Para petani apel di Madiredo biasanya sudah memiliki satu atau dua
perempuan yang lainnya untuk bekerja di lahan miliknya. Biasanya buruh yang
‘dipasrahi’ tersebut akan mengajak buruh perempuan yang sudah biasa bekerja
bersama dengannya dalam waktu yang lama atau dengan kata lain, mereka
hanya akan mengajak kelompoknya atau bisa disebut yang cara kerjanya sesuai
upah dua kali lipat dari petani, karena dia dianggap bertanggungjawab atas
Rempes dilakukan setelah proses panen buah apel. Setelah buah apel
dipetik sampai habis, kemudian tersisa pohonnya yang masih bisa berbuah lagi
5-6 bulan kemudian. Maka dari itu, perlu perawatan dan pemeliharaan pohon
apel supaya panen apel selanjutnya bisa maksimal dan menghasilkan buah yang
apik. Langkah pertama yang dilakukan adalah rempes. Rempes sendiri hanya
dilakukan oleh buruh perempuan. Mereka dengan teliti dan kiat menghilangkan
daun-daun kering atau hal lain yang berada di mata atau bunga apel supaya tidak
melengkung) untuk menarik batang kecil pohon apel yang tinggi, atau kursi
luasnya kebun apel yang dikerjakan. Di masa sekarang, 1 mobil pick up yang
cukup diisi 10-15 buruh perempuan biasanya cukup untuk pekerjaan ini. Total
ada sekitar 80 pohon dalam satu lahan untuk di rempesi. Setelah semua buruh
perempuan turun dan mobil pick up yang mengantar kami kembali, kami
berjalan masuk ke kebun yang tidak terlalu luas tersebut, kemudian kami
bersiap memakai sarung tangan yang biasanya mereka buat dari kaos kaki yang
dilubangi supaya jari-jari tangan bisa keluar dan leluasa untuk bergerak.
Ssatu pohon apel, biasanya dikerjakan oleh 3-5 buruh perempuan untuk
bincang satu sama lain. Topik yang dibicarakannya pun juga bermacam-macam,
khas ibu-ibu. Waktu akan terasa lebih cepat, karena pekerjaan ngrempes
buah apel dari serangan hama dan cuaca yang buruk. Di Madiredo sendiri, apel
dibungkus dengan kertas yang anti air. Kertas itu, biasanya berbentuk segitiga.
Namun, juga ada kertas yang berbentuk persegi. Biasanya satu kertas bisa
disediakan oleh pemilik kebun, sehingga para buruh perempuan hanya perlu
disatukan dengan staples lalu bagian atas dan bawah kembali disatukan dengan
staples untuk menutupi seluruh bagian apel sehingga buah apel terhindar dari
membungkus apel jenis manalagi (atau mereka biasa menyebutnya ‘apel hijau’)
karena kulit apel manalagi lebih tipis dan rawan oleh serangan serangga atau
hewan malam seperti kelelawar. Sementara itu, dalam satu pohon buah apel, bisa
tumbuh 2-3 jenis pohon apel. Kebanyakan dalam satu pohon apel, berbuah apel
jenis manalagi (hijau) dan apel anna (merah). Keduanya cukup sulit dibedakan
untuk orang-orang atau buruh perempuan yang masih awam, karena butuh
55
kejelian lebih untuk bisa membedahakan tangkai apel jenis manalagi dan apel
anna.
dan ngrempes kisaran 35.000 – 40.000 per hari, tergantung dar pemilik kebun
apel tersebut. Pada hari sebelum bekerja, pemilk tegal akan menghubungi salah
satu pekerja wanita yang bisa dibilang sudah dipercaya atau sudah sering bekerja
dengannya untuk mengerjakan kebun apel esok harinya. Petani akan mengatakan
Pada saat kami makan, pemilik kebun apel dengan pakaian yang tidak
jauh berbeda dengan para buruh perempuan datang dengan anaknya yang
seumuran dengan saya. Pemilk kebun tersebut tampak sudah sangat
akrab dengan para buruh tani. Dia datang dan bertanya kepada masing-
masing buruh perempuan berapa hari mereka sudah bekerja untuk
dibayar langsung. Satu hari pengerjaan berangkat jam 6 pagi dan pulang
56
bedhug (adzan dhuhur) diberi upah sebesar 40.000. Mak Nur, mak Ipeh,
dan mbak Heni beserta satu buruh yang tidak ikut pada hari ini, mulai
bekerja di hari yang berbeda sehingga pemberian upahnya pun juga
berbeda-beda.
Pekerjaan buruh perempuan di kebun apel yang terakhir adalah ngunduh
atau jika diartikan secara harfiah dalam bahasa indonesia adalah memetik
buah apel. Tidak seperti dua pekerjaan sebelumnya, untuk ngunduh hanya
mungkin apel dapat dipanen dalam satu hari oleh para buruh perempuan. Ini
berarti para buruh perempuan tidak bergantung pada waktu bedug –waktu
biasanya selesai melebihi waktu bedug, entah siang hari, bahkan bisa sampai
sore hari, tergantung dari perbandingan luas kebun apel dan jumlah pekerja
wanitanya.
perempuan di Madiredo. Ini karena, upah yang didapatkan dari ngunduh apel
bisa sampai dua kali lipat dari upah yang didapat dari pekerjaan rempes dan
membungkus buah apel, yaitu mulai dari 50.000 – 100.000, tergantung dari
Bu Tin dua hari lalu tidak ikut matun bersama kami, karena bu Tin pergi
ngunduh atau panen buah apel di kebun apel milik orang. “Ngono iku
seng juragan e wes biasa Mbak. Dino iki gak melok, soale ngunduh
nggon liyo” (Seperti itu pemilik kebunnya sudah biasa Mbak, Hari ini
tidak melanjutkan pekerjaan sebelumnya, karena petik apel di kebun apel
milik orang lain), jelas bu Aminah kepada saya.
