Buku Pedoman Remaja Putri Dalam Mencegah Stunting

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 29

PANDUAN SEDERHANA PENCEGAHAN RESIKO

STUNTING BAGI REMAJA PUTRI

SRIWIYANTI, SPd.,MM
SRI HARTATI, SKM, MM
YUNITA NAZARENA,S.Gz.,MSi

Penerbit Lembaga Omega Medika

i
Panduan Sederhana Pencegahan Resiko Stunting Bagi Remaja Putri

Penulis: Sriwiyanti, Sri Hartati, Yunita Nazarena

Editor : Penerbit Lembaga Omega Medika


Tata Letak : Penerbit Lembaga Omega Medika
Desain Sampul : Penerbit Lembaga Omega Medika

Hak Cipta © 2022 Penerbit Lembaga Omega Medika


Anggota IKAPI
Jl. Perdana, Kwadungan Permai A 45-46 Kediri
Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri
Phone : +62 857-3387-8003
Website : https://sites.google.com/view/penerbitcandle
E-mail : [email protected]

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk tidak terbatas
pada memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa
izin tertulis dari Penerbit.

Ilmu pengetahuan dan tindakan berdasarkan bukti terus berkembang dari berjalannya
penelitian terbaru, Oleh karena itu, standar pengetahuan dan tindakan wajib diikuti seiring
dengan penelitian dan pengalaman klinis berdasarkan bukti. Pembaca disarankan untuk
memeriksa informasi dan hasil penelitian terbaru untuk memverifikasi ilmu pengetahuan, dan
tindakan yang direkomendasikan serta kontraindikasinya. Penerbit maupun penulis tidak
bertanggung jawab atas kecelakaan dan/atau kerugian yang dialami seseorang atau sesuatu
yang diakibatkan oleh penerbitan buku ini.

Sriwiyanti, Sri Hartati, Yunita Nazarena


Panduan Sederhana Pencegahan Resiko Stunting Bagi Remaja Putri

̶ Kediri: Lembaga Omega Medika, 2022


Cetakan pertama, Februari 2022
1 Jil, 31 Hal, 21 x 29 cm

ISBN: 978-623-97757-4-2

ii
PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Buku Hasil penelitian tentang

“Pendidikan Pencegahan Stunting Bagi Remaja Putri “.

Penyusunan buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan panduan bagi remaja putri

yang merupakan calon ibu sebagai dasar pendidikan gizi dalam pencegahan resiko terjadinya

Stunting pada anak.

Penulis menyadari pada proses penulisan buku masih banyak terdapat kekurangan,

maka dari itu dengan ikhlas penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendidik

atau membangun dari semua pihak demi kesempurnaan buku ini di masa yang akan datang.

Penyusunan buku ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan, bimbingan serta saran

dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terimakasih pada

semua pihak yang telah membantu. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu gizi di Indonesia, khususnya dalam mengatasi dan mencegah masalah Stunting.

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .......................................................................................................... i

Kata Pengantar ....................................................................................................... iii

Daftar Isi ............................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Definisi Stunting............................................................................................... 1

1.2 Definisi Remaja Putri ....................................................................................... 2

1.3 Perubahan Psikologi menuju masa Remaja....................................................... 3

1.4 Tujuan pencegahan stunting .............................................................................. 5

BAB II. PEMBAHASAN ........................................................................................ 7

2.1 Faktor-faktor penyebab stunting........................................................................ 7

2.2 Proses Terjadinya Stunting .............................................................................. 12

2.3 Dampak stunting.............................................................................................. 12

2.4 Pencegahan stunting ........................................................................................ 13

BAB III Penutup ................................................................................................... 17

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 17

3.2 Saran ................................................................................................................ 19

Daftar Pustaka

Lampiran

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi Stunting

Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan
otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek atau
perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam
berpikir. Umumnya disebabkan asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Balita kerdil atau stunting akibat malnutrisi kronis bisa menpengaruhi daya
kognitif sang anak di usia sekolah. Selain itu, pertumbuhannya juga tentu akan
terhambat seiring usia yang terus bertambah.

