(Rev) LP HIPOGLIKEMIA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN HIPOGLIKEMIA

DI RUANG IGD RSUD BLAMBANGAN


TAHUN 2023

Disusun Oleh :

Herma Yanti - 202304015

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

TAHUN 2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Laporan Pendahuluan Keperawatan Gawat Darurat dengan kasus Hipoglikemia ini telah
disetujui dan disahkan pada

Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

Herma Yanti

NIM : 202304015

Menyetujui,

Pembimbing Institusi/Dosen Pembimbing Lahan/CI

( ) ( )
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN

DENGAN HIPOGLIKEMIA DI RUANG IGD RSUD BLAMBANGAN

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada pasien dengan Hipoglikemia ini telah disetujui
dan disahkan pada

Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

Herma Yanti
NIM : 202304015

Menyetujui,

Pembimbing Institusi/Dosen Pembimbing Lahan

( )
(____________________)
LEMBAR KONSULTASI LAPORAN PENDAHULUAN

No Hari/ Pembimbing Perbaikan/masukan TTD


tanggal
A. Anatomi Fisiologi
1. Definisi
Hipoglikemia (shock insulin) adalah suatu sindrome yang komplek berawal
dari suatu gangguan metabolisme glukosa, dimana konsentrasi serum glukosa
menurun sampai tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme sistem saraf.
Hipoglikemia merupakan keadaan dimana kadar gula darah rendah secara abnormal,
terjadi jika gula darah turun dibawah 50-60mg/dl (2,7 sampai 3,3 mmol/L)
(Smelltzer & Bare, 2019).
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling sering muncul pada
penderita diabetes mellitus. Hipoglikemia adalah menurunnya kadar glukosa darah
yang menyebabkan kebutuhan metabolik yang diperlukan oleh sistem saraf tidak
cukup sehingga timbul berbagai keluhan dan gejala klinik (Admin, 2018).
Hipoglikemia berdampak serius pada morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup. The
diabetes Control and Complication Trial (DCCT) melaporkan diperkirakan 2-4%
kematian orang dengan diabetes tipe 1 berkaitan dengan hipoglikemia. Hipoglikemia
juga umum terjadi pada penderita diabetes tipe 2, dengan tingkat prevalensi 70-80%
(Setyohadi, 2018). Hipoglikemia merupakan penyakit kegawatdaruratan yang
membutuhkan pertolongan segera, karena hipoglikemia yang berlangsung lama bisa
menyebabkan kerusakan otak yang permanen, hipoglikemia juga dapat
menyebabkan koma sampai dengan kematian (Kedia, 2019).
2. Klasifikasi
a. Hipoglikemia ringan (glukosa darah 50-60 mg/dL)
Terjadi jika kadar glukosa darah menurun, system saraf simpatik akan
terangsang. Pelimpahan adrenalin ke darah menyebabkan gejala seperti tremor,
takikardi, palpitasi, kegelisahan, dan rasa lapar.
b. Hipoglikemia sedang (glukosa daarh < 50 mg/dL)
Penurunan kadar glukosa dapat menyebabkan sel-sel otak tidak
memperoleh bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan
fungsi pada system saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit
kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, bicara pelo, Gerakan tidak
terkoordinasi, penglihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan.
c. Hipoglikemia berat (glukosa darah < 35 mg/dL)
Terjadi gangguan pada system saraf pusat sehingga pasien memerlukan
pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemianya. Gejalanya mencakup
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan bahkan kehilangan kesadaran.
3. Etiologi
Penderita diabetes usia lanjut memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
mengalami hipoglikemia daripadaa penderita diabetes usia lanjut yang sehat dan
memiliki fungsi yang baik.
Dosis insulin atau obat penurun gula darah yang terlalu tinggi, konsumsi
glukosa yang berkurang, produksi glukosa endogen berkurang misalnya setelah
konsumsi alkohol, peningkatan penggunaan glukosa oleh tubuh misalnya setelah
berolahraga, peningkatan sensitivitas terhadap insulin, penurunan ekskresi insulin
misalnya pada gagal ginjal.
Hipoglikemi merupakan interaksi antara kelebihan (ekses) insulin dan
terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa. Kejadian ekses insulin saja belum
tentu menyebabkan terjadinya hipoglikemia.
Pasien yang sering mengalami hipoglikemi akan mentoleransi kadar gula
darah yang rendah dan mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang
lebih rendah daripada orang normal
Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan
sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat-
obat tersebut antara lain dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-1,
golongan glinide, golongan sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride.
Salisilat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sekresi insulin
yang distimulasi glukosa (glucose-stimulated insulin secretion) pada orang normal
dan pasien diabetes
Terapi insulin dapat menyebabkan hipoglikemia karena apabila kadar gula
darah turun melampaui batas normal, tidak terjadi fisiologi penurunan kadar insulin
dan pelepasan glukagon, dan juga refleks simpato adrenal.
Aktivitas fisik atau olahraga berperan dalam pencegahan dan penanganan
diabetes. Olahraga dapat memicu penurunan berat badan, meningkatkan sensitivitas
insulin pada jaringan hepar dan perifer, meningkatkan pemakaian glukosa, dan
kesehatan sistem kardiovaskuler. 9. Keterlambatan Asupan Glukosa
Berkurangnya asupan karbohidrat atau glukosa pada pasien hiperglikemia karena
terlambat makan atau menjalani puasa dengan tidak mengurangi dosis obat-obatan
antidiabetes, dapat terjadi hipoglikemia karena berkurangnya asupan glukosa dari
saluran cerna.
Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh
penurunan glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih atau berkurangnya asupan
kalori.
4. Manifestasi Klinis
Terjadi adrenergic (pucat, keringat dingin, takikardi, gemetar, lapar, cemas,
gelisah, sakit kepala, mengantuk) dan neuroglikopenia (bingung, bicara tidak jelas,
perubahan sikap perilaku, lemah, disorientasi, penurunan kesadaran, kejang,
penurunan terhadap stimulus bahaya).
5. Patofisiologi
Ketergantungan otak menit demi menit pada suplai glukosa melalui
sirkulasi diakibatkan oleh ketidakmampuan otak untuk membakar asam lemak bebas
rantai panjang, kekurangan kadar cadangan glukosa sebagai glikogen di dalam otak
orang dewasa, dan ketidaktersediaan keton. Otak mengenali defisiensi energi
tersebut ketika kadar glukosa serum turun secara tiba-tiba sampai kadar sekitar
45mg/dl.
Gejala ditimbulkan dari respon sistem saraf simpatik terhadap hipoglikemia
atau dari respon neurogliopenik. Hipotalamus bereaksi terhadap kadar glukosa yang
rendah untuk meningkatkan respons adrenergik, yang mencakup takikardia,
palpitasi, tremor, dan kecemasan. Tujuannya adalah mengaktifkan hormon pengatur
keseimbangan (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan) untuk
meningkatkan kadar glukosa darah dan melindungi organ-organ vital dari
hipoglikemia. Hal ini dicapai dengan glikogenolisis dan glukoneogenesis.
(Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2018).
6. Pathway