Dalam rumah tangga kapitalis, keputusan produksi tergantung kemampuan dan
kemauan kepada anggota rumah tangga itu sendiri untuk berpartisipai dalam
pasar tenaga kerja atau tidak (Geertz, Involusi Pertanian , 1983). Dalam hal ini
57
mendapatkan upah 60.000 rupiah, dengan bekerja ngunduh apel di kebun milik
mereka tidak akan berpikir dua kali untuk menerima tawaran tersebut.
pekerjaan rempes. Karena apel merupakan tanaman keras, sehingga ketika sudah
massa panen, tidak perlu mencabut seluruh pohon dan mengulangi proses
penyemaian dari awal lagi. Berbeda dengan sayuran ketika sudah waktunya
panen, petani atau buruh tani akan memetiknya sampai akar, dengan tujuan
sayuran tidak sebesar ketika ngunduh apel. Sementara itu, pekerjaan lainnya,
tergantung dari jenis sayuran itu sendiri. Untuk tanaman sayur yang dapat
tumbuh tinggi bisa lebih dari 120 cm seperti cabai atau buncis, biasanya ada
merembet dan menganggu tanaman lain dan supaya terlihat lebih rapi.
hijau. Tidak hanya mengikat tanaman tomat yang merembet, mak Roh
juga memotong daun dan batang yang sudah kering atau layu supaya
tidak mengganggu.
mencapai masa panen, tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk tanaman
selanjutnya tumbuh. Salah satu contohnya adalah kebun sayur milik Pak
Khaldun yang pada saat itu saya kunjungi, sedang menanam cabai besar. Pada
saat itu, tanaman cabai tersebut sudah berbuah tetapi masih belum waktu untuk
dipanen. Buruh perempuan disitu matun atau mereka juga menyebutnya bubuti.
sayur yang pada saat itu sedang proses tumbuh. Kebetulan tanaman sebelum
Banyak sisa sawi yang tidak ikut dipanen kemarin karena tidak layak,
jelek, kotor karena rusak akibat terlalu sering kena air hujan yang menimbulkan
59
sawi tersebut busuk dan tidak segar, masih di gundukan tanah –tempat dimana
Hal ini berkaitan dengan kenyamanan tubuh mereka saat melakukan pekerjaan.
Matun di budidaya sayuran tidak perlu kelelahan melihat keatas bahkan sampai
lainnya di pohon apel. Tinggi pohon apel melebihi tinggi manusia, sehingga
untuk mencapai ujung batang atau daun tertinggi pohon, terkadang buruh
perempuan harus menaiki kursi plastik atau naik ke batang pohon apel yang
paling kuat dan masih dibantu menggunaka senggek untuk merendahkan dahan
pertanian kebun apel dibanding bekerja di pabrik olahan apel. “Nek seng kok
ngono iku dinggo sek cantik-cantik gak gelem kenek panas”, celetuk bu Sutiyah
(Kalau yang maunya bekerja di olahan apel itu untuk para ibu-ibu cantik yang
tidak mau terkena panas matahari). Mereka lebih memilih bekerja di luar dengan
terik matahari, suasana lebih luas terbuka, sehingga bebas bergerak dibanding di
ruangan tertutup yang dirasa mereka akan bosan mengerjakan pekerjaan yang
berbahan kain, ada yang berbahan kaos, beberapa juga ada yang menggunakan
61
terusan rok yang lebar, ada pula yang menggunakan bawahan kain batik atau
berbahan kaos, untuk menutupi rambut mereka. Berbeda dengan topi petani
sering menggunakan topi pantai wanita berbahan kain dengan bordiran kecil
belakang supaya tidak copot atau terbang. Untuk topi yang dirasa kurang lebar
menjadi segitiga untuk melapisi topi, sehingga kepala mereka terlindungi dari
masker wajah, selain untuk melindungi wajah kotor, juga untuk menutup
hidung dari bau menyengat dari sayuran yang sudah membusuk. Karena
beberapa ada yang tidak biasa dengan pekerjaan rempes dan membungkus,
sehingga mabuk. Untuk alas kaki, mereka semua seragam menggunakan sepatu
Bekal makanan adalah hal wajib yang sudah pasti selalu dibawa buruh
makan berisi nasi, sayur, lauk. Beberapa diantara mereka juga membawa
kerupuk, buah, atau makanan ringan untuk dibagi-bagikan ke yang lainnya pada
Pada saat saya ikut bekerja bersama 5 buruh perempuan di kebun milik
pak Khaldun untuk cabai yang sebelumnya ditanami sawi putih, bu
Aminah bahkan membawa cobek dan ulekannya untuk membuat
sambal cabai hijau yang dipetik langsung dari tanamannya pada saat
62
pekerjanya akan membawa termos besar isi teh manis hangat untuk nanti dibagi-
pekerjaan yang mereka kerjakan pada hari itu. Namun, ada satu barang yang
wajib dibawa para buruh perempuan ketika mereka bekerja, yaitu sarung tangan.
