Demokrasi Mencari Penyesuaian Dan Solusi
Demokrasi Mencari Penyesuaian Dan Solusi
Demokrasi Mencari Penyesuaian Dan Solusi
A. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi penganut agama
Islam terbesar yang memiliki sistem politik sekuler-demokratis yang dinamis.
Dalam iklim demokrasi ini, mulai muncul juga berbagai partai politik Islamis
dan kelompok Islamis dengan agenda Islamisme mereka di Indonesia muncul.
Pasca reformasi, kelompok Islam konservatif telah berkembang dalam berbagai
ruang politik, bahkan beberapa organisasi yang memiliki ideologi Islam yang
cenderung garis keras semakin banyak bermunculan.
Demokrasi merupakan tuntutan zaman dan menjadi unsur utama yang
membentuk manusia pada saat ini. Manusia sebagai warga masyarakat yang
mempunyai hak-hak demokrasi terutama hak untuk memilih, berpikir,
berekspresi, mengeluarkan pendapat, berkumpul, berorganisasi, mendapatkan
pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan dan sebagainya.
Rakyat merupakan pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan
kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintahan serta
pengontrol terhadap pelaksanaan kebijaksanaan, baik yang dilakukan secara
langsung oleh rakyat atau yang mewakilinya melalui lembaga perwakilan.2
Arus gerakan politik hukum demokratis telah melahirkan sejumlah
perubahan atau perbaikan dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
bertujuan melakukan sejumlah penyempurnaan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan atau penyelenggaraaan pemerintahan daerah. Dengan
1
Makalah ini disusun Oleh Putri Nanda, Mahasiswa Sosiologi Agama, Jurusan Dakwah dan Komunikasi
Islam , Mata Kuliah Isu-Isu Kontemporer dan Gerakan Keagamaan Yang Diampu Oleh Dosen Bapak
Junaidi, M.Ag
2
Hakiki. Islam Dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim Dan Penerapannya Di Indonesia.
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 (Januari 2016), h 32
1
demikian, spirit demokrasi yang menjadi aspirasi warga harus diwujudkan untuk
membangun tata hukum dan sistem hukum yang berkeadilan dan berpihak
kepada warga masyarakat, bukan kepada kepentingan lainnya.
Dewasa ini syari'ah menjadi isu yang menarik banyak kalangan bagi para
intelektual muslim maupun non muslim. Persoalan muncul ketika Syari'ah
dijadikan sebagai hukum public suatu negara dan kaitannya dengan
persoalanpersoalan kontemporer. Seperti HAM, Demokrasi, Hak-hak non-
muslim, konstituante hukum internasional. Dengan mempertimbangkan isu-isu
kontemporer yang bersentuhan langsung dengan kehidupan keseharian manusia
maka cara pandang baru dalam berijtihad terhadap syari’ah adalah suatu
kemestian sehingga ajaran Islam dapat dibuktikan sebagai agama rahmatan lil
‘alamin atau al-syri'ah al-Islam shaiihi li kulli zaman wa makan. Selain itu juga
nilai-nilai universalisme Islam akan selalu sesuai dengan kemajuan zaman.3
Pengakuan dari seorang orientalis, Joseph Schacht sebagaimana dikutip
Qardhawy menyatakan bahwa Islam adalah suatu sistem yang integral, yang
mencakup agama dan negara sekaligus. Dalam bahasa Qardhawy, Islam yang
benar adalah akidah, ibadah, tanah air dan kebangsaan, toleransi dan kekuatan,
moril dan materiil, kebudayaan dan hukum. Meskipun Islam merupakan ajaran
yang bersifat universal, menyangkut berbagai sistem kehidupan; sosial, politik,
ekonomi, budaya maupun hukum, namun ketika nilai itu dikaitkan dengan suatu
negara tertentu, maka ajaran yang bersifat universal tersebut berbenturan dengan
budaya dalam masyarakat yang bersangkutan. Indonesia, misalnya, sebagai
sebuah negara dimana penduduknya mayoritas beragama.