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi (stunting), dalam jangka
pendek adalah terganggunya perkembangan otak kecerdasan, gangguan pertumbuhan
fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat
buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi
belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,
kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif
yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomiKementrian Kesehatan RI. 2016.
Pusat Data dan Informasi 2015. Jakarta: Kemenkes RI. Diunduh tanggal 12 April 2017
dalam Nadia,2017. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita usia 25-59 bulan di posyandu wilayah puskesmas wonosari ii tahun 2017.

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan, prevalensi balita stunting


di tahun 2018 mencapai 30,8 persen dimana artinya 1 dari 3 balita mengalami stunting.
Terlebih, Indonesia juga merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di
Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia. Para Ahli Gizi bersama Departemen Gizi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mengedukasi kepada
masyarakat tentang pentingnya peran gizi dalam penanganan stunting.

1
Beberapa Ahli Gizi mengungkapkan fakta seputar balita stunting yang bisa
berdampak serius pada kesehatan buah hati. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius
para calon orang tua khususnya ibu untuk memperhatikan asupan nutrisi selama
kehamilan hingga 1000 hari pertama kehidupan atau balita usia 2 tahun.

Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja


menjadi ibu yang kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika hamil
dengan asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan, ditambah lagi
ketika ibu hidup di lingkungan dengan sanitasi kurang memadai. Remaja
putri di Indonesia usia 15-19 tahun.

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting.
Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu
(pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta
asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan.

1.2. Definisi Remaja Putri

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak menuju masa
dewasa yang diawali dengan terjadi kematangan seksual. Remaja akan dihadapkan pada
keadaan yang memerlukan penyesuaian untuk dapat menerima perubahan yang terjadi
pada dirinya. Kematangan seksual dan perubahan bentuk tubuh sangat berpengaruh pada
kehidupan kejiwaan remaja. Kematangan seksual juga dapat mengakibatkan remaja-
remaja mulai tertarik terhadap anatomi fisiologi tubuhnya, juga mulai muncul perasaan
tertarik kepada teman sebaya yang berlawanan jenis. Aisyaroh N, 2011 dalam Nisa
Mairo, 2012
Remaja, sebagai kelompok umur terbesar struktur penduduk Indonesia
merupakan fokus perhatian dan titik intervensi yang strategis bagi pembangunan
sumber daya manusia. Langkah paling penting yang harus diambil adalah makin
ditingkatkannya perhatian kepada remaja putri, karena mereka menghadapi risiko
lebih besar dan mereka lebih rentan menghadapi lingkungan sosial.

Dalam bidang pendidikan, kelompok usia remajalah yang secara


proporsional paling banyak mengalami putus sekolah. Dalam masalah angka

2
kematian dan kesakitan ibu, permasalahan berawal sejak gadis remaja, dimana usia
dini, harga diri dan status yang rendah, serta gizi buruk mulai memberikan dampak
akhir pada penderitaan perlahan-lahan dan kematian dini. Pada kelompok usia
remaja ini, tingkat kesejahteraan sosial, pendidikan, kebudayaan, kesehatan,
keluarga sejahtera dan kependudukan Soejoenoes,1995 ( Soeroso, 2010).

1.3. Perubahan Psikologi Menuju Masa Remaja

Perubahan psikologi dari masa remaja sering digambarkan dengan dua kata
badai dan tekanan kenyataannya, sebagian besar masa remaja melewati dekade
kedua dari kehidupan dengan kesulitan yang minimal.

Remaja Dini (usia 10-13 tahun)

Karakteristik:

- Awitan pubertas, menjadi terlalu memperhatikan tubuh yang sedang


berkembang.
- Mulai memperluas radius sosial keluar dari keluarga dan berkonsentrasi
pada hubungan dengan teman.
- Kognisi biasanya konkret.

