688 1053 1 SM
688 1053 1 SM
688 1053 1 SM
Abstrak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan politik ekologi dengan pengelolaan lingkungan hidup
terhadap kondisi sosial, dan ekonomi masyarakat dalam perspektif otonomi daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi ini adalah observasi (pengamatan),
wawancara mendalam dan studi pustaka. Hasil penelitian di 3 desa sampel penelitian yakni Desa Pembatanan, Kecamatan
Sungai Tabuk, Desa Manarap Baru, Kecamatan Kertak Hanyar dan Desa Pasar Kamis, Kecamatan Kertak Hanyar
membuktikan bahwa perubahan ekologi yang terjadi bukan dikarenakan rasionalitas masyarakat dan perusahaan (industri)
saja, melainkan ada intervensi politik-ekonomi pemerintah melalui kebijakannya. Asumsi pokok dalam kondisi tersebut
bahwa perubahan lingkungan tidaklah bersifat netral. Melainkan merupakan suatu bentuk politicized environment yang
melibatkan banyak aktor berkepentingan. Kondisi ini menekankan bahwa persoalan lingkungan bukan disebabkan karena
persoalan internal dalam lingkungan tersebut (masyarakat), tetapi lebih disebabkan karena pengaruh eksternal yaitu karena
tekanan politik dan ekonomi di luar dirinya, termasuk juga dengan adanya kebijakan otonomi daerah (desentralisasi).
Desentralisasi dan otonomi daerah adalah tantangan lain untuk tata kelola sumber daya alam. Ada kepentingan yang
bersaing antara pemerintah pusat dan daerah karena perbedaan interpretasi atas regulasi desentralisasi. Meskipun
menguntungkan bagi pembangunan ekonomi, pengelolaan lingkungan yang tidak berkelanjutan juga mengancam
mata pencaharian lokal dan keanekaragaman hayati yang kaya. Sehingga perlu melibatkan pemangku kepentingan
dari semua tingkatan yakni pemerintah pusat, pemerintah kabupaten, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat
(LSM) dan, masyarakat lokal.
Kata kunci: politik ekologi, pengelolaan lingkungan hidup, otonomi daerah, desentralisasi, kebijakan.
1. PENDAHULUAN
Ketidaksetaraan relasi kuasa dalam pengelolaan lingkungan hidup secara umum, bisa dilacak dari sejarah
panjang pembukaan hutan dan lahan, termasuk hutan rawa gambut, untuk kepentingan pembangunan ekonomi.
Meningkatnya kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) dan pengelolaan lingkungan yang destruktif
terjadi karena proses pembukaan hutan dalam skala luas, yang didorong oleh motif ekonomi perusahaan untuk
membuka lahan dengan cara membakar, serta faktor-faktor yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan
yang eksploitatif terhadap sumber daya alam. Pendekatan politik ekologi ini yang dipakai berdasarkan perspektif
otonomi daerah dalam melihat pengelolaan lingkungan hidup adalah salah satu cara pandang dalam memahami
persoalan hubungan manusia dengan lingkungan, merupakan pemikiran yang baru berkembang pasca
pemberlakuan kebijakan otonomi daerah (Otero & Nielsen, 2017)
Cara pandang baru dalam memahami persoalan lingkungan ini banyak dipengaruhi dari pemikiran neo-
marxian tentang underdevelopment, sebagai bentuk kritik dari pendekatan malthusian dan cultural ecology
(pendekatan sistemik) selama ini. Oleh sebab itu, cara pandang politik ekologi ini lebih menekankan analisisnya
bahwa persoalan lingkungan bukan disebabkan karena persoalan internal dalam lingkungan tersebut, tetapi lebih
disebabkan karena pengaruh eksternal yaitu karena tekanan politik dan ekonomi di luar dirinya, termasuk juga
dengan adanya kebijakan otonomi daerah (desentralisasi). Pengelolaan lingkungan tentu memiliki dimensi dan
implikasi politik, dimana aktor-aktor seperti pemerintah dan perusahaan memiliki kuasa dan kapital untuk
menentukan pola dan arah pemanfaatan sumber daya alam, sementara warga masyarakat merupakan pihak
yang paling lemah dan menjadi korban dari dampak-dampak yang ditimbulkan. Pengelolaan lingkungan hidup
menjadi ajang kontestasi kepentingan politik dari peran, pengaruh dan kepentingan dari aktor-aktor yang terlibat
didalamnya (Arifin, 2012; Srinivasan & Kasturirangan, 2016).