Sarung tangan yang mereka bawa biasanya berbahan kaos. Kegunaan dari
sarung tangan ini sendiri sebenarnya hanya untuk melindungi tangan dari batang
atau daun-daun kering yang bisa melukai tangan mereka. Maka dari itu,
beberapa dari mereka menggunakan kaus kaki yang mereka lubangi ujungnya
supaya kelima jarinya bisa masuk, sehingga jadilah sarung tangan. Ada juga
masak, sekali pakai) untuk melindungi sarung tangannya supaya tidak basah
63
terkena air yang kebanyakan ditemukan di kebun sayur. Semua barang bawaan
mereka, mereka masukan kedalam tas selempang yang terbuat dari karung bekas
kenyamanan, aspek ekonomi masih menjadi nomor satu pilihan dari para buruh
sebelumnya belum selesai untuk pekerjaan ngunduh apel di kebun milik petani
lain.
bambu, menebas pohon apel yang akan dilakukan peremajaan. Tetapi ada juga
pekerjaan bagian pemeliharaan yang tidak terlalu membutuhkan fisik yang lebih,
tetapi pekerjaan ini memiliki resiko yang lebih besar, yaitu penyemprotan
pesitisida. Penyemprotan pestisida dilakukan satu minggu sekali atau lima hari
sekali, tergantung kondisi iklim dan cuaca pada saat itu. Ketika sering hujan,
64
maka semakin sering dilakukan penyemprotan pestisida. Selain itu, juga melihat
salah satunya bergantung pada jenis dan seberapa besar beban pekerjaan tersebut
upah 50.000 rupiah setiap harinya. Selain itu, buruh petani laki-laki biasanya
juga mendapatkan jatah makan siang lengkap nasi, lauk, dan sayuran. Bagi
beberapa istri petani yang memiliki waktu cukup luang, mereka akan memasak
makanan yang nantinya sekitar pukul 8.30 akan diantar ke tegal untuk jatah
makan siangnya. Ada juga petani yang memasrahkan sejumlah uang untuk
makan ke pekerjanya, sehingga pada waktu hendak istirahat makan, 1 atau dua
orang buruh laki-laki akan turun dan membeli nasi bungkus di warung makanan
Suatu ketika pada waktu para buruh perempuan memutuskan makan dan
istirahat setelah merasa lelah bubuti sawi, bu Suriyah tiba-tiba membuka
pembicaan mengenai perbedaan upah yang diberikan antara buruh
perempuan dan laki-laki. “Lha kui arek lanang seng matun wingi
bayarane yo tetep ya 50.000. La mosok dibayar e 50.000” (Itu buruh
laki-laki yang ikut matun kemarin diberi upahnya juga tetep ya, 50.000),
keluh bu Suriyah kepada buruh yang lainnya. Bu Suriyah merasa
pemberian upah tidak adil, padahal pekerjaan yang dikerjakan pada hari
lalu antara buruh perempuan dan laki-laki sama-sama matun.
Pada saat itu di lahan sayuran milik Pak Khaldun, buruh perempuan dan
laki-laki bekerja dalam waktu dan lahan yang sama. Buruh perempuan bekerja
matun, mencabuti sisa sawi yang masih tertanam di gundukan tanah, sementara
sebagai pembatas antar baris. Pekerjaan para buruh laki-laki pada saat itu sudah
selesai di hari sebelumnya karena kebetulan jumlah buruhnya juga lebih banyak
dibandingkan buruh perempuan, namun pada hari itu para buruh laki-laki masih
ikut bekerja di tegal milik pak Khaldun, sehingga mereka juga bekerja
mencabuti sisa sawi, seperti para buruh perempuan. Ini merupakan salah satu
contoh ketimpangan antara buruh laki-laki dan buruh perempuan dalam hal
pemberian upah. Karena pemberian upah yang lebih besar untuk laki-laki sudah
menjadi peraturan tidak tertulis semenjak dulu, maka apapun pekerjaan buruh
tani laki-laki upah yang diberikan akan tetap sama, mengikuti standar pemberian
membutuhkan kendaraan seperti sepeda monolan, mobil pick up, atau truck yang
cukup untuk mengangkut hasil kebun baik apel maupun sayuran. Untuk
ngunduh nya. Pekerjaan ini diberi upah sebesar 50.000 rupiah untuk sekali
perjalanannya.
pendatang seperti para santri yang belajar di pondok pesantren disana juga bisa
66
bekerja sebagai buruh harian. “Orang luar kalau mondok disini yo istimewa.
Makan ikut juragan, dapat bayaran”, jelas pak Joko yang saat itu mengantar saya
dan para buruh perempuan ke kebun apel untuk dibungkus. Sekolah para santri
dimulai siang hari sekitar pukul 2. Karena itulah para santri yang bekerja
Bab ini akan menjawab pertanyaan dari rumusan masalah mengenai bagaimana
penyerapan tenaga kerja buruh perempuan dan bagaimana perilaku dan strategi
yang dilakukan buruh perempuan sebagai respon dari perubahan pola tersebut.
