Nanda Zulisma Yenni, 150103040, FSH, PMH, 082278824316

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 105

TAFSIR SURAT AL-ISRA’ AYAT 33

(Studi Perbandingan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki


Terhadap Pembunuhan Janin)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :
NANDA ZULISMA YENNI
NIM. 150103040
Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2020 M/1441 H
NANDA ZULISMA YENNI
NIM. 150103040
Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum
ABSTRAK
Nama : Nanda Zulisma Yenni
Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/ Perbandingan Mazhab dan
Hukum
Judul Skripsi : Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 33 (Studi Perbandingan
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki Terhadap
Pembunuhan Janin)
Tanggal Munaqasyah : 27 Januari 2020
Tebal Skripsi : 89
Pembimbing I : Prof. Dr. H. Al Yasa’ Abubakar, MA
Pembimbing II : Misran, M. Ag
Kata Kunci : Pembunuhan, Janin, Aborsi

Dalam hukum Islam, terjadi perbedaan pendapat mengenai batasan usia


kehamilan yang boleh digugurkan, sebagaimana mazhab Hanafi dan mazhab
Syafi’i yang membolehkan aborsi apabila belum ditiupkan ruh, yaitu sekitar
kurang dari 120 hari usia kehamilan. Sebaliknya dengan Imam Maliki yang
sama sekali mengharamkan aborsi, baik sebelum ditiupkan ruh, maupun sesudah
ditiupkan ruh. Dari latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah tentang
bagaimana implementasi tafsir surat Al-Isra’ ayat 33 terhadap problematika
hukum pembunuhan janin dalam Islam, dan bagaimana hukum pembunuhan
janin menurut pandangan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki serta implikasinya
dalam ranah ilmu kedokteran. Metode penelitian dalam penelitian ini
menggunakan metode penelitan kualitatif dengan pendekatan kepustakaan
(library research), yang memiliki dua sumber data. Analisis data pada penelitian
ini menggunakan metode Deskriptif Comperative, yakni membandingkan
pendapat-pendapat yang ada terkait masalah yang dibahas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ulama mazhab tidak berselisih pendapat mengenai
pembunuhan janin setelah peniupan ruh. Pembunuhan janin berdasarkan tafsir
surat Al-Isra’ ayat 33 dapat disimpulkan bahwa perbuatan membunuh orang
yang tidak bersalah atau tanpa adanya alasan yang benar, maka pelakunya
diancam hukuman qiṣᾱṣ atau wajib diyat. Mazhab Hanafi membolehkan
pembunuhan janin sebelum ditiupkannya ruh ke dalam tubuh si janin dalam
rentang waktu yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu sebelum 42 hari, 80 hari
dan 120 hari. Mazhab Maliki mengharamkannya secara mutlak sejak pertama
kali terjadi percampuran antara sperma dan ovum meskipun belum berusia 40
hari ataupun belum ditiupkannya ruh. Sedangkan implikasi pembunuhan janin
dalam ranah ilmu kedokteran, boleh dilakukan namun harus disertai alasan yang
menurut pertimbangan pihak medis selama masih dalam rentang waktu yaitu
minimal 12 minggu atau makasimal 28 minggu, pembunuhan janin setelah usia
ini dianggap sebagai bentuk pembunuhan dan jelas keharamannya.

v
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

Segala puji bagi Allah swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
atas segala taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis diberi kesempatan untuk
menuntut ilmu hingga menjadi sarjana. Serta atas izin dan pertolongan Allah
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Selawat dan salam kepada
junjungan alam Nabi Muhammad saw. beserta para sahabatnya.
Skripsi yang berjudul“Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 33 (Studi Perbandingan
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki Terhadap Pembunuhan Janin)”, sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar sarjana S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum
pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Ar-Raniry
Darussalam, Banda Aceh. Dengan beberapa rintangan dan tantangan, namun
atas rahmat Allah swt, doa, motivasi, dukungan, dan kerja sama dari berbagai
pihak maka segala kesulitan dapat dilewati.
Sebelumnya dalam penulisan skripsi ini penulis mengalami hambatan,
namun segala persoalan tersebut telah dapat penulis atasi dengan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada: bapak Drs. Jamhuri, MA., yang telah
meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan arahan kepada penulis
ditengah kesibukan beliau, juga terima kasih kepada bapak Dr. Husni Mubarak,
Lc., MA, sebagai ketua prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, yang selalu
mendorong kami dan memberikan semangat kepada kami dalam penulisan
skripsi dan telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
Juga terima kasih kepada bapak Prof. Dr. H. Al Yasa’ Abubakar, MA.,
sebagai pembimbing I dan bapak Misran, M. Ag., sebagai pembimbing II, yang
telah meluangkan waktu memberi bimbingan, pengarahan dan petunjuk sejak
awal sampai akhir selesainya skripsi ini.
Juga terima kasih kepada bapak Prof. Muhammad Siddiq, M.H., Ph.D
sebagai dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, juga terima kasih
kepada seluruh staf prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Dan terkhusus
penulis ucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua
penulis, Zulkarnaini S.Pd (Ayah) dan Lismayanti (Ibu) atas segala kasih sayang,
jerih payahnya dan pengorbanan kedua orang tua penulis dari awal masuk
hingga diakhir penghujung pendidikan penulis yang tidak akan dapat penulis
ganti dengan apapun juga.
vi
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Perpustakaan Syari’ah
dan seluruh karyawannya yang telah melayani serta memberikan layanan
peminjaman buku-buku yang mempermudah penulis dalam proses penulisan
skripsi ini hingga selesai.
Diakhir penulisan ini, penulis sangat menyadari bahwa tiada satu hal pun
yang sempurna begitupula skripsi ini, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritikan dan saran yang dapat membangun. Penulis berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi diri penulis sendiri dan kepada para pembaca
semua. Maka kepada Allah Yang Maha Agunglah kita berserah diri dan
meminta pertolongan, seraya memohon taufiq, ridho dan hidayah-Nya untuk
kita semua. Amin Yarabbal ‘Alamin.

Banda Aceh, 15 Januari 2020


Penulis,

Nanda Zulisma Yenni

vii
TRANSLITERASI
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543b/U/1987

1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan
dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi
dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab itu dan
transliterasinya dengan huruf Latin.
Huruf Huruf Huruf Huruf
Nama Nama Nama Nama
Arab Latin Arab Latin
tidak di- te
‫ا‬ Alīf lambang
tidakdilam-
bangkan
‫ط‬ t}ā’ t} (dengantitik
-kan di bawah)
zet
‫ب‬ Bā’ B Be ‫ظ‬ z}a z{ (dengantitik
di bawah)
‫ت‬ Tā’ T Te ‫ع‬ ‘ain ‘
komaterbali
k (di atas)
es
‫ث‬ S|a’ s\ (dengantitik ‫غ‬ Gain g Ge
di atas)
‫ج‬ Jīm J Je ‫ؼ‬ Fā’ f Ef

‫ح‬ Hā’ H
ha (denganti-
tik di bawah
‫ؽ‬ Qāf q Ki

‫خ‬ Khā’ Kh ka dan ha ‫ؾ‬ Kāf k Ka

‫د‬ Dāl D De ‫ؿ‬ Lām l El


zet
‫ذ‬ Żāl Ż (dengantitik ‫ـ‬ Mīm m Em
di atas)
‫ر‬ Rā’ R Er ‫ف‬ Nūn n En

‫ز‬ Zai Z Zet ‫ك‬ Wau w We

‫س‬ Sīn S Es ‫ق‬ Hā’ h Ha

‫ش‬ Syīn Sy es dan ye ‫ء‬ Hamzah ‘ Apostrof

‫ص‬ S{ad s}
es (denganti-
tik di bawah)
‫م‬ Yā’ y Ye

viii
‫ض‬ D{a
d
d{
de (denganti-
tik di bawah)

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

1) Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau
harkat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama

‫َػى‬s‫ػ‬ Fath}ah Ā A
ً‫ػ ػ‬ Kasrah Ī I

‫ػ ػي‬ D{amah Ū U

2) Vokal rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan


antara harkat dan.huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama huruf Gabunganhuruf Nama
َ‫ ٍم‬... ‫ى‬ Fath}ah dan yā’ Ai a dan i

‫ ٍَك‬...
‫ى‬ Fath{ah dan
wāu
Au a dan u
Contoh:

َ‫ب‬ ‫ىكتى ى‬ - kataba

‫فىػ ىع ىَل‬ - fa‘ala

‫ذيكًىَر‬ - żukira

َ‫يى ٍذ ىى ي‬
‫ب‬ - yażhabu

‫س ٍْ ًْ ىَؿ‬
‫ي‬ -su’ila

ix
َ‫ف‬ ‫ىكٍي ى‬ - kaifa

‫ىى ٍوىَؿ‬ - haula

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harakat dan Huruf dan Nama
Nama
huruf Tanda
‫ىل‬...
َ َ‫ى‬...
‫َا‬ Fath{ah dan alīfatauyā’ Ā a dan garis di atas

َ‫ً ٍم‬...
َ Kasrah dan yā’ Ī i dan garis di atas

‫يٍَك‬...
َ D{ammah dan wāu Ū u dan garis di atas
Contoh:

َ‫قى ىاؿ‬ - qāla

‫ىرىمى‬ - ramā

‫قًٍي ىَل‬ - qīla

‫يىػ يق ٍو يَؿ‬ - yaqūlu

4. Tā’marbūt}ah

Transliterasi untuk tā’marbūt}ah ada dua, yaitu tā’marbūt}ah hidup dan


tā’marbūt}ah mati, berikut penjelasannya:

1. Tā’marbūt}ah hidup

Tā’marbūt}ah yang hidup atau mendapat harakat fath{ah, kasrah dan


d{ammah, trasnliterasinya adalah ‘t’.

2. Tā’marbūt}ah mati

Tā’marbūt}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya


adalah ‘h’.

x
3. Kalau pada kata yang berakhir dengan tā’marbūt}ah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah
maka tā’marbūt}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h)

Contoh

َ‫ضةيَاٍألىطٍىف ًاؿ‬
‫ىرٍك ى‬ - raud{ah al-at}fāl

- raudatul atfāl

‫ادل ًديٍػنىةيَالٍ يمنىػ َّوىرَةي‬ - al-Madīnah al-Munawwarah


‫ى‬
- al-Madīnatul-Munawwarah

‫طىلٍ ىح َةي‬ - T{alh{ah

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan


sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydīd, dalam transliterasi ini tanda
syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan
huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:

‫ىربػَّنىا‬ - rabbanā

َ‫نىػَّزىؿ‬ - nazzala

‫ًر‬
َ‫الب‬ - al-birr

َ‫احلى ٌج‬ - al-h}ajj

َ‫نػي ِّع ىم‬ - nu‘‘ima

xi
6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf,


yaitu al, namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata
sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti huruf
qamariyyah.

1) Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah, ditransliterasikan


sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama
dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
2) Kata sandang diikuti oleh huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai
aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Baik dikuti
huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah, kata sandang ditulis
terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda
sempang.
Contoh:

َ‫الر يج يل‬
‫ى‬ - ar-rajulu

‫السيِّ ىدَةي‬
‫ى‬ - as-sayyidatu

َ‫س‬
‫الش ٍم ي‬
‫ى‬ - asy-syamsu

َ‫ال ىقلى يم‬ - al-qalamu

َ‫البى ًديٍ يع‬ - al-badī‘u

َ‫اجلنالى يؿ‬ - al-jalālu

7. Hamzah

Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof.


Namun, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak ditengah dan di akhir kata.
Bila hamzah itu terletak di awal kata tidak dilambangkan, karena dalam tulisan
Arab berupa alīf.

Contoh:

xii
َ‫تىأٍ يخ يذ ٍك ىف‬ - ta’khużūna

‫النػ ٍَّوَءي‬ - an-nau’

‫ىش ٍي َءه‬ - syai’un

َ‫إً َّف‬ - inna

َ‫ت‬ ً
‫أيم ٍر ي‬ - umirtu

َ‫أى ىك ىل‬ - akala

8. Penulisan kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fail, isim maupun harf ditulis terpisah.
Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim
dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harkat yang dihilangkan
maka transliterasi ini, penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain
yang mengikutinya.
Contoh:
ً َّ ‫كإًنَّاللىهلىهوخيػر‬
‫الرا ًزق ٍى‬
َ‫ي‬ ‫ى ى يى ىٍي‬ Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn

Wa innallāha lahuwa khairurrāziqīn

َ‫ىكأ ٍىكفيػ ٍواَالٍ ىكٍي ىل ىَكالٍ ًمٍيػىزا ىف‬ Wa auf al-kaila wa-almīzān

Wa auful-kaila wal-mīzān

‫َاخلىلًٍيل‬
ٍ ‫إىبٍػىر ًاىٍي يم‬ Ibrāhīm al-Khalīl

Ibrāhīmul-Khalīl

‫اىا‬ ً ‫بًس ًم‬


‫اَكيم ٍر ىس ى‬
‫ََمىر ىاى ى‬
ٍ‫َاهلل ى‬ ٍ Bismillāhi majrahā wa mursāhā

ً ‫َّاس‬
ً ‫َح رجَالٍبػي‬
َ‫ت‬ ً ‫َعلىىَالن‬ ًً
ٍ‫ى‬ ‫ىكللو ى‬ Walillāhi ‘alan-nāsi h{ijju al-baiti

xiii
َ ‫َسبًٍي‬
‫الن‬ ً ً ‫م ًنَاستىطى‬
‫اعَإلىٍيو ى‬
‫ى ٍ ى‬ man istat}ā‘a ilaihi sabīla.

Walillāhi ‘alan-nāsi h{ijjul-baiti


Manistat}ā‘a ilaihi sabīlā
9. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti
apa yang berlaku dalam EYD, di antaranya: Huruf kapital digunakan untuk
menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bilamana nama diri itu
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf
awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh:

َ‫اَُمى َّم هدَإىالَّ ىَر يس ٍوهؿ‬


‫نكنم ي‬ Wa mā Muh{ammadun illā rasūl

‫َّاسَلىلَّ ًذم‬
ً ‫ت نَك ًض ىعَلًلن‬
‫إً َّفَأ َّىكىؿَبػي و‬
ٍ‫ى‬ Inna awwala baitin wud{i‘a linnāsi lallażī

ً
‫ببى َّك ىة ي‬
َ‫َمبى ىارىك نة‬ bibakkata mubārakan

َ‫ضا ىفَالَّ ًذمَأينٍ ًزىؿَفًٍي ًوَالٍ يق ٍرأى يف‬


‫َالرىم ى‬
َّ ‫ ىش ٍه ير‬Syahru Ramad{ān al-lażī unzila fīh al -Qur’ānu
Syahru Ramad{ānal-lażī unzila fīhil Qur’ānu

ً ٍ ً‫كلى ىق ٍدَرآىهيَبً ٍاأليفيًقَالٍمب‬


َ‫ي‬ Wa laqad ra’āhu bil-ufuq al-mubīn
‫ي‬ ‫ى ى‬
Wa laqad ra’āhu bil-ufuqil-mubīni

َ‫ي‬ ً ِّ ‫احلم يدَلً ًلوَر‬


‫بَالٍ ىعالىم ٍى‬‫ى‬ ٍ‫ى‬ Alh{amdu lillāhi rabbi al-‘ālamīn

Alh}amdu lillāhi rabbil ‘ālamīn


Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam
tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan
dengan kata lain sehingga ada huruf atau harkat yang dihilangkan, huruf kapital
tidak dipergunakan.
Contoh:

xiv
ً ً ‫نى‬
‫صهَرَم ىنَاهلل ىَكفىػٍت هحَقى ًريٍ ه‬
َ‫ب‬ ٍ Nas}run minallāhi wa fath{un qarīb

ً‫َاألىمر ى‬
‫ََجٍيػ نعا‬ ًً
‫للو ٍ ٍ ي‬ Lillāhi al-amru jamī‘an

Lillāhil-amru jamī‘an

َ‫َعلًٍي هم‬ ‫كاهللَبً يكل و‬


‫َش ٍيء ى‬
‫ى ي ِّ ى‬ Wallāha bikulli syai’in ‘alīm

10. Tajwid

Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman


transliterasi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Ilmu Tajwid.
Karena itu peresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman
tajwid.

Catatan:

Modifikasi

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa


transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya
ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: S{amad ibn Sulaimān.

2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti
Mesir, bukan Mis}r; Beirut, bukan Bayrūt; dan sebagainya.

3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam Kamus Besar Bahasa


Indonesia tidak ditransliterasi. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.

xv
DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL
PENGESAHAN PEMBIMBING
PENGESAHAN SIDANG
LEMBARAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
TRANSLITERASI ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 6
D. Penjelasan Istilah ................................................................... 7
E. Kajian Pustaka ....................................................................... 9
F. Metode Penelitian .................................................................. 12
G. Sistematika Pembahasan ........................................................ 14
BAB II KONSEP JANIN MENURUT FIKIH DAN ILMU
KEDOKTERAN ........................................................................ 15
A. Definisi Janin ......................................................................... 15
B. Tahap Kejadian Janin atau Perkembangan Janin ................... 18
1. Menurut Ilmu Fiqih ........................................................... 18
2. Menurut Ilmu Kedokteran ................................................. 32
C. Peniupan Ruh ......................................................................... 37
1. Menurut Ilmu Fiqih ........................................................... 37
2. Menurut Ilmu Kedokteran ................................................. 44
BAB III TAFSIR SURAT AL-ISRA’ AYAT 33 TENTANG
PEMBUNUHAN JANIN MENURUT MAZHAB HANAFI
DAN MAZHAB MALIKI SERTA ILMU KEDOKTERAN . 47
A. Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 33 Tentang Pembunuhan Janin .... 47
B. Hukum Pembunuhan Janin Menurut Mazhab Hanafi ............ 51
C. Hukum Pembunuhan Janin Menurut Mazhab Maliki ............. 60
D. Hukum Pembunuhan Janin Menurut Ilmu Kedokteran .......... 68
E. Analisis Penulis Terhadap Hukum Pembunuhan Janin .......... 74

xvi
BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 83
A. Kesimpulan ................................................................................. 83
B. Saran ........................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 86


DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... 89

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kata ّ yang berarti ّ‫ الوستىرّهنّك ّل ّشيئ‬tertutup atau tersembunyi


ّ‫جن‬
dari segala sesuatu. Jin itu dikatakan tersembunyi karena jin tidak dapat dilihat
dan tersembunyi di alam ghaib, demikian dengan majnūn atau orang gila,
dikatakan gila karena akalnya tersembunyi dan rusak, sehingga dikatakan gila.
Sementara janin dikatakan tersembunyi karena dia masih berada di dalam
rahim.1
Jadi pengertian janin dari segi bahasa mempunyai dua arti; Pertama,
janin adalah pertemuan antara sperma dan sel telur yang kemudian membelah
menjadi beberapa sel dan masih menggantung di dinding rahim („alaqah).
Kedua, janin adalah ketika sel-sel yang tergantung di dinding rahim tersebut
telah berkembang dan melewati fase organisme nuṭfah,„alaqah, muḍgah,
„izāmah sampai pada khalqan ākhar atau wujud yang telah memiliki
karakteristik sebagai manusia yang siap menerima ruh.
Definisi yang diberikan oleh ulama fiqih, bahwa istilah janin merupakan
nama yang menyimbolkan proses akhir dari pembuahan sperma terhadap ovum
(sel telur) yang sebentar lagi akan lahir sebagai anak atau bayi dari kandungan
ibunya. Hal ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Imam Syafi‟i,
yang menyatakan bahwa yang disebut janin adalah ketika proses kejadian
manusia berada pada tahap muḍgah karena telah memiliki karakteristik sebagai
manusia seperti jari, tangan, mata, kuku dan lain-lain. Pandangan Imam Syafi‟i
ini mendekati pengertian janin dalam ilmu kedokteran apabila dibandingkan

1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hlm. 215-216.
1
2

dengan pengertian janin yang dikemukakan oleh al-Nuwairi yang mengatakan


bahwa yang disebut dengan janin jika sudah ditiupkan ruh.2
Adapun pengertian janin dalam ilmu kedokteran adalah fetus yang
merupakan hasil dari proses pembuahan sperma dan sel telur yang disebut
dengan zigot yang berkembang dalam kandungan, 3 kemudian memasuki masa
embrio sebagai awal dari terbentuknya organ yang siap berkembang. Setelah
embrio, hasil pembuahan tersebut dinamakan janin. Janin atau fetus merupakan
hasil fertilisasi dari selesainya tahap perkembangan embrio pada usia delapan
minggu setelah fertilisasi sampai saat kelahiran atau abortus,4 sehingga dalam
ilmu kedokteran yang disebut dengan janin adalah setelah usia kehamilan
berusia delapan minggu sampai saat kelahiran dan pada tahap delapan minggu
ini janin sudah mempunyai karakteristik manusia.5
Dengan demikian dipahami bahwa janin adalah istilah untuk tahap
perkembangan terakhir dari suatu organisme pembuahan sel telur sampai kepada
pembelahan sel lalu menyatu sebagai suatu wujud yang sempurna (khalqan
ākhar). Jadi dapat dinyatakan bahwa istilah janin melekat pada organisme
setelah jangka waktu tertentu, tahap janin terjadi setelah tahap embrio di mana
organisme hampir sepenuhnya terbentuk dan siap meninggalkan rahim.6
Terlepas dari keseluruhan pengertian yang telah diberikan di atas,
disebutkan dalam fatwa MUI bahwa janin adalah makhluk yang telah memiliki
kehidupan (ḥayāh mukhtarimah) yang harus dihormati, menggugurkannya

2
Muhammad Salam Madzkur, al-Janῑn wa al-Ahkām al-Muta‟alliqah bihῑ fi Fikihi al-
Islām (Kairo: Dar al-Nahda al-Arabiyyah, 1969), hlm. 32.
3
C.B. Kusmaryanto. SCJ, Tolak Pengguguran Janin, Budaya Kehidupan Versus
Budaya Kematian (Cet. 1; Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 69.
4
Ibid., hlm. 69.
5
Achmad Musyahid Idrus, al-Daulah Vol. 4/No. 1/Juni 2015, hlm. 81
6
C.B. Kusmaryanto, SCJ, Tolak Pengguguran.., hlm. 69.
3

berarti menghentikan atau menghilangkan kehidupan yang telah ada dan yang
demikian haram hukumnya,7 sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Isra/17; 33.

.....ّۗ‫س الَِِّت َحَّرَم اهللُ إََِّل بِاحلَق‬


َ ‫َوََل تَ ْقتُلُ ْوا النَّ ْف‬
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah swt melainkan dengan alasan yang benar”.8
Proses awal mula terbentuknya calon bayi yang terjadi dalam rahim
perempuan hingga ditiupkan ruh ke dalam tubuhnya sehingga dapat disebut
sebagai manusia seutuhnya masih menjadi sebuah perdebatan. Perdebatan ini
berimplikasi kepada hukum menggugurkan bayi dalam kandungan. Sebelum
menjelaskan perbedaan pemahaman tersebut kita bisa memahami makna kata
menggugurkan dan membunuh. Kata menggugurkan sering disebut dengan
aborsi. Di Indonesia, belum ada batasan resmi mengenai pengguguran
kandungan (aborsi). Aborsi didefinisikan sebagai terjadinya keguguran janin;
melakukan aborsi atau melakukan pengguguran janin (dengan sengaja karena
tidak menginginkan bakal bayi yang dikandungnya itu).9
Dewasa ini, ilmu kedokteran sudah semakin maju, pengguguran
kandungan atau aborsi ini dilakukan dengan cara penyedotan, menggunakan alat
suction pump ataupun curettage (pembersihan dengan kuret) yang dapat
menyebabkan pendarahan besar, tindakan ini jelas mendatangkan resiko tinggi
belum lagi kemungkinan adannya infeksi. Pada dasarnya istilah aborsi
digunakan untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan.