Berangkat dari pemikiran ini, maka menurut pandangan politik ekologi, konsekuensi pengelolaan
lingkungan hidup termasuk hubungan manusia dengan alam (merusak maupun lestari) lebih dipengaruhi oleh
adanya tekanan politik dan ekonomi akibat pengaturan kebijakan otonomi daerah. Ini berbeda dengan
pandangan kaum ekologi sebelumnya yang lebih memandang relasi manusia dengan alam lebih disebabkan
karena tekanan internal dalam hubungan itu sendiri, seperti tekanan penduduk (malthusian), dan persoalan
teknis dalam pengelolaan (eksploitasi dan konservasi) (Arifin, 2012; Ostrom & Schlager, 2003).
Persoalan pola hubungan manusia dengan lingkungan, bukanlah persoalan kepadatan penduduk, atau
karena persoalan sistemik (cultural ecology), tetapi sebenarnya lebih disebabkan karena persoalan
ketidakmerataan (inequality) dan faktor tekanan kekuasaan (power and authority). Oleh sebab itu, politik ekologi
lebih mengarahkan cara pandangnya bahwa persoalan kerusakan lingkungan tidak murni disebabkan karena
persoalan internal, tetapi dominan disebabkan karena faktor eksternal yang sifatnya global (makro) (Satria, 2007;
Satira, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis politik ekologi terkait pengelolaan lingkungan hidup
masyarakat Kabupaten Banjar. Secara lebih spesifik, riset ini ditujukan untuk memberi wawasan tentang salah
satu pemikiran baru dalam memahami persoalan lingkungan yang sedang kita hadapi, yaitu melalui cara
pandang yang dikenal dengan politik ekologi dan relevansinya dengan relasi kuasa.
2. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif
merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Obie et al, 2014). Penelitian awal
dilakukan dengan metode desk study dengan teknik dokumentasi dari berbagai sumber kepustakaan. Analisis
data hasil penelitian dalam kajian ini dilakukan dengan bersumber pada data, fakta dan narasumber kunci.
Kehidupan masyarakat desa Pembantanan dapat terlihat jelas bahwa mayoritas bekerja sebagai buruh tani
atau buruh perkebunan lainnya serta peternakan. Hal ini dapat terlihat dari masing-masing pekarangan rumah
pada saat tersebut dipenuhi dengan padi yang sudah dipanen dan sedang dijemur di bawah terik matahari.
Adapun masyarakat yang memanfaatkan lahan kosong disamping rumah untuk menanam padi. Beberapa
masyarakat yang lain juga memanfaatkan lahan pekarangan mereka untuk ditanam waluh (labu), terong, kacang,
umbi-umbian (ubi jalar), jagung dan tebu. Selain itu masyarakat desa Pembantanan juga akrab dengan sungai.
Hal ini terlihat selama melaksanakan observasi lapangan, banyak warga yang berlalu-lalang menggunakan
jukung di sungai serta beberapa rumah warga juga terdapat jukung yang sedang tidak dipergunakan.
Menurut bapak Bahtiar, selaku narasumber dan masyarakat di desa Pembantanan, desa tersebut untuk
pengelolaan lingkungan hidup khususnya untuk pengelolaan lahan tani masih tidak mendapatkan perhatian dari
pemerintah, hal ini beliau sampaikan karena bantuan subsidi dari pemerintah untuk buruh tani masih sangat
minim, hanya diberikan 1 karung kecil pupuk dan obat tanah, selebihnya buruh tani harus bermodal sendiri.
Kemudian narasumber juga bercerita mengenai keluasan wilayah yang diatur oleh desa Pembantanan, menurut
beliau karena luas daerah desa Pembantanan ini membuat jalan untuk perbaikan dan pengelolaan jalan dan
sarana dan prasarana lainnya terhambat. Karena masing-masing warga ingin mendapatkan perbaikan segera
dalam hal jalanan dan lainnya sedangkan RT yang termasuk ke dalam wilayah desa Pembantanan termasuk 12
RT. Menurut beliau hal inilah yang menghambat untuk mendapatkan dana perbaikan desa sebab aparatur desa
pun bingung wilayah yang mana yang harus mendapatkan perhatian terlebih dahulu dan tetap menimbulkan nilai
keadilan.