Terdapat 2 pilihan strategi untuk para buruh perempuan ketika masa transformasi,
Apel merupakan tanaman keras, dimana masa produksinya terhitung lama bisa
mencapai 20 tahun, bahkan lebih. Di masa panen, ketika umur dari pohon tersebut
masih remaja, tidak dipungkiri, petani apel bisa mendapatkan untung yang berkali-
kali lipat, apalagi ketika masa panen apel bersamaan dengan permintaan pasar yang
tinggi. Dalam bab sebelumnya, telah dijelaskan mengenai bagaimana apel mulai
apel di Madiredo mulai mengalami penurunan. Masa penurunan produksi buah apel
di Madiredo menjadi hal yang baru sekaligus memilukan bagi para petani, maupun
Saat saya ikut mak Nur bungkus apel, kami diantar menggunakan mobil pick up
sebelah pak Joko sopir yang membawa kami ke tegal. Di sepanjang perjalanan,
saya melihat lahan kosong yang cukup luas yang ternyata itu adalah lahan bekas
pohon apel yang sudah dibongkar, karena usianya yang sudah tua dan sudah sulit
67
68
untuk berbuah.”Orang sini pas di waktu apel itu istimewa, kaya-kaya. Orang
perempuan yang kerja itu biayanyak dulu. Orang matun iku di rempes orang 150
para petani kemudian mulai membeli lahan dan menanam pohon apel di lahan
tersebut. Para petani yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli dan
bank. Mereka berani memutuskan untuk mengajukan pinjaman kredit, karena yakin
Di akhir tahun 1990 an, luas lahan apel di Madiredo mencapai 300 hektar
(sumber: Balai Desa Madiredo). Sementara itu, untuk lahan apel seluas 1000 meter,
dapat diisi sampai 100 pohon apel, dimana dibutuhkan 12-13 buruh perempuan
menguntungkan bagi para buruh perempuan di Madiredo. Hal ini karena semakin
saat mencapai puncak kejayaan apel di Madiredo, para petani memperebutkan para
buruh tani perempuan untuk bekerja di lahannya. Dalam hal ini kemudian terjadi
hubungan patron-klien dimana para petani menjalin hubungan baik dengan para
buruh supaya buruh-buruh tersebut bekerja di lahan apel miliknya. Para petani
Pada masa itu, kerap terjadi panen raya karena produksi apel di Madiredo yang
sangat berlimpah. Masa itu adalah masa yang paling disenangi para buruh
69
apel rempesan, pekerjane yo uakeh Mbak. Nganti koyo gerak jalan ngono iku”
(Dulu ketika masih banyak pekerjaan rempes apel, buruh perempuan yang bekerja
juga banyak, sampai seperti gerak jalan), jelas bu Novi kepada saya. Para petani
pada saat itu bahkan berani menawarkan upah yang lebih tinggi dibanding petani
lainnya supaya buruh perempuan incarannya mau bekerja di lahannya. Dalam hal
ini, terlihat jelas perilaku rasional para buruh perempuan di Madiredo dalam
mengambil keputusan. Mereka akan bekerja dengan petani yang menawarkan upah
“Biasane kan ono pegawean. Saiki wes raono pegawean” (biasanya ada
pekerjaan, sekarang tidak ada pekerjaan), jelas bu Mujidah kepada saya mengenai
kondisi para buruh perempuan setelah produksi apel menurun. Para petani yang
lahan apelnya sudah tidak bisa berproduksi secara maksimal, karena penyakit
maupun cuaca memilih untuk membongkar pohon apel dan menggantinya dengan
Kebutuhan buruh perempuan di budidaya apel dan sayuran tentu saja berbeda.
Seperti yang sudah dijelaskan, untuk proses panen kebun apel seluas 1000 meter,
dibutuhkan 13-14 tenaga buruh perempuan. Selain itu, pekerjaan yang diperlukan
untuk budidaya apel juga lebih banyak dibandingkan dengan sayuran. Pada
budidaya apel, dibutuhkan tenaga kerja untuk rempes, membungkus buah apel
(untuk melindungi dari hama dan hewan), dan ngunduh. Sementara itu, untuk
70
budidaya sayuran dengan luas yang sama, hanya memerlukan 4-6 tenaga buruh
buruh perempuan di budidaya sayuran juga lebih sedikit, yaitu hanya matun dan
ngunduh.
Sesaat sebelum sopir menginjak pedal gas di mobil pick up yang hendak
mengangkut kami untuk matun melanjutkan pekerjaan kemarin, bu Sarinah
salah satu dari tiga buruh pada saat itu, mengusulkan untuk mengajak salah satu
tetangganya, bu Tinah untuk ikut matun bersama kami, karena dua orang buruh
yang kemarin matun tidak ikut hari ini. Sayangnya, saat dihampiri di rumahnya
bu Tinah sedang tidak berada di rumahnya. Bu Sarinah menyayangkan
kesempatan kerja yang ada, karena itulah ia mengusulkan untuk mengajak bu
Tinah, tetangganya.
Para buruh perempuan di Madiredo dulu tidak perlu merasa gelisah kebingungan
dimana atau dengan siapa esoknya mereka akan bekerja, karena pekerjaan akan
selalu datang, bahkan mereka bisa memiliki kesempatan untuk memilih upah yang
lebih besar. Tidak seperti sekarang yang produksi apelnya berkurang, para buruh
perempuan menerima semua tawaran pekerjaan dari petani yang tidak pasti setiap
interaksi sosial, baik antar sesama buruh atau petani (juragan) dan buruhnya. Dulu
ketika lahan apel masih sangat luas dan menghasilkan panen yang berlimpah, petani
memang saling berebut buruh perempuan satu sama lain dengan cara berani
memberi upah lebih banyak dibandingkan petani lainnya. Hal itu kemudian menjadi
sebuah pengalaman yang dapat menjadi pelajaran bagi para petani karena tidak
selamanya para buruh perempuan yang mereka pekerjakan memuaskan. Dalam hal
ini seiring berjalannya waktu setelah para petani merasa tidak cocok dengan kinerja
71
dari buruh perempuan yang mereka pekerjakan, mereka memutuskan untuk tidak
para produsen pertanian bisa puas dengan solusi yang digunakan untuk
permasalahan produksi, salah satunya adalah biaya yang digunakan untuk menarik
suara doa pujian-pujian dari pengeras suara masjid atau mushola. Biasanya, ketika
sudah terdengar pujian-pujian dari pengeras suara masjid, para buruh sesegera
mungkin meninggalkan lahan dan kembali ke pondok untuk membersihkan diri dan
meringkas barang bawaannya untuk pulang ke rumah. Tetapi, ada satu cerita
dimana pada saat itu lantunan pujian dari pengeras suara di masjid sudah terdengar,
namun pekerjaan mereka masih tersisa sedikit lagi untuk diselesaikan, karena itu
mereka. Di waktu pemberian upah, para buruh tersebut melaporkan bahwa mereka
dengan tujuan meminta upah lebih dari petani, karena kelebihan waktu pekerjaan
selama 10 menit tersebut. mau tidak mau petani memberi tambahan upah kepada
Waktu berangkat para pekerja tani di Madiredo sebelum jam 6 dari rumah,
sehingga perkiraanya pukul 6 lebih sedikit para pekerja tani sudah berada di tegal
dan mulai pekerja. Suatu saat ketika masa panen apel, petani mempekerjakan buruh
perempuan yang sama dengan sebelumnya. Sangat disayangkan, karena para buruh
perempuan tersebut korupusi waktu, karena mereka baru berangkat setengah 7 pagi
72
yang berarti sudah siang dan terlambat untuk para pekerja tani bekerja. Kelakuan
nakal para buruh perempuan lainnya adalah pada saat panen, mereka tidak segera
memulai pekerjaannya sampai petaninya datang dan ikut bekerja dengan mereka.
