Makalah Muhamad Rafi.
Makalah Muhamad Rafi.
Makalah Muhamad Rafi.
PENDAHULUAN
Demokrasi di Indonesia selalu menjadi perbincangan dan diskusi yang sangat hangat. Jika
dikaji, demokrasi yang ada di Indonesia adalah demokrasi ala barat yang sudah lama
kehilangan hikmah. Anehnya, umat Islam menilai bahwa demokrasi adalah hikmah. Hal ini
berdasarkan riwayat yang menyatakan: “Hikmah itu ibarat sesuatu yang dari lingkaran umat
Islam. Jika kita menemukan, tentu kita ambil dan tidak peduli siapa yang dibelakang. Yang
baik, tentu kita transfer”. Oleh karena itu, pembahasan demokrasi dalam konteks NU urgen
ditelaah.
Demokrasi Berasal dari bahasa Yunani “Demos” yang berarti Rakyat, dan “Kratos/Kratien”
yang berarti Kekuasaan. Sehingga konsep dasar demokrasi adalah “Rakyar Berkuasa”
Demokrasi secara harfiah berarti Pemerintahan Rakyat. Dalam istilah ilmu politik,
Demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana penguasaan harus
mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada rakyat yang dilaksanakan secara
tidak langsung oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum yang kompetitif,
bebas, dan jujur. Dalam prakteknya demokrasi kini diterapkan dalam bentuk
kelembagaan yakni Trias Politika yang memisahkan kekuasaan
Sistem demokrasi yang terdapat di negara kotaYunani Kuno abad ke-6 sampai ke-3
S.M. Merupakan demokrasi langsung, yaitu suatu bentuk pemerintah dimana hak
untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh
warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Demokrasi Merupakan tatanan yang mengatur hubungan antara agama dan rakyat
yang didasarkan atas nilai-nilai yang universal yaitu persamaan, kebebasan dan
pluralisme. Dilihat dari prinsip bahwa hubungan antara agama dan rakyat didasarkan
atas kontrak sosial dengan rakyat yang berhak membentuk pemerintahan, maka
demokrasi sebenarnya sejalan dengan ajaran Islam yang memandang pemerintah
sebagai amanah dan penegak keadilan. Dengan mengambil dalil dasar
ِاَّن َهّٰللا َي ۡا ُمُر ُك ۡم َاۡن ُتَؤ ُّدوا اَاۡلٰم ٰن ِت ِآٰلى َاۡه ِلَه ا ۙ َو ِاَذ ا َح َكۡم ُتۡم َب ۡي َن الَّن اِس َاۡن َتۡح ُك ُم ۡو ا ِباۡل َع ۡد ِل ؕ ِاَّن
َهّٰللا ِنِع َّم ا َي ِع ُظ ُك ۡم ِبٖه ؕ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َس ِم ۡي ًۢع ا َب ِص ۡي ًر ا
Artinya:
Ayat ini mencerminkan beberapa prinsip: pertama, berlaku amanat. Setiap orang
mampu menjaga kehidupan materinya dan bekerja untuk menghidupi keluarga.
Seorang mukmin tidak diperkenankan untuk berlaku curang, bohong, dan khianat.
Kedua, berlaku adil dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan manusia. Respon
ulama yang timbul dalam menanggapi adanya sistem
demokrasi ini pun beragam. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi tentang adanya
hubungan antara Islam dan negara.
Demokrasi menempati posisi vital dengan salah satu pilar demokrasi adalah prinsip
Trias Politica yang membagi ketiga
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (Independent) dan
berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi
ketiga jenis lembaga ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip Checks and Balances.
Paling tidak ada tiga kelompok atau pandangan pemikiran para teoretisi dan praktisi
politik Islam terhadap demokrasi, yang sesuai dan didasarkan pada paradigma dan
argumentasi teologisnya, yang berkembang di dunia Muslim.
Pertama, kelompok yang menolak demokrasi (konservatif), pada kelompok ini sangat
terang-terangan menolak adanyahubungan apalagi keterpaduan antara Islam dan
demokrasi, yang merupakan produk pemikiran politik Barat. Ada beberapa ulama
yang berpandangan menentang adanya kesinambungan antara Islam dan demokrasi.
Tokoh pemikiran dalam kelompok ini antara lain dipelopori oleh Syakh Fadhallah
Nuri, Thabathabai dari Iran, Sayyid Quthb dan al-Syya’rawi dari Mesir, serta Ali
Benhadj dari Aljazair. Menurut mereka bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang
layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan Demokrasi tidak bisa
dipadukan.
