Kliping Konflik Di Indonesia
Kliping Konflik Di Indonesia
Kliping Konflik Di Indonesia
TERJADI DI INDONESIA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial itu sendiri merupakan sebuah proses sosial
dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan dengan disertai ancaman dan kekerasan. Dengan kata lain, konflik
sosial adalah bentuk ketegangan dan pertentangan antara individu atau kelompok yang
memiliki kepentingan atau nilai berbeda.
Di Indonesia sendiri sudah sangat sering terjadi konflik sosial, mulai dari skala kecil hingga
yang memakan banyak korban jiwa. Berikut adalah beberapa contoh konflik sosial yang
pernah terjadi di Indonesia:
1. Kerusuhan 1998
Terjadi pada bulan Mei 1998 di kawasan ibu kota dan sekitarnya yang memicu penolakan
masyarakat terhadap etnis Tionghoa. Akibatnya, sekitar 1.217 orang meninggal dunia, 85
orang diperkosa dan 70.000 orang memutuskan mengungsi dari ibu kota. Kerusuhan Mei
1998 menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah bangsa Indonesia.
Penyebab peristiwa yang berlangsung 13-15 Mei 1998 ini sebenarnya adalah krisis finansial
Asia atau krisis moneter tahun sebelumnya, yakni 1997. Kala itu, tepatnya 8 Juli 1997, nilai
tukar Rupiah terhadap dollar AS merosot. Imbasnya, banyak perusahaan bangkrut, jutaan
orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), enam belas bank dilikuidasi, dan berbagai
proyek besar dihentikan. Krisis ekonomi jadi krisis politik Krisis ekonomi kemudian meluas
hingga ke politik, dan memantik hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Belum
lagi, tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 kian menyulut emosi
masyarakat yang sudah pusing dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Empat mahasiswa
Trisakti yang tewas dalam Tragedi Trisakti tersebut, yakni: Elang Mulia Lesmana Hafidin
Royan Heri Hartanto Hendiawan Sie.
Kronologi kerusuhan Mei 1998 terjadi demonstrasi di Jakarta pada akhir April hingga awal
Mei 1998. Demonstrasi di ibu kota ini menyusul kerusuhan yang terjadi di Medan, Sumatera
Utara. Saat itu, terdapat dua golongan massa yang terlibat dalam aksi. Pertama, gerakan
murni intelektual, serta aksi kriminalitas. Berikut kronologi peristiwa Mei 1998: 12 Mei 1998
Kerusuhan di Medan memantik unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998.
Semula, aksi demonstrasi berlangsung dengan damai di dalam kampus. Namun, kondisi
menjadi tak terkendali setelah demonstran bentrok dengan aparat keamanan. Empat
mahasiswa Trisakti menjadi korban penembakan dalam bentrok ini. Kabar ini pun melahirkan
gerakan serentak di berbagai wilayah Indonesia.
Lalu lintas dari arah jembatan Sudirman ke Semanggi dan sebaliknya terhenti sekitar dua
jam. Nampak aparat keamanan mencoba mengamankan jalannya kerusuhan. Lihat Foto
Kerusuhan massa terjadi di wilayah Semanggi, Rabu (13/5/1998). Lalu lintas dari arah
jembatan Sudirman ke Semanggi dan sebaliknya terhenti sekitar dua jam. Nampak aparat
keamanan mencoba mengamankan jalannya kerusuhan.(Kompas/Tri Agung Kristanto) 14
Mei 1998 Pada 14 Mei 1998, gelombang aksi kian membesar dan meluas hampir di seluruh
wilayah Jakarta. Massa kala itu juga semakin tak terkendali. Kerusuhan pada 14 Mei
berlangsung mulai pukul 08.00 WIB hingga larut malam. Kerusuhan di berbagai wilayah
Jakarta tampak sistematis, yakni terjadi dalam tempo bersamaan. Kerusuhan juga menyebar
hingga ke Bogor, Tangerang, Bekasi, Solo, Yogyakarta, Padang, dan Palembang. Namun,
sekali lagi, aksi kembali berujung pada pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran fasilitas
umum, gedung perkantoran, mal, pertokoan, serta kendaraan aparat atau pribadi.
