CONTOH
CONTOH
CONTOH
Abstract
Semakin cepatnya perkembangan zaman membuat persaingan di dunia kerja semakin kompetitif. Fenomena seperti
ini memberikan dampak negatif kepada pekerja seperti merasa terancam, tidak aman akan pekerjaannya, dan
kelelahan berlebih untuk mempertahankan posisi yang dimiliki. Studi ini memiliki maksud untuk meneliti efek job
insecurity dan burnout terhadap employee performance dan work engagement sebagai variabel mediasi di
Mistubishi Pontianak. Penelitian ini diteliti dengan metode kuantitatif yang melibatkan sebanyak 233 responden
yang sudah sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Selain itu, untuk mengolah data, peneliti menggunakan
Structural Equation Modeling (SEM) dengan memanfaatkan perangkat lunak AMOS 24. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa job insecurity dan burnout nemiliki relasi signifikan yang negatif terhadap employee
performance. Di sisi lain, work engagement memiliki hubungan signifikan dan positif akan employee performance.
Hasil yang terakhir menunjukkan bahwa work engagement mencerminkan peran mediasi yang signifikan antara job
insecurity terhadap employee performance dan juga burnout terhadap employee performance.
Keywords: Job Insecurity; Burnout; Work Engagement; Employee Performance; Mitsubishi.
1. Introduction
Era globalisasi membuat sektor teknologi dan pendidikan mengalami kemajuan yang pada akhirnya membuat
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) semakin meningkat dan pasar kerja menjadi kompetitif. Persaingan di
dunia kerja beberapa dekade terakhir terlihat jelas peningkatannya di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan tercatat
adanya peningkatan angka angkatan kerja dari tahun sebelumnya yang sejumlah 140,15 juta orang menjadi 144,01
juta di tahun 2022 (Kusnandar, 2022; Kominfo, 2021). Persaingan yang ketat dan kompetitif tidak hanya dirasakan
oleh karyawan, tetapi juga oleh jobseeker. Hal ini memicu karyawan memiliki perasaan cemas dan tidak aman
akan pekerjaan yang dimiliki atau yang sering disebut sebagai job insecurity.
Job insecurity masih menjadi perbincangan hangat selama dua decade terakhir karena efek negatif yang dibawa
cukup signifikan terhadap karyawan dan perusahaan (Bouzari and Karatepe, 2018). Hingga pada saat ini, job
insecurity digolongkan menjadi salah satu pemicu stress terbesar bagi karyawan (De Witte et al., 2016; Shoss,
2017). Karyawan yang mengalami job insecurity cenderung merasa tidak pasti akan masa depannya karena
karyawan tersebut tidak yakin dengan status pekerjaan yang dimiliki saat itu dapat dipertahankan atau tidak.
Perasaan seperti ini membuat karyawan merasa kesulitan untuk menentukan langkah apa yang harus diambil
dalam mempersiapkan masa depannya (Tomas et al., 2018).
Selain merasakan ketidakpastian akan pekerjaannya, karyawan di masa persaingan yang kompetitif ini rentan
untuk merasakan burnout yang dimana energi atau motivasi karyawan untuk menyelesaikan pekerjaannya menjadi
berkurang (Wu et al., 2019). Burnout tidak hanya berdampak pada kelelahan fisik, tetapi juga kelelahan secara
emosional. Tekanan yang berat dan tuntutan pekerjaan membuat pekerja menjadi terbebani sehingga burnout
muncul dalam diri karyawan secara perlahan. Karyawan yang mengalami burnout ditandai dengan perasaan capai
yang berlebihan, mudah marah dan curiga akan sekitar (Turpo et al., 2022). Seiring berjalannya waktu, burnout
Page 1 of
15
Journal: ……………………
Volume: 01 Issue: 01 | Nov-2014, Available at http://www.scitecresearch.com
dipercaya dapat menurunkan kapasitas karyawan untuk memberikan kontribusi yang berdampak terhadap
perusahaan (Wu et al., 2019).