ini dari petani apel. Di masa panen, Pak Farhan pemilik kebun apel mempekerjakan
buruh perempuan untuk membantunya ngunduh apel. Hari itu, para buruh
perempuan baru sampai ke tegal disaaat pak Farhan sudah mulai memetik buah
apel yang beratnya mencapai 2 kuwintal. Tidak hanya itu, ketika bekerja di lahan
pekerjaannya dan meneduh di pondok. “Ndek kene iku. Apa ya ibaratnya. Buruh itu
gak takut koyo ndek perusahaan-perusahaan kan yo betul-betul adil ya mbak. Kene
itu juragan e leren, rewang e yo melok leren” (Disini itu, ibaratnya buruh petani
tidak takut dengan petaninya. Tidak seperti pekerja yang ada di perusahaan-
perusahaan yang benar-benar adil. Disini kalau juragannya istirahat, buruhnya juga
ikut istirahat), jelas istri pak Farhan kepada saya pada saat menceritakan
pengalaman buruknya mempekerjakan buruh perempuan yang nakal. Dalam hal ini,
petani merasa tidak adil karena ia merasa tidak bisa memotong upahnya dengan
alasan terlambat bekerja, tidak seperti para buruh yang meminta upah lebih karena
mereka menambah sedikit waktu bekerja supaya pekerjaan di hari itu bisa selesai.
Suasana di tegal yang beberapa kali saya kunjungi dengan beberapa buruh
perempuan yang berbeda, tidak selalu sama, tergantung dari masing-masing
kelompok buruh perempuan tersebut. Pada saat saya ikut ngrempes bersama
dengan 14 buruh perempuan lainnya, saya cukup terkejut dengan ramainya
suasana di tegal sesaat setelah mereka meletakkan tas dan barang bawaannya
untuk memulai pekerjaan. Mereka bekerja dengan tangan yang merempes pohon
apel sembari terus berbicang-bincang dengan pembahasan yang tidak ada
habisnya. Pembahasan pertama pada saat itu adalah gossip penyanyi dangdut
73
idola ibu-ibu yang saat itu sedang ramai meminta gugatan cerai karena
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Banyak dari mereka yang kecewa
dengan keputusan artis yang mencabut tuntutan di polisi. Namun beberapa dari
mereka juga ada yang setuju dengan keputusan sang artis karena suaminya
tampan yang kemudian langsung disaut ibu-ibu lainnya dengan kalimat kasar
yang menghina suaminya yang melakukan KDRT. Pembahasan mengenai artis
tersebut yang panjang lebar akhirnya selesai, namun perbincangan masih belum
selesai. Salah satu ibu-ibu menjadi sumber berita dan menceritakan bahwa suami
dari artis tersebut sudah selingkuh selama empat tahun dengan model cantik.
Beliau bahkan tidak ragu-ragu menceritakan gosip yang mengatakan bahwa
suami dari artis tersebut selingkuh dengan wanita lain, sampai melakukan
hubungan seksual sampai 11 kali. Kemudian ibu-ibu lainnya berekasi heboh dan
kaget.
Suasana di tegal akan mulai terasa sunyi ketika sudah mendekati waktu istiahat
untuk makan. Setelah makan bekal dan istirahat rasanya ibu-ibu menjadi lebih
bahan obrolan atau sudah mulai lelah, kini mereka kembali berbincang-bincang.
Gaya bahasa ibu-ibu pada saat di tegal yaitu berbicara dengan nada tinggi dan asal
ceplos. Tidak hanya itu, mereka juga sering mengeluarkan kata kasar dari yang kata
Menurut petani idealnya satu pohon apel bisa dirempes 1 atau 2 orang saja.
Ketika mempekerjakan 14 buruh perempuan dalam satu waktu ada 7 pohon apel
menggerombol sampai 5 orang. Menurut petani hal ini justru yang menjadikan
pekerjaan mereka tidak produktif karena dekatnya jarak mereka satu sama lain
Tidak semua buruh perempuan di Madiredo memiliki sifat nakal seperti yang
saya paparkan diatas. Masih banyak buruh perempuan lainnya di Madiredo yang
memiliki sifat pekerja keras, jujur, dan maksimal. Disini kemudian terjadi semacam
‘politik kerja’ ketika segerombolan buruh perempuan yang nakal bekerja dengan
buruh perempuan yang jujur dan bekerja dengan maksimal. Mereka yang bekerja
dengan jujur dan maksimal biasanya adalah sebagian kecil atau bahkan individu
yang berada di dalam sekelompok buruh nakal, sehingga secara kekuatan pasti
permainan politik kerja dimana buruh nakal hanya akan mengajak buruh yang sama
individu dalam satu kelompok pekerja tersebut. Dalam hal ini beberapa petani bisa
menyadari bahwa satu atau dua buruh yang kemarin bekerja dengannya ada, tetapi
saat ini tidak ada. Kemudian petani secara individu akan mengajak buruh jujur
75
Dalam hal ini para petani kemudian belajar dari pengalaman masa lalu yang
kurang mengenakan dengan tidak mempekerjakan para buruh tani perempuan yang
bekerja di lahan miliknya, karena dianggap buruh yang memiliki hubungan saudara
dengan petani ini memiliki rasa sungkan dan tanggung jawab yang tinggi. Para
buruh ini memang berangkat kerjanya siang, tapi mereka juga bertanggungjawab
pulangnya menjadi lebih siang juga. Selain itu, mereka juga tidak pernah
perhitungan masalah upah seperti para buruh yang sebelumnya. Dengan begitu,
mengajak saudara untuk bekerja di lahan miliknya menjadi sebuah pilihan yang
tepat bagi petani dalam kasus ini, karena sesuai dengan harapan bahwa para buruh
menyadari dan bertanggungjawab atas pekerjaan sesuai dengan upah yang diberi
(Ortiz, 2005).