Sasaran amukan para pengunjuk rasa tak hanya mengarah keturunan Tionghoa, tetapi juga
masyarakat pribumi. Tindakan kriminalitas lain turut terjadi, termasuk kekerasan fisik,
pelecehan seksual, hingga aksi pemerkosaan massal. Bahkan, kerusuhan 14 Mei 1998 juga
dianggap sebagai aksi paling rusuh dalam rangkaian peristiwa Mei 1998. 15 Mei 1998 Meski
kerusuhan terbesar terjadi pada 14 Mei, aksi terus berlanjut hingga 15 Mei 1998. Di Jakarta,
kerusuhan pada hari itu sedikit lebih kecil daripada hari sebelumnya. Namun, aparat
keamanan terlihat lebih aktif berpatroli sembari membersihkan sisa-sisa aksi sebelumnya. Di
Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur, ratusan korban tewas terbakar ditemukan di Toserba
Yogya. Sementara itu, Presiden Soeharto tiba di Kairo dan melalui Menteri Penerangan Alwi
Dahlan, dia membantah telah mengatakan telah bersedia untuk mundur.
Namun, jika masyarakat tidak percaya lagi, Soeharto akan lengser keprabon atau turun tahta.
dalam Sejarah: 22 Februari 1967, Penyerahan Kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto Dampak
Kerusuhan Mei 1998 (ARBAIN RAMBEY) Tak berhenti sampai 15 Mei 1998, ribuan
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jabotabek bergerak memadati pelataran gedung
DPR RI. Mereka mendesak pimpinan Dewan untuk mengusulkan kepada MPR RI agar
menyelenggarakan sidang istimewa sesegera mungkin. Ketua DPR/MPR Harmoko kemudian
mengumumkan hasil rapat yang meminta agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Hingga
akhirnya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan mengalihkan
kekuasaan kepada wakilnya, BJ Habibie. Selain berimbas pada turunnya tahta Soeharto,
kerusuhan Mei 1998 juga membawa sejumlah dampak lain, mulai dari kerusakan hingga
kematian.
Jumlah keseluruhan korban dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai wilayah Indonesia
ditaksir mencapai angka 1.217 jiwa meninggal dunia, 91 orang luka, dan 31 orang hilang.
Korban meninggal dunia dalam kerusuhan Mei 1998 disebabkan berbagai kondisi, yakni
terbakar, luka akibat senjata atau alat lain, hingga pembunuhan dan pemerkosaan. Bukan
hanya itu, terdapat 159 korban kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998. Adapun
pemerkosaan massal tersebut, lebih banyak terjadi di berbagai wilayah Jakarta, mulai dari
Jakarta Pusat, Barat, Timur, Utara, sekitarnya.
2. Konflik Aceh
Konflik yang terjadi di kota yang terkenal sebagai "Serambi Mekkah" ini disebabkan oleh
perbedaan terkait hukum islam dan ketidakpuasan terhadap distribusi sumber daya. Hingga
muncul kelompok yang diberi nama Gerakan Aceh pada tahun 1977, 1989 dan 1998. Sempat
terjadi percekcokan antara masyarakat dan pihak militer demi mempertahankan ideologi
setempat.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah gerakan separatisme bersenjata di Aceh yang lahir
dari rasa kecewa kepada pemerintah. Kemunculan Gerakan Aceh Merdeka terjadi pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto dengan tujuan memisahkan diri dari NKRI. Baca juga:
Gerakan Aceh Merdeka: Latar Belakang, Perkembangan, dan Penyelesaian Gerakan Aceh
Merdeka dipimpin oleh Tengku Hasan Di Tiro atau dikenal dengan Hasan Tiro melalui
pernyataan yang dilakukan di perbukitan Halimon, Kabupaten Pidie.
