Skripsi: Pola Penggunaan Antidepresan Pada Kasus Depresi (Studi Di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 139

SKRIPSI

POLA PENGGUNAAN ANTIDEPRESAN


PADA KASUS DEPRESI

(Studi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo)

NUR AIDA AYU KUSUMANINGTYAS

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA


DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
SURABAYA
2015
SKRIPSI

POLA PENGGUNAAN ANTIDEPRESAN


PADA KASUS DEPRESI

(Studi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo)

NUR AIDA AYU KUSUMANINGTYAS


NIM: 051111185

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA


DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
SURABAYA
2015

i
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui


skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul:

POLA PENGGUNAAN ANTIDEPRESAN

PADA KASUS DEPRESI

(Studi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya)

Untuk dipublikasi atau ditampilkan di internet, digital library


Perpustakaan Universitas Airlangga Airlangga atau media lain untuk
kepentingan akadmik sebatas sesuai dengan Undang Undang Hak CIpta

Surabaya, Agustus 2015

Nur Aida Ayu K


NIM. 051111185

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nur Aida Ayu Kusumaningtyas

NIM : 051111185

Menyatakan, bahwa sesungguhnya hasil skripsi/tugas akhir yang saya


tulis dengan judul:

POLA PENGGUNAAN ANTIDEPRESAN

PADA KASUS DEPRESI

(Studi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya)

Adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila di


kemudian hari diketahui bahwa skripsi ini menggunakan data fiktif atau
merupakan hasil dari plagiatisme, maka saya bersedia menerima sanksi
berupa pembatalan kelulusan atau pencabutan gelar sarjana yang saya
peroleh. Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan
sebagaimana mestiya.

Surabaya, Agustus 2015

Nur Aida Ayu K


NIM. 051111185

iii
Lembar Pengesahan

POLA PENGGUNAAN ANTIDEPRESAN


PADA KASUS DEPRESI
(Studi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo)

SKRIPSI
Dibuat untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi di
Universitas Airlangga Surabaya
2015

Oleh:

Nur Aida Ayu Kusumaningtyas


051111185

Disetujui oleh :

Pembimbing Utama Pembimbing Serta

Dra. Yulistiani, Apt., Msi I Gst Ngr Gunadi S.P, dr. SpKJ(K)
NIP. 19660428 19203 2 001 NIP. 19530209 198312 1 001

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitan skripsi yang
berjudul POLA PENGGUNAAN ANTIDEPRESAN PADA KASUS
DEPRESI (Studi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya) dapat
terselesaikan dengan baik. Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari
dukungan banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini
peneliti mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sedalam-
dalamnya kepada:

1. Dra. Yulistiani, Apt., MSi., selaku pembimbing utama dan I Gst


Ngr Gunadi S.P, dr. SpKJ(K) selaku pembimbing serta atas segala
waktu, kesabaran, ketelitian, bimbingan serta masukan selama
menyusun skripsi ini.
2. Dr. Budi Suprapti, Apt., M.Si dan Drs. Didik Hasmono, Apt., MS
selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk
penulis.
3. Direktur RSUD Dr.Soetomo dan kepala bidang LITBANG yang
telah memberikan ijin kepada peneliti untuk pengambilan data
sehubungan dengan skripsi ini.
4. Ketua SMF Psikiatri RSUD Dr. Soetomo beserta staff yang telah
memberikan ijin untuk melakukan penelitian ini.
5. Dr. Hj. Isnaeni, Apt., MS selaku dosen wali yang telah
membimbing dan memberi saran selama menempuh pendidikan di
Fakultas Farmasi
6. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga atas bantuan yang
telah memberikan motivasi dan saran selama menempuh
pendidikan di Fakultas Farmasi.

v
7. Seluruh dosen serta staf pengajar yang telah membimbing, dan
selalu memberikan motivasi dan pengetahuan selama menjalani
perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
8. Karyawan Bidang IT RSUD Dr.Soetomo atas bantuan waktu dan
tenaga dalam memenuhi segala kebutuhan dalam penyelesaian
skripsi ini.
9. Ayah dan Ibu tercinta, H. Abrinur Nazar, S.H dan Hj. Sri Riwayati
S.H atas cinta kasih, perhatian, pengorbanan, dan doa tulus untuk
penulis, yang tidak akan pernah terbalas oleh apapun. Kedua
adikku Nur Indah Fathma dan Nur Rachmad Fauzi atas doa dan
dukungannya, serta keluarga besar yang turut memberikan
dorongan semangat.
10. Muhammad Ananda Putra, terimakasih atas waktu, perhatian,
dukungan mental, dan bantuan yang selalu diusahakan untuk
penulis.
11. Sahabatku-sahabatku terkasih, Nisa, Tiyas, Astrid, Zulfa, Vida, Iin,
Dini, Vida, Putu, dan Zasa yang selalu bersedia menjadi tempat
bagi penulis untuk berkeluh kesah dan atas dukungan semangatnya
selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi.
12. Teman seperjuangan skripsi yang hebat, Ratih dan Debora,
terimakasih karena selalu mengingatkan penulis untuk tetap
semangat dan tidak menyerah.
13. Teman-teman farmasi angkatan 2011 khususnya kelas B of Fanatik
(BofF) yang selalu mendukung dan menjadi inspirasi bagi penulis
untuk tetap bertahan dan terus maju hingga terselesaikannya skripsi
ini.
14. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.

vi
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini, untuk itu segala bentuk kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan agar penulis dapat lebih baik di masa
mendatang. Akhirnya, skripsi ini penulis persembahkan untuk
almamater tercinta Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian.

Surabaya, Agustus 2015

Penulis

vii
RINGKASAN

POLA PENGGUNAAN ANTIDEPRESAN PADA KASUS


DEPRESI
(Studi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya)

Nur Aida Ayu Kusumaningtyas

Depresi merupakan suatu gangguan suasana perasaan yang


sedih dengan gejala penyertanya, seperti perubahan pada pola tidur,
nafsu makan, psikomotor dan konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa dan tidak berdaya serta pikiran bunuh diri yang berlangsung
paling tidak selama dua minggu (Sadock et al., 2009; Maslim, 2013).
Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3-8 % dengan
50 % kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun (Dirbinfar
Komunitas dan Klinik, 2007). Gangguan depresi berada pada urutan
keempat penyakit di dunia. Pada tahun 2030 diperkirakan jumlah
penderita gangguan depresi semakin meningkat dan akan menjadi
kontributor utama beban penyakit di dunia (WHO, 2008). Dalam
penatalaksanaan terapi, terdapat beberapa jenis obat untuk mengatasi
depresi dan memberikan respon individual pada masing-masing pasien.
Pemberian obat antidepresan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang
lama karena obat-obat antidepresan membutuhkan waktu yang relatif
lama untuk menimbulkan efek terapi, selain itu memungkinkan
terjadinya relaps apabila obat dihentikan, sehingga keberhasilan terapi
juga sangat bergantung pada kepatuhan pasien.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jenis, dosis, dan
frekuensi penggunaan antidepresan pada kasus depresi dikaitkan dengan
data klinik pasien serta mengidentifikasi adanya problema obat yaitu
efek samping potensial, efek samping aktual, dan interaksi obat.
Penelitian ini telah di-review oleh Komisi Etik RSUD Dr. Soetomo.
Jenis penelitian adalah observasional dan menggunakan data retrospektif
pada pasien depresi yang menjalani rawat jalan di Poli Jiwa RSUD Dr.
Soetomo Surabaya Periode 1 Juni 2014 sampai 31 Maret 2015 (N=44).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi antidepresan yang
digunakan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo adalah amitriptilin (9%),
maprotilin (5%), fluoksetin (82%), dan sertralin (23%) dengan dosis dan
frekuensi yang masing-masing sudah sesuai pustaka, yaitu amitriptilin
12,5-25 mg (frekuensi 1-3 kali/hari), maprotilin 25 mg (frekuensi 1
kali/hari), fluoksetin 10-20 mg (frekuensi 1-2 kali/hari), dan sertralin 25-
50 mg (frekuensi 1-2 kali/hari).