Diabetes Melitus

Hiperglikemia Hipoglikemia

Gula darah menurun


< 60 mg/dL

Respon otak Glikogenelisis

Korteks serebri Glukosa dalam Defisit glikogen


kurang suplai energi darah menurun pada hepar

Gemetar, tidak sadar Penurunan kesadaran


Ketidakstabilan
kadar glukosa darah

Gangguan perfusi Penumpukan secret


serebreal pada kalan napas Mual, Muntah

Risiko gangguan Bersihan jalan


Defisit Nutrisi
sirkulasi spontan napas tidak efektif
7. Komplikasi
Komplikasi dari hipoglikemia pada gangguan tingkat kesadaran yang
berubah selalu dapat menyebabkan gangguan pernafasan, juga dapat mengakibatkan
kerusakan otak akut. Hipoglikemia berkepanjangan parah bahkan dapat
menyebabkan gangguan neuropsikologis sedang sampai dengan gangguan
neuropsikologis berat karena efek hipoglikemia berkaitan dengan sistem saraf pusat
yang biasanya ditandai oleh perilaku dan pola bicara yang abnormal (Jevon, 2018)
dan menurut Kedia (2019) hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan
kerusakan otak yang permanen, koma sampai kematian.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Gula darah puasa
Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa sebelum diberi glukoas 75
jam oral dan nilai normalnya antara 70-110 mg/dL.
b. Hemoglobin glikosilasi
Memberikan indeks rata-rata pengendalian glukosa darah selama 2-3 bulan
sebelumnya, target 7% atau kurang.
c. Glukosa darah 2 jam post prandial (normal < 140 mg/dL/2 jam), kreatinin
d. Skrining lipid, target kadar kolesterol total < 5.2 mmol/L dan trigiserida puasa <
2.0 mmol/L
e. Urin untuk mencari albumin dan microalbumin, serta leukositosis.
9. Penatalaksanaan
Menurut Kedia (2019), pengobatan hipoglikemia tergantung pada
keparahan dari hipoglikemia. Hipoglikemia ringan mudah diobati dengan asupan
karbohidrat seperti minuman yang mengandung glukosa, tablet glukosa, atau
mengkonsumsi makanan rigan. Dalam Setyohadi (2019), pada minuman yang
mengandung glukosa, dapat diberikan larutan glukosa mumi 20-30 gram (11⁄2 - 2
sendok makan). Pada hipoglikemia berat membutuhkan bantuan eksternal, antara
lain (Kedia, 2019):
1. Dekstrosa
Untuk pasien yang tidak mampu menelan glukosa oral karena pingsan, kejang, atau
perubahan status mental, pada keadaan darurat dapat pemberian dekstrosa dalam air
pada konsentrasi 50% adalah dosis biasanya diberikan kepada orang dewasa,
sedangkankonsentrasi 25% biasanya diberikankepada anak-anak.
2. Glukagon
Sebagai hormon kontra-regulasi utama terhadap insulin, glucagon adalah
pengobatan pertama yang dapat dilakukan untuk hipoglikemia berat. Tidak seperti
dekstrosa, yang harus diberikan secara intravena dengan perawatan kesehatan yang
berkualitas profesional, glucagon dapat diberikan oleh subkutan (SC) atau
intramuskular (IM) injeksi oleh orang tua atau pengasuh terlatih. Hal ini dapat
mencegah keterlambatan dalam memulai pengobatan yang dapat dilakukan secara
darurat.
B. Konsep Askep
1. Pengkajian
a. Identitas
Nama, Umur, Suku/Bangsa, agama, pedidikan pekerjaan, alamat, diagnosa
medis. Penangnggungjawab Nama, Umur, Suku/Bangsa, agama, pedidikan
pekerjaan, alamat, Hubungan dengan klien.
b. Keluhan Utama
Alasan pasien dibawa ke RS dan terdapat mekanisme cek darah pada pasien apa
tidak.
c. Pengkajian Primer
1) Airway
- Sumbatan atau penumpukan secret
- Runkhi
- Kepatenan jalan nafas
2) Breathing
Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat, RR lebih dari 24 kali/menit,
irama ireguler cepat, Ronchi, Penggunaan otot bantu nafas.
3) Circulation