“Capek ga kerasa mbak, sing penteng anakku sangu sekolah. Ibuk i gak onok
capek e mbak” (Capek tidak terasa Mbak, yang penting anakku punya uang jajan
sekolah. Ibu itu tidak ada lelahnya, Mbak), jelas mak Ranah kepada saya pada saat
kami istirahat mengikat tanaman tomat di tetelan yang berada di lereng pegunungan
milik pak Kadirin. Untuk mencapai tetelan milik pak Kadirin yang pada saat itu
ditanami tomat sayur dan cabai (menggunakan metode tumpang sari), kami harus
melewati jalanan setapak yang terkadang tidak rata tanahnya, penuh bebatuan,
76
becek karena sisa hujan kemarin, jembatan yang terbuat hanya dari batang pohon,
dan tanjakan yang curam dan cukup panjang. Mak Ranah sendiri terlihat sangat
lincah dan sudah terbiasa melewati medan terjal seperti ini. Dengan semangat yang
amat besar, ia berjalan tanpa henti dari keluar rumahnya sampai menuju lereng
pegunungan yang cukup tinggi dengan medan yang luar biasa menguji nyali.
Mak Ranah sudah bekerja menggarap tetelan milik pak Kadirin semenjak tomat
sayur ini mulai ditanam sampai sekarang tanamannya sudah tumbuh cukup tinggi
hubungan yang sangat baik dengan pak Kadirin sebagai juragannya. Pak Kadirin
memberi secara cuma-cuma hasil kebun yang sedang ia garap kepada mak Ranah,
Memiliki tiga anak membuat mak Ranah tidak kehilangan semangat untuk terus
bertani diusia paruh abadnya ini. Ia merasa harus sehat secara fisik supaya dapat
beberapa kali mak Ranah bekerja lembur sampai waktu ashar supaya mendapatkan
upah lebih dari petani. Anak pertama mak Ranah perempuan, sudah menikah dan
sudah memiliki anak yang sekarang sekolah tingkat menengah pertama. Anak
kedua mak Ranah laki-laki dan sekarang sedang bekerja di kebun wortel milik
petani. Anak terakhirnya, perempuan masih sekolah menengah atas tingkat akhir.
Mak Ranah belakangan merasa resah karena anak bungsunya ini memiliki
merasa tidak cukup percaya diri untuk membiayai pendidikan anak bungsunya ke
Dulu, mak Ranah memiliki kebun apel yang dalam sekali panennya bisa
mencapai 10 ton di tahun 1990 an. Berjalannya waktu kemudian lahan apel tersebut
tatu (rusak) dan tidak bisa menghasilkan buah apel yang maksimal. Daripada
memaksa untuk dilanjutkan, mak Ranah memilih untuk sekalian memangkas semua
pohon apel dan segera menggantinya dengan sayuran. Meskipun pendapatan yang
didapatkan dari hasil sayur jauh lebih sedikit dibandingkan apel, setidaknya mak
Ranah tidak mengalami kerugian yang cukup tinggi, karena biaya untuk produksi
miliknya seluas 1600 meter untuk membelikan rumah anak pertamanya. Lahan ucet
yang ia dapatkan dari warisan kedua orangtuanya juga terpaksa ia jual dan laku 12
juta pada saat itu. “Penghasilane rodok seret” (penghasilannya agak seret), jelas
mak Ranah kepada saya. Saat ini mak Ranah hanya memiliki kebun sayuran yang ia
garap sendiri bersama keluarganya. Untuk sampingan, mak Ranah bekerja dengan
petani lainnya menjadi buruh petani, karena pendapatan yang didapat budidaya
sayuran miliknya sendiri tidak cukup untuk keluarganya. Waktu berjalan, nasib
mak Ranah pun kini menjadi terjungkir. Dahulu ketika mak Ranah punya lahan
Kini, lahan apel miliknya sudah ia jual dan tidak ada lagi yang tersisa, giliran mak
Ranah yang bekerja dengan petani yang membeli lahan apel milik mak Ranah
dulunya.
78
Suasana di tetelan pada saat itu sangat sepi, tidak banyak petani atau buruh
perempuan yang bekerja di lahan sayuran disana. Beberapa lahan sayuran juga
terlihat banyak tanaman liar disekitar lahan sayuran yang memang sengaja
dibiarkan saja. “Iku ki jarang mengerjakan. Nggarai opo? Lah sayurane kan
murah kabeh. Dadine iku jadi digarap sendiri. Gak balik modal. Dadi yo
nggoleh maneh, nggoleh duek maneh. Wong tani yo Mbak, gampang. Sok mben
enek larang e yowes, seneng. Tapi lek onok hargane turun, yowes” (Ini itu
jarang dikerjakan karena apa? Lah, sayurannya kan murah semua. Jadi
dikerjakan sendiri. Tidak balik modal. Jadinya ya menanam yang lainnya lagi,
mencari uang lagi. Orang tani itu, Mbak gampang. Besok bisa dijual mahal,
yaudah senang. Tapi kalau harganya turun, yasudah), jelas bu Novi panjang
lebar kepada saya pada saat panen di tetelan miliknya.