Remaja Pertengahan (usia 14-16 tahun)

Karakteristik:

- Perkembangan pubertas sudah lengkap dan dorongan dorongan seksual


akan muncul

- Kelompok sejawat akan menimbulkan standar-standar prilaku ,meskipun nilai-nilai


keluarga masih tetap bertahan

- Konflik/pertentangan dalam hal kebebasan

- Kognisi mulai abstrak

Remaja akhir (usia 17-21 tahun)

Karakteristik:

3
- Kematangan fisik sudah lengkap, body image dan penentuan peran jenis kelamin
sudah mapan.
- Hubungan-hubungan sudah tidak lagi narsistik dan terdapat proses memberi dan
berbagi
- Idealistis.
- Emansipasi hampir menetap.
- Perkembangan kognitif lengkap.
- Peran fungsional mulai terlihat nyata.

Dampak:

- Remaja mulai merasa nyaman dengan hubungan- hubungan dan keputusan


tentang seksualitas dan preteransi. Hubungan individual mulai lebih menonjol
dibanding dengan hubungan dengan kelompok
- Remaja lebih terbuka terhadap pertanyaan spesifik tentang perilaku.
- Idealisme dapat mengakibatkan terjadinya konflik dengan keluarga.
- Dengan mulainya emansipasi, anak muda tersebut mulai lebih memahami
akibat dari tindakannya.
- Sering tertarik dalam diskusi tentang tujuan- tujuan hidup karena inilah
fungsi utama mereka pada tahapan ini.
- Sebagian besar mampu memahami persoalan- persoalan kesehatan.

Perubahan Lingkungan Selama Masa Remaja


- Lingkungan mengalami perubahan besar selama masa remaja dan sering
memainkan peran yang berisiko pada status kesehatan masa remaja. Keluarga
mengalami perubahan bermakna, dengan kebebasan yang lebih dan pengawasan
yang berkurang yang telah diijinkan. Perubahan lingkungan sekolah dari
perlindungan sekolah dasar ke status sekolah lanjutan. Populasi remaja
mungkin enggan untuk memaksakan kesehatan mereka. Pada dasarnya, para
remaja dapat mencari sendiri tentang cerita-cerita seperti penggunaan obat dan
seksualitas termasuk penyakit kelamin yang menular dan kehamilan. Remaja
sering tidak sadar tentang peraturannya dan tidak mempunyai peng- hasilan
untuk membayar pelayanan (Soeroso,2010).

4
- Berbagai masalah yang ada pada remaja sangat rentan terhadap kesehatan reproduksi.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan bahwa kesehatan reproduksi
merupakan suatu keadaan fisik dan mental serta sosial yang utuh, bukan hanya
bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan
sistem reproduksi, fungsi, serta prosesnya. Sehat secara reproduksi merupakan suatu
keadaan manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya dan mampu menjalankan
fungsi serta proses reproduksinya secara sehat dan aman( Aisyaroh,2011).

Menurut WHO upaya pencegahan pada stunting dapat dimulai sejak remaja.
Remaja putri dapat mulai diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai
pentingnya pemenuhan nutrisi saat remaja. Pemenuhan nutrisi saat remaja dapat
mencegah terjadinya gizi yang kurang saat masa kehamilan. Nutrisi yang adekuat
saat kehamilan dapat mencegah terjadinya pertumbuhan yang terhambat pada janin
yang dikandung ( WHO,2013 )

1.4. Tujuan Pencegahan Stunting

Beberapa ahli gizi mengungkapkan fakta seputar balita stunting yang bisa
berdampak serius pada kesehatan buah hati. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius
para calon orang tua khususnya ibu untuk memperhatikan asupan nutrisi selama
kehamilan hingga 1000 hari pertama kehidupan atau balita usia 2 tahun.

