4 - Bab 1

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Toleransi beragama merupakan keniscayaan dalam kehidupan
bermasyarakat dan ditanamkan pada jiwa setiap orang, terutama pada masa remaja
yang memiliki jiwa yang kuat dan berani dalam segala konteks kehidupan, guna
mengasimilasi makna esensial dari toleransi beragama yang terletak dalam sikap,
tindakan yang jujur dan objektif. Mengizinkan orang lain memiliki pendapat,
praktik, ras, agama, dan kebangsaan. Dari prinsip toleransi terlihat jelas bahwa ada
pengertian "penerimaan" atas perbedaan, kemajemukan, dan keragaman dalam
kehidupan manusia, baik sebagai masyarakat maupun sebagai bangsa. Prinsip
toleransi yaitu menolak dan tidak membenarkan sikap fanatik dan kefanatikan,
meski agama sangat beragam, namun bisa menjadi potensi konflik dan perpecahan.
Karenanya diwaspadai setiap elemen masyarakat sebagai negara yang memiliki
masyarakat majemuk agar tercipta ikatan persatuan dan kesatuan sesuai sila ke tiga
dalam pancasila. Salah satu unsur yang memperkuat kekuatan persatuan dalam
keberagaman adalah penguatan dan penanaman toleransi beragama pada masa
remaja.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan nilai yang ditanamkan pada generasi
penerus bangsa sejak remaja. Ahli waris Indonesia dibiasakan, dilatih, dididik,
dan ingin menemukan keragaman bangsanya. Agama merupakan salah satu unsur
keberagaman di Indonesia. Populasi Muslim adalah 87% 1. Statistik ini
menunjukkan dikotomi kelompok minoritas dan mayoritas. Agama sebagai
bagian dari budaya secara sosiologis dijelaskan dalam dua definisi. Definisi
pertama agama secara fungsional dijelaskan oleh pengaruh salah satu ahli, Emile
Durkheim, yang menyatakan bahwa agama adalah sistem tafsir dunia yang
mengekspresikan pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarakat di alam

1
Badan Pusat Statistik, sp2010, (Jakarta: BPS, 2019).

1
semesta. Di sisi lain, sosiolog agama yang menjelaskan agama dalam definisi
substantif agama mengakui definisi fungsional, tetapi bagi mereka ciri-ciri
esensial agama berhubungan dengan dunia yang tak terlihat.2 Definisi ini
konsisten dengan penggunaan umum istilah agama itu sendiri. Saat ini sudah
diketahui secara luas bahwa konflik dengan identitas agama semakin sering
terjadi.
Hal ini menunjukkan bahwa pada usia remaja tersebut mudah terpapar
paham radikalisme sehingga melakukan tindakan-tindakan yang
menggambarkan adanya intoleransi beragama, Secara psikologis, remaja seringkali
diartikan sebagai usia mencari jati diri, sehingga dengan sendirinya dapat
menimbulkan guncangan psikologis. Dari sudut pandang psikolog, masa remaja
sering kali ditandai dengan upaya besar individu untuk menyesuaikan diri. Remaja
yang dapat beradaptasi dengan hiruk-pikuk pertanyaan internal ini akan memiliki
rasa diri yang stabil dan mengembangkan perilaku yang dapat diterima secara
sosial.
Hasil penelitian lembaga kajian Islam dan perdamaian (LaKIP) yang
dipublikasi akhir april 2011 menebar kekhawatiran di sebagian publik tanah air.
Digelar Oktober 2010 hingga januari 2011 dengan responden remaja dan guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek,3 penelitian menyimpulkan
tingkat intoleransi dan radikalisme di kalangan guru PAI dan pelajar melonjak. 4
Bentuk intoleransi di antaranya ditunjukan melalui kesedian melakukan
sejumlah tindakan seperti; 1) pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah
bermasalah (guru 24,5%, remaja 41,1%); 2) pengrusakan rumah atau fasilitas
anggota keagamaan sesat (guru 22,7% remaja 51,3%); 3) pengrusakan tempat
hiburan malam (guru 28,1% remaja 58,0%); 4) pembelaan dengan senjata

2
Emile Durkheim, The Elemntary Forms of The Religious Life, (New York : Free Press,
1992), 53.
3
Penelitian 590 dari total 2.639 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan 993 remaja
Muslim dari total 611.678 murid SMA se-Jabodetabek. Lihat 49% Pelajar setuju aksi radikal, ini dia
hasil survei LaKIP yang menghebohkan itu, “Kamis, 28/04/201120:59 WIB, dalam
http://news.detik.com/read/2011/04/28/205903/1628139/ ini dia hasil survei lakip yang
menghebohkan itu (diakses 30 Agustus 2012).
4
Alamsyah M. Dja'far, (In) Toleransi! Memahami Kebencian Dan Kekerasan Atasnama
Agama (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, 2018), 211.