hal-hal yang dikaji antara lain Nadi kuat, tidak teratur, Capillary refill,
Takikardi, TD meningkat / menurun, Gelisah, Akral dingin, Kulit pucat.
d. Pengkajian Sekunder
1) Anamnesa
Meliputi gejala, alergi, medikasi, Riway at peny akit sebelumnya, makan
minum terakhir, dan Event (peristiwa penyebab).
2) Exposure
Mengkaji ada tidaknya deformitas, contusion, abrasi, penetrasi, laserasi,
edema, burn, dan keluhan lainnya.
3) Full vital sign
Pengukuran TD, RR, Nadi, Suhu, BB, Skala ny eri, five intervention
(monitor jantung, kateter, NGT, Pulse Oksimetri, dan pengambilan
lanoratorium) dan fasilitas keluarga (family present).
4) Give Comfort
Dalam berbagai kasus, pasien membutuhkan keny amanan agar Tindakan
medis dapat dilakukan dengan tepat. Bentuk keny amanan tersebut baik
dalam kategori farmakologi maupun non farmakologi.
e. Head to Toe Assesment (Pemeriksaan fisik)
1) Kepala dan wajah
Memeriksa keadaan fisik pasien di area kepala dan wajah dengan mengkaji
ada tidaknya massa, hematoma, laserasi, nyeri tekan, edema, rhinorea,
otorrhea, racoon eyes, konjungtiva, sklera, bartle sign, pendarahan, JVD,
dan kondisi trakea.
2) Dada
Memeriksa keadaan fisik pasien di area dada dengan mengkaji bentuk dada,
ada tidakny a jejas, massa, laserasi, ny eri tekan, penetrasi, krepitasi,
kontusio, suara jantung.
3) Abdomen
Memeriksa keadaan fisik pasien di area abdomen dengan mengkaji ada
tidaknya jejas, asites, distended, kontusio, ny eri tekan, massa, suprapubic,
perkusi, bising usus.
4) Pelvis
Memeriksa keadaan fisik pasien di area pelvis dengan mengkaji ada
tidaknya deformitas, contusio, abraasi, penetrasi, burn, tenderness, laserasi,
swelling.
5) Ekstremitas atas / bawah
Memeriksa keadaan fisik pasien di area ekstremitas atas / bawah dengan
mengkaji ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, burn,
tenderness, laserasi, swelling.
6) Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis mengkaji poin-poin seperti reflek patologis, reflek
fisiologis, dan keadaan seluruh Nervus Kranialis (N1 hingga N12).
7) Inspect Posterior surface
Pemeriksaan pada posterior surface dengan mengkaji ada tidakny a
deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, burn, tenderness, laserasim swelling.
8) Pemeriksaan diagnostic
Kajian yang dilakukan pada pemeriksaan diagnostik adalah rontgen, ct-
scan, USG, EKG, pemeriksaan lab, dan pemeriksaan lain.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
ditandai dengan bunyi ronkhi.
b. Risiko gangguan sirkulasi spontan berhubungan dengan hipoglikemia.
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan untuk makan)
ditandai dengan nafsu makan menurun.
d. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan hipoglikemia ditandai
dengan kesadaran menurun.
e. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan efek tindakan (post
hemodialisa).
3. Intervensi Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
ditandai dengan bunyi ronkhi
Setelah dilakukan tindakan 1x 2 jam diharapkan bersihan jalan napas membaik
dengan kriteria hasil:
 Produksi sputum menurun
 Mengi menurun
Intervensi:
1) Monitor pola napas, monitor bunyi napas tambahan.
2) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma).
3) Pertahankan kepatenan jalan napas.
4) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik.
5) Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
6) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
b. Risiko gangguan sirkulasi spontan berhubungan dengan hipoglikemia.
Setelah dilakukan tindakan 1x 2 jam diharapkan sirkulasi spontan meningkat