Sulitnya akses jalan tersebut akhirnya, membuat akses masyarakat terhadap ekonomi dan pekerjaan
menjadi terhambat. Padahal Desa Pembantanan merupakan wilayah dan daerah potensial yang memiliki lahan
pertanian dan lahan perkebunan yang berkembang. Dalam hal ini dapat terlihat dari mayoritas pekerjaan
masyarakat desa Pembantanan di mana mereka rata-rata bekerja sebagai buruh tani, hal ini terlihat pada hampir
keseluruhan rumah warga di saat ini yang merupakan musim katam atau musim panen padi sedang menjemur
hasil panen padi mereka masing-masing. Kehidupan masyarakat desa Pembantanan juga tidak terlepas dari
aspek pengelolaan lingkungan hidup berupa perkebunan, di mana masyarakat selain bertani juga berkebun
umbi-umbian seperti keladi, dan ubi jalar. Selain itu masyarakat juga menanam kacang, labu, terong, jagung
maupun tebu di sisa lahan di sekitar rumah mereka. Lingkungan hidup adalah keseluruhan daya, keadaan serta
makhluk hidup yang mana manusia terdapat didalamnya beserta tingkah perilakunya. Artinya lingkungan hidup
merupakan keadaan dari lingkungan termasuk tumbuhan, hewan dan makhluk hidup lainnya termasuk manusia
yang saling berkaitan.
© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
151
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 7 Nomor 7 Halaman 150-156 April 2022 e-ISSN 2623-1980
Menanam padi juga masyarakat lakukan dengan memanfaatkan lahan sisa di sekitar rumah, hal ini
kemungkinan besar karena masyarakat tidak memiliki modal untuk membayar sewa pinjam lahan untuk bertani
atau memang tidak ada orang yang meminta jasa mereka untuk merawat lahan pertanian orang tersebut.
Sehingga sebaik mungkin mereka memanfaatkan lahan sisa di sekitar rumah agar tetap bisa bertani sebagai
jalan penghidupan. Selain itu juga ada masyarakat yang memanfaatkan kepiawaian mereka dalam membuat
atap rumah menggunakan daun rumbia, sehingga ada beberapa warga menekuni pekerjaan membuat atap
rumah dari daun rumbia (memanfaatkan kehidupan yang ada di sekitar). Selain itu, masyarakat lain juga
memanfaatkan lahan sisa mereka untuk menanam umbi seperti keladi, jagung, terong, kacang panjang sebagai
tanaman yang mudah dirawat serta memiliki nilai jual yang cukup tinggi di pasar sebagai pengalihan
penghidupan lainnya.
Selain pengelolaan lingkungan hidup masyarakat desa Pembantanan di wilayah daratan, kehidupan
lainnya juga terdapat di wilayah perairan/lahan basah. Desa Pembantanan terletak berdampingan dengan sungai
yang besar, sehingga saat ini sanitasi lingkungan masyarakat desa masih sangat akrab dengan sungai hal ini
ditunjukan dengan banyaknya rumah apung dan batang (tempat yang dipergunakan masyarakat untuk
melakukan aktivitas) seperti mencuci, mandi dan lainnya. Selain itu pula, kehidupan di wilayah perairan juga
dapat terlihat bahwasanya hampir masing-masing masyarakat memiliki jukung (sampan) atau kapal kecil di
sekitar rumah mereka atau mahir dalam mengendalikan jukung tanpa mesin. Hal ini dikarenakan masih banyak
masyarakat memanfaatkan sungai untuk melakukan perjalanan atau sebagai salah satu akses mobilitas
masyarakat masih menggunakan jukung serta selain hal itu juga, sebagian masyarakat desa pergi memancing
maupun mencari ikan lainnya ke tengah sungai menggunakan jukung.
Lingkungan hidup perairan di desa Pembantanan juga masih asri di mana di sekitaran sisir sungai masih
banyak terdapat pohon rumbia yang mana daun pohon rumbia masih banyak dipergunakan masyarakat sebagai
atap rumah kayu mereka. Memanfaatkan sungai, dan lahan rawa, banyak masyarakat juga berprofesi sebagai
peternak bebek maupun ayam. Selain menjadi buruh tani, sebagian masyarakat juga memilih untuk beternak
ayam kampung serta beternak bebek untuk memanfaatkan lahan lingkungan yang ada.