viii
Problema obat terkait efek samping yang potensial terjadi pada
pemberian amitriptilin dan maprotilin adalah efek antikolinergik,
hipotensi ortostatik, sedasi, takikardi, tremor dan sakit kepala. Efek
samping potensial terkait pemberian fluoksetin dan sertralin adalah
insomnia, withdrawal, mulut kering, mual, muntah, gangguan
pencernaan, disfungsi seksual, pusing dan gelisah. Efek samping aktual
yang ditemukan dalam penelitian ini adalah mulut kering akibat
pemberian amitriptilin, depresi rebound akibat penurunan dosis
fluoksetin, serta mual, kembung, dan sakit kepala akibat pemberian
fluoksetin. Interaksi yang potensial terjadi adalah interaksi antara
sertralin dengan antipsikotik klozapin yang dapat meningkatkan
konsentrasi plasma dari klozapin, sehingga pemberian kombinasi kedua
obat ini harus diperhatikan dan dimonitor efek samping, serta dilakukan
penurunan dosis klozapin apabila diperlukan.

ix
ABSTRACT

ANTIDEPRESSANT PROFILE IN DEPRESSIVE PATIENT


(Study at Psychiatry Ambulatory Care Dr. Soetomo Teaching
Hospital Surabaya)
Nur Aida Ayu Kusumaningtyas

Depression is a mood disorder that causes a persistent feeling of


sadness with accompanying symptoms, such as changes in sleep
patterns, appetite, psychomotor and concentration, anhedonia, fatigue,
frustration and helplessness, and suicidal thoughts that lasted for at least
two weeks (Sadock et al., 2009; Maslim, 2013). In the management of
therapy, there are several types of drugs to treat depression and provide
individual responses to each patient.
The aims of this study was to describe the profile of drugs used in
depression, including type of drug, dosage, and frequency, associated
with the clinical data of patients. In addition, this study also aims to
identify Drug Related Problems (DRPs) that might happened. This
observational study was conducted retrospectively using medical record
of depressive patient in Department of Psychiatry Ambulatory Care Dr.
Soetomo Teaching Hospital Surabaya on period June 1st 2014 – March
31st 2015 (N=44). This study was reviewed by Ethical Board Review of
Health Research Dr. Soetomo Teaching Hospital Surabaya.
The results showed that main drugs that used in the case of
depression were amitriptyline (9%), maprotiline (5%), fluoxetine (82%),
and sertraline (23%). The dosage and frequency were in accordance with
the literature which, the dose of amitriptyline 12,5-25 mg once up to
three times a day, dose of maprotiline 25 mg once a day, dose of
fluoxetine 10-20 mg once up to twice a day, and dose of sertraline 25-50
mg once up to twice a day. The actual DRPs in this study were occurred
in one patient who received amitriptyline in the form of a dry mouth,
rebound depression happened to one patient because dose reduction of
fluoxetine, and one patient who received fluoxetine in the form of
nausea, bloating, and headache. Potential interaction was the interaction
between sertraline with antipsychotic clozapine which could increase the
plasma concentrations of clozapine, thus giving a combination of these
two drugs had to be considered and monitored side effects, as well as
lowering the dose of clozapine performed if necessary.

Keywords :depressive, antidepressants, TCA, SSRI, ADRs,


antidepressants interactions

x
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ……………………………………………… I


LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH …………… ii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………… iii
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………… iv
KATA PENGANTAR …………………………………………… v
RINGKASAN …………………………………………………… viii
ABSTRACT ……………………………………………………… x
DAFTAR ISI ……………………………………………...…...… xi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….. xv
DAFTAR TABEL …………………………………………...…… xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………...… xx
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………….... xxi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah …………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………...…… 6
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………… 6
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………..… 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Gangguan Depresi ………………… 8
2.1.1 Definisi ………………………….…..………... 8
2.1.2 Epidemiologi…………….…...………….....… 8
2.1.3 Etiologi…………………………………...…… 8
2.1.3.1 Faktor Biologis…………..…...….....… 9
2.1.3.1.1 Uji Supresi Deksametason (DST) 11
2.1.3.2 Faktor Genetik ……………………...… 11

xi
2.1.3.3 Faktor Psikososial …………………..… 11
2.1.4 Patofisiologi ………………………………… 12
2.1.5 Tanda dan Gejala Klinis ….…………………… 13
2.1.6 Kriteria Depresi …………………………....… 15
2.2 PenatalaksanaanTerapi ……......……………………. 17
2.2.1 Terapi Non Farmakologi ………..……………. 17
2.2.1.1 Psikoterapi ……………..……….…… 17
2.2.2 Farmakologi ………………………………….. 18
2.2.2.1 Tricyclic & Tetracyclic Antidepressant
(TCA) ................................................................. 21
2.2.2.1.1 Imipramin ……………………… 24
2.2.2.1.2 Klomipramin …………………. 25
2.2.2.1.3 Amitriptilin …………………….. 26
2.2.2.1.4 Doksepin …………………….. 27
2.2.2.1.5 Trimipramin …………………… 27
2.2.2.2 Selective Serotonine Reuptake Inhibitor
(SSRI) ……..………………………………… 27
2.2.2.2.1 Fluoksetin ……………………… 35
2.2.2.2.2 Sertralin ……………………… 35
2.2.2.2.3 Paroksetin ……………………… 36
2.2.2.2.4 Fluvoksamin …………………… 36
2.2.2.2.5 Citalopram …………………… 37
2.2.2.2.6 Escitalopram …………………… 37
2.2.2.3 Serotonine Norepinephrine Reuptake
Inhibitor (SNRI)…………………………......… 38
2.2.2.3.1 Duloksetin …………………....... 39
2.2.2.3.2 Venlafaksin …………………… 39

xii
2.2.2.4 Bupropion ……….…………………... 40
2.2.2.5Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI)... 41
2.3 Problema Obat …...……………………….........…...… 43
BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA
OPERASIONAL………………………………….... 45
BAB IV METODE PENELITIAN 40
4.1 Jenis penelitian ……………………………………… 50
4.2 Tempat dan waktu penelitian ……………………… 50
4.3 Populasi dan sampel penelitian ………….………..... 50
4.3.1 Populasi ……………………………………… 50
4.3.2 Sampel ………………………………………… 50
4.4 Kriteria Inklusi ……………………………………… 51
4.5 Kriteria Eksklusi ……………………………………… 51
4.6 Definisi Operasional ………….…………...………… 51
4.7 Ethical Clearance ……………………………...…… 52
4.8 Cara Pengumpulan Data …………………………...… 52
4.9 Pengolahan & Analisis Data ………………………… 52
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Demografi Pasien ..……………..………………...…… 54
5.1.1 Jenis Kelamin Pasien Depresi ……………… 54
5.1.2 Sebaran Usia Pasien Depresi ……………….... 54
5.1.3 Status Pernikahan Pasien Depresi ………….... 56
5.1.4 Riwayat Pendidikan Pasien Depresi ………... 56
5.1.5 Kategori Pasien ……………………………..... 56
5.2 Riwayat Depresi pada Keluarga Pasien Depresi …..... 58
5.3 Macam Penyakit Penyerta pada Pasien Depresi ...……. 58
5.4 Gejala/Keluhan Pasien Depresi …………………........ 59

xiii
5.5 Klasifikasi Depresi …………………………………..... 60
5.6 Fase Terapi pada Pasien Depresi …………………..... 62
5.7 Terapi Obat pada Pasien Depresi ………………….... 62
5.7.1 Terapi Obat Antidepresan …………………… 62
5.7.2 Terapi Obat Lain ……………………………… 64
5.7.3 Terapi Obat Dikaitkan dengan Kondisi Pasien... 67
5.7.4 Perubahan Terapi Obat Dikaitkan dengan
Gejala Klinis Pasien..………………………............... 73
5.8 Problema Terkait Obat pada Pasien Depresi ………… 74
5.8.1 Efek Samping Potensial ………………………. 75
5.8.2 Efek Samping Aktual ………………………. 76
5.8.3 Interaksi Obat ……………………………… 76
5.9 Outome Terapi pada Pasien Depresi ………………… 78
BAB VI PEMBAHASAN …………………………………......... 79
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ……………………..... 95
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….... 97
LAMPIRAN …………………………………………………...... 105

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Diagram skematik hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) ........... 10
2.2 Hipotesis monoamin dari depresi ............................................... 14
2.3 Fase pengobatan depresi............................................................... 18
2.4 Skema algoritma terapi depresi mayor......................................... 20
2.5 Efek samping TCA....................................................................... 22
2.6 Mekanisme kerja SSRI................................................................. 28
2.7 Mekanisme kerja SNRI................................................................ 38
3.1 Kerangka konseptual ................................................................... 48
3.2 Kerangka operasional .................................................................. 49
5.1 Sebaran Jenis Kelamin Pasien Depresi yang menjalani Rawat
Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014 –
Maret 2015................................................................................... 55
5.2 Status Pernikahan Pasien Depresi yang menjalani Rawat Jalan
di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014 – Maret
2015.............................................................................................. 56
5.3 Riwayat Pendidikan Pasien Depresi yang menjalani Rawat
Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014 –
Maret 2015.................................................................................... 57
5.4 Sebaran Kategori Pasien Depresi yang menjalani Rawat Jalan
di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014 – Maret
2015.............................................................................................. 57
5.5 Sebaran Riwayat Depresi pada Keluarga Pasien Depresi yang
menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode
Juni 2014 – Maret 2015................................................................ 58
5.6 Penyakit Penyerta (Komorbid) Pasien Depresi yang menjalani

xv
Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014
– Maret 2015 ................................................................................ 59
5.7 Fase Terapi pada Pasien Depresi yang Menjalani Rawat Jalan
di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo periode Juni 2014 – Maret
2015.............................................................................................. 62