Dalam catatan sejarah, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir pada tanggal 4 Desember 1976
dengan menyerukan perlawanan kepada pemerintah Republik Indonesia. Gerakan Aceh
Merdeka dari Amukan Gajah Sumatera Sebelum resmi bernama Gerakan Aceh Merdeka,
kelompok ini menyebut dirinya dengan nama Aceh Merdeka (AM). Gerakan ini kemudian
juga dikenal dengan sebutan Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Baca juga:
Cerita Eks Kombatan GAM yang Sukses Budidaya Tiram Super Jumbo di Banda Aceh
Penyebab Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Latar belakang kemunculan Gerakan
Aceh Merdeka adalah konflik yang bersumber dari perbedaan pandangan tentang hukum
Islam, kekecewaan tentang distribusi sumber daya alam di Aceh, dan peningkatan jumlah
pendatang dari Jawa.
Pemerintah pusat saat itu disebut sentralistis yang memicu tumbuhnya rasa kekecewaan di
benak masyarakat Aceh. Sayangnya, saat itu cara mengatasi Gerakan Aceh Merdeka yang
diambil oleh pemerintah pusat kurang tepat hingga muncul perlawanan yang kemudian
dimanfaatkan kelompok tersebut untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Pada
akhirnya konflik yang terjadi sejak 1976 hingga 2005 ini justru merugikan kedua belah
pihak dan telah menelan nyawa sebanyak hampir 15.000 jiwa.
Kronologi Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 1976-1977 Setelah terjadi pernyataan dari
Hasan Tiro di tahun 1976, milisi GAM mulai melakukan gerakan-gerakan represif.
Perlawanan yang terjadi melalui teknik gerilya itu menewaskan milisi GAM dan juga
masyarakat sipil. Walau begitu, gerakan milisi GAM berhasil digagalkan oleh pemerintah
pusat dan kondisi bisa dinetralisir. 1989-1998 GAM kembali melakukan aktivitas setelah
mendapatkan dukungan dari Libya dan Iran berupa peralatan militer. Pelatihan perang yang
didapat di luar negeri menyebabkan perlawanan mereka tertata dan terlatih dengan baik
sehingga sulit dikendalikan. Hal ini membuat pemerintah merasakan munculnya ancaman
baru, yang kemudian menjadi alasan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM).
Pembakaran desa-desa yang diduga menampung anggota GAM dibakar, dan militer
Indonesia menculik dan menyiksa anggota tersangka tanpa proses hukum yang jelas.
Diyakini terjadi setidaknya 7.000 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama
pemberlakuan DOM di Aceh. 1998 Lengsernya pemerintahan Orde Baru dengan mundurnya
Presiden Soeharto dari jabatan presiden memberi peluang bagi GAM membangun kembali
kelompok mereka. Presiden BJ Habibie pada 7 Agustus 1998 mencabut status DOM dan
memutuskan menarik pasukan dari Aceh yang justru memberi ruang bagi GAM untuk
mempersiapkan serangan berikutnya.
Pada 2002 kekuatan militer dan polisi di Aceh semakin berkembang dengan jumlah pasukan
menjadi sekitar 30.000. Setahun setelahnya, jumlah pasukan semakin meningkat hingga
menyentuh angka 50.000 personil. Bersamaan dengan hal tersebut, terjadi juga berbagai
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh milisi GAM yang mengakibatkan jatuhnya ribuan
korban dari pihak sipil. 2003 Masyarakat Aceh akan mengingat kejadian di tanggal 19 Mei
2003 di mana Aceh dinyatakan sebagai daerah dengan status darurat militer. Hal ini
dilakukan setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor
28 Tahun 2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku
mulai Senin (19/5/2003) pukul 00.00 WIB.