Melihat pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan di desa Pembantanan dapat dikatakan jauh
dari kata baik, sebab melihat sanitasi lingkungan masyarakat yang masih belum mumpuni, yaitu tidak adanya
tempat pembuangan sampah terpadu dan kebiasaan masyarakat yang membuang sampah ke sungai. Kemudian
untuk tempat mandi, membuang hajat dan mencuci masih di sungai di mana diketahui jaringan air bersih di desa
tersebut masih terbatas. Selain itu untuk pengelolaan jembatan-jembatan kecil yang menyatukan akses jalan
desa Pembantanan masih jauh dari kata layak, sekitar 3 dari 5 jembatan yang ada tidak mendapatkan perhatian,
jembatan masih dari bahan kayu yang sudah lapuk dan harus berhati-hati ketika melewatinya agar tidak
terjerembab akibat kayu yang sudah lapuk. Kemudian pengelolaan jalan sebagai akses satu-satunya mobilitas
masyarakat memerlukan perhatian yang serius sebab jalanan yang kecil dengan kondisi yang hanya dihampar
batu-batu tidak rata membuat jalan bergelombang dan cenderung berlubang membuat perjalanan menjadi
banyak terjal dan membuat masyarakat sulit mengakses jalan tersebut.
Berdasarkan penelitian yang berlangsung dengan Bapak Bahtiar yang berusia kurang lebih 53 tahun
mengenai lingkungan hidup, beliau menjawab tidak jauh dari pengelolaan lingkungan di kawasan lahan
pertanian. Hal ini dimaklumi karena bertani dan berkebun merupakan pekerjaan yang beliau tekuni dari dulu
hingga sekarang. Dari hasil wawancara singkat dengan bapak Bahtiar, peneliti menemukan bahwa pengelolaan
lingkungan hidup di desa Pembantanan harus mendapatkan perhatian lagi oleh pemerintah, sebab sebagai
wilayah yang luas dan rata-rata lahan digunakan untuk bercocok tani, berkebun sayur-mayur dan dimanfaatkan
untuk peternakan, pemerintah harus lebih memperhatikan bagaimana pengelolaan padi desa Pembantanan
masih sangat tradisional tidak tersentuh modernisasi dan kemajuan teknologi terkini. Selain itu kendala lain
dalam pengelolaan lahan pertanian juga dipermasalahkan bagi buruh tani yang memiliki modal sedikit, akan
tetapi dari pemerintah tidak memberikan bantuan subsidi pupuk dan obat tanah yang sangat diperlukan sesuai
dengan kebutuhan buruh tani.
Pengelolaan lingkungan hidup lain yang menarik perhatian peneliti dari hasil wawancara dengan bapak
Bahtiar adalah peristiwa alam bencana banjir yang beberapa waktu lalu sempat melanda wilayah Kalimantan
Selatan, termasuk desa Pembantanan. Sebagaimana diketahui bahwasanya desa Pembantanan termasuk
wilayah hulu yang mana seharusnya ketika mengalami kenaikan volume air, tingkat penurunan air akan sangat
cepat karena air dari hulu akan mengalir dengan cepat, akan tetapi pada kenyataannya, penurunan volume air di
desa Pembantanan sangat lama, memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan untuk menurunkan banjir yang setinggi
hampir atap rumah.
Akibat dari peristiwa tersebut, semua lahan pertanian dan perkebunan masyarakat rusak total, hama keong
© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
152
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 7 Nomor 7 Halaman 150-156 April 2022 e-ISSN 2623-1980
semakin banyak dan lahan rusak total beserta dengan anak padi dan padi yang sudah setenagah garapan buruh
tani hal ini membuat para buruh tani mengalami rugi besar, akan tetapi tidak ada kebijakan dan bantuan dari
pemerintahan yang hadir di tengah krisis tersebut. Sebagai buruh tani dengan modal yang pas-pas-an, pak
Bahtiar dan sebagian tetangganya yang lain tidak dapat menanam ulang dengan membeli benih baru padi.
Selain itu, pak Bahtiar juga mengeluhkan pengelolaan jalan yang sedari dulu tidak mendapatkan perhatian untuk
diperbaiki, padahal jalan menjadi akses penting untuk membuat mobilitas masyarakat desa lebih lancar serta
permasalahan air bersih dari PDAM yang masih belum sampai ke desa mereka.