Salah satu faktor terpenting untuk menjaga eksistensi perusahaan adalah kinerja karyawan. Segala pendekatan
yang dilakukan oleh perusahaan akan cenderung terfokus kepada kinerja karyawan. Job insecurity akan
mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja karena ketidakpastian akan masa depan pekerjaan yang dimiliki
saat ini membuat emosional karyawan terganggu (Karatepe et al., 2020) yang pada akhirnya akan memberikan
dampak negatif terhadap kinerja karyawan perusahaan (Tan et al., 2020). Hasil dari studi lain juga menyebutkan
dengan menurunnya subjective well-being dalam diri karyawan akibat dari job insecurity menyebabkan kinerja
karyawan menjadi menurun (Darvishmotevali & Ali, 2020). Tidak hanya dipengaruhi oleh job insecurity, kinerja
karyawan juga memiliki hubungan erat yang negatif dengan burnout (Lemonaki et al., 2021). Efek yang
ditimbulkan oleh burnout membuat karyawan kurang mampu untuk memenuhi ekspektasi yang sudah ditetapkan
oleh perusahaan sehingga membuat kinerja dari karyawan tersebut menurun (Lemonaki et al., 2021). Burnout dan
kinerja karyawan memiliki hubungan signifikan yang negatif (Wu et al., 2019) karena burnout mengubah
pandangan karyawan akan pekerjaannya ke arah yang tidak baik (Wu et al., 2019).
Untuk menjaga dan mempertahankan tren positif dari kinerja karyawan di perusahaan, diperlukan keterikatan
karyawan dalam aktivitas-aktivitas yang membangun semangat kerja. Keterikatan kerja juga berperan besar untuk
mencegah karyawan mengalami job insecurity mengingat banyak sekali ancaman yang ditimbulkan oleh job
insecurity yang dimana dapat menurunkan produktifitas dan kinerja karyawan. Penanganan yang maksimal bisa
dicapai dengan memahami pentingnya keterikatan kerja secara penuh dan menerapkannya dalam aktivitas kerja di
perusahaan untuk mempertahankan kinerja karyawan (Shin & Hur, 2020). Pekerja yang memiliki tingkat
keterikatan yang tinggi akan cenderung memiliki anggapan bahwa pekerjaan yang dimiliki bukanlah suatu beban
yang bisa memicu kejenuhan dan stress. Oleh karena itu, kinerja dari karyawan tersebut akan tetap terjaga dan
bahkan meningkat (Turpo et al., 2022). Burnout akan berpotensi lebih besar dirasakan oleh karyawan yang
memiliki tingkat keterikatan yang rendah dan ini menjadi tantangan tersendiri baik bagi karyawan dan juga
perusahaan untuk menentukan cara terbaik dalam menangani permasalahan ini (Santhanam & Srinivas, 2019).
Fenomena persaingan di dunia kerja yang semakin kompetitif setiap tahunnya menyebabkan pekerja tertekan dan
kelelahan yang tidak hanya mengganggu kesehatan fisik, tapi juga secara mental perlu diteliti secara lebih
mandalam. Penelitian ini akan menjelaskan sejauh mana dampak job insecurity dan burnout terhadap employee
performance. Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan peran work engagement sebagai variable mediasi sehingga
diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih luas.
2. Literature Review
2.1 Job Insecurity
Job insecurity merupakan suatu keadaan dimana karyawan merasa tidak berdaya dan terancam dengan
keberlangsungan pekerjaan yang dimiliki karena merasa tidak yakin dengan kemana arah yang akan mereka tuju
jika mempertahankan pekerjaan tersebut (Qian et al., 2018). Ketidakamanan dan ketidakpastian yang dirasakan
akan membuat pekerja mempertimbangkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mempertahankan pekerjaan
tersebut (Chirumbolo et al., 2020). Banyak ditemukan bahwa pekerja yang merasa tidak aman akan pekerjaannya
berhadapan dengan keadaan dimana sikap dan perlilaku mereka berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan baik
dari diri pekerja tersebut maupun juga dari sisi perusahan (Karatepe et al., 2020). Tidak hanya mempengaruhi sikap
dan perilaku, tetapi ketidakamanan kerja yang dirasakan pekerja juga akan menurunkan tingkat dari tiga aspek yang
sangat berperan penting dalam bekerja, yaitu kepuasaan kerja, keterikatan kerja, dan kepercayaan akan perusahaan
(Richter & Naswall, 2019).
Jika dilihat lebih jauh, efek yang ditimbulkan oleh job insecurity dapat mengikis kepercayaan diri dan kesehatan
psikologis pekerja yang mengakibatkan kesejahteraan pekerja tidak dapat dipenuhi secara maksimal (Bakker and
Demerouti, 2018). Secara umum, job insecurity terdiri dari dua aspek, yaitu quantitative job insecurity dan
qualitative job insecurity. Segala sesuatu yang berhubungan dengan konsekuensi yang ditimbulkan saat kehilangan
pekerjaan dan nilai-nilai berharga lainnya digolongkan ke dalam quantitative job insecurity. Namun, qualitative job
insecurity berhubungan dengan kekhawatiran akan keberlanjutan pekerjaan yang dimiliki saat itu (Lee et al., 2018).
