Kegawatdaruratan Psikiatri Kelp 8 Kelas 3b
Kegawatdaruratan Psikiatri Kelp 8 Kelas 3b
Kegawatdaruratan Psikiatri Kelp 8 Kelas 3b
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Diajukan untuk memenuhi tugas Keperawatan Jiwa
Disusun oleh:
Kelompok 8
KEPERAWATAN D3
STIKES JENDERAL ACHMAD YANI
2020
1
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah
tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera
yang harus dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara
ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.
Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat
melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif,
negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh
terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan
mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa
2
yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan
dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan
oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital
pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan
dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah
dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan
darah meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan
dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum
menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan
bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi
pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu
dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik,
psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh
berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan
demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat
seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai
gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus
menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang
tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa
jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal
3
ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan
serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi
secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan
atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah
pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang
dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat
pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:
a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.
4
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif.
5
otak, neoplasma intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak
(umpamanya tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan
atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan
gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau keadaan gaduh-
gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak sendiri
(Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik
menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik
menahun (misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan
sebagainya) dapat saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan
gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali
dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis,
2009).
6
katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan
inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak
realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah
yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk
kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti
pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya
menurun, maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan
Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata
yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-
loncat atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori),
segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara
(logorea) dan sering ia lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis,
2009).
7
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman
Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke
dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial
Budaya di Indonesia” (“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh
sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode
“meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai
mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang
menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang
dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering
berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena
kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia
menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).
8
Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):
a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24
tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah
c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk,
penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri
sendiri, psikosis
d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)
Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting
sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu
waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para
pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan
Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak
mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha
memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab
keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin
(Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna
untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka
suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya
trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai,
biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi.
Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya
diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa
tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-
9
duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan
Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai
dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan
susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan
sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan
berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah
tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia
jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau
merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka
pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga
dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita
berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga
suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk
mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).
10
Seorang
yangdengan tenang
Menghadapi
gaduh-dengan kata-
Menenangkan
Menentram
gelisah
kata sedapat-
kan
Memeriksa
dapatnya,amankan.
keluarga/pe
Terdapatbadaniah Tidak terdapat
kelainan ngantar kelainan
sedapat-
Perawatan/ Perawatan/
dapatnya
intern/nerolo intern/nerologi
penjagaan penjagaan
Obati
gik Oba Obati
k yang baik
yang baik
kelain ti gangguan
an gejal psikiatrik
intern a *neroleptika
/nerol psiki *tranquilaiz
ogik atrik er
*etiol *ner *psikoterapi
ogik olep suportif
*simp tika *Terapi
tomat elektrokonv
ik ulsi bila
perlu
Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak
mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati
keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis
skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan
neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).
11
B. Tindak kekerasan (violence)
Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri,
disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak
kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula
terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari
dengan cara yang lebih baik.
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila
paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding
hallucination),
Intoksikasi alkohol atau zat lain,
Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
Katatonik furor
Depresi agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan
antisosial),
Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak
kekerasan,
Adanya rencana spesifik,
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
Laki-laki,
Usia muda (15-24 tahun),
Tatus sosioekonomi rendah,
Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
Tindakan antisosial lainnya
12
Riwayat percobaan bunuh diri.
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak
kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat
diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
Panduan wawancara dan Psikoterapi
Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan
yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints).
Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat
atau diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif:
“minum tablet ini sekarang”
Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat
diterima,
Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap
tenang dan penuh kontrol.
Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi diri anda
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas
(violent) seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang
bisa dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.
- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan
itu pada anggota staf yang terlatih.
- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin
merasa bahwa anda mengancamnya
- Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu
persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag
anda. Jangan pernah membelakangi pasien
13
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum
lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
- Ancaman verbal,
- Agitasi psikomotor,
- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
- Waham kejar, dan
- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata
(seperti garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien
secara aman.
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih.
Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik
untuk menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik
dan wawancara pskiatrik.
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien
diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis
rata-rata per hari 13-14mg,
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam
2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis
yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko
kejang. Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya
carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan
organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-
blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
14
C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang
diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D
dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat
mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).
Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri.
Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat
daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah
perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa
bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di
Jepang, “puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa
masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang
terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya
yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma
kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat
atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada
pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini
menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih
banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang
15
mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan
percobaan bunuh diri.
Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
16
l. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-
laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak
dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api.
Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan
racun.
m. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-
laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada
perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang
lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering
berhasil.
n. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
dibanding ras kulit hitam.
o. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di
rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh
diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang
pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
p. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai
dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain.
Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan
spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri
adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang
tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
q. Kesehatan fisik
17
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah
kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri
hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
r. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien
dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
s. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari
pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota
keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
t. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi.
Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol.
Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan
orang lain.
Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan
mood, keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang
terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang
mungkin menjadi faktor kontribusi tadi.
18
c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga
diri, dan lain-lain)
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan,
pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan
harta/barang-barang miliknya.
f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik
diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya
ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana
bunuh dirinya?
- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di
tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian
penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau
keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi
psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya
gangguan psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga
19
gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi
dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri,
jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat
membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru
melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan
atau dilakukan secara impulsif.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang
depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi
pasien secara ketat di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang
setelah sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan
kepribadian akan berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu
untuk memecahkan masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan
mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu
mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal
adanya ide-ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan
berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya
terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam
3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak
sekaligus terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol
dalam bebeapa hari.
20
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang
nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia,
tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan
yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya
gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian.
Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis
mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik.
Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang
menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang
meningkat cepat.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan
jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih
gejala berikut:
- Diaforesis
- Disfagia
- Tremor
- Inkontinensia
- Penurunan kesadaran
- Mutism
- Takikardia
- Tekanan darah yang meningkat atau labil
- Leukositosis
- Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.
Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor
D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area
di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio
retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur
nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus
21
dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia
terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot
Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding
perempuan.Faktor predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah
dehidrasi, malnutrisi, kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala,
infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall
and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru
menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik seperti carbidopa,
levodopa, amantadine dan bromocriptine.
22
Terapi Psikofarmaka
Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan
sampai 45 mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus
DAFTAR PUSTAKA
23
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
24