Akan tetapi, perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa kalau dalam sistem barat,
suatu negara demokratis menikmati hak-hak kedaulatan mutlak, maka dalam
demokrasi Islam, kekhilafahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah
digariskan hukum
ilahi.
Kaum Muslimin di Indonesia tak pernah ragu menerima dan menyerap nilai-nilai
demokrasi yang sudah sejak lama diperjuangkan bukan hanya oleh para pendiri
bangsa, tetapi juga oleh oraganisasi Islam maenstream yang terus menggagas Islam
yang kontekstual, yaitu mampu merespon persoalan masa kini.
“Dapat dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak akan berjalan tanpa partisipasi
masyarakat Muslim”, ujarnya. Lebih jauh dia
sesungguhnya nilai-nilai demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Meski demikian, dia
mengakui terdapat polemik diantara para pemikir politik muslim, apakah Islam pro
demokrasi atau tidak. “Namun demikian, banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah
nabi yang mendukung nilainilai demokrasi. Pada kasus di Indonesia. Banyak para
pemikir politik muslim dan aktivis yang telah menyarankan demokrasi sebagai bentuk
terbaik dalam pemerintahan”, jelasnya.
Din mengemukakan, para pemimpin muslim dari organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia, yakni Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah berulang kali
menyatakan bahwa
Pancasila sebagai dasar negara merupakan hal yang final. “Masyarakat Islam di
Indonesia telah berkomitmen untuk memastikan adanya demokrasi pluralistik dan di
dalamnya Islam memainkan suatu peranan penting untuk memantapkan demokrasi”.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bagi Gus Dur,
demokrasi akan menyatukan beragam arah kecenderungan dan kekuatan bangsa,
mengingat demokrasi menghendaki adanya kesanggupan untuk melihat masyarakat
Pada pandangan NU, Indonesia adalah sebuah negara yang mempunyai karakternya
sendiri: Keragaman suku bangsa, Keragaman bahasa, dan Keragaman agama, serta
dari segi Geografi terdiri dari ribuan pulau. Karena itu, NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah harus diterima
dan final sebagai negara bangsa (Nation State). Dengan pandangan NU mengenai
Pancasila yang merupakan dasar dan falsafah negara, sedangkan Islam adalah akidah
dan syari’ah yang meliputi hubungan
terpisahkan di dalam kehidupan sosial dan politik. Kata demokrasi itu sendiri
sesungguhnya tidak ada didalam Al-Qur’an maupun Hadist, namun secara Implisit dan
substansial, dasar-dasar demokrasi ada dalam ajaran Islam.
Nilai-nilai dasar Islam dimaksud adalah prinsip al Musawah atau persamaan derajat
manusia di hadapan allah, yang membedakan seseorang dari yang lain adalah amal
perbuatannya. Al Hurriyyah , atau kemerdekaan dan kebebasan atas nama
pertanggungjawaban moral dan hukum oleh setiap individu yang mesti ditegakkan,
baik di dunia maupun di akhirat. Al Ukhuwwah , persaudaraan sesama manusia
sebagai salah satu spesies yang diciptakan dari bahan baku yang sama. Al Adalah ,
keadilan yang intinya pemenuhan hak-hak manusia sebagai individu maupun warga
masyarakat atau negara. Al Syura , musyawarah, di mana setiap warga masyarakat
mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam urusan publik yang
menyangkut kepentingan bersama.
Adapun ajaran Islam mengenai hak ialah meliputi: Hifdz al NafsHifdz al Aql (hak
untuk berfikir), Hifdz al Mal (hak milik individu), Hifdz al Irdh (hak mempertahankan
nama baik), dan Hifdz al Nasl (hak untuk memiliki garis keturunan).
Prinsip dan nilai-nilai Islam di atas tak satupun yang bertentangan dengan sistem
demokrasi atau nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Atas dasar pemikiran tersebut,
NU berpandangan bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang paling sesuai
diterapkan dalam sistem kenegaraan di Indonesia, karena sistem politik demokratis
merupakan tatanan sistem kenegaraan modern yang sampai sekarang belum ada
alternatifnya yang lebih baik, di dalamnya terkandung check and balance, terjaminnya
proses elite kekuasaan, serta persamaan hak