Adistya Febriana Rachim - B011211068 - TUGAS PENGGANTI MID HUKUM DAN HAM
Adistya Febriana Rachim - B011211068 - TUGAS PENGGANTI MID HUKUM DAN HAM
Adistya Febriana Rachim - B011211068 - TUGAS PENGGANTI MID HUKUM DAN HAM
Disusun oleh:
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara yang memiliki keberagaman etnis dan budaya di Indonesia. Secara
geografis Indonesia mempunyai banyak pulau-pulau yang menjadi keanekaragaman kultur
Indonesia. Kata yang mempersatukan bangsa Indonesia dengan keberagaman itu disebut
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Setiap budaya dan etnisyang ada di Indonesia
mempunyai keunikan, cirinya masing-masing, perlu untuk kita saling menghormati dan
menghargai setiap budaya dan etnis tersebut satu sama lain sebagai masyarakat Indonesia.
Tetapi, di Indonesia sendiri sangat disayangkan masih sangat kurang untuk saling menghargai
tersebut, faktanya sering kali terjadi perselisihan dari setiap daerah yang memiliki keunikan
masing-masing dan tentu saja menimbulkan pertengkaran di Negara Indonesia. Dalam
keberagaman etnis di Indonesia, etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis dari banyaknya
kelompok etnis di Indonesia. Kelompok etnis Tionghoa berimigrasi ke Indonesia beribu tahun
yang lalu dan hubungan kelompok Tionghoa terjalin sejak lama melalui jalur perdagangan dan
semakin banyak lagi kelompok Tionghoa yang mulai sedikit demi sedikit berpindah dan
menetap di Negara Indonesia dan melakukan pernikahan yang menghasilkan keturunan
Tionghoa dan Indonesia, hal ini juga yang menjadi penyebab bangsa Tionghoa menjadi banyak
di Indonesia dan membentuk perkampungannya sendiri.
Semakin lama kelompok Tionghoa semakin berkembang pesat di Indonesia dan sering kali
mendapat pandangan negatif dari bangsa Indonesia sejak jaman colonial Hindia Belanda. Pada
awak kemerdekaan hubungan masyarakat pribumi dan kelompok etnis Tionghoa terjalin
dengan baik hingga pada awal sistem pemerintahan orde baru sikap diskriminatif dari
masyarakat pribumi mulai terjadi. Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang kepercayaa,
agama, dan adat istiadat Tionghoa merupakan pemicu awal ketidak seimbangan ini terjadi.
Tujuan dari instruksi Presiden ini untuk membubarkan semua hal yang berhubungan dengan
kebudayaan masyarakat Tionghoa. Akibatnya kelompok etnis Tionghoa semakin tertekan
khususnya yang beragama Konghucu di masa pemerintahan Soeharto ini, seperti saat
pembuatan akta kelahiran, mereka harus memilih agama yang hanya diakui pemerintah karena
mereka yang beragama Konghucu hanya diakui sebagai sebuah aliran kepercayaan atau
kebudayaan. Puncak dari permasalahan masyarakat etnis Tionghoa inilah disebut dengan
peristiwa kerusuhan Mei 1998. Krisis ini didasari dari nilai tukar yang ada di Asia pada tahun
1997. Indonesia terdampak dan mengalami penurunan nilai rupiah yang menyebabkan para
pengusaha kesulitan untuk mengimpor bahan baku yang dibutuhkan dan aktivitas ekonomi di
Indonesia sangat menurun jauh.
Di tanggal 12 Mei 1998 terjadi demo unjuk rasa dari mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta
yang menyuarakan tentang krisis moneter dan penurunan Soeharto yang baru-baru dilantik
oleh MPR sebagai Presiden ketujuh kalinya pada tanggal 11 Maret 1998. Akibat dari unjuk
rasa ini empat mahasiswa Trisakti Jakarta meninggal dunia karena bentrok dengan aparat
keamanan dan hal inipun membuat demonstrasi semakin menjadi-jadi diseluruh wilayah
Indonesia. Anti-Tionghoa pun kembali muncul dan mengakibatkan kerusuhan massal di
tanggal 13 sampai 15 Mei 1998 tepat sehari setelah tragedi Trisakti.
