Buku Saku Remaja Cegah Stanting
Buku Saku Remaja Cegah Stanting
Buku Saku Remaja Cegah Stanting
Di susun Oleh :
NOVRIANINGSIH,AM.KEP
i
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan
Penyusunan buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan panduan bagi remaja putri
yang merupakan calon ibu sebagai dasar pendidikan gizi dalam pencegahan resiko terjadinya
Penulis menyadari pada proses penulisan buku masih banyak terdapat kekurangan,
maka dari itu dengan ikhlas penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendidik
atau membangun dari semua pihak demi kesempurnaan buku ini di masa yang akan datang.
Penyusunan buku ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan, bimbingan serta saran
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terimakasih pada
semua pihak yang telah membantu. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu gizi di Indonesia, khususnya dalam mengatasi dan mencegah masalah Stunting.
Penulis
Novrianingsih,Am.Kep
ii
DAFTAR ISI
Daftar Pustaka
Lampiran
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan
otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek atau
perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam
berpikir. Umumnya disebabkan asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Balita kerdil atau stunting akibat malnutrisi kronis bisa menpengaruhi daya
kognitif sang anak di usia sekolah. Selain itu, pertumbuhannya juga tentu akan
terhambat seiring usia yang terus bertambah.
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi (stunting), dalam jangka
pendek adalah terganggunya perkembangan otak kecerdasan, gangguan pertumbuhan
fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat
buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi
belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,
kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif
yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomiKementrian Kesehatan RI. 2016.
Pusat Data dan Informasi 2015. Jakarta: Kemenkes RI. Diunduh tanggal 12 April 2017
dalam Nadia,2017. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita usia 25-59 bulan di posyandu wilayah puskesmas wonosari ii tahun 2017.
1
Beberapa Ahli Gizi mengungkapkan fakta seputar balita stunting yang bisa
berdampak serius pada kesehatan buah hati. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius
para calon orang tua khususnya ibu untuk memperhatikan asupan nutrisi selama
kehamilan hingga 1000 hari pertama kehidupan atau balita usia 2 tahun.
Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting.
Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu
(pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta
asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak menuju masa
dewasa yang diawali dengan terjadi kematangan seksual. Remaja akan dihadapkan pada
keadaan yang memerlukan penyesuaian untuk dapat menerima perubahan yang terjadi
pada dirinya. Kematangan seksual dan perubahan bentuk tubuh sangat berpengaruh pada
kehidupan kejiwaan remaja. Kematangan seksual juga dapat mengakibatkan remaja-
remaja mulai tertarik terhadap anatomi fisiologi tubuhnya, juga mulai muncul perasaan
tertarik kepada teman sebaya yang berlawanan jenis. Aisyaroh N, 2011 dalam Nisa
Mairo, 2012
Remaja, sebagai kelompok umur terbesar struktur penduduk Indonesia
merupakan fokus perhatian dan titik intervensi yang strategis bagi pembangunan
sumber daya manusia. Langkah paling penting yang harus diambil adalah makin
ditingkatkannya perhatian kepada remaja putri, karena mereka menghadapi risiko
lebih besar dan mereka lebih rentan menghadapi lingkungan sosial.
2
kematian dan kesakitan ibu, permasalahan berawal sejak gadis remaja, dimana usia
dini, harga diri dan status yang rendah, serta gizi buruk mulai memberikan dampak
akhir pada penderitaan perlahan-lahan dan kematian dini. Pada kelompok usia
remaja ini, tingkat kesejahteraan sosial, pendidikan, kebudayaan, kesehatan,
keluarga sejahtera dan kependudukan Soejoenoes,1995 ( Soeroso, 2010).
Perubahan psikologi dari masa remaja sering digambarkan dengan dua kata
badai dan tekanan kenyataannya, sebagian besar masa remaja melewati dekade
kedua dari kehidupan dengan kesulitan yang minimal.
Karakteristik:
Karakteristik:
3
Remaja akhir (usia 17-21 tahun)
Karakteristik:
- Kematangan fisik sudah lengkap, body image dan penentuan peran jenis kelamin
sudah mapan.
- Hubungan-hubungan sudah tidak lagi narsistik dan terdapat proses memberi dan
berbagi
- Idealistis.
- Emansipasi hampir menetap.
- Perkembangan kognitif lengkap.
- Peran fungsional mulai terlihat nyata.