Keuntungan yang didapat petani dari budidaya sayuran lebih sedikit
dibandingkan dengan budidaya apel, karena fluktuasi harga sayuran umumnya lebih
tinggi dibandingkan dengan buah (Irawan, 2007). Hal ini karena pada saat ini
terjadi tidak seimbangnya jumlah pasokan jenis sayuran tersebut dan tinggi
rendahnya minat pembelian di pasar. Sementara itu, petani tidak bisa menampung
hasil panen sayurannya supaya mendapatkan waktu yang tepat untuk mendapatkan
hasil jual yang tinggi, karena mereka tidak memiliki teknologi yang cukup
memadai untuk menyimpan sayuran yang sifatnya mudah rusak. “Ibarate koyo
wong main, wong judi” (Ibaratnya seperti orang bermain , orang judi), jelas bu
Novi kepada saya pada saat panen ucet di tetelan miliknya. Banyak petani bahkan
masa panen karena hasil dari budidaya sayurannya bahkan tidak bisa menutupi
Bagi para buruh perempuan sendiri, bekerja di budidaya sayuran milik petani
dari pekerjaan mereka, disini mereka jadi memiliki kesempatan untuk mendapatkan
setiap hari, 30 hari dalam 1 bulan mendapat panggilan untuk bekerja di lahan
pertanian milik para petani. Ada kalanya mereka dalam hitungan hari, minggu,
maupun bulan sepi atau tidak ada yang mengajak untuk menggarap tani. “Yo koret-
koret, Mbak”, kata mbak Alfi kepada saya saat itu. Secara bahasa koret-koret
berarti ‘mengais’. Dalam hal ini ketika mereka sedang mendapatkan pekerjaan di
budidaya sayuran, di setiap harinya para buruh perempuan akan mengambil sedikit-
sedikit sisa sayuran atau memetik sayuran yang sekiranya lebih masak dibanding
yang lain dari lahan yang mereka kerjakan. Sayuran yang mereka dapatkan dari
sana biasanya bisa menjadi cukup untuk menjadi persediaan bahan makan
Banyak sekali sisa sawi dari yang masih tertanam sampai akarnya maupun yang
sudah lepas dari tanah di lahan yang saat itu sedang ditanam cabai hijau. Pada
saat itu, saya sedang ikut bekerja dengan para buruh perempuan untuk matun –
mencabuti sisa sawi hijau kemarin yang tidak layak jual di pasaran karena sudah
80
jelek, rusak, dan kotor di kebun cabai hijau. Petani yang membawa saya kesana
mengatakan sambil mengambil sawi yang tergeletak di tanah dan mencabuti
bagian luar daun sawi hijau sampai tersisa daun sawi hijau lebih kecil yang
bagus dan masih segar sambil mengatakan bahwa sawi ini masih bisa dibawa
pulang untuk dimasak di rumah.
Bagi para petani sendiri, hal seperti itu sudah biasa terjadi dan mereka merasa
biasa saja ketika buruh perempuan mengambil sisa sayuran yang ada di kebun
untuk dibawa pulang. Tidak hanya sayuran yang sudah tergeletak di tanah, para
Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional bahwa wajib belajar 12 tahun.
Sekolah Dasar, yaitu SD Negeri 01, 02, dan 03 Madiredo. Selain ketiga sekolah
81
siswa dan orangtua dibebankan uang SPP atau biasanya disebut ‘Infaq’ pada setiap
bulannya.
Ketika para buruh perempuan membawa 1 plastik besar berisi sawi-sawi tidak
bisa lolos masuk pasaran, buruh laki-laki yang kebetulan saat itu juga bekerja
bersama membawa tumpukan besar rumput liar yang mereka ikat menggunakan
robekan karung di punggungnya. Mobil pick up yang sebelumnya pada saat
mengantar kami ke kebun terasa longgar, pada saat mengantar pulang mobil
tersebut jadi terasa sesak terisi tumpukan rumput liar dan sawi-sawi yang dibawa
pulang para buruh. Tumpukan rumput liar tersebut mereka gunakan sebagai
pakan sapi-sapi yang mereka pelihara di rumah.
Pada bagian sebelumnya, saya telah menyinggung sedikit bahwa selain bertani,
kepada saya dengan nada yang santai. Bagi beberapa buruh perempuan yang
pertanian bukan menjadi masalah yang besar. Mereka masih mendapat pemasukan
anggota di Koperasi Susu Sae Pujon (Kopsu Sae). Mengutip artikel dari
yang memiliki akses terbatas, sekaligus menjadi faktor yang penting untuk
pembangunan ekonomi (Jaime & Salazar, 2011). Memerah sapi dilakukan dua kali
dalam satu bulan pada tanggal 15 dan 30. Mereka biasanya memerah susu sapi
mendapatkan uang dari sana. Hasil perahan susu sapi sangat beragam dan tidak bisa
82
diprediksi. Sapi yang berkulias tinggi, tentu akan menghasilkan susu yang banyak.
Hasil susu perahan terkadang bisa mencapai sampai 15 liter. Sementara itu untuk 1
para masyarakat Madiredo yang memelihara susu perah. Selain bayaran yang
mereka dapat pada tanggal 9 dan 24 pada tiap bulannya untuk hasil perahan sapi
menabung. Uang dari hasil perahan sapi, sebagian diwajibkan untuk ditabung di
koperasi tersebut. Semakin sedikit uang dari hasil perahan sapi yang diambil,
pokok ini, mereka sebut “suka rela”. Sementara itu, bagi yang sudah menjadi
anggota minimal 3 bulan setiap tahunnya ketika mendekati lebaran, mereka akan
83
mendapatkan persen atau sembako berupa beras 10 kg, minyak 2 liter, gula 5 kg,
bermasyarakat. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa setiap ada warga
Untuk mengadakan slametan, biaya yang dibutuhkan tentu tidak sedikit. Sebagai
contoh, salah satu acara yang biasanya diadakan slametan adalah acara pernikahan.
masa panen untuk menyelenggarakannya (Geertz, 2013). Dalam hal ini, buruh
5. 1 . Kesimpulan
sebagian besar pekerjaan masyarakatnya adalah petani. Dalam hal ini, para
secara komersil dengan menjual hasil taninya ke pasar (Popkin, 1986). Model
pertanian yang digunakan di Madiredo adalah tumpang sari, dimana dalam satu
lahan, ada dua jenis tanaman berbeda yang dibudidayakan secara bersamaan,
sehingga tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk panen hasil sayuran satu
dengan yang lainnya. Masuknya budidaya apel pada awal tahun 1990 di
buruh perempuan.