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
II.1 Parameter Farmakokinetik dan Informasi Klinis Antidepresan
Trisiklik dan Tetrasiklik............................................................. 23
II.2 Enzim utama sitokrom P450 (CYP) yang bertanggung jawab
memetabolisme obat-obat TCA................................................. 25
II.3 Profil Farmakokinetik SSRI...................................................... 31
II.4 Enzim utama sitokrom P450 (CYP) yang bertanggung jawab
memetabolisme obat-obat SSRI................................................ 33
II.5 Enzim utama sitokrom P450 (CYP) yang bertanggung jawab
memetabolisme obat-obat SNRI................................................ 40
II.6 Efek Samping utama antidepresan........................................ 43
V.1 Sebaran Usia Pasien Depresi yang menjalani Rawat Jalan di
Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014 – Maret
2015........................................................................................... 55
V.2 Gejala/Keluhan yang Dialami oleh Pasien Depresi yang
Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015............................................... 60
V.3 Klasifikasi Depresi yang Diderita oleh Pasien Depresi yang
Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015................................................ 61
V.4 Terapi Obat Antidepresan yang Diterima oleh Pasien Depresi
yang Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015................................................ 63
V.5 Terapi Obat Lain yang Diterima Pasien Depresi yang
Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015............................................... 65

xvii
V.6 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Jenis
Depresi....................................................................................... 67
V.7 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Data
Klinik Pasien.............................................................................. 70
V.8 Perubahan Terapi Obat Dikaitkan dengan Gejala Klinis
Pasien......................................................................................... 73
V.9 Efek Samping Potensial ............................................................ 75
V.10 Efek Samping Aktual ............................................................... 76
V.11 Interaksi Obat ........................................................................... 76
V.12 Outcome Terapi ........................................................................ 78

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1 Lembar Kelaikan Etik .................................................................... 105
2 Tabel Induk .................................................................................... 106

xix
DAFTAR SINGKATAN

5-HT : 5-hydroxytryptamine

5-HTT : 5-hydroxytryptamine transporter

ACTH : Adrenocorticotropic Hormone

BB : Berat Badan

CNS : Central Nervous System

CYP : Cytochrome

CRH : Corticotropin-Releasing Hormone

DA : Dopamine

DMK : Dokumen Medik Kesehatan

DRP : Drug Related Problem

DSM V : Diagnostic and Statistical Manual V

DST : Dexamethasone Suppression Test

EPS : Extrapyramidal Syndrome

ESO : Efek Samping Obat

FDA : Food and Drug Administration

GAF : Global Assessment of Functioning

GI : Gastrointestinal

HPA : Hypothalamus Pitutary Adrenal

HR : Heart Rate

xx
ICD : International Classification of Disease

IM : Intramuskular

M/A : Mood/Afek

MAOI : Monoamine Oxidase Inhibitor

MDD : Major Depressive Disorder

NE : Norepinephrine (Norepinefrin)

PB : Proses Berpikir

PPDGJ III : Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan


Jiwa III

RPD : Riwayat Penyakit Dahulu

RPP : Riwayat Penyakit Penyerta

SNRI : Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitor

SSP : Sistem Saraf Pusat

SSRI : Selective Serotonine Reuptake Inhibitor

TBI : Traumatic Brain Injury

TCA :Tricyclic Antidepressant

TD : Tekanan Darah

WTO : Waktu Tempat Orang

xxi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Depresi merupakan suatu gangguan suasana perasaan yang sedih
dengan gejala penyertanya, seperti perubahan pada pola tidur, nafsu
makan, psikomotor dan konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus
asa dan tidak berdaya serta pikiran bunuh diri. Gangguan tersebut
berlangsung paling tidak selama dua minggu (Sadock et al., 2009;
Maslim, 2013).
Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3-8 %
dengan 50 % kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun
(Dirbinfar Komunitas dan Klinik, 2007). Gangguan depresi berada pada
urutan keempat penyakit di dunia. Pada tahun 2030 diperkirakan jumlah
penderita gangguan depresi semakin meningkat dan akan menjadi
kontributor utama beban penyakit di dunia (WHO, 2008). Beban
penyakit atau burden of disease penyakit jiwa di Indonesia masih cukup
besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6 %
untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Di Poli Jiwa
RSUD Dr. Soetomo Surabaya, depresi menempati urutan kedua
gangguan jiwa terbanyak setelah skizofrenia pada periode 2014 hingga
Maret 2015. Perempuan mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar
mengalami gangguan depresi daripada laki-laki (Dirbinfar Komunitas
dan Klinik, 2007) dan hampir 70 % penderita gangguan depresi adalah
perempuan (Hankin dan Abramson 2001). Penelitian di negara barat
menyatakan hal ini dapat terjadi karena masalah hormonal, dampak

1
2

melahirkan, stresor dan pola perilaku (Dirbinfar Komunitas dan Klinik,


2007).
Gejala depresi juga dapat disebabkan karena adanya stres
fisiologi akibat adanya suatu penyakit atau akibat penggunaan obat
tertentu. Antihipertensi, antikolesterol, dan antiaritmia adalah obat yang
umum dapat memicu gejala depresi. Depresi juga dapat menjadi
manifestasi dari sebuah penyakit. Sekitar 20 – 30 % pasien dengan
gangguan jantung menunjukkan gejala depresi. Gejala depresi juga
terjadi pada pasien dengan kelainan neurologis, terutama pada gangguan
serebrovaskular, penyakit Parkinson, demensia, multiple sclerosis, dan
traumatic brain injury. Depresi juga terjadi pada pasien dengan diabetes
melitus dengan prevalensi 8 -20 % (Reus, 2012).
Neurotransmiter yang paling bertanggung jawab terhadap
patofisiologi depresi adalah serotonin (5-HT) dan norepinefrin (NE)
(Holmes, 2008). Norepinefrin yang mempunyai kadar rendah memicu
terjadinya depresi dan kadar norepinefrin yang tinggi dapat memicu
mania (Davidson, et al., 2006). Selain itu hiperkortisol juga dapat
menjadi pemicu gejala depresi (Juruena, 2013). Pengaruh stres kronis
dan peristiwa kehidupan yang buruk merupakan salah satu faktor resiko
terjadinya depresi (Brigitta Bondy, 2002) yang sangat erat kaitannya
dengan penurunan jumlah neurotransmiter serotonin (5-HT) (Mahar et
al., 2013), serta disregulasi dan toksisitas dari HPA axis akibat
pelepasan glukokortikoid yang berlebihan (Lupien et al., 2009). Stres
yang menyertai episode pertama mengakibatkan perubahan yang
bertahan lama di dalam biologi otak (Sadock et al., 2009). Berdasarkan
patofisiologi tersebut maka diberikan kelompok obat antidepresan
sebagai terapi untuk mengatasi depresi.
3