2.2 Burnout
Setelah resmi diakui oleh World Health Organization (2019), burnout semakin menyita perhatian khalayak ramai.
Burnout dikategorikan sebagai suatu sindrom psikologis yang dimana pekerja mengalami kelelahan emosional
dengan level di atas batas wajar yang mengarah pekerja merasakan perasaan yang negatif di tempat kerja
(Lemonaki
Page 2 of
15
Journal: ……………………
Volume: 01 Issue: 01 | Nov-2014, Available at http://www.scitecresearch.com
et al., 2021; Wu et al., 2019). Pekerja yang mengalami kelelahan emosional akan sulit untuk memenuhi tuntutan
pekerjaan yang ada dan jika berkepanjangan dapat memicu depresi (Livne & Goussinsky, 2017; Nasharudin et al.,
2020). Penyebab dari burnout sendiri cukup beragam, tapi yang paling umum adalah disebabkan oleh stress akibat
kelebihan bekerja. Hal seperti ini dapat memicu pekerja menjadi individu yang pesimis akan kecakapan yang
dimilikinya (Santhanam & Srinivas, 2019).
Sindrom burnout bukanlah suatu istilah asing lagi bagi banyak orang dan telah menjadi salah satu fenomena yang
sering diteliti sejak lama (Adams & Mastracci, 2019 ). Salah satu sisi negatif dari sindrom ini adalah kebanyakan
pekerja yang mengalaminya cenderung menutup diri akan apa yang sebenarnya dirasakan dan mengakibatkan
orang di sekitar tidak sadar dan tidak bisa memberkan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut (Riethof &
Bob, 2019). Resiko yang dihadapi oleh pekerja yang mengalami burnout adalah menurunnya tingkat kepuasan
kerja yang juga akan menurunkan kualitas hidup dari pekerja tersebut (Finkelstein et al., 2018).
Terdapat tiga dimensi yang perlu diperhatikan guna untuk membangun work engagement di dalam perusahaan,
yaitu vigor, absorption, dan dedication (Decuypere & Schaufeli, 2019). Vigor merujuk kepada energi positif
karyawan dengan kemauan yang tinggi untuk belajar hal baru, mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi,
dan selalu memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya (Zabielske et al., 2018). Sedangkan, absorption ditandai
dengan karyawan memberikan konsentrasi penuhnya dalam bekerja dan merasa senang dengan pekerjaan yang
dimiliki (Decuypere & Schaufeli, 2019; Alessandri et al., 2017). Karyawan dengan tingkat dedikasi yang tinggi
akan melakukan pekerjaannya dengan sikap bangga dan antusiasme yang tinggi. Mereka juga menganggap
pekerjaannya bukan sebagai beban, tetapi tantangan (Grobelna, 2018).
Kinerja dari seorang karyawan tidak bisa dinilai hanya dari sebatas kepribadian dan karakteristik seseorang,
melainkan juga harus mempertimbangkan hal lainnya seperti jenis atau tipe pekerjaan dan lingkungan kerja.
Sejauh mana kemampuan, keahlian, dan pengetahuan seorang karyawan dalam mengerjakan tugasnya menjadi
sangat penting dalam proses penilaian kinerja (Fogaça et al., 2018). Banyak hasil positif yang bisa dirasakan jika
ada peningkatan yang signifikan dari kinerja karyawan. Karyawan dengan kinerja yang baik akan fokus dan
berusaha untuk meraih objektif perusahaan. Selain itu, tingkat keterlibatan kerja juga akan meningkat yang akan
mengarah pada hal yang baik, yaitu berupa meningkatnya kepercayaan diri karyawan tersebut (Davidescu et al.,
2020).
3. Hypothesis Development
3.1 Job Insecurity and Employee Performance
Menjadi suatu fenomena yang menarik banyak orang, job insecurity masih terus dibahas dan diteliti hingga saat
ini. Job insecurity mengarah kepada kekhawatiran akan masa depan seorang karyawan akan pekerjaannya (Vuuren
et al., 2019). Tingginya tuntutan pekerjaan di dunia kerja yang tergolong semakin kompetitif tiap tahunnya
membuat psikologis karyawan terganggu. Hal ini menyebabkan adanya penurunan energi yang akan mengganggu
kesehatan mental karyawan (Darvishmotevali & Ali, 2020).