2
terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4%, remaja 43,3%).
Peneliti juga meneropong sejauh mana pemahaman ideologi radikalisme di
lingkungan remaja dan guru. Dikalangan guru PAI 23,8% terdapat 23,8% yang
setuju dengan ide dan tindakan tokoh-tokoh radikal. Di lingkungan remaja jauh
lebih kecil : 13,4%.5
Menurut studi The Wahid Institute pada tahun 2020, jumlah orang yang
rentan terhadap pengaruh gerakan radikal, artinya, mereka yang bisa memimpin
radikalisme, atau kemungkinan sekitar 7,1%. Sementara itu, Yenny berpendapat
sikap intoleransi dapat meningkat dari 46% menjadi 54%.6 Realita di masyarakat
sebetulnya banyak yang menolak terhadap paham radikal dan intoleransi
beragama, sehingga dalam hal ini masyarakat lebih menyukai hidup damai dan
rukun dalam bingkai toleransi beragama.
The Wahid Institute menemukan terdapat kekhawatiran masifnya
kampanye radikalisme dan intoleransi di masyarakat sehingga pada usia remaja
yang dijadikan target utama. The Wahid Institute berpendapat bahwa usia remaja
merupakan faktor utama penting terhadap radikalisme agama, orang dewasa atau
orang tua akan semakin kecil kemungkinan terjadinya radikalisme sosial-agama.
Hal ini mungkin disebabkan fakta bahwa pada masa dewasa dan lanjut usia telah
memalsukan jati diri, berbeda dalam pengembangan tugas dan lebih
berpengalaman dalam memecahkan berbagai masalah.
Permasalahan intolerasi yang terjadi di SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran sebelum adanya kelas multikultural disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain sebagai berikut; Pertama, saling curiga terutama umat beda
agama dan beda suku. Kedua, Ego antar daerah dan komunitas. Ketiga, tidak
memiliki pengalaman interaksi dengan umat berbeda. Keempat, Stagnasi
pemikiran.7 Semua empat faktor ini berpengaruh besar terhadap sikap intoleransi
pada usia remaja yang berpotensi menjadi bom konflik antar umat berbeda agama

5
Dja'far, (In) Toleransi! Memahami Kebencian Dan Kekerasan Atasnama Agama, 212.
6
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/284269/survei-wahid-institute-
intoleransi-radikalisme-cenderung-naik, (diakses 18 Januari 2021).
7
Wawancara dengan Ai Nurhidayat pendiri kelas Multikultural SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran pada tanggal 15 Januari 2021.

3
mudah tersulut menjadi konflik antar agama, salah satu contohnya melihat orang
Kristen itu persepsinya buruk apapun narasinya spirit kristianisasi dan berbagi
mie instan, ini semua bukan bagian dari ajaran Islam akan tetapi cara pandang
merendahkan entitas orang lain seakan-akan mereka ajarannya buruk dan diri
sendiri yang paling suci, belum adanya komunikasi sudah memvonis orang lain
buruk dan salah. Terjadi yang paling besar akibat intoleransi beragama dan
menjadi sebuah konflik terjadi antara masyarakat dan pengelola SMK Bakti
Karya Parigi Pangandaran, karena adanya remaja-remaja yang berbeda agama,
daerah, suku dan budaya mengakibatkan konflik yang saling cuiga dan saling
menyalahkan, oleh umat kristiani dicurigai adanya Islamisasi terhadap orang
Kristen, sebaliknya orang Islam mencurigai adanya Kristenisasi terhadap para
remaja yang ada di SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran.
Pangandaran menjadi salah satu daerah dengan berbagai penduduk yang
beragam, ini terjadi karena Pangandaran memiliki peningkatan jumlah fasilitas
wisata, tentu tidak selalu membuahkan dampak positif, berbagai dampak negatif
pun bermunculan seiring dengan pertumbuhan pembangunan yang pesat.
Pertumbuhan pembangunan yang pesat ini memicu banyaknya masyarakat
pendatang yang kemudian menetap di Pangandaran menyebabkan kepadatan
penduduk di Pangandaran juga semakin meningkat. Berdasarkan perkembangan
penduduk yang semakin meningkat, keberagaman penduduk pun terjadi di
Pangandaran, maka permasalahan yang banyak ditemui pada daerah dengan
kepadatan penduduk yang tinggi salah satunya tentang intoleransi beragama karena
keberagaman penduduknya yang berlatar belakang yang beragam antara lain
agama, budaya, suku, bahasa.
Banyaknya pendatang yang masuk ke Pangandaran, menyebabkan
keberagaman agama terjadi, praktik intoleransi beragama tidak dapat dihindari,
sebagaimana terjadi pada salah satu kampung yang terdapat di Desa Cintakarya
yang terjadi konflik keagamaan yang mencurigai orang yang berbeda agama,
banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya toleransi beragama, maka
terjadi intoleransi beragama baik di kalangan orang tua maupun remaja, karena
remaja masih labil dalam penentuan sikap keagmaan sangat mudah mengikuti dan

