Resume PJK

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH PATOGENESIS PENYAKIT 2

RANGKUMAN
Penyakit Jantung Koroner dan Congestive Heart Failure

Dosen Pengampu : dr. Martha Ardiaria, M.si.Med


dr. Aryu Candra, Mkes.(Epid)
dr.Enny Probosari, M.Si.Med.,Sp.G.K
dr. Etisa Adi Murbawani,M.Si.,Sp.G.K

Disusun oleh :
Velicia 22030120120006

PROGRAM STUDI S-1 GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Kardiovaskuler
1. Dinding dan Ruang Jantung

Gambar 1. Lapisan Dinding dan Ruang pada Jantung


Jantung terletak pada mediastinum, yaitu kompartemen pada bagian
tengah rongga thoraks diantara dua rongga paru. Jantung memiliki dinding
yang tersusun atas tiga lapisan yaitu lapisan luar yang disebut epikardium,
lapisan tengah yang disebut miokardium, dan lapisan dalam yang disebut
endokardium. Sementara itu, ruangan jantung terdiri dari dua bagian yaitu
bagian kanan dan bagian kiri. Setiap bagian memiliki satu atrium dan satu
ventrikel sehingga di dalam jantung terdapat empat ruangan yaitu atrium
kanan, atrium kiri, ventrikel kanan, dan ventrikel kiri (1).
2. Pembuluh Darah

Gambar 2. Pembuluh Darah Jantung


Di dalam menjalankan fungsinya, otot jantung membutuhkan aliran
darah yang menyuplai kebutuhan oksigen, nutrisi, dan zat lain. Pembuluh
darah yang berperan dalam hal ini salah satunya adalah arteri koronaria.
Arteri koronaria merupakan cabang pertama dari aorta yang mengalirkan
darah ke epikardium dan miokardium. Cabang dari arteri ini adalah arteri
koronaria dekstra dan arteri koronaria sinistra (1).
Dalam sistem vaskular, terdapat lima jenis pembuluh darah berbeda
yaitu arteri, vena, arteriol, venula, dan kapiler. Artei mempunyai struktur
dinding otot yang lebih tebal daripada vena (1). Hal ini bertujuan untuk
mengakomodasi fungsi dari arteri untuk mengalirkan darah pada kecepatan
dan tekanan yang tinggi. Sebaliknya vena mempunyai struktur dinding otot
yang lebih tipis. Akan tetapi vena mempunyai diameter yang lebih besar
daripada arteri karena tekanan darah yang mengalir balik dari vena ke
jantung lebih rendah. Selain itu, vena mempunyai katup yang bertujuan
untuk mencegah aliran darah balik.
Arteriol mempunyai dinding yang lebih tipis dari pada arteri, berfungsi
untuk mengatur aliran darah ke kapiler dengan cara konstriksi dan dilatasi.
Sedangkan venula mempunyai dinding yang lebih tipis daripada arteriol,
berfungsi untuk mengumpulkan darah dari kapiler. Secara lebih jelas arteri
bertugas untuk membawa darah ke jantung sedangkan kapiler sebagai
penghubung antara arteri dan vena yang merupakan jalan lalu lintas untuk
distribusi zat-zat yang diperlukan oleh tubuh serta zat-zat yang harus
dibuang oleh tubuh.
3. Sirkulasi Darah
Gambar 3. Sirkulasi Peredaran Darah
Darah deoksigenasi (kurang oksigen) yang berasal dari vena cava
superior dan vena cava inferior akan masuk ke dalam atrium kanan. Lalu,
darah dari atrium kanan melewati katup trikuspidalis dan akan masuk ke
dalam ventrikel kanan. Selanjutnya, ventrikel kanan akan memompa darah