Adapun usaha pemerintah yang ditempuh melalui kekuatan militer di Aceh juga mulai
terlihat hasilnya pada tahun 2003. Kesepakatan Helsinki Penandatanganan kesepakatan
damai Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Terlihat
Farid Husain berada di belakang Juha Christensen. Penandatanganan kesepakatan damai
Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Terlihat Farid Husain
berada di belakang Juha Christensen. Gempa bumi yang menimpa wilayah Sumatera
termasuk aceh pada 26 Desember 2004 memaksa kedua pihak yang bertikai untuk duduk
bersama di meja perundingan, dengan inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.
Hal ini juga menjadi permulaan usaha GAM untuk menuntut kemerdekaan Aceh melalui
jalur-jalur diplomatik. Pihak pemerintah Indonesia dan GAM pada 27 Februari 2005
bersama-sama memulai langkah perundingan dengan melakukan pertemuan di Finlandia.
Delegasi Indonesia dalam perundingan itu diwakili oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil,
Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja. Sementara dari pihak GAM
diwakili oleh Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan
Bachtiar Abdullah. Dari pertemuan tersebutlah muncul beberapa kesepakatan antara
pemerintah Indonesia dengan GAM untuk mencapai perdamaian.
Kesepakatan tersebut terdiri dari enam bagian, yaitu: Menyangkut kesepakatan tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Tentang Hak Asasi Manusia. Tentang Amnesti dan
Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat, Tentang Pengaturan Keamanan. Tentang
Pembentukan Misi Monitoring Aceh. Tentang Penyelesaian Perselisihan. Termuat pula 71
butir kesepakatan yang diantaranya menyebutkan: Aceh diberi wewenang melaksanakan
kewenangan pada semua sektor publik Keamanan nasional Hal ikhwal moneter dan fiskal
Kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama Kesepakatan Helsinki tercapai dengan
perundingan yang berlangsung selama lima putaran, dimulai pada 27 Januari 2005 dan
berakhir pada 15 Agustus 2005.
Perdamaian ini kemudian ditandai dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI di Helsinki, Finlandia. Proses
perdamaian selanjutnya dipantau oleh tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM)
yang beranggotakan lima negara ASEAN. Pasca perjanjian damai, senjata GAM yang
berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005, menyusul pembubaran
secara formal sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) pada 27 Desember 2005
sebagaimana dilaporkan oleh juru bicara militernya, Sofyan Dawood. Menyusul hal tersebut,
pemerintah Indonesia juga mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA) yang memberikan keleluasaan khusus bagi Aceh dalam menjalankan
pemerintahannya sendiri (otonomi khusus).
Konflik panjang berakhir di Aceh setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah
Indonesia sepakat damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam, dikenal dengan
“Memorandum of Understanding” (MoU) Helsinki.
Konflik ini terjadi pada tahun 2017 lalu antara Front Pembela Islam (FPI) Jawa Barat
dengan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) ini bermula dari pemanggilan Habib
Rizieq Shihab (Imam Besar FPI) atas kasus dugaan pelecehan Pancasila Bung Karno yang
diadukan langsung oleh putri Presiden pertama tersinggung dengan video ceramah Rizieq
Shihab yang sudah beredar sejak lima tahun lalu (2011). terkait dugaan penghinaan Pancasila
dan pencemaran nama baik. Untungnya tidak ada korban jiwa dalam konflik ini.
Konflik antara ormas Forum Pembela Islam (FPI) dengan Gerakan Masyarakat Bawah
Indonesia (GMBI) Jabar bermula dari pemanggilan Muhammad Rizieq Shihab (Imam Besar
FPI) atas kasus dugaan penghinaan Pancasila dan pencemaran nama baik Bung Karno yang
diadukan langsung oleh putri Presiden pertama RI, Sukmawati Soekarnoputri. Konflik antara
kedua ormas tersebut terjadi usai pemimpin besar FPI itu meninggalkan Mapolda Jabar.