Ketersediaan air bersih di desa Pembatanan yakni dengan menggunakan dan memanfaatkan dari
Pamsimas (Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi berbasis Masyarakat). Sementara sanitasi
lingkungan di Desa Pembantanan masih buruk, hal ini terlihat tidak adanya tempat pembuangan sampah
terpadu, pengumpulan sampah di masing-masing rumah, kebanyakan sampah dibuang ke sungai. Banyak
masyarakat masih memanfaatkan sungai untuk tempat sanitasi yang artinya masih banyak terdapat rumah-
rumah apung di pinggiran sungai yang dimanfaatkan warga.
Lingkungan hidup merupakan semua daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia
beserta perilakunya. Di desa Manarap Baru, lingkungan hidup yang terdapat berupa lahan sawah (pertanian)
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sebagai buruh tani. Lingkungan hidup desa
Manarap Baru merupakan kehidupan yang ada di kawasan tanah rawa. Tanah rawa memang cocok untuk
dipergunakan sebagai lahan sawah. Desa Manarap Baru bertetangga dengan desa Manarap Tengah. Memasuki
wilayah Desa Manarap Baru, pemandangan hamparan lahan sawah merupakan pengembangan lahan pertanian
yang sangat massif. Pada saat melakukan observasi lapangan kebetulan memasuki musim panen padi sehingga
menampilkan hamparan padi yang sudah menguning. Pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh
masyarakat sebagaimana yang kami dapatkan dari Bapak Thamrin selaku Kepala Desa, terkait pengelolaan
sungai bukan tanggung jawab dari Desa Manarap Baru akan tetapi tanggung jawab dari wilayah Gambut.
Sedangkan beberapa jalan seperti di Handil Jambu merupakan tanggung jawab dari Desa Manarap Baru.
Sehingga dalam pengelolaan sungai masyarakat Desa Manarap Baru tidak bertanggung jawab akan hal tersebut.
Pada saat ini, Bapak Thamrin merupakan Kades yang baru dilantik oleh Bupati dan sebagaimana dari penuturan
beliau pada bulan Januari hingga bulan Juni, dari PJ tidak ada memberikan perintah dan hal lainnya dalam
pelaksanaan mengenai pengurusan desa serta di saat beliau melakukan pelaporan jalan yang tidak layak jalan
dan meminta perbaikan, sampai sekarang dari Bupati masih belum memberikan respon dan hal ini menurut
beliau mungkin dilatarbelakangi banyaknya dana yang digunakan dalam penanggulangan pandemi Covid-19.
Bapak Markaramah merupakan salah seorang warga desa Manarap Baru yang tinggal sangat lama dari
tahun 1972, dari situasi desa yang masih hutan rawa hingga saat ini sudah banyak sekali pemanfaatan tanah
rawa sebagai lahan pertanian hingga perumahan yang pada desa Manarap Baru sangat banyak. Dari penuturan
beliau bahwasanya, untuk pengelolaan jalan sedari dulu masih kurang mendapat perhatian dari pihak
pemerintah, kemudian untuk pengelolaan lahan sawah pada saat ini banyak buruh tani bertumpu pada
pemberian pupuk bersubsidi, akan tetapi pupuk subsidi masih jarang yang berakhir membuat masyarakat harus
membeli pupuk sendiri dengan harga yang cukup tinggi.
Pertanian Pangan merupakan jenis tanaman yang banyak dikembangkan di desa Pasar Kamis. Luas lahan
Padi seluruhnya dengan total 479 Ha. Pola pengelolaan pertanian dikelola secara modern dengan menggunakan
alat dan mesin dari pemerintah seperti traktor dan mesin penggilingan padi, serta menggunakan obat-obatan
pertanian. Perkembangan produksi hasil panen sebesar 4,475 (Ton/Ha) dengan nilai produksi sebesar Rp
10.059.000.000. Potensi pertanian ini tentu sangat mampu menunjang pendapatan masyarakat desa karena
merupakan wilayah penghasil beras terbanyak karena area lahan pertanian yang cukup luas dan baik
karakteristiknya. Untuk permasalahan pertanian hanya sebagian besar area lahan pertanian yang kurang baik
sehingga menimbulkan produktivitas padi yang kurang baik pula. Dalam sektor peternakan pun, jenis dan jumlah
ternak ayam kampung sebanyak 2.500 ekor dan Bebek sebanyak 1.500 ekor. Pola pengelolaan dilakukan secara
tradisional oleh masing-masing masyarakat yang memiliki usaha peternakan, dan tidak secara khusus dilakukan
pengelolaannya karena merupakan usaha sampingan dan memanfaatkan lahan pekarangan di sekitar rumah
warga saja. Perkembangan produksi pun masih terlihat tradisional dengan memanfaatkan kandang buatan
© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
153
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 7 Nomor 7 Halaman 150-156 April 2022 e-ISSN 2623-1980
pribadi dan jaring pembatas seadanya. Peternakan ayam dan bebek menjadi potensi usaha yang besar bagi
masyarakat desa Pasar Kamis, namun masalahnya adalah masih banyak juga warga yang belum mendaftarkan
usahanya tersebut kepada perangkat desa sehingga perlu mengurus lebih lanjut lagi untuk dikembangkan.