7
Himpunan Fatwa Ulama Majelis Ulama Indonesia Sejak Tahun 1975 (Jakarta:
Erlangga, t. th), hlm. 398.
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. Juz
IX, Cet. 1. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 457.
9
Js. Badudu, dan Sultan Mohamad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 15.
4

Aborsi dalam bahasa inggris yaitu abortion yang berasal dari bahasa
latin yang berarti pengguguran kandungan atau keguguran. 10 Para ahli fikih
sering menyebut ijhāḍ dengan kata-kata sinonimnya seperti isqāṭ, ilqā‟, thārah,
dan imlāṣ.11 Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah menetapkan makna ijhāḍ dengan
keluarnya janin sebelum bulan keempat dan isqath dengan menggugurkan janin
antara bulan keempat dan ketujuh. Dalam istilah fikih, penggunaan kata ijhāḍ
tidak keluar dari makna bahasa yaitu menggugurkan kandungan yang kurang
masa kejadiannya dan ahli fikih membedakannya karena perbuatan manusia dan
jatuhnya kandungan secara tidak sengaja.12
Sedangkan definisi aborsi menurut ilmu kedokteran terlihat adanya
keseragaman pendapat, diantaranya aborsi dilakukan dengan membatasi usia
maksimal kehamilan sekitar 20 minggu atau sebelum janin mampu hidup diluar
kandungan. Lebih dari usia tersebut tidak tergolong aborsi, tetapi disebut
pembunuhan bayi yang sudah mampu hidup diluar kandungan.13
Pengertian aborsi menurut ilmu kedokteran tersebut berbeda dengan ahli
fikih, karena tidak menetapkan usia maksimal, baik pengguguran kandungan
dilakukan dalam usia kehamilan nol minggu, 20 minggu maupun lebih dari itu
dianggap sama sebagai aborsi. Pengertian aborsi menurut para ahli fikih yaitu
pengguguran janin dari rahim ibu hamil baik sudah berbentuk sempurna ataupun
belum berbentuk sempurna.14
Secara umum, aborsi atau pengguguran kandungan dapat diartikan
sebagai: “Keluarnya pembuahan janin yang belum waktunya dari kandungan ibu
dan belum dapat hidup diluar kandungan”. Secara umum pengertian aborsi

10
Jhon M Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2003), hlm. 2.
11
Abbas Syauman, Hukum Aborsi dalam Islam, (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim,
2004), hlm. 60.
12
Ibid.
13
Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara), hlm. 33.
14
Ibid., hlm. 34.
5

kriminalis adalah suatu kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat
hidup sendiri di luar kandungan. Pada umumnya janin yang keluar itu sudah
tidak bernyawa lagi.Sedangkan secara yuridis abortus provokatus criminalis
adalah setiap penghentian kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa
memperhitungkan umur bayi dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam
keadaan mati atau hidup.
Pembunuhan (al-qatl) merupakan salah satu tindak pidana yang
menghilangkan nyawa seseorang dan termasuk dosa besar. Dalam fikih, tindak
pidana pembunuhan (al-qatl) disebut juga dengan al-jināyah „alā an-nafs al-
insāniyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia).15
Ulama fikih mendefinisikan pembunuhan dengan “perbuatan manusia
yang berakibat hilangnya nyawa seseorang”. Apabila dilihat dari segi
hukumnya, pembunuhan dalam Islam ada dua bentuk, yaitu pembunuhan yang
diharamkan, seperti membunuh orang lain dengan sengaja tanpa sebabdan
pembunuhan yang dibolehkan, seperti membunuh orang yang murtad jika ia
tidak mau tobat atau membunuh musuh dalam peperangan.16
Mengenai pembunuhan bayi dalam kandungan dengan cara digugurkan
terdapat perbedaan pendapat mengenai batasan usia kehamilan yang boleh
digugurkan (aborsi). Secara umum di dalam mazhab Hanafi membolehkan
aborsi apabila belum terjadi penyawaan, karena dianggap belum ada kehidupan,
selama janin masih dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan
belum berbentuk anggota badan. Demikian pula dengan mazhab Syafi‟i yang
membolehkan aborsi. Tetapi berbeda dengan mazhab Maliki yang melarang
aborsi dengan argumen karena kehidupan berkembang dan dimulai sejak

15
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1378-1379.
16
Ibid., hlm. 1379.
6

konsepsi,17 sehingga melakukan pembunuhan janin diharamkan menurut


mazhab Maliki.
Berangkat dari paparan latar belakang di atas penulis merasa tertarik
untuk meneliti kembali dan memilih menulis skripsi ini yang berjudul “Tafsir
Surat Al-Isra’ Ayat 33 (Studi Perbandingan Mazhab Hanafi dan Mazhab
Maliki Terhadap Pembunuhan Janin)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana Implementasi Tafsir Surat Al-Isra‟ Ayat 33 Terhadap
Problematika hukum pembunuhan janin dalam Islam?
2. Bagaimana hukum pembunuhan janin menurut pandangan mazhab
Hanafi dan mazhab Maliki serta implikasinya dalam ranah ilmu
kedokteran?
C. Tujuan Peneltian
Tujuan penelitian merupakan target yang hendak dicapai melalui
serangkaian aktifitas penelitian, karena setiap penelitian pasti mempunyai tujuan
tertentu sesuai dengan permasalahannya, begitu pula penelitian ini. Rincian
tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan bagaimana Implementasi
Tafsir Surat Al-Isra‟ Ayat 33 Terhadap Problematika hukum
pembunuhan janin dalam Islam.
2. Untuk dapat mengetahui atau membandingkan dan menjelaskan
pandangan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki dan mengetahui
implikasinya dalam ranah ilmu kedokteran.

17
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi..., hlm. 93-98.
7

D. Penjelasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami istilah yang
terdapat dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan pengertian beberapa istilah
sebagai berikut:
1. Aborsi
Aborsi adalah pengguguran janin yang dikandung perempuan dengan
tindakan tertentu sebelum sempurna kehamilannya, baik dalam keadaan hidup
atau mati sebelum si janin bisa hidup di luar kandungan namun telah terbentuk
sebagian tubuhnya. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aborsi
adalah terpancarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup (sebelum bulan
keempat dari kehamilannya).18
2. Pembunuhan
Pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang
mengakibatkan hilangnya nyawa, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak
sengaja. Dalam Islam sendiri mengenal istilah al-qatl (pembunuhan) merupakan
salah satu tindak pidana menghilangkan nyawa seseorang dan termasuk dosa
besar. Dalam fikih, tindak pidana pembunuhan (al-qatl) disebut juga dengan al-
jināyah „alā an-nafs al-insāniyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia).19
3. Mazhab
Mazhab adalah faham atau aliran pikiran yang merupakan hasil kajian
seorang mujtahid tentang hukum dalam Islam yang digali dari ayat atau hadis
yang dapat diijtihadkan.20
4. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama Imamnya yakni Abu
Hanifah dengan nama aslinya an-Nu‟man bin Tsabit bin Zauta (80 H-150 H),

18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), hlm. 2.
19
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 1378-1379.
20
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm. 47.
8

dia berasal dari Persia dan seorang tabi‟i (tābῑ‟it tābi‟ῑn), karena telah bertemu
dengan sahabat Anas bin Malik, Sahal bin Sa‟ad al-Saidi, „Abdillah bin Abi
Aufa dan Abi Tufail, Amir bin Wasilah. Ia telah banyak meriwayatkan hadis-
hadis dari mereka. Jadi, Mazhab Hanafi adalah nama pengikut Imam Hanafi.
Mazhab Hanafiyah di kenal banyak menggunakan ra‟yu, qiyās, dan istihsān,
dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nas, terkadang ulama
mazhab meninggalkan kaedah qiyās dan menggunakan kaedah istihsān.
Alasannya, kaedah qiyās (umum) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus
tertentu, mereka dapat mendahulukan qiyās apabila suatu hadis mereka nilai
sebagai hadis ahad.21 Mazhab Hanafi mulai berkembang pesat di Mesir,
kemudian terus meluas dan berkembang di Syiria, Afghanistan, Kaukasus,
Turki, India dan sampai ke Pakistan.22
5. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah satu dari empat mazhab fikih atau hukum Islam
dalam sunni. Mazhab Maliki yang sekarang banyak pendukungnya di Utara
Afrika dan sebagian Afrika Barat. Pada masa Imam Malik berkembang dengan
pesat ilmu Hadis dan ilmu fikih, tetapi kedua mencari ilmu itu masih merupakan
satu kesatuan yang belum terpisah, seakan masih tergabung dalam satu kesatuan
ilmu, yaitu ilmu tafsir. Masing-masing ilmu itu baru mengemansipasikan diri
pada permulaan abad ke tiga hijrah atau pada akhir abad ke dua hujrah.
Demikian pulalah halnya dengan Imam Malik, beliau sebagai seorang
ulama yang telah menafsirkan Al-Qur‟an dan Hadis-hadis Rasulullah,
menggunakan ilmu fiqih dan ilmu hadis sebagai alat dalam melakukan Istinbāṭ.
Dalam bidang hadis beliau terkenal sebagai orang yang mengumpulkan hadis

21
Achmad Usman, Riwayat Hidup Beberapa Tokoh Perawi Hadits, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1982), hlm. 48.
22
M. Bahri Ghazali dan Djumadris, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1994), hlm. 59.
9

yang pertama dari kitab kumpulan hadis tersebut dapat dibaca oleh generasi
sekarang yaitu kitab al-Muwatta‟.23
E. Kajian Pustaka
Setelah penulis menelusuri beberapa literatur skripsi Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan artikel-artikel, penulis menemukan
skripsi dan artikel-artikel yang berkaitan dengan aborsi, akan tetapi penulis tidak
menemukan judul Tafsir Surat Al-Isra‟ Ayat 33 (Studi Perbandingan Mazhab
Hanafi dan Mazhab Maliki Terhadap Pembunuhan Janin). Adapun kajian yang
berhubungan dengan skripsi ini adalah:
Aborsi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Komparatif Pandangan
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki), skripsi yang ditulis oleh Haijah Jurusan
Perbandingan Mazhab dan Hukum. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa
mayoritas Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki mengharamkan aborsi setelah
janin ditiupkan ruh, tepatnya setelah janin berusia 120, sehingga janin tersebut
sudah dapat dikatakan sebagai manusia yang sempurna. Namun terdapat juga
pendapat minoritas dari masing-masing ulama Hanafi dan Maliki
mengharamkan aborsi sekalipun usia janin masih 40 hari, karena menurut
kelompok ini yang disebut manusia itu sudah sejak dari segumpal darah, dengan
demikian menggugurkan kandungan yang masih berbentuk segumpal darah
sama dengan menggugurkan janin yang sudah ditiupkan ruh.24
Hukum Aborsi Bagi Wanita Penderita HIV/AIDS (Studi Komparatif
Hukum Islam dan Hukum Positif, skripsi yang ditulis oleh Multi Sari Dewi
Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Kesimpulan dari skripsi ini adalah
bahwa aborsi dilarang jika pelaksanaannya terjadi sesudah janin terbentuk atau
sudah mendapatkan nyawa yakni sejak adanya tanda-tanda pergerakan janin.

23
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, hlm. 95-96.
24
Haijah, “Aborsi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Komperatif Pandangan
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki)”,Fakultas Syari‟ah, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2013,
hlm. Iv.
10

Meski demikian, fenomena aborsi tidak terelakkan, dan sebab terjadinyapun


semakin beragam. Diantara alasan yang muncul adalah virus HIV/AIDS yang
diindikasikan menular kepada calon bayi akibat ibu yang mengindap virus
tersebut. HIV/AIDS merupakan alasan yang kuat, sifatnya sangat darurat, dan
cukup dijadikan sebagai alasan dengan pertimbangan kemaslahatan dan
kemudaratan yang muncul kemudian, sehingga mencegah mudarat sedini
mungkin menjadi kaidah yang menguatkan.25
Hukum Aborsi Di Indonesia (Studi Komparasi antara Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor: 4 Tahun 2005 tentang Aborsi dan Undang-Undang
Nomor: 36 Tahun 2009 tentang kesehatan), skripsi yang ditulis oleh Budi
Abidin Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Kesimpulan dari skripsi ini
adalah dalam sejarah kehidupan umat manusia, praktik aborsi merupakan
fenomena abadi. Dikatakan demikian, karena hingga saat ini meskipun telah
tersusun sejumlah pengaturan yang panjang lagi komprehensif praktik aborsi
masih marak dilakukan, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai sebuah bangsa
yang mengklaim dirinya religious lagi berkeadaban, dan bahkan berbudi luhur,
justru grafik praktik aborsi tidak pernah mengalami penurunan. Nilai-nilai dan
aturan keagamaan kerap menjadi pertimbangan dalam memandang sesuatu,
termasuk praktik aborsi. Pada saat memandang aborsi, masyarakat Indonesia
masih tetap mempertanyakan bagaimana hukumnya dalam Islam. Bagi sebagian
besar masyarakat Muslim Indonesia, fatwa MUI masih memiliki kekuatan
hukum. Artinya, fatwa MUI tetap menjadi pertimbangan bagi mereka untuk
melakukan sesuatu. Pada saat yang bersamaan, keberadaan undang-undang juga
mengikat karena Indonesia adalah negara hukum. 26

25
Multi Sari Dewi, “Hukum Aborsi Bagi Wanita Penderita HIV/AIDS (Studi Komperatif
Hukum Islam dan Hukum Positif)”, Fakultas Syari‟ah, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2014, hlm.
iv.
26
Budi Abidin, “Hukum Aborsi Di Indonesia (Studi Komparasi antara Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor:4 Tahun 2005 tentang Aborsi dan Undang-Undang Nomor: 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan)” (skripsi dipublikasikan), Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2014, hlm. xv.
11

“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku aborsi pada Perempuan


Pekerja Hiburan Malam (Studi Pada Perempuan Pekerja Hiburan Malam Yang
Melakukan Seks Pra Nikah dan Melakukan Aborsi)”, skripsi yang ditulis oleh
Fara Juliana BS Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Kesimpulan dari skripsi
ini bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku aborsi pada perempuan
pekerja malam adalah karena adanya faktor ekonomi, faktor banyak anak, dan
faktor sosial. Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan Sarlito mengenai
faktor penyebab aborsi. Faktor ekonomi berkaitan dengan kemiskinan, karena
pelaku aborsi berasal dari status sosial ekonomi ke bawah. Faktor banyak anak
terkait dengan jumlah anak yang dimiliki sedangkan fator sosial terkait dengan
takut kehamilan akan mengganggu pekerjaan, rasa malu dan rasa bersalah
karena telah melakukan aborsi. Tindakan aborsi yang dilakukan oleh perempuan
pekerja malam memiliki banyak cara yaitu dengan meminum obat penggugur
kandungan, ke klinik ilegal hingga dengan penyedotan.27
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Akibat Tindak
Pidana Abortus Provocatus Criminalis, jurnal yang ditulis oleh Aji Mulyana
Universitas Surya Kancana. Kesimpulan dari jurnal ini adalah kehidupan yang
diberikan kepada setiap manusia merupakan Hak Asasi Manusia yang hanya
boleh dicabut oleh Pemberi kehidupan yakni Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai
sasaran misi dan visi Islam, manusia menurut Al-Qur‟an adalah makhluk Tuhan
yang paling terhormat dibanding ciptaan-Nya yang lain. Ditinjau dari perspektif
hukum Indonesia penghilangan hak hidup dapat diancam dengan hukuman yang
berat sebagaimana diatur dalam KUHP, seperti pembunuhan yang direncanakan
terlebih dahulu, atau karena kelalailan yang menyebabkan matinya orang. Selain
itu juga disinggung hak reproduksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi
manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan
27
Fara Juliana BS,“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku aborsi pAda
Perempuan Pekerja Hiburan Malam (Studi Pada Perempuan Pekerja Hiburan Malam Yang
Melakukan Seks Pra Nikah dan Melakukan Aborsi)” (skripsi dipublikasikan), Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2017.
12

bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan


kelahiran anak mereka.28
Setelah penulis menelusuri beberapa literatur skripsi Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan ada beberapa paragraf yang
peneliti ambil dari jurnal, artikel-artikel. Penulis menemukan skripsi, jurnal dan
artikel-artikel yang berkaitan dengan aborsi, akan tetapi penulis tidak
menemukan skripsi, jurnal atau artikel-artikel yang berkaitan dengan Tafsir
Surat Al-Isra‟ Ayat 33 (Studi Perbandingan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki
Terhadap Pembunuhan Janin).
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai
tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi.
Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu.29
Pada prinsipnya, setiap penulisan karya ilmiah selalu memerlukan data
yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode dan cara tertentu sesuai
dengan permasalahan yang hendak dibahas. Langkah-langkah yang ditempuh
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach) yaitu
penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menelaah literatur
atau penelitian yang di fokuskan pada buku-buku, kitab-kitab fikih dan tulisan-
tulisan di jurnal serta bahan-bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.

28
Aji Mulyana, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Akibat
Tindakan Pidana Abortus Provocatus Criminalis”. Jurnal Wawasan Yuridika Volume 1, No. 2
Tahun 2017, hlm. 140.
29
Sutrisno Hadi, Metode Penelitian, (Surakarta: UNS Press, 1989), hlm.4.
13

2. Metode Pengambilan Data


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode Kualitatif dengan
menggunakan pendekatan kepustakaan (library research), maka semua kegiatan
penelitian ini dipustaka pada kajian terhadap data dan buku-buku yang berkaitan
dengan permasalahan ini. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua
sumber data, yaitu:
a. Bahan Utama (Primer)
Bahan/sumber primer, yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan
ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang
diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide).
b. Bahan Pendukung (Sekunder)
Bahan/sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer. Adapun sumber data pendukung diperoleh dengan
membaca dan menelaah buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas dalam kajian ini. Seperti, buku-buku, kitab-kitab fikih dan juga
Ensiklopedi Hukum Islam.
3. Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, selanjutnya akan diolah dan dianalisa
dengan menggunakan metode “Deskriptif Comparative”, yaitu data hasil analisa
dipaparkan sedemikian rupa dengan cara membandingkan pendapat-pendapat
yang ada disekitar masalah yang dibahas. Dengan ini diharapkan masalah
tersebut bias ditemukan jawabannya.
4. Teknik Penulisan
Mengenai teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan ini penulis
berpedoman pada buku panduan Penulis Skripsi dan Laporan Akhir Studi
Mahasiswa Fakultas Syari‟ah UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun
2018.
14

G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan menjadi lebih teratur, sistematis dan terarah serta
memudahkan para pembaca, maka di sini akan diuraikan secara singkat
mengenai sistematika pembahasan skripsi ini yang terdiri dari empat bab. Bab
satu, sebagai gambaran umum tentang judul yang akan dikaji dan dibahas dalam
bab-bab selanjutnya yang didalamnya terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian Pustaka, Metode Penelitian dan
Sistematika Pembahasan.
Bab dua, membahas tentang konsep janin menurut fikih dan ilmu
kedokteran yang berisi tentang pengertian janin, tahap kejadian janin atau
perkembangan janin dan peniuan ruh.
Bab tiga, membahas tentang tafsir surat Al-Isra‟ ayat 33 tentang
pembunuhan janin menurut mazhab Hanafi dan mazhab Maliki serta ilmu
kedokteran yang berisi tentang tafsir surat Al-Isra‟ ayat 33 tentang pembunuhan
janin, hukum pembunuhan janin menurut mazhab Hanafi, hukum pembunuhan
janin menurut mazhab Maliki, hukum pembunuhan janin menurut ilmu
kedokteran dan analisis penulis terhadap hukum pembunuhan janin.
Bab empat, merupakan bab yang terakhir yang berisi kesimpulan yang
diambil berdasarkan uraian-uraian dari pembahasan keseluruhan bab-bab
sebelumnya dan saran-saran yang mungkin dapat berguna bagi para pembaca
karya tulis ilmiah ini.
BAB II
KONSEP JANIN MENURUT FIKIH DAN ILMU KEDOKTERAN

A. Definisi Janin

ّ ّ yang berarti
Kataّ ‫جن‬ ‫كل شيئ‬
ّ ‫املستور من‬ tertutup atau tersembunyi dari

segala sesuatu. Jin itu dikatakan tersembunyi karena jin tidak dapat dilihat dan
tersembunyi di alam ghaib, demikian dengan majnūn atau orang gila, dikatakan
gila karena akalnya tersembunyi dan rusak, sehingga dikatakan gila. Sementara
janin dikatakan tersembunyi karena dia masih berada di dalam rahim. 30
Jadi pengertian janin dari segi bahasa mempunyai dua arti; Pertama,
janin adalah pertemuan antara sperma dan sel telur yang kemudian membelah
menjadi beberapa sel dan masih menggantung di dinding rahim („alaqah).
Kedua, janin adalah ketika sel-sel yang tergantung di dinding rahim tersebut
telah berkembang dan melewati fase organisme nuṭfah, „alaqah,
muḍgah,‟izāmah sampai pada khalqan ākhar atau wujud yang telah memiliki
karakteristik sebagai manusia yang siap menerima ruh.31
Dalam fatwa MUI disebutkan bahwa janin adalah makhluk yang telah
memiliki kehidupan (ḥayāh mukhtarimah) yang harus dihormati,
menggugurkannya berarti menghentikan atau menghilangkannya kehidupan
yang telah ada dan ini haram hukumnya,32 sebagaimana dijelaskan dalam QS al-
Isra/17; 33.

....ّۗ‫باحلق‬
ّ ‫حرم اهلل ّإَل‬
ّ ‫وَل تقتلوا ألنفس الِّت‬

30
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 215-216.
31
Ibid.
32
T.np., Himpunan Fatwa Ulama Majelis Ulama Indonesia Sejak Tahun 1975 (Jakarta:
Erlangga, t. th), hlm. 398.
15
16

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh


Allah swt melainkan dengan alasan yang benar”.33

Sementara dalam perspektif fikih atau definisi yang diberikan oleh ulama
bahwa istilah janin merupakan nama yang menyimbolkan proses akhir dari
pembuahan sperma terhadap ovum (sel telur) yang sebentar lagi akan lahir
sebagai anak atau bayi dari kandungan ibunya. Hal ini sejalan dengan
pandangan yang dikemukakan oleh Imam Syafi‟i, yang menyatakan bahwa yang
disebut janin adalah ketika proses kejadian manusia berada pada tahap muḍgah
karena telah memiliki karakteristik sebagai manusia seperti jari, tangan, mata,
kuku dan lain-lain. Pandangan Imam Syafi‟i ini mendekati pengertian janin
dalam ilmu kedokteran dibanding pengertian janin yang dikemukakan oleh al-
Nuwairi yang mengatakan bahwa yang disebut dengan janin jika sudah
ditiupkan ruh.34
Adapun yang dimaksud dengan janin dalam ilmu kedokteran adalah
fetus yang merupakan hasil dari proses pembuahan sperma dan sel telur yang
disebut dengan zigot yang berkembang dalam kandungan,35 kemudian
memasuki masa embrio sebagai awal dari terbentuknya organ yang siap
berkembang. Setelah embrio, hasil pembuahan tersebut dinamakan janin. Janin
atau fetus merupakan hasil fertilisasi dari selesainya tahap perkembangan
embrio di delapan minggu setelah fertilisasi sampai saat kelahiran atau
abortus.36 Karena itu dalam ilmu kedokteran yang disebut dengan janin adalah
setelah usia kehamilan berusia delapan minggu sampai saat kelahiran dan pada
tahap delapan minggu ini janin sudah mempunyai karakteristik manusia.37

33
Kementerian Agama RI, Alquran dan Tafsirnya (Jakarta: Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2010), hlm. 741.
34
Muhammad Salam Madzkur, al-Janῑn wa al-Ahkām al-Muta‟alliqah bihῑ fi Fiqhi al-
Islām (Kairo: Dar al-Nahda al-Arabiyyah, 1969), hlm. 32.
35
C.B. Kusmaryanto. SCJ, Tolak Pengguguran Janin....hlm. 69.
36
Ibid., hlm. 69.
37
Achmad Musyahid Idrus, al-Daulah Vol. 4/No. 1/Juni 2015, hlm. 81
17

Adapun menurut para dokter, sebagian mereka menggunakannya untuk


menyebut anak yang ada di dalam perut ibunya ketika telah muncul tanda-tanda
bahwa anak itu telah berbentuk manusia dengan anggota badannya yang
lengkap, dan itu terjadi setelah anak itu berumur tiga bulan di dalam perut
hingga datang masa kelahiran.
Sedangkan diantara dokter anak ada yang menyebut janin sejak
terjadinya pembuahan sel telur pada dinding rahim hingga akhir minggu
kedelapan, sedangkan anak yang telah melampaui usia itu mereka sebut dengan
“kandungan” hingga dilahirkan.38
Dengan demikian dipahami bahwa janin adalah istilah untuk tahap
perkembangan terakhir dari suatu organisme pembuahan sel telur sampai kepada
pembelahan sel lalu menyatu sebagai suatu wujud yang sempurna (khalqan
ākhar). Jadi istilah janin melekat pada organisme setelah jangka waktu tertentu,
tahap janin terjadi setelah tahap embrio dimana organisme hampir sepenuhnya
terbentuk dan siap meninggalkan rahim.39
Dalam literatur fikih konsep janin terbagi menjadi dua term yaitu
keterangan secara etimologi (Bahasa) dan penjelasan mengenai terminologi
(istilah), seperti yang terangkum dalam kitab Al-Mu‟tamad, janin berasal dari
kata al-ijnān, dalam Kasyāf Al-Qinā‟ janin berasal dari kata al-ijtinān, yang
berarti tertutupi. Janin memang tertutupi dan tersembunyi dalam rahim ibunya.
Jamaknya adalah ajinnah dan ajnān, yang diambil dari kata jannā yang artinya
adalah sesuatu yang berada dalam rahim.
Salah satu ulama yang mendefinisikan janin secara rinci dapat dilihat
dalam pendapat Imam Syafi‟i yaitu yang dapat disebut janin pada kehamilan
adalah ketika tahapan gumpalan daging (al-muḍgah) dan sesuatu yang melekat
dalam rahim (al-„alaqah).