Tujuan Pencegahan stunting adalah menghilangkan dampak stunting pada anak-


anak di Indonesia.
Menurut laporan UNICEF, 2010 beberapa fakta terkait stunting dan pengaruhnya
adalah sebagai berikut:
a. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan,
akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang parah
pada anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan
mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah,
dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunting
cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah

5
dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi
terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.

b. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor


dasar yang menyebabkan stunting dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah,
ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan
infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan
stunting mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi
kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat
tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan ( Semba, et al. 2008).

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Faktor-faktor penyebab stunting

a. Berat Badan Lahir

Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan


jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan
kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru (Anisa,2012) Bayi yang lahir
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami
hambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi
kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan
terjadi hipotermi (Direktorat Bina Gizi Ibu dan anak, 2012).

Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR degan
kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan di Yogyakarta
menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan
kejadian stunting (Sartono, 2013) Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi
juga menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR.

b. Jenis Kelamin

Studi kohort di Ethiopia menunjukan bayi dengan jenis kelamin laki-laki Jenis
kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi untuk seseorang. Pria lebih
banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan wanita. Pria lebih
sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang tidak biasa dilakukan wanita. Selama
masa bayi dan anak-anak, anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya
menjadi stunting dan severe stunting daripada anak laki-laki, selain itu bayi
perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki
dikebanyakan Negara berkembang termasuk Indonesia (Ramli, et all.2009).

7
Anak laki-laki lebih berisiko stunting dan underweight dibandingkan anak
perempuan. Beberapa penelitian di sub-Sahara Afrika menunjukan bahwa anak laki-
laki prasekolah lebih berisiko stunting dibanding rekan perempuannya. Dalam hal
ini, tidak diketahui apa alasannya. Dalam dua penelitian yang dilakukan di tiga
negara berbeda,yaitu Libya.serta Banglades dan Indonesia, menunjukan bahwa
prevelansi stunting lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa jenis kelamin anak adalah
faktor prediktor yang kuat dari stunting dan severe stunting pada anak usia 0-23
bulan dan 0-59 bulan. Anak perempuan memiliki risiko yang lebih rendah
dibandingkan anak laki-laki dalam hal ini. Selama masa bayi dan masa kanak-kanak,
anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting dan
severe stunting, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah besar
daripada bayi laki-laki di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia

( Larasati,2017).

c. ASI Eksklusif

ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33


tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah pemberian Air Susu
Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman
lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan. Pemenuhan
kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan pemberian ASI saja.
Menyusui eksklusif juga penting karena pada usia ini, makanan selain ASI belum
mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus selain itu pengeluaran sisa
pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena ginjal belum
sempurna. Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari
peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih,
higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan
anak,Rikesdas, 2013.

Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan
gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita,

8
pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah
pemberian ASI. Berarti dengan pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat
menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada
gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia (Larasati,
2017).

d.Tinggi Ibu

Stunting pada masa balita akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang
sulit diperbaiki. Pertumbuhan fisik berhubungan dengan genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik meliputi tinggi badan orang tua dan jenis kelamin. Tinggi
badan ayah dan ibu yang pendek merupakan risiko terjadinya stunting.

Kejadian stunting pada balita usia 6-12 bulan dan usia 3-4 tahun secara
signifikan berhubungan dengan tinggi badan ayah dan ibu. Hasil penelitian Rahayu
ada hubungan antara tinggi badan ayah dan ibu terhadap kejadian stunting pada
balita. Jesmin et al,2011 dalam Senbanjo,2011, mengemukakan bahwa tinggi badan
ibu merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap anak yang stunting.
Penelitian Candra, dkk juga mengemukakan bahwa tingga badan ayah memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap stunting pada anak usia 1-2 tahun. Anak yang
memiliki tinggi badan ayah < 162 cm memiliki kecenderungan untuk menjadi
pendek sebesar 2,7 kali, Senbanjo,2011.

e. Faktor Ekonomi

Azwar (2000), yang dikutip oleh Manurung (2019), mengatakan pendapatan


keluarga adalah jumlah uang yang dihasilkan dan jumlah uang yang akan dikeluarkan
untuk membiayai keperluan rumah tangga selama satu bulan. Pendapat keluarga yang
memadai akan menunjang perilaku anggota keluarga untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan keluarga yang lebih memadai (Manurung, 2019).

