Kajian Tema HUT Laki-Laki Ke-35
Kajian Tema HUT Laki-Laki Ke-35
Kajian Tema HUT Laki-Laki Ke-35
Pendahuluan
Wadah Pelayanan Laki-Laki Gereja Protestan Maluku (GPM) akan memasuki usia 35
tahun pada tanggal 24 September 2021. Sebagai warga GPM, khususnya Laki-Laki GPM,
HUT kali ini dapat dijadikan sebagai moment penting untuk membangun citra dan jati diri
sebagai Laki-Laki gereja. Alasannya, perayaan HUT Laki-Laki GPM tahun ini dilaksanakan
di tengah-tengah tantangan dan permasalahan yang dialami oleh bangsa maupun gereja.
Permasalahan yang dialami pun sangat kompleks, beragam, apalagi dalam kondisi belum
berakhirnya pandemi Covid-19. Berbagai upaya untuk mengatasi masalah Covid-19 memang
telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, tidak terkecuali juga oleh agama, dalam hal
ini gereja. Namun, upaya-upaya tersebut belum dapat menyelesaikan atau mengakhiri
penyebaran Covid-19. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat PPKM yang ditetapkan pemerintah dan dijalankan oleh
masyarakat, termasuk gereja pun belum membuahkan hasil yang maksimal. Dampak dari
semuanya ini sangat dirasakan oleh masyarakat, termasuk keluarga-keluarga Kristen. Covid-
19 tidak saja berdampak pada kesehatan, namun juga ekonomi, pendidikan, sosial, budaya,
termasuk agama.
Ada banyak keluarga-keluarga Kristen mengalami penurunan pendapatan ekonomi.
Hubungan atau relasi sosial antaranggota masyarakat pun menjadi renggang. Terjadi
peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data dari Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, KDRT menjadi kasus
kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Dari 319 kasus kekerasan yang dilaporkan, dua
pertiga-nya (213 kasus) merupakan kasus KDRT (conversation.com, 9 Agustus 2020). Kasus
tersebut terjadi pada masa pandemi Covid-19 dan upaya penanganannya. Pandemi covid
bahkan ternyata tidak memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan.Komnas
Perempuan juga mencatat adanya kekerasan terhadap perempuan berbasis budaya banyak
terjadi di daerah-daerah yang masih memegang kuat adat dan budaya. Disamping
meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan, meningkat pula tindak kekerasan
terhadap anak. Hal ini tidak hanya dilakukan orang tua terhadap anak kandung atau anak tiri
mereka, tapi juga terhadap pembantu rumah tangga yang belum dewasa. Selain itu, ada juga
kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kerja. Di lingkungan kerja atasan memiliki dua
kuasa yaitu sebagai atasan dan laki-laki. Pelecehan seksual terjadi ketika laki-laki
menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Dari berbagai artikel dikemukakan bahwa faktor penyebab KDRT, antara lain: faktor
ekonomi; kultur hegemoni yang patriarkis; merosotnya kepedulian dan solidaritas sosial;
masyarakat miskin empati. Sedangkan beberapa hasil penelitian menemukan faktor utama
KDRT adalah faktor ekonomi dan masih kentalnya budaya patriarki di kalangan masyarakat.
Artinya, para pelaku tindak kekerasan umumnya adalah laki-laki. Menurut Jesse Prinz Ph.D,
profesor dari City University of New York yang mempelajari tentang persepsi, emosi, dan
kebudayaan manusia, mengungkapkan bahwa 90% pembunuhan yang terjadi di dunia
dilakukan oleh laki-laki. Kalau dirunut dari sejarah, laki-laki memang lebih dominan. Ini
dilihat dari biologis maupun psikologis. Di zaman berburu dan mengumpulkan makanan,
laki-laki bergantung pada perempuan, karena perempuan menyediakan sumber makanan.
Ketika zaman berganti menjadi pertanian dan peternakan, terjadi perubahan di mana laki-laki
bisa mendominasi. Ini dikarenakan dari sisi biologis postur laki-laki yang cenderung lebih
besar ketimbang perempuan. Kekuatan dan kemampuan ini membuat perempuan menjadi
bergantung pada laki-laki. Dan ketergantungan ini memberi kesempatan pada laki-laki untuk
mendominasi perempuan. Ini termasuk dalam hal pendidikan, tenaga kerja, lembaga-lembaga
pemerintahan, dan termasuk dalam keluarga. Faktor biologi dan sejarah ini membuat seorang
laki-laki cenderung agresif dan melakukan tindak kekerasan. Namun ini tidak semata menjadi
faktor tunggal, karena bila benar demikian itu berarti semua laki-laki di dunia akan
melakukan kekerasan.Faktanya, masih ada faktor pendukung lain, seperti trauma masa kecil.
Psikolog Ian Hughes dan juga penulis buku Disordered Minds: How Dangerous
Personalities are Destroying Democracy, mengatakan bahwa trauma masa kecil dapat
menyebabkan seseorang (laki-laki) untuk melakukan kekerasan saat dewasa. Sejatinya,
pengasuhan yang disfungsional dapat menyebabkan masalah akut dalam perkembangan anak
yang pada gilirannya dapat mengakibatkan perilaku nakal, termasuk kekerasan ketika dewasa
kelak.