38
M. Nu‟aim Yasin, Fikih Kedokteran (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001), hlm. 73.
39
C.B. Kusmaryanto, SCJ, Tolak Pengguguran..., hlm. 69.
18

Dari pengertian janin menurut para ulama tersebut yang menarik adalah
menurut pendapat Imam Syafi‟i yang hidup sekitar abad kedelapan masehi yang
lalu, ternyata mendekati dengan pengetahuan kedokteran modern, yakni ada
batasan yang jelas yaitu tahapan muḍgah dan „alaqah atau sekitar delapan
minggu baru disebut janin. Sementara pendapat lainnya bertentangan dengan
ilmu kedokteran bahkan menyebutnya sebagai walad yang artinya anak, sama
sekali jauh dari pengertian umum, karena janin masih berupa proses
pembentukan calon anak dan belum menjadi anak.40
Makna janin secara bahasa, adalah anak yang ada di dalam perut,
jamaknya adalah ajinnah dan ajnān, yang diambil dari kata jannā yang artinya
menutupi diri. Dinamakan janin, ia ditutup oleh perut ibunya. Janin manusia
adalah makhluk yang tercipta di dalam rahim seorang wanita dari hasil
pertemuan antara sel telur dengan sel sperma yang berasal dari air mani seorang
lelaki.
Nama janin diberikan kepada makhluk ini selama masih ada di dalam
perut ibunya karena ia masih tertutupi dan nama ini akan tetap disandangnnya
sejak fase perkembangan pertama hingga waktu dilahirkan.41 Para ahli fikih
menggunakan istilah janin seperti yang digunakan di dalam bahasa itu. Hanya
saja sebagian dari mereka membatasinya pada kehamilan yang dikandung oleh
manusia, sedangkan untuk makhluk-makhluk lainnya tidak disebut demikian.
B. Tahapan Kejadian Janin atau Perkembangan Janin
1. Menurut Ilmu Fikih
Menurut ilmu fikih, tahapan kejadian janin atau perkembangan janin
dapat dibagi menjadi beberapa bagian antara lain:
a. Nuṭfah

40
Maria Ulfa Ansor, Fikih Aborsi ...., hlm. 23-25.
41
Al-Kindi, Al-Mishbah Al-Munir, Juz II, hlm.171, dan Tafsir Al-Qurthubi, Juz XVII,
hlm. 110.
19

Kata nuṭfah dalam Bahasa Arab berarti setetes yang dapat membasahi.
Penggunaan kata ini menyangkut proses kejadian manusia sejalan dengan
penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang
menyembur dari alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta benih
manusia, sedangkan yaeng berhasil bertemu dengan indung telur wanita hanya
satu saja. Itulah yang dimaksud dengan nuṭfah. Ada juga yang memahami kata
nuṭfah dalam arti hasil pertemuan sperma dan ovum.42
Dalam kamus fikih kata nuṭfah dalam Al-Qur‟an disebut sebanyak 12
kali. Nuṭfah yaitu mani atau sperma yang merupakan bahan asal manusia.
Artinya, manusia terbentuk dari percampuran antara mani dan sel telur,
sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al-Insan (76) : 2. Mani ialah cairan
yang keluar dari bermacam kelenjar, yaitu sebagai berikut.
1) Listesticules (testikel) yaitu organ seks laki-laki yang mengeluarkan
spermatoizoa.
2) Les vicicules seminal (kantong sperma) yang terletak dekat prostat
yang mengeluarkan zat cair khusus, tetapi tidak mengandung unsur
kesuburan.
3) La prostate yang mengeluarkan cairan tertentu dan memberi ciri bau
khusus pada sperma.
4) Kelenjar-kelenjar yang melekat pada saluran kemih, yaitu kelenjar
cooper atau mery yang mengeluarkan cairan encer dan kelenjar littre
yang menghasilkan lendir.43
Nuṭfah bermaksud setetes cairan. Oleh karena itu, para ulama telah
memberi berbagai pengertian mengenai nuṭfah ini, namun begitu pengertian
yang mereka berikan adalah hampir sama. Imam al-Fakhr al-Rani di dalam

42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. Juz
IX (Cet. 1; Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 13.
43
Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh, (Cet. 1; Jakarta : Amzah, 2013), hlm. 177.
20

tafsirnya menyatakan nuṭfah ialah air atau pun cairan yang sedikit. 44 Manakala
al-Qurtubi pula menerangkan bahwa ianya adalah setetes atau sedikit air atau
cairan yang berasal daripada tulang belakang lelaki dan tulang dada
perempuan.45
Di samping itu, Ibn Katsir menerangkan nuṭfah itu ialah sesuatu yang
lemah (daif) yang berasal dari air yang hina (air mani).46 Selain daripada itu,
nuṭfah juga ia adalah sedikit air yang berada di tempat simpanan benah dan suci
hukumnya, kenyataan ini adalah didukung oleh al-Lihyani.47
Oleh karena itu, untuk lebih jelas lagi sebaiknya diutarakan pendapat al-
Haj Muhammad Wasfi. Beliau menegaskan bahwa nuṭfah itu bukanlah air mani
tetapi ianya merupakan sebagian dari apa yang terdapat di dalam air mani itu.
Beliau mengumpamakannya seperti ikan-ikan yang berada di dalam air lautan.48
Hujjah yang menguatkan dan menjadi pegangan beliau ialah ayat Al-Qur‟an
Surat al-Qiyamah ayat 37 yang berbunyi: “Bukankah ia berasal dari air mani
yang dipancarkan (ke dalam rahim)?”
Perkataan nuṭfah telah dinyatakan sebanyak dua belas kali di dalam Al-
49
Qur‟an dan perkataan mani sebanyak tiga kali.50 Manakala cairan lelaki telah
dinyatakan beberapa kali di dalam Al-Qur‟an seperti “cairan yang hina” dan
“cairan yang dipancarkan”.51

44
Abd. Majid, Manusia ditinjau dari aspek, Sejarah, Sosial, Budaya & Agama,
(Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012), hlm. 64.
45
Abi‟ Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi; al-
Jami‟ al-Ahkam al-Qur‟an, juz. 19, terj. Amiruddin Zainal, (Bandung: P.T. Salam, 2001), hlm.
117.
46
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2001),
juz. 7, hlm. 175.
47
Abd. Majid, Manusia ditinjau dari aspek, ...hlm. 64.
48
Ibid.
49
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq....,hlm. 27-28.
50
Ibid., hlm. 30.
51
Abd. Majid, Manusia ditinjau, .... hlm. 65.
21

Oleh karena itu, nuṭfah yang secara literal bermaksud setitik benda
terbagi kepada tiga pengertian, yaitu:
a. Nuṭfah Laki-Laki : Dia adalah hewan mani (sperma) yang berada
di dalam mani yaitu yang dihasilkan oleh
testis.
b. Nuṭfah Perempuan : Yaitu telur (ovum) yang dihasilkan oleh
ovarium sebanyak satu biji setiap bulan.
c. Nuṭfah Amsaj : Yaitu fertilisasi (persenyewaan) di antara
sperma dengan ovum.
Kalimat Nuṭfah Amshaj yang dimaksud ini adalah percantuman benih di
antara nuthfah lelaki dan perempuan. Menurut kajian sains ia merupakan
persenyawaan (fertilisasi) antara sperma dengan ovum ditiup fallopio, yang
akan membentuk zigot.52 Kalimat ini (Nuṭfah Amshaj) hanya terdapat pada satu
tempat saja di dalam Al-Qur‟an yaitu pada Surat al-Insan ayat 2: Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah aturkan cara mencipta manusia bermulanya dari air
mani yang bercampur (dari pati benih lelaki dan perempuan)”.
Al-Baidawi dalam tafsirnya menjelaskan kalimah Nuṭfah Amshaj di
dalam ayat di atas ialah apabila berlakunya percampuran di antara benih lelaki
dan perempuan yang menghasilkan zigot.53 Ibnu „Abbas apabila diminta untuk
menerangkan ayat di atas, telah berkata: Perkataan “Nuṭfah Amshaj” adalah
cairan lelaki dan perempuan yang bercampur dan kemudiannya melalui
beberapa evolusi. Sementara ikrimah pula berkata, kalimat itu ialah
percampuran di antara air lelaki dengan air perempuan (Sperma dengan
Ovum).54

52
Ibid.
53
Ibid., hlm. 66.
54
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz. 3,....hlm. 582.
22

Percampuran benih yang terjadi terebut maka Sayyid Jumaili


menjelaskan bahwa sperma membawa 50% dari sifat-sifat bapak dan ovarium
pula membawa 50% dari sifat-sifat ibu.55 Hal ini terjadi adalah karena bagi
setiap benih yang normal masing-masing membawa 23 kromosom, oleh itu zigot
yang dihasilkan mempunyai 46 kromosom yang mewarisi sel-sel kebapakan.
b. „Alaqah
Kata „alaqah terambil dari kata „alaq. Dalam kamus-kamus bahasa, kata
itu diartikan dengan: a) segumpal darah yang membeku, b) sesuatu yang seperti
cacing, berwarna hitam, terdapat dalam air, bila air itu diminum, cacing tersebut
menyangkut di kerongkongan, c) sesuatu yang bergantung atau berdempet.
Dahulu kata tersebut dipahami dalam arti „segumpal darah‟, tetapi
setelah kemajuan ilmu pengetahuan serta maraknya penelitian, para embriolog
enggan menafsirkannya dalam arti tersebut. Mereka lebih cenderung
memahaminya dalam arti „sesuatu yang bergantung atau berdempet di dinding
rahim‟. Menurut mereka, setelah terjadi pembuahan (nuṭfah yang berada dalam
rahim itu), maka terjadi proses di mana hasil pembuahan itu menghasilkan zat
baru, yang kemudian terbelah menjadi dua, lalu yang dua menjadi empat, empat
menjadi delapan, demikian seterusnya berkelipatan dua, dan dalam proses itu, ia
bergerak menuju ke dinding rahim dan akhirnya bergantung atau berdempet di
sana.56
„Alaqah merupakan suatu istilah bahasa Arab bagi organisme yang
berada di dalam rahim ibu yang mengandung. Pada bahasa ia memberi maksud
suatu yang melekat atau bergantung kepada sesuatu yang lain. 57 Dalam kamus
al-Munjid perkataan tersebut sebagai hewan kecil yang menghisap darah. 58 Di

55
Abd. Majid, Manusia ditinjau, ....hlm. 66.
56
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan ..., hlm. 13
57
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq Al-Insan ...., hlm. 98.
58
Abd. Majid, Manusia Ditinjau ...,.hlm. 67.
23

dalam kitab Lisān al-„Arāb pula menyatakan, ia adalah darah beku yang
bercampur.59
Pengertian „Alaqah di sisi ulama mufassirin terbagi kepada dua
kelompok. Pertama, ialah para mufassirin lama seperti Sayyid Qutb dan al-
Maraghi. Mereka berpendapat „Alaqah itu ialah darah beku yang bercampur
ataupun darah beku. Manakala pendapat yang kedua terdiri dari pada Dr. Hamid
al-Ghawabi dalam kitabnya al-Islām Wa al-Tibb, Dr. Muhammad Wasfi dalam
kitabnya Al-Qur‟an Wa al-Tibb, Dr. Saif al-Din al-Siba‟i dalam kitabnya al-
Ajhād Bain al-Fiqh Wa al-Tibb Wa al-Qanūm dan Dr. Mauris Bukai dalam
kitabnya Al-Qur‟an al-Karῑm Wa al-Taurāt Wa al-Injῑl wa al-Ilm mengatakan
bahwa „Alaqah itu ialah peringkat Nuṭfahal-Amshāj (zigot) bergantung dan
melekat di dinding rahim.60
Tegasnya bahwa „Alaqah itu adalah hasil daripada proses persewaan di
antara sperma dan ovum, diikuti dengan belahan sel-sel zigot dan akhirnya
terbenam di dinding rahim. Pembenaman inilah yang dikenali sebagai
implantasi ataupun pembentukan „Alaqah. Perkataan „Alaqah telah disebut di
dalam Al-Qur‟an sebanyak enam kali. Surah-surah yang terlibat ialah Surat al-
Hajj 22:5, al-Mu‟minun 23:14, al-Qiyamah 75:38, al-Mu‟minin 40:67 dan al-
Alaq 96:2.
Apabila cecair di dalam blastula semakin meningkat (balstosista), cecair
ini akan memisahkan sel-sel kepada dua lapisan yaitu lapisan sel telur yang
terdiri daripada sel-sel yang terlibat dengan pemakanan (trofoblas) dan jisim sel
yang kemudiannya membesar untuk membentuk embrio. Lalu lapisan luar
balstosista melekat kepada epitelium endometrium (lapisan uterus yang paling
dalam) melalui anjuran-anjuran yang seakan-akan rambut serta saling

59
Ibid.
60
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq Al-Insan ..., hlm. 109.
24

bersentuhan dengan anjuran-anjuran yang serupa daripada epitelium


endometrium.61
Pada minggu pertama, blastosista telah terbenam secara superfisial di
dalam lapisan endometrium yang padu.62 Sebenarnya proses penggantungan,
pelekatan dan implantasi ini dijelaskan oleh Al-Qur‟an dengan satu perkataan
„Alaqah sejak 14 abad dahulu, dimana hal ini belum diketahui oleh pengkaji
tentang proses yang menakjubkan ini sebelumnya. Proses-proses terbentuk
jemari sinsitiotrofoblas yang menjalari endometrium seterusnya dikelilingi oleh
lakuna-lakuna (danau-danau kecil) yang mengandungi darah. Bahan-bahan
nutrient meresap melalui lakuna-lakuna ini hingga sampai kepada embrio untuk
membesar. Di samping itu, terdapat lebih kurang 15.000 kelenjar uterus yang
merembes cairan bergelar “susu uterus” yang memberikan bekal nutrisi kepada
blastosista yang sangat pesat tumbuh dan membesar.63
Suatu fenomena yang menakjubkan sedang berlaku di sini. Satu
organisme baru sedang bergantung dan berkembang di dinding rahim atau
dalam uterus, sebagian daripadanya merupakan benda asing kepada tubuh badan
tetapi tidak ditolak oleh sistem pertahanan imun badan.64 Semua ini adalah
sebagai kehendak dan penyayang Allah kepada hambanya.
Hanya baru-baru ini ditemui bahwa proses-proses berbentuk jemari
blastosista diselimuti oleh protein ibu yang diberi nama transferitin. Selimut ini
melindungi blastula daripada pemberian kesan sebagai benda asing oleh sistem
pertahanan badan, oleh karena itu ia tidak ditolak oleh sistem badan yang
berkenaan. Proses implantasi blastosista ke dalam endometrium mengambil
waktu selama 5 hari yaitu dan hari ke 7 hingga ke 12 dan merujuk kepada Keith
Moore yang menyatakan bahwa implantasi blastosista merupakan ciri utama

61
Abd. Majid, Manusia ditinjau dari aspek, ....,hlm. 67-68.
62
Ibid., hlm. 68.
63
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq Al-Insan Bai Nal-Tubb…, hlm. 105.
64
Ibid., hlm. 106.
25

peringkat ini. Dalam tahun 1968, L-lertig menyifat sinsitiotrofobla sebagai


“invasf, ingestif dan digestif”.65 Pada hari ke 10 selepas fertilisasi, blastosista
membenam secara keseluruhannya ke dalam endometrium uterus, dan ruang
peninggalan di permukaan dipenuhi oleh ketul-ketul darah dan puing sel. Pada
hari ke 12 ketulan ini diganti oleh epitelium baru dan suatu penonjolan yang
kecil kelihatan di permukaan endometrium.66
Di luar dari perkiraan manusia agak menakjubkan bahwa Al-Qur‟an
telah menerangkan perkara ini sejak 14 abad lalu sedangkan ia baru saja
dipahami oleh manusia. Oleh karena itu dengan tidak langsung menunjukkan
ijaznya Al-Qur‟an dan dari segi sains embriologi. Firman Allah dalam Surat al-
Ra‟d ayat 8:
ُۚ ۡ ُ‫ٱَّللُّيَ ۡعلَ ُنّ َهاّت َۡح ِولُّ ُكلُّ ّأُنثَ ٰىّ َو َهاّتَ ِغيض‬
ٍ ‫ّو ُكلُّ ّ َش ۡي ٍءّ ِعن َدهُۥّ ِب ِو ۡق َد‬
ّّ‫ار‬ َ ‫ّٱۡلَ ۡر َحا ُمّ َو َهاّت َۡز َدا ُد‬ ‫ه‬
Artinya : “Allah mengetahui akan apa yang dikandung oleh tiap-tiap ibu,
dan mengetahui apa yang kurang dari yang dikandung dalam
Rahim itu atau yang lebih. Dan tiap-tiap sesuatu adalah
ditetapkan di sisi-Nya dengan kadar yang tertentu”.
Perkataan mempunyai dua makna secara ilateral, pertama bermaksud
semakin berkurangan apabila yang keduanya memberi makna bersembunyi atau
ghaib (penembusan atau pembenaman).67 Maksud yang kedua akan diambil
perkiraan di sini karena blastosista menjadi semakin tersembunyi atau
menghilang pada hari ke 10 setelah terjadinya persenyawaan dan sehingga pada
hari ke 12 barulah kelihatan suatu penonjolan kecil pada permukaan
endometrium.
Fenomena ini diterangkan dengan jelas oleh Allah dalam Al-Qur‟an
dengan perkataan 64 kata, dimana „Alaqah menghilang di dalam rahim atau
masuk ke dalam dinding Rahim. Sains turut menerangkan sinsitiotrofoblas
membentuk proses-proses berbentuk jemari yang dinamakan vilus (vilus korion)

65
Abd. Majid, Manusia Ditinjau dari Aspek, ....hlm. 69.
66
Ibid.
67
Ibid., hlm. 74
26

yang bercabang seperti pokok. Seterusnya vilus-vilus ini akan menutupi


keseluruhan permukaan blastosista.68 Di samping itu, hadis juga turut
menangani fenomena ini. Sabda Rasulullah 69 yang arti hadisnya adalah : “Dan
tidak ada siapapun yang mengetahui tentang kandungan Rahim yang kurang
atau bersembunyi (melainkan) Allah”.
Vilus korion yang pada awalnya berbentuk satu paduan telah ditembus
oleh suatu kelompok tisu perantara yang longgar dan dengan ini menukar vilus
primer kepada vilus sekunder pada hari yang ke 15. Tidak lama kemudian
saluran-saluran darah membentuk di dalam vilus sekunder, yang kemudian
seterusnya menukar bentuk ini kepada vilus tertiar (pada hari 15-20).70
Oleh karena itu, kita telah menyaksikan suatu bentuk pengikatan dan
pergantungan embrio ke uterus. Jadi masih tidak terdapat perkataan yang lebih
sesuai dan tepat daripada perkataan „Alaqah sebagaimana yang diberikan oleh
Al-Qur‟an. Selain daripada itu, setelah embrio terbentuk di dalam masa sel, kita
akan melihat suatu bentuk pelekatan dan pergantungan yang lain di antara
embrio dan uterus. Di samping itu, tangkai penghubung akan terbentuk di
bagian kandal embrio yang akan menghubungkan antara embrio dan selaput-
selaputnya yaitu amnion dan kantung yolka dengan dinding luar blastosista.71
Kesimpulan yang dapat diperoleh bahwa dapat diketahui dimulai dari
hari ke 7 hingga hari ke 21, terdapat tiga proses yang berurutan telah terjadi
selama proses itu dengan adanya pergantungan serta perlekatan sebagai ciri
utamanya, yaitu:
1) Dari hari ke 7, pembenaman blastosista berlaku. Ia menjadi terbenam
keseluruhannya menjelang hari ke 10.

68
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq Al-Insan Bai Nal-Tubb…, hlm. 214.
69
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Tafsir, juz 32, Terj. Amiruddin, (Jakarta:
Pustaka Azam, 2004), hlm. 99.
70
Ibid.,hlm. 214- 218.
71
Abd.Majid, Manusia ditinjau dari …, hlm. 71.
27

2) Plus korion wujud buat pertama kalinya menjelang hari yang ke 13


dan 14, dan seterusnya menyelimuti seluruh blastosista serta
melekatkan struktur itu ke uterus melalui vilus-vilus pegikat.
3) Tangkai penghubung menghubungkan embrio sebenarnya (diska
embrionik) dan selaput-selaput sebenarnya yaitu amnion dan kantung
yolka dengan selaput luar (korion).

Oleh karena itu, kita mendapati tiga bentuk pelekatan dan


penggantungan ovum yang telah dipersenyawakan (embrio) dengan rahim
ibunya. Dengan demikian, tepatlah tidak ada perkataan lain yang lebih sesuai
untuk menerangkan peringkat ini selain daripada perkataan yang diuraikan oleh
Al-Qur‟an yaitu „Alaqah. Madkur menyatakan bahwa sebab dinamakan „Alaqah
adalah karena ia melekat atau tergantung di dinding rahim.72
Dengan demikian, dapat dibuktikan secara nyata bahwa I‟jāz Al-Qur‟an
mengenai „Alaqah itu lebih kedepan/maju dalam membuktikan waqi‟nya
(embrio yang bergantung pada dinding rahim) berbanding dengan pencapaian
perobatan dari sains yang baru menemuinya di kurun 20 ini.
c. Muḍgah
Kata muḍgah diambil dari kata madghah yang berarti mengunyah.
Muḍgah adalah sesuatu yang kadarnya kecil sehingga dapat dikunyah.73
Marhalah Muḍgah adalah peringkat yang keempat dalam kejadian di dalam
prenatal selepas peringkat Nuṭfah, Amshaj dan „Alaqah. Diambil dari bahasa
Arab bahwa ia membawa maksud yang konkret sehingga dapat dimengerti.
Sayyid Qutub memberikan penjelasan muḍgah sebagai seiris (sepotong)
daging yang terdapat kesan gigitan (dikunyah). 74 Sementara Muhammad „Ali
al-Bar turut menjelaskan bahwa istilah muḍgah di dalam Al-Qur‟an dan hadis

72
Muhammad Salam Madzkur, al-Janin wa al-Ahkam al-Muta‟alliqah bihi fi Fiqhi al-
Islam (Kairo: Dar al-Nahda al-Arabiyyah, 1969), hlm. 57.
73
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan..., hlm. 13.
74
Muhammad Sayyid Qutb, Fi Zhilal Alquran. Jilid IV, hlm. 451.
28

adalah lebih tepat dari pada tempo perkembangan somit yang digunakan oleh
buku-buku teks tentang embriologi.75
Sebenarnya perkataan muḍgah diterangkan sebanyak dua kali di dalam
Al-Qur‟an yaitu Surat al-Mu‟minun ayat 14 dan al-Hajj ayat 5. Sebagaimana
tertuang dalam Al-Qur‟an maka di dalam hadis juga terdapat beberapa kali kata
ini disebutkan di antaranya ialah:
ِ ِ ْ ‫ضغَ ًة فَخلَ ْقنَا الْم‬
ُ‫ضغَ َة عظَ ًاما فَ َك َس ْونَا الْعظَ َام َحلْ ًما ُُثَّ أَنْ َشأْنَاه‬ ُ َ ْ ‫ُُثَّ َخلَ ْقنَا النُّطَْف َة َعلَ َق ًة فَ َخلَ ْقنَا الْ َعلَ َقةَ ُم‬
‫ي‬ ِِ ْ ‫خلْ ًقا آخر فَتبارَك اللَّو أَحسن‬
َ ‫اْلَالق‬ ُ َ ْ ُ َ ََ َ َ َ
Artinya : “Kami ciptakan darah beku itu menjadi segumpal daging; kemudian
Kami ciptakan daging itu menjadi beberapa tulang kemudian Kami
balut tulang-tulang itu dengan daging”.76

Muḍgah terbagi kepada dua bentuk yaitu Muḍgah Mukhallaqah dan


Ghair Mukhallaqah. Hal Ini dipahami dari ayat Al-Qur‟an, surat al-Hajj ayat 5
yaitu:

‫اب ُُثَّ ِم ْن نُطَْف ٍة ُُثَّ ِم ْن َعلَ َق ٍة ُُثَّ ِم ْن‬


ٍ ‫ث فَِإنَّا َخلَ ْقنَا ُكم ِمن تُر‬
َ ْ ْ
ِ ‫ب ِمن الْب ع‬
ْ َ َ ٍ ْ‫َّاس إِ ْن ُكْنتُ ْم ِِف َري‬ ُ ‫يَا أَيُّ َها الن‬
‫ي لَ ُك ْم َونُِقُّر ِِف ْاْل َْر َح ِام َما نَ َشاءُ إِ َ َٰل أَ َج ٍل ُم َس ِّمى ُُثَّ ُُنْ ِر ُج ُك ْم ِط ْف ًًل‬ ٍِ ٍ ٍ ْ‫م‬
َ َ‫ضغَة ُُمَلَّ َقة َو َغ ِْْي ُُمَلَّ َقة لنُب‬ ُ
‫َش َّد ُك ْم َوِمْن ُك ْم َم ْن يُتَ َو ََّّٰف َوِمْن ُك ْم َم ْن يَُرُّد إِ َ َٰل أ َْرَذ ِل الْعُ ُم ِر لِ َكْي ًَل يَ ْعلَ َم ِم ْن بَ ْع ِد ِعلْ ٍم َشْيئًا‬ ِ
ُ ‫ُُثَّ لتَْب لُغُوا أ‬
.‫يج‬ٍ ِ‫ت ِم ْن ُكل َزْو ٍج ََب‬ ْ َ‫ت َوأَنْبَت‬ ْ َ‫ت َوَرب‬
ِ
ْ ‫ض َىام َدةً فَِإ َذا أَنَْزلْنَا َعلَْي َها الْ َماءَ ْاىتَ َّز‬ َ ‫َوتََرى ْاْل َْر‬
Artinya: “Wahai umat manusia, sekiranya kamu menaruh syak (ragu-ragu)
tentang kebangkitan makhluk (hidup semula pada hari kiamat), maka
(perhatilah kepada tingkatan kejadian manusia) karena sebenarnya
Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setitik air
benih, kemudian sebuku darah beku, kemudian dari seketul/segumpal
daging yang disempurnakan kejadiannya dan yang tidak
disempurnakan; (Kami jadikan secara yang demikian) karena Kami
hendak menerangkan kepada kamu (kekuasaan Kami); dan Kami pula
menetapkan dalam kandungan rahim (ibu yang mengandung itu) apa
yang Kami rancangkan hingga ke suatu masa yang ditentukan

75
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq Al-Insan Bai Nal-Tubb…, hlm.263.
76
Muslim, Shahih Muslim,Kitab Al-Qadar, jil. 7, Terj. Jumadi, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2004), hlm. 79.
29

lahirnya; kemudian Kami mengeluarkan kamu berupa kanak-kanak;


kemudian (kamu dipelihara) hingga sampai ke peringkat umur
dewasa; dan (dalam pada itu) ada diantara kamu yang dimatikan
(ketika kecil atau ketika dewasa) dan ada pula yang dilanjutkan
umurnya ke peringkat tua nyanyuk sehingga ia tidak mengetahui lagi
akan sesuatu yang telah diketahuinya dahulu. Dan (ingatlah satu bukti
lagi); engkau melihat bumi itu kering, kemudian apabila kami
menurunkan hujan menimpanya, bergeraklah tanahnya (dengan
tumbuh-tumbuhan yang merecup tubuh), dan gembur membusutlah
ia, serta ia pula menumbuhkan berjenis-jenis tanaman yang indah
permai.”