PEMBAHASAN
Kerusuhan massal pada Mei 1998 memiliki sejumlah penyebab kompleks sepeti, krisis
finansial Asia yang dimulai pada 1997 menghantam Indonesia dengan keras yang
menyebabkan turunnya nilai tukar mata uang rupiah, meningkatnya inflasi, dan melambungnya
tingkat pengangguran membuat banyak orang Indonesia menghadapi kesulitan ekonomi yang
serius. Presiden Soeharto telah memerintah selama lebih dari tiga decade dan pemerintahannya
dicirikan oleh otoritarianisme, korupsi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang
membuat banyak masyarakat Indonesia merasa bahwa pemerintahannya telah menjadi terlalu
otoriter dan terpusat pada kelompok elit yang menguntungkan diri sendiri. Ketidaksetaraan
ekonomi di Indonesia yang parah juga menjadi salah satu penyebab kerusuhan ini terjadi
sebagian kecil kelompok ekonomi yang berkuasa mendapatkan manfaat dari perkembangan
ekonomi, sementara banyak masyarakat biasa terjebak dalam kemiskinan, ini juga merupakan
akibat dari korupsi yang meluas dalam pemerintahan dan perdagangan yang jelas dilihat oleh
masyarakat bahwa hal ini merugikan Negara dan menghambat pembangunan ekonomi yang
adil.
Aksi protes pada tanggal 12 Mei 1998 dari mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta yang
menuntut reformasi politik dan ekonomi inilah yang menjadi pemeran penting dalam memicu
gerakan yang lebih besar dikarenakan respon keras aparat keamanan terhadap demonstran dan
pengunjuk rasa memicu ketegangan dan kekerasan yang lebih lanjut. Kerusuhan ini juga yang
menciptakan konflik antar etnis, khususnya melibatkan etnis Tionghoa yang menjadi sasaran
serangan dan penjarahan. Kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa yang sangat kompleks
dengan banyak faktor yang saling terkait. Kerusuhan ini merupakan hasil dari ketidakpuasan
masyarakat terhadap Pemerintahan Soeharto, kondisi ekonomi yang memburuk dan reaksi
keras terhadap protes dan demonstrasi. Peristiwa ini memiliki dampak besar pada perubahan
politik dan sosial di Indonesia serta meninggalkan bekas yang mendalam dalam sejarah
Indonesia.
Pada Juli 1997 terjadi krisis finansial Asia dimulai dengan penurunan nilai mata uang Thailand
(baht). Ini memicu kekhawatiran investor terhadap negara-negara Asia lainnya, termasuk
Indonesia. Rupiah, mata uang Indonesia mulai melemah secara signifikan terhadap dolar AS
di bulan Oktober 1997. Krisis ekonoi semakin memburuk di Januari 1998, akibatnya angka
pengangguran semakin meningkat, harga kebutuhan pokok melonjak, dan ketidakpuasan
terhadap kondisi ekonomi meningkat. Tanggal 1 hingga 4 Mei 1998 demonstrasi protes
mahasiswa dimulai di Jakarta dan di tanggal 12 Mei 1998 tragedi Trisakti pun terjadi yang
memicu kemarahan lebih lanjutm di tanggal 14 Mei 1998 aksi demo ini semakin menjadi-jadi,
Presiden Soeharto mulai menyatakan hal ini sebagai status darurat di tanggal 19 Mei 1998 dan
memerintahkan militer untuk mengendalikan situasi, menyebabkan peningkatan tindakan keras
terhadap demonstran.
Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998 yang
kemudian digantikan oleh B.J Habibie yang dilantik sebagai Presiden baru dan membentuk
Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menyelidiki kerusuhan dan tindak kekerasan yang terjadi
selama periode tersebut. Serangan terhadap etnis Tionghoa berlangsung hingga tanggal 23 Mei
1998, dengan banyak rumah dan bisnis mereka dijarah dan dibakar. Pasca-kerusuhan,
Indonesia mengalami perubahan signifikan. Pemerintahan Presiden Habibie membuka jalan
bagi reformasi politik dan ekonomi yang lebih besar. Indonesia mengadopsi demokrasi
multipartai dan mengadakan pemilihan umum. Ini membuka jalan bagi pemilihan Presiden dan
Parlemen yang lebih bebas. Serangan terhadap etnis Tionghoa menciptakan konflik antar-etnis,
yang perlahan-lahan berangsur pulih selama bertahun-tahun berikutnya.
PENUTUP
Kasus kerusuhan Mei 1998 di Indonesia melibatkan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) sebagai berikut:
• Pelanggaran Hak atas Hidup (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat 1dan Pasal 3
DUHAM) Terjadi kematian warga sipil sebagai akibat dari penggunaan kekuatan
berlebihan oleh aparat keamanan selama kerusuhan, yang melanggar hak atas hidup
yang dijamin oleh konstitusi Indonesia Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM)
• Pelanggaran Hak atas Kebebasan dari Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam (UU No.
39/1999 tentang HAM, Pasal 4 ayat 1 dan DUHAM Pasal 5) Laporan tentang
penyiksaan dan perlakuan kejam oleh aparat keamanan selama penangkapan dan
penahanan merupakan pelanggaran hak ini yang juga melanggar hukum HAM.
• Pelanggaran Hak atas Perlindungan Hukum yang Adil dan Pengadilan yang Tidak
Memihak (UU No. 39/1999 tentang HAM, Pasal 7) Tidak adanya pertanggungjawaban
yang efektif terhadap pelaku pelanggaran HAM selama kerusuhan adalah pelanggaran
terhadap hak ini.
• Pelanggaran Hak atas Keadilan (UU No. 39/1999 tentang HAM, Pasal 8) Kurangnya
proses hukum yang adil dan memadai untuk para tersangka atau terdakwa yang terlibat
dalam kerusuhan Mei 1998 melanggar hak atas keadilan.
• Pelanggaran Hak atas Kebebasan Berpikir, Berpendapat, dan Mengemukakan Pendapat
(DUHAM Pasal 19 dan 20) Pembatasan kebebasan berbicara dan berkumpul untuk
Agama Konghucu oleh pemerintah selama kerusuhan Mei 1998 adalah pelanggaran
hak ini yang diakui oleh DUHAM.
• Pelanggaran Hak atas Keadilan dan Pengadilan yang Adil (DUHAM Pasal 10 dan 14)
Kurangnya pertanggungjawaban dan ketidakpastian hukum dalam menuntut pelaku
pelanggaran HAM selama kerusuhan melanggar hak ini.
• Pelanggaran Hak Anak-Anak (UUD Tahun 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 28B ayat 2): Kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak selama kerusuhan
merupakan pelanggaran hak anak-anak.
• Pelanggaran Hak atas Kehidupan Pribadi dan Keluarga yang Diakui dan Dihormati oleh
Hukum (DUHAM Pasal 17) Pengusiran paksa etnis Tionghoa dari rumah mereka
selama kerusuhan merupakan pelanggaran hak ini.
• Pelanggaran Hak atas Non-Diskriminasi (UUD Tahun 1945 Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 28E dan DUHAM Pasal 2 dan 7) Serangan terhadap etnis Tionghoa
selama kerusuhan Mei 1998 merupakan pelanggaran hak ini.
Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia adalah peristiwa bersejarah yang mengakhiri pemerintahan
Soeharto, memicu reformasi politik dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan serangkaian
pelanggaran hak asasi manusia. Dampaknya masih terasa hingga saat ini, sementara
penanganan kasusnya masih memerlukan pertanggungjawaban dan rekonsiliasi yang lebih
lanjut.