3.4 Politik Ekologi Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Otonomi Daerah Di Kabupaten
Banjar
Lingkungan lahan basah adalah entitas penting dalam menopang kehidupan, karena lingkungan gambut
dan air merupakan bagian dari ekosistem global yang saling terkait (Thapa et al, 2018). Penting untuk memahami
bagaimana berbagai ekosistem terkait satu sama lain, termasuk ketergantungan populasi manusia yang tinggal
di suatu daerah dengan ketersediaan dan kualitas sumber daya air. Keterkaitan antara gambut dan air terlihat
jelas fungsi alami sungai, termasuk sebagai pencegah bencana (Calder et al. 2007). Gambut berperan penting
dalam siklus hidrologi, berkontribusi dalam pengurangan risiko bencana dan menyediakan berbagai layanan
ekosistem termasuk penyediaan kayu bakar, kayu dll, pengaturan kualitas air dan aliran, penyerapan karbon,
pengurangan erosi dan sumber daya penting bagi flora dan fauna. Sementara air menghidrasi hutan, satwa liar,
dan manusia serta mendukung dalam menumbuhkan makanan dan penopang bagi industri. Dengan demikian,
hilangnya hutan gambut dan air merupakan ancaman langsung terhadap konservasi keanekaragaman hayati,
dan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat lokal (Thapa et al, 2018).
Banyak penelitian yang mengaitkan dampak pengelolaan sumber daya alam dengan mata pencaharian
masyarakat. Namun, sangat sedikit penelitian yang melihat keterkaitannya antara sumber daya alam, layanan
kolektif mereka dalam meningkatkan penghidupan masyarakat, dan pengaruhnya terhadap keadaan sumber
daya alam (Thapa et al, 2018). Upaya untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan pelestarian
lingkungan lahan basah, secara khusus di Kabupaten Banjar berjalan secara dinamis dan kompleks. Kabupaten
seluas 4.688,00 km² ini sebagian besar wilayahnya merupakan lingkungan lahan basah. Pemerintah, pihak
Swasta, LSM dan organisasi konservasi telah mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dan
melestarikan keanekaragaman hayati yang kaya di daerah tersebut. Tiga pendekatan berbeda untuk konservasi
telah dicoba. Perencanaan tata ruang pertama untuk pengaturan penetapan lahan yang spesifik dan penetapan
kawasan lindung termasuk didalamnya penetapan zona warna (misal hijau untuk lahan pertanian). Kedua,
langkah-langkah telah diambil untuk mengurangi dampak lingkungan secara negatif dari pembalakan industri dan
promosi pelestarian keanekaragaman hayati. Terakhir, manajemen yang terdesentralisasi dan berbasis
masyarakat telah diupayakan dengan asumsi bahwa ini akan menghasilkan hasil lingkungan dan sosial yang
lebih baik daripada pembangunan industri skala besar (Pemerintah Kabupaten Banjar, 2013).
Langkah-langkah konservasi ini telah dilakukan selama beberapa periode namun hasilnya masih belum
maksimal. Penerapan pembangunan yang menghasilkan kepentingan ekonomi lebih mendominasi daripada
kepentingan ekologi. Masa depan yang berkelanjutan untuk kabupaten Banjar terletak pada menemukan
keseimbangan yang tepat antara kawasan lingkungan lahan basah yang dikelola pada skala industri dan
masyarakat, dan konversi lahan. Secara internasional dan nasional telah banyak retorika tentang keseimbangan
antara pembangunan, tujuan konservasi dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan mata pencaharian
lokal. Beberapa rencana dan program nasional sejak tahun 1980-an telah mengupayakan kondisi ini
(Departemen Kehutanan, 1985).