Muḍgah Mukhallaqah disini dimaksudkan kepada makna embrio yang


sempurna kejadiannya dan ia akan terus mengalami pertumbuhan tisu-tisu dan
sistem organan. Sedangkan yang dimaksud dengan Muḍgah Ghair Mukhallaqah
bermakna embrio yang tidak sempurna kejadiannya dan akan mengalami
keguguran.77

d. Pembentukan Tulang Belulang („Izāmah) dan Daging yaitu Otot-otot


„Izāmah yaitu proses terbentuknya tulang belulang, kemudian tulang
belulang itu dibungkus dengan daging dan proses ini disebut kasaunah yang
diambil dari kata kasā yang berarti membungkus.78
Makna kata ini dapat dipahami lebih lanjut ketika menelusuri firman
Allah mengenai pembentukan tulang adalah dengan dimulai dari pembentukan
daging atau otot-otot. Dengan kata lain, apabila tulang-belulang dibentuk, ia
akan dibaluti atau dibungkus oleh otot-otot (daging). Pernyataan ini dapat
dirujuk kepada firman Allah dalam surat al-Mu‟minun ayat 14, yang berbunyi:

َّ‫ضغَةَ ِعظَ ًاما فَ َك َس ْونَا الْعِظَ َام َحلْ ًما ُُث‬


ْ ‫ضغَةً فَ َخلَ ْقنَا الْ ُم‬
ْ ‫ُُثَّ َخلَ ْقنَا النُّطَْفةَ َعلَ َقةً فَ َخلَ ْقنَا الْ َعلَ َقةَ ُم‬
.‫ي‬ ِِ ْ ‫أَنْشأْنَاه خلْ ًقا آخر فَتبارَك اللَّو أَحسن‬
َ ‫اْلَالق‬ ُ َ ْ ُ َ ََ َ َ َ ُ َ
Artinya : “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu

77
Abd.Majid, Manusia Ditinjau dari Aspek…, hlm. 74.
78
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan...,hlm. 167-168.
30

Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik”. (QS. Al-Mu‟minun: 14).

Dalam ayat di atas diterangkan bahwa tulang-tulang yang keras itu


dijadikan oleh Allah daging yang lain untuk membalutnya dan balutan itu begitu
rapi dan kuat.79 Sementara itu, pembentukan tulang berlaku pada minggu kelima
dan keenam dan otot-otot yang membaluti tulang-belulang berlaku di minggu
keenam dan ketujuh,80 yaitu masih berada di dalam masa Muḍgah.
Tulang yang dijadikan oleh Allah itu telah dijelaskan oleh pengkajian
sains kepada dua jenis yaitu tulang rawan yang lembut seperti tulang hidung dan
telinga. Sementara satu lagi ialah tulang padat yang keras seperti tulang kering,
tulang belikat dan tulang lengan. Apabila janin membesar, tulang rawan ini
digantikan dengan sel-sel tulang melalui proses osifikas,81 apabila anak-anak
telah tumbuh berkembang dan membesar maka tulangnya menjadi semakin
berat dan keras. Akhirnya tulang-tulang tersebut akan menjadi lebih kuat.
Setelah Allah menciptakan tulang-belulang dari lapisan mesoderma,
diciptakan pula otot-otot untuk membaluti dari lapisan yang sama. Sel-sel somit
yang selebihnya yaitu yang tidak terlibat di dalam pembentukan sklerotom
(pembentukan tulang) kemudian membeda untuk membentuk miotom
(pembentukan otot-otot) yaitu yang menghasilkan otot-otot untuk membungkus
tulang-belulang yang masih dalam peringkat pembentukan.82
Kajian sains telah membuktikan bagaimana otot-otot tersebut membaluti
tulang-belulang. Di mana melalui sistem rangka yaitu koleksi tulang dan sendi
yang dicantumkan oleh ligament telah membentuk satu bingkai pelindung dan
penyokong. Ia gunakan untuk menutup otot-otot dan tisu-tisu badan pada tulang.

79
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir …, hlm. 345.
80
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq Al-Insan Bai Nal-Tubb…, hlm. 286.
81
Abd.Majid, Manusia Ditinjau dari Aspek…, hlm. 77.
82
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq Al-Insan Bai Nal-Tubb,...hlm. 287.
31

Allah menciptakan tulang-tulang dahulu dan kemudiannya dibaluti


dengan otot-otot di mana melalui kajian sains ia telah dapat diketahui dan
dibuktikan keduanya (tulang-belulang dan otot-otot) mempunyai peran yang
penting terhadap pergerakan manusia.
Dalam ayat yang lain pula Allah menyatakan dengan firman-Nya dalam
surat Al-Baqarah ayat 259:
ِ ِِ ِ ‫أَو َكالَّ ِذي مَّر علَى قَري ٍة وِىي خا ِويةٌ علَى عر‬
ُ‫ََّن ُُْييِي َٰىذه اللَّوُ بَ ْع َد َم ْوتَا فَأ ََماتَوُ اللَّو‬ َّٰ ‫وش َها قَ َال أ‬ ُُ ٰ َ َ َ َ َ َْ ٰ َ َ ْ
ٍ ِ
‫ت مائَ َة َعام فَانْظُْر إِ َ َٰل‬ ٍ ٍ ِ
َ ْ‫ض يَ ْوم قَ َال بَ ْل لَبِث‬ َ ‫ت يَ ْوًما أ َْو بَ ْع‬ ُ ْ‫ت قَ َال لَبِث‬ َ ْ‫مائَ َة َعام ُُثَّ بَ َعثَوُ قَ َال َك ْم لَبِث‬
‫ف نُْن ِش ُزَىا‬ ِ ِ ‫ك آيَةً لِلن‬ ِ ِ
َ ‫َّاس َوانْظُْر إِ ََل الْعظَ ِام َكْي‬ َ َ‫ك ََلْ يَتَ َسن َّْو َوانْظُْر إِ َ َٰل ِحَا ِرَك َولنَ ْج َعل‬ َ ِ‫ك َو َشَراب‬ َ ‫طَ َع ِام‬
‫َن اللَّ َو َعلَ ٰى ُكل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير‬ َّ ‫ي لَوُ قَ َال أ َْعلَ ُم أ‬
َ َّ َ‫وىا َحلْ ًما فَلَ َّما تَب‬
َ ‫ُُثَّ نَ ْك ُس‬
Artinya: “Atau Apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu
negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata:
"Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?"
Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian
menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya
kamu tinggal di sini?" ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau
setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di
sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu
yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah
menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda
kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang
keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami
membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya
(bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata:
"Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."(QS. Al-
Baqarah: 259).
Oleh karena itu, di sini jelas terbukti bahwasanya Al-Qur‟an itu adalah
kitab yang mengandung mu‟jizat yang dikenal sebagai “Mu‟jizat al-Kubrā” dan
tidak seorang baik itu manusia ataupun makhluk lainnya yang dapat menyangkal
serta menandinginya dan meragukan kebenaran akan keagungan kitab suci Al-
Qur‟an sepanjang masa dan menjadi sebuah rujukan dalam segala aspek
kehidupan.
32

e. Khalqan Ākhar
Khalqan ākhar yaitu suatu organisme pembuahan sel telur sampai
kepada pembelahan sel lalu menyatu sebagai suatu wujud yang sempurna. 83
2. Menurut Ilmu Kedokteran
Sedangkan dalam ilmu kedokteran tahapan istilah kejadian atau
perkembangan janin itu berbeda dengan istilah yang digunakan dalam ilmu
fiqih, yang dibagi menjadi beberapa bagian antara lain:
a. Zigot
Yaitu, ovum (sel telur) yang telah dibuahi oleh sperma laki-laki dalam
saluran telur perempuan. Zigot tinggal selama tiga hari dan disitulah dimulai
pembelahan sel.84 Dari beberapa pakar ahli kandungan, Dr. Nu‟aim Yasins
seorang pakar kedokteran modern mengakui bahwa, para dokter dan ahli
kebidanan modern sanggup melihat secara rinci dan mendalam proses setiap
fase perkembangan janin hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi
bulan dengan menggunakan alat-alat yang canggih, seperti ultrasonografi.85
Eksplorasi penjelasan perkembangan janin sejak masa konsepsinya yaitu
bersatunya ovum dengan sperma berkembang mengikuti tahapan dari satu sel
akan berkembang membentuk susunan jumlah 2-4-8 hingga seterusnya sampai
pada tahap blastokis yaitu nidasi. Sel-sel yang membelah diri disebut dengan
zigot dan masing-masing sel hasil pembuahan sel telur pada tahap awal
membutuhkan waktu selama 30 jam untuk ovulasi.86
b. Embrio
Embrio yaitu tahap yang dimulai selama dua minggu setelah proses
pembuahan.87 Sel-sel (zigot) kemudian akan berkembang menjadi embrio sekitar

83
C.B. Kusmaryanto. SCJ, Tolak Pengguguran Janin..., hlm. 69.
84
Achmad Musyahid Idrus, al-Daulah Vol. 4/No. 1/Juni 2015, hlm. 82.
85
M. Nu‟aim Yasin, Fikih Kedokteran ..., hlm. 57.
86
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi ..., hlm. 26.
87
Ibid., hlm. 67.
33

pada minggu pertama. Perkembangan embrio pada minggu kedua adalah


perkembangan yang disebut dengan blastocyst di mana dasar-dasar tubuh telah
terbentuk yang terdiri dari tiga lapisan tubuh utama berupa embrio, kantung
kuning telur, dan rongga amniotic (cairan ketuban). Dalam susunan embryoblast
terbagi lagi menjadi dua bagian lapisan yang pertama disebut dengan ectoderm
dan endoderm. Ectoderm adalah cikal bakal permukaan luar manusia, seperti
kulit, rambut, dan juga sistem syaraf. Sedangkan Endoderm adalah bagian yang
akan membentuk saluran pencernaan, cabang-cabang usus, hati, dan paru-paru.
Kedua lapisan tersebut pada tahap ini belum mempunyai isi, namun hanya
sebagai pembentuk jaringan-jaringan bayi yang sedang berkembang. 88
Pada usia hari yang kesembilan dan 10 blastocyst telah masuk ke dalam
dinding uterine yang ditandai dengan gumpalan darah kecil di permukaannya.
Dan, pada fase tiga minggu kemudian ketiga lapisan yang disebutkan di atas
mulai terbentuk dengan membuat lapisan rangkap yang berbentuk oval. Pada
minggu ketiga juga terjadi perubahan di sekitar embrio yaitu Trophoblast
semakin menebal dan mulai berongga karena menghasilkan apa yang disebut
dengan villi yang berbentuk jari. Pada masa ini embrio terpisah dari lapisan
Trophoblast yang di sekitarnya adalah ruangan yang berisi cairan extra-
embryoniccoelom. Pada saat kehamilan mencapai usia minggu keempat hingga
kedelapan perkembangannya baru benar-benar disebut sebagai embrio.89
Pada kehamilan mencapai usia minggu kelima perkembangan embrio
disebut dengan istilah leght yaitu embrio dengan panjang lengkung punggung
dari puncak tengkorak hingga pertengahan lengkungan pantat. Pada usia ini,
secara normal embrio memiliki panjang 8 mm dan telah memiliki cikal bakal
otak, jantung, tangan, kaki, dan calon mata yang masih berukuran sangat kecil,
seperti sebesar kacang, dan memiliki lapisan sel yang memproduksi kepala,
ekor, dan pembentukan usus. Namun, belum memiliki saluran pencernaan.
88
Ibid., hlm. 27.
89
Ibid.
34

Pada usia minggu keenam embrio memiliki panjang sekitar 2,5 cm (1


inci), namun organ-organ yang terbentuk jauh dari sempurna. Dan, pada minggu
ketujuh embrio sudah memiliki jantung yang kuat, sebagian otot-otot badan dan
lehernya berkontraksi secara spontan, dan embrio pada usia ini mampu
menggerakkan tangan serta kaki, namun belum dapat dirasakan hanya dapat
dideteksi dengan ultrasound.
Pada minggu kedelapan tubuh embrio mulai berbentuk yang bisa disebut
dengan fetus atau janin. Dengan panjang yang mencapai 3,5 cm. Dengan
pertumbuhan kepala dan mata yang bertambah besar dan telah terbentuknya
pembuluh air mata, telinga serta pergelangan dari kaki dan tangan. Meskipun
masih diselimuti oleh selaput tipis, namun jari-jari tangan dan kaki tampak
jelas.90
c. Janin (Fetus)
Janin, yang disebut dengan janin pada tahap ini yaitu pada saat
pertumbuhan bakal bayi telah memasuki usia delapan minggu sampai lahirnya
dan selama itu terus terjadi pertumbuhan dan perkembangan tetapi tidak ada
tambahan baru.91
Ketika usia kehamilan mencapai tahapan waktu 10 minggu, maka embrio
dapat disebut dengan janin, dan baru pada tahap minggu ke-12 janin dikatakan
sempurna sebagai manusia.92 Oleh karena itu, biasanya janin yang pantas
dikatakan hidup setelah melewati masa 100 hari. Karena pada perkembangannya
setelah 20 minggu janin akan sangat cepat mengalami kemajuan. Pernyataan ini
dapat dilihat dengan mengikuti perkembangan janin yaitu ketika usia kehamilan
mencapai 16 minggu yang sudah dapat dilihat dari otak yang mulai berfungsi
dan tubuhnya sudah ditumbuhi oleh bulu-bulu halus yang disebut dengan lanugo
yang pada awalnya tumbuh di sekitar alis mata dan bibir bagian atas yang akan

90
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi ..., hlm. 28.
91
Achmad Musyahid Idrus, al-Daulah Vol. 4/No. 1/Juni 2015, hlm. 82.
92
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi, ....hlm. 28.
35

tumbuh menutupi seluruh tubuh pada janin yang berusia sekitar 20 minggu.
Pada usia ini panjang janin sekitar 14 cm dengan berat 130 gram.93
Memasuki usia pada minggu ke-28 panjang janin sekitar 35 cm, mata
dan kelopaknya mulai terbuka, kulit sudah terbentuk meskipun masih keriput,
dan rambut kepala mulai tumbuh lebat. Biasanya janin pada usia ini mencapai
berat sekitar 1.000 gram atau sekitar 1 kg sampai 1,1 kg. Lanugo (rambut halus)
pada seluruh tubuhnya mulai menghilang, sedangkan untuk warna kulit yang
semula merah pada usia ini berubah menjadi warna kulit manusia. Karena jenis
kelamin sudah dapat dibedakan, maka pada bayi laki-laki testis yang pada
awalnya di perut mulai ke bawah dan mencapai scrotum (kandung buah zakar).
Panjang janin mencapai 37 cm pada usia minggu ke-30 dengan berat
sekitar 1,6 kg. Pada usia ini perkembangan kepala janin telah selesai dan paru-
parunya mencapai sempurna dan secara samar detak jantungnya dapat didengar
dengan kecepatan durasinya berkisar Antara 120 hingga 160 denyut per menit.
Posisi janin pada rahim ibu menghadap ke bawah dengan kepala mengarah pada
pelvis ibu.
Perkembangan janin yang mencapai usia minggu ke-34 adalah
pembentukan produksi surfaktan yaitu zat yang penting untuk perkembangan
paru dan ventilasi baru yang akan berpengaruh pula pada berat janin yang akan
mencapai 2.000 gram atau berkisar sekitar 2 kg-2,5 kg. Pada usia ini ginjal dan
paru-paru mencapai tahap sempurna. Begitupun dengan pertumbuhan kuku jari
tangan yang telah mencapai ujung, meskipun belum pada bagian kuku jari kaki.
Namun, tubuh janin telah memenuhi ruang rahim ibu, kalaupun ada gerakan,
maka gerakan tersebut berasal dari tangan dan kakinya. 94
Baru kemudian setelah mencapai usia 35 minggu perawatan bayi lebih
mudah disebabkan oleh factor organ-organ vital yang telah matur. Dan, pada
usia minggu ke-37 kehamilan lengkap bisa disebut sebagai pretem (premature)
93
Ibid., hlm. 29.
94
Ibid., hlm. 29-30.
36

karena perkembangan kematangan organ. Kehidupan janin bayi akan lebih


mudah ketika kehamilan mencapai usia 38-42 minggu yang pada masa itu berat
bayi akan mencapai 3.300 gram, masa ini disebut dengan masa aterm. Pada
masa ini sebagian besar lanugo telah tanggal dan panjang rambut kepala
mencapai 2 cm sampai 4 cm. Meskipun tubuhnya masih ditutupi oleh vernix,
kecuali bagian mulut dan mata. Untuk pertumbuhan kuku pada tangan janin
tumbuh melebihi ujung jarinya, sedangkan untuk tangan mencapai ujung jari
dan panjang janin pada usia ini sekitar 48 cm dengan berat sekitar 3,4 kg.
Berikut penjabaran perkembangan janin dalam table.
Table 2.1. Perkembangan Organ Janin Menurut Usia 11-20 minggu
Usia Fertilisasi Panjang Berat Karakteristik
Minggu (mm) (gram) Menstruasi

Mata tertutup, kepala


bulat, jenis kelamin
11 9 50 8 belum jelas dan usus
masih di dalam tali
pusat.

Usus masuk ke dalam


abdomen dan jari-jari
12 10 61 14 pada perkembangan
awal.

Kelamin telah dapat


14 12 87 45 ditentukan dan leher
lebih jelas.

Kepala dapat tegak


16 14 120 110 dan tungkai telah
terbentuk sempurna.
37

18 16 140 200 Telinga luar terbentuk.

Terdapat Vernix
20 18 160 320 Caseosa dan mulainya
pembentukan kuku.

Pendapat lain mengatakan secara teknis janin terbentuk ketika kehamilan


berusia delapan minggu sampai saat kelahiran. Pada tahap delapan minggu
inilah janin akan memiliki semua karakteristik penting manusia.95
C. Peniupan Ruh
1. Menurut Ilmu Fiqih
Permasalahan peniupan ruh ke dalam janin merupakan suatu
permasalahan yang sukar untuk diketahui oleh manusia secara pasti karena ia
merupakan permasalahan gaib yang Allah sendiri lah yang mengetahuinya. Ruh
juga adalah wujud di dalam tubuh badan manusia dan sebagai puncak kehidupan
(nyawa). Perkataan “Ruh” disebut sebanyak 24 kali di dalam Al-Qur‟an. Dari
bilangan 24 ini kata ruh mempunyai berbagai makna, di antaranya: 1) Ruh yang
menghidupkan manusia (nyawa), 2) Malaikat Jibril, 3) Al-Qur‟an atau wahyu,
4) Ruh itu sendiri (hakikatnya), 5) Rahmat, semangat dan sehat. Seperti bunyi
Al-Qur‟an surat As-Sajadah ayat 7-9 yang berbunyi:

‫ َّم َج َع َل نَ ْسلَوُ ِم ْن ُس ًَللٍَة ِم ْن َم ٍاء‬.‫ان ِم ْن ِطي‬ ِ ‫اْلنْس‬


ِ ٍ
َ ْ ‫َح َس َن ُك َّل َش ْيء َخلَ َقوُ ّۗ َوبَ َدأَ َخ ْل َق‬
ِ
ْ ‫الَّذي أ‬
‫ۗ قَلِ ًيًل َما تَ ْش ُك ُرو َن‬
ُّۚ ‫ص َار َو ْاْلَفْئِ َد َة‬ ِ ‫ ُُثَّ س َّواه ونَ َفخ فِ ِيو ِمن ر‬.‫ي‬
َّ ‫وح ِو ّۗ َو َج َع َل لَ ُك ُم‬
َ ْ‫الس ْم َع َو ْاْلَب‬ ُْ َ َ ُ َ ٍ ‫َم ِه‬
Artinya: “Yang menciptakan tiap-tiap sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan
dimulakanNya kejadian manusia berasal dari tanah. Kemudian ia
menjadikan keturunan manusia itu dari sejenis pati, yaitu dari air
(benih) yang sedikit dipandang orang. Kemudian ia menyempurnakan
kejadiannya, Serta meniupkan padanya: roh ciptaanNya. Dan ia
mengaruniakan kepada kamu pendengaran dan penglihatan serta hati
(akal fikiran), (supaya kamu bersyukur, tetapi) amatlah sedikit kamu
bersyukur”. (QS. As-Sajadah: 7-9).

95
Ibid., hlm. 30-31.
38

Berdasarkan ayat di atas dapat diketahui bahwa peniupan ruh ke dalam


jasad janin adalah peringkat akhir di dalam tujuh peringkat kejadian manusia di
dalam rahim. Ruh ditiupkan ke dalam janin pada awal bulan kelima kehamilan
pendapat ini tepat dan disetujui oleh ahli-ahli kedokteran, sains embriologi dan
para ulama Islam yang berpegang pada hadis Rasulullah yang artinya:
“Rasulullah Saw. telah menceritakan kepada kami yang dia adalah
seorang yang benar, bahwa seseorang kamu itu dihimpunkan-
kejadiannya di dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk Nuṭfah
kemudian di jadikan „Alaqah seperti tempo itu, kemudian dijadikan
Muḍgah seperti tempo itu juga dan akhirnya diutuskan malaikat untuk
meniupkan ruh kepadanya dan disuruh menulis empat perkara yaitu
rezekinya, ajalnya, amalannya, dan nasibnya celaka atau bahagia”.96
Berdasarkan hadis di atas maka jelaslah proses pembentukan Nuthfah
memakan waktu 40 hari, begitu juga untuk „Alaqah dan Muḍgah. Oleh karena
itu kebanyakan ulama berpendapat bahwa proses setiap peringkat itu memakan
waktu 40 hari dan jumlah semuanya sebanyak 120 hari (17 minggu dan satu
hari). Maka setelah janin berusia 120 hari lalu Allah mengutuskan Malaikat
untuk meniupkan ruh kepadanya.97
Dalam surat Al-Mu‟minun ayat 12-14 juga menjelaskan tentang
permasalahan peniupan ruh ke dalam janin yang berbunyi:

ٍ ‫ ُُثَّ َج َعلْنَاهُ نُطَْف ًة ِِف قَرا ٍر َم ِك‬.‫ي‬


‫ ُُثَّ َخلَ ْقنَا النُّطَْف َة َعلَ َق ًة‬. ‫ي‬ ٍ ‫اْلنْسا َن ِم ْن ُس ًَللٍَة ِم ْن ِط‬
ِ
َ َ ْ ‫َولَ َق ْد َخلَ ْقنَا‬
ُّۚ ‫آخَر‬ ِ ِ ْ ‫ضغَ ًة فَخلَ ْقنَا الْم‬
‫ۗ فَتَبَ َارَك‬ َ ‫ضغَ َة عظَ ًاما فَ َك َس ْونَا الْعظَ َام َحلْ ًما ُُثَّ أَنْ َشأْنَاهُ َخلْ ًقا‬ ُ َ ْ ‫فَ َخلَ ْقنَا الْ َعلَ َق َة ُم‬
ّ .‫َح َس ُن ا ْْلَالِِقي‬
ْ ‫اللَّوُ أ‬
Artinya : ”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan sari pati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Lalu, air mani itu
kami jadikan segumpal darah. Kemudian segumpal darah itu kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan
tulang-belulang. Lalu, tulang-belulang itu kami bungkus dengan
daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.

96
Abd.Majid, Manusia Ditinjau dari Aspek…, hlm. 80-82.
97
Ibid.,hlm. 79-82.
39

Maka, Maha suci Allah, Pencipta yang Paling Baik”. (QS. Al-
Mu‟minuun: 12-14).