ke paru-paru melalui katup pulmonal menuju arteri pulmonalis. Kemudian,
darah di paru-paru akan mengalami proses oksigenasi (1).
Setelah proses oksigenasi di paru-paru terjadi, darah akan dialirkan ke
vena pulmonalis menuju ke atrium kiri. Darah teroksigenasi ini selanjutnya
melalui katup bikuspidalis dan akan tertampung ke dalam ventrikel kiri.
Kemudian, ventrikel kiri akan memompa darah ke seluruh tubuh melalui
katup aorta (1).
B. Epidemiologi Penyakit Kardiovaskuler
Menurut WHO, penyakit kardiovaskular (CVDs) adalah penyebab utama
kematian secara global. Pada tahun 2019, diperkirakan 17,9 juta orang meninggal
dunia karena CVD dimana sebesar 85% dari kematian tersebut disebabkan oleh
serangan jantung dan stroke. Angka ini juga mewakili 32% dari semua kematian
global. Sementara itu berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018,
diketahui bahwa prevalensi penyakit jantung di Indonesia adalah sebesar 1,5%.
Dengan kata lain, 15 dari 1000 orang di Indonesia menderita penyakit jantung.
Pada tahun 2015, 17 juta kematian prematur (dibawah umur 70 tahun)
disebabkan oleh penyakit tidak menular dan 82% diantaranya terjadi di negara
berkembang dan miskin, sedangkan 3% diantaranya disebabkan oleh CVD. CVD
dapat dicegah dengan menghindari faktor resiko seperti konsumsi tembakau,
konsumsi makanan yang tidak sehat, obesitas, aktivitas fisik yang minim,
konsumsi alkohol, serta menghindari stress dan pajanan hazard lingkungan kerja
yang bersifat toksik terhadap jantung (2).
C. Pengertian Penyakit Jantung Koroner / Coronary Artery Disease
Penyakit jantung koroner (PJK) terjadi pada arteri koroner. PJK adalah
penyakit yang ditimbulkan akibat kondisi patologik arteri koroner yang ditandai
dengan penimbunan lipid abnormal atau jaringan fibrosa di dinding pembuluh
darah (aterosklerosis). Aterosklerosis koroner menyebabkan penyempitan lumen
arteri dan penyumbatan aliran darah ke jantung. Kondisi ini berkembang melalui
serangkaian tahap yang dimulai dengan fatty streaks (kerak lemak) yang
sebagian besar terdiri dari pembentukan foam cell (sel busa) dan akhirnya
berkembang menjadi timbunan plak yang ditutupi oleh fibrous cap (lesi jaringan
ikat) (3).
D. Struktur Arteri Koronaria
Dinding pembuluh darah arteri koronaria terdiri atas tiga lapisan yaitu
lapisan pembuluh darah bagian dalam yang disebut tunika intima, lapisan
pembuluh darah bagian tengah yang disebut tunika media, dan lapisan pembuluh
darah bagian luar yang disebut tunika adventisia (1). Pada pembuluh darah,
lapisan-lapisan ini berperan dalam fase dilatasi atau melebar dan fase konstriksi
atau menutup. Apabila tubuh melakukan aktivitas seperti berjalan, maka lumen
pembuluh darah akan berada pada diameter yang normal. Akan tetapi, bila tubuh
melakukan aktivitas seperti menaiki tangga atau berlari, maka pembuluh darah
akan berada pada fase dilatasi atau melebar untuk mengalirkan darah ke seluruh
tubuh dalam jumlah yang besar.
E. Aterosklerosis