Terdapat tiga fase pengobatan pada pasien depresi sesuai dengan


perjalanan gangguan depresi, yaitu fase akut yang bertujuan untuk
meredakan gejala, fase kelanjutan untuk mencegah relaps, dan fase
pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren (Dirbinfar Komunitas
dan Klinik, 2007). Tujuan utama pengobatan depresi adalah untuk
mengembalikan level neurotransmiter atau bahan-bahan kimia saraf
lainnya pada level normal (Durand & Barlow, 2006). Antidepresan yang
diakui oleh Food and Drug Administration (FDA) yaitu penghambat
monoamine oksidase (MAOI), antidepresan trisiklik dan tetrasiklik
(TCA), penghambat ambilan kembali serotonin secara selektif (SSRI),
serta penghambat ambilan kembali serotonin dan norepinefrin (SNRI)
(Richards & O’Hara, 2014). MAOI saat ini hanya digunakan untuk
pasien yang telah resisten terhadap antidepresan lain karena efek
toksiknya serta banyaknya interaksi antar obat dan interaksi obat dengan
makanan yang membahayakan (Liebelt et al., 2008). MAOI jarang
digunakan dibandingkan antidepresan lain karena dapat memicu krisis
hipertensi yang disebabkan oleh tiramin dan dapat mengancam jiwa
(Sadock et al., 2009).
Antidepresan yang meningkatkan transmisi serotonin merupakan
lini pertama farmakoterapi adalah golongan SSRI, SNRI, dan
antidepresan trisiklik (TCA) (Brigitta Bondy, 2002; Bennett, 2006;
Bambico et al., 2009). Antidepresan trisiklik bekerja dengan
menghambat ambilan kembali NE dan dan/atau 5-HT sehingga dapat
meningkatkan kadar neurotransmiter tersebut dalam reseptor CNS
(Liebelt et al., 2008). Yang termasuk antidepresan trisiklik adalah
amoksapin, imipramin, amitriptilin, doksepin, lofepramin, nortriptilin,
protriptilin, dan trimipramin (Bateman, 2007). Antidepresan SSRI
bekerja dengan menghambat ambilan kembali neurotransmiter serotonin
4

di otak. Obat yang termasuk golongan SSRI antara lain fluoksetin,


paroksetin, sertralin, fluvoksamin, sitalopram, dan escitalopram (Arozal
& Gan, 2009). SNRI bekerja dengan menghalangi atau menghambat
reuptake dari neurotransmiter serotonin dan norepinefrin. Hal ini
mengakibatkan kadar kedua neurotransmiter ini meningkat (Nash &
Nutt, 2007).
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemberian
antidepresan adalah kondisi/tipe depresi dan usia pasien, metabolisme,
serta waktu paruh dari obat antidepresan yang akan diberikan. Sebagai
contoh, SNRI merupakan terapi pilihan pada pasien yang mengalami
depresi berat dengan ciri melankolik, sedangkan pada pasien lanjut usia,
wanita hamil, dan pasien depresi dengan gangguan medis lainnya SSRI
merupakan antidepresan lini pertama untuk terapi depresi (Licino &
Wong, 2005; Sadock et al., 2009). Escitalopram merupakan
antidepresan SSRI terbaru yang disetujui oleh FDA untuk terapi
gangguan depresi berat. Escitalopram juga memiliki spektrum luas efek
ansiolitik sehingga dapat digunakan untuk depresi dengan gangguan
panik atau gangguan cemas. Semua obat golongan SSRI dimetabolisme
di hati oleh CYP P450 isoenzim CYP 2D6 sehingga klinisi harus
berhati-hati dalam memberikan obat lain secara bersamaan yang juga
dimetabolisme oleh CYP 2D6. Waktu paruh dari obat-obat antidepresan
dapat mempengaruhi frekuensi pemberiannya. Obat-obat golongan
TCA, SSRI dan SNRI memiliki waktu paruh selama 24 jam atau lebih,
sehingga memungkinkan diberikan sekali dalam sehari, kecuali
amoxapine dari golongan TCA yang memiliki waktu paruh lebih pendek
(Sadock et al., 2009).
Beberapa antidepresan juga dapat menimbulkan gejala putus obat
bila dilakukan penghentian secara tiba-tiba. Penghentian penggunaan
5

SSRI harus dilakukan tapering off karena penghentian secara tiba-tiba


terutama SSRI dengan waktu paruh singkat, seperti paroksetin atau
fluvoksamin menyebabkan timbulnya sindrom putus obat berupa pusing,
lemah mual, sakit kepala, depresi rebound, ansietas, insomnia,
konsentrasi buruk gejala pernapasan atas, parestesia, dan gejala mirip
migrain. Fluoksetin merupakan SSRI yang paling kecil kemungkinannya
menyebabkan sindrom putus obat karena waktu paruh metabolitnya
panjang yaitu lebih dari 1 minggu dan kadarnya secara efektif turun
dengan sendirinya. Sedangkan pada antidepresan golongan SNRI,
penghentian penggunaan venlafaksin secara tiba-tiba dapat
menyebabkan sindrom putus obat seperti mual, somnolen, dan insomnia
sehingga penghentiannya harus dilakukan dengan cara tapering off
(Licino & Wong, 2005; Sadock et al., 2009).
Pemberian antidepresan harus memperhatikan efek samping
potensial yang dihasilkan. Antidepresan trisiklik dapat menimbulkan
efek sedatif sehingga kebanyakan obat TCA diberikan pada malam hari
(Sadock et al., 2009). TCA dapat menginduksi takikardi serta aritmia
khususnya pada dosis tinggi, sehingga pemberian TCA pada pasien
gagal jantung kongestif memerlukan perhatian khusus (Reus, 2012).
TCA juga dapat menyebabkan efek antikolinergik seperti pengelihatan
kabur sehingga pemberiannya harus diperhatikan pada pasien depresi
dengan glaukoma sudut sempit. Efek antikolinergik lain yang dapat
ditimbulkan oleh TCA adalah sedasi, mulut kering, konstipasi, dan
retensi urin. Pasien dapat mengalami toleransi terhadap efek
antikolinergik dengan berlanjutnya terapi, namun pasien lansia sangat
rentan terhadap efek ini sehingga pemberiannya harus diperhatikan
(Licino & Wong, 2005; Sadock et al., 2009). Obat-obat SNRI memiliki
beberapa efek samping serotonergik dan noradrenergik yaitu
6

peningkatan tekanan darah dan heart rate seperti pada venlafaksin, serta
aktivasi CNS seperti insomnia, kecemasan dan agitasi seperti pada
duloksetin yang dapat menyebabkan somnolen dan berkeringat,
sehingga penggunaannya harus diatur dengan baik (Katzung, 2009;
Attard, 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka diperlukan
sebuah studi untuk mengetahui pola penggunaan obat antidepresan pada
pasien depresi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang meliputi
jenis obat yang diberikan, dosis, frekuensi, lama penggunaan, interaksi
dan efek samping serta kajian terapinya dikaitkan dengan data rekam
medik pasien. Studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
peningkatan pengelolaan obat di rumah sakit dan dapat digunakan oleh
praktisi kesehatan sebagai bahan evaluasi terapi dan pengawasan
penggunaan obat pada kasus depresi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah pola penggunaan antidepresan pada kasus depresi
di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengkaji pola penggunaan antidepresan pada kasus depresi di
Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
(1) Mengkaji jenis, dosis, dan frekuensi antidepresan pada
kasus depresi dikaitkan dengan data klinik pasien.
(2) Mengidentifikasi adanya problema obat yang mungkin
terjadi.
7

1.4 Manfaat
(1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai profil penggunaan antidepresan pada kasus
depresi sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam
peningkatan pengelolaan obat di rumah sakit.
(2) Data yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan oleh
praktisi kesehatan sebagai bahan evaluasi terapi dan
pengawasan penggunaan obat pada kasus depresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Gangguan Depresi


2.1.1 Definisi
Depresi merupakan suatu kondisi emosional yang biasanya
ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan yang tidak berani
dan bersalah; menarik diri dari orang lain; dan tidak dapat tidur,
kehilangan selera makan, hasrat seksual dan minat serta kesenangan
dalam aktivitas yang biasa dilakukan (Davidson, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
Gangguan depresi dapat terjadi pada semua umur, dengan usia 6
sampai 50 tahun dan rata-rata usia 30 tahun. Gangguan depresi berat
rata-rata dimulai pada usia 20-50 tahun. Perempuan juga dapat
mengalami depresi pasca melahirkan anak. Beberapa orang di negara
barat mengalami gangguan depresi musiman dan biasanya pada musim
dingin. Perempuan mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar
mengalami gangguan depresi daripada laki-laki. Penelitian menyebutkan
hal tersebut dapat terjadi karena masalah hormonal, dampak melahirkan,
stressor dan pola perilaku yang dipelajari (Dirbinfar Komunitas dan
Klinis, 2007).
2.1.3 Etiologi
Etiologi dari gangguan depresi tidak dapat di jelaskan hanya
dengan menggunakan salah satu dari teori sosial, pengembangan, atau
biologi. Beberapa faktor muncul dan saling berkolaborasi untuk
menyebabkan gangguan depresi. Gejala yang di laporkan oleh pasien
dengan gangguan depresi mayor secara konsisten menggambarkan
perubahan pada monoamin neurotransmiter otak, khususnya