4
terbawa arus iklim keagmaan orang tua yang memiliki sikap intoleransi beragama.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti hendaknya melihat bagian
toleransi beragama pada remaja berdasarkan pendekatan psikologis. Apalagi pada
masa remaja ada tugas perkembangan untuk menemukan jati diri sendiri, yang
merupakan tahapan kunci untuk observasi. Terdapat dua kriteria utama dalam
menciptakan identitas tersebut, yaitu eksplorasi atau kegiatan pemilihan alternatif
dan komitmen dalam memegang teguh jati diri yang dikehendakinya sehingga
menjadi percaya diri dalam bergaul dengan masyarakat sekitar, termasuk kelas
masyarakat yang berbeda dari dirinya.8 Jika potensi intoleransi ditemukan pada
masa remaja, pembentukan identitas dalam perkembangan keagamaan pada masa
remaja sangat diperlukan dan dilakukan secara sistematis dan mendalam dengan
pendekatan psikologis.
Pentingnya toleransi beragama pada usia remaja merupakan prasyarat
bagi masyarakat pluralis untuk hidup rukun. Hasil karya Van der Walt dengan
pendekatan psikologis telah melakukan penelitian mendalam yang berkaitan
dengan toleransi agama.9 menurut Van der Walt konsep toleransi beragama yaitu
menjadikan manusia melakukan interaksi melalui agama yang tidak berlawanan
dengan nilai-nilai kehidupan di masyarakat.10 Toleransi beragama memilki nilai-
nilai yang bermakna dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama
sehingga menjadi enam derajat toleransi beragama antara lain sebagai berikut;
menolak perbedaan menjadi tren terendah, tekankan perbedaan, minimalkan
perbedaan, terima perbedaan, sesuaikan dengan perbedaan dan akhirnya
gabungkan dengan perbedaan. Pada intinya dalam kajian ini menghasilkan
pembahasan tentang toleransi, agama dan remaja. Pada usia remaja rentan
terhadap pengaruh isu-isu terkait intoleransi beragama, sebagaimana temuan
yang sebelumnya. Kajian tentang toleransi dan agama yang tidak signifikan
diteliti. Melalui peran penting remaja yang telah menemukan jati dirinya dapat

8
J. Kroger & J. Marcia, The Identity Statuses: Origins, Meanings and Interpretations. In
S. J. Schwartz, K. Luyckx, & V. S. Vignoles. (Eds.), Handbook of Identity Theory and Research.
(New York : Springer, 2011), 93.
9
Johannes L Van der Walt, Measuring Religious Tolerance in Education. (Republic of
Soutch Africa: North West University, 2014), 25.
10
Van der Walt, Measuring Religious Tolerance in Education, 26.

5
menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan agama dan kehidupan
bermasyarakat.
Hasil karya Erikson mencari jati diri diartikan menjadi proyek penting
sehingga dipikirkan dengan kritis dan mendalam untuk menghasilkan sebuah
keyakinan dan nilai-nilai kehidupan bermasyarkat.11 Menurut Erikson tugas
utama tumbuh remaja adalah menghadapi "krisis" identitas versus kebingungan
jati diri. Peran penting yang dimainkan pada usia remaja yaitu untuk memiliki
kepribadian yang matang agar nanti menjadi seorang dewasa yang kuat dan
memilki keunikan tersendiri.12 Pada usia remaja yang terpenting dalam hidupnya
adalah dimana seorang remaja dapat menyelesaikan masalahanya sendiri dan
menentukan jalan hidup yang terbaik untuk dirinya baik menentukan masalah
sosial, agama, politik, persahabatan dan peran gender.13
Menurut Erikson, ada dua kriteria utama pembentukan identitas remaja,
yaitu mencari dan terlibat.14 Kroger menjelaskan eksplorasi yaitu periode
seseorang pada usia remaja dapat memilih suatu pilihan yang dikehendakinya,
akan tetapi komitmen adalah segala sesuatu hal yang telah dipilih sesuai dengan
keinginan dirinya yang didasari dengan keyakinan yang kuat dan tindakan yang
sesuai keinginanya.15 Jenis komitmen dan eksplorasi ini terbentuk dalam empat
identitas, adalah difusi identitas, eksklusi identitas, moratorium identitas, dan
pencapaian identitas. Difusi terjadi ketika seseorang tidak melakukan eksplorasi
namun tidak memiliki komitmen; eksklusi terjadi ketika orang tersebut tidak
melakukan upaya eksplorasi tetapi sudah memiliki sifat komitmen yang biasanya
dipengaruhi oleh otoritas; moratorium terjadi pada saat orang tersebut masih
melakukan pekerjaan eksplorasi tetapi komitmennya belum ditentukan;
Sedangkan prestasi terjadi ketika seseorang telah menjelajah, ada komitmen yang

11
D. E. Papalia, S.W. Olds, & Feldman. Human development. (Jakarta: Salemba
Humanika, 2013), 153.
12
Papalia, Olds, & Feldman. Human development, 154.
13
D.H. Grotevan, & C.R. Cooper, Individuation in Family Relationships, (Jurnal Human
Development: 1986), 82-100.
14
J.E. Marcia, Development and Validation of Ego Identity Status, (Journal ol : Personality
and Sosial Psychology,1966), 551-558.
15
Kroger & Marcia, The Identity Statuses: Origins, Meanings and Interpretations. In S. J.
Schwartz, K. Luyckx, & V. S. Vignoles. (Eds.), Handbook of Identity Theory and Research, 98.