dengan kriteria hasil:
 Tingkat kesadaran meningkat
 Frekuensi nadi menurun
 Tekanan darah menurun
 Frekuensi napas menurun
Intervensi:
1) Monitor tekanan darah
2) Monitor nadi
3) Monitor pernapasan
4) Monitor suhu tubuh
5) Monitor oksimetri nadi
6) Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
7) Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
c. Defisit nutrisi berhubungan faktor psikologis (keengganan untuk makan)
ditandai dengan nafsu makan menurun.
Setelah dilakukan tindakan 1x 2 jam diharapkan status nutrisi membaik dengan
kriteria hasil:
 Porsi makan yang dihabiskan meningkat
 Nafsu makan membaik
 Pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat meningkat
Intervensi:
1) Identifikasi status nutrisi
2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
4) Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
5) Anjurkan posisi duduk, jika perlu
6) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan, jika perlu
d. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan hipoglikemia ditandai
dengan kesadaran menurun.
Setelah dilakukan tindakan 1x 2 jam diharapkan kestabilan kadar glukosa darah
meningkat dengan kriteria hasil:
 Kesadaran meningkat
 Lelah / lesu menurun
 Pusing menurun
 Kadar glukosa dalam darah meningkat
Intervensi:
1) Identifikasi tanda dan gejala hipoglikemia
2) Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia
3) Berikan glucagon, jika perlu
4) Pertahankan kepatenan jalan nafas
5) Pertahankan akses IV, jika perlu
6) Anjurkan monitor kadar glukosa darah
7) Kolaborasi pemberian dextron, jika perlu
8) Kolaborasi pemberian glucagon, jika perlu.
e. Risiko perfusi serebral tidak efektif berkaitan dengan tindakan (post
hemodialisa).
Setelah dilakukan tidakan 1 x 2 jam diharapkan perfusi serebral meningkat
kriteria hasil :
 Kesadaran meningkat
Intervensi :
1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2) Monitor penurunan frekuensi jantung
3) Monitor penurunan tingkat kesadaran
4) Monitor tekanan perfusi serebral
5) Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
6) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
4. Implementasi
a. Implementasi dari bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
hipersekresi jalan napas ditandai dengan bunyi ronkhi yakni dengan
mempertahankan kepatenan jalan napas, melakukan penghisapan lender kurang
dari 15 detik, dan anjurkan asupan cairan 2000ml/hari.
b. Implementasi dari diagnosa risiko gangguan sirkulasi spontan berhubungan
dengan hipoglikemia yakni dengan memonitor tekanan darah, nadi, pernapasan,
suhu tubuh, dan identifikasi penyebab perubahan tanda vital.
c. Implementasi dari diagnosa defisit nutrisi berhubungan faktor psikologis
(keengganan untuk makan) ditandai dengan nafsu makan menurun yakni dengan
mengidentifikasi status nutrisi, memonitor asupan makanan, memberikan
makanan tinggi serat, kalori, dan protein, serta kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan.
d. Implementasi dari diagnose ketidakstablian kadar glukosa darah berhubungan
dengan hipoglikemia adalah mempertahankan kepatenan jalan nafas, identifikasi
tanda dan gejala hipoglikemia, dan kolaborasi pemberian dextrose.
e. Implementasi dari Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan efek
tindakan (post hemodialisa) yakni dengan mengidentifikasi penyebab
peningkatan TIK, memonitor penurunan frekuensi jantung, penurunan tingkat
kesadaran, tekanan perfusi serebral, dan mengatur interval pemantauan sesuai
kondisi pasien.