Dalam ayat 12 di atas telah dijelaskan bahwa “sesungguhnya kami telah


menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah”. Nas ini
mengisyaratkan tentang periode pertumbuhan manusia, namun tidak
membatasinya. Hal itu menunjukkan bahwa manusia melewati banyak fase yang
berturut-turut. Dari tanah kemudian menjadi manusia. Tanah merupakan sumber
pertama atau fase pertama dan manusia merupakan fase terakhir. Ini adalah
hakikat yang kita ketahui dari Al-Qur‟an. Sesungguhnya Al-Qur‟an menetapkan
hakikat itu agar dijadikan sebagai bahan renungan tentang ciptaan Allah dan
agar dipikirkan peralihan yang panjang dari tanah menuju manusia yang
berjenjang-jenjang dalam pertumbuhannya dari tanah tersebut.98
Pembahasan dari ayat ini menjelaskan bagaimana Al-Qur‟an
menghormati manusia dan menentukan bahwa didalam diri manusia ada ruh dari
Allah. Ruh itulah yang menyebabkan “kerangka saripati dari tanah” menjadi
manusia. Ruh itu juga yang memberikan karakter-karakter yang menjadikannya
layak sebagai manusia dan yang membedakannya dari hewan. Di sinilah letak
perbedaan yang sejauh-jauhnya antara teori Islam dan teori ilmiah yang
bersumber dari materi.
Manusia dan hewan adalah dua hakikat yang sangat berbeda. Keduanya
berbeda disebabkan oleh ruh yang ditiupkan oleh Allah yang menyebabkan
saripati dari tanah itu menjadi manusia. Keduanya juga berbeda dalam wujudnya
disebabkan oleh karakter-karakter khusus yang tumbuh dari tiupan ruh itu yang
menyebabkan janin manusia menjadi “ciptaan dalam bentuk lain”. Hal ini
sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:

‫اْلَالِِقي‬ ْ ‫فَتَبَ َارَك اللَّوُ أ‬


ْ ‫َح َس ُن‬

98
Ibid., hlm. 83-84.
40

Artinya: “Maka, Maha suci Allah, Pencipta yang Paling Baik”. (QS. Al-
Mu‟minuun: 14).
Tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan seorang makhluk selain
Allah. Kata “ahsana” dalam ayat itu bukan untuk menunjukkan kelebihan
(tafḍῑil), tetapi untuk kebaikan yang mutlak bagi penciptaan Allah. Zat yang
telah menganugerahkan bagi manusia kekuatan untuk menempuh fase-fase itu,
sesuai dengan sunnah yang tidak akan berubah, tidak akan menyimpang dan
tidak akan menjadi lambat, hingga tercapai segala yang ditentukan atas manusia.
Yaitu, derajat kesempurnaan hidup manusia, dengan detail sistem itu.99
Sesungguhnya manusia akan terpaku dan terpana di hadapan apa yang
mereka namakan dengan “mukjizat ilmu” ketika seorang manusia menciptakan
suatu yang memiliki karakter tersendiri dan kepintaran sendiri dalam
gerakannya, tanpa keikutsertaan langsung manusia di dalamnya. Keahlian ini
tidak ada apa-apanya dibanding dengan gerak janin dalam fase-fasenya itu.
Antara satu periode dengan periode yang lain terdapat perbedaan yang sangat
mencolok dalam tabiatnya dan perubahan yang sempurna dalam wujudnya.
Namun, manusia melewati peristiwa-peristiwa itu dengan mata buta dan hati
tertutup. Karena, hal ini telah biasa dan akrab dengan mereka sehingga
melalaikan bahwa janin itu sebetulnya adalah hal yang sangat ajaib. Dengan
hanya berpikir dalam masalah bahwa manusia dengan segala karakter-
karakternya tersari dalam satu tetes mani yang tidak dapat dilihat oleh mata
kasar.100
Karakter dan sifat itu juga terus tumbuh menuju puncaknya yaitu
“ciptaan yang lain”. Ia menjadi makhluk yang berakal lagi pada setiap bayi.
Setiap bayi pun membawa sifat warisan yang berbeda-beda dan istimewa secara
tersendiri. Semua itu tersimpan dalam satu tetes mani itu. Sesungguhnya berfikir

99
Muhammad Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur‟an di Bawah Naungan Al-Qur‟an,
Jilid 8 (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 166-167.
100
Ibid., hlm. 168.
41

dalam hakikat ini saja sudah cukup membuka hati-hati yang terkunci ketika
menyaksikan pemandangan yang sangat menakjubkan itu.
Kehidupan manusia yang diawali dari bumi tidak berakhir di bumi,
karena unsur yang bukan tanah telah bercampur dengannya dan masuk dalam
fase perjalanannya. Juga karena tiupan ruh yang tinggi itu telah merumuskan
targetnya, bukan target jasadnya yang bersifat hewani. Ia telah merumuskan
tujuan finalnya, bukan tujuan final daging dan darah yang rendah. Ruh itu telah
menentukan bahwa kesempurnaan hakiki manusia tidak akan tercapai di dunia,
tidak juga dalam kehidupan di bumi ini. Namun, akan sempurna di periode yang
baru yaitu di kehidupan akhirat.101
Dalam hal ini terdapat 3 hadis yang menceritakan terkait permasalahan
dari awal pembentukan janin hingga peniupan ruh ke dalam janin, antara lain:
a. Tujuh hari pembuahan

‫ان اهلل تعلى اذا ارادخلق العبد فجامع الرجل واملراة طار ماؤه كل عرق وغضو منها فاذا كان‬
.)‫السابع مجعو اهلل تعلى ُث احضره َّف كل عرق لو دون ادم (روه اطرب اَّن‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah jika ingin menciptakan manusia, maka Ia
mempertemukan Antara laki-laki dan perempuan yang memancarkan
sperma ke setiap pembuluh dari anggota tubuhnya, jika sudah sampai
pada hari ke tujuh Allah akan menghimpunnya pada setiap pembuluh,
kecuali pada penciptaan adam”. (HR. At-Thabrani).

b. Empat puluh hari pada setiap tahapan

‫عن اىب عبدا لرِحن عبداهلل بن مسعود رضي اهلل عنو قال حدثنا رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم‬
‫ ان احدكم جيمع خلقو ِف بطن امو اربعي يو ما نطفة ُث يكون علقة مثل‬.‫وىو الصادق املصدوق‬
‫ذلك ُث يكون مضغة مثل ذلك ُث يرسل اليو امللك فينفغ فيو الروح ويؤمر باربع كلمات يكتب‬
.-‫رزقو واجلو وعملو وسقي وسعيد–رواه مسلم‬
Artinya: “Dari Abi Abd Rahman Abdillah bin Mas‟ud RA berkata: Rasulullah
menceritakan kepada kami sesungguhnya seseorang dari kamu
kejadiannya dikumpulkan dari perut ibumu selama 40 hari berupa

101
Muhammad Sayyid Quthb, TafsirFi ....,hlm. 164-167.
42

nuṭfah, kemudian menjadi segumpal darah („alaqah) dalam waktu


yang sama, kemudian menjadi segumpal daging (muḍgah) juga dalam
waktu yang sama. Sesudah itu malaikat diutus untuk meniupkan ruh
ke dalamnya dan diutus untuk melakukan pencatatan empat kalimat,
yaitu mencatat rizkinya, usianya, alam perbuatannya, dan celaka atau
bahagia”. (HR. Muslim).

Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim di atas menjelaskan proses


perkembangan janin, sebagai proses yang tertuang dalam Al-Qur‟an, waktu
dalam hadis yang dijelaskan adalah 40 hari pada setiap tahapan
perkembangannya.
c. Masa empat puluh dua malam

‫اذا مرباالنطفو ثنتان واربعي ليلو بعث اهلل اليها ملكافصورمها وخلق مسعها وبصرىاوجلدىاو‬
.‫ روه مسلم‬.....‫احهماو عظا مها‬
Artinya: “Apa bila nuṭfah telah melalui masa empat puluh dua malam, Allah
akan mengutus kepadanya Malaikat untuk memberi bentuk,
menciptakan pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang
belulang”. (HR. Muslim).

Mengacu pada pesan nas mengenai penciptaan manusia yang


mengandung dua unsur antara lain fisik dan ruh, konsep manusia menjadi satu
studi yang menarik dikaji secara ilmiah. Ketika Allah menciptakan unsur baru
ke dalam janin berupa ruh, pada ranah inilah yang kemudian menjadi suatu
perdebatan baik pada ranah fikih maupun sains. Berita peniupan ruh dalam hal
ini adalah berdasarkan berita yang disampaikan melalui wahyu kepada
Rasulullah Saw. yang sampai kepada kita bahwa ruh itu ditiupkan ke dalam
janin setelah berusia 120 hari, yaitu hari pembentukan janin yang sempurna. 102
Sebagaimana ulama sepakat atas hasil-hasil yang telah dipaparkan di atas
tentang masalah yang ada kaitannya dengan peniupan ruh, mereka juga sepakat
atas waktu terjadinya peniupan ruh itu, karena adanya penjelasan dari hadis
Abdullah bin Mas'ud yang kami sebutkan di atas, yang disepakati

102
Maria Ulfa Ansor, Fikih Aborsi ..., hlm. 21-25.
43

keshahihannya. Dimana Rasulullah Saw. membatasi waktunya, yaitu setelah


janin berusia 120 hari.
Pembatasan ini sangat masyhur di kalangan ulama masa lalu dan mereka
pengambilannya dari hadis yang shahih dan mereka menerimanya. Tidak
satupun dari kitab-kitab tafsir, syarah hadis dan ahli fikih yang membahas
tentang ruh dan waktu peniupannya yang keluar dari batasan itu. Banyak yang
menukil, bahwa ulama menyepakati batasan waktu tersebut dan tidak ada
perselisihan di dalamnya. Al-Qurthubi berkata, “Para ulama tidak berbeda
pendapat bahwa peniupan ruh pada janin terjadi setelah janin berusia seratus dua
puluh hari, yaitu empat bulan penuh dan masuk bulan kelima sebagaimana yang
dijelaskan oleh beberapa hadis yang kemudian ditakwilkan sesuai dengan
hukum-hukum yang dibutuhkan”.
Ibnu Abidin berkata, “Sebagian di antara mereka menukil bahwa para
ulama sepakat, bahwa peniupan ruh terjadi setelah empat bulan atau sesudahnya.
Namun tidak berarti sebelum itu tidak ada penciptaan, karena peniupan ruh
terjadi setelah penciptaan sempurna”. An-Nawawi berkata, “Para ulama sepakat
bahwa peniupan ruh tidak terjadi kecuali setelah empat bulan”. Al-Ābi berkata
dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim, “Para ulama sepakat bahwa peniupan
ruh terjadi pada saat bayi berusia empat bulan penuh dan masuk bulan kelima.
Hal itu ada dalam kesaksian, dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya,
harus senantiasa dikembalikan kepadanya jika terjadi perselisihan, dan
karenanya seorang wanita yang dicerai dalam keadaan hamil, kehamilannya
sudah berusia empat bulan, harus diberi nafkah oleh bekas suaminya”.
Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Adapun tentang peniupan ruh, telah
diriwayatkan dari para sahabat, bahwa ruh ditiupkan pada janin setelah dia
berusia empat bulan seperti yang dijelaskan pada zahir hadis Ibnu Mas‟ud”.
Ibnu Hajar menukil lebih dari satu ulama tentang kesepakatan ulama bahwa
peniupan ruh tidak terjadi kecuali setelah empat bulan. Lalu dia menukil
pendapat dari Al-Fadhil Ali bin Al-Muhadzab, “Para ulama sepakat bahwa
44

peniupan ruh tidak terjadi kecuali setelah empat bulan”. Ibnu Hajar berkata,
“Hadis Ibnu Mas‟ud dengan seluruh jalannya menunjukkan bahwa janin akan
berubah pada usia seratus dua puluh hari melalui tiga fase perkembangan yang
tiap-tiap perkembangan membutuhkan waktu empat puluh hari, kemudian
setelah sempurna, ditiupkan ruh padanya.103 Di tempat lain beliau berkata,
“Kemudian malaikat membentuknya menjadi bentuk lain, yaitu pada saat
peniupan ruh ketika sempurna usianya empat bulan.
Di samping adanya kesepakatan yang tidak seorang pun menentangnya
dari ulama Islam klasik, namun para pembahas (ulama) modern ada yang
berkata bahwa peniupan ruh terjadi setelah empat puluh hari pertama setelah
janin terbentuk di dalam perut ibunya. Mungkin mereka terpengaruh oleh apa
yang ditetapkan pada dokter tentang awal penciptaan janin pada fase
pertamanya dan kesempurnaan anggota tubuhnya secara lahir, sekitar empat
puluh hari sebelum empat bulan (90 hari), dengan anggapan bahwa ulama Islam
tidak mengetahui tentang masalah kedokteran ini dan mereka tidak memahami
hadis Ibnu Mas‟ud tersebut secara zahirnya; karena mereka tidak mengetahui
keadaan janin yang sebenarnya. 104
2. Menurut Ilmu Kedokteran
Penciptaan berbeda dengan pembentukan, dan penciptaan dilakukan
terlebih dahulu kemudian disusul pembentukan. Allah menciptakan manusia
dalam Rahim dalam tiga penciptaan yaitu menjadikannya nuṭfah,„alaqah lalu
muḍgah kemudian menjadikannya bentuk yang dapat dikenali dan berbeda dari
yang lain menurut karakteristiknya. Peniupan ruh terjadi setelah fase muḍgah
yaitu setelah 120 hari.
Dengan adanya peniupan ruh ke dalam janin, berarti menetapkan hukum
kehidupan baginya, dan menganggapnya sebagai anak adam yang hidup,

103
M. Nu‟aim Yasin, Fikih Kedokteran ..., hlm. 103.
104
Ibid., hlm. 104.
45

sehingga haram menganiayanya dengan cara aborsi atau cara lain, karena itu
berarti menganiaya manusia yang hidup. 105
Kesepakatan ahli tafsir dan ahli fikih bahwa peniupan ruh ke dalam janin
tidak terjadi sebelum berlalunya empat bulan kehamilan, kemudian perbedaan
pendapat mereka mengenai pembatasan pada jangka waktu tersebut atau lebih,
sepertinya nampak sedikit berbeda dengan pembuktian kedokteran modern yang
menyatakan bahwa kehidupan telah muncul pada janin. Hal itu bisa tampak
dengan menggunakan alat modern.
Dalam penetilian Hasan Hat Shout mengenai aborsi antara agama dan
kedokteran dikatakan, bahwa hak hidup telah dikatakan dalam Islam dan itu
berlaku pada janin. Namun sebagian ahli fikih dahulu melihat kehidupan janin
dengan dimulainya ibu merasakan gerakan janin dalam perutnya. Hal ini
biasanya terjadi pada akhir bulan keempat kehamilan atau 120 hari. Kelompok
ahli fikih mengira bahwa perasaan tersebut disebabkan denyut kehidupan di
dalam janin, atau disebut peniupan ruh. Tetapi kemajuan ilmu kedokteran telah
mengupas fakta bahwa perasaan ibu akan gerakan janin tidak timbul dari
gerakan ini.106
Sebenarnya, janin telah bergerak jauh sebelum itu tetapi si ibu tidak
merasakannya, karena kantong air janin pada mulanya besar dan luas
dibandingkan dengan tubuh janin yang sangat kecil. Seiring dengan berjalannya
waktu, kemudian janin menjadi besar, sehingga tekanan dan tendangan janin
bisa membuat dinding rahim melebar sehingga si ibu merasakannya setelah
empat bulan kehamilan. Sekarang telah ada alat untuk mendengar detak jantung
janin pada usia lima minggu, bahkan alat untuk melihat gerak janin pun telah
ada sekarang ini.

105
Suwito “Penciptaan dan Pembentukan Janin Menurut al-Qur‟an, al-Hadits, dan Ilmu
Kedokteran” al-Hukama di Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 02, No. 02 Desember
2012, hlm. 217.
106
Ibid.
46

Telah terbukti secara ilmiah bahwa janin sejak permulaannya sebagai


embrio telah mulai mengalami bemelahan dan perkembangan. Ia hidup hingga
tumbuh berkembang terus-menerus tanpa ada garis pemisah sebelum dan
sesudahnya yang membolehkan memberlakukan ijtihad para ahli fikih terdahulu.
Kemajuan ilmu pengetahuan ini menjadi landasan proteksi janin pada seluruh
fase perkembangannya.107
Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan pendapat antara teori kedokteran
modern dan asumsi sebagian ilmuan kedokteran bahwa teori ini berlawanan
dengan pemahaman ulama salaf al-salῑh. Bahkan apa yang telah dicapai oleh
ilmu kedokteran modern justru menguak kebesaran ulama, pemahaman mereka
yang benar, dan kemampuan mereka tanpa dengan pengamatan tanpa alat
berdasarkan pada petunjuk nas-nas syar‟iyyah untuk mencapai apa yang telah
dicapai para ilmuan kedokteran dengan petunjuk alat-alat modern yang cermat.

107
Ibid., hlm. 217-218.
BAB III
TAFSIR SURAT AL-ISRA’ AYAT 33 TENTANG PEMBUNUHAN
JANIN MENURUT MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB MALIKI SERTA
ILMU KEDOKTERAN

A. Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 33 Tentang Pembunuhan Janin


Tafsiran dari ayat ini disebutkan bahwa kata “an-nafs” dalam ayat ini
bermakna nafs al-insān (jiwa manusia). Sedangkan huruf alif dan lam dalam
ayat tersebut li al-jinsi (untuk menyatakan jenis), sehingga maknanya dapat
meliputi semua jenis manusia, baik tua atau muda, laki-laki atau perempuan,
merdeka atau budak, muslim ataupun kafir yang terikat perjanjian. Bahkan
tercakup pula janin manusia yang telah ditiupkan ruhnya. Berdasarkan ayat
inilah, sebagian para fuqaha sepakat tentang haramnya pembunuhan janin 108
baik dengan cara aborsi atau yang lainnya jika sudah ditiupkan ruh ke dalam
tubuh setiap calon bayi sedang sebagian lain masih memperdebatkannya.
Frasa lanjutan yang menjadi sifatnya „yang diharamkan Allah‟, menurut
pendapat Al-Razi berfungsi untuk mempertegas haramnya perbuatan membunuh
(„ala sabῑl al-ta‟kῑd). Sementara menurut Al-Alusi, Al-Syawkani dan Al-Qinuji
berpendapat, yang dimaksud dengan jiwa yang diharamkan Allah swt adalah
jiwa yang terpelihara (ma‟shūmah), baik disebabkan oleh Islam maupun oleh al-
ahd (perjanjian).109
Dapat dilihat di dalam ayat ini secara tegas melarang perbuatan
membunuh jiwa yang terpelihara darahnya. Perbuatan tersebut hanya dapat
dilakukan jika memang memiliki alasan yang dibenarkan. Al-Alusi menguraikan
bahwa huruf al-ba‟ memberikan sabābiyyah, sedangkan istisnā‟ memberikan
peluang. Sehingga frasa ini dapat dimaknai: Janganlah kalian membunuh jiwa
dengan sebab apapun kecuali dengan sebab yang benar.110

108
Rokhmat S. Labib, Tafsir Ayat Pilihan Al-Wa‟ie, cetakan pertama, (Bogor: Al-Azhar
Freshzone Publishing, 2013), hlm. 378.
109
Ibid.
110
Ibid., hlm. 379.
47
48

Dalam kitab tafsir surat Al-Isra‟ ayat 33 para mufassir menyebutkan


bahwa perbuatan membunuh jiwa tanpa alasan yang benar menurut syariat
dilarang. Ayat ini masih merupakan kelanjutan ayat-ayat sebelumnya yang
berisi larangan yakni surat Al-Isra‟ ayat 31 dan 32. Jika dalam ayat sebelumnya,
manusia dilarang membunuh anak-anak mereka dan mendekati perbuatan zina,
dalam ayat ini dilarang membunuh jiwa manusia secara umum. Jika dinilai
dapat ditarik benang merah yang menghubungkan ketiga larangan itu, yakni
menjaga keberlangsungan kehidupan manusia 111 dan menjaga keturunan umat
manusia. Dalam lingkup maqāsid ayat ini bertujuan untuk menjaga jiwa (hifzu
an-nafs) dan menjaga keturunan (hifzu an-nasl) tujuan utama dari ayat ini
termasuk sebagai salah satu dari lima pokok dasar disyariatkannya hukum Islam
dalam kehidupan seluruh umat.
Ayat ini berbunyi:

.....ّۗ‫س الَِِّت َحَّرَم اهللُ إََِّل بِاحلَق‬


َ ‫َوََل تَ ْقتُلُ ْوا النَّ ْف‬
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.112 (QS.
AL-Isra‟: 33).
Tafsir surat Al-Isra‟ ayat 33 ini memiliki korelasi dengan tafsiran dua
ayat sebelumnya yang substansinya sama-sama melarang pembunuhan.
Larangan antara perbuatan untuk membunuh anak karena takut akan kemiskinan
dan larangan membunuh anak karena perbuatan zina memiliki korelasi dan
hubungan yang juga sama dengan larangan membunuh jiwa tanpa hak. Larangan
perbuatan zina dipandang sebagai salah satu perbuatan yang akan
mengakibatkan seorang perempuan yang melakukan perbuatan zina lalu
mengandung maka dengan demikian selanjutnya bayi tersebut akan digugurkan
karena pada mulanya bayi tersebut tidak diinginkan kehadirannya. Pernyataan

111
Rokhmat S. Labib, Tafsir Ayat Pilihan ...., hlm. 377.
112
Maksud dari kata yang dibenarkan oleh syara' ialah seperti qishash membunuh orang
murtad, rajam dan sebagainya.
49

ini yang disebutkan sebagai alasan perbuatan zina memiliki korelasi dan
hubungan tentang pembunuhan dimana akhirnya semua akibat dari perbuatan
tersebut akan membunuh jiwa yang tidak bersalah dan hal ini bertentangan
dengan hukum Islam, demikian salah satu bentuk kehati-hatian dan tindakan
antisipatif dari mafsadat yang lebih besar.113
Islam adalah agama kehidupan dan agama kedamaian. Membunuh jiwa
dalam pandangan islam menurut Sayyid Qutub yang disebutkan dalam kitab
tafsirnya dinyatakan sebagai sebuah dosa besar sesudah dosa perbuatan syirik
kepada Allah. Hal ini dinyatakan demikian dengan alasan bahwa Allahlah Yang
Maha memberi kehidupan. Sehingga itu, tidak ada hak bagi siapapun untuk
mencabut kehidupan seseorang, kecuali dengan izin Allah dan pada batas-batas
yang sudah ditentukan-Nya.Setiap jiwa adalah terhormat dan tidak boleh
disentuh, kecuali dengan alasan yang benar dan maksud alasan yang benar
dalam ayat ini menurut Sayyid Qutub telah disebutkan oleh Allah dengan sangat
jelas dalam firman-Nya dan tidak pula dibiarkan ada cela untuk sebuah pendapat
atau pengaruh hawa nafsu manusia untuk membunuh orang lain.114
Sebagaimana disebutkan dalam kitab shahih bukhari dan Shahih Muslim bahwa
Rasulullah saw. bersabda yang artinya berbunyi:
“Dari Ibnu Mas‟ud ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal
darah seorang muslim yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku
adalah utusan Allah kecuali karena salah satu dari berikut ini : orang
yang sudah menikah berzina, membunuh orang, meninggalkan agamanya
dan memisahkan diri dari jamaah”. (HR. Bukhari dan Muslim).115
Perbuatan membunuh atau dalam istilah medis menggugurkan janin
sebelum waktunya dan bayi tersebut meninggal, merupakan perbuatan yang
menurut ulama hadis maupun ulama tafsir sebagai tindak kejahatan yang dapat

113
Uraian selengkapnya liat: Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilalalil Qur‟an Di Bawah
Naungan Al-Qur‟an (Surah Yusuf 102-Thaahaa 56), Jilid VII, terj. As‟ad Yasin, (Depok: Gema
Insani Press, 1992), hlm. 252.
114
Uraian Selengkapnya lihat Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilalil ...., hlm. 253.
115
Musthafa Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi (Syarah Hadits Arba‟in Imam
Nawawi), terj. Iman Sulaiman, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 110.
50

dituduhkan terhadap wanita tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang


artinya berbunyi:
“Dari Umar bin Al-Khattab ra., bahwa dia bermusyawarah dengan
orang-orang tentang wanita yang menggugurkan kandungannya sebelum
waktunya dan janinnya mati. Maka Al-Mughirah bin Syu‟bah ra.
berkata, „Aku pernah menyaksikan nabi saw. menetapkan untuk
menyerahkan seorang budak laki-laki atau wanita‟. Lalu Umar berkata:
„Hendaklah engkau benar-benar mendatangkan seseorang yang ikut
menyaksikan bersamamu‟. Maka Muhammad bin Maslamah ikut
memberikan kesaksian bersamanya”.116

Ibnu Hajar menyebutkan bahwa pembunuhan terhadap jiwa seseorang


disyaratkan harus adanya unsur kesengajaan di dalamnya dan menggunakan alat
baik itu benda tumpul ataupun tajam selama adanya unsur kesengajaan maka
baginya berlaku hukum qishas.117 Sebagaimana membunuh jiwa yang tidak
bersalah atau tanpa adanya alasan yang dibenarkan syara‟ dengan demikian
membunuh seorang bayi tanpa alasan yang membenarkannya juga, maka
perbuatan tersebut termasuk perbuatan membunuh jiwa yang tidak bersalah dan
sebagian besar ulama menyatakan bahwa hal itu hukumnya ialah haram meski
para ulama masih memperdebatkan alat yang digunakan untuk membunuh. Hal
ini sebagai bentuk pencegahan dari mafsadat yang akan lahir setelahnya.
Pencegahan yang dibawa dalam tafsiran ayat ini, yakni dilarang
membunuh jiwa baik berupa: laki-laki, wanita, orang yang sudah tua dan bahkan
anak kecil yang tidak mempunyai kesalahan apapun sebelum kelahirannya di
dunia merupakan suatu bentuk pencegahan dari bentuk kejahatan yang lebih
besar, yaitu: kerusakan ruhani dan spritual yang pada akhirnya akan
menyebabkan timbulnya sikap anarkisme di tengah masyarakat. Tindakan ini
jika tidak dicegah maka akan mengancam keamanan serta aturan yang sudah