6
didasarkan pada pilihan pribadi.
Studi paling komprehensif yang mengukur suatu keberhasilan dalam
menanamkan nilai-nilai kehidupan toleransi beragama di suatu masyarakat
dimulai sejak dini dan yang paling tepat untuk penguatan dan menanamkan nilai-
nilai toleransi beragama dilakukan sejak usia remaja, dimana remaja sangat
menentukan keberhasilan hidup rukun di masyarakat yang plural agar terciptanya
kehiudupan bangsa yang toleran, hidup rukun dan damai. Untuk membuktikan
seorang remaja memiliki toleransi beragama yang tinggi, maka terlebih dahulu
tingkat kematangan religiusitasnya masuk dalam kategori tinggi. Kematangan
religiusitas pada usia remaja yaitu ketika seorang remaja mampu untuk mengenali
dan memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta
menjadikan nilai-nilai agama dalam bersikap dan bertingkah laku.16 Selain itu,
kematangan religiusitas adalah suatu kondisi ketika perkembangan keagamaan
atau religiusitas seseorang berada dalam tahap tertinggi. Kematangan religiusitas
bisa tercapai ketika kelima dimensi religiusitas bisa berfungsi optimal dalam diri
seorang remaja yang terejawantahkan dalam perilaku keseharian.
Religiusitas menurut Glock and Stark yang mengungkapakan lima
dimensi religiusitas, diantaranya sebagai berikut; Pertama. Dimensi iman (belief
dimension), Kedua. Dimensi praktis keagamaan (religious practice), Ketiga.
Dimensi pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious
experience), Keempat. Dimensi pengetahuan (the knowledge dimension), Kelima.
Dimensi konsekuensi (the consequences dimension).17 Dimensi ini membahas
tentang bagaimana seseorang mampu mengimplikasikan ajaran agamanya
sehingga mempengaruhi perilaku seorang remaja dalam kehidupan sosialnya.
Dimensi ini berkaitan dengan keputusan serta komitmen seseorang dalam
masyarakat berdasarkan kepercayaan, ritual, pengetahuan serta pengalaman
seorang remaja, sehingga dapat terlihat sikap toleransi beragama pada usia remaja.
Gambaran fenomena SMK Bakti Karya Parigi layak dijadikan sebagai

16
Jalaluddin. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-
prinsip Psikologi, 81.
17
R. Stark & C.Y. Glock American Piety: The Nature of Religious Commitment,
(Berkeley: University of California Press), 121.

7
locus penelitian mengenai Toleransi Beragama pada usia Remaja, karena memiliki
program kelas multikultural dengan jumlah remaja sebanyak 80 orang yang terdiri
dari 45 laki-laki (56,25%), 35 prempuan (43,75%), 63 orang Islam (78,75%), 10
orang Katolik (12,5%), 7 Protestan (8,75%), 22 suku budaya (0,61%), 25
kabupaten (0,060%) dan 18 provinsi (53%). Peta sebaran latar belakang remaja di
kelas multikultural SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran, sebagai bertikut; 4
Aceh, 1 Sumatera utara, 1 Riau, 1 Bengkulu, 2 Sumatera Selatan, 1 Lampung, 1
DKI Jakarta, 36 Jawa Barat, 1 Jawa Tengah, 3 Sulawesi Selatan, 1 Sulawesi
Tengah, 1 Kalimantan Timur, 10 Kalimantan Utara, 10 NTT, 2 Maluku, 2 Papua
Barat, 3 Papua. Semunya ini menjadi kekuatan kebersamaan memelihara toleransi
beragama dalam keragaman di kelas multikultural SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran.
SMK Bakti Karya Parigi Kabupaten Pangandaran mengusung konsep
toleransi beragama dalam program kelas multikultur dengan mendatangkan
remajanya dari daerah konflik, daerah tertinggal, daerah terdalam, daerah rawan
konflik dan berbagai daerah di Indonesia lainnya dengan berbagai macam suku,
etnis dan agama, disatukan dalam lingkungan SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran, dan telah terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(KEMENDIKBUD) Republik Indonesia. Ada beberapa alasan peneliti tertarik
meneliti SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran; yaitu karena SMK Bakti Karya
Parigi Pangandaran menerapakan konsepsi tata lingkungan yang multikultural,
toleransi dalam beragama, menerima perbedaan berbagai macam agama, suku,
etnis, lokasi yang relatif mudah dijangkau dan terbuka, dan alasan lain yaitu
pelopor pendiri SMK ini masuk pada pemuda pelopor gerakan sekolah multikultur
nasional yang menerapkan toleransi beragama pada jenjang Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) ada beberapa penghargaan yang didapat oleh seorang Ai
Nurhidayat sebagai pendiri kelas Multikultural di SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran antara lain sebagai berikut: 1. Penerima SATU Indonesian Award
2019 Kategori Pendidikan, diselenggarakan oleh Astra. 2. Juara 1 Kategori
Pendidikan Millennial Heroes 2019 diselenggarakan Sindo. 3. Penerima
Penghargaan Kategori Pendidikan Pemuda Pelopor Jawa Barat diselenggarakan