Gambar 4. Terjadinya Aterosklerosis


Aterosklerosis adalah penyempitan dari pembuluh darah arteri.
Aterosklerosis merupakan proses inflamasi kronis yang dimulai dengan
akumulasi lipid pada tunika intima pembuluh darah arteri. Aterosklerosis
berhubungan dengan degenerasi lemak dan pengerasan pembuluh darah. Lesi
awalnya adalah lapisan lemak, kolesterol, kalsium, dan substansi lain yang
membentuk plak. Seiring berjalannya waktu, plak tersebut akan mengeras dan
lumen arteri akan menyempit. Penyempitan lumen arteri akan mengakibatkan
aliran darah menuju jantung dan organ lain di seluruh tubuh berkurang sehingga
dapat menyebabkan infark (kurangnya pasokan oksigen) (4). Sementara itu,
kondisi ateroskelrosis juga ditandainya dengan terjadinya kekakuan yang
menyebabkan dinding pembuluh darah tidak dapat melakukan fase dilatasi dan
fase konstriksi secara optimal. Aterosklerosis umumnya terjdi pada jantung, otak,
dan arteri pada kaki.
F. Manifestasi Klinis Penyakit Jantung Koroner
Manifestasi klinis penyakit jantung koroner terbagi menjadi dua jenis yaitu
sindroma koroner akut dan sindroma koroner kronis (angina pektoris stabil).
1. Sindroma Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome)
Sindroma koroner akut terjadi akibat adanya sumbatan oleh
penumpukan lipid di dalam dinding pembuluh darah yang berkembang
menjadi plak aterosklerosis. Aterosklerosis koroner secara bertahap dapat
mempersempit lumen arteri dan menyebabkan sumbatan aliran darah ke
jantung, sehingga pasokan darah menjadi berkurang, hal ini dapat
menyebabkan iskemik miokard. Sindroma Koroner akut adalah kumpulan
dari gejala yang menunjukkan iskemik miokardial akut yang meliputi
Unstable Angina Pectoris (UAP), Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI), dan ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) (5).
a. STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction)
STEMI ditetapkan apabila didapat klinis nyeri dada disertai gambar
EKG positif elevasi segmen ST (6). Kondisi STEMI dapat
mengakibatkan kerusakan serius pada otot jantung.
b. NSTEMI (Elevation Myocardial Infarction)
NSTEMI ditetapkan apabila nyeri dada disertai gambar
elektrokardiografi (EKG) depresi ST dan T inversi yang disertai
laboratorium positif (6). Pada NSTEMI, keluhan yang khas ditandai
dengan nyeri dada disebelah kiri dan umumnya menjalar ke leher,
punggung, dan lengan sebelah kiri. Apabila telah terjadi kondisi
NSTEMI yang parah, maka akan dilakukan pemasangan kateter.
Pemasangan kateter bertujuan untuk melebarkan pembuluh darah yang
mengalami penyempitan.
c. Unstable Angina Pectoris (UAP)
Unstable angina pectoris ditetapkan apabila terdapat keluhan klinis
nyeri dada saat istirahat atau beraktivitas tetapi nilai laboratorium
troponin T dan I normal (6).
2. Sindroma Koroner Kronis (Angina Pektoris Stabil)
Angina pektoris stabil atau angin duduk merupakan penyakit jantung
iskemia akibat berkurangnya pasokan oksigen dan menurunnya aliran darah
ke dalam miokardium. Angina pektoris stabil memiliki plak yang stabil (7).
G. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner
Faktor risiko PJK dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu faktor
risiko yang dapat dikurangi (diperbaiki atau dimodifikasi) dan faktor risiko yang
bersifat alami atau tidak dapat dicegah (8). Berikut merupakan klasifikasi secara
spesifik mengenai faktor risiko PJK :
1. Faktor Risiko Utama/Mayor
Hipertensi, usia (lebih dari 45 tahun pada laki-laki dan lebih dari 55
tahun pada perempuan), diabetes melitus, eGFR < 60 ml/min,
microalbuminuria, serta riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler
dini (laki-laki < 55 tahun, perempuan < 65 tahun).
2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
Profil lipoprotein, kolesterol LDL meningkat, TMAO (Trimethylaimine
N-Oxide) meningkat, kolesterol HDL rendah, marker inflamasi, fibrinogen,
serta C-reactive protein.
3. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gaya Hidup
Penggunaan tembakau seperti merokok, kurang aktivitas fisik, pola
makan yang buruk, stres, kurang tidur, serta konsumsi alkohol berlebihan.
4. Kondisi Terkait
Dislipidemia, aktivitas fisik, merokok, obesitas, diet, stres, serta
konsumsi alkohol.
Diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular terbesar ketiga di
Indonesia yang dapat menyebabkan kematian. Morbiditas dan mortalitas pada
DM tidak diakibatkan oleh hiperglikemi secara langsung, akan tetapi diakibatkan
oleh komplikasi yang muncul dan mengarah ke penyakit jantung seperti
dislipidemia, hipertensi, dan obesitas (9). Sebesar 75% penderita diabetes yang
memiliki lebih dari dua faktor risiko atau komplikasi kardiovaskuler akan lebih
berisiko terkena penyakit jantung koroner.
Pasien diabetes berisiko terhadap PJK. Pada penderita DM, kekentalan darah
akibat gula darah yang tinggi dan berlangsung lama akan menghambat oksigen