Konflik antara keduanya kemudian melebar ke daerah dengan dirusaknya Sekretariat GMBI
di Ciamis, Tasikmalaya dan Bogor. Konflik kemudian melebar dengan didemo nya Kapolda
Jabar, Anton Charliyan oleh ribuan massa FPI menuntut agar Polri mencopot Anton karena
telah menjabat sebagai Pembina ormas GMBI. Peristiwa ini menjadi tema pemberitaan di
media massa, termasuk Koran Republika, Tribun Jabar dan Pikiran Rakyat.
Menurut ilmu sosiologi, konflik ini disebabkan karena teori faktor kelompok. Menurut
teori ini, identitas kelompok yang berbeda dapat memicu terjadinya gesekan atau konflik.
Dalam hal ini terjadi perbedaan identitas dan tujuan antara FPI dan GMBI. kekecewaan
mereka dengan cara yang anarkis. Akibat tujuan yang betentangan maka terjadilah konflik.
Terdapat dua kubu yang memiliki tujuan yang berbeda dari kubu FPI yang menuntut
dibebaskannya Habib Rizieq sedangkan kubu GMBI meminta agar Mapolda memenjarakan
Habib Rizieq Shihab.
Ada beberapa solusi agar konflik serupa tidak terulang lagi di masa mendatang. Para
pemuka organisasi harus menjaga kata kata mereka di depan umum. Mereka harus sadar
posisi mereka yang bisa memengaruhi seluruh anggota organisasi. Salah omong atau asal
omong seperti yang dilakukan Rizieq bisa berakibat fatal pada keutuhan dan kesatuan bangsa.
Jika kejadian seperti ini terulang lagi, maka berpotensi menyebabkan perpecahan dalam
Masyarakat.
Terjadi pada 18 September 1948, pemberontakan ini terjadi karena beberapa tokoh PKI
merasa tidak puas dengan pemerintahan pusat. Tragedi pemberontakan ini memakan
banyak korban jiwa termasuk gubernur Jawa Timur, RM Suryo. Bahkan tragedi ini masih
tergolong catatan sejarah terkelam di tanah air.
Salah satu peristiwa paling kontroversial dan bersejarah dalam perjalanan Indonesia pasca-
kemerdekaan adalah Pemberontakan PKI Madiun yang terjadi pada bulan September 1948.
Peristiwa ini mencerminkan ketegangan ideologis dan politik yang mendalam di antara
berbagai kelompok dalam negara yang sedang berkembang ini.
Pada pertengahan tahun 1940-an, Indonesia masih berjuang untuk membangun fondasi
negaranya yang baru. Terdapat ketegangan antara kelompok politik yang memiliki visi yang
berbeda-beda tentang arah masa depan Indonesia. Salah satu kelompok yang kuat adalah
Partai Komunis Indonesia (PKI), yang telah tumbuh menjadi partai terbesar dalam negara
tersebut.
Namun, militer dan beberapa kelompok politik lainnya merasa khawatir akan pengaruh PKI
yang semakin membesar. Ini menciptakan ketegangan dalam pemerintahan Indonesia yang
masih muda.
Pada 18 September 1948 silam, ketegangan mencapai titik puncaknya ketika pemberontakan
terjadi di kota Madiun, Jawa Timur. Pemberontakan ini dipimpin oleh anggota PKI yang
mendeklarasikan berdirinya "Republik Sosialis Indonesia" dan mengambil alih kendali atas
kota Madiun.
Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad
Hatta bersama Angkatan Darat serta milisi pro-pemerintah segera merespons. Pertempuran
sengit terjadi antara pasukan pemberontak PKI dan pasukan pemerintah, dan pertempuran
berlangsung selama beberapa minggu.
Hasilnya, pasukan pemberontak PKI dikalahkan oleh pasukan pemerintah, dan para
pemimpin pemberontakan seperti Muso dan Amir Sjarifuddin tewas atau ditangkap.