8
Pemprov Jawa Barat.
Remaja SMK Bakti Karya mempelajari multimedia, ekologi, hingga 60
topik multikulturalisme, yang mengacu pada lima konsep dasar. Yakni
menumbuhkan nilai-nilai toleransi, semangat damai, semangat berjejaring, budaya
dan aktif belajar. Konsep sekolah ini lebih bersifat eksternal. Mereka bercocok
tanam, aktif dalam kegiatan lokal dan bahkan membantu bila ada kegiatan
tradisional daerah. Selain itu, ada kelas profesional yang akan membuka jalan bagi
pengetahuan, pandangan dunia, dan referensi pekerjaan. Juga program Splash the
Peace, yang merupakan kegiatan perdamaian sekolah multikultural, yang mengejar
niatnya untuk menjadi agen perdamaian.
Kelas multikultural SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran merupakan
gerakan sosial yang bertujuan untuk menerima, menghargai, memberi ruang dan
melindungi keberagaman melalui gerakan sekolah bebas dan integrasi ke dalam
masyarakat. Gerakan ini hadir terutama untuk menarik beragam pelajar dan
membangun platform dukungan publik untuk akses terbuka secara gratis.
Program ini juga sebagai bentuk advokasi kepada remaja-remaja dari konflik, 3T
dan latar belakang marjinal untuk mendapatkan kesempatan berinterkasi yang
sama. Kelas multikultural dipersiapkan untuk direplikasi di daerah lain bahkan di
seluruh Indonesia untuk mempererat hubungan baik antar identitas yang berbeda
dan mempersiapkan generasi untuk berkarya bagi perdamaian. Program tersebut
juga mendorong reformasi sistem toleransi beragama secara nasional agar dapat
berkembang dan menjawab kebutuhan warga negara sejalan dengan cita-cita
kemerdekaan. Maka dari itu kehidupan beragama saat ini di kelas multikultural
dalam interaksi minoritas dan mayoritas berkembang dengan baik dan rukun
sehingga berkembangnya secara harmonis di bawah satu atap SMK Bakti Karya
Parigi pangandaran.
Situasi ini dapat mengungkap sepenuhnya toleransi beragama, tentu saja
interaksi antar kelompok atau individu, dengan semua elemen pendukung yang
menyertainya. Semuanya dapat terjadi hidup rukun dan damai dengan bingkai
toleransi beragama tanpa mencampuri keyakianan, sikap dan tindakan orang lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka suatu keniscayaaan

9
mengimplementasikan toleransi beragama pada usia remaja agar setiap remaja
tidak akan memiliki keyakinan, sikap, tindakan yang radikal dan intoleran,
sehingga adanya penjelasan atau sebuah deskripsi mendasar dan rinci tentang
toleransi beragama yang diterapkan di sekolah seperti penerapan konsep
multikultural di SMK Bakti Karya Parigi Kabupaten Pangandaran. Sehingga
konsepsi tersebut benar-benar mengandung unsur keterbukaan, ilmiah, dan layak
untuk ditindaklanjuti dan diteliti lebih dalam, maka penelitian yang lebih
komprehensif dan layak dijadikan referensi bagi anak usia remaja, orang tua,
masyarakat dan penelitian lainnya. Sehingga mendorong peneliti untuk meneliti
masalah tersebut secara lebih mendalam, yang dituangkan dalam sebuah judul
penelitian “Toleransi Beragama Pada Usia Remaja (Penelitian di Kelas
Multikultural SMK Bakti Karya Parigi Kabupaten Pangandaran)”.

B. Perumusan Masalah
Permasalahan utama penelitian ini adalah tentang toleransi beragama pada
usia remaja (Penelitian di kelas Mulktikultural SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran). Pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana ciri religiusitas remaja di SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran?
2. Bagaimana pandangan remaja terhadap orang lain yang berbeda agama
di SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran?
3. Bagaimana pola interaksi sosial antar remaja yang berbeda agama di
SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran?
4. Bagaimana toleransi beragama dan batas-batasnya pada remaja di SMK
Bakti Karya parigi Pangandaran?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis ciri religiusitas remaja di SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran.

10
2. Untuk menganalisis pandangan remaja terhadap orang lain yang
berbeda agama di SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran.
3. Untuk menganalisis pola interaksi sosial antar remaja yang berbeda
agama di SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran.
4. Untuk menganalisis toleransi dan batas-batasanya pada remaja di SMK
Bakti Karya parigi Pangandaran.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Secara Teoretis
Secara teoretis, penelitian diharapkan berguna untuk menambah konsep
teoretis tentang toleransi beragama pada usia remaja. Harapan ini terutama tarkait
dengan masih minimnya informasi dan konsep-konsep teoretis tentang toleransi
beragama pada usia remaja.
2. Manfaat Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh para
Kepala dan guru di Sekolah berkenaan dengan toleransi Bergama pada usia remaja.
Harapan ini dimungkinkan karena selama ini aspek perilaku keberagamaan usia
remaja jarang diteliti dari aspek toleransi beragama. Dengan begitu, penelitian ini
diharapkan dapat mengisi kekosongan kajian tersebut.
Penelitian akan bermanfaat bagi para akademisi yang concern terhadap
toleransi beragama dengan segala permasalahannya terutama untuk mengetahui
korelasi antara agama dan toleransi dalam agama dunia (world religion). Hal ini
untuk memperkaya diskursus lokal mengenai agama.
Bagi pemerintah, penelitian ini bermanfaat sebagai acuan dalam membuat
kebijakan-kebijakan terkait permasalahan toleransi beragama dalam rangka upaya
preventif terjadinya intoleransi beragama di sekolah dan masyarakat. Dalam hal ini
penelitian ini berkontribusi kepada pemerintah agar penyusunan rencana kerja
mengenai toleransi beragama tidak kontra-produktif tetapi tepat sasaran sesuai
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut masyarakat di Indonesia.
Bagi khalayak umum, penelitian ini bermanfaat untuk membuka wawasan
baru mengenai ragamnya world view dalam agama dunia (world religion). Dengan

11
memahami wawasan baru tersebut diharapkan tidak ada lagi stigma negatif
terhadap masyarakat yang ada di Indonesia. Sekolah dan masyarakat yang
menerapkan toleransi beragama di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak justru
bisa menjadi role model dalam hidup perdamaian dan kerukunan umat beragama.

E. Hasil Penelitian Terdahulu


Kajian mengenai toleransi telah banyak dikaji dalam berbagai aspek. Di
antaranya, yakni: Pertama, Bahari dalam disertasinya yang berjudul Toleransi
Beragama Maharemaja (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan
Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama dan Lingkungan Pendidikan
terhadap Toleransi Maharemaja Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum
Negeri). Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan
berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama maharemaja di Perguruan
Tinggi, yakni variabel lingkungan pendidikan (lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat). 18
Kedua, Ramadhanita Mustika Sari dalam disertasinya yang berjudul
Toleransi Pada Masyarakat Akademik (Studi Kasus Di Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta) Kesimpulan besar disertasi ini menyatakan bahwa
semakin relativitas kebenaran dipahami oleh seseorang, maka ia semakin
memiliki sikap toleran terhadap pemikiran yang berbeda. Hal ini mendukung
pendapatnya Hargrove (1985) yang menyatakan bahwa keterbukaan pemikiran
terbentuk karena adanya relativitas pengetahuan (pengetahuan yang terikat oleh
masyarakat atau budaya tertentu). Selain itu, terjadinya akulturasi antara
pemikiran seseorang dengan budaya tertentu muncul karena adanya kontribusi
dari sosiologi pengetahuan. Pendapat ini didukung oleh Mc Carthy (1998); Goff
(1980). Penelitian ini berbeda pendapat dengan Scheler (1982) yang menyatakan
bahwa justru dengan adanya relativitas pengetahuan menimbulkan masalah
moral. Kemudian pendapatnya Mulkay (1980) bahwa adanya relativitas

18
Bahari, Toleransi Beragama Maharemaja (Studi tentang Pengaruh Kepribadian,
Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama dan Lingkungan Pendidikan terhadap
Toleransi Maharemaja Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri), (Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2010), 78.

12
pengetahuan menimbulkan masalah dalam ilmu pengetahuan empiris (sains), hal
ini dikarenakan tidak adanya kebenaran mutlak. 19
Ketiga, Dalam Jurnal penelitian Vinaya Untoro dan Maharani Ardi Putri
yang berjudul Status Identitas dan Toleransi Beragama pada Remaja, hasil
analisisnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara dimensi
komitmen dan toleransi beragama, sedangkan antara dimensi eksplorasi dan
toleransi beragama tidak ditemukan hubungan. Hasil pengujian untuk 4 kategori
status identitas menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan termasuk dalam
kategori identitas tersebar yang artinya tidak memiliki komitmen ideologis.
Apalagi moratorium identitas memiliki nilai tertinggi dalam toleransi beragama
dan sangat berbeda dengan pencapaian identitas dan eksklusi identitas. Dilihat
dari tingginya dimensi komitmen dan karakteristik masing-masing kategori status
identitas, pencapaian identitas dan eksklusi identitas merupakan kategori yang
cenderung intoleran, sedangkan moratorium identitas tetap terbuka terhadap
perbedaan agama atau ideologis. 20
Keempat, selain itu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh lembaga
swadaya masyarakat SETARA Institute. Penelitian yang berjudul Toleransi
dalam Pandangan Generasi Muda terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan
Kepemimpinan Nasional. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 87,1%
responden tidak menjadikan perbedaan agama dalam berteman sebagai halangan,
dan 67.4% responden dapat menerima fakta perpindahan agama. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa modal sosial toleransi kaum muda sangat kuat. Tetapi, modal
sosial itu tidak berkembang dan terpasung. Hal ini dikarenakan para
penyelenggara negara, termasuk partai politik tidak menjalankan fungsinya
dengan baik.21
Kelima, selanjutnya, dalam jurnal penelitian tentang konsep toleransi

19
R. M. Sari, Toleransi Pada Masyarakat Akademik (Studi Kasus Di Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2015), 131.
20
V. U Putri, Status Identitas dan Toleransi Beragama pada Remaja, (Jurnal Psikologi
Teori dan Terapan, 2019) 46-59.
21
SETARA Institute, Toleransi dalam Pasungan; Pandangan Generasi Muda terhadap
masalah kebangsaan, pluralitas dan kepemimpinan Nasional. (Jakarta: SETARA Institute., 2008),
78.