Dampak:
- Remaja mulai merasa nyaman dengan hubungan- hubungan dan keputusan
tentang seksualitas dan preteransi. Hubungan individual mulai lebih menonjol
dibanding dengan hubungan dengan kelompok
- Remajalebih terbuka terhadap pertanyaan spesifik tentang perilaku.
- Idealisme dapat mengakibatkan terjadinya konflik dengan keluarga.
- Dengan mulainya emansipasi, anak muda tersebut mulai lebih memahami
akibat dari tindakannya.
- Sering tertarik dalam diskusi tentang tujuan- tujuan hidup karena inilah
fungsi utama mereka pada tahapan ini.
- Sebagian besar mampu memahami persoalan- persoalan kesehatan.
Menurut WHO upaya pencegahan pada stunting dapat dimulai sejak remaja.
Remaja putri dapat mulai diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai
pentingnya pemenuhan nutrisi saat remaja. Pemenuhan nutrisi saat remaja dapat
mencegah terjadinya gizi yang kurang saat masa kehamilan. Nutrisi yang adekuat
saat kehamilan dapat mencegah terjadinya pertumbuhan yang terhambat pada janin
yang dikandung ( WHO,2013 )
Beberapa ahli gizi mengungkapkan fakta seputar balita stunting yang bisa
berdampak serius pada kesehatan buah hati. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius
para calon orang tua khususnya ibu untuk memperhatikan asupan nutrisi selama
kehamilan hingga 1000 hari pertama kehidupan atau balita usia 2 tahun.
5
dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi
terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR degan
kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan di Yogyakarta
menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan
kejadian stunting (Sartono, 2013) Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi
juga menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR.
b. Jenis Kelamin
Studi kohort di Ethiopia menunjukan bayi dengan jenis kelamin laki-laki Jenis
kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi untuk seseorang. Pria lebih
banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan wanita. Pria lebih
sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang tidak biasa dilakukan wanita. Selama
masa bayi dan anak-anak, anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya
menjadi stunting dan severe stunting daripada anak laki-laki, selain itu bayi
perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki
dikebanyakan Negara berkembang termasuk Indonesia (Ramli, et all.2009).
7
Anak laki-laki lebih berisiko stunting dan underweight dibandingkan anak
perempuan. Beberapa penelitian di sub-Sahara Afrika menunjukan bahwa anak laki-
laki prasekolah lebih berisiko stunting dibanding rekan perempuannya. Dalam hal
ini, tidak diketahui apa alasannya. Dalam dua penelitian yang dilakukan di tiga
negara berbeda,yaitu Libya.serta Banglades dan Indonesia, menunjukan bahwa
prevelansi stunting lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa jenis kelamin anak adalah
faktor prediktor yang kuat dari stunting dan severe stunting pada anak usia 0-23
bulan dan 0-59 bulan. Anak perempuan memiliki risiko yang lebih rendah
dibandingkan anak laki-laki dalam hal ini. Selama masa bayi dan masa kanak-kanak,
anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting dan
severe stunting, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah besar
daripada bayi laki-laki di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia
( Larasati,2017).
c. ASI Eksklusif
Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan
gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita,
8
pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah
pemberian ASI. Berarti dengan pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat
menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada
gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia (Larasati,
2017).
d.Tinggi Ibu
Stunting pada masa balita akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang
sulit diperbaiki. Pertumbuhan fisik berhubungan dengan genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik meliputi tinggi badan orang tua dan jenis kelamin. Tinggi
badan ayah dan ibu yang pendek merupakan risiko terjadinya stunting.
Kejadian stunting pada balita usia 6-12 bulan dan usia 3-4 tahun secara
signifikan berhubungan dengan tinggi badan ayah dan ibu. Hasil penelitian Rahayu
ada hubungan antara tinggi badan ayah dan ibu terhadap kejadian stunting pada
balita. Jesmin et al,2011 dalam Senbanjo,2011, mengemukakan bahwa tinggi badan
ibu merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap anak yang stunting.
Penelitian Candra, dkk juga mengemukakan bahwa tingga badan ayah memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap stunting pada anak usia 1-2 tahun. Anak yang
memiliki tinggi badan ayah < 162 cm memiliki kecenderungan untuk menjadi
pendek sebesar 2,7 kali, Senbanjo,2011.
e. Faktor Ekonomi
9
Beberapa faktor penyebab masalah gizi adalah kemiskinan. Kemiskinan dinilai
mempunyai peran penting yang bersifat timbal balik sebagai sumber permasalahan gizi
yakni kemiskinan menyebabkan kekurangan gizi sebaliknya individu yang kurang gizi
akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan
(BAPENNAS, 2011).