9
Beberapa faktor penyebab masalah gizi adalah kemiskinan. Kemiskinan dinilai
mempunyai peran penting yang bersifat timbal balik sebagai sumber permasalahan gizi
yakni kemiskinan menyebabkan kekurangan gizi sebaliknya individu yang kurang gizi
akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan
(BAPENNAS, 2011).

Hal ini disebabkan apabila seseorang mengalami kurang gizi maka secara
langsung akan menyebabkan hilangnya produktifitas kerja karena kekurang fisik,
menurunnya fungsi kognitif yang akan mempengaruhi tingkat pendidikan dan tingkat
ekonomi keluarga. Dalam mengatasi masalah kelaparan dan kekurangan gizi, tantangan
yang dihadapi adalah mengusahakan masyarakat miskin, terutama ibu dan anak balita
memperoleh bahan pangan yang cukup dan gizi yang seimbang dan harga yang
terjangkau (BAPENNAS.2011) Standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat
dinamis, disesuaikan dengan perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realitas yaitu
Ukuran Garis Kemiskinan Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap
individu untuk makanan setara 2.100 Kilo kalori perorang perhari dan untuk memenuhi
kebutuhan nonmakan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi,
dan aneka barang/jasa lainnya

Standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat dinamis, disesuaikan dengan


perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realitas yaitu Ukuran Garis Kemiskinan
Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk makanan
setara 2.100 Kilo kalori perorang perhari dan untuk memenuhi kebutuhan nonmakan
berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang/jasa
lainnya, Bapenas,2011 dalam Senbanjo,2011.

Standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat dinamis, disesuaikan dengan


perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realitas yaitu Ukuran Garis Kemiskinan
Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk makanan
setara 2.100 Kilo kalori perorang perhari dan untuk memenuhi kebutuhan nonmakan
berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang/jasa
lainnya, Senbajo,2011.

f. Tingkat Pendidikan

10
Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat membawa seseorang untuk memiliki
ataupun meraih wawasan dan pengetahuan seluas- luasnya. Orang –orang yang
memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih
luas jika dibandingkan dengan orang- orang yang memiliki pendidikan yang lebih
rendah.(Notoatmodjo,2012)

Anak-anak yang lahir dari orang tua yang terdidik cenderung tidak mengalami
stunting dibandingkan dengan anak yang lahir dari orang tua yang tingkat pendidikanya
rendah. Penelitian yang dilakukan di Nepal juga menyatakan bahwa anak yang terlahir
dari orang tua yang berpendidikan berpotensi lebih rendah menderita stunting
dibandingkan anak yang memiliki orang tua yang tidak berpendidikan. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Haile yang menyatakan bahwa anak yang terlahir
dari orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih mudah dalam
menerima edukasi kesehatan selama kehamilan, misalnya dalam pentingnya memenuhi
kebutuhan nutrisi saat hamil dan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, Senbajo,2011

g. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dam metros. Antropos artinya
tubuh dan metros artinya ukuran, jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh.Pengertian
dari sudut pandang gizi antropometri adalah hubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi, berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas, dan tebal lemak dibawah kulit, Kemenkes RI 2018.

Penilaian status gizi merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang


dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif atau subjektif.
Data yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia.
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penilaian status gizi secara
langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung.