5. Evaluasi
a. Evaluasi dari bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
hipersekresi jalan napas ditandai dengan bunyi ronkhi adalah produksi sputum
menurun dan mengi menurun.
b. Evaluasi dari risiko gangguan sirkulasi spontan berhubungan dengan
hipoglikemia adalah tingkat kesadaran meningkat, frekuensi nadi menurun,
tekanan darah menurun, dan frekuensi nafas menurun.
c. Evaluasi dari defisit nutrisi berhubungan faktor psikologis (keengganan untuk
makan) ditandai dengan nafsu makan menurun adalah porsi makan yang
dihabiskan pasien meningkat, nyeri abdomen menurun, nafsu makan membaik,
dan pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat meningkat.
d. Evaluasi dari ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
hipoglikemia adalah kesadaran meningkat, Lelah / lesuh menurun, pusing
menurun, dan kadar glukosa dalam darah meningkat.
e. Evaluasi dari risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan efek
tindakan (post hemodialisa) adalah kesadaran meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, R. 2019. Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen


Publishing.
Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah Kasus HIV/AIDS, IMS, DBD, Diare, TB, dan Malaria
Menurut Kabupaten / Kota di ProvinsiJawa Tengah. BPS.
Dermawan, 2020. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 12. Jakarta: EGG.
Herdman & Shigemi. 2019. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. 2015- 2017.
Jakarta: EGC. Hutahean, 2010. Buku panduan Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Mansjoer, et al. 2020. Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI: Media
Aescullapius.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2019.Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI).Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018.Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai