Kajian Tema HUT Laki-Laki Ke-35

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

KAJIAN TEMA HUT KE-35 WADAH PELAYANAN LAKI-LAKI GPM

“MENJADI LAKI-LAKI GEREJA YANG MENGHAMBA, PEDULI, DAN


MENGASIHI KELUARGA SEBAGAI WUJUD KETAATAN KEPADA TUHAN”
(Kolose 3 : 18 - 25)

Pendahuluan

Wadah Pelayanan Laki-Laki Gereja Protestan Maluku (GPM) akan memasuki usia 35
tahun pada tanggal 24 September 2021. Sebagai warga GPM, khususnya Laki-Laki GPM,
HUT kali ini dapat dijadikan sebagai moment penting untuk membangun citra dan jati diri
sebagai Laki-Laki gereja. Alasannya, perayaan HUT Laki-Laki GPM tahun ini dilaksanakan
di tengah-tengah tantangan dan permasalahan yang dialami oleh bangsa maupun gereja.
Permasalahan yang dialami pun sangat kompleks, beragam, apalagi dalam kondisi belum
berakhirnya pandemi Covid-19. Berbagai upaya untuk mengatasi masalah Covid-19 memang
telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, tidak terkecuali juga oleh agama, dalam hal
ini gereja. Namun, upaya-upaya tersebut belum dapat menyelesaikan atau mengakhiri
penyebaran Covid-19. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat PPKM yang ditetapkan pemerintah dan dijalankan oleh
masyarakat, termasuk gereja pun belum membuahkan hasil yang maksimal. Dampak dari
semuanya ini sangat dirasakan oleh masyarakat, termasuk keluarga-keluarga Kristen. Covid-
19 tidak saja berdampak pada kesehatan, namun juga ekonomi, pendidikan, sosial, budaya,
termasuk agama.
Ada banyak keluarga-keluarga Kristen mengalami penurunan pendapatan ekonomi.
Hubungan atau relasi sosial antaranggota masyarakat pun menjadi renggang. Terjadi
peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data dari Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, KDRT menjadi kasus
kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Dari 319 kasus kekerasan yang dilaporkan, dua
pertiga-nya (213 kasus) merupakan kasus KDRT (conversation.com, 9 Agustus 2020). Kasus
tersebut terjadi pada masa pandemi Covid-19 dan upaya penanganannya. Pandemi covid
bahkan ternyata tidak memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan.Komnas
Perempuan juga mencatat adanya kekerasan terhadap perempuan berbasis budaya banyak
terjadi di daerah-daerah yang masih memegang kuat adat dan budaya. Disamping
meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan, meningkat pula tindak kekerasan
terhadap anak. Hal ini tidak hanya dilakukan orang tua terhadap anak kandung atau anak tiri
mereka, tapi juga terhadap pembantu rumah tangga yang belum dewasa. Selain itu, ada juga
kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kerja. Di lingkungan kerja atasan memiliki dua
kuasa yaitu sebagai atasan dan laki-laki. Pelecehan seksual terjadi ketika laki-laki
menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Dari berbagai artikel dikemukakan bahwa faktor penyebab KDRT, antara lain: faktor
ekonomi; kultur hegemoni yang patriarkis; merosotnya kepedulian dan solidaritas sosial;
masyarakat miskin empati. Sedangkan beberapa hasil penelitian menemukan faktor utama
KDRT adalah faktor ekonomi dan masih kentalnya budaya patriarki di kalangan masyarakat.
Artinya, para pelaku tindak kekerasan umumnya adalah laki-laki. Menurut Jesse Prinz Ph.D,
profesor dari City University of New York yang mempelajari tentang persepsi, emosi, dan
kebudayaan manusia, mengungkapkan bahwa 90% pembunuhan yang terjadi di dunia
dilakukan oleh laki-laki. Kalau dirunut dari sejarah, laki-laki memang lebih dominan. Ini
dilihat dari biologis maupun psikologis. Di zaman berburu dan mengumpulkan makanan,
laki-laki bergantung pada perempuan, karena perempuan menyediakan sumber makanan.
Ketika zaman berganti menjadi pertanian dan peternakan, terjadi perubahan di mana laki-laki
bisa mendominasi. Ini dikarenakan dari sisi biologis postur laki-laki yang cenderung lebih
besar ketimbang perempuan. Kekuatan dan kemampuan ini membuat perempuan menjadi
bergantung pada laki-laki. Dan ketergantungan ini memberi kesempatan pada laki-laki untuk
mendominasi perempuan. Ini termasuk dalam hal pendidikan, tenaga kerja, lembaga-lembaga
pemerintahan, dan termasuk dalam keluarga. Faktor biologi dan sejarah ini membuat seorang
laki-laki cenderung agresif dan melakukan tindak kekerasan. Namun ini tidak semata menjadi
faktor tunggal, karena bila benar demikian itu berarti semua laki-laki di dunia akan
melakukan kekerasan.Faktanya, masih ada faktor pendukung lain, seperti trauma masa kecil.
Psikolog Ian Hughes dan juga penulis buku Disordered Minds: How Dangerous
Personalities are Destroying Democracy, mengatakan bahwa trauma masa kecil dapat
menyebabkan seseorang (laki-laki) untuk melakukan kekerasan saat dewasa. Sejatinya,
pengasuhan yang disfungsional dapat menyebabkan masalah akut dalam perkembangan anak
yang pada gilirannya dapat mengakibatkan perilaku nakal, termasuk kekerasan ketika dewasa
kelak.
Tidak kalah penting dari semua faktor yang menyebabkan kenapa pelaku kekerasan
atau KDRT adalah laki-laki, yaitu konstruksi gender. Konstruksi gender dibangun sejak bayi
yang memengaruhi pandangannya terhadap gender tertentu. Sejak kecil anak dididik dan
diajarkan mengenai peran laki-laki dan perempuan, serta apa yang harus dan tidak harus
dilakukan. Anak laki-laki diasosiasikan sebagai seseorang yang tangguh, kuat, dan jantan.
Diisadari atau tidak konstruksi maskulinitas seperti inilah yang bisa meningkatkan
kemungkinan seorang anak menjadi tumbuh lebih keras, bahkan bukan tak mungkin
bertindak kejam. Sangat penting untuk memberikan konsep-konsep yang benar selama masa
tumbuh kembang anak supaya anak tidak salah dalam berperilaku ketika dewasa kelak.
Semua faktor yang dikemukakan di atas menjadi penyebab meningkatnya angka
kasus perceraian. Angka perceraian yang semakin bertambah tiap tahunnya menunjukkan
bahwa peran dalam keluarga tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Kasih seorang suami
(laki-laki) kepada istri sudah mulai dingin, sikap tunduk istri kepada suami sudah mulai
pudar, rasa hormat anak-anak kepada orang tua sudah mulai sirna. Sehingga kebanyakan
kasus pada keluarga lebih memilih jalur perceraian daripada melakukan rekonsiliasi sebagai
solusi terbaik untuk menyudahi konflik rumah tangga.
Catatan di atas hendak menggarisbawahi bahwa dalam konteks permasalahan tersebut
perayaan HUT ke-35 Laki-Laki GPM perlu didudukkan dalam upaya penguatan kepada Laki-
Laki GPM untuk tetap melaksanakan tanggung jawab di dalam keluarga dan masyarakat.
Secara jelas dan tegas, telah diatur dalam perencanaan GPM (PIP-RIPP tahun 2015-2025)
bahwa sebagai upaya menjadikan Laki-Laki dan perempuan sebagai ciptaan Tuhan yang
sejajar, maka Kemitraan antara Laki-Laki dan Perempuan merupakan langkah yang ditempuh
gereja. Dalam bahasa lain hendak ditegaskan bahwa Laki-Laki GPM sejatinya tidak menjadi
subjek dari suatu tindak kejahatan dan kekerasan, melainkan menjadi tokoh untuk suatu
keharmonisan dalam gereja dan masyarakat yang dimulai dari keluarga. Atas dasar itulah,
tema “Menjadi Laki-Laki Gereja yang Menghamba, Peduli dan Mengasihi Keluarga sebagai
Wujud Ketaatan kepada Tuhan” merupakan tema penting, apalagi digali dari teks Alkitab,
Kolose 3:18 – 25.

