Pengaruh Konflik Pekerjaan
Pengaruh Konflik Pekerjaan
Pengaruh Konflik Pekerjaan
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Manajer merupakan seseorang yang berusaha menggapai tujuan organisasi atau perusahaan
dengan mengatur orang lain agar bersedia melakukan tugas yang diperlukan untuk mencapai
tujuan tersebut, sekaligus mengatur semua sumber daya organisasi atau perusahaan. Dengan
demikian, manajer tidak melakukan aktivitas pencapaian tujuan organisasi secara langsung
(Robbins & Judges, 2009). Stoner (1981) selanjutnya mengemukakan bahwa peran utama manajer
meliputi peran interpersonal, peran pemberi informasi, serta peran pembuat keputusan. Dengan
adanya ketiga peran tersebut, manajer memiliki kewajiban utama sebagai wakil dari organisasi
Oleh karena itu, agar tujuan organisasi dapat tercapai, maka ketiga peran manajerial tersebut harus
manajerial, manajer sering dihadapkan pada karakteristik pekerjaan yang memicu stres kerja yang
tinggi (French & Caplan, 1972). Secara umum, pekerjaan manajerial menuntut waktu kerja yang
sangat panjang, tingginya frekuensi lembur, beban kerja yang tinggi serta hubungan interpersonal
yang sangat erat dengan orang lain. Sebagai konsekuensi, kondisi tersebut dapat mengakibatkan
munculnya beban keterlibatan peran, konflik peran, serta ambiguitas peran yang tinggi. Selain itu,
adanya interdependensi dan tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaan orang lain juga ditemukan
di dalam pekerjaan manajerial. Interdependensi dalam hal ini, dapat dilihat sebagai sejauh mana
kinerja seseorang dapat diprediksi, atau tergantung pada interaksi sosial (Dierdorff & Morgeson,
2007. Dengan adanya level interdependensi yang tinggi, manajer juga sering dituntut untuk
penelitian ini, manajer yang digunakan berasal dari perusahaan swasta, BUMN/BUMD, dan
instansi pemerintah, karena ketiga jenis perusahaan tersebut merupakan organisasi formal yang
memiliki spesifikasi jabatan manajer yang jelas dan hierarki tujuan organisasi yang baik. Yang
cenderung dibatasi oleh banyak peraturan yang membuat organisasi ini menjadi relatif tidak
fleksibel (Wursanto, 2003). Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa tuntutan peran yang
kompleks juga lebih nyata ditemukan di ketiga jenis perusahaan tersebut dibandingkan jenis
perusahaan lain di Indonesia. Selanjutnya, penelitian dari Shirom, Fried, dan Cooper (2008)
menunjukkan bahwa posisi sebagai manajer umumnya dicapai ketika seseorang berada di dalam
rentang usia dewasa madya (41-65 tahun). Papalia, Olds, dan Feldman (2004) mengemukakan
bahwa pada rentang usia ini, peran seseorang di dalam keluarga meningkat lebih banyak
dibandingkan ketika seseorang berada pada masa dewasa muda (20-40 tahun). Manajer yang
berusia dewasa muda umumnya baru memutuskan untuk menetapkan karir dan menikah. Adapun
pada usia dewasa madya, manajer harus menjalani perannya sebagai anggota keluarga dan manajer
secara seimbang, mengurus anak yang sedang berkembang, melakukan perawatan atas orang tua
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Good, Page, dan Young (1996), menunjukkan bahwa tuntutan
karir yang berasal dari karakteristik pekerjaan manajerial yang kompleks disertai tuntutan yang
tinggi dari perannya di keluarga dapat menyebabkan rendahnya kepuasan kerja. Hal ini mungkin
terjadi karena manajer mempersepsikan banyaknya beban pekerjaan yang dimiliki, paperworks
dengan jumlah yang tinggi, sekaligus hilangnya tenaga akibat tuntutan peran yang tinggi di
pekerjaan. Sebagai tambahan, Kesper, Meyer, dan Schmidt (2004) mengungkapkan bahwa
sebagian besar manajer memiliki ketergantungan personal yang besar terhadap pekerjaannya,
sehingga menjadi apa yang disebut dengan workaholics, dan melupakan perannya di dalam
keluarga. Namun demikian, manajer yang mengaku dirinya sebagai workaholics mempunyai skor
kepuasan yang lebih tinggi daripada manajer yang mempersepsikan dirinya sebagai
nonworkaholics. Hal ini dapat terjadi karena manajer merasa bahwa pekerjaan adalah bagian dari
identitas diri yang melekat kuat pada individu, sehingga manajer mendedikasikan sebagian besar
hidup mereka untuk bekerja (they live to work). Oleh karena itu, kepuasan kerja menjadi dampak
sifat pekerjaan manajerial yang tergolong kompleks. Kepuasan kerja merupakan variabel yang
akan diteliti karena kepuasan kerja merupakan indikator bagi kesejahteraan emosional atau
fungsifungsi organisasi. Seperti contoh, apabila terdapat kepuasan kerja yang berbeda di beberapa
unit berbeda, maka hal ini dapat menjadi potensi munculnya masalah di perusahaan (Spector,
1997). Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam merasakan
kepuasan terhadap pekerjaannya dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan pekerjaannya
(Spector, 1997). Ditambahkan oleh Spector, kepuasan kerja terdiri dari sembilan aspek yang
meliputi gaji, kesempatan berpromosi, atasan, tunjangan, penghargaan dari perusahaan, prosedur