8
9

norepinephrine (NE), serotonine (5-HT), dan dopamine (DA) (Teter et


al., 2008).
Gejala depresi juga dapat disebabkan karena adanya stres
fisiologi akibat adanya suatu penyakit atau akibat penggunaan obat
tertentu. Obat antihipertensi, antikolesterol, dan antiaritmia adalah obat
yang umum dapat memicu gejala depresi. Depresi juga dapat menjadi
manifestasi dari sebuah penyakit. Sekitar 20 – 30 % pasien dengan
gangguan jantung menunjukkan gejala depresi. Gejala depresi juga
terjadi pada pasien dengan kelainan neurologis, terutama pada gangguan
serebrovaskular, penyakit Parkinson, demensia, multiple sclerosis, dan
traumatic brain injury. Depresi juga terjadi pada pasien dengan diabetes
melitus dengan prevalensi 8 -20 % (Reus, 2012).
2.1.3.1 Faktor Biologis
Norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmiter yang
paling terkait dalam patofisiologi gangguan mood (Holmes, 2008).
Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling
sering dikaitkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga memiliki
peranan dalam mencetuskan gangguan depresi.
Regulasi neuroendokrin merupakan faktor biologis lain yang juga
dapat menjadi penyebab terjadinya depresi. Hipotalamus merupakan
pusat pengaturan aksis neuroendokrin dan juga menerima berbagai input
saraf melalui neurotransmiter amin biogenik. Berbagai disregulasi
neuroendokrin dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood sehingga
regulasi aksis neuroendokrin yang abnormal merupakan akibat dari
fungsi neuron yang mengandung amin biogenik yang abnormal pula.
Aksis neuroendokrin utama yang dimaksud disini adalah aksis adrenal,
tiroid, serta hormon pertumbuhan.
10

Aktivasi abnormal HPA aksis serta peningkatan sirkulasi kortisol


adalah salah satu penjelasan potensial dari banyak penyebab depresi.
Banyak studi sebelumnya telah menggambarkan bahwa gangguan
negative feedback dapat menyebabkan hiperkortisolemia pada depresi
(Gambar 2.1). Pasien yang mengalami depresi memiliki tingkat kortikal
yang meningkat. Stres menginduksi aktivasi abnormal dari HPA aksis
sehingga neuron di dalam nukleus paraventrikular melepaskan hormon
pelepas kortikotropin (CRH) yang merangsang pelepasan hormon
adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH dilepaskan
bersama dengan β-endorfin dan β-lipoprotein, yaitu dua peptida yang
disintesis dari protein sintesis asal prekusor yang sama dengan ACTH.
Selanjutnya ACTH akan merangsang pelepasan kortisol dari korteks
adrenal (Sadock et al., 2009; Juruena 2013).

Gambar 2.1 Diagram skematik hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA).


Menggambarkan regulasi dan umpan balik negatif (-)
kortisol melalui reseptor glukokortikoid (GRS) dan
reseptor mineralokortikoid (MR) (Sumber: Juruena, 2013)
11

2.1.3.1.1 Uji Supresi Deksametason (DST)


Deksametason adalah analog sintetik kortisol. Banyak peneliti
mencatat bahwa sekitar 50% pasien depresi tidak memberikan respon
supresi kortisol yang normal terhadap dosis tunggal deksametason.
Walaupun uji supresi deksametason awalnya dianggap berguna secara
diagnostik, banyak pasien dengan gangguan psikiatri lainnya juga
menunjukkan hasil positif. Dengan demikian, uji ini tidak seluruhnya
valid untuk menunjukkan gangguan mood (Sadock et al., 2004).
2.1.3.2 Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik
terlibat dalam timbulanya gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik
terjadi melalui mekanisme yang kompleks. Gen serotonin transporter
yaitu SLC6A4/5HTT (5-hydroxytryptamine transporter) adalah gen
yang paling banyak dipelajari dalam kasus depresi (Caspi et al., 2010;
McGrath et al., 2013).
2.1.3.3 Faktor Psikososial
Terdapat pengamatan klinis yang menunjukkan bahwa
peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului
episode gangguan mood. Hubungan ini telah dilaporkan untuk pasien
gangguan depresi berat. Stres yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama di dalam biologi otak.
Perubahan yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan
keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dan sistem pemberian
sinyal intraneuron, perubahan yang bahkan dapat mencakup hilangnya
neuron dan berkurangnya kontak sinaps yang berlebihan. Akibatnya,
seseorang memiliki resiko tinggi mengalami episode gangguan mood
berikutnya, bahkan tanpa stresor eksternal (Sadock et al., 2004).
12

2.1.4 Patofisiologi
Penyebab depresi dikaitkan dengan penurunan tingkat
neurotransmitter otak NE, 5-HT, dan DA. Hipotesis biogenik amina
berkembang sebagai hasil dari beberapa pengamatan yang dilakukan
padai awal dekade 1950 (Teter et al., 2008). Nama teknis untuk
serotonin adalah 5-hydroxytryptamine (5HT) dan kira-kira enam sirkuit
utama serotonin tersebar dari otak tengah dan mengelilingi berbagai
bagiannya. Serotonin diyakini mempengaruhi banyak perilaku manusia,
terutama cara memproses informasi. Serotonin memperantarai mood,
sedasi, nafsu makan, konsentrasi, memori, dan motivasi.. Aktivitas
serotonin yang rendah berhubungan dengan kurangnya hambatan dan
ketidakstabilan, impulsivitas, serta kecenderungan untuk bereaksi secara
berlebihan terhadap berbagai situasi. Aktivitas serotonin yang rendah
berhubungan dengan agresi, bunuh diri, keinginan impulsif untuk makan
secara berlebihan, dan perilaku seksual yang eksesif. Tetapi, perilaku-
perilaku ini tidak selalu timbul ketika aktivitas serotonin rendah. Arus-
arus lain dalam otak, atau pengaruh-pengaruh psikologis atau sosial,
dapat mengompensasi aktivitas serotonin yang rendah. Dengan
demikian, aktivitas serotonin yang rendah dapat membuat kita lebih
rentan terhadap perilaku problematik tertentu tanpa menjadi penyebab
timbulnya perilaku itu secara langsung.
Norepinefrin atau yang juga dikenal dengan nama noradrenalin
merupakan bagian dari sistem endokrin. Norepinefrin menstimulasi
paling tidak dua kelompok (dan mungkin lebih) reseptor yang disebut
alfa-adrenergik dan beta-adrenergik. Neurotransmiter norepinefrin
memperantarai konsentrasi, perhatian, dan energy.
Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik
yang paling sering dikaitkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga
13

memiliki peranan dalam mencetuskan gangguan depresi. Di berbagai


sirkuit yang terdapat di daerah-daerah khusus pada otak, dopamin
memiliki efek yang lebih umum. Dopamin dapat dianalogikan seperti
saklar yang menyalakan berbagai sirkuit di otak yang mungkin
berhubungan dengan tipe-tipe perilaku tertentu. Begitu saklar tersebut
dihidupkan, neurotransmiter lain akan menghambat atau memfasilitasi
perilaku tertentu. Sirkuit-sirkuit dopamin bergabung dan bersimpangan
dengan sirkuit-sirkuit serotonin di banyak titik sehingga mempengaruhi
banyak perilaku yang sama. Dopamin memperantarai efek kesenangan,
motivasi, dan penghargaan. (Durand&Barlow, 2006).
2.1.5 Tanda dan Gejala Klinis
Gejala utama gangguan depresi (pada derajat ringan, sedang,
dan berat) meliputi afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan,
serta berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah dan mnurunnya aktivitas. Gejala lainnya yang akan timbbul pada
gangguan depresi adalah konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri
dan kepercayaan diri berkurang, merasa bersalah dan tidak berguna,
pesimis, pikiran untuk membahayakan diri, pola tidur terganggu, serta
nafsu makan berkurang.
Tanda gangguan depresi yang melanda jutaan orang di
Indonesia setiap tahun dan seringkali tidak dikenali. Beberapa orang
merasakan perasaan sedih dan murung dalam jangka waktu cukup lama
dengan latar belakang yang berbeda-beda. Gejala gangguan depresi
berbeda-beda pada masing-masing orang. Gangguan depresi
mempengaruhi pola pikir, perasaan dan perilaku seseorang serta
kesehatan fisiknya. Gangguan depresi tidak mempunyai simptom fisik
yang sama dan pasti pada satu orang dan bervariasi dari satu orang ke
orang lain. Keluhan yang banyak dilaporkan adalah rasa sakit, nyeri
14

sebagian atau seluruh tubuh, dan keluhan pada sistem pencernaan.


Kebanyakan gejala dikarenakan mereka mengalami stres yang besar,
kekhawatiran dan kecemasan terkait dengan gangguan depresinya.