Penilaian status gizi secara antropometri merupakan penilaian status gizi secara
langsung yang paling sering digunakan di masyarakat. Antropometri dikenal sebagai
indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat.Pengukuran
antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya melakukan latihan

11
sederhana, selain itu antropometri memiliki metode yang tepat, akurat karena memiliki
ambang batas dan rujukan yang pasti, mempunyai prosedur yang sederhana, dan dapat
dilakukan dalam jumlah sampel yang besar, Kemenkes RI,2018.

2.2. Proses Terjadinya Stunting

Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja menjadi ibu yang
kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika hamil dengan asupan gizi yang tidak
mencukupi kebutuhan, ditambah lagi ketika ibu hidup di lingkungan dengan sanitasi
kurang memadai. Remaja putri di Indonesia usia 15-19 tahun (Gambar 4), kondisinya
berisiko kurang energi kronik (KEK) sebesar 46,6% tahun 2013. Ketika hamil, ada
24,2% Wanita Usia Subur (WUS) 15-49 tahun dengan risiko KEK, dan anemia sebesar
37,1%.34

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting.
Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu
(pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta
asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan, Mandalan, 2018.

Dari data Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada


remaja usia 10-14 tahun sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%.
Proporsi kehamilan pada remaja lebih banyak terdapat di perdesaan daripada
perkotaan.

Sedangkan menurut data Susenas tahun 2017, hasil survei pada


perempuan berumur 15-49 tahun diketahui bahwa 54,01% hamil pertama
kali pada usia di atas 20 tahun (usia ideal kehamilan). Sisanya sebesar
23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20 tahun, 15,99% pada usia 17-18
tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa
setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia mengalami
kehamilan pertama pada usia muda atau remaja, Mandalan,2018.

2.3. Dampak Stunting

Menurut laporan UNICEF beberapa fakta terkait stunting dan pengaruhnya

12
adalah sebagai berikut:
a. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan,
akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang
parah pada anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan
fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah,
dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunting
cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah
dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi
terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
b. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor
dasar yang menyebabkan stunting dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah,
ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang,
dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan
stunting mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi
kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak,
bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.
Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunting pada usia
lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak
usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita
dewasa yang stunting dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan
produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR.
Stunting terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung
menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat
melahirkan, Larasati, 2017.

2.4 Upaya pencegahan stunting

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development


Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-
2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun
2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah

13
menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025, Mandalan,
2018
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah
satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun
2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya
sebagai berikut:

Ibu Hamil dan Bersalin

- Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;


- Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu
- Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
- Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori protein, dan
mikronutrien (TKPM);
- Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); Pemberantasan kecacingan
- meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA
- Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) ASI eksklusif
- Penyuluhan dan pelayanan KB

Balita
- Pemantauan pertumbuhan balita;
- Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita
- Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak
- Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal

Anak Usia Sekolah

- Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah(UKS);


- Menguatkankelembagaan Tim Pembina UKS
- Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS)

14
- Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan
narkoba

Remaja
- Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok,dan mengonsumsi
narkoba;
- Pendidikan kesehatan reproduksi.

Dewasa Muda

- Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);


- Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
- Meningkatkanpenyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang
- tidak merokok/mengonsumsi narkoba( Kemenkes RI,2018).

World Health Organization (WHO),2010 menyatakan resolusi target global pada


gizi ibu dan anak sebagai prioritas. Target utamanya bertujuan untuk menurunkan
stunting pada anak sebanyak 40% secara global atau 3,9% penurunan pertahun di antara
tahun 2012 dan 2025. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-

15
2019 menyebutkan bahwa terdapat empat program prioritas pembangunan kesehatan di
Indonesia, salah satunya adalah penurunan prevelansi balita pendek (stunting), Senbajo
,2011.

16
BAB III. KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2013), salah satu strategi untuk perubahan
perilaku adalah dengan pemberian informasi guna meningkatkan pengetahuan sehingga
timbul kesadaran yang pada akhirnya orang akan berperilaku sesuai dengan
pengetahuannya tersebut. Salah satu cara pemberian informasi adalah denganmelakukan
penyuluhan gizi di sekolah. Pemberian informasi dalam bentuk pendidikan gizi ternyata
ini tidak terlepas dari metode dan media yang digunakan.