B. PEMBAHASAN
1. Konsep Demokrasi Dan Nilai-Nilai Islam
Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang
demokrasi, di antaranya seperti yang dikutip Hamidah adalah sebagaimana
di bawah ini: Menurut Joseph A. Schumpeter, demokrasi adalah suatu
3
Sri Wahyuni. Demokrasi Dan Negara Hukum Dalam Islam. Jurnal Review Politik Volume 02, Nomor
02, Desember 2012, h 7
2
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana
individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara
perjuangan kompetitif atas suatu rakyat. Sidney Hook dalam Encyclopaedia
Americana mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan
di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung
maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.4
Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai
pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka pada wilayah publik
oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi
dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih. Dari tiga definisi
tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai-nilai,
yaitu adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada
rakyat, adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin.
Sementara menurut Abdurrahman Wahid, demokrasi
mengandung dua nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok dan yang bersifat
derivasi. Menurut Abdurrahman Wahid, nilai pokok demokrasi adalah
kebebasan, persamaan, musayawarah dan keadilan. Kebebasan artinya
kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbangan
antara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat. 5
Nurcholish Majid, seperti yang dikutip Nasaruddin mengatakan, bahwa
suatu negara disebut demokratis sejauhmana negara tersebut menjamin hak
asasi manusia (HAM), antara lain: kebebasan menyatakan pendapat, hak
berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi menolak dektatorianisme,
feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi, hubungan antara
penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkan berdasarkan
hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
4
Syahdiyono. Sistem Demokrasi Indonesia Menurut Prespektif Islam. Al-Mansyur: Jurnal Ekonomi
Syariah. Vol. 1 No. 2, Maret 2022, h 16
5
Ibid
3
Maka tidaklah mudah membuat suatu definisi yang jelas
mengenai demokrasi, apalagi bila iflkaitkan dengan pertimbangan adanya
partisipasi rakyat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta
hukum dan hakhak asasi manusia. Demokrasi bermakna variatif karena
sangat bermakna interpretatif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim
negaranya sebagai demokratis, meskipun nilai yang dianut atau praktik
politik iekuasaannya amat jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Karena
sifatnya yang retatif itu, kita mengenai berbagai tipologi demokrasi seperti
demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi
komunis, demokrasi terpimpin.
Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, agama mempunyai
posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Al-
Mawardi berusaha mengompromikan realitas politik dengan idealitas politik
seperti disyariatkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat
justifikasi kepantasan dan kepatutan politik. Ia menegaskan bahwa
kepemimpinan negara (khilafah atau imamah) merupakan instrumen untuk
meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.6
Dalam pengelolaan negara, al-Mawardi lebih mengutamakan
pendekatan institusional (kelembagaan), yaitu dengan memaksimalkan
fungsi kelembagaan dan memantapkan struktur negara. Gagasan
ketatanegaraan al-Mawardi sangat menarik, yang sekarang dipakai oleh
masyarakat modern adalah teori kontrak sosial, yaitu hubungan antara Ahl
al-Ikhtiyâr dan Ahl al-Imâmah. Kontrak sosial ini melahirkan kewajiban dan
hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik.
Wacana Demokrasi mencoba dikaitkan dengan Term musyawarah menjadi
wacana publik di kalangan intelektual muslim pada abad-abad terakhir ini,
terutarna abad ke-21. Hal tersebut disebabkan adanya pengaruh kalau, tidak
dikatakan sebagai infiltrasi budaya dan teori politik barat terhadap dunia
Islam, khususnya dalam wacana demokrasi. Sebenarnya jauh sebelum barat
6
Nurhasan. Menakar Kemungkinan Demokrasi Yang Islamik. Dauliyah, Vol. 4, No. 1, Januari 2019, h 24
4
mendengungkan ide tentang demokrasi, dalam Islam telah lahir konsepsi
dan aplikasi dan musyawarah. Hal itu dapat dilihat pada masa Nabi
memimpin negara Madinah dan menjadikan musyawarah sebagai salah satu
prinsip kenegaraan.Tradisi seperti ini dipraktekkan pula oleh para sahabat,
khususnya para khulafa' al-Rasyidun pada masa kepemimpinan mereka.