Tidak kalah penting dari semua faktor yang menyebabkan kenapa pelaku kekerasan
atau KDRT adalah laki-laki, yaitu konstruksi gender. Konstruksi gender dibangun sejak bayi
yang memengaruhi pandangannya terhadap gender tertentu. Sejak kecil anak dididik dan
diajarkan mengenai peran laki-laki dan perempuan, serta apa yang harus dan tidak harus
dilakukan. Anak laki-laki diasosiasikan sebagai seseorang yang tangguh, kuat, dan jantan.
Diisadari atau tidak konstruksi maskulinitas seperti inilah yang bisa meningkatkan
kemungkinan seorang anak menjadi tumbuh lebih keras, bahkan bukan tak mungkin
bertindak kejam. Sangat penting untuk memberikan konsep-konsep yang benar selama masa
tumbuh kembang anak supaya anak tidak salah dalam berperilaku ketika dewasa kelak.
Semua faktor yang dikemukakan di atas menjadi penyebab meningkatnya angka
kasus perceraian. Angka perceraian yang semakin bertambah tiap tahunnya menunjukkan
bahwa peran dalam keluarga tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Kasih seorang suami
(laki-laki) kepada istri sudah mulai dingin, sikap tunduk istri kepada suami sudah mulai
pudar, rasa hormat anak-anak kepada orang tua sudah mulai sirna. Sehingga kebanyakan
kasus pada keluarga lebih memilih jalur perceraian daripada melakukan rekonsiliasi sebagai
solusi terbaik untuk menyudahi konflik rumah tangga.
Catatan di atas hendak menggarisbawahi bahwa dalam konteks permasalahan tersebut
perayaan HUT ke-35 Laki-Laki GPM perlu didudukkan dalam upaya penguatan kepada Laki-
Laki GPM untuk tetap melaksanakan tanggung jawab di dalam keluarga dan masyarakat.
Secara jelas dan tegas, telah diatur dalam perencanaan GPM (PIP-RIPP tahun 2015-2025)
bahwa sebagai upaya menjadikan Laki-Laki dan perempuan sebagai ciptaan Tuhan yang
sejajar, maka Kemitraan antara Laki-Laki dan Perempuan merupakan langkah yang ditempuh
gereja. Dalam bahasa lain hendak ditegaskan bahwa Laki-Laki GPM sejatinya tidak menjadi
subjek dari suatu tindak kejahatan dan kekerasan, melainkan menjadi tokoh untuk suatu
keharmonisan dalam gereja dan masyarakat yang dimulai dari keluarga. Atas dasar itulah,
tema “Menjadi Laki-Laki Gereja yang Menghamba, Peduli dan Mengasihi Keluarga sebagai
Wujud Ketaatan kepada Tuhan” merupakan tema penting, apalagi digali dari teks Alkitab,
Kolose 3:18 – 25.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tunduk dan mengasihi itu berdampak
bagi seluruh aspek dalam keluarga. Bahkan bisa dikatakan tunduk dan kasih itu merupakan
landasan bagi keutuhan rumah tangga itu sendiri. Tokoh Reformasi Gereja, Marthen Luther
mengatakan: “our life with those closest to us ini family circle is subjested to strains and
stress which we can easily brush off in less personal relationships in the outside world. How
we act in the intimacy of the home andmarriage circle is a true indication of the qualiy of our
love as Christians”(Pao,2012). Pernyataan ini memiliki makna bahwa hubungan hidup kita
dengan orang-orang yang dekat di dalam lingkungan keluarga lebih mudah menimbulkan
ketegangan dan stress dibandingkan dengan dunia luar. Bagaimana kita bersikap dalam
keintiman dengan lingkungan keluarga dan pernikahan adalah indikasi yang sebenarnya
mengenai kualitas kasih kita sebagai seorang pengikut Kristus. Karena itu, sukacita dan
harmoni dalam pernikahan adalah buah dari sebuah komitmen antara satu dengan lainnya
kepada Tuhan, keluarga, dan sesama.
Kesimpulan
Sebagai keluarga kristen penting kita menjaga relasi baik antara suami dengan isteri
maupun atara orangtua dengan anak juga sesama. Hubungan dalam sebuah keluarga kristen
harus bercermin dari hubungan dalam Kristus, yakni hubungan Kristus dengan jemaat, dan
relasi Kristus dengan Bapa. Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa, demikian isteri taat
kepada suami. Sebagaimana Kristus mengasihi jemaat, demikian suami mengasihi isteri.
Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa, demikian anak taat kepada orangtua. Dan
sebagaimana Bapa mengasihi Kristus, demikian orangtua mengasihi anak. Sebagai laki-laki
GPM kita diingatkan pada momentum HUT ke 35 ini, jika kita sudah menyerahkan hidup
kita kepada Kristus, maka kita pun harus memperlakukan keluarga kita sebagaimana Kristus
sudah memperlakukan kita. Sebagaimana Kristus sudah mengasihi kita, peduli dan
mengampuni kita, berkorban bagi kita, yang semua disimpulkan dalam satu kata yakni kasih,
demikianlah kita berlaku dalam keluarga. Jadi yang menjadikan keluarga kita berbahagia
bukan sekedar karena kemapanan ekonomi, bergelimang harta, dan punya jabatan atau karier
yang maju, sebab tanpa kasih Kristus, keluarga hanya akan mengalami kekosongan, tanpa
kedamaian. Tetapi jika kasih Kristus teralami dalam keluarga, maka disanalah juga akan
teralami kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Selamat menjadi laki-laki GPM yang
menghamba, peduli dan mengasihi keluarga. Dirgahayu Laki-Laki GPM ke 35, Tuhan Yesus
memberkati.