116
Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, Syarah Hadits Pilihan (Bukhari-Muslim),
terj. Kathur Suhardi, (Bekasi: PT Darul Falah, 2013), hlm. 994.
117
Uraian selengkapnya liat: Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa‟ul Bayan (Tafsir Al-Qur‟an
Dengan Al-Qur‟an, Surah Huud-Yuusuf-Ar-Ra‟d-Ibrahim-Al-Hijr-An-Nahl-Al-Isra‟), terj. Bari
dan dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 816-817.
51

ditetapkan oleh Allah kepada umatnya di muka bumi ini.118 Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa asal darah setiap manusia itu terlindungi
kehidupannya demikian juga akalnya, karena pada asalnya semua makhluk
tercipta untuk mencintai berlangsungnya kehidupan manusia dalam bentuknya
yang paling baik.119
B. Hukum Pembunuhan Janin Menurut Mazhab Hanafi
1. Sekilas Tentang Mazhab Hanafi
Nama yang digunakan oleh mazhab ini diambil dari nama seorang imam
yang dikenal dengan panggilan Abu Hanifah. Nama lengkap beliau dari kecil
ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zuta bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa
persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah
pindah ke Kuffah. Oleh karena itu beliau bukan keturunan bangsa Arab asli,
tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa arab) dan beliau dilahirkan di
tengah-tengah keluarga berbangsa Persia.120
Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal di
Kuffah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun
dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Segala daya pikir,
daya cepat tanggapnya dimiliki pada saat masa Amawi, akalnya terus
berkembang dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui, hal ini merupakan
salah satu bentuk keistimewaan akal ulama yang terus mencari tambahan.
Segala pemikiran yang dikemukakan di masa Amawi lebih banyak dari pada
yang dikemukakannya pada masa Abbasi.121
Abu Hanifah mempunyai beberapa orang putra, diantaranya ada yang
dinamakan Hanifah, maka karena itu beliau diberi gelar oleh banyak orang

118
Uraian selengkapnya liat: Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an ..., hlm. 253
119
Uraian selengkapnya liat: Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, AL-Wafi
Syarah Hadis Arba‟in...., hlm. 111
120
Ibid.
121
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali,Cet. Ke-9, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), hlm. 19.
52

dengan Abu Hanifah.Ini menurut satu riwayat dan menurut riwayat yang lain:
sebab beliau medapat gelar “Abu Hanifah” karena beliau adalah seseorang yang
rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan
kewajiban dalam agama. Karena perkataan “hanῑf” dalam bahasa arab artinya
“cenderung atau condong” kepada agama yang benar. Dan ada pula yang
meriwayatkan, bahwa beliau mendapat gelar Abu Hanifah diakrenakan eratnya
berteman dengan “tinta”. Karena perkataan “hanῑfah” menurut bahasa Irak,
artinya “dawat atau tinta”. Yakni beliau dimana-mana senantiasa membawa
dawat guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh para
guru beliau atau lainnya. Dengan demikian beliau mendapat gelar dengan Abu
Hanifah.122
Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama besar, dan terkenal di
segenap kota-kota besar, serta terkenal di sekitar Jazirah Arabiyah pada
umumnya, maka beliau dikenal pula dengan gelar: Imam Abu Hanifah. Setelah
ijtihad dan buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui
serta diikuti oleh banyak orang dengan sebutan “Mazhab Imam Hanafi”.123
Sebagaimana ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa,
Imam Abu Hanifah meninggalkan banyak ide dan buah fikiran. Sebagian ide
dan buah fikirannya ditulisnya dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun
oleh murid-muridnya untuk kemudian di bukukan. Kitab-kitab yang ditulisnya
sendiri antara lain:
1) Al-Farā‟id: yang khusus membicarakan masalah waris dan segala
ketentuannya menurut hukum Islam.
2) Asy-Syurūṭ: yang membahas tentang perjanjian.
3) Al-Fiqh al-Akbār: yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi
syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidi dan
Imam Abu al-Muntaha al-Maula Ahmad bin Muhammad al-Maghnisawi.
122
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai ...., hlm 20.
123
Ibid.
53

Jumlah kitab yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak,


didalamnya terhimpun ide dan buah fikiran Abu Hanifah. Semua kitab itu
kemudian menjadi pegangan pengikut mazhab Imam Hanafi. Ulama Mazhab
Hanafi membagi kitab-kitab itu kepada tiga tingkatan yaitu: Pertama, tingkat al-
Ushūl (masalah-masalah pokok), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah
langsung yang diriwayatkan Imam Hanafi dan sahabatnya kitab dalam kategori
ini disebut juga Zāhir ar-Riwāyah (teks riwayat).124 Kedua, tingkat Masāil an-
Nawāzir (masalah yang diberikan sebagai nazar). Dan yang Ketiga, tingkat al-
Fatwā Wa al-Faqi‟āt, (fatwa-fatwa dalam permasalahan) yaitu kitab-kitab yang
berisi masalah-masalah fikih yang berasal dari istinbāṭ (pengambilan hukum dan
penetapannya) ini adalah kitab-kitab an-Nawāzil (bencana), dari Imam Abdul
Lais as-Samarqandi.125
2. Pandangan Mazhab Hanafi Dalam Hukum Pembunuhan Janin
Menggugurkan kandungan sama halnya dengan melakukan perbuatan
pembunuhan terhadap janin. Mengenai hukum menggugurkan kandungan, tidak
didapatkan nas yang secara langsung menyebutkannya, baik Al-Qur‟an maupun
hadis. Sedangkan yang dijelaskan di dalam kitab Allah Azza wa Jalla adalah
tentang haramnya membunuh orang tanpa hak, mencela perbuatan itu dan
menghukum pelakunya dengan hukuman yang abadi di neraka, sebagaimana
Allah berfirman dalam surat An-Nisa‟:

ُّ‫ّولَ َعنَو‬ ‫ب ه‬
َ ‫َّّللاُّ َعلَ ْي ِو‬ ِ ‫َو َه ْن ّيَ ْقتُلْ ّ ُه ْؤ ِهنًاّ ُهتَ َع ِّودًاّفَ َج َزا ُؤهُّ َجهَنه ُن ّخَا ِلدًاّ ِفيهَاّ َوغ‬
َ ‫َض‬
.‫ظي ًوا‬ ِّ ‫َوأَ َع هدّلَوُّ َع َذابًاّ َع‬
Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya ialah jahannam dan ia kekal di dalamnya. Allah
murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan azab yang
besar baginya”. (QS. An-Nisa‟: 93).
Sebagaian besar dari fuqaha Hanafiyyah berpendapat bahwa
diperbolehkan sebelum janin terbentuk, tepatnya membolehkan aborsi sebelum
124
Abdul Aziz Dahlan Dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), Cet. Ke-1, hlm. 81.
125
Ibid.
54

peniupan ruh tetapi harus disertai dengan syarat-syarat rasional, meskipun kapan
janin terbentuk masih dalam ikhtilāf. Sementara Ali Al-Qami salah seorang
imam mazhab Hanafiyyah kenamaan dan sangat terkenal pada zaman beliau
memakruhkan aborsi. Menurutnya makruh dalam aborsi lebih condong kepada
makna dilarang (haram) dikerjakan, bila dilanggar pelaku dianggap berdosa dan
patut diberi hukuman yang setimpal.
Ulama yang membolehkan pilihan aborsi umumnya sependapat bila
belum terjadi penyawaan karena dianggap belum ada kehidupan, sehingga bila
digugurkan tidak termasuk perbuatan pidana (jinayat), pendapat yang
membolehkan aborsi sebelum janin berusia 120 hari adalah ibnu abidin salah
satu pengikut Hanafi, menyatakan: fuqaha mazhab ini memperbolehkan
menggugurkan kandungan selama janin masih berbentuk segumpal daging atau
segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan
waktu terbentuknya janin sempurna adalah setelah janin berusia 120 hari.
Mereka membolehkan sebelum waktu itu, karena janin belum menjadi
manusia.126
Adapun konsekuensi hukumannya bagi pelaku ada beberapa pandangan
menurut At-Thathawi apabila janin yang digugurkan itu dalam fase „Alaqah atau
Muḍgah maka pelakunya tidak wajib dikenai denda janin, tetapi cukup dihukum
dengan kadar berat ringannya ditentukan oleh hakim (ta‟zῑr) karena dianggap
telah merusak sesuatu yang sangat berharga. Menurut Al-Asrusyani pelaku
wajib membayar uang kompensasi (ghurrah) bila kehamilan yang digugurkan
telah berusia empat bulan tetapi jika kurang dari usia tersebut maka uang
kompensasi tidak wajib. Namun menurut Abu Bakar yang dikutip Al-Asrusyani,
meskipun janin yang digugurkan baru berupa segumpal daging (muḍgah) dan
pelakunya tidak perlu dedenda, tetapi ia harus bertaubat, memohon ampun
kepada Allah atas kecerobohannya hingga merusak calon manusia.

126
M. Nu’aim Yasin, Fiqih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001), hlm. 202.
55

Menurut al-Buti yang tergolong ulama kontemporer dari kalangan


Hanafi mengatakan bahwa membolehkan aborsi sebelum kehamilan memasuki
bulan ke empat hanya tiga kasus yaitu: pertama, apabila dokter khawatir bahwa
kehidupan ibu terancam akibat kehamilan; kedua, jika kehamilan dikhawatirkan
akan menimbulkan penyakit di tubuh ibunya; ketiga, apabila kehamilan yang
baru menyebabkan terhentinya proses menyusui bayi yang sudah ada dan
kehidupannya sangat bergantung pada susu ibunya.127
Dasar diperbolehkannya pengguguran pada setiap tahap sebelum
terjadinya pemberian nyawa, bahwa setiap sesuatu yang belum diberikan nyawa
tidak akan dibangkitkan di hari kiamat. Begitu pula dengan janin yang belum
diberikan nyawa, maka ketika tidak ada larangan, janin tersebut boleh
digugurkan. Indikasi lain yang paling banyak dikutip dari mazhab ini adalah
ketika si ibu pada waktu hamil sedang dalam keadaan menyusui anaknya dan
susunya terhenti, sementara si ayah tidak mempunyai biaya untuk menyediakan
susu pengganti, keadaan ini dibenarkan aborsi karena untuk memelihara
kehidupan anak yang sedang menyusui. Sementara, alasan lain juga biasanya
ketika terjadi sesuatu yang buruk menimpa si ibu, seperti adanya resiko dalam
melahirkan.128 Sementara sebagian ulama lain dari kalangan ulama Hanafiyah
seperti yang dikemukakan oleh Abdullah Mahmud al-Mushili bahwa aborsi
diperbolehkan sebelum janin melewati 42 hari. Alasan lain muncul dari mazhab
Hanafi tentang kebolehan aborsi sebelum ditiupkannya ruh ke janin yaitu
sebelum 120 hari.129
Mazhab Hanafi sepakat berpendapat tentang bolehnya melakukan aborsi
selama belum ditiupkannya ruh ke janin yaitu sebelum 120 hari apabila
ditemukan alasan yang bisa diterima dan membolehkan aborsi. Ulama mazhab

127
Muhammad Sai‟d Ramadhan al-Buti, Tahdid al-Nashl, (Damaskus; Maktabah al-
Farabi, 1979), hlm. 179.
128
Ibid.
129
Abbas Syauman, Hukum Aborsi dalam Islam ...., hlm. 78.
56

Hanafi memberi contoh alasan ini seperti terhentinya air susu ibu setelah jelas
kehamilan, padahal ia memiliki anak yang sedang disusui, dan ayahnya tidak
mampu mengupah murḍῑ‟ah (perempuan yang menyusui). 130 Alasan seperti ini
yang menurut ulama mazhab Hanafiyah boleh melakukan pengguguran terhadap
janin yang sedang dikandungnya. Langkah ini dilakukan untuk memberi
kemaslahatan bagi si ibu dan anak yang sedang disusui.
Kebolehan atau keharaman melakukan aborsi telah dijelaskan oleh
beberapa ulama dari kalangan ulama Hanafiyah, namun selain dari itu ada juga
ulama dari pengikut Hanafiyah yang memberi fatwa bahwa melakukan aborsi
janin yang belum ditiupkannya ruh hukumnya makrūh, karena sperma berada di
dalam rahim, kelak ia akan hidup. Makrūh menurut Ali bin Musa adalah makrūh
littahrῑm.131
Sejalan dengan apa yang telah penulis bahas di atas, terdapat pendapat
yang membolehkan pengguguran pada setiap tahap dari tahap-tahap sebelum
pemberian nyawa (al-nuṭfah, al-„alaqah, dan al-muḍgah). Ini adalah pendapat
yang kuat di kalangan ulama Hanafiyah. Mereka mengemukakan beberapa
alasan, di antaranya:132
a. Setiap yang belum diberi nyawa tidak akan dibangkitkan Allah pada hari
kiamat. Setiap yang tidak dibangkitkan berarti keberadaannya tidak
diperhitungkan. Dengan demikian tidak ada larangan untuk
menggugurkannya.
b. Janin sebelum diberi nyawa tidak tergolong sebagai manusia, maka tidak
ada larangan baginya, yang berarti boleh digugurkan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, banyak pendapat yang muncul
di kalangan ulama Hanafiyah seputar aborsi. Di antara ulama-ulama Hanafiyah

130
Ibid.
131
Ibid.
132
Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ. (editor), Problematika Hukum
Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1998), hlm. 126.
57

ada yang membolehkannya secara mutlak, ada juga yang membolehkannya


dengan syarat tertentu dan ada juga yang mengharamkannya. Perbedaan
pandangan di antara mereka terhadap janin yang belum bernyawa (berusia 120
hari). Sedangkan janin yang sudah ditiupkan ruh mereka sepakat bahwa itu
diharamkan dan dinyatakan sebagai tindakan pembunuhan.
Kebolehan melakukan pengguguran menurut sebagian ulama Hanafiah
yaitu, apabila janin yang sedang dikandungnya dapat terancam kehidupan
ibunya (seperti menimbulkan penyakit) dan dapat terhenti proses penyusuan
bayi yang sudah lahir yang sedang disusuinya. Sebagian ulama menyatakan
kebolehan pengguguran apabila mendapat izin dari pemilik janin (kedua orang
tuanya). Sebagai dasar pembolehan pengguguran bayi yang belum ditiupkan ruh
bahwa setiap yang belum bernyawa tidak akan dibangkit di hari kiamat, maka
atas dasar itu sebagian mereka (ulama mazhab Hanafi) membolehkan
pengguguran.
Untuk mengetahui metode Istinbāṭ hukum dalam mazhab Hanafi sudah
tentu kita harus mengetahui metode Istinbāṭ yang digunakan oleh Imam Hanafi
itu sendiri sebagai promotor mazhab ini. Imam Abu Hanifah lahir di kota Kuffah
yang bertepatan pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan yang
merupakan raja Bani Umayyah kelima. Beliau merupakan ulama mujtahid
pertama yang mempromosikan mazhabnya di antara mazhab empat (Hanafi,
Maliki, Syafi‟i dan Hambali). Dengan kata lain, mazhab Hanafi merupakan
mazhab yang paling tua di antara mazhab empat tersebut.133
Di samping beliau terkenal dengan nama aslinya, di kalangan ulama
mujtahid beliau juga dikenal dengan laqab ahlu al-ra‟yu, yakni, karena
kehidupan beliau di Kuffah yang jauh dari Madinah tempat orang-orang
menghafal hadis. Dalam permasalahan hukum yang tidak terdapat dalilnya
dalam Al-Qur‟an ataupun hadis beliau menggunakan ra‟yu (akalnya) untuk

133
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, Terj. Nadirsyah Hawri, (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 197.
58

menetapkan permasalahan hukum tersebut yang berbeda dengan kehidupan


masyarakat Madinah. Di Kuffah orang sangat terbatas mengetahui hadis. Orang-
orang Madinah, selain yang menuliskan hadis sebagai catatan pribadi banyak
juga yang menyampaikan atau memberitahukannya secara lisan dari seseorang
ke orang lain. Karena itu kalau terjadi suatu masalah yang memerlukan
pemecahan, orang mempergunakan Sunnah untuk menyelesaikan permasalahan
itu.134
Abu Hanifah hidup di Kuffah (Irak) yang jauh dari Madinah, di mana
tempat ini “tidak banyak orang mengetahui hadis atau Sunnah Nabi
Muhammad”, serta keadaan penduduk atau kehidupan masyarakat Kuffah jauh
berbeda dengan masyarakat Madinah, sehingga untuk merujuk kepada hadis
sangat terbatas, maka Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan pendapat atau
pemikiran sendiri dengan qiyās atau analogi sebagai alat untuk
Istinbāṭhukum”,135 sehingga beliau dikenal dengan ahlu al-ra‟yu.” Imam Abu
Hanifah mempunyai manhāj tersendiri dalam melakukan Istinbāṭ hukum. Beliau
mengambil dari al-Qur‟an, jika tidak ada maka dari Sunnah Rasulullah Saw. dan
jika tidak ada pada keduanya ia mengambil dari pendapat sahabat”.136
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa manhāj Imam Abu
Hanifah dalam melakukan Istinbāṭ hukum adalah sebagai berikut:137
 Al-Qur‟an, merupakan sumber utama syari‟at dan kepadanya
dikembalikan semua hukum.
 Sunnah, sebagai penjelas al-Qur‟an, menjelaskan yang global dan
alat dakwah bagi Rasulullah dalam menyampaikan risalah
Tuhannya.

134
Mohammad Daud Ali, Hukum…, hlm. 185.
135
Ibid., hlm. 186.
136
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 176.
137
Ibid.
59

 Pendapat sahabat, karena mereka hidup satu zaman dengan


Rasulullah Saw. lebih memahami sebab turunnya ayat,
kesesuaian setiap ayat dan hadis, dan merekalah yang membawa
ilmu Rasulullah Saw. kepada umatnya.
 Qiyās, beliau menggunakan qiyās ketika tidak ada nas Al-Qur‟an
atau Sunnah atau ucapan sahabat.
 Al-istihsān, yaitu meninggalkan qiyās ẓāhir dan mengembalikan
hukum lain, karena qiyās ẓāhir terkadang tidak dapat diterapkan
dalam sebagian masalah.
 Ijmak, yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama
walaupun mereka berbeda pendapat apakah ijmak ini masih ada
setelah Rasulullah Saw.
 Al-„urf (adat istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi
kebiasaan kaum Muslimin dan tidak ada nas, baik dari al-Qur‟an,
Sunnah, atau perbuatan sahabat, dan berupa adat yang baik, serta
tidak bertentangan dengan nas.
Perbedaan intensitas dalam mempergunakan sumber-sumber hukum ini,
menyebabkan perbedaan-perbedaan pendapat diantara para mujtahid yang
akhirnya menimbulkan aliran-aliran pemikiran dalam hukum fikih Islam.
Karena dalam hal ini Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya lebih
mengutamakan mempergunakan pikiran atau ra‟yu dalam memecahkan masalah
hukum lainnya. Penggunaan logika (ra‟yu) tersebut karena di Kuffah sangat
terbatas hadis, maka Imam Hanafi menggunakan ra‟yu-nya untuk
mengemukakan permasalahan hukum tersebut di samping metode-metode lain
seperti qiyās, al-istihsān, dan al-„urūf. Metode-metode inilah yang digunakan
oleh Imam Hanafi dalam melakukan istinbāṭ hukum.
60

C. Hukum Pembunuhan Janin Menurut Mazhab Maliki


1. Sekilas Tentang Mazhab Maliki
a. Mazhab Maliki (Riwayat Hidup Imam Malik)
Nama besar Imam Malik Rahimahullah adalah Abu Abdullah Malik bin
Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amar bin al-Hari bin Ghaiman bin Qutail bin
Amar bin al-Harist al-Asbahi.138 Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah pada
tahun 93 H yang bertepatan dengan tahun 713 M, yaitu pada zaman
pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari kerajaan Bani Umayyah.
Beliau berasal dari keturunan Arab yang terhormat dan dimuliakan oleh
masyarakat karena kakeknya Amir bin Al-Harist banyak berkorban bersama
Nabi Muhammad Saw, dalam menegakkan agama Islam. Kehidupan
keluarganya yang susah tidak memudarkan semangat dan cita-citanya untuk
menjadi orang yang berilmu. Berkat usahanya yang gigih dan bersungguh-
sungguh, akhirnya beliau muncul sebagai seorang ulama, hartawan, dermawan,
dan berhasil memegang jabatan mufti besar di Madinah. Beliau pernah menjadi
guru sejak usia 17 tahun dan dapat mengajar dengan baik walaupun masih
muda. Majelis pengajian beliau dilakukan di Masjid Nabawi. Beliau adalah
pendiri Mazhab Maliki dan meninggal dunia saat usianya 86 tahun pada 10
Rabiul Awal 179 H/798 M, beliau meninggalkan tiga orang putra dan seorang
putri. Mazhab Maliki berkembang di beberapa tempat di dunia, seperti
Maghribi, Algeria, Libya, Irak dan Palestina.139
Negeri Hijaz merupakan negeri yang menjadi tempat turunnya wahyu
dan tempat kelahirannya ulama-ulama ahli sunnah. Di negeri ini telah lahir
sebuah aliran mazhab yang mempunyai corak tersendiri yang dikenal dengan
aliran Hijaz atau aliran Madinah. Aliran mazhab ini menurut asal-usulnya

138
Abdurrahman, Perbandingan Madzhab-madzhab, (Bandung: Sinar Baru, 1986), Cet.
Ke-1, hlm. 29.
139
Hudhair Bik, Tarikh al Tasyri‟ al Islam.Terj. Mohammad Zuhri “Sejarah Pembinaan
Hukum Islam”, (Bandung: Darul Ihya, 1980), hlm. 419.
61

berpangkal kepada Umar bin Khattab dan putranya Abdullah, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Abbas dan Aisyah istri Nabi Saw. Kemudian setelah beliau-beliau
itu dicontoh dan dilanjutkan oleh ulama-ulama fikih terkenal seperti Sa‟id bin
Mus‟ib, Urwah bin Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Sulaiman bin Yusuf, Kharijah bin Zaid, Ubaidah bin Abdullah
dan lain-lainnya.140
2. Pandangan Mazhab Maliki Dalam Hukum Pembunuhan Janin
Para ulama Malikiyah berselisih pendapat tentang hukum pengguguran
janin sebelum peniupan ruh. Perbedaan itu dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:141
a) Jumhur ulama mereka mengharamkan pengguguran kandungan setelah
air mani berada di dalam Rahim. Keharaman tersebut sebagaimana
diungkapkan Syaikh Ahmad ad-Dardi dan Syaikh Alaisy yang dikutip
oleh M. Nu‟aim Yasin dalam kitab asy-Syarah al-Kābir Ma‟a
Hāsiyyah ad-Dasūki. Menurut mereka tidak boleh mengeluarkan mani
yang telah tertanam di dalam Rahim walaupun sebelum berusia 40 hari.
Jika Rahim telah menangkap air mani, maka tidak boleh bagi suami-
isteri ataupun salah satu dari mereka untuk menggugurkan janinnya,
baik sebelum penciptaan maupun sesudah penciptaan.
Walaupun demikian, dari tulisan para ulama mazhab Maliki yang
mengharamkan pengguguran kandungan dari satu fase perkembangan ke fase
berikutnya di atas dapat dipahami bahwa keharamannya itu bertingkat-tingkat
sesuai dengan perkembangan umum janin hingga akhirnya pengguguran
kandungan itu dianggap pembunuhan setelah peniupan ruh. Anggapan tersebut

140
Shobi Mahmassani, Filsafat Hukum dalm Islam, (Bandung: PT Al-Ma‟rif, 1976),
Cet. Ke-3, hlm. 61.
141
M. Nu‟aim Yasin, Fikih Kedokteran...., hlm. 204.
62

sejalan dengan pendapat Ibnu Arabi yang membagikan keadaan anak kepada
tiga:142
1) Keadaan sebelum adanya percampuran antara sperma dengan
ovum yang digugurkan dengan melepasnya di luar rahim ketika
sperma keluar, dan ini hukumnya boleh.
2) Keadaan setelah rahim menangkap sperma, maka pada saat itu,
tidak boleh seorangpun untuk menggugurkannya.
3) Keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan bentuk sebelum
peniupan ruh, maka ini lebih tidak diperbolehkan untuk
digugurkan. Adapun setelah peniupan ruh, maka tidak
diperselisihkan lagi, ini termasuk pembunuhan.
b) Sebagian ulama Malikiyah memakruhkan pengguguran janin setelah
janin terbentuk di dalam rahim sebelum berusia 40 hari dan
mengharamkan setelah itu.
c) Al-Lakhami salah satu seorang ulama Malikiyah berpendapat, bahwa
menggugurkan janin sebelum berusia 40 hari hukumnya boleh dan
tidak harus menggantikan apa-apa.
d) Sebagian ulama Malikiyah berpendapat, diberi rukhṣah untuk
menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil
dari perbuatan zina dan khususnya jika wanita takut akan dibunuh jika
ketahuan bahwa dirinya hamil.143
Banyak kalangan ulama yang memberi perhatian terhadap masalah
aborsi, pada satu pihak membolehkan dan satu pihak lain mengharamkannya.
Dalam mazhab Malikiyah ada golongan ulama yang membolehkan pengguguran
pada salah satu tahap (al-nuṭfah, al-„alaqah, dan al-muḍgah) dan melarang pada
tahap-tahap lain. Secara umum tidak ditemukan alasan (dalil) yang mereka
kemukakan secara jelas, kecuali pendapat yang mengatakan boleh pada tahap al-
142
Ibid.
143
Ibid.
63

nuṭfah dan haram pada tahap al-„alaqah, dan al-muḍgah. Mereka berdalil
dengan sabda Rasulullah Saw.:

‫اذا مر بالنطفة اثنتان واربعون ليلة بعث اهلل اليها ملكا فصورىا وخاق مسعها وبصرىا وجلدىا‬
(‫وحلمها وعظامها…)رواه مسلم‬
Artinya: “Apabila nuthfah telah melalui masa empat puluh dua malam, Allah
akan mengutus kepadanya Malaikat untuk memberi bentuk,
menciptakan pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang
belulang.144 (H.R. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa pembentukan wajah pada janin,
penciptaan pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang belulang terjadi
pada permulaan 40 hari yang kedua. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
pada 40 hari yang kedua, janin sudah berbentuk daging dan tulang. Sedangkan
sebelumnya (sebelum 40 hari kedua) janin belum terbentuk apa-apa dan masih
berupa cairan sperma, sehingga dengan demikian boleh digugurkan. 145
Ulama Malikiyah berpandangan bahwa kehidupan sudah dimulai sejak
terjadi konsepsi. Oleh karena itu, menurut mereka aborsi tidak diizinkan bahkan
sebelum janin berusia 40 hari, kecuali al-Lukhami yang membolehkan aborsi
sebelum janin berusia 40 hari. Hal tersebut ditemukan dalam Hāsyyiah ad-
Dasūkῑ bahwa tidak diperbolehkan melakukan aborsi bila air mani telah
tersimpan dalam Rahim, meskipun belum berumur 40 hari. Begitu juga menurut
Al-Laisy, jika rahim telah menagkap air mani, maka tidak boleh suami isteri
atau pun salah satu dari mereka menggugurkan janinnya, baik sebelum
penciptaan maupun sesudah penciptaan.146
Al-Lakhami membolehkan pengguguran kandungan sebelum berusia 40
hari dan tidak harus mengganti dengan denda apapun. Bahkan ulama Malikiyah
lain memberi keringanan (rukhṣah) pada kehamilan akibat perbuatan zina yaitu

144
Imam Muslim, Shahih Muslim, Terj. Adib Bisri Musthafa, Jilid 4, Bab Takdir,
(Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1993), hlm. 780.
145
Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ. (editor), Problematika Hukum
Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1998), hlm. 125.
146
Ibid., hlm. 102.
64

boleh digugurkan sebelum fase peniupan ruh jika takut akan digugurkan
janinnya. Tetapi menurut mayoritas ulama Malikiyah aborsi boleh dilakukan
hanya untuk penyelamatan nyawa ibu, selain itu mutlak dilarang, sebagaimana
dikemukakan oleh Komite Fatwa al-Azhar yang ditulis Gamal Serour yaitu
mengkategorikan aborsi setelah penyawaan sebagai bentuk kejahatan yang
terkutuk, tidak peduli apakah kehamilan tersebut hasil dari sebuah pernikahan
yang sah atau karena hubungan gelap (zina), kecuali jika aborsi tersebut
ditujukan untuk menyelamatkan nyawa ibunya. 147 Sebagian ulama Malikiyah
lain memakrūhkan pengguguran janin sebelum janin terbentuk di dalam Rahim
sebelum berusia 40 hari dan mengharamkannya setelah itu sebagaimana
pendapat Al-Lakhami di atas, yaitu menggugurkan janin sebelum berusia 40 hari
hukumnya boleh dan tidak harus mengganti apa-apa.
Bagi para pengikut mazhab Malikiyah yang membolehkan aborsi seperti
Ibnu Rusydi berpendapat bahwa: selama belum ditiupkan ruh, maka tidaklah
haram menggugurkan janin. Mereka berargumen bahwa janin sebelum ditiupkan
ruh bukanlah merupakan manusia.148 Hal ini senada juga disampaikan dalam
Hāsyiah Ibnu „Ābidῑn yang dikutip oleh Abbas, bahwa perempuan boleh
menggugurkan janin selama kehamilan masih berupa muḍgah atau „alaqah dan
belum berbentuk anggota tubuhnya. Mereka menghitung jangka waktu 120 hari.
Mereka membolehkan aborsi tersebut karena janin bukan anak Adam yang
hidup.149
Dari pendapat para ulama Maliki ini, dapat dipahami bahwa mereka
sepakat mengharamkan pengguguran kandungan jika janin telah berusia 40 hari.
Sedangkan sebelum janin berusia 40 hari, mayoritas ulama Malikiyah
mengharamkannya, ada juga sebagian yang memakhruhkannya, membolehkan,

147
Ibid., hlm. 103.
148
Abbas Syauman, Hukum Aborsi dalam Islam ...., hlm. 75.
149
Ibid., hlm. 76.
65

dan sebagian lain memberi keringanan jika dilakukan sebelum peniupan ruh jika
janin itu merupakan hasil dari hubungan zina.
Metode Istinbāṭ Hukum Mazhab Maliki adalah Imam Malik sebagai
pencetus mazhab Maliki, metode yang ditempuh oleh Imam Malik dalam
menetapkan ketentuan fikih yang tidak terdapat nasnya dalam Al-Qur‟an dan
Sunnah, memang sedikit berlainan dengan metode yang ditempuh oleh para
imam ahli fikih lainnya seperti Imam Syafi‟i. Beliau lebih mengutamakan ijma‟
para sahabat Nabi Saw. daripada qiyās. Imam Hambali juga menggunakan ijmak
sebagai metode untuk melakukan ijtihad. Apabila belum juga dapat
memecahkan suatu kasus, beliau melihat pada apa yang diamalkan oleh kaum
muslimin yaitu amalan penduduk Madinah, karena mereka itulah yang paling
banyak menerima dan mendengar hadis-hadis. Jika dengan itu belum dapat
ditemukan pencegahan tentang suatu kasus, barulah ia menganalogikan kasus
yang baru itu dengan kasus yang mirip yang pernah terjadi jika pada dua kasus
itu terdapat banyak „illat (sebab, alasan) yang serupa atau hampir serupa. Akan
tetapi, jika hasil penganalogian itu ternyata berlawanan dengan kemaslahatan
umum, baginya lebih baik menetapkan keputusan hukumnya atas dasar prinsip
Rasulullah Saw. jika bisa diperolehnya, kemudian dari seorang sahabat, dan
yang terakhir pendapat dan praktik para ahli hukum Madinah, umumnya
pendapat salah seorang dari tujuh ahli hukum di kota tersebut. Sesekali ia
mengutip preseden-preseden150 yang ditinggalkan oleh penguasa-penguasa Bani
Umayyah seperti Marwan bin Al-Hakam, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul
Aziz. Setelah itu ia menyatakan pendapat mazhabnya sendiri, yaitu mazhab
masyarakat kota Madinah, melalui ungkapan-ungkapan tertentu yang digunakan
yaitu: maḍat al-Sunnah (yang demikian ini telah menjadi praktik), al-Sunnah
„indanā (praktik yang ada pada kami), al-Sunnah allatῑ fῑhā „indanā (praktik
dimana tidak terdapat perbedaan di antara kami), al-amr „indanā (praktik kami),

150
Sesuatu yang terjadi sebelumnya dan dijadikan sebagai pertimbangan dan contoh
(ijma‟).
66

al-„amr al-mujtama‟ „alaihi „indanā (praktik kami yang umumnya disepakati),


dan al-amr alladhῑ lā ikhlāfa fῑhi „indanā (praktik kami dimana tidak terdapat
perbedaan di antara kami).
Keseluruhan yang termuat dalam ugkapan-ungkapan ini dalam al-
Muwaṭṭta‟ mempunyai pengertian yang dapat dipertukarkan untuk
memperlihatkan praktik yang mapan dalam masyarakat Madinah. Sebagaimana
telah ditunjukkan sebelumnya, Imam Malik dalam beberapa hal menolak tradisi
dari Rasulullah Saw. dan mendahulukan pendapat seorang sahabat atau tabi‟in.
Hal ini disebabkan praktik yang mapan dan disepakati di Kota Madinah adalah
praktik yang ideal menurutnya. Kenyataan ini menjadikan para ahli hukum Irak
dan Al-Syafi‟i menuduhnya mengabaikan hadis. Alasan bagi penekanan hadis
oleh orang-orang Irak dan Al-Syafi‟i dibandingkan dengan orang-orang
Madinah ialah Kota Madinah memiliki praktik mapan yang diturunkan dari
Rasulullah Saw. Sedangkan Kuffah atau Bashrah tidak memiliki sedikitpun.
Pada kenyataannya, orang-orang Irak mencintai tradisinya sendiri dengan
memadukan hadis dengan ra‟yu.151
Imam Malik menulis sebuah kitab/buku yang terkenal bernama al-
Muwaṭṭa‟, yakni hadis-hadis yang telah diseleksi. Dalam menghadapi kasus-
kasus yang tidak terdapat hukumnya di dalam nas, Imam Malik bersandar pada
kemaslahatan umum, beliau menyebutnya “al-istihsān” atau “al-maṣlahah al-
mursalah” yang memperkaya mazhab fikihnya. 152 Dengan kata lain, al-
maṣlahah al-mursalah merupakan prinsip pokok yang dianut oleh Imam Malik
dalam mengeluarkan fatwanya terhadap hukum-hukum yang tidak terdapat
dalilnya dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Imam Malik dalam nasehatnya berkata
“bahwa apa yang ada dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, adalah benar, tidak ada

151
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Cet. Ke-3, Terj. Agah Garnadi,
(Bandung: Pustaka, 2001), hlm. 92-93.
152
Abdurrahman Al Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Terj. Al-Hamid al-
Husaini, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 272.
67

keraguan di dalamnya, adapun ijtihad, maka Allah yang lebih


mengetahuinya”.153
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis memahami, bahwa urutan dalil
yang digunakan oleh Imam Malik dalam melakukan Istinbāṭ hukum adalah: al-
Qur‟an, Sunnah, amalan penduduk Madinah, Fatwa sahabat, qiyās, al-maṣlahah
al-mursalah, istihsān, saddu ad-dzarῑ‟ah, dan al-„urf (adat). Imam Malik
mengedepankan metode maṣlahah mursalah jika suatu hukum tidak terdapat
dalilnya dala Al-Qur‟an dan Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Malik
lebih mengedepankan kemaslahatan umat. Menurut Malik, praktik yang mapan
di kalangan masyarakat Madinah merupakan refleksi Sunnah yang sudah diakui
kebenarannya dibandingkan dengan hadis yang hanya diketahui oleh sebagian
orang namun tidak dipraktikkannya.
Secara sederhana, penulis memahami bahwa metode Istinbāṭ hukum
yang digunakan mazhab Maliki tidak jauh berbeda dengan metode Istinbāṭ yang
digunakan oleh mazhab Hanafi. Mereka juga menggunakan hadis riwayat
Muslim tentang tahap penciptaan manusia. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa, mazhab Maliki mengharamkan aborsi sebagaimana mazhab Hanafi.
Pengharaman aborsi dalam mazhab Maliki ada setelah peniupan ruh, terdapat
juga sebagian ulama Malikiyah yang mengharamkan aborsi pada setiap tahap
(al-nuṭfah, al-„alaqah, dan al-muḍgah). Metode mazhab Maliki sedikit berbeda
dengan mazhab Hanafi, di mana mazhab Maliki mengharamkan aborsi bukan
hanya setelah janin ditiupkan ruh akan tetapi mereka mengharamkannya sejak
usia janin mencapai 40 hari pertama. Menurut mereka, kehidupan sudah dimulai
sejak terjadi konsepsi. Oleh karena itu mereka melarang aborsi bahkan sebelum
janin berusia 40 hari.

153
Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, Terj. Muslih M. Khaled dan Imam
Awluddin, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), hlm. 56.
68

D. Hukum Pembunuhan Janin Menurut Ilmu Kedokteran


Dalam kamus istilah GKKBN (Gerakan Keluarga Berencana Nasional),
aborsi diartikan sebagai keluarnya hasil konsepsi sebagian atau seluruhnya yang
dapat terjadi secara spontan atau disengaja sebelum kehamilan 28 minggu atau
berat janin kurang dari 500 gram.154
Defenisi lainnya disebutkan bahwa aborsi/abortus adalah ancaman atau
pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi ialah menggugurkan kandungan atau
dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran
hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan. Hal ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin
sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Pengertian aborsi diatas sejalan
dengan defenisi yang diberikan oleh Saifullah, seorang pakar hukum Islam ia
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan aborsi adalah suatu perbuatan untuk
mengakhiri masa kehamilan atau konsepsi (pembuahan) sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan.155
Menggugurkan kandungan atau aborsi (bahasa latin: abortus) adalah
berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan
kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun
setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur. Aborsi adalah
keluarnya janin sebelum mencapai vitabilitas. Dimana masa getasi belum
mencapai 20/22/28 minggu (berbeda tiap literatur) dan beratnya kurang dari 500
gram. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa dalam istilah ilmu kedokteran
aborsi yang boleh dilakukan dengan beberapa syarat dan pertimbangan medis
yaitu sebelum janin berusia 20 minggu.

154
Anonim, Abortus, Kamus Istilah Gerakan Keluarga Berencana Nasional (Jakarta:
GKKBN, 2014), hlm. 1.
155
Saifullah, Aborsi dan Permasalahannya, Suatu Kajian Hukum Islam, (Jakarta: 2002),
hlm. 129.
69

Di dalam kitab lainnya disebutkan rentang waktu dibolehkannya praktik


aborsi ini ialah dengan catatan janin yang dikandungnya belum berumur dua
belas minggu (tiga bulan). Hal ini karena disebutkan bahwa pada umur janin tiga
bulan barulah detak jantung sang janin dapat didengar melalui alat medis dan
bentuknya sudah lengkap hanya saja ukurannya yang masih sangat kecil
(manusia miniatur). Sebelum mencapai usia tersebut belum dinyatakan hidup
karena belum ada detak jantung. Pendapat ini diambil berdasarkan firman Allah
dalam surat As-sajdah: 9, yang disebutkan pada usia tersebut Allah swt.
meniupkan ruh, lalu kemudian janin itu dianggap hidup. Arti kata hidup disini
layaknya sama seperti manusia, jika dilakukan aborsi maka perbuatan itu berarti
pembunuhan. Sebagaimana Allah berfirman:

‫ص َار َو ْاْلَفْئِ َد َة قَلِ ًيًل َما تَ ْش ُك ُرو َن‬


َ ْ‫الس ْم َع َو ْاْلَب‬
ِ ‫ُُثَّ س َّواه ونَ َفخ فِ ِيو ِمن ر‬
َّ ‫وح ِو َو َج َع َل لَ ُك ُم‬ُْ َ َُ َ
Artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (QS.
As-Sajdah: 9).
Setelah melewati usia tiga bulan dengan resiko apapun, janin tidak boleh
digugurkan, karena tekhnologi modern sudah dapat menjaga kehamilan ibu.
Kalau seandainya disebakan karena lemah jantung maka bisa diperkuat
jantungnya, kalaupun sudah sembilan bulan tidak bisa melahirkan juga dapat
dilakukan pembedahan (caesarean operation). Kalau dulu memang meski bayi
sudah berusia lebih dari empat atau lima bulan tetap saja dilakukan
pengguguran. Tapi sekarang, karena dipertimbangkan adanya bantuan
tekhnologi, ibu dan anak keduanya bisa diupayakan keselamatannya.156 Dengan
demikian tidak adanya alasan yang dapat membolehkan praktik ini setelah janin
berusia tiga bulan dengan beberapa pertimbangan medis yang akan berdampak
kepada keselamatan jiwa ibu jika tidak dilakukan. Namun selain itu apabila

156
Dadang Hawari, Al-Qur‟an Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: PT
Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), hlm. 894.
70

sudah melewati rentang waktu dalam ilmu medis maka tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi tidak dapat dikatakan bahwa hal demikian mutlak dilarang namun
kembali kepada nilai kemaslahatan dari suatu permasalahan yang muncul.
Dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan ditegaskan
dengan jelas bahwa aborsi adalah perbuatan yang dilarang. Namun aborsi dapat
dibenarkan untuk dilaksanakan tetapi karena adanya indikasi kedaruratan medis
guna menyelamatkan nyawa ibu dan aborsi yang dilakukan oleh korban
perkosaan. Jika ditinjau dari segi medis, tidak ada batasan pasti kapan
kandungan bisa digugurkan. Kandungan seorang perempuan bisa digugurkan
kapan saja sepanjang ada indikasi medis untuk aborsi namun tentunya semakin
lama umur kandungan, resiko keselamatan ibu juga semakin kecil. Misalnya jika
diketahui anak yang akan lahir mengalami cacat berat atau si ibu menderita
penyakit jantung yang akan sangat berbahaya sekali untuk keselamatan jiwanya
pada saat melahirkan nanti, sekalipun janin itu sudah berusia lima bulan atau
enam bulan, pertimbangan ini semata-mata karena kedaruratan medis.
Biasanya dalam praktek kedokteran, pertimbangan utama tetap pada diri
ibu. Dengan demikian nyawa sang ibu yang mengandung lebih berharga
daripada nyawa anak yang dikandungnya. Meski demikian tidak menutup
kemungkinan dokter berpendapat sebaliknya dengan tetap mengacu pada pasien
atau keluarganya. Bahkan sering kali dokter harus mengambil jalan tengah,
berusaha menyelamatkan keduanya, ibu dan anaknya.
Kedaruratan medis akan berubah-ubah menurut perkembangan ilmu
kedokteran. Jadi tidak dibenarkan melakukan aborsi atas indikasi tidak adanya
biaya untuk membesarkan anak, kehamilan di luar nikah, tidak mengiginkan
jenis kelamin bayi yang dikandung, karena anak diketahui jika dilahirkan akan
cacat dalam alasan yang lain sebenarnya sama sekali tidak membahayakan sang
ibu. Dr. Budi Santoso, Sp.OG mengatakan dalam segi medis, aborsi
diperbolehkan asalkan hal itu memang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa
ibu dan janin. Hal tersebut disebut sebagai aborsi medicinalis dan diatur dalam
71

Deklarasi Olso, dengan ketentuan harus ada indikasi medis dan diputuskan oleh
dua orang dokter yang kompeten di bidangnya.
Meskipun aborsi diperbolehkan karena indikasi medis tetapi terdapat
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pasien yang akan melakukan aborsi yang
termuat dalam Pasal 76 yaitu:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir kecuali hal kedaruratan medis.
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri.
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan.
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Aborsi yang dimaksudkan dalam UU Kesehatan haruslah aborsi yang
aman dan menjamin keselamatan ibu dan kesembuhan pasiennya karena
dilakukan oleh para ahli yang memang ahli kandungan dan ditempat yang
memang telah sesuai dengan apa yang dimuat dalam peraturan pemerintah. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 77 UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang
mengandung pengertian dimana pemerintah wajib melindungi dan mencegah
perempuan dari aborsi yang tidak aman, tidak bermutu, tidak bertanggung jawab
serta bertentangan dengan norma agama dan undang-undang. Aborsi yang
dilakukan secara sembarangan sangat membahayakan kesehatan dan
keselamatan ibu hamil bahkan sampai berakibat pada kematian. Pendarahan
yang terus-menerus serta infeksi yang terjadi setelah tindakan aborsi merupakan
sebab utama kematian perempuan yang melakukan.157
Dalam istilah medis aborsi terdiri dari dua macam yaitu aborsi spontan
(abortus spontaneous) dan aborsi yang disengaja (aborsi provocatus), hal ini

157
Siregar, Hasnil Basri, Pengantar Hukum Indonesia,(Medan: Penerbit Kelompok
Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1994), hlm. 53.
72

disebutkan dalam Glorier Family Ensiclopedia: “An abortion is the termination


of a pregnancy by loss or destruction of the fetus before birth. An abortion may
be spontaneous or induced” (Aborsi adalah penghentian kehamilan dengan cara
menghilangkan atau merusak janin sebelum kelahiran. Aborsi boleh jadi
dilakukan dengan cara spontan atau dikeluarkan secara paksa).158
Aborsi spontan (abortus spontaneous) ialah aborsi yang terjadi secara
alamiah, baik tanpa adanya sebab tertentu maupun karena adanya sebab tertentu,
seperti penyakit, virus toxoplasma, anemia, demam yang tinggi, dan sebagainya
maupun karena kecelakaan. Biasanya abortus spontan dikarenakan kurang
baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.159 Dalam istilah fikih disebut al-isqāṭ
al-afwu yang berarti aborsi yang dimaafkan. Pengguguran yang terjadi seperti
ini tidak memiliki akibat hukum apa pun.
Aborsi spontan dalam ilmu kedokteran dibagi lagi menjadi:160
a. Abortus Imminens (threatened abortion), yaitu adanya gejala-gejala
yang mengancam akan terjadi aborsi. Dalam hal demikian kadang-
kadang kehamilan masih dapat diselamatkan.
b. Abortus Incipiens (inevitable abortion), artinya terdapat gejala akan
terjadinya aborsi, namun buah kehamilan masih berada di dalam
Rahim. Dalam hal demikian kehamilan tidak dapat dipertahankan
lagi.
c. Abortus Incompletus, apabila Sebagian dari buah kehamilan sudah
keluar dan sisanya masih berada dalam rahim. Pendarahan yang
terjadi biasanya cukup banyak, namun tidak fatal, untuk pengobatan
perlu dilakukan pengosongan rahim secepatnya.

158
Maria Ulfa Ansor, Fikih Aborsi ...., hlm. 35.
159
Nita Norma D-Mustika Dwi S, Asuhan Kebidanan: Patologi Teori dan Tinjauan
Kasus, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2013), hlm. 191.
160
Ibid.
73

d. Abortus Completus, yaitu pengeluaran keseluruhan buah kehamilan


dari rahim. Keadaan demikian biasanya tidak memerlukan
pengobatan.
Sedangkan aborsi yang disengaja (abortus provocatus) ialah aborsi yang
terjadi secara sengaja karena sebab-sebab tertentu. Dalam istilah fikih disebutal-
isqāṭ al-ḍarūri atau al- isqāṭ al-„ilājiy. Aborsi jenis ini memiliki konsekuensi
hukum yang jenis hukumannya tergantung pada faktor-faktor yang
melatarbelakanginya. Aborsi jenis ini mencakup dua varian yaitu:
a. Abortus Artificialis Therapicus adalah sejenis aborsi yang
penggugurannya dilakukan oleh tenaga medis disebabkan faktor
adanya indikasi medis. Biasanya aborsi jenis ini dilakukan dengan
mengeluarkan janin dari rahim meskipun jauh dari masa
kelahirannya. Aborsi jenis ini dilakukan sebagai Tindakan
penyelamatan jiwa seorang ibu setelah pemeriksaan secara medis
karena jika kehamilannya dipertahankannya akan membahayakan
dan mengancam kesehatan nyawanya sendiri.
b. Abortus Provocatus Criminalis merupakan sejenis aborsi yang
dilakukan tanpa ada penyebab dari Tindakan medis atau dengan kata
lain bukan disebabkan persoalan kesehatan medis, tetapi biasanya
lebih disebabkan karena permintaan dari pasien. Karena disebabkan
beberapa factor di antaranya karena ekonomi, menjaga kecantikan,
kekhawatiran sanksi moral. Tindakan aborsi jenis inilah yang
kemudian terkait dan dikaitkan dengan tindakan yang bertentangan
dengan hukum dan etika.161
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa persoalan
aborsi menurut ilmu kedokteran terlihat tidak adanya keseragaman pendapat
juga tentang rentang waktu kebolehan melakukan perbuatan tersebut, namun

161
Ibid.
74

dapat disimpulkan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan membatasi usia


maksimal kehamilan 28 minggu dan minimal 12 minggu atau sebelum janin
mampu hidup di luar kandungan dengan pertimbangan dari pihak medis. Lebih
dari usia tersebut tidak tergolong aborsi, tetapi disebut pembunuhan bayi yang
sudah mampu hidup di luar kandungan.162 Akan tetapi pengertian demikian
tidak disebutkan kemutlakan pelarangannya namun kembali kepada nilai
kemaslahatann dari permasalahan tersebut dengan menyesuaikan kondisi
keselamatan setiap jiwa yang terlibat berdasarkan pertimbangan medis.
E. Analisis Penulis Terhadap Hukum Pembunuhan Janin
Pembunuhan janin (calon bayi) yang dalam istilah ilmu kedokteran yaitu
aborsi atau pengguguran janin. Pada hakikatnya hukum membunuh seorang jiwa
tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syarak maka yang demikian tidak
boleh. Ketentuan ini tertuang dalam tafsiran surat Al-Isra‟ ayat 33 dan dua ayat
sebelumnya yang mengindikasikan bahwa membunuh jiwa dengan sengaja
maka baginya berlaku hukum qishash atau wajib membayar diyat. Janin yang
merupakan cikal bakal dari proses terbentuknya bayi termasuk dalam pelarangan
ayat ini karena ia merupakan janin yang akan berkembang menjadi bayi dan
merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah yang akan berkembang seutuhnya
menjadi manusia yang sempurna.
Jumhur ulama sepakat bahwa membunuh hukumnya ialah haram, begitu
pula hukum membunuh janin. Namun para ulama masih memperdebatkan
terkait peniupan ruh ke dalam tubuh janin sehingga dapat disebut sebagai
makhluk yang bernyawa. Peniupan ruh ke dalam tubuh janin akan
mempengaruhi hukum boleh atau tidaknya membunuh janin tersebut. Terdapat
beragam pendapat yang menyatakan terkait pembunuhan janin. Namun para
ulama sepakat bahwa membunuh janin setelah peniupan ruh itu ialah hukumnya