Gambar 2.2 Hipotesis monoamin dari depresi menunjukkan bahwa


depresi berhubungan dengan kekurangan jumlah atau
fungsi kortikal serta serotonin ( 5 - HT ) , norepinefrin (
NE ) , dan dopamin ( DA ) (Sumber: Katzung BG, 2012)

Perubahan cara berpikir meliputi terganggunya konsentrasi dan


pengambilan keputusan membuat seseorang sulit mempertahankan
memori jangka pendek, dan terkesan sering lupa. Pikiran negatif sering
menghinggapi pikiran mereka sehingga orang dengan gangguan depresi
menjadi pesimis, percaya diri rendah, dihinggapi perasaan bersalah yang
besar, dan mengkritik diri sendiri. Beberapa orang bahkan mmelukai diri
15

sendiri sampai melakukan tindakan bunuh diri atau membunuh orang


lain.
Orang dengan gangguan depresi juga akan merasa sedih,
murung, tanpa sebab jelas. Beberapa orang merasa tak lagi dapat
menikmati apa yang dulu disenanginya, dan tak dapat merasakan
kesenangan apapun. Motivasi menurun dan menjadi tidak peduli dengan
apapun. Perasaan seperti berada dibawah titik nadir, merasa lelah
sepanjang waktu tanpa bekerja sekalipun. Perasaan mudah tersinggung,
mudah marah.
Seseorang akan merasa dirinya mengalami gangguan fisik
selama depresi. Kelelahan kronis menyebabkan pasien depresi lebih
senang berada di tempat tidur dan tidak melakukan apapun. Beberapa
pasien mungkin tidur lebih banyak atau bahkan tidak dapat tidur sama
sekali. Pasien depresi akan mengalami gelisah dan terbangun ditengah
malam dan kesusahan untuk tidur kembali. Keluhan sakit dibanyak
bagian tubuh, gelisah dan tidak dapat diam sering menyertai gangguan
depresi. Gejala tersebut berjalan lama mulai dari beberapa minggu
hingga beberapa tahun. (Dirbinfar Komunitas & Klinis, 2007; Maslim,
2013).
2.1.6 Kriteria Depresi
Menurut PPDGJ III, gangguan depresi dibagi menjadi episode
depresi ringan, episode depresi sedang, dan episode depresi berat. Pada
episode depresif ringan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala utama
seperti yang tersebut diatas dan ditambah sekurang-kurangnya 2 dari
gejala lainnya. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya dan lamanya
seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
Pada episode depresi ringan hanya ditemukan sedikit kesulitan dalam
pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan.
16

Pada episode depresi sedang, sekurang-kurangnya harus ada 2


dari 3 gejala utama depresi dan ditambah sekurang-kurangnya 3 sampai
4 gejala lainnya. Lamanya episode ini berlangsung minimum sekitar 2
minggu. Pada episode depresi sedang dijumpai kesulitan yang nyata
untuk melakukan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga.
Episode depresi berat dibagi menjadi episode depresif berat
tanpa gejala psikotik dan episode depresif berat dengan gejala psikotik.
Pada episode depresif berat tanpa gejala psikotik harus ada semua gejala
utama dari depresi dan ditamah sekurang-kurangnya 4 gejala lainnya
yang beberapa diantaranya harus berintensitas berat. Apabila ada gejala
agitasi atau retardasi psikomotor, biasanya pasien tidak mampu atau
tidak mau untuk melaporkan gejalanya secara rinci. Episode depresif
harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi bila gejala
yang dilaporkan sangat berat dan beronset sangat cepat maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari
2 minggu. Dalam episode depresi berat, pasien tidak akan mampu
melakukan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga.
Episode depresif berat dengan gejala psikotik harus memenuhi
kriteria seperti episode depresif berat tanpa gejala psikotik yang telah
disebutkan diatas, namun pada episode depresi ini disertai waham,
halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang
dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa
bertanggung jawab atas hal tersebut. Halusinasi auditorik atau olfatorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran
atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju
pada stupor (Maslim, 2013).
17

2.2 Penatalaksanaan Terapi


Tujuan dari pengobatan depresi adalah untuk mengurangi
gejala dari depresi akut, memfasilitasi pasien untuk kembali seperti
sebelum timbulnya penyakit, dan mencegah episode lebih lanjut dari
terjadinya depresi (Teter et al., 2008).
Pilihan terapi sangat bergantung pada hasil evaluasi riwayat
kesehatan fisik dan mental penderita. Pada gangguan depresi ringan
seringkali psikoterapi saja dapat menolong, namun pada beberapa pasien
obat antidepresan diperlukan untuk membantu menstabilkan suasana
hati pasien depresi.
Setiap individu mempunyai kebutuhan dan latar belakang yang
berbeda, sehingga terapinya disesuaikan dengan kebutuhannya. Terapi
juga dipengaruhi oleh masalah pribadi kehidupan penderita. Jika
mereka juga menggunakan napza atau mempunyai ketergantungan pada
hal lain, seringkali tanda dan gejala gangguan depresif mengalami
distorsi, atau menjadi diperbesar dan nampak tidak dapat dipulihkan.
Rujukan penderita ke layanan terapi profesional sangatlah diperlukan
(Dirbinfar Komunitas dan Klinik, 2007).
Keputusan untuk rawat inap diputuskan dengan
mempertimbangkan resiko pasien bunuh diri, keadaan fisik kesehatan,
sistem dukungan sosial, dan adanya depresi apsikotik dan/atau depresi
katatonik (Teter et al., 2008).
2.2.1 Terapi Non Farmakologi
2.2.1.1 Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk
menghilangkan atau mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah
kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi
dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara
18

terapis dengan penderita. Psikoterapi pada penderita gangguan depresif


dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan disesuaikan
dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Psikoterapi dilakukan
dengan memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme.
Dalam pengambilan keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat
dipengaruhi oleh penilaian dari dokter atau penderitanya (Dirbinfar
Komunitas dan Klinik, 2007).
2.2.2 Farmakologi
Terapi obat merupakan komponen penting dalam pengobatan
gangguan depresif. Ada banyak faktor yang harus diperhitungkan,
seperti target simptom, kerja obat, farmakokinetik, cara pemberian, efek
samping, interaksi obat, sampai pada harga obat.
Terdapat tiga fase pengobatan pada pasien depresi sesuai
dengan perjalanan gangguan depresi, yaitu fase akut yang bertujuan
untuk meredakan gejala, fase kelanjutan untuk mencegah relaps, dan
fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren (Gambar 2.3)
(Dirbinfar Komunitas dan Klinik, 2007; Sadock et al., 2009).

Gambar 2.3 Fase pengobatan depresi (Sumber : Kupfer, 1991)


19

Antidepresan yang diakui oleh Food and Drug Administration


(FDA) yaitu penghambat monoamine oksidase (MAOI), antidepresan
trisiklik (TCA), penghambat ambilan kembali serotonin secara selektif
(SSRI), serta penghambat ambilan kembali serotonin dan norepinefrin
(SNRI) (Richards & O’Hara, 2014).
Antidepresan trisiklik bekerja dengan menghambat ambilan
kembali NE dan/atau 5-HT sehingga dapat meningkatkan kadar
neurotransmiter tersebut dalam reseptor CNS (Liebelt et al., 2008),
antidepresan SSRI bekerja dengan menghambat ambilan kembali
neurotransmiter serotonin di otak, dan SNRI bekerja dengan
menghalangi atau menghambat reuptake dari neurotransmiter serotonin
dan norepinefrin.
Menurut Maslim (2014), mengingat profil efek sampingnya,
pemilihan obat antidepresan pada pasien depresi yang menjalani rawat
jalan pada fasilitas pelayanan kesehatan umum sebaiknya mengikuti
urutan (step care) yaitu, pada step 1 dipilih golongan SSRI yang efek
sampingnya sangat minimal sehingga meningkatkan kepatuhan minum
obat dan bisa digunakan pada berbagai kondisi medik, memiliki
spektrum antidepresan yang luas, dan gejala putus obat minimal. Bila
golongan SSRI telah diberikan dengan dosis yang adekuat dalam jangka
waktu yang cukup (sekitar 3 bulan) tidak efektif, maka pengobatan dapat
beralih ke step 2 yaitu golongan Trisiklik. Bila pilihan kedua belum
berhasil, dapat beralih ke step 3 dengan spektrum antidepresan yang
lebih sempit yaitu antidepresan golongan tetrasiklik.
20

Berikut adalah algoritma terapi untuk gangguan depresi mayor :