Pendidikan Gizi merupakan bagian dari pendidikan kesehatan , dimana Pendidikan


kesehatan adalah kegiatan yang membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk
meningkatkan kemampuan berupa pengetahuan, sikap dan psikomotor untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal (Notoatmodjo, 2012).

Linawati (2013) dalam penelitianya menyatakan beberapa faktor yang dapat


mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan, usia, sosial, budaya
(tradisi), ekonomi serta media massa dan informasi yang dapat memberikan pengaruh
jangka pendek sehingga pengetahuan seseorang dapat meningkat. SMA merupakan
tingkat pendidikan tertinggi di usia remaja, semakin tinggi pendidikan yang didapat
sesorang maka akan semakin mudah orang tersebut mendapatkan suatu informasi.

Menurut WHO upaya pencegahan pada stunting dapat dimulai sejak remaja. Remaja
putri dapat mulai diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya
pemenuhan nutrisi saat remaja. Pemenuhan nutrisi saat remaja dapat mencegah
terjadinya gizi yang kurang saat masa kehamilan. Nutrisi yang adekuat saat kehamilan
dapat mencegah terjadinya pertumbuhan yang terhambat pada janin yang dikandung,
Kemenkes RI,2018.

Masa remaja amat penting diperhatikan karena merupakan masa transisi antara anak-
anak dan dewasa. Gizi seimbang pada masa ini akan sangat menentukan kematangan
mereka dimasa depan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada remaja perempuan agar
status gizi dan kesehatan yang optimal dapat dicapai. Alasanya remaja perempuan akan
menjadi seorang ibu yang akan melahirkan generasi penerus yang lebih baik (Dedeh,

17
2010).

Menurut Ekayanthi, 2019 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa stunting


dipengaruhi salah satunya oleh pengetahuan gizi ibu dan asupan ibu. Asupan ibu
terutama saat hamil merupakan salah satu faktor yang berperan penting. Gizi janin
bergantung sepenuhnya pada ibu, sehingga kecukupan gizi ibu sangat memengaruhi
kondisi janin yang dikandungnya. Ibu hamil yang kurang gizi atau asupan makanan
kurang akan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan (Picauly,
2013). Asupan makanan selama hamil berbeda dengan asupan sebelum masa kehamilan.
Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) diperlukan tambahan 300 kkal perhari
selama kehamilan. Penambahan protein 20g/hr; lemak 10 g/hr dan karbohidrat 40g/hr
selama kehamilan serta mikronutrisi lainnya untuk membantu proses pertumbuhan janin
di dalam kandungan (MCAI, 2016).

Untuk pertumbuhan janin yang memadai diperlukan zat-zat makanan yang cukup
dengan peran plasenta yang besar dalam transfer zat-zat makanan. Pertumbuhan janin
paling pesat terjadi pada stadium akhir kehamilan sehingga dibutuhkan lebih banyak zat
makanan pada stadium tersebut. Meskipun demikian, pentingnya terpenuhi juga nutrisi
pada awal kehamilan (trimester I) karena pembentukan organ (organogenesis) terjadi
pada periode ini. Terjadinya defisiensi nutrisi yang esensial selama trimester I dapat
mengganggu pembentukan organ yang dapat berakibat cacat janin atau abortus
(keguguran).

Anak- anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya


asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan meningkatnya
kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu makan, sehingga meningkatnya
kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit dalam mengatasi
gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunting. Periode yang
paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai sejak janin dalam kandungan
sampai anak berusia 2 tahun yang disebut dengan periode emas (1000 HPK). Oleh
karena itu, perbaikan gizi diprioritaskan pada usia 1000 HPK yaitu 270 hari selama
kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya.