Dalam konsep demokrasi modern, kedaulatan rakyat merupakan
inti dari demokrasi, sedang demokrasi Islam meyakini bahwa kedaulatan
Allahlah yang menjadi inti dari demokrasi. Kedaulatan mutlak menentukan
pemilihan khalifah, yaitu yang memberikan kerangka kerja seorang
khalifah. Konsep demikianlah yang dikembangkan para cendekiawan
belakangan ini dalam mengembangkan teori politik yang dapat dianggap
demokratis.7
Dalam teori tersebut tercakup definisi khusus dan pengakuan
terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan
kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan mengenai
demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan perhatian
pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam
dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang
sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura’), persetujuan (ijma’), dan
penilaian interpretative yang mandiri (ijtihat).
Dalam hal kebebasan berpendapat, al-Qur’an memberikan
petunjuk bahwa perbedaan pendapat itu hal yang biasa dan wajar, dan harus
disikapi dengan kebaikan yang akan mengantarkan kepada keutamaan hidup
dan kehidupan.
Menurut Aswab Mahasin agama dan demokrasi memang berbeda.
Agama itu berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan
pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialektikanya
sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan
7
Lilis Sofya. Permasalahan Mengenai Hubungan Islam dengan Demokrasi. Jurnal Pendidikan Tambusai.
Volume 7 Nomor 3 Tahun 2023, h 4
5
dengan demokrasi. Bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam
perspektif Islam meliputi : as-syura, al-musawah, al-adalah, al-amanah, al-
mas’uliyyah, dan al-hurriyyah. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai
berikut :8
a. Syura yang merupakan suatu prinsip tentang bagaimana cara
pengambilan keputusan dan secara eksplisit ditulis dalam al-Qur’an,
misalnya : “dan urusan mereka diselesaikan dengan cara musyawarah
diantara mereka” (QS. as-Syura 38).
b. Al-Adalah adalah keadilan. Ajaran tentang keharusan melakukan
hukum dengan adil tanpa pandang bulu, banyak ditegaskan dalam al-
Qur’an, bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu karena jika “orang
kecil” melanggar pasti dihukum, sementara bila yang melakukan
pelanggaran “orang besar” hukum selalu berlalu.
c. Al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan
seseorang kepada orang lain. Kepercayaan atau amanah memang harus
dijaga dengan baik. Dalam pembangunan demokrasi, masyarakat
menjadi tulang punggung kesuksesan perjalanan kehidupan, manakala
semaksimal mungkin menjaga kepercayaan, pemimpinnya memiliki
kepercayaan kepada masyarakatnya, dan masyarakat yang selalu
menjaga stabilitas gerak pemimpinnya.
d. Al-Mas’uliyyah yaitu tanggungjawab. Sabda Nabi SAW : “setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawabannya”. Tanggung jawab individu dan kelompok
tetap diperlukan dalam rangka menjaga pertanggungjawabannya.
Masyarakat bertanggung jawab atas perjalanan pemerintahannya
dengan memberikan masukan/input perbaikan kelembagaan Negara.
Pemimpinnya bertanggung jawab atas keberlangsungan hajat hidup
orang banyak.
8
Ibid
6
e. Al-Hurriyyah yaitu kebebasan. Artinya bahwa setiap orang, setiap
warga negara, masyarakat diberikan hak dan kebebasan untuk
mengekspresikan pendapatnya. Masing-masing individu memberikan
kebebasan dalam kerangka membangun bangsa dan negaranya,
sementara pemerintah menjaga stabilitas, rasa aman dan terus
mengupayakan kesejahteraan masyarakat menuju sebuah Negara yang
sejahtera lahir dan batin di bawah panji-panji kemakmuran.
2. Perdebatan Tentang Kompatibilitas Islam Dan Demokrasi
a. Demokrasi dalam Pemikiran Politik Islam Modern
Islam yang historis hadir dalam wujud angka besar, tetapi
sistem kelembagaan dan pranatanya mengalami proses involusi
berhadapan arus modernisasi. Gerakan Islam, terutama sejak abad XX,
bertujuan untuk merevitalisasi Islam. Erakan ini dipelopori oleh elite
yang umumnya berpendidikan Barat, tetapi berlatar belakang keluarga
beragama. Tetapi boleh dikata kelompok ini sangat kecil. Lagi pula
mereka juga sedang mengalami krisis nilai. Karena berpendidikan
Barat, timbul ketidakpercayaan, setidaknya keraguan mereka terhadap
otoritas lama yang dipegang oleh kaum ulama. Namun mereka masih
berada dalam taraf mempelajari Islam dalam konteks baru. Mereka
tidak sepenuhnya percaya dan menerima begitu saja nilai-nilai
modernitas.
Dengan basis elit yang minoritas, Islam diusahakan untuk
dioerjuangkan pada tingkat politik, dengan harapan setelah meraih
kekuasaan akan bisa membangun basis kemasyarakatannya. Sementara
itu terdapat maslah penting, yaitu mempertahankan Islam itu sendiri
dari empuran sekularasisasi yang hendak mengurangi peran agama
dalam proses-proses politik kenegaraan. Disinilah, elit kaum Muslim
dalam gerakan Islam berhadapan dengan tantangan merumuskan Islam
secara kontekstual. Akan tetapi konsep yang ditawarkan tidak selalu
dapat diterima oleh pihak lain. Misalnya konsep negara Islam yang
7
tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat Islam itu sendiri ang hidp
dalam tiga dimensi yaitu Islam yang universal, tradisi lokal dan
modernisasi yang tidak berkesudahan.9
Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan, bagaimana masa
depan demokrasi di Indonesia dalam kaitannya dengan kebangkitan
Islam yang memberikan isyarat bahwa kecenderungan ke arah lebih
demokratis tidak berlangsung secara meyakinkan. Kasus yang sering
diangkat sebagai pembenaran akan kekhawatiran itu ialah tampilnya
partai politik yang berasaskan Islam dan berusaha untuk menggugat
Pancasila sebagai satu-satunya asas, perjuangan untuk mengembalikan
Piagam Jakarta dalam konstitusi dan aksi-aksi sepihak yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok muslim yang mengatasnamakan amar ma’ruf
nahyi mungkar.
Sebagaimana Fazlurrahman, Mohamed Arkoun juga berpendapat
bahwa antara Islam dan demokrasi memiliki kesesuaian. Pertama-tama
ia menjelaskan perbedaan antara wewenang dan kekuasaan. Wewenang
menurutnya bersifat teologis-mitis seperti ketika Nabi di Mekah dan
kekuasaan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu
dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak sepuluh orang.
Selanjutnya Arkoun menerima pernyataan Ibnu Khaldun bahwa sistem
kekahlifaan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan
hegemonik, yang telah melakukan tidakan sakralisasi terhadap yang
duniawi seperti terlihat pada terminologi ba’iah dan wakil Allah di
muka bumi. Berdasar dari hal tersebut, maka ia menerima konsep
demokrasi.10
Pemikir Islam Indonesia, Nurcholis Madjid menilai bahwa dalam
tataran teori dan praktik, Islam telah menerapkan prinsip-prinsip politik.
Prinsip tersebut merupakan pengejawantahan dari Piagam Madinah
9
Hidayat. Syura dan Demokrasi dalam Perspektif Al-Qur’an, ADDIN, Vol. 9, No. 2, Agustus. 2015, h 19
10
Hartono. Konsepsi Pemikiran Islam Dan Demokrasi Menurut Abdurahman Wahid, Jurnal Al-Rabwah
Vol. XIII No. 1 Mei. 2019, h 92
8
yang mengatur tentang pluralisme, toleransi, pengakuan terhadap
kesetaraan waraga negara dan keadilan sosial sebagai tujuan negara.
Dalam Islam yang dimaksud pluralisme ialah paham kemajemukan
yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan
sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.
Dengan demikian demokrasi adalah wadah untuk mewujdkan
prinsip-prinsip politik tersebut. Bagi Nurcholis Madjid, demokrasi
merupakan sesuatu yang memiliki nilai lebih dibandingkan dengan
sistem lain. Demokrasi merupakan sistem politik dengan prinsip
mayoritas dengan tetap memberikan kesempatan kepada kaum
minoritas untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai relung-relung
kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi menuntun warga
negara untuk menghargai pluralitas, mengedepankan musyawarah
mufakat dalam menyelesaikan dan memutuskan suatu perkara serta
memberikan jaminan kepada setiap anak bangsa untuk mencari nafkah
dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi (demokrasi sosial).
Demokrasi sosial memberikan ruang untuk mewujudkan
masyarakat kesejahteraan. Santunan kesejahteraan masyarakat bawah
diberikan oleh pemerintah, tetapi tidak merupakan hasil dari tahapan
demokrasi politik. Bantuan kesehatan dalam puskesmas, bantuan desa,
kredit bunga lunak merupakan jalan untuk mencapai negara
kesejahteraan. Tentu saja belum memadai dan tanpa kesadaran akan
kemakmuran bersama, tetapi paling tidak pemerintah pusat sudah
memiliki usaha dalam mewujudkan kemakmuran rakyat.11
b. Masyarakat Madani Perpaduan Islam dan Demokrasi
Sudah dipahami secara umum bahwa masyarakat madani
disepadankan dengan civil society. Sebagaimana layaknya demokrasi,
pada awal diperkenalkan konsep civil society pada masyarakat Islam,
hal tersebut mendapat banyak tantangan dari kalangan tokoh pergerakan
11
Ibid
9
dan intelektual Islam. Sebagaimana diuraikan oleh Fahmi Huwaidi
sekitar tahun 1993 di Tunisia sedang marak tuntutan untuk
pemberlakuan civil society. Lain halnya di Mesir, gagasan civil society
justru banyak mendapat rintangan karena dianggap tidak bersesuaian
dengan Islamic Society yang negara harus berbentuk negara agama
(Islamic State).12
Penilaian Huwaidi tentu berangkat dari realitas bahwa di Mesir
pada saat itu juga mengalami kebangkitan fundamentalisme Islam yang
dipelopori oleh Ikhwanul Muslimin. Kaum fundamentalis dipahami
bahwa dalam menafsirkan teks-teks keagamaan dilakukan secara kaku,
dogmatis, absolut dan memandang semua gagasan yang berasal dari
Barat bertentangan dengan ajaran Islam dan perlahan tapi pasti diyakini
dapat merusak aqidah umat Islam.
Pengembangan gagasan civil society moderen selanjutnya
mengikuti konsep Hegel yang memilah kehidupan moderen menjadi
tiga wilayah yakni keluarga, civil society dan negara. Keluarga
merupakan arena privat yang memiliki fungsi untuk melakukan
sosialisasi bagi tiap individu sebagai bagian dari masyarakat untuk
mewujudkan pola kehidupan yang harmonis. Civil society merupakan
ruang publik bagi individu untuk melakukan aktivitas dalam rangka
pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sementara negara merupakan puncak
kekuasaan tertinggi yang memiliki kewenangan untuk melakukan
pengendalian penuh terhadap warga negara untuk melindungi
kepentingan politik kenegaraan.