Hal ini disebabkan apabila seseorang mengalami kurang gizi maka secara
langsung akan menyebabkan hilangnya produktifitas kerja karena kekurang fisik,
menurunnya fungsi kognitif yang akan mempengaruhi tingkat pendidikan dan tingkat
ekonomi keluarga. Dalam mengatasi masalah kelaparan dan kekurangan gizi, tantangan
yang dihadapi adalah mengusahakan masyarakat miskin, terutama ibu dan anak balita
memperoleh bahan pangan yang cukup dan gizi yang seimbang dan harga yang
terjangkau (BAPENNAS.2011) Standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat
dinamis, disesuaikan dengan perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realitas yaitu
Ukuran Garis Kemiskinan Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap
individu untuk makanan setara 2.100 Kilo kalori perorang perhari dan untuk memenuhi
kebutuhan nonmakan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi,
dan aneka barang/jasa lainnya
f. Tingkat Pendidikan
10
Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat membawa seseorang untuk memiliki
ataupun meraih wawasan dan pengetahuan seluas- luasnya. Orang –orang yang
memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih
luas jika dibandingkan dengan orang- orang yang memiliki pendidikan yang lebih
rendah.(Notoatmodjo,2012)
Anak-anak yang lahir dari orang tua yang terdidik cenderung tidak mengalami
stunting dibandingkan dengan anak yang lahir dari orang tua yang tingkat pendidikanya
rendah. Penelitian yang dilakukan di Nepal juga menyatakan bahwa anak yang terlahir
dari orang tua yang berpendidikan berpotensi lebih rendah menderita stunting
dibandingkan anak yang memiliki orang tua yang tidak berpendidikan. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Haile yang menyatakan bahwa anak yang terlahir
dari orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih mudah dalam
menerima edukasi kesehatan selama kehamilan, misalnya dalam pentingnya memenuhi
kebutuhan nutrisi saat hamil dan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, Senbajo,2011
Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dam metros. Antropos artinya
tubuh dan metros artinya ukuran, jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh.Pengertian
dari sudut pandang gizi antropometri adalah hubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi, berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas, dan tebal lemak dibawah kulit, Kemenkes RI 2018.
Penilaian status gizi secara antropometri merupakan penilaian status gizi secara
langsung yang paling sering digunakan di masyarakat. Antropometri dikenal sebagai
indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat.Pengukuran
antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya melakukan latihan
11
sederhana, selain itu antropometri memiliki metode yang tepat, akurat karena memiliki
ambang batas dan rujukan yang pasti, mempunyai prosedur yang sederhana, dan dapat
dilakukan dalam jumlah sampel yang besar, Kemenkes RI,2018.
Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja menjadi ibu yang
kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika hamil dengan asupan gizi yang tidak
mencukupi kebutuhan, ditambah lagi ketika ibu hidup di lingkungan dengan sanitasi
kurang memadai. Remaja putri di Indonesia usia 15-19 tahun (Gambar 4), kondisinya
berisiko kurang energi kronik (KEK) sebesar 46,6% tahun 2013. Ketika hamil, ada
24,2% Wanita Usia Subur (WUS) 15-49 tahun dengan risiko KEK, dan anemia sebesar
37,1%.34
Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting.
Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu
(pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta
asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan, Mandalan, 2018.
12
adalah sebagai berikut:
a. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan,
akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang
parah pada anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan
fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah,
dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunting
cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah
dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi
terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
b. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor
dasar yang menyebabkan stunting dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah,
ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang,
dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan
stunting mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi
kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak,
bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.
Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunting pada usia
lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak
usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita
dewasa yang stunting dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan
produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR.
Stunting terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung
menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat
melahirkan, Larasati, 2017.
13
menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025, Mandalan,
2018
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah
satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun
2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya
sebagai berikut:
Balita
- Pemantauan pertumbuhan balita;
- Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita
- Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak
- Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal
14
- Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan
narkoba
Remaja
- Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok,dan mengonsumsi
narkoba;
- Pendidikan kesehatan reproduksi.
