REFERAT Jiwa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

DISUSUN OLEH:
DEBY REFIZANY H.F H1AP20006

PEMBIMBING:
dr. Norevia Eurelyn, Sp. KJ

SMF BAGIAN ILMU PSIKIATRI


RSKJ DR. SOEPRAPTO KOTA BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas refrat ini tepat pada waktunya dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Jiwa di Rumah Sakit
Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu, yang berjudul ‘Kegawatdaruratan
Psikiatri’.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnyakepada: dr. Norevia Eurelyn, Sp. KJ selaku pembimbing serta dukungan
dari teman – teman di bagian psikiatri yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian tugas ini.
Akhir kata, disadari bahwa penyajian refrat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan.Semoga refrat ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis
maupun pembaca pada umumnya.

Bengkulu, 10 Agustus 2022

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan akut perilaku, pikiran atau
suasana hati pasien yang jika tidak diobati dengan segera dapat merugikan, baik
untuk dirinya atau orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Sebagai ujung tombak
di lapangan, peran dokter sangat penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari
pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi. Permintaan untuk layanan
kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun
1960-an, terutama di perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks.
Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik
umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien
mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh
petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja.
Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya
meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau
kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan
masalah-masalah serius yang perlu intervensi segera. Ketiga kondisi
tersebut merupakan sebagian dari pelbagai kondisi kedaruratan psikiatrik.
Pemahaman kesehatan masyarakat bahwa kasus-kasus tersebut
merupakan keadaan yang perlu pertolongan segera, menyebabkan dokter
akan lebih banyak menemui kasus-kasus kedaruratan psikiatrik tersebut.
Hal ini juga sejalan dengan peningkatan pemahaman bahwa perubahan
status mental seseorang dapat disebabkan oleh penyakit organik (sesuai
dengan konsep hierarki dalam pemahaman diagnosis gangguan jiwa).
Peran dokter umum sangat penting dalam hal ini adalah sebagai
bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi. Diperlukan
keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi untuk membuat
diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan
fisik serta laboratorium yang sesuai dan memadai. Kerja sama dalam suatu
tim adalah bentuk pelayanan yang paling diharapkan untuk hasil optimal.
Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry bermanfaat untuk beberapa
penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri,
delirium, sindrom neuroleptik maligna, dan lain-lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kegawatdaruratan Psikiatri


Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara
lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus
kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang
memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain:1,2
1. Kondisi gaduh gelisah
2. Tindak kekerasan (violence)
3. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
4. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
5. Delirium

2.1.1 Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat
adalah tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan
segera yang harus dilakukan secara tepat adalah:
1. Menentukan diagnosis awal
2. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera
pasien
3. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

Dalam proses evaluasi, dilakukan:


1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara
ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.
Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat
melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif,
negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap
informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar,
melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan
ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang
cepat.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Penting yang harus dilakukan dokter di unit gawat
darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah
sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya
seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi
120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami
delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus
ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi
di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika intervensi
verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau
pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik
umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi, kelainan
metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan
fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat
darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi
mental yang tampak.
c. Psikosis
Seberapa jauh ketidakmampuan dalam menilai realita dan buruknya tilikan.
Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan
serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara
ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran
bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.
Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah
merupakan salah asatu indikasi rawat inap. Adapun indikasi rawat inap antara lain
adalah bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain, bila perawatan di
rumah tidak memadai dan perlu observasi lebih lanjut.
2.1.1 Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi
1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada
beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data ,
misalnya penapisan toksikologi (tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan
radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik
sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai
tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi
Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif.
2.2 Keadaan Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya,
tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan
sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan
sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan
gelisah.2,3
2.2.1 Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis
psikosis:3
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma
otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini
dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan
gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah.3
Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di
otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya
meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan
sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan
sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi
sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologik-anatomik pada otak sendiri.3
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik
menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik
menahun (misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan
sebagainya) dapat saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan
gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali
dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti.3
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya
hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat
inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang
jelas maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila
kelihatan juga tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek
kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan
(kepribadian yang retak, terpecah-belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),
yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak
pada proses berpikir.3
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-
gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah
katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan
inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak
realistik lagi.3
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang
dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau
konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas,
umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan,
kerugian dan bencana. Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan
gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif.3
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah
yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk
kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti
pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya
menurun, maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya.2,3
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata
yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-
loncat atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori),
segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara
(logorea) dan sering ia lekas tersinggung dan marah.3
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman
Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke
dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial
Budaya di Indonesia” (“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh
sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode
“meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai
mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang
menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang
dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering
berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena
kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia
menemui ajalnya.3