Gagasan hegel tentang negara dan civil society mendapat
sanggahan dari Alexis de Tocqueville. Justru, Tocqueville berpendapat
bahwa civil society merupakan kekuatan yang terdiri dari kelompok
keagamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat, asosiasi profesional yang
12
Mulyadi. Islam Dan Demokrasi Telaah Atas Komunikasi Politik Dalam Pemilihan Umum Langsung
Oleh Rakyat Dalam Perspektif Sosiologis, Jurnal Komunikasi Volume. 3 No. 1, April. 2021, h 32
10
memiliki peran untuk mengawal kebijakan-kebijakan negara. Civil
society merupakan basis kehidupan moderen yang berlandaskan pada
kebersamaan, otonomi dan kemandirian, kewarganegaraan, keterlibatan
dalam ruang-ruang sosial secara sukarela dan nasionalisme.13
3. Model-Model Demokrasi Yang Kompatibel Dengan Nilai-Nilai Islam
Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah
satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan
dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut
Iqbal, Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah
kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan
sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral
ketuhanan. Jadi, yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich.
Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan
sebuah model demokrasi sebagai berikut:14
a. As-Syura
Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling
dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada
zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim
formatur yang bertugas memilih kepala negara atau
khalifah. Jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai
bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap
mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung
jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari
pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-
pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Begitu
13
Irawan. Perkembangan Demokrasi Di Negara Indonesia, Hukum Dan Dinamika Masyarakat Vol.5
No.1 Oktober. 2007, h 22
14
Karman. Konstruksi Nilai-Nilai Demokrasi Kelompok Islam Fundamentalis di Media Online. Jurnal
Pekommas, Vol. 18 No. 3, Desember 2015, h 223
11
pentingnya arti musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa maupun bernegara, sehingga Nabi sendiri juga
menyerahkan musyawarah kepada umatnya.
b. Al-adalah
al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum
termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus
dilakukan secara adil dan bijaksana. Ajaran tentang keharusan
mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpa pandang bulu ini,
banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali pun
harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga
menegaskan, , bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah
karena jika “orang kecil” melanggar pasti dihukum, sementara bila
yang melanggar itu “orang besar” maka dibiarkan berlalu. Betapa
prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga
ada ungkapan yang “ekstrem” berbunyi: “Negara yang berkeadilan
akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim
akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam.15
c. Al-Musawah
Al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak
yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan
kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya
terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni
penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah
orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh
rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan
dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat.
Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di
hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu
15
Ibid
12
pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat
dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami 11 al-
musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-
syura dan al-‘adalah. 16
d. Al-Amanah
al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan
seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau
amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks
kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan
oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut
dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait
dengan sikap adil. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah,
maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima
jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas
jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
e. Al-Masuliyyah
Al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui,
bahwa kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus
diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung
jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan
kekuasaan sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu
amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga
amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Sebagaimana Sabda Nabi: Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap
pemimpin dimintai pertanggung jawabannya.17
Seperti yang diakatakn oleh Ibn Taimiyyah bahwa penguasa
merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan
sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan
16
Fahruddin Faiz. Kompatibilitas Demokrasi Dan Islam Dalam Perspektif Khaled Abou El-Fadl. Jurnal
Review Politik Volume 03, Nomor 02, Desember 2013
17
Ibid
13
dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini
diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan
sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian,
pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid
al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-
ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat
wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan
keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat
ditinggalkan.
f. Al-Hurriyyah
Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang,
setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk
mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam
rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak
ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus
diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak
yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya
keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat,
maka kezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi
yang berbunyi:
“Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah
diluruskan dengan tindakan, jika tidak mampu, maka dengan lisan
dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhir ini
termasuk selemah-lemah iman”.18 Jika suatu negara konsisten
dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di
atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat.
18
Mutawali. Ahl Al-Halli Wa Al-‘Aqdi “Antara Demokrasi Dan Syura”. Istinbáth Jurnal of Islamic
Law/Jurnal Hukum Islam. vol. 15, No. 2. 2019, h 33
14
Dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan
stabil
C. Penutup
Para ahli telah memberikan berbagai pandangan yang menarik tentang
hubungan antara Islam dan demokrasi serta upaya untuk menyelaraskan
keduanya. Dalam pandangan banyak orang, demokrasi merupakan tuntutan
zaman yang memungkinkan rakyat untuk mengambil peran aktif dalam
pembentukan keputusan politik dan menjalankan hak-hak demokratis mereka.