Pemberontakan PKI Madiun berakhir pada bulan November 1948, tetapi bekas-bekas
peristiwa ini tetap terasa dalam politik Indonesia.
Pemberontakan PKI Madiun tidak hanya merupakan peristiwa berdarah yang menelan
banyak korban, tetapi juga meninggalkan bekas yang mendalam dalam politik Indonesia.
Peristiwa ini meningkatkan ketegangan ideologis antara kelompok komunis dan non-komunis
dalam politik Indonesia.
Ketegangan ini mencapai puncaknya beberapa tahun kemudian dengan kudeta militer pada
tahun 1965 yang mengakibatkan pembubaran PKI dan berbagai perubahan besar dalam
politik Indonesia.
Pemberontakan PKI Madiun adalah salah satu momen bersejarah yang membentuk dinamika
politik Indonesia pada masa itu.
Beberapa mahasiswa Papua yang di Yogyakarta yang mendukung kemerdekaan atas Papua
Barat mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan di mata masyarakat. Beberapa ormas
mengepung asrama mereka dengan beberapa lontaran kata-kata rasis yang berujung dengan
pengusiran mahasiswa Papua dari Yogyakarta.
Kerusuhan ini bermula pada saat mahasiswa Papua yang menamai dirinya Persatuan Rakyat
untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) membuat rangkaian acara pada 13-16 Juli 2016.
Acara tersebut adalah rangka dalam mendukung ULMWP (United Liberation Movement For
West Papua) untuk bergabung di Melanesian Spearhead Group (MSG)
Awalnya PRPPB berencana untuk melakukan aksi long march dengan rute Asrama
Mahasiswa Papua. Tetapi sebelum pukul 09.00 saat long march dijadwalkan dimulai,
personel Kepolisian mengelilingi Asrama Mahasiswa Papua. Aparat dan massa mahasiswa
saling mendorong satu sama lain sampai masuk ke dalam asrama sehingga akses keluar
masuk asrama pun terputus.
Beberapa mahasiswa Papua yang ada di Yogyakarta yang mendukung kemerdekaan atas
Papua Barat mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan di mata masyarakat. Seperti
lontaran nama-nama hewan dan kata-kata rasial, melakukan kekerasan, sampai penangkapan
beberapa mahasiswa oleh polisi. Ada sekitar empat ormas lainnya yang bergabung seperti
Pemuda Pancasila, Paksi Katon, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI Polri
Indonesia dan Laskar Jogja.
Secara sosiologis, konflik tersebut termasuk teori faktor kelompok karena dalam faktor
kelompok, adanya masyarakat yang mengedepankan identitasnya dan menganggap
identitasnya lebih benar dari yang lain, sehingga terjadi perbenturan antara kelompok yang
satu dengan yang lain. Seperti melakukan perkelahian, mengatakan bahasa yang
menyinggung kelompok lain, dan sebagainya.
Menurut saya, dari konflik tersebut, kita dapat mengetahui bahwa masih ada perlakuan
diskriminasi antara satu kelompok dengan yang lain. Adanya perlakuan masyarakat yang
tidak mengenakkan seperti mengatakan hal-hal yang rasis dan bahasa yang kurang pantas
membuat mahasiswa Papua merasa tidak nyaman dan trauma. Walaupun kasus tersebut sudah
7 tahun yang lalu, diskriminasi antar SARA masih terjadi sampai sekarang.
Solusi yang bisa diberikan adalah menangkap orang-orang yang melakukan kerusuhan,
membuat hubungan yang lebih baik dengan membuka komunikasi, dan memberikan
kesempatan bagi mahasiswa untuk didengar pendapat mereka. Maka dari itu, sudah
sepatutnya mereka menghormati dan menghargai orang lain seperti suku, agama, ras, dan
golongannya. Tidak hanya mereka saja, tetapi kita sebagai orang Indonesia yang baik juga
harus menghormati dan menghargai orang lain.