Pasien rawat jalan tanpa


kontraindikasi pada klas
antidepresan tertentu

SSRI (pilihan bergantung


pada banyak faktor)

Tidak memberikan Respon parsial Respon penuh


respon / menghindari
efek samping

Memastikan Mempertimbangkan terapi Pertahankan terapi


kepatuhan pasien tambahan (non-SSRI, paling tidak 4 hingga 9
lithium, hormon tiroid, bulan untuk fase
antipsikotik atipikal) atau lanjutan, dan 12 hingga
Ganti dengan diganti dengan agen 36 bulan untuk fase
agen alternatif ( alternatif (SSRI lain/non pemeliharaan
SSRI lain / non SSRI)
SSRI )

Tidak memberikan Respon Respon


respon parsial penuh

Ganti agen Mempertimbangkan terapi Pertahankan terapi paling


alternatif tambahan (non-SSRI, tidak 4 hingga 9 bulan
(Non SSRI) lithium, hormon tiroid, untuk fase lanjutan, dan
antipsikotik atipikal) 12 hingga 36 bulan untuk
fase pemeliharaan

Gambar 2.4 Skema Algoritma Terapi Depresi Mayor (Sumber: Teter,


2008)
21

2.2.2.1 Tricyclic & Tetracyclic Antidepressant (TCA)


Antidepresan trisiklik dan tetrasiklik (lazim disingkat menjadi
TCA) merupakan terapi yang efektif untuk orang dengan gangguan yang
luas, termasuk depresi, gangguan panik, gangguan ansietas menyeluruh,
gangguan stres pascatrauma, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan
makan, dan sindrom nyeri.
i. Mekanisme kerja
Obat–obat TCA menghambat resorpsi dari serotonin dan
noradrenalin pada sela sinaps di ujung-ujung saraf.
ii. Indikasi Obat
Terapi untuk episode depresif dan terapi profilatik gangguan
depresif berat merupakan indikasi utama untuk menggunakan TCA.
Obat ini juga efektif sebagai pasien gangguan bipolar I ciri melankolik,
episode depresif berat sebelumnya, dan riwayat keluarga dengan
gangguan depresif meningkatkan kecenderungan respon terapeutik.
Terapi episode depresif berat dengan ciri psikotik hampir selalu
memerlukan pemberian obat antipsikotik memerlukan pemberian obat
antidepresan secara bersamaan.
iii. Farmakokinetik
Sebagian besar TCA diabsorbsi secara utuh dari pemberian
secara oral dan terdapat metabolisme yang signifikan dari efek lintas
pertama. Konsentrasi plasma puncak terjadi dalam 2 hingga 8 jam dan
waktu paruh TCA bervariasi dari 10 hingga 70 jam. Waktu paruh yang
lama ini memungkinkan semua obat golongan TCA diberikan sekali
sehari. Diperlukan 5 hingga 7 hari untuk mencapai konsentrasi plasma
yang stabil (Tabel II.1). TCA menyekat ambilan kembali serotonin dan
norepinefrin serta merupakan antagonis kompetitif pada reseptor
22

muskarinik asetilkolin, Histamin H1, dan reseptor α1 dan ß2 adrenergik


(Gambar 2.4) (Sadock et al., 2004).

Gambar 2.5 Efek Samping TCA (Sumber : CNSForum, 2014)

iv. Interaksi Obat


TCA menyekat ambilan kembali guanethidine (Ismelin)
neuronal, yang diperlukan untuk aktivitas antihipertensif. Efek
antihipertensif antagonis reseptor ß adrenergik (propanolol, dll) dan
clonidine juga dapat disekat oleh TCA. Pemberian TCA dan methyldopa
secara bersamaan dapat menimbulkan agitasi perilaku.
23

Konsentrasi TCA dan antispikotik di dalam plasma


ditingkatkan dengan pemberiannya secara bersamaan. Antipsikotik juga
memberikan efek antikolinergik dan sedatif TCA. Opioid, alkohol,
ansiolitik hipnotik, dan obat flu yang dijual bebas memiliki efek
tambahan menimbulkan depresi SSP jika diberikan bersama TCA.
Pemberian obat TCA dengan obat simpatomimetik dapat menimbulkan
efek kardiovaskular yang serius. Pil kontrasepsi oral dapat menurunkan
konsentrasi TCA di dalam plasma melalui induksi enzim hepatik.
Konsentrasi TCA di dalam plasma dapat ditingkatkan dengan
actazolamide, aspirin, simetidin, diuretik tiazid, fluoksetin, dan natrium
bikarbonat. Menurunnya konsentrasi plasma dapat disebabkan oleh
asam askorbat, amonium klorida, barbiturat, rokok, kloralhidrat, litium,
dan primidone. Obat trisiklik yang dimetabolisme oleh sitokrom P450
2D6 dapat mengganggu metabolisme obat lain yang dimetabolisme
enzim hepatic (Tabel II.2) (Sadock et al., 2004).

Tabel II.1 Parameter Farmakokinetik dan Informasi Klinis Antidepresan


Trisiklik dan Tetrasiklik (Sumber: Sadock et al., 2009)

Waktu Plasma Rentang Konsentrasi


Obat Paruh Klirens dosis Plasma
(jam) (L/jam) (mg/hari) (ng/mL)
Trisiklik
Amitriptilin (Elavil) 5–45 20–70 150–300 —
Klomipramin
15–60 20–120 150–300 >150b
(Anafranil)
Doksepin (Sinequan) 10–25 40–60 150–300 —
Imipramin (Tofranil) 5–30 30–100 150–300 >200b
Trimipramin
15–40 40–105 — —
(Surmontil)
Desipramin
(Norpramin, 10–30 80–170 75–300 >115
Pertofrane)
24

Tabel II.1 Parameter Farmakokinetik dan Informasi Klinis Antidepresan


Trisiklik dan Tetrasiklik (lanjutan) (Sumber: Sadock et al.,
2009)

Waktu Plasma Rentang Konsentrasi


Obat Paruh Klirens dosis Plasma
(jam) (L/jam) (mg/hari) (ng/mL)
Nortriptilin
(Aventyl, 20–55 15–80 50–150 50–150
Pamelor)
Protriptilin
55–200 5–25 15–60 —
(Vivactil)
Tetrasiklik
Amoxapine
5–10 225–275 150–300 —
(Asendin)
Maprotiline
25–50 15–35 100–225 —
(Ludiomil)

2.2.2.1.1 Imipramin

Imipramin diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral dalam


saluran cerna, dan terdistribusi secara luas dalam tubuh. Konsentrasi
plasma puncak biasanya dicapai dalam 1 – 2 jam. Absorbsi imipramin
tidak dipengaruhi oleh makanan. Efek farmakologis sebagai
antidepresan biasanya dicapai dalam 1 – 3 minggu. Imipramin
dimetabolisme di hati melalui dimetilasi oleh berbagai isoenzim CYP
(contohnya CYP1A2, CYP2D6, CYP3A4, CYP2C) (Tabel II.2).
Imipramin umumnya diekskresi melalui urin sebagai metabolit tidak
aktif dalam 24 jam sebanyak 40 % dan dalam 72 jam sebanyak 70 %,
sebagian kecil diekskresikan dalam feses melalui eliminasi empedu.
Untuk pasien rawat jalan imipramin diberikan dengan dosis maksimum
200 mg sehari, dan untuk pasien yang menjalani terapi di rumah
sakit/pasien rawat inap imipramin diberkian dengan dosis maksimum
300 mg sehari (McEvoy, 2011).
25

Tabel II.2 Enzim Utama Sitokrom P450 (CYP) yang Bertanggung


Jawab Memetabolisme Obat-obat Trisiklik dan Tetrasiklik
(Sumber: Shiloh et al., 2006)

Spesifik enzim
1A2 2C19 2C9 2D6 3A4
Substrat
Amitriptilin ++ ++ ++ ++++ +++
Klmipramin ++++ ++++ ++++ ++++
Desipramin ++++
Doksepin ++++ ++++ ++++ +++
Imipramin ++++
Nortriptilin ++++
Amoksapin ++++
Maprotilin ++++

Keterangan
++++ : Kapasitas utama (major capacity) untuk metabolisme obat
tertentu
+++ : Kapasitas sedang (moderate capacity) untuk metabolisme
obat tertentu
++ : Kapasitas kecil (minor capacity) untuk metabolisme obat
tertentu

2.2.2.1.2 Klomipramin
Klomipramin telah digunakan secara efektif sebagai
manajemen terapi depresi. Dosis yang diberikan untuk pasien depresi
adalah 100 – 250 mg sehari. Obat ini diabsorbsi dengan baik pada
pemberian oral dalam saluran cerna, dan terdistribusi secara luas dalam
tubuh. Konsentrasi plasma puncak biasanya dicapai dalam 2 – 6 jam
(rata-rata 4,7 jam). Klomipramin biasanya diberikan secara oral bersama
dengan makanan untuk mengurangi efek sampingnya pada GI/ saluran
cerna. Dosis harian biasanya diberikan sekali dalam sehara menjelang
tidur karena efek sedasinya. Bioavailabilitas secara oral sekitar 50 %
26

karena melalui metabolisme lintas utama (first pass metabolism). .