2.2.2 Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan


Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam:4
a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya perilaku agitatif
e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak
kekerasan.
h. Kegelisahan katatonik
i. Episode manik
j. Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu
Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan:4
a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24
tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah
c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan
zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis
d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

2.2.3 Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting
sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu
waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para
pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan.3
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak
mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha
memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab
keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin.3
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna
untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka
suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya
trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai,
biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi.
Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya
diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa
tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-
duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi.3
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai
dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan
susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan
sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan
berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah
tenang).3
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia
jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau
merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka
pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga
dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita
berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga
suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk
mengobatinya secara etiologis.3

Gambar 1. Diagram Alur Penanggulangan Keadaan Gaduh Gelisah


Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak
mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati
keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis
skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan
neuroleptika.3

2.3 Tindak kekerasan (violence)


Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri,
disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak
kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula
terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari
dengan cara yang lebih baik.1
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
 Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid
dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding
hallucination),
 Intoksikasi alkohol atau zat lain,
 Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
 Katatonik furor
 Depresi agitatif
 Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan
antisosial),
 Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.

Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :


 Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak
kekerasan,
 Adanya rencana spesifik,
 Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
 Laki-laki,
 Usia muda (15-24 tahun),
 Status sosioekonomi rendah,
 Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
 Tindakan antisosial lainnya
 Riwayat percobaan bunuh diri.
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak
kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat
diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.

2.3.1 Panduan wawancara dan Psikoterapi


 Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan
yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints).
Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat
atau diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif:
“minum tablet ini sekarang”
 Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat
diterima,
 Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap
tenang dan penuh kontrol.
 Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
2.3.2 Evaluasi dan penatalaksanaan1,5
1. Amankan Diri
 Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata
 Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent)
seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa
dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.
 Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu
pada anggota staf yang terlatih.
 Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
 Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
 Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin
merasa bahwa anda mengancamnya
 Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu
persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang anda.

 Jangan pernah membelakangi pasien

2. Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:


 Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama
ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
 Ancaman verbal,
 Agitasi psikomotor,
 Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
 Waham kejar, dan
 Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti
garpu, asbak)
3. Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien
secara aman.
4. Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya
setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk
menenangkan pasien.
5. Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan
wawancara pskiatrik.

2.3.3 Terapi Psikofarmaka


Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien
diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:1
 Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
 Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis
rata-rata per hari 13-14mg,
 Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam
2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis
yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko
kejang. Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya
carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan
organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-
blocker seperti propanolol.1

2.4 Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum


Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang
diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri atau segala
perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu
singkat. Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri.
Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:1,2
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi
individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga
dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat
daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah
perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa
bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di
Jepang, “puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa
masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang
terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya
yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma
kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat
atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada
pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini
menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih
banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang
mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan
percobaan bunuh diri.4

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri


sebagai berikut:4
1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory
abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa
takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat
mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed
murder”).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat
mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini
cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian
mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu
akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi
pada wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan
menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak
berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula
mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba
berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk
menjauhkan diri dari tujuan itu.
2.4.1 Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri:4
l. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-
laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan
gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih
banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.
2. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-
laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada
perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang
lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering
berhasil.
3. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
dibanding ras kulit hitam.
4. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di
rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh
diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang
pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
5. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter
memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi
psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi.
Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara,
artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki
pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
6. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan
dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang
kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
7. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan
gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
8. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari
pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota
keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
9. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi.
Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan
kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