kerja, rekan kerja, sifat pekerjaan, dan komunikasi dalam organisasi. Menurut Spector (1997)
terdapat tiga anteseden yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu, karakteristik yang berkaitan
Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan terdiri dari karakteristik pekerjaan,
hambatan keorganisasian, variabel peran, konflik pekerjaan-keluarga, beban kerja, kendali, dan
jadwal kerja. Karakteristik pribadi melibatkan kepribadian, usia, dan jenis kelamin. Adapun
kesesuaian antara lingkungan pekerjaan dan kepribadian merupakan interaksi antara anteseden
lingkungan pekerjaan dan karakteristik pribadi, yang secara bersamaan mempengaruhi kepuasan
kerja manajer. Kepuasan kerja merupakan topik dalam ranah Psikologi Industri dan Organisasi
yang cukup banyak diteliti baik sebagai variabel bebas maupun sebagai variabel terikat. Namun
demikian, literatur mengenai kepuasan kerja yang dimiliki seorang manajer, masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk diajukan karena kepuasan kerja manajer merupakan
sikap manajer secara keseluruhan terhadap pekerjaannya yang penting dalam mempengaruhi
kinerja manajer, sekaligus berlaku sebagai nilai-nilai penting yang dianut oleh kebanyakan peneliti
perilaku keorganisasian (Robbins & Judge, 2009). Selanjutnya, peneliti tertarik untuk lebih
mendalami anteseden kepuasan kerja yang berasal dari lingkungan pekerjaan, yaitu konflik
pekerjaan-keluarga serta strategi yang efektif untuk mengatasi konflik tersebut. Konflik pekerjaan-
keluarga merupakan tema yang banyak diteliti berkaitan dengan kepuasan kerja mengingat adanya
konflik dapat memunculkan berbagai konsekuensi negatif di dalam organisasi. Hasil penelitian
dari Lambert, Hogan, dan Barton (2002) mengungkap adanya korelasi negatif yang besar (r = –
0,80) antara konflik pekerjaankeluarga dengan kepuasan kerja. Selain itu, penelitian Carlson dan
Kacmar (2000) juga menunjukkan adanya kontribusi yang bermakna antara konflik pekerjaan-
keluarga dengan kepuasan kerja, kepuasan keluarga, dan kesejahteraan hidup. Dengan demikian,
semakin tinggi konflik pekerjaan-keluarga yang dipersepsi manajer, semakin ia merasa tidak puas
dengan pekerjaannya. Konflik pekerjaan-keluarga adalah konflik antar peran yang berasal dari
tuntutan peran di dalam pekerjaan dan keluarga yang saling bertentangan (Greenhaus & Bautell,
1985). Berdasarkan jenisnya, konflik pekerjaan-keluarga terdiri dari tiga jenis, yaitu waktu
ketika seseorang harus mengerjakan perannya yang lain. Konflik strain-based dialami seseorang
ketika stres yang diakibatkan ketika seseorang menjalani suatu peran membuatnya sulit untuk
menjalani peran yang lain. Adapun konflik behaviour-based muncul ketika perilaku spesifik yang
dibutuhkan di dalam mendalami suatu peran membuatnya kesulitan untuk mendalami peran yang
lain. Penelitian oleh Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) mengungkapkan bahwa konflik
dengan jenis strain-based mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kepuasan kerja, kepuasan
terhadap keluarga (family satisfaction) dan kesejahteraan hidup (life satisfaction). Adapun jenis
time-based tidak memiliki pengaruh yang bermakna terhadap kinerja manajer. Peneliti
menemukan cukup banyak penelitian mengenai pengaruh konflik pekerjaan keluarga terhadap
kepuasan kerja. Namun demikian, salah satu faktor penting yang selama ini belum banyak diteliti
dalam kaitannya dengan kepuasan kerja manajer adalah strategi penanganan konflik pekerjaan-
keluarga. Dengan adanya pemakaian strategi yang efektif, peneliti berpendapat bahwa konflik
pekerjaan-keluarga yang dipersepsi manajer akan berkurang, sehingga kepuasan kerja manajer
akan meningkat. Dengan demikian, fokus terhadap strategi penanganan konflik dalam kaitannya
dengan konflik pekerjaan-keluarga dan kepuasan kerja manajer merupakan suatu hal baru yang
penting untuk dibahas di dalam penelitian ini. Strategi penanganan konflik pekerjaan-keluarga
merupakan bagian dari anteseden lingkungan yang selanjutnya dipilih menjadi anteseden kedua
yang mempengaruhi kepuasan kerja manajer. Strategi ini selanjutnya dinamakan strategi
pengaturan hidup atau lebih dikenal dengan strategi Seleksi, Optimasi, dan Kompensasi (SOK),
yang dicetuskan oleh Baltes dan Baltes (1990). Strategi SOK pada dasarnya merupakan suatu
model perkembangan manusia yang berguna untuk menjelaskan proses adaptasi efektif dalam
menghadapi hilangnya sumber daya akibat proses penuaan (aging). Hasil dari penelitian oleh
Freund dan Baltes (1998) menunjukkan bahwa seseorang dengan usia lanjut yang memakai
strategi pengaturan hidup SOK mempunyai kepuasan yang tinggi terhadap pertambahan umurnya
dan emosi yang positif, serta hilangnya rasa kesepian. Hal tersebut dapat terjadi karena
pengalokasian sumber daya yang tersedia dalam mencapai suatu tujuan (Baltes, Baltes, Lang, &
Freund, 1995).