REFERAT Jiwa
REFERAT Jiwa
REFERAT Jiwa
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
DISUSUN OLEH:
DEBY REFIZANY H.F H1AP20006
PEMBIMBING:
dr. Norevia Eurelyn, Sp. KJ
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas refrat ini tepat pada waktunya dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Jiwa di Rumah Sakit
Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu, yang berjudul ‘Kegawatdaruratan
Psikiatri’.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnyakepada: dr. Norevia Eurelyn, Sp. KJ selaku pembimbing serta dukungan
dari teman – teman di bagian psikiatri yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian tugas ini.
Akhir kata, disadari bahwa penyajian refrat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan.Semoga refrat ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis
maupun pembaca pada umumnya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan akut perilaku, pikiran atau
suasana hati pasien yang jika tidak diobati dengan segera dapat merugikan, baik
untuk dirinya atau orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Sebagai ujung tombak
di lapangan, peran dokter sangat penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari
pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi. Permintaan untuk layanan
kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun
1960-an, terutama di perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks.
Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik
umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien
mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh
petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja.
Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya
meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau
kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan
masalah-masalah serius yang perlu intervensi segera. Ketiga kondisi
tersebut merupakan sebagian dari pelbagai kondisi kedaruratan psikiatrik.
Pemahaman kesehatan masyarakat bahwa kasus-kasus tersebut
merupakan keadaan yang perlu pertolongan segera, menyebabkan dokter
akan lebih banyak menemui kasus-kasus kedaruratan psikiatrik tersebut.
Hal ini juga sejalan dengan peningkatan pemahaman bahwa perubahan
status mental seseorang dapat disebabkan oleh penyakit organik (sesuai
dengan konsep hierarki dalam pemahaman diagnosis gangguan jiwa).
Peran dokter umum sangat penting dalam hal ini adalah sebagai
bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi. Diperlukan
keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi untuk membuat
diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan
fisik serta laboratorium yang sesuai dan memadai. Kerja sama dalam suatu
tim adalah bentuk pelayanan yang paling diharapkan untuk hasil optimal.
Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry bermanfaat untuk beberapa
penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri,
delirium, sindrom neuroleptik maligna, dan lain-lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat
adalah tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan
segera yang harus dilakukan secara tepat adalah:
1. Menentukan diagnosis awal
2. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera
pasien
3. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Penting yang harus dilakukan dokter di unit gawat
darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah
sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya
seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi
120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami
delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus
ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi
di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika intervensi
verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau
pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik
umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi, kelainan
metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan
fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat
darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi
mental yang tampak.
c. Psikosis
Seberapa jauh ketidakmampuan dalam menilai realita dan buruknya tilikan.
Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan
serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara
ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran
bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.
Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah
merupakan salah asatu indikasi rawat inap. Adapun indikasi rawat inap antara lain
adalah bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain, bila perawatan di
rumah tidak memadai dan perlu observasi lebih lanjut.
2.1.1 Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi
1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada
beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data ,
misalnya penapisan toksikologi (tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan
radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik
sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai
tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi
Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif.
2.2 Keadaan Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya,
tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan
sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan
sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan
gelisah.2,3
2.2.1 Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis
psikosis:3
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma
otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini
dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan
gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah.3
Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di
otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya
meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan
sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan
sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi
sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologik-anatomik pada otak sendiri.3
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik
menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik
menahun (misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan
sebagainya) dapat saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan
gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali
dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti.3
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya
hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat
inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang
jelas maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila
kelihatan juga tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek
kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan
(kepribadian yang retak, terpecah-belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),
yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak
pada proses berpikir.3
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-
gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah
katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan
inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak
realistik lagi.3
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang
dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau
konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas,
umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan,
kerugian dan bencana. Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan
gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif.3
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah
yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk
kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti
pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya
menurun, maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya.2,3
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata
yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-
loncat atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori),
segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara
(logorea) dan sering ia lekas tersinggung dan marah.3
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman
Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke
dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial
Budaya di Indonesia” (“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh
sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode
“meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai
mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang
menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang
dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering
berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena
kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia
menemui ajalnya.3
2.2.3 Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting
sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu
waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para
pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan.3
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak
mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha
memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab
keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin.3
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna
untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka
suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya
trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai,
biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi.
Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya
diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa
tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-
duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi.3
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai
dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan
susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan
sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan
berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah
tenang).3
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia
jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau
merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka
pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga
dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita
berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga
suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk
mengobatinya secara etiologis.3
2.5.2 Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.
Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor
D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area
di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio
retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur
nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus
dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia
terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot.2
3.2 Saran
Jika menemukan anggota keluarga yang memiliki tanda prilaku percobaan
bunuh diri atau prilaku menyerang sebaiknya segera bawa orang tersebut ke
psikiatri atau bawa ke rumah sakit agar dapat ditangani lebih lanjut dan tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. 2017. Buku Ajar Psikiatri ed 3.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI
2. Lofchy J, Boyles P, Delwo J. Emergency Psychiatry: Clinical and Training
Approaches. Can J Psychiatry. 2015 Jun;60(6):1-7. PMID: 26753192;
PMCID: PMC4500189
3. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
4. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2010. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New
York: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Cammell P. Emergency psychiatry: a product of circumstance or a growing
sub-speciality field? Australasian Psychiatry. 2017;25(1):53-55.