13
dalam pembelajaran PAI. Penelitian ini dilakukan oleh Abdul Fatah dalam
disertasinya yang berjudul “Budaya Toleransi dalam Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam”. Ia menyimpulkan proses pembelajaran PAI dengan studi kasus di
SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan terbukti mampu membangun budaya
toleransi beragama di kalangan warga sekolah. Hasil penelitian ini menunjukkan
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada
remaja, yaitu: pendekatan pembelajaran yang berpusat pada remaja (student
centered), metode pembelajaran berbasis toleransi, serta ekstrakurikuler berbasis
toleransi..22
Keenam, pendapat yang senada juga diungkapkan oleh Darmani dalam
penelitiannya “Toleransi Sebuah Jalan Keluar Pemersatu Anak Bangsa”. Ia
menyatakan bahwa sikap toleran perlu diamalkan dalam berbagai segi kehidupan,
yakni: kehidupan keluarga, kehidupan sekolah, kehidupan di masyarakat serta
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting dilakukan, karena
toleransi dapat dijadikan sebagai jembatan alternatif untuk menuju sebuah
kebersaman demi kesatuan dan persatuan bangsa. 23
Ketujuh, penelitian Adams Markstrom yang menyelidiki status identitas
dengan afiliasi agama. Mereka membuat sebuah analisis dalam hal tingkat
religiusitas seorang remaja yang sering dan tidak sering berkunjung ke gereja.
Mormon telah ditemukan sebagai minoritas besar di Negara Amerika Serikat
tetapi yang memiliki paradigma eksklusif adalah seorang mayoritas mendapat
skor lebih tinggi pada dimensi pengucilan identitas daripada non-Mormon.
Ketekunan dalam kehadiran di gereja terkait dengan pencapaian identitas
Mormon, tetapi non-Mormon tidak memiliki hubungan antara kehadiran di gereja
dan pencapaian identitas. Dalam hal ini keseluruhan penelitian oleh Markstrom
Adams menunjukkan hubungan antara kesadaran dalam kehadiran di gereja dan
komitmen yang tinggi (mencapai pengecualian). Dapat diketahui dari seseorang
yang rajin mengunjungi gereja sangat rendah dalam menyebarkan ideologi

22
A. Fatah, Budaya Toleransi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2012), 89.
23
Darmani, Toleransi Sebuah Jalan Keluar Pemersatu Anak Bangsa. . (Surabaya:
Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagmaan Surabaya, 2012), 79.

14
seacara interpersonal dan pencapaian ideologis yang tinggi dan moratorium
ideologis yang rendah. 24
Kedelapan, penelitian terkait toleransi beragama dilakukan dengan
mengukur sikap responden terhadap agama lain atau dengan menanyakan secara
langsung tentang frekuensi mengalami intoleransi beragama. Dengan mengukur
sikap warga Polandia terhadap agama minoritas seperti Yudaisme, Islam,
Ortodoks Rusia dan Protestan, derajat toleransi beragama di Polandia diukur.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar warga Polandia memiliki
toleransi beragama yang tinggi terhadap warga negara yang beragama minoritasas
setempat.25
Kesembilan, studi penelitian yang berbeda dengan yang lainnya yaitu
intoleransi beragama dilakukan oleh Broderick dan Fosnacht, yang menemukan
bahwa penghormatan yang lebih besar terhadap agama lain dikaitkan dengan
rendahnya kecenderungan seseorang untuk mengalami intoleransi atau menjadi
sasaran intoleransi beragama. 26
Kesepuluh, berdasarkan kajian penelitian moralitas dan teologi Kristen,
penelitian tentang pluralisme agama dan toleransi di Indonesia. Chear melakukan
penelitian lain, Chaer menggunakan metode kualitatif, dalam mewawancarai
masyarakat lokal di kawasan Ketanggi Ngawi dan menemukan keragaman agama
dan kebudayaan yang disebut sebagai "lilo legal" (penerimaan sukarela), yang
telah berubah menjadi toleran perilaku di sana terhadap keragaman. 27
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah dijelaskan sebelumnya berbeda
dengan penelitian disertasi ini. Letak perbedaannya, yakni: penelitian yang telah
ada mengkaji pengaruh lingkungan pendidikan dan masyarakat terhadap
pembentukan sikap toleran pada remaja, implementasi budaya toleransi pada

24
Markstrom Adams, The Ego Virtue of Fidelity: A Case for the Study of Religion and
Identity Formation in Adolescence. (Journal Of Youth and Adolescence, 1994) 453-469.
25
E. A. Golebiowska, Religious Tolerance in Poland. (International Journal of Public
Opinion Research, 2004), 391-416.
26
C. Broderick, Religious Intolerance on Campus: A Multi Institution Study. (USA: the
Association for the Study of Higher Education, Houston, 2017), 97.
27
M.T. Chaer, Tantularisme, Pluralitas Agama dan Toleransi (Studi Kasus Masyarakat
Ketanggi-Ngawi). (Jurnal Ilmu-ilmu KeIslaman Afkaruna, 2012), 149-166.

15
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan keberagamaan remaja kristen dalam
menentukan identitasnya yang bersikap toleran dan intoleran. Sedangkan dalam
penelitian toleransi beragama pada usia remaja di SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran memiliki tiga aspek , antara lain sebagai berikut; 1. Kehidupan dalam
toleransi beragama ada sejak di asrama (tinggal bersama beragam suku dan agama),
2. di sekolah (dengan pendekatan pemahaman agama yang kontekstual untuk
mendinamisir toleransi beragama) dan 3. lingkungan masyarakat (dibentuk
ekosistem yang dapat menjadi arena interaksi sosial di tengah keragaman remaja
dan masyarakat). Dalam bingkai tiga aspek ini, maka sudah terbentuk dan terbukti
lima dimensi religiusitas pada remaja SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran, antara
lain sebagai berikut; dimensi keyakianan, dimensi praktik keagamaan, dimensi
pengalaman, dimensi pengetahuan, dan dimensi konsekuensi.