Masyarakat internasional juga telah mendukung pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan
pengelolaan lingkungan yang lebih lestari. Langkah-langkah untuk mempromosikan perencanaan tata ruang
yang sebagian besar dilakukan oleh pemerintah pusat tetapi juga harus didukung oleh organisasi konservasi
lokal dan masyarakat yang berusaha untuk mengidentifikasi kawasan lingkungan lahan basah yang bernilai tinggi
untuk keanekaragaman hayati. Upaya ini akhirnya mengakibatkan kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi
kewenangan atas alam sumber daya yang diserahkan ke tingkat kabupaten dan masyarakat juga telah telah
didorong untuk berpartisipasi secara aktif. Desentralisasi dipromosikan karena manajerial sumber daya lokal
akan memiliki kepentingan langsung dalam memastikan bahwa pembangunan akan tidak menurunkan basis
sumber daya dan itu akan menguntungkan bagi distribusi manfaat secara lebih adil (Colfer et al. 1997).
Pemerintah provinsi Kalimantan Selatan telah menunjukkan banyak komitmen dan membuat kemajuan
yang signifikan dalam meningkatkan kerangka peraturan dalam beberapa tahun terakhir. Ini termasuk kebijakan
gubernur Kalsel terkait Revolusi Hijau dan peraturan daerah yang mengakui hak atas tanah adat. Termasuk juga
Perda Nomor 2 Tahun 2017 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi
Kalimantan Selatan. Namun, bagaimanapun, mekanisme sektor publik tidak mampu bekerja secara memadai
untuk mengatasi masalah yang terjadi di lapangan. Khususnya terdapat kelemahan dalam implementasi di
© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
154
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 7 Nomor 7 Halaman 150-156 April 2022 e-ISSN 2623-1980
tingkat kabupaten. Dimana masyarakat di beberapa desa penelitian yakni desa Pembantanan, Desa Manarap
Baru dan Desa Pasar Kais tidak mendapatkan realisasi yang layak dari program-program lingkungan hidup dari
pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten. Bahwa ini terutama karena pihak berwenang tidak menerapkan
peraturan dan kebijakan yang ada dengan baik, termasuk terkait permasalahan pengelolaan DAS terpadu, izin
tanah, perencanaan tata ruang, dan penilaian dampak lingkungan (AMDAL). Kegagalan regulasi ini telah
berkontribusi pada ekspansi yang cepat pada sektor pertambangan di Kalimantan Selatan dan Kabupaten Banjar
salah satunya. Konflik politik adalah alasan yang mendasari mengapa peraturan publik diimplementasikan
dengan buruk. Pemerintah pusat dan daerah berada dalam perebutan manfaat dari sumber daya alam dna alih
fungsi lahan. Kurangnya perencanaan tata ruang, peta lahan yang saling bertentangan dan perizinan yang
seringkali diskriminatif dan menguntungkan para pemilik modal. Disatu sisi, kondisi ini memang dilematis,
sedangkan pajak pendapatan yang diperoleh dari produksi dan penjualan sumber daya alam (dari
pertambangan, kelapa sawit, karet, buah, dll) harus dikembalikan ke pemerintah pusat. Salah satu penyebab
struktural dari implementasi yang lemah ini adalah bahwa otoritas pemerintah kabupaten menjadi semakin tidak
bertanggung jawab terhadap hak hak masyarakat.
Masalah lingkungan dan sosial, tidak cukup hanya dengan hubungan antar kebijakan saja, namun juga
terdapat faktor biofisik yang penting secara regional, keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam lokal
sekaligus juga persoalan mata pencaharian masyarakat lokal. Pemahaman tentang hubungan lingkungan
(ekologi) dengan pembangunan (ekonomi) sangat relevan diperhatikan dalam pembuatan kebijakan yang
memungkinkan pembangunan terus berjalan dan sumber daya alam dan ekologi lingkungan tetap diperhatikan.
Mendamaikan dua kutub yakni ekologi dan ekonomi tentu membutuhkan manajemen yang solutif dan partisipasi
masyarakat yang tepat (Frost et al, 2006; Zuidema & Sayer, 2003). Partisipasi masyarakat lokal dengan
pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengelolaan telah lama dianjurkan sebagai suatu keharusan
langkah untuk mencapai keberlanjutan dalam pembangunan (Bourgeois & Pfund, 2008; Sandker et al, 2007).
Kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) yang dilaksanakan pada tahun 1999, mengakibatkan banyak
alokasi penggunaan lahan telah menjadi kendali pemerintah kabupaten, meskipun beberapa alokasi wilayah
kehutanan secara hukum berada di bawah pemerintah pusat (Sandker et al, 2007). Dengan desentralisasi,
banyak pejabat daerah di Kalimantan memperoleh kontrol yang lebih besar atas sumber daya alam, yang
seringkali justru jauh melampaui otoritas hukumnya (Obidzinski & Barr. 2003). Desentralisasi tidak hanya
menghasilkan pemerintah kabupaten yang mengamankan bagian yang lebih besar dari pendapatan daerah dari
sektor sumber daya alam, tetapi juga memiliki implikasi untuk masyarakat lokal (Engel et al. 2006).
4. SIMPULAN
Desentralisasi dan otonomi daerah adalah tantangan lain untuk tata kelola sumber daya alam. Ada
kepentingan yang bersaing antara pemerintah pusat dan daerah karena perbedaan interpretasi atas regulasi
desentralisasi. Meskipun menguntungkan bagi pembangunan ekonomi, pengelolaan lingkungan yang tidak
berkelanjutan juga mengancam mata pencaharian lokal dan keanekaragaman hayati yang kaya. Sehingga perlu
melibatkan pemangku kepentingan dari semua tingkatan yakni pemerintah pusat, pemerintah kabupaten, sektor
swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan, masyarakat lokal. Memahami tata kelola sumber daya di
wilayah lingkungan lahan basah adalah penting, karena tidak hanya memperkuat kesadaran konservasi itu
sendiri tetapi juga memberikan gambaran yang lebih baik tentang kompleksitas yang ada di lapangan .
6. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. (2012). Politik Ekologi: Ramah Lingkungan Sebagai Pembenaran. Jurnal Ilmu Sosial Mamangan. Edisi 1, Tahun I.
Colfer, C., N. Peluso, dan SC Chin. (1997). Melampaui tebas dan bakar: membangun adat pengelolaan hutan hujan tropis Kalimantan.
New York.
Engel, S., R. Lopez, and C. Palmer. (2006). Community-industry contracting over natural resource use in a context of weak property rights:
the case of Indonesia. Environmental and Resource Economics 33(1):73–93.
Frost, P., B. Campbell, G. Medina, and L. Usongo. (2006). Landscape-scale approaches for integrated natural resource management in
tropical forest landscapes. Ecology and Society 11(2): 30.
Obie, M., et al. (2014). Konflik Etnis Di Pesisir Teluk Tomini: Tinjauan Sosio-Ekologi Politik. Al-Tahrir, Vol. 14, No. 2, 321-342.
Ostrom, E & Schlager, E. (2003). The Formation of Property Rights”. Dalam (eds.) Susan S. Hanna, Carl Folke, Karl-Goran Maler. Rights
to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment. 156 2 (June, 2003),
153-181.
Otero, I. & Nielsen J.O. (2017). Coexisting With Wildfire? Achievements And Challenges For a Radical Social-Ecological Transformation In
Catalonia (Spain). Geoforum 85:234–246.
Sandker, M., A. Suwarno, and B. M. Campbell. (2007). Will forests remain in the face of oil palm expansion? Simulating change in Malinau,
Indonesia. Ecology and Society 12 (2): 37.
Satria A. (2007). Ekologi Politik dalam Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor
Satria, A. (2009). Ekologi Politik Nelayan . Yogyakarta: LKiS.
Srinivasan, K. & Kasturirangan, R. (2016). Political Ecology, Development, And Human Exceptionalism. Geoforum. 75:125-128.
Thapa, K., et al. (2018). Linkages among forest, water, and wildlife: a case study from Kalapani community forest in the Lamahi bottleneck
area of Terai Arc Landscape. International Journal of the Commons ,Vol. 12, No. 2 (2018), pp. 1-20
Zuidema, P. A., and J. A. Sayer. (2003). Tropical forests in multi-functional landscapes: the need for new approaches to conservation and
research. Pages 9-19 in P. A. Zuidema, editor. Tropical forests in multi-functional landscapes. Prince Bernhard Centre for
International Nature Conservation, Utrecht University, Utrecht, The Netherlands.