162
Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi ...., hlm. 33.
75

haram dan pelakunya terkena hukum pembunuhan terhadap jiwa yang tidak
bersalah.
Banyaknya pendapat ulama yang mengajukan kapan peniupan ruh itu
terjadi ke dalam tubuh janin. Tidak jauh berbeda dari keseluruhan ulama yang
memperdebatkan waktu peniupan ruh ini, mazhab Hanafi sendiri sebagai
mazhab yang tertua. Di dalam pandangan ulama mazhab Hanafi sendiri tidak
terjadi kesepakatan terkait waktu peniupan ruh. Pandangan ulama azhab Hanafi
dapat dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu:
a) Membolehkan dengan adanya alasan yang dapat membahayakan jiwa
lainnya dan mendapatkan izin dari kedua orang tua si calon bayi ini
untuk menggurkannya.
b) Membolehkan sebelum ditiupkannya ruh ke dalam tubuh si calon bayi
yakni sebelum 120 hari dari usia janin.
c) Membolehkannya sebelum usia janin mencapai 80 hari, hal ini
dikarenakan mereka berpendapat bahwa setelah dua kali empat puluh
hari Allah telah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya.
Pendapat ini membantah pandangan ulama yang mengatakan bahwa
usia peniupan ruh ke dalam tubuh janin yaitu 120 hari.
d) Membolehkan sebelum melewati 42 hari dari usia janin dalam
kandungan. Pendapat ini jauh berbeda dari kedua golongan pendapat
sebelumnya, yang menyatakan bahwa pada usia janin setelah melewati
40 hari pertama, maka pada saat ini peniupan ruh ke dalam tubuh janin
telah terjadi.
e) Hukumnya makrūh, yang jatuhnya tingkat makrūh di sini ialah
littahrim yaitu untuk mengharamkannya bukan sekedar memakrūhkan
perbuatan.
f) Sebagian dari ulama mazhab Hanafi mengharamkannya bermula dari
awal proses terbentuk nya janin meski belum ditiupkannya ruh.
76

Pada hakikatnya dalam mazhab Hanafi secara keseluruhan dapat


disebutkan bahwa sebelum ditiupkannya ruh ke dalam tubuh calon bayi maka
sebagian besar dalam ulama mazhab Hanafi membolehkan untuk membunuh
janin atau menggugurkannya. Hal ini dikarenakan dipandang bahwa janin yang
belum ditiupkan ruh ke dalam tubuhnya, maka belum termasuk manusia yang
bernyawa yakni masih berbentuk segumpal darah dan mereka sepakat bahwa
setelah janin berusia 120 hari tidak dapat dilakukan pembunuhan atau
penggguran karena pada saat itu telah ditipukannya nyawa pada tubuh janin dan
ia merupakan manusia yang sudah berbentuk meskipun masih bayi.
Tidak jauh berbeda dengan mazhab Hanafi, perdebatan yang panjang
juga terjadi dalam mazhab Maliki dalam menentukan hukum pembunuhan janin.
Hal ini berkaitan dengan kapan rentang waktu ditiupkan ruh ke dalam janin
sehingga dapat disebut sebagai anak adam dan merupakan bentuk dari manusia
seutuhnya. Terdapat empat kelompok secara garis besar yang menjelaskan dan
menyebutkan terkait waktu kapan ditiupkannya ruh ke dalam janin, yaitu:
a) Jumhur ulama dalam mazhab ini secara tegas menyatakan keharaman
pengguguran kandungan setelah air mani berada di dalam rahim
meskipun belum berumur 40 hari baik sebelum ataupun sesudah
penciptaannya. Pendapat ini secara tegas menyebutkan bahwa ketika air
mani telah berada di dalam rahim maka pada saat itu juga haram untuk
dibunuh dengan cara apapun itu. Meski demikian pelarangan ini dapat
diklasifikasikan kembali berdasarkan tingkatan keharamannya, yakni:
˗ Sebelum adanya percampuran antara sperma dan ovum yang
dimisalkan dengan perbuatan „azl maka hukumnya boleh karna
belum adanya pencampuran unsur yang akan membentuk janin.
˗ Kebalikan dari pernyataan sebelumnya, setelah rahim menangkap
sperma dalam artian telah terjadinya pencampuran antara sperma
dan ovum maka hukumnya tidak boleh dan dapat disebut sebagai
bentuk pembunuhan dengan sengaja yang demikian itu tidak boleh.
77

˗ Usia janin yang mencapai kesempurnaan bentuk meski sebelum


peniupan ruh, maka hukumnya tidak boleh menggugurkannya
terlebih lagi setelah peniupan ruh yang dengan jelas dapat disebut
sebagai perbuatan pembunuhan terhadap jiwa yang memiliki hak
hidup.
b) Sebagaian ulama Malikiyah memakruhkan pembunuhan janin sebelum
berusia 40 hari dan mengharamkannya setelah 40 hari dari usia janin.
Menolak pendapat ini sebagian ulama maliki mengatakan bahwa
kehidupan janin bermula bahkan sebelum usia janin 40 hari. Kelompok
yang membantah pandangan kelompok kedua ini berpendapat bahwa
kehidupan janin sudah dimulai sejak terjadi konsepsi.
c) Sedangkan Al-Lakhami salah satu ulama mazhab ini menyebutkan
bahwa sebelum usia janin 40 hari maka hukumnya boleh untuk
digugurkan atau pembunuhan janin tanpa harus mengganti dengan
apapun. Disini Al-Lakhimi menyatakan bahwa jika setelah janin
berusia 40 hari dan melakukan pembunuhan atau penguguran maka
demikian kepada pelaku harus membayar diyat sebagai bentuk
hukuman bagi pelaku pembunuhan dengan demikian pengguguran
janin setelah 40 hari maka digolongkan sebagai bentuk pembunuhan
terhadap janin dan berlaku hukum terhadap pelaku pembunuhan yang
disengaja.
d) Berbeda dengan ketiga padangan di atas di dalam kitab Hāsiyyah Ibnu
„Abidin disebutkan bahwa boleh membunuh atau menggugurkan janin
selama masih dalam tahap muḍgah/alaqah dan belum terbentuk
tubuhnya yakni sebelum berusia 120 hari karena pada masa itu
dianggap bahwa janin bukan merupakan anak adam yang hidup
e) Berbeda dari keseluruhan pendapat sebelumnya, sebagain ulama
mazhab Maliki memberikan keringanan untuk dapat melakukan
perbuatan pembunuhan atau pengguguran janin sebelum ditiupkannya
78

ruh ke dalam tubuh janin, dengan mengutarakan alasan bahwa jika


janin tersebut merupakan hasil dari perbuatan zina dan terkhusus jika
wanita takut akan dibunuh jika ketahuan bahwa dirinya hamil di luar
pernikahan. Keringanan ini diberikan jika hadirnya janin maka akan
membahayakan hidup ibunya namun hal ini bukanlah sebagai jalan
keluar terbaik menurut penulis. Pendapat yang sama juga diutarakan
oleh Ibnu Rusydi bahwa tidak haram hukumnya mengugurkan janin
sebelum ditiupkan ruh karena sebelum ruh ditiupkan maka janin
tersebut dianggap bukanlah manusia.
Keseluruhan pembahasan tentang batasan usia peniupan ruh ke dalam
tubuh janin menurut mazhab Maliki yang kemudian akan berimplikasi terhadap
hukum membunuh janin. Secara garis besar dapat disebutkan bahwa
pengguguran janin hukumnya boleh selama masih pada tahap Al-Nuṭfah atau
pada tahap awal pembentukan sel janin dan fase selanjutnya yaitu muḍgah maka
hukumnya haram dikarenakan pada fase ini belum terjadinya peniupan ruh ke
dalam janin.
Pembunuhan janin dalam fiqih dapat dinyatakan bahwa batas akhir dari
kebolehan untuk melakukan penguguran atau pembunuhan janin yakni sebelum
120 hari, setelahnya dapat dikatakan keseluruhan ulama sepakat bahwa
hukumnya haram karena setelahnya ruh telah ditiupkan ke dalam tubuh janin.
Meskipun sebagian ulama lain mengatakan bahwa waktu peniupan ruh ini
kurang dari 120 hari yaitu 40 hari, 42 hari maupun 80 hari. Terlepas dari usia
tersebut belum ada ulama yang mengatakan bahwa usia kebolehan untuk
mengugurkan kandungan diatas dari 120 hari, maka dapat dinyatakan bahwa
rentang waktu terlama ditiupkannya ruh ke dalam janin yakni setelah usia janin
120 hari. Dengan demikian perbuatan pembunuhan janin setelah waktu ini maka
haram hukumnya berdasarkan pemahaman para ulama baik mazhab Hanafi
maupun Maliki.
79

Berbeda dengan pandangan ulama kedua mazhab ini, dalam pandangan


kedokteran yang diberi istilah aborsi yakni pengguguran janin sebelum berusia
20 minggu maksimal namun setelahnya maka disebut sebagai pembunuhan
janin. Dalam pandangan medis jika melakukan penguguran sebelum berusia 20
minggu maka masih dapat dilakukan. Namun setelahnya maka dipandang
sebagai pembunuhan, karena setelah usia 20 minggu janin dimungkinkan dapat
bertahan hidup di luar kandungan sehingga melakukan pengguguran setelah
janin berusiaa 20 minggu sama dengan perbuatan pembunuhan terhadap bayi
yang sudah berbentuk. Terdapat pandangan lain yang mengatakan kebolehan
pengguguran janin dalam ranah medis yakni berusia tiga bulan, setelahnya maka
tidak dibenarkan perbuatan tersebut dan dianggap sebagai pembunuhan.
Keseluruhan pandangan yang dipaparkan sebelumnya terkait usia
peniupan ruh ke dalam tubuh janin disini penulis berpendapat bahwa penulis
sepakat dengan kelompok jumhur ulama Mazhab Maliki dan juga sebagian dari
golongan Mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa sejak pertama kali
bercampurnya sperma dengan ovum maka pada saat itulah diharamkannya
membunuh calon bakal bayi dari kandungan. Hal demikian karena menurut
hemat penulis setelah tercampurnya sel sperma dan ovum maka selanjutnya
akan terjadi proses pembuahan yang pada tahapan akhirnya akan terbentuk janin
dan membentuk bayi seutuhnya.
Dengan demikian pembunuhan janin baik sebelum berusia 40 hari, 120
hari atau bahkan 140 hari ataupun tiga bulan (dalam ilmu kedokteran)
merupakan suatu tindakan pembunuhan karena dianggap memangkas
kesempatan untuk janin ini berkembang dan bertumbuh menjadi seorang bayi
yakni manusia seutuhnya. Pemangkasan demikian merupakan pengambilan
secara paksa kesempatan hidup calon bakal bayi, yang demikian menurut
penulis sama saja dengan defenisi pembunuhan terlepas dari pertimbangan
waktu kapan peniupan ruh ke dalam janin terjadi. Meskipun belum ditiupkan
80

ruh ke dalam tubuh janin menurut penulis, maka tidak boleh dilakukannya
perbuatan pengguguran atau pembunuhan.
Akan tetapi jika permasalahan ini terbentur dengan perlindungan nyawa
lainnya maka dengan demikian hukumnya akan menjadi berbeda. Pada perkara
ini penulis setuju dengan pendapat Al-Buti yang tergolong ulama kontemporer
dari kalangan Hanafi mengatakan bahwa membolehkan aborsi sebelum
kehamilan memasuki bulan ke empat hanya tiga kasus yaitu: pertama, apabila
dokter khawatir bahwa kehidupan ibu terancam akibat kehamilan; kedua, jika
kehamilan dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit di tubuh ibunya; ketiga,
apabila kehamilan yang baru menyebabkan terhentinya proes menyusui bayi
yang sudah ada dan kehidupannya sangat bergantung pada susu ibunya. Hal ini
sesuai dengan tujuan disyariatkannya pelarangan membunuh jiwa yakni untuk
melindungi jiwa, dengan adanya kemudharatan yang dapat mengancam jiwa
lainnya maka hukum menjadi berubah.
Sejalan dengan hal ini penulis juga menemukan bahwa dalam bukunya
Dadang Hawari163 seorang yang berprofesi sebagai dokter dan sekaligus
psikiater. Di dalam bukunya beliau mengutarakan pendapat bahwa penghentian
kehamilan atau aborsi berdasarkan pertimbangan medik dapat dilakukan dengan
pertimbangan yaitu jika seandainya kehamilan ini diteruskan maka akan dapat
membahayakan keselamatan (nyawa) si ibu yang bersangkutan atau seandainya
si ibu mengidap penyakit misalnya ganguan jiwa, sakit jantung atau bahkan jika
si ibu sedang mengkonsumsi obat-obat yang dapat menggangu perkembangan
dan pertumbuhan janin. Berdasarkan pertimbangan ini pihak medis dapat
memutuskan untuk melakukan pengguguran.
Kebolehan untuk praktik pembunuhan janin ini hakikatnya dibenarkan
jika dapat mengancam jiwa. Namun jika karna alasan hamil di luar nikah/hasil
163
Beliau ialah seorang dokter sekaligus seorang psikiater, di dalam bukunya beliau
membedah alasan terkait maraknya praktek aborsi yang terjadi di masyarakat dan bagaimana
respon untuk mencegah hal ini terus terjadi. Uraian selengkapnya liat: Dadang Hawari, Al-
Qur‟an Ilmu Kedokteran...., hlm 892-901.
81

dari perzinaan maka tidak benar dilakukan praktik ini. Karena ayat Al-Qur‟an
sudah jelas mengatakan bahwa melakukan aborsi atau pembunuhan janin dalam
kandungan ialah sama dengan perbuatan pembunuhan yang jika demikian
menggugurkan kandungan hasil perzinaan karena malu atau untuk menutupi aib
si pelaku maka disini penulis juga tidak setuju. Hal ini bertentangan dengan
maqāsid syarῑ‟ah yaitu penjagaan terhadap keturunan (hifzu an-Nasl) yang jika
dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan maka perzinaan akan semakin
marak karena dengan dibolehkannya menggugurkan kandungan dengan alasan
aib maka akan banyak lagi kasus-kasus baru yang akan lahir jika adanya
keringanan seperti ini.
Hikmah yang dapat diambil dari dilarangnya melakukan aborsi atau
pembunuhan janin ini ialah praktik demikian dapat membawa dampak buruk
kepada si ibu berdasarkan data statistik yang diuraikan Dadang hawari dalam
bukunya ada dua resiko yang timbul:
(a) Kematian ibu karena aborsi jauh lebih besar dari kematian ibu karena
melahirkan (bersalin secara normal).
(b) Ibu yang melakukan aborsi berlatar belakang kriminal biasanya banyak
pertimbangan yang berujung desakan dari lain pihak untuk menutupi aib
tersebu. Desakan ini kemudian dapat menggangu psikis kejiwaaan si ibu.
Secara keseluruhan praktik membunuh secara fiqih dan ilmu kedokteran
juga tidak secara serta merta dapat membunuh bayi dalam kandungan tanpa
alasan yang benar dan jika tidak dilakukan maka akan menyebabkan mafsadat
yang jauh lebih besar, yang hal ini dapat mempengaruhi keselamatan jiwa lain.
Dalam istilah fiqih perkara ini menjadi suatu perkara yang pokok (ḍarūri).
Disini penulis menambahkan bahwa hukum membunuh janin ini kembali
kepada keadaan yang terjadi saat itu, artinya tidak dapat disamakan satu kasus
dengan kasus lainnya yang apabila sampai dalam tingkatan ḍarūri jika tidak
dilakukan maka akan mengancam jiwa yang lainnya. Dalam kasus ini maka
hukumnya menjadi boleh dilakukan. Namun jika hanya karena alasan menutupi
82

aib karena hamil hasil perzinaan maka hukumnya kembali ke awal yaitu tidak
boleh.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan secara keseluruhan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pembunuhan terhadap jiwa berdasarkan tafsir surat Al-Isra‟ ayat tiga
puluh tiga dapat disimpulkan bahwa perbuatan membunuh orang yang
tidak bersalah atau tanpa adanya alasan yang benar, merupakan suatu hal
yang dilarang dan pelakunya diancam hukuman qiṣᾱṣ atau wajib
membayar diyat. Sebagaimana membunuh jiwa yang tidak bersalah atau
tanpa adanya alasan yang dibenarkan syarak dengan demikian
membunuh seorang bayi tanpa alasan yang membenarkannya juga, maka
perbuatan tersebut termasuk perbuatan membunuh jiwa yang tidak
bersalah dan sebagian besar ulama menyatakan bahwa hal itu hukumnya
ialah haram. Tafsir ayat ini sebagai bentuk perlindungan terhadap jiwa
darah anak adam, dan merupakan sebagai bentuk pencegahan dari
terciptanya mafsadat yang lebih besar. Tafsiran dari ayat ini disebutkan
bahwa kata “an-nafs” dalam ayat ini bermakna nafs al-insān (jiwa
manusia). Sedangkan huruf alif dan lam dalam ayat tersebut li al-jinsi
(untuk menyatakan jenis), sehingga maknanya dapat meliputi semua
jenis manusia, baik tua atau muda, laki-laki atau perempuan, merdeka
atau budak, muslim ataupun kafir yang terikat perjanjian. Bahkan
tercakup pula janin manusia yang telah ditiupkan ruhnya. Allah.
2. Pembunuhan janin dalam mazhab Hanafi dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian, yaitu: pertama, membolehkan dengan adanya alasan yang
dapat membahayakan jiwa yang lain dan telah mendapatkan izin dari
orang tua calon si bayi. Kedua, membolehkan sebelum ditiupkannya ruh
ke dalam tubuh si janin dalam rentang waktu yang terbagi menjadi tiga
bagian yaitu sebelum 42 hari, 80 hari dan 120 hari. Ketiga melarangnya
83
84

dengan hukum makrūh littahrῑm, pendapat ini menurut Ali bin Musa dan
kelompok lainnya mutlak mengharamkannya karena dipandang
kehidupan calon bayi bermula ketika bercampurnya sperma dan ovum.
Sedangkan pembunuhan janin menurut mazhab maliki dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, mengharamkannya secara
mutlak sejak pertama kali terjadi percampuran antara sperma dan ovum
meskipun belum berusia 40 hari ataupun belum ditiupkannya ruh namun
telah mencapai kesempurnaan bentuk sehingga diharamkan dan jelas
dinyatakan sebagai tindakan pembunuhan. Sebagian ulama malikiyah
tidak sampai mengharamkan namun hanya sampai memakruhkannya jika
usia janin belum mencapai 40 hari dan setelahnya haram, Al-Lakhimi
menambahkan bahwa sebelum 40 hari tidak perlu mengganti dengan
apa-apa (ketentuan ini sesuai dengan hukum terhadap pembunuhan atas
jiwa yang tidak bersalah). Dan implikasi pembunuhan terhadap janin
dalam ranah ilmu kedokteran, disebutkan boleh dilakukan namun harus
disertai alasan yang menurut pertimbangan pihak medis selama masih
dalam rentang waktu yaitu minimal 12 minggu atau makasimal 28
minggu, setelahnya maka jika dilakukan pengguguran janin setelah usia
ini dianggap sebagai bentuk pembunuhan dan jelas keharamannya.
Perkembangan medis saat ini mampu mempengaruhi kualitas kinerja
para staf medis khususnya dalam menangani masalah praktik aborsi
tanpa alasan yang berdasarkan pihak medis dibenarkan maka praktik ini
dilarang. Setelah usia janin mencapai tiga bulan maksimal, maka dengan
bantuan medis dapat mengurangi praktik aborsi setelah 3 bulan dengan
alasan apapun karena hal demikian dapat ditangani dengan
perkembangan alat medis saat ini yang akan mampu mencegah hal
demikian terjadi.
85

B. Saran
a. Diharapkan kepada pemerintah (khususnya pemerintah Aceh) untuk
mencegah terjadinya tindakan aborsi di Aceh. Pencegahan tersebut dapat
dilakukan dengan cara membatasi perlakuan jam malam sebagaimana
yang dilakukan selama ini. Seperti menutup tempat (kafe-kafe) yang
dianggap rawan kemaksiatan (mesum). Karena pergaulan bebas dapat
terjebak seseorang terjerumus kepada perzinaan yang berdampak kepada
kehamilan.
b. Diharapkan kepada pemerintah Aceh untuk merumuskan sebuah
peraturan (qanun) tentang aborsi yang menjadi landasan hukum
ketentuan aborsi.
c. Diharapkan kepada masyarakat, lembaga pelayanan keehatan, dan medis
untuk tidak melakukan tindakan aborsi secara illegal, artinya melakukan
aborsi tanpa alasan yang dibolehkan secara syar‟i, seperti karena takut
tidak sanggup membiayai kehidupannya, atau pengguguran tersebut
dilakukan karena hamil di luar nikah. Di satu sisi, aborsi dianggap
sebagai tindakan kejahatan, di sisi lain juga dapat beresiko kematian bagi
ibu janin.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Syauman, Hukum Aborsi dalam Islam, Jakarta: Cendikia Sentra Muslim,
2004.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996.
Abdurrahman, Perbandingan Madzhab-madzhab, Bandung: Sinar Baru, 1986,
Cet. Ke-1.
Achmad Musyahid Idrus, al-Daulah Vol. 4/No. 1/Juni 2015.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Aji Mulyana, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Akibat
Tindakan Pidana Abortus Provocatus Criminalis”. Jurnal Wawasan
Yuridika Volume 1, No. 2 Tahun 2017.
Alhafidz, W. Ahsin W. Kamus Fiqh, Cet. 1. Jakarta : Amzah, 2013.
Al-Samsuddin al-Syarkhasi, al-Mabsuth, Beirut: Darul Kitab Amaliyah, 1993,
Juz 7.
Budi Abidin, “Hukum Aborsi Di Indonesia (Studi Komparasi antara Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor:4 Tahun 2005 tentang Aborsi dan
Undang-Undang Nomor: 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan)” (skripsi
dipublikasikan), Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2014.
Chalil, Moenawir.Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi‟i, Hambali, Jakarta: Bulan Bintang, 1955.
Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ. (editor), Problematika Hukum
Kontemporer, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1996.
Departemen Kesehatan RI, Kesehatan Refroduksi Remaja, Jakarta: tp, 1999.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Djumadris, dan M. Bahri Ghazali. Perbandingan Mazhab, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1994.
Fara Juliana BS, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku aborsi pAda
Perempuan Pekerja Hiburan Malam (Studi Pada Perempuan Pekerja
Hiburan Malam Yang Melakukan Seks Pra Nikah dan Melakukan
Aborsi)” (skripsi dipublikasikan), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2017.

86
87

Hadi, Sutrisno. Metode Penelitian, Surakarta: UNS Press, 1989.


Haijah, “Aborsi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Komperatif Pandangan
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki)” , Fakultas Syari‟ah, UIN Ar-Raniry,
Banda Aceh, 2013.
Himpunan Fatwa Ulama Majelis Ulama Indonesia Sejak Tahun 1975 Jakarta:
Erlangga, t. th.
Hudhair Bik, Tarikh al Tasyri‟ al Islam.Terj. Mohammad Zuhri “Sejarah
Pembinaan Hukum Islam”, Bandung: Darul Ihya, 1980.
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab,Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Amiruddin, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir,
2001, juz. 7.
Ibrahim, Muslim. Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta: Erlangga, 1991.
Jhon M Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 2003.
Js. Badudu, dan Sultan Mohamad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Kementerian Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, Jakarta: Perpustakaan
Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2010.
Madzkur, Muhammad Salam. al-Janin wa al-Ahkam al-Muta‟alliqah bihi fi
Fikihi al-Islam. Kairo: Dar al-Nahda al-Arabiyyah, 1969.
Majid, Abd, Manusia ditinjau dari aspek, Sejarah, Sosial, Budaya & Agama,
Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012.
Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi;Wacana Penguatan Hak Reproduksi
Perempuan, Jakarta: Kompas, 2006.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2005.
Muhammad Ali Al-Bar, Khalaq Al-Insan Bai Nal-Tubb, terj. Muhammad Rauf,
Kuala Lumpur: Telaga Biru, 2002.
Multi Sari Dewi, “Hukum Aborsi Bagi Wanita Penderita HIV/AIDS (Studi
Komperatif Hukum Islam dan Hukum Positif)”, Fakultas Syari‟ah, UIN
Ar-Raniry, Banda Aceh, 2014.
Muslim, Imam. Shahih Muslim,terj. Adib Bisri Musthafa, Jilid 4, Bab Takdir,
Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1993.
Nita Norma D-Mustika Dwi S, Asuhan Kebidanan: Patologi Teori dan Tinjauan
Kasus, Yogyakarta: Nuha Medika, 2013.
88

Quthb Muhammad Sayyid, TafsirFi Zhilalil-Qur‟an di bawah naungan Al-Qur‟an,


JilVIII, Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 2004
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, terj. Nadirsyah Hawri, Jakarta: Amzah,
2009.
SCJ, C.B. Kusmaryanto. Tolak Pengguguran Janin, Budaya Kehidupan Versus
Budaya Kematian, Cet. 1. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an.
Juz IX, Cet. 1. Jakarta Lentera Hati, 2002.
Shobi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam,Cet. 3. Bandung: PT Al-
Ma‟rif, 1976.
Suwito “Penciptaan dan Pembentukan Janin Menurut al-Qur‟an, al-Hadits, dan
Ilmu Kedokteran” al-Hukama di Indonesian Journal of Islamic Family
Law Vol. 02, No. 02 Desember 2012.
Usman, Achmad. Riwayat Hidup Beberapa Tokoh Perawi Hadits, Surabaya:
Bina Ilmu, 1982.
Yasin, M. Nu‟aim. Fikih Kedokteran, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001.

http://repository.uin-suska.ac.id. Diakses pada tanggal 27-12-2019.

http://sc.syekhnurjati.ac.id. Diakse pada tanggal 27-12-2019.

Anda mungkin juga menyukai