F. Kerangka Berpikir
Religiusitas menggambarkan suatu kesatuan untuk ajaran agama dalam 1)
keyakinan, 2) sikap dan 3) tindakan manusia. Manusia pada hakikatnya memiliki
fitrah dan jiwa keberagamaan bahkan sebelum dia menyadarinya. Namun
demikian, faktor terpenting dari perkembangan keberagamaan adalah sejak usia
remaja. Meskipun pada dasarnya manusia telah memiliki insting beragama sejak
masih dalam kandungan, tetapi apabila anak belum memilki religiusitas yang
matang maka belum tentu insting keagamaan itu berkembangan dalam bentuk
perilaku keberagamaan.
Religiusitas, dengan demikian, amat bergantung kepada faktor
kematangan religiusitas yang dimilki oleh seorang remaja. Tanpa kematangan
religiusitas yang tepat dan sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran agama, maka
keberagamaan tidak dapat berkembang secara optimal. Selain faktor kematangan
religiusitas, faktor lingkungan remaja juga ikut mendorong berkembangnya
perilaku keberagamaan pada usia remaja. Betapa pun sudah terbentuknya
kematangan religiusitas usia remaja, kalau lingkungan di mana remaja hidup tidak
agamis, maka sulit bagi remaja untuk mengembangkan sikap dan tindakan

16
keberagamaannya secara maksimal.28
Itulah sebabnya, kematangan religiusitas dan faktor lingkungan
merupakan dua faktor penting yang dapat saling bersinergi untuk mengembangkan
toleransi beragama pada usia remaja. Sinergi yang saling mendukung dan
memperkuat akan mendorong perkembangan religiusitas remaja semakin mantap
dan optimal. Sinergi antara kematangan religiusitas dan lingkungan masyarakat
hanya akan terwujud dengan baik apabila dikelola, direncanakan dengan baik dan
tepat. Pada usia remaja ini memerlukan sebuah keyakinan, sikap dan tindakan
toleransi beragama yang terencana, terorganisasi, sampai terevaluasi dengan baik
dan tepat pula dalam mengungkap religiusitas remaja. Hal ini mengacu pada teori
religiositas menurut Glock and Stark yang mengungkapakan lima dimensi
religiusitas, diantaranya sebagai berikut; Pertama. Dimensi iman (belief
dimension), Kedua. Dimensi praktis keagamaan (religious practice), Ketiga.
Dimensi pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious
experience), Keempat. Dimensi pengetahuan (the knowledge dimension), Kelima.
Dimensi konsekuensi sosial-etik (the consequences dimension).29
Jika teori Glock & Stark ini dapat membentuk religiusitas remaja dalam
bingkai toleransi beragama, maka akan semakin kuat dalam penerapan dan
penanaman nilai-nilai toleransi beragama pada usia remaja melalui kematangan
rekigiusitas remaja. sehingga dalam praktik dan tindakannya dapat dijalankan di
setiap lapisan masyarakat yang plural karena dalam praktiknya toleransi beragama
didukung dan dijalankan bersama-sama mulai dari lapisan bawah masyarakat,
tokoh masyarakat, guru, dan pemerintah yang berwenang karena tanpa adanya
dukungan dari semuanya akan terasa berat dan sulit dalam menjalankan dan
mempraktikan toleransi beragama untuk terciptanya kehidupan yang saling
menghargai perbedaan dan rukun dalam masyarkat yang beragam.

28
Jalaluddin. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-
prinsip Psikologi, 81.
29
Glock & stark, American Piety: The Nature of Religious Commitment, 122.

17
Bagan 1.1 : Kerangka Berpikir Penelitian

Toleransi beragama pada


usia remaja

Ciri religiusitas remaja, Pandangan


remaja terhadap orang lain, Pola
interaksi sosial antar remaja, Toleransi
beragama dan batas-batasnya

belief dimension, religious practice,


religious experience, the knowledge
dimension, the consequences
dimension

Inklusivisme, Pluralisme dan Ekslusivisme, Radikalisme dan


Multikulturalisme Monokulturalisme

Berdasarkan tabel di atas, dengan penelitian toleransi beragama pada usia


remaja, penulis menganalisis dengan memakai grand theory religiositas menurut
Glock and Stark yang mengungkapakan lima dimensi religiusitas, diantaranya
sebagai berikut; Pertama. Dimensi iman (belief dimension), Kedua. Dimensi
praktis keagamaan (religious practice), Ketiga. Dimensi pengalaman keagamaan
(the experience dimension or religious experience), Keempat. Dimensi
pengetahuan (the knowledge dimension), Kelima. Dimensi konsekuensi (the
consequences dimension). Jika remaja dan dinamika pengalaman religiusitas
remaja sudah terbentuk dan dapat diparktikan dalam sebuah tindakan sehari-hari
dan menjadikan sebuah keyakinan yang kuat yang dijalani maka akan terbentuk
suatu kehidupan yang saling menghargai perbedaan dan rukun dalam bingkai

18
toleransi beragama yang meghasilkan tiga paradigma toleransi beragama seorang
remaja yaitu : inklusivisme, pluralisme dan multikulturalisme, akan tetapi jika
sebaliknya dalam tindakan, praktik dan keyakinan beragama remaja masuk
kedalam derajat toleransi yang terendah yaitu penolakan pada perbedaan maka
akan menghasilkan tiga paradigma intoleransi beragama yaitu: Ekslusivisme,
Radikalisme dan Monokulturalisme.

19

Anda mungkin juga menyukai