Page 3 of
15
Journal: ……………………
Volume: 01 Issue: 01 | Nov-2014, Available at http://www.scitecresearch.com
Dikenal sejak lama sebagai salah satu job stressor, job insecurity membawa banyak dampak negatif kepada sikap
kerja dan perilaku karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Pada akhirnya, stabilitas dari kinerja karyawan akan
terganggu dan mengalami penurunan secara berkala. (Vo-Thanh et al., 2020; Qian et al., 2018). Hasil riset
menggambarkan bahwa job insecurity membawa pengaruh buruk terhadap kinerja karyawan. Job insecurity
digambarkan sebagai suatu hal yang membawa perubahan yang tidak diinginkan dalam pekerjaan (Selenko et al.,
2017; Vuuren et al., 2019). Oleh sebab itu, penulis berhipotesis:
Di sisi lain, kinerja karyawan merujuk kepada suatu proses dimana pekerja melakukan pekerjaannya dengan
terstruktur yang dimana tujuan akhirnya adalah berpartisipasi dalam mencapai tujuan organisasi. Jika seorang
karyawam mengalami burnout, maka akan sulit bagi karyawan tersebut untuk meraih standard kinerja yang ada
(Lemonaki et al., 2021). Burnout menjadi persoalan yang serius karena karyawan akan kehilangan motivasi untuk
menyelesaikan pekerjaannya yang akan berdampak buruk kepada kinerja kerja (Jackson & Frame, 2018).
Pernyataan ini didukung dengan hasil studi yang menyatakan bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan
antara burnout dan kinerja karyawan (Dall’Ora et al, 2020; Giorgi et al., 2017). Guna untuk membuktikan adanya
pengaruh negatif dari burnout terhadap kinerja karyawan, maka hipotesis yang dibangun adalah:
Job insecurity memiliki hubungan negatif yang kuat dengan work engagement sehingga karyawan tidak dapat
menciptakan lingkungan kerja yang positif, efektif, dan kreatif (Jung et al., 2020). Begitu juga dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pap et al. (2020), dampak yang timbulkan job insecurity membuat karyawan
menjauhkan dirinya dari aspek pekerjaan yang menyebabkan menurunnya tingkat work engagement. Demikian
pula, Karatepe et al. (2020) juga menyebutkan bahwa job insecurity akan menghambat peningkatan work
engagement dalam diri karyawan. Dengan semua bukti penelitian yang disebutkan, peneliti mengajukan hipotesis
berikut:
Burnout yang dialami karyawan dalam jangka panjang akan menurunkan tingkat work engagement karena
karyawan tersebut seringkali mengalami stress dan depresi sehingga tidak bisa melibatkan dirinya secara
Page 4 of
15
Journal: ……………………
Volume: 01 Issue: 01 | Nov-2014, Available at http://www.scitecresearch.com
maksimal saat
Page 5 of
15
Journal: ……………………
Volume: 01 Issue: 01 | Nov-2014, Available at http://www.scitecresearch.com
bekerja (Rožman et al., 2018). Sejalan dengan bukti penelitian dari Calvo et al., (2017), karyawan dengan tingkat
burnout yang rendah akan memiliki probabilitas untuk mencapai work engagement yang lebih tinggi. Hal ini
dikarenakan oleh pengaruh komitmen yang signifikan dan kepuasaan dalam diri karyawan tersebut akan
pekerjaannya. Maka dari itu, peneliti berhipotesis:
Grobelna (2018), menyebutkan bahwa work engagement berperan sebagai pemacu untuk meningkatkan kinerja
karyawan yang dipengaruhi oleh tingkat antusias dan semangat kerja yang tinggi. Dijelaskan lebih lanjut dalam
penelitian yang dilakukan oleh Kartal (2018), work engagement memiliki hubungan yang positif dengan kinerja
karyawan. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan yang kuat dengan pekerjaan dan tidak ada keinginan untuk
melalaikan pekerjaan yang dimiliki saat itu. Berdasarkan bukti studi dari penelitian sebelumnya, maka peneliti
berhipotesis sebagai berikut:
Di sisi lain, burnout juga berperan besar dalam terganggunya mental seorang karyawan yang diakibatkan oleh
kelelahan yang berkepanjangan (Dai et al., 2020). Dampak negatif dari burnout dapat dikurangi jika seorang
karyawan memiliki tingkat work engagement yang tinggi. Karyawan yang terikat dan merasa terhubung dengan
pekerjaannya pada akhirnya akan menunjukkan peningkatan dalam kinerja kerja (Turpo et al., 2022). Untuk
meneliti lebih lanjut peran work engagement sebagai variabel mediasi, maka peneliti berhipotesis:
H6: Work engagament memediasi hubungan antara job insecurity dan employee performance
H7: Work engagament memediasi hubungan antara burnout dan employee performance
Page 6 of
15