Laki-Laki Gereja Dalam Catatan Teks


Memahami teks Kolose 3:18-25 setidaknya harus dimulai dengan menjelaskan ayat-
ayat sebelumnya. Dalam Kolose 3:12-17 Paulus telah menguraikan mengenai beberapa cara
hidup yang seharusnya dimiliki komunitas Kristen sebagai sebuah identitas “manusia baru”,
sisi kemanusiaan yang Tuhan telah ciptakan dan dibarui oleh Kristus. Esensi utama dari
kemanusiaan yang baru ini adalah mutuality yaitu kebersamaan atau adanya relasi timbal
balik satu sama lain. Dalam diri yang baru, tidak ada lagi “kafir atau Yahudi, bersunat atau
tidak bersunat, orang Barbar atau Skit, diperbudak atau bebas”. Orang Kristen harus melihat
diri mereka sebagai satu kesatuan tubuh Kristus, dimana sikap dan kasih satu sama lain harus
diberlakukan (Moo, 2008).
Pada bagian Kolose 3:18-4:1 Paulus berbicara mengenai hal yang lebih praktis.
Martin Luther menyebut bagian ini sebagai Haustafel, peraturan atau instruksi rumah tangga,
karena bagian ini memberikan instruksi mengenai bagaimana seharusnya para anggota rumah
tangga saling berinteraksi satu sama lainnya. Interaksi suami-istri, interaksi orang tua-anak,
dan interaksi tuan-budak.Paulus mengingatkan bahwa kehidupan keluarga Kristen seharusnya
memiliki interaksi yang seimbang dan perasaan saling menghargai, penuh cinta kasih satu
dengan yang lain. Alasannya, setiap anggota keluarga tunduk kepada kedaulatan Kristus.
Jadi, kedamaian dan keharmonisan keluarga dimulai dengan kemauan setiap anggota
keluarga dalam menerima peranan masing-masing Dari sini kelihatan bahwa dampak
fundamental dari pernikahan Kristen yaitu bahwa pernikahan menjadi suatu kemitraan;
pernikahan bukanlah semata untuk kesenangan laki-laki (suami), melainkan keduanya (laki-
laki dan perempuan/suami dan istri, serta seisi rumah).
Menyimak nats Kol. 3:18-25 jika disetarakan dengan surat-surat Paulus yang lainnya,
seperti dalam Efesus 5:22, 1 Timotius 2:11, dan Titus 2:5, akan terlihat bahwa Paulus
konsisten dengan pengajarannya tentang peran laki-laki. Dalam cerita penciptaan disebutkan
Allah menciptakan Laki-Laki dan perempuan secara seimbang (Kej.1 dan 2), namun ketika
manusia jatuh ke dalam dosa, keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan (suami
dan istri) menjadi rusak. Teks “namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan
berkuasa atasmu” (Kej. 3:16) menimbulkan konsekuensi pemahaman bahwa kejatuhan
manusia dalam dosa adalah perempuan (istri) harus dengan sepenuh hati merendahkan diri
kepada laki-laki (suami), dan suami akan menguasai istri. Kondisi ini terus berkembang
sampai saat ini, dan ini terlihat bahwa banyak laki-laki (suami) yang memperlakukan
perempuan (istri) dengan sikap yang tidak baik. Kuasa yang diberikan Allah kepada suami
dipergunakan dengan semena-mena dan tidak bertanggungjawab. Melalui teks Kolose 3,
Rasul Paulus hendak menggarisbawahi warisan pemahaman atas kej. 3:16, bahwa di dalam
Kristus tidaklah demikian. Isteri memang harus tunduk kepada sumai, namun ketertundukkan
seorang istri kepada suami merupakan gambaran sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus
selaku Tuhan, sebab Tuhan telah memberikan kepada suami suatu tanggung jawab sebagai
kepala dan pemimpin dalam keluarga. Dalam hal ini seorang suami yang bijaksana akan
mengenali kekuatan istrinya dan kekurangan dirinya sendiri, dan bersama-sama menerima
tanggungjawab keluarga yang berbeda, yakni mendidik anak, mengurus pekerjaan
rumahtangga, mengelola keuangan, dan banyak hal lainnya. Sikap tunduknya istri kepada
suami, sebagaimana gereja tunduk kepada Kristus, merupakan bagian dari kecintaan kepada
Tuhan dan inilah merupakan salah satu cara istri melayani Tuhan.
Paulus juga memberikan wejangan nasehat kepada suami, yaitu mengasihi istrinya,
sama seperti Kristus mengasihi jemaatNya. Jika dalam Kej. 3:16 Allah mengatakan bahwa
suami akan menguasai istri, pada bagian Kol. 3:19 justru Paulus mempertajam dan
memperjelaskan bahwa menguasai bukanlah mengarah pada sikap memerintah, melainkan
mengasihi; “kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia”. Pada budaya
Helenistik, suami memiliki otoritas dalam pernikahan, sehingga dapat berlaku semena-mena
terhadap istri. Paulus mengingatkan bahwa suami adalah kepala keluarga, dan karena itu
harus menunjukkan adanya otoritas suami terhadap istri dengan cara berbeda. Dalam hal ini
suami diminta untuk menerapkan self-giving love, yang tujuannya hanya untuk kebaikan istri