merempes, membungkus apel, dan panen apel. Dari tiga pekerjaan tersebut,
panen apel merupakan pekerjaan dengan upah paling tinggi, sehingga para buruh
sebelumnya yang belum selesai untuk bekerja panen di budidaya apel milik
84
85
untuk buruh perempuan memiliki beban fisik yang lebih ringan dibandingkan
dengan para buruh laki-laki di Madiredo, oleh karena itu upah yang didapat para
buruh perempuan juga lebih sedikit, yaitu sekitar 30.000 – 40.000 per harinya
Saat itu, ketika memasuki masa kejayaan apel di Madiredo, para petani
yang sukses dan kaya karena budidaya apelnya memiliki kedudukan yang
lebih megah dan modern dengan pendapatan dari budidaya apel miliknya.
Banyak petani yang juga melaksanakan ibadah haji sebagai bentuk pencapaian
tingkat ekonominya. Tidak hanya untuk petani, meluasnya budidaya apel pada
tahun 1990 di Madiredo, memberi dampak positif bagi para buruh perempuan
yaitu semakin luasnya kesempatan kerja mereka. Pada masanya, ketika apel
upah yang lebih tinggi dibanding petani lainnya untuk mendapatkan tenaga kerja
dari buruh perempuan di budidaya apel mereka. Para buruh perempuan pun pada
saat itu memiliki kesempatan untuk memilih upah mana yang lebih
menguntungkan untuk dirinya. Hal ini sesuai dengan (Becker, 1965) dimana
yang dirasa gaya kerjanya di tegal tidak cocok dengan penanggung jawab buruh
tidak akan diajak oleh penganggung jawab buruh lagi di pekerjaan selanjutnya,
biasanya hanya akan mengajak teman kerja yang gaya bekerjanya sama satu
sama lain. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah seberapa produktif mereka
mereka bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk meminta upah lebih
kepada petani ketika mereka merasa waktu bekerja mereka lebih dari biasanya.
Seiring berjalannya waktu pohon apel semakin menua dan rusak karena
pengaruh obat pesitisida, bersamaan dengan perubahan iklim dan cuaca yang
sulit di prediksi menjadikan para petani menghabisi lahan budidaya apel nya
sayuran, seperti dulu sebelum apel muulai masuk di Madiredo. Hal ini kemudian
berdampak cukup besar bagi para buruh perempuan karena kesempatan bekerja
perempuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan di budidaya apel bisa dua kali lipat
lebih banyak, untuk luas lahan yang sama. Ditambah, banyaknya petani yang
mengambil sayur mayor yang tidak layak masuk pasar namun masih layak
penelitian ini adalah, para buruh perempuan Madiredo meskipun sedang sepi
atau tidak sedang bekerja di lahan apel maupun sayuran milik petani, mereka
tetap memiliki lahan milik keluarganya yang masih harus diolah dan diurus
sebagai penghasilan pokok mereka yang sebenarnya dari segi ekonomi, mereka
masih merasa kurang dengan pendapatan dari lahan sayuran milik pribadi.
memanfaatkan susu dari sapi perahannya 2 kali dalam 1 bulan yang kemudian
diserahkan ke Koperasi Susu Sae Pujon untuk mendapatkan uang dari sana.
Sementara itu, hubungan baik yang terjalin antara petani dan buruh tani dalam
(patron-client) memberi dampak yang positif tidak hanya pada petani yang
lahannya digarap oleh para buruh, tetapi juga kepada para buruh ketika mereka
membutuhkan uang lebih untuk acara-acara besar yang mereka adakan dalam
kehidupan bermasyarakat.
5. 2 . Saran
DAFTAR PUSTAKA
https://www.mongabay.co.id/2020/12/22/kondisi-miris-buruh-perempuan-di-
kebun-sawit/
Empirical Study In Wetern Uttar, India. Rivera Open Gender and Women
284.
Geertz, C. (2013). Agama Jawa; Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.
Belajar pada Materi Sumber Daya Alam MI Nurul Huda Plosorejo. thesis.
88
89
Indarti, S., Luthfi, A., & Kismini, E. (2016). Transformasi Pertanian dan Diferensiasi
Intan, C., & Meliza, R. (2021). Kehidupan Buruh Tani Perempuan dalam Membantu
83-90.
Irawan, B. (2007). Fluktuasi Harga, Transmigrasi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran
Juanda , Y. A., Alfiandi, B., & Indraddin. (2019). Strategi Bertahan Hidup Buruh Tani
di Kecamatan Danau Kembar Alahan Pajang. JISPO Vol.9 No.2, 514 - 530.
“KOPERASI "SAE" Pujon Merupakan Pionir yang Luar Biasa” 13 May 2023,
www.malangkab.go.id/mlg/default/page?title=malangkab-pusat-opd-wakil-
2023.
Kota Batu dan Apel, 2 Hal yang tak Terpisahkan (2023) agendaindonesia.com.
Li, T. M., & Semedi, P. (2022). Hidup Bersama Raksasa Manusia dan Pendudukan
Ortiz, S. (2005). Decision and Choice: the Rationality of economic actors . A Handbook
Popkin, S. (1986). The Rational Peasant: The Political Economy of Peasant Society.
Indonesia.
Yani, N. L., & Indrayani, L. (2021). Keterlibatan Perempuan Dalam Sektor Pertanian
(Studi Kasus di Desa Songan, Bangli, Bali). Ekuitas Jurnal Pendidikan Ekonomi
Zurinani, S.I. (2012) Budidaya Kopi di Hutan dan Dinamika Pelapisan Sosial Petani
Jawa. thesis.