2.4.2 Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri


Merupakan gangguan mood, keterantungan alkohol, skizofrenia.
Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan
menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor kontribusi tadi.
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri, kemungkinan bunuh diri
dapat terjadi apabila:3
a. Pasien pernah mencoba bunuh diri
b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak,
atau berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi”
(sering dikatakan pada keluarga)
c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga
diri, dan lain-lain)
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan,
pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan
harta/barang-barang miliknya.
f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik
diri.
2.4.3 Panduan Wawancara dan Psikoterapi
1. Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
2. Mulailah dengan menanyakan:
 Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
 Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
3. Tanyakan isi pikiran pasien:
 Berapa sering pikiran ini muncul?
 Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
4. Selidiki :
 Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana
bunuh dirinya?
 Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
 Seberapa pesimiskah mereka?
 Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?

2.4.4 Evaluasi dan Penatalaksanaan


Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit
dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan.
Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik.
Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan
psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan
mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat
antidepresan.3
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri,
jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat
membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru
melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan
atau dilakukan secara impulsif.3
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang
depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi
pasien secara ketat di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang
setelah sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan
kepribadian akan berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu
untuk memecahkan masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab. 3,5
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan
mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu
mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal
adanya ide-ide bunuh diri.1

2.4.5 Terapi psikofarmaka


Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan
berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya
terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam
3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak
sekaligus terhadap pasien (respkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol
dalam bebeapa hari.3

2.5 Sindroma Neuroleptik Maligna


Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan
dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot,
distonia, akinesia mutisme dan agitasi.3
2.5.1 Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang
nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia,
tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan
yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya
gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian.
Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis
mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik.
Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang
menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang
meningkat cepat.4
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan
jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih
gejala berikut:
 Diaforesis
 Disfagia
 Tremor
 Inkontinensia
 Penurunan kesadaran
 Mutism
 Takikardia
 Tekanan darah yang meningkat atau labil
 Leukositosis
 Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka

2.5.2 Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.
Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor
D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area
di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio
retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur
nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus
dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia
terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot.2

2.5.3 Faktor resiko


Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor
predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi,
kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi
alkohol, pengunaan antipsikotik bersama dengan litium. Gangguan ini dapat pula
terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni
dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.5
2.5.4 Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga
perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya
pada keluarga dan teman-temannya.1

2.5.5 Evaluasi dan Penatalaksanaan1


 Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien
yang mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.
 Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik
biasa dan bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara
sindroma neuroleptik maligna.
 Hentikna pemberian antipsikotik segera.
 Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
 Lakukan pmeriksaan laboratorium
 Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
kemungkinan terjadiny agagal ginjal.
 Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah
kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti
dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

2.5.6 Terapi Psikofarmaka


 Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
 Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45
mg/hari
 Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi kondisi gaduh
gelisah, tindak kekerasan (violence), tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri,
gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat, delirium, serta beberapa kondisi
medis lainnya yangmematikan dan muncul dengan gejala psikiatrik umum.
Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi
ini. Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini
sangatlah penting.

3.2 Saran
Jika menemukan anggota keluarga yang memiliki tanda prilaku percobaan
bunuh diri atau prilaku menyerang sebaiknya segera bawa orang tersebut ke
psikiatri atau bawa ke rumah sakit agar dapat ditangani lebih lanjut dan tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. 2017. Buku Ajar Psikiatri ed 3.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI
2. Lofchy J, Boyles P, Delwo J. Emergency Psychiatry: Clinical and Training
Approaches. Can J Psychiatry. 2015 Jun;60(6):1-7. PMID: 26753192;
PMCID: PMC4500189
3. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
4. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2010. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New
York: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Cammell P. Emergency psychiatry: a product of circumstance or a growing
sub-speciality field? Australasian Psychiatry. 2017;25(1):53-55.

Anda mungkin juga menyukai