dan memelihara istri tanpa mengharapkan balasan. Hal ini merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari panggilan kepada suami untuk memberikan dirinya dalam kasih dan melalui
pengorbanan diri. Kalimat “janganlah berlaku kasar” juga terbaca dalam teks Kolose 3, dan
ini menunjukkan bahwa semestinya seorang laki-laki (suami) tidak bersikap kasar dan pahit
terhadap perempuan (istri), atau menunjukkan adanya kebencian yang merefleksikan dosa
secara umum. Alasannya, dalam sikap kasar akan sulit melihat adanya anugerah Tuhan dalam
pernikahan yang dijalani bersama pasangan. Indikasi yang nyata bahwa suami mengasihi
istrinya adalah ia tidak berbuat kasar kepada istrinya. Kata kasar dalam bahasa Yunani adalah
πικραίνεσθε (pikrainesthe) artinya menjadikan pahit, bersikap membenci. Kasar juga dapat
terjemahkan sebagai kekerasan. Baik kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi
(penelantaran). Tidak berbuat kasar dalam hal ini berlaku secara holistik, yakni dalam hati,
pikiran, perkataan, sikap dan dalam perbuatan. Hal ini Paulus tegaskan mengingat hukum dan
budaya pada zaman itu yang tidak menghargai perempuan dan memperlakukan mereka
sesuka hati suami atau laki-laki. Oleh karena itu, Paulus menasihatkan para suami agar
jangan berlaku kasar kepada istri. Karena dengan merendahkan, menghina, memperbudak,
menceraikan dan tidak setia kepada istrinya hal itu sama artinya dengan perbuatan kasar dan
tidak mengasihi istrinya.
Selanjutnya dalam ayat 20-21, Paulus menekankan soal interaksi orangtua dan anak.
Berangkat dari konteks masyarakat Romawi, ada hukum yang disebut “patria potestas”,
hukum tentang kekuasaan ayah. Anak sangat dikuasai orangtuanya khususnya ayah. Ayah
bahkan boleh menjual anaknya sebagai budak, menyuruhnya bekerja sebagai buruh, bahkan
menghukum mati jika anak itu berbuat salah. Karena itu dalam hal hubungan orangtua dan
anak-anak, Paulus mengajarkan hal penting. Kepada anak-anak dinasehatkan untuk
menghormati orangtua dalam segala hal. Karena itu hal yang indah di dalam Tuhan. Dan
sebagai orangtua, meskipun dalam bagian ini dituliskan hanya bapa-bapa, tetapi tidak
mengesampingkan ibu-ibu dalam hubungan dengan anak. Bahwa bapa-bapa,” janganlah
menyakiti hati anak-anakmu”. Karena ada akibat bagi anak jika ayah melakukan perbuatan
kekerasan terhadap anaknya, baik dalam bicara maupun bertindak kepada anak. Hal itu akan
berdampak si anak menjadi tawar hati. Atau dalam terjemahan alkitab bahasa Indonesia
masa kini ditulis dengan kata “putus asa”. Yang dalam NTGV, kata tawar hati berasal dari
kata Yunaninya adalah “Moraine” yang artinya bertindak bodoh atau menjadi bodoh.
Sehingga anak yang disakiti hatinya oleh bapa atau orangtua bisa menjadi orang yang tawar
hati atau orang yang sering putus asa, atau orang yang bodoh dalam berpikir, berbicara,
maupun bertindak. Selanjutnya pula Paulus mengingatkan tentang interaksi pekerjaan antara
hamba dengan tuan. Karena sudah biasa dalam tradisi Romawi dan Yahudi, ada status tuan
dan ada hamba, maka Paulus juga menekankan bagaimana orang percaya juga berlaku dalam
status dan relasi tersebut. Bagi para hamba, Paulus menasehati untuk mematuhi tuan mereka
dalam segala hal. Jangan bersikap munafik, yaitu taat ketika ada di hadapan tuan saja, tetapi
taat dilakukan sebagaimana hamba taat kepada Kristus sang Tuan. Juga kepada tuan
diingatkan agar berlaku adil dan jujur kepada hamba. Karena status mereka didunia, jangan
sampai membuat mereka lupa bahwa mereka juga punya Tuan di Sorga. Jadi pada
hakekatnya, baik tuan maupun hamba, Kristus adalah Tuan yang utama. Diatas semuanya itu,
Paulus tegaskan kalau mau melakukan sesuatu maka lakukan itu seperti untuk Tuhan dan
bukan untuk manusia (ay.23).
Implementasi Menghamba, Peduli, dan Mengasihi dalam rumah tangga Kristen Masa
Kini
Peran dalam keluarga merupakan sistem yang harus berjalan aktif dengan baik, benar
dan tepat. Mengabaikan dan melalaikan salah satu peran pada masing-masing anggota
keluarga, berarti sedang merencanakan kehancuran bagi keluarganya. Tidak berjalannya
salah satu sistem akan mempengaruhi sistem yang lainnya sehingga dapat menimbulkan
masalah serius. Sebagai suami (laki-laki) dalam keluarga harus berperan sebagai kepala
rumah tangga yang mengasihi istrinya di dalam Tuhan, istri harus berperan sebagai penolong
yang tunduk kepada suaminya di dalam Tuhan, anak-anak harus berperan untuk mentaati dan
menghormati orang tuanya di dalam Tuhan. Implementasi peran dari setiap anggota keluarga