18
3.2. Saran

Masa remaja amat penting diperhatikan karena merupakan masa transisi antara
anak-anak dan dewasa. Gizi seimbang pada masa ini akan sangat menentukan
kematangan mereka dimasa depan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada remaja
putri agar status gizi dan kesehatan yang optimal dapat dicapai. Alasanya remaja
perempuan akan menjadi seorang ibu yang akan melahirkan generasi penerus yang
lebihbaik

Pencegahan kejadian stunting dapat dilakukan sejak dini dengan memberikan


pendidikan gizi mengenai Stunting pada remaja putri. Pendidikan Gizi dapat
meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja dalam memperbaiki pola makan sesuai
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Remaja, , meningkatkan kebersihan diri dan
lingkungan, melaksanakan aktifitas dan rutinitas secara sehat . Sehingga dapat
meningkatkan kesehatan mental dan jasman.

GENERASI SEHAT- GENERASI CERDAS

19
DAFTAR PUSTAKA

Eka yanthi, Ni wayan Dian. Dkk.2019. Edukasi Gizi pada ibu hamil mencegah stunting
pada kelas ibu hamil. Prodi Kebidanan Poltekkes Kemenkes Bandung. Prodi
Promkes Poltekkes Kemenkes Malang Indonesia

Buletin Jendela data dan Informasi Kesehatan, 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di
Indonesia. Kemenkes RI

Kementerian Kesehatan RI, 2018. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun
2017. Jakarta

Larasati, Nadia Nabila , dkk. 2017. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita usia 25-59 bulan di Posyandu Wonosari II Tahun 2017.
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogya

Madalan, Amin. 2018. 16 Jenis Media Cetak untuk Promosi Kesehatan. Diunduh tanggal
11 April 2020.

Mario, Queen Khoirun Nisa. Dkk. 2013. Kesehatan Reproduksi Remaja Putri di pondok
pesantren Sidoarjo Jawa timur

N. Aisyaroh, 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja. Majalah Kesehatan Sultan


Agung.

Nadia, 2017. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia
25-59 bulan di posyandu wilayah puskesmas wonosari II tahun 2017

Persatuan Ahli Gizi Indonesia,2020, Penuntun Diet dan Terapi Gizi, Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

RISKESDAS,2013, Riset Kesehatan Dasar. Kementeri. Kesehat. Republik Indones. 1–384


(2013). doi:1 Desember 2013

Unicef Indonesia, 2012. Ringkasan kajian gizi ibu dan anak. Retrieved from
http://www.unicef.or.id
Senbanjo, I., et al. 2011. Prevalence of and Risk factors for Stuntingamong School
Children and Adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria. Journal of Health
Population and Nutrition. 29(4):364-370.

Semba, et al. 2008. Effect Parental Formal Education On Risk Of Child Stunting In
Indonesia And Bangladesh : A Cross Sectional Study. 371 : 322 - 328.
www.thelancet.com.

20
Soeroso. Santoso. 2001. Masalah Kesehatan Remaja. Vol 3. Sari pediatriSoejoenoes.A.
1995. Remaja Reproduksi dan Permasalahannya. Pertemuan Ilmiah berkala.
Ilmu Kesehatan Anak. Semarang

Word Health Organization, 2013. Childhoold Stunting: Challenges and Opportunities.


Switzerland: Department of Nutrition for Health and Development.
www.who.int.

21
Lampiran 1.

ANGKA KECUKUPAN GIZI REMAJA PUTRI

Usia Berat Tinggi Energi Protein Karbohidrat Lemak Serat Air


(tahun) badan(kg) Badan(cm) (Kkal) (g) (g) (g) (g) (ml)

13-15 48 156 2050 65 300 70 29 2100

16-18 52 159 2100 65 300 70 29 2150

19-29 55 159 2250 60 360 65 32 2350

22
Lampiran 2.

ISI PIRING KU

23

Anda mungkin juga menyukai