yang menuju otak, sehingga darah terlambat untuk di suplai. Selain itu penderita
DM yang resisten terhadap insulin akan menyebabkan disungsi endothelial dan
terbentuknya plak akan memicu terjadinya aterosklerosis pada arteri koroner (9).
H. Congestive Heart Failure atau Gagal jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan kemampuannya hanya ada jika disertai
peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal jantung kongestif
menunjukkan adalah ketidakmampuan jantung untuk untuk memenuhi kebutuhan
jaringan akan oksigen dan nutrisi (10). Gangguan ini berhubungan erat dengan
hipertensi dan penyakit jantung koroner. Gagal jantung kongestif dapat terjadi
melalui dua tahap yaitu kompensata dan dekompensata. Tahap kompensata
terjadi ketika jaringan kekurangan O2 sehingga menyebabkan peningkatan denyut
nadi dan pembesaran jantung. Apabila hal ini terjadi terus menerus dan dalam
jangka waktu yang lama, maka akan terjadi tahap dekompensata dimana jantung
tidak dapat berkompensasi kembali (tidak dapat kembali ke ukuran semula atau
normal) dan kerja pompa jantung melemah.
Gagal jantung kongestif merupakan keadaan dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompa darah sehingga mengakibatkan peregangan ruang
jantung (dilatasi) atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Gejala
yang muncul akibat penyakit ini adalah gangguan fungsi ventrikel kiri secara
progresif, perfusi jaringan tidak adekuat, mudah lelah, nafas pendek, dan
kongesti. Sementara itu menurut PERKI, gejala khas pasien gagal jantung
kongestif adalah sesak nafas saat beristirahat atau beraktivitas, kelelahan, dan
edema tungkai, sedangkan tanda khas gagal jantung adalah takikardia, takipnea,
suara nafas ronki, efusi pleura, peningkatan vena jugularis, edema perifer dan
hepatomegali (11).
I. Etiologi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif, kemungkinan disebabkan oleh adanya gangguan
regulasi mekanisme kardiak output dari jantung. Gagal jantung kongestif dapat
disebabkan oleh hipertensi, infark pada miokardium, disritmia, dan gangguan
pada valvular.
Hipertensi yang tidak terkontrol dan terjadi dalam waktu yang
berkepanjangan dapat menyebabkan berbagai perubahan dalam struktur
miokardium, pembuluh darah koroner, dan sistem konduksi jantung. Infark pada
miokardium akan menyebabkan kurangnya pasokan oksigen dan darah ke
jantung. Disritmia merupakan suatu kelainan denyut jantung yang meliputi
gangguan frekuensi atau irama atau keduanya (12). Sementara itu, terjadinya
gangguan pada valvular atau katup. Gangguan ini dapat terjadi pada katup
mitralis atau katup trikuspidalis sehingga menyebabkan tercampurnya darah yang
mengadung oksigen dan darah yang mengandung karbondioksida.
J. Gagal Jantung Kongestif Berdasarkan Letaknya
Berdasarkan letak jantung, gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan
sebagai gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan.
1. Gagal Jantung Kiri atau Left-sided Failure
Gagal jantung kiri lebih banyak terjadi daripada gagal jantung kanan.
Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah
yang datang dari paru-paru sehingga terdapat darah yang kembali ke atrium
kiri, kemudian menuju vena pulmonalis bahkan ke paru-paru. Apabila
kondisi ini terjadi hingga ke paru-paru, maka paru-paru akan tergenang oleh
cairan, membesar, dan mengalami odem. Penyebab akhir dari kondisi ini
adalah terjadinya gagal jantung biventrikuler.
2. Gagal Jantung Kanan atau Right-sided Failure
Gagal jantung kanan dapat disebabkan oleh gagal jantung kiri, cor
pulmonale, dan infark pada ventrikel kanan. Gagal jantung kanan terjadi
karena ventrikel kanan tidak mampu mampu memompa darah yang datang
sehingga darah naik kembali ke atrium kanan dan vena. Backward failure
pada sisi kanan jantung dapat meningkatkan tekanan pada vena jugularis dan
melebarkan vena jugularis secara abnormal. Penimbunan cairan dalam ruang
interstisial ini dapat menyebabkan edema dan jika berlanjut akan
menimbulkan edema anasarca (13). Selain itu, gagal jantung kanan juga
dapat menyebabkan kongesti vena sehingga menimbulkan hepatomegali dan
splenomegali.
K. Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif Berdasarkan Gejala
Berdasarkan gejala, gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan menurut
American Heart Association (AHA) dan New York Heart Association (NYHA).
1. American Heart Association (AHA)
Menurut American Heart Association (AHA) gagal jantung merupakan
sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak sanggup
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan (9).
Penatalaksanaan pada gagal jantung menurut American Heart Association
(AHA) dikelompokkan sebagai berikut berdasarkan kelainan struktural
jantung (13).
a. Stage A
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung.
Tidak terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung, tidak