Dewasa Muda
15
2019 menyebutkan bahwa terdapat empat program prioritas pembangunan kesehatan di
Indonesia, salah satunya adalah penurunan prevelansi balita pendek (stunting), Senbajo
,2011.
16
BAB III. KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2013), salah satu strategi untuk perubahan
perilaku adalah dengan pemberian informasi guna meningkatkan pengetahuan sehingga
timbul kesadaran yang pada akhirnya orang akan berperilaku sesuai dengan
pengetahuannya tersebut. Salah satu cara pemberian informasi adalah denganmelakukan
penyuluhan gizi di sekolah. Pemberian informasi dalam bentuk pendidikan gizi ternyata
ini tidak terlepas dari metode dan media yang digunakan.
Menurut WHO upaya pencegahan pada stunting dapat dimulai sejak remaja. Remaja
putri dapat mulai diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya
pemenuhan nutrisi saat remaja. Pemenuhan nutrisi saat remaja dapat mencegah
terjadinya gizi yang kurang saat masa kehamilan. Nutrisi yang adekuat saat kehamilan
dapat mencegah terjadinya pertumbuhan yang terhambat pada janin yang dikandung,
Kemenkes RI,2018.
Masa remaja amat penting diperhatikan karena merupakan masa transisi antara anak-
anak dan dewasa. Gizi seimbang pada masa ini akan sangat menentukan kematangan
mereka dimasa depan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada remaja perempuan agar
status gizi dan kesehatan yang optimal dapat dicapai. Alasanya remaja perempuan akan
menjadi seorang ibu yang akan melahirkan generasi penerus yang lebih baik (Dedeh,
17
2010).
Untuk pertumbuhan janin yang memadai diperlukan zat-zat makanan yang cukup
dengan peran plasenta yang besar dalam transfer zat-zat makanan. Pertumbuhan janin
paling pesat terjadi pada stadium akhir kehamilan sehingga dibutuhkan lebih banyak zat
makanan pada stadium tersebut. Meskipun demikian, pentingnya terpenuhi juga nutrisi
pada awal kehamilan (trimester I) karena pembentukan organ (organogenesis) terjadi
pada periode ini. Terjadinya defisiensi nutrisi yang esensial selama trimester I dapat
mengganggu pembentukan organ yang dapat berakibat cacat janin atau abortus
(keguguran).
18
3.2. Saran
Masa remaja amat penting diperhatikan karena merupakan masa transisi antara
anak-anak dan dewasa. Gizi seimbang pada masa ini akan sangat menentukan
kematangan mereka dimasa depan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada remaja
putri agar status gizi dan kesehatan yang optimal dapat dicapai. Alasanya remaja
perempuan akan menjadi seorang ibu yang akan melahirkan generasi penerus yang
lebihbaik
19
DAFTAR PUSTAKA
Eka yanthi, Ni wayan Dian. Dkk.2019. Edukasi Gizi pada ibu hamil mencegah stunting
pada kelas ibu hamil. Prodi Kebidanan Poltekkes Kemenkes Bandung. Prodi
Promkes Poltekkes Kemenkes Malang Indonesia
Buletin Jendela data dan Informasi Kesehatan, 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di
Indonesia. Kemenkes RI
Kementerian Kesehatan RI, 2018. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun
2017. Jakarta
Larasati, Nadia Nabila , dkk. 2017. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita usia 25-59 bulan di Posyandu Wonosari II Tahun 2017.
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogya
Madalan, Amin. 2018. 16 Jenis Media Cetak untuk Promosi Kesehatan. Diunduh tanggal
11 April 2020.
Mario, Queen Khoirun Nisa. Dkk. 2013. Kesehatan Reproduksi Remaja Putri di pondok
pesantren Sidoarjo Jawa timur
Nadia, 2017. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia
25-59 bulan di posyandu wilayah puskesmas wonosari II tahun 2017
of and Risk factors for Stuntingamong School Children and Adolescents in Abeokuta,
Southwest Nigeria. Journal of Health Population and Nutrition. 29(4):364-370.
Semba, et al. 2008. Effect Parental Formal Education On Risk Of Child Stunting In
Indonesia And Bangladesh : A Cross Sectional Study. 371 : 322 - 328.
www.thelancet.com.
20
Lampiran 1.
21
Lampiran 2.
ISI PIRING KU
22