sebenarnya tidak terlalu berat jika dilakukan di dalam kasih Tuhan. Dan apabila peran ini
berfungsi dengan baik, maka keutuhan keluarga pun bukan hanya khayalan semata melainkan
menjadi pengalaman yang riil.
Berdasarkan hal tersebut di atas, ada tiga hal penting, sebagaimana yang ditegaskan
dalam tema, yaitu:
1. Menghamba. Dalam sikap menghamba akan terlihat sikap ketundukan dan kasih yang
sejati itu adalah ketundukan dan kasih yang diimplementasikan dalam hati, perkataan,
sikap dan perbuatan. Dominasi dan hegemoni laki-laki sebagai yang berkuasa dan berhak
atas segala sesuatu dalam keluarga merupakan warisan budaya semestinya ditinggalkan
dalam konteks hidup zaman sekarang. Dalam pengorbanan, kematian dan kebangkitan
Kristus dominasi dan hegemoni laki-laki disingkirkan, sebab Kristus sendiri yang adalah
Tuhan atas seisi dunia pun rela menjadi Hamba, bahkan menjadi Hamba yang menderita
demi kehidupan dan keselamatan umat manusia. Sebagaimana yang Paulus ungkapkan
bahwa terang Kristus itu mesti hidup, maka terang Kristus itu harus hidup mulai dari
tengah keluarga. Di sinilah letak panggilan laki-laki gereja untuk memberi diri menjadi
hamba bagi seisi rumah: istri, anak, anak, dan termasuk budak. Meskipun pada
kenyataannya, ketundukan dan kasih sejati semacam yang diungkapkan itu tidak
sepenuhnya diimplementasikan dalam rumah tangga Kristen. Menghamba adalah
cerminan dari pola Kristus dalam menjaga keharmonisan antara manusia dengan Tuhan,
dan manusia dengan sesama manusia. Jika tidak akan ada banyak percekcokan,
pertengkaran, keributan bahkan sampai kepada keretakan dan perceraian dalam rumah
tangga karena ketundukan dan kasih itu tidak konsisten dengan apa yang di dalam hati
dan dengan realitas dalam kata, sikap dan perbuatan.
2. Peduli. Belajar dari permasalahan yang sementara terjadi di tengah-tengah masyarakat,
dan memahami teks bacaan di atas maka sebenarnya kepedulian sorang suami (laki-laki)
itu tidak semata berwujud dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga semata.
Wujud kepedulian yang amat berharga adalah peduli dalam pemenuhan hak dan
kewajiban dalam keluarga, yaitu keluarga berhak diperlakukan secara adil dengan tidak
melakukan tindakan kekerasan dan kekasaran. Banyak masalah yang terjadi karena
kekerasan dan kekasaran, dan Paulus dalam teks Kolose 3 menggarisbawahi hal tersebut
sebagai tindakan menyakiti hati istri, anak-anak, dan sisi rumah (termasuk
Budak/pembantu rumah tangga).
3. Mengasihi. Tunduk dan mengasihi bagi keutuhan rumah tangga, meliputi seluruh aspek
dalam rumah tangga. Bahkan dapat dikatakan sebagai dasar dari keutuhan rumah tangga.
Tunduk dan mengasihi sangat berpengaruh terhadap:
a. Pertama, hubungan suami dan istri, yaitu terciptanya hubungan yang harmonis,
mesra, intim, bahagia, sukacita, damai, dan sejahtera.
b. Kedua, terhadap anak-anak, yaitu anak-anak akrab dengan orang tuanya, mendapat
kasih dan perhatian penuh, takut akan Tuhan, berperilaku baik, berprestasi, dan
sebagainya.
c. Ketiga, terhadap spiritual, yaitu semakin takut akan Tuhan, bertumbuh dalam kasih,
iman, pengharapan dan berkat-berkat Tuhan.
d. Keempat, terhadap ekonomi, yaitu usaha dan pekerjaan diberkati oleh Tuhan.
e. Dan kelima, terhadap lingkungan sosial, yaitu mereka menjadi kesaksian bagi
banyak orang dan nama Tuhan dipermuliakan melalui keluarga-keluarga Kristen
yang utuh di hadapan Tuhan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tunduk dan mengasihi itu berdampak
bagi seluruh aspek dalam keluarga. Bahkan bisa dikatakan tunduk dan kasih itu merupakan
landasan bagi keutuhan rumah tangga itu sendiri. Tokoh Reformasi Gereja, Marthen Luther
mengatakan: “our life with those closest to us ini family circle is subjested to strains and
stress which we can easily brush off in less personal relationships in the outside world. How
we act in the intimacy of the home andmarriage circle is a true indication of the qualiy of our
love as Christians”(Pao,2012). Pernyataan ini memiliki makna bahwa hubungan hidup kita
dengan orang-orang yang dekat di dalam lingkungan keluarga lebih mudah menimbulkan
ketegangan dan stress dibandingkan dengan dunia luar. Bagaimana kita bersikap dalam
keintiman dengan lingkungan keluarga dan pernikahan adalah indikasi yang sebenarnya
mengenai kualitas kasih kita sebagai seorang pengikut Kristus. Karena itu, sukacita dan
harmoni dalam pernikahan adalah buah dari sebuah komitmen antara satu dengan lainnya
kepada Tuhan, keluarga, dan sesama.