terdapat tanda atau gejala.
b. Stage B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan
dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.
c. Stage C
Terdapat kelainan struktur jantung disertai gejala gagal jantung
sebelumnya atau masih berlangsung saat ini .
d. Stage D
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang
sangat bermakna saat istrahat walaupun sudah mendapat terapi medis
maksimal (refrakter).
2. New York Heart Association (NYHA)
Menurut New York Heart Association (NYHA), gagal jantung kongestif
dapat dibagi atas 4 kelas berdasarkan gejala dan aktivitas fisik (10).
a. Kelas I
Tidak terdapat batasan melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas.
b. Kelas II
Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktivitas sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi,
atau sesak nafas.
c. Kelas III
Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
d. Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.
L. Manifestasi Klinis Gagal Jantung Kongestif
Manifestasi klinis dari gagal jantung kongestif dapat berupa kelelahan, sesak
nafas (dispnea nokturnal paroksismal), takikardia, odema pada paru, hati, perut,
dan kaki, serta nokturia. Takikardia merupakan kelainan detak jantung yang
terjadi ketika lajunya melebihi 100 bpm (14). Odema merupakan kondisi
membengkaknya jaringan tubuh akibat penumpukan cairan. Sementara itu,
nokturia merupakan kondisi buang air kecil berlebih pada malam hari (15).
M. Cara Mendiagnosis Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif dapat didiagnosis melalui beberapa cara yaitu
pemeriksaan fisik, rontgen dada, elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi
(USG), dan penilaian hemodinamik. Pemeriksaan rontgen dada dilakukan untuk
mendeteksi adanya pembesaran ukuran jantung atau adanya penumpukan cairan
didalam paru-paru yang umumnya terjadi pada pasien gagal jantung.
Pemeriksaan rontgen dada dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan
dapat menunjukkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan menunjukkan
pulmonalis. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dilakukan untuk merekam
perubahan aktivitas listrik jantung saat terjadi gagal jantung atau mendeteksi
gangguan irama jantung yang bisa menjadi penyebab gagal jantung. Pemeriksaan
EKG atau rekam jantung dapat mendeteksi kelistrikan jantung dan otot-otot
jantung. Sementara itu, pemeriksaan ekokardiografi (USG) dilakukan untuk
melihat lebih jelas struktur organ jantung dengan bantuan gelombang suara
berfrekuensi tinggi (10).
Daftar Pustaka
1. Fikriana R. Sistem Kardiovaskuler. 1st ed. Yogyakarta: Deepublish Publisher;
2018.
2. Kurniawidjaja M, Ramdhan DH. Buku Ajar Penyakit Akibat Kerja Dan
Surveilan. UI Publishing; 2019.
3. Santosa W, Baharrudin. Penyakit Jantung Koroner dan Antioksidan. Jurnal
Kesehatan dan Kedokteran. 2021;1(2):95-96.
4. Prameswari N. Pemanfaatan Senyawa Anti-Aterogenik Jamur Tiram Putih
(Pleurotus spp.) dalam Pencegahan Aterosklerosis. JIMKI. 2019;7(2):61-63.
5. Sulastri L, Trisyani Y, Multiyati T. Manfaat Health Education pada Pasien Acute
Coronary Syndrome (ACS): Tinjauan Literatur. JNC. 2020;3(2):101-102.
6. Halimuddin. Tekanan Darah denna Kejadian Infark Pasien Acute Coronary
Syndrome. Idea Nursing Journal. 2016;7(3):31-32.
7. Qamal M, Hamdhana D, Martin. Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit
Angina Pektoris (Angin Duduk) dennen Metode Forward Chaining Berbasis
Web. Jurnal TECHSI. 2020;12(1):87.
8. Pratiwi S, Sari E, Mirwanti R. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner Pada
Masyarakat Pangandaran. Jurnal Keperawatan. 2018;6(2):177.
9. Rahmawati I, Dwiana D, Ration R, Yesi Y. Hubungan Diabetes Melitus dengan
Penyakit Jantung Koroner pada Pasie yang Berobat di Poli Jantung. Jurnal
Kesehatan. 2021;8(1):57-60.
10. Pangestu M, Nusadewiarti A. Penatalaksanaan Holistik Penyakit Congestive
Heart Failure pada Wanita Lanjut Usia Melalui Pendekatan Kedokteran
Keluarga. Jurnal Majority. 2020;9(1):2-6.
11. Harigustian Y, Dewi A, Khoriyati A. Gambaran Karakteristik Pasien Gagal
Jantung Usia 45 – 65 Tahun di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping
Sleman. Indonesian of Journal Nursing Practices. 2016;1(1):56.
12. Berek P. Efektivitas Vagal Nerve Stimulation (VNS) Terhadap Disritmia
Jantung. Jurnal Sahabat Keperawatan. 2020;2(1):7.
13. Nurkhalis, Adista R. Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Gagal Jantung. Jurnal
Kedokteran Nanggroe Medika. 2020;3(3):39-40.
14. Anugrah D, Pantjawati A, Somantri Y. Rancang Bangui Pengukur Laju Deka
Jantung Berbasis PLC Mikro. Jurnal Electronics, Informatics, and Vocational
Education (ELINVO). 2016;1(3):163.
15. Rahardjo H. The Management of Nocturia by Indonesian Urologist. Jurnal
Kesehatan Indonesia. 2019;7(3):196.

Anda mungkin juga menyukai