Namun, dalam konteks Islam, ada upaya untuk mempertimbangkan nilai-nilai
Islam dalam pengembangan model demokrasi yang sesuai.
Salah satu titik sentral dalam pembahasan ini adalah konsep
musyawarah, yang telah diakui dalam Islam sebagai bagian penting dari
pengambilan keputusan. Nilai-nilai seperti keadilan (al-'adalah), kesejajaran (al-
musawah), amanah, tanggung jawab (al-masuliyyah), dan kebebasan (al-
hurriyyah) telah diidentifikasi sebagai prinsip-prinsip yang sejalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi.
Pemikiran Islam modern juga telah mencoba untuk mengintegrasikan
prinsip-prinsip demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Namun, ada perdebatan
tentang kompatibilitas antara Islam dan demokrasi, terutama dalam konteks
politik modern. Beberapa pemikir Islam moderen telah mengusulkan model-
model demokrasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, seperti konsep syura
dan penekanan pada keadilan dan kebebasan.
Dalam konteks ini, penting untuk mengakui kompleksitas hubungan
antara Islam dan demokrasi serta upaya untuk menemukan kesesuaian antara
keduanya. Meskipun terdapat tantangan dan perbedaan pandangan, ada upaya
untuk menciptakan model-model demokrasi yang menghormati nilai-nilai Islam
dan memungkinkan partisipasi aktif rakyat dalam proses politik. Dengan terus
berdiskusi dan berupaya menyelaraskan nilai-nilai demokrasi dengan prinsip-
prinsip Islam, masyarakat dapat mengembangkan sistem politik yang lebih
inklusif dan berkeadilan.
15
D. DAFTAR PUSTAKA
Fahruddin Faiz. 2013. Kompatibilitas Demokrasi Dan Islam Dalam Perspektif
Khaled Abou El-Fadl. Jurnal Review Politik Volume 03, Nomor 02,
Desember
Hakiki. 2016. Islam Dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim Dan
Penerapannya Di Indonesia. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial
Budaya 1, 1 (Januari)
Hidayat. 2015. Syura dan Demokrasi dalam Perspektif Al-Qur’an, ADDIN, Vol.
9, No. 2, Agustus.
Hartono. 2019. Konsepsi Pemikiran Islam Dan Demokrasi Menurut
Abdurahman Wahid, Jurnal Al-Rabwah Vol. XIII No. 1 Mei.
Irawan. 2007. Perkembangan Demokrasi Di Negara Indonesia, Hukum Dan
Dinamika Masyarakat Vol.5 No.1 Oktober.
Nurhasan. 2019. Menakar Kemungkinan Demokrasi Yang Islamik. Dauliyah,
Vol. 4, No. 1, Januari
Lilis Sofya. 2023. Permasalahan Mengenai Hubungan Islam dengan Demokrasi.
Jurnal Pendidikan Tambusai. Volume 7 Nomor 3.
Karman. 2015. Konstruksi Nilai-Nilai Demokrasi Kelompok Islam
Fundamentalis di Media Online. Jurnal Pekommas, Vol. 18 No. 3,
Desember
Mutawali. 2019. Ahl Al-Halli Wa Al-‘Aqdi “Antara Demokrasi Dan Syura”.
Istinbáth Jurnal of Islamic Law/Jurnal Hukum Islam. vol. 15, No. 2.
Mulyadi. 2021. Islam Dan Demokrasi Telaah Atas Komunikasi Politik Dalam
Pemilihan Umum Langsung Oleh Rakyat Dalam Perspektif Sosiologis,
Jurnal Komunikasi Volume. 3 No. 1, April.
Sri Wahyuni. 2012. Demokrasi Dan Negara Hukum Dalam Islam. Jurnal Review
Politik Volume 02, Nomor 02, Desember.
Syahdiyono. 2022. Sistem Demokrasi Indonesia Menurut Prespektif Islam. Al-
Mansyur: Jurnal Ekonomi Syariah. Vol. 1 No. 2, Maret
16