Kesimpulan

Sebagai keluarga kristen penting kita menjaga relasi baik antara suami dengan isteri
maupun atara orangtua dengan anak juga sesama. Hubungan dalam sebuah keluarga kristen
harus bercermin dari hubungan dalam Kristus, yakni hubungan Kristus dengan jemaat, dan
relasi Kristus dengan Bapa. Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa, demikian isteri taat
kepada suami. Sebagaimana Kristus mengasihi jemaat, demikian suami mengasihi isteri.
Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa, demikian anak taat kepada orangtua. Dan
sebagaimana Bapa mengasihi Kristus, demikian orangtua mengasihi anak. Sebagai laki-laki
GPM kita diingatkan pada momentum HUT ke 35 ini, jika kita sudah menyerahkan hidup
kita kepada Kristus, maka kita pun harus memperlakukan keluarga kita sebagaimana Kristus
sudah memperlakukan kita. Sebagaimana Kristus sudah mengasihi kita, peduli dan
mengampuni kita, berkorban bagi kita, yang semua disimpulkan dalam satu kata yakni kasih,
demikianlah kita berlaku dalam keluarga. Jadi yang menjadikan keluarga kita berbahagia
bukan sekedar karena kemapanan ekonomi, bergelimang harta, dan punya jabatan atau karier
yang maju, sebab tanpa kasih Kristus, keluarga hanya akan mengalami kekosongan, tanpa
kedamaian. Tetapi jika kasih Kristus teralami dalam keluarga, maka disanalah juga akan
teralami kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Selamat menjadi laki-laki GPM yang
menghamba, peduli dan mengasihi keluarga. Dirgahayu Laki-Laki GPM ke 35, Tuhan Yesus
memberkati.

Lembaga Pembinaan Jemaat GPM

Anda mungkin juga menyukai