Klomipramin dimetabolisme secara luas di hati menjadi metabolit aktif
oleh berbagai isoenzim CYP (contohnya CYP1A2, CYP2C, CYP2D6,
CYP3A4) (Tabel II.2). Klomipramin umumnya diekskresi melalui urin
dan feses melalui eliminasi empedu (McEvoy, 2011).
2.2.2.1.3 Amitriptilin
Amitriptilin telah digunakan sebagai manajmen terapi depresi.
Untuk pasien rawat jalan obat ini diberikan dengan dosis awal 75 mg
sehari dalam dosis terbagi, diberikan menjelang tidur. Dosis
ditingkatkan hingga mencapai efek terapeutik maksimal dengan
toksisitas minimal, sampai dosis maksimal 150 mg dalam sehari. Dosis
penjagaan biasanya diberikan 50 – 100 mg sehari, diberikan dalam dosis
tunggal, dan biasanya diberikan menjelang tidur. Untuk beberapa pasien
25 – 40 mg sehari mungkin sudah memberikan efek. Terapi dilanjutkan
paling tidak selama 3 bulan untuk mencegah terjadinya relaps. Untuk
pasien rawat inap, amitriptilin diberikan dengn dosis 100 mg sehari,
dapat ditingkatkan secara bertahap sampai 200 – 300 mg sehari sesuai
kebutuhan.
Amitriptilin diabsorbsi secara cepat dari saluran cerna sebesar
40 – 60 %. Efek farmakologis antidepresan akan terlihat setelah 4
minggu pemberian amitriptilin. Obat ini dimetabolisme di hati melalui
dimetilasi menjadi metabolit aktif oleh berbagai isoenzim CYP
(contohnya CYP1A2, CYP2D6, CYP3A4, CYP2C) (Tabel II.2).
Amitriptilin umumnya diekskresi melalui urin sebagai metabolit tidak
aktif dalam 24 jam sebanyak 25 – 50 dan sebagian kecil diekskresikan
dalam feses melalui eliminasi empedu (McEvoy, 2011).
27

2.2.2.1.4 Doksepin
Pada pasien dengan depresi ringan sampai sedang, doksepin
diberikan dengan dosis awal 75 mg sehari, dosis pemeliharaan 75 – 150
mg sehari. Untuk pasien dengan depresi yang lebih berat, dosis yang
lebih tinggi mungkin diperlukan. Dosis dapat ditingkatkan secara
bertahap hingga ≤ 300 mg sehari bila perlu. Dosis > 300 mg dalam
sehari tidak memberikan efek terapi tambahan.
Doksepin diabsorbsi secara cepat dalam saluran cerna dengan
bioavailabilitas sekitar 30 %. Konsntrasi plasma puncak biasanya
dicapai dalam 2 jam setelah pemberian secara oral. Efek farmakologis
sebagai antidepresan dapat dicapai dalam 2 – 3minggu. Doksepin
dimetabolisme secara luas di hati oleh berbagai isoenzim CYP (Tabel
II.2), dan diekskresi terutama melalui urin (McEvoy, 2011).
2.2.2.1.5 Trimipramin
Trimipramin diberikan secara oral dalam 4 dosis terbagi atau
dalam dosis tunggal sehari (bila dosis ≤ 200 mg) dan diberikan
menjelang tidur untuk menghindari efek sedasinya pada siang hari.
Trimipramin diabsorbsi dengan baik dalam saluran cerna pada
pemberian secara oral dan terdistribusi secara luas dalam tubuh.
Konsentrasi plasma puncak biasanya dicapai dalam 2 – 6 jam. Efek
maksimumnya sebagai antidepresan akan terlihat setelah lebih dari 2
minggu penggunaan trimipramin. Trimipramin dimetabolisme secara
luas di hati oleh berbagai isoenzim CYP (Tabel II.2), dan diekskresi
terutama melalui urin (McEvoy, 2011).
2.2.2.2 Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI)
Selective serotonine reuptake inhibitor adalah agen lini pertama
untuk terapi depresi, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan panik,
serta banyak gangguan lain. Saat ini tersedia enam obat SSRI yaitu : (1)
28

fluoxetine; (2) sertraline; (3) paroksetin; (4) fluvoxamine; (5)


citalopram; (6) escitalopram.
Meskipun gangguan depresif adalah indikasi awal untuk obat
ini, SSRI efektif untuk suatu gangguan dengan kisaran yang luas,
terasuk gangguan makan, gangguan panik, gangguan obsesif-kompulsif,
dan gangguan kepribadian ambang.
i. Mekanisme Kerja
SSRI memiliki aktivitas spesifik di dalam inhibisi ambilan
kembali serotonin tanpa efek pada ambilan kembali norepinefrin dan
dopamine. Inhibisi ambilan kembali ini meningkatkan konsentrasi
serotonin sinaps (Gambar 2.5) (Sadock et al., 2004; Nash & Nutt, 2007).

Gambar 2.6 Mekanisme kerja SSRI (Sumber : CNSForum, 2014)


29

ii. Indikasi Obat


SSRI adalah agen lini pertama untuk depresi pada populasi
umum, orang lansia, orang yang memiliki penyakit medis, dan wanita
hamil. SSRI sama efektifnya untuk antidepresan golongan lain untuk
depresi ringan dan sedang. Untuk depresi berat dan melankolia,
beberapa studi menemukan bahwa efektivitas SNRI seperti venlafaxine,
mirtazapine, atau obat trisiklik sering melampaui efektifitas SSRI.
Meskipun demikian, sertraline dapat lebih efektif dibandingkan SSRI
lain untuk terapi depresi berat dengan melankolia. Terapi antidepresan
pada semua derajat depresi dapat dimulai dengan pemberian SSRI.
Perbandingan langsung terhadap keuntungan SSRI spesifik
tidak menunjukkan bahwa SSRI yang satu umumnya mengungguli yang
lain. Meskipun demikian pasien dapat menunjukkan perbedaan yang
cukup besar dalam responnya terhadap berbagai SSRI. Lebih dari 50
persen pasien yang berespon buruk terhadap salah satu SSRI akan
berespon dengan SSRI yang lain. Dengan demikian, sebelum mengganti
sebelum mengganti ke antidepresan non-SSRI harus dicoba agen lain
dalam golongan SSRI untuk pasien yang tidak memberikan respon baik
terhadap SSRI yang diberikan pertama.
iii. Farmakokinetik
Perbedaan utama diantara SSRI yang tersedia terutama adalah
pada profil farmakokinetiknya, khususnya waktu paruh. Fluoxetine
memiliki waktu paruh terpanjang, 2 hingga 3 hari; metabolit aktifnya
memiliki waktu paruh 7 hingga 9 hari. Waktu paruh SSRI lain jauh lebih
singkat, kira-kira 20 hingga 25 jam. Semua SSRI diabsorbsi dengan baik
setelah pemberian oral dan mencapai konsentrasi puncak dalam 4 hingga
8 jam (Tabel II.3). Semua SSRI dimetabolisme dihati terutama oleh
sitokrom P450 (CYP) isoenzim CYP 2D6. Subtipe spesifik enzim ini,
30

dapat menunjukkan bahwa klinisi harus berhati-hati dalam memberikan


obat lain secara bersamaan yang juga dimetabolisme CYP 2D6 (Tabel
II.4). Umumnya, makanan tidak memiliki efek yang besar pada absorbsi
SSRI, namun kenyataannya pemberian SSRI dengan makanan sering
mengurangi insiden mual dan diare yang diakibatkan oleh penggunaan
SSRI.
Sekitar 90 persen respon klinis terhadap SSRI terdapat pada
dosis awal, dan dosis tinggi terutama cenderung meningkatkan efek
samping, tanpa banyak memberikan keuntungan klinis tambahan. Di
dalam penggunaan klinis, sertraline paling lazim ditingkatkan di atas
dosis awalnya yang biasa (50 mg per hari, ditingkatkan hingga 150
sampai 200 mg perhari), diikuti dengan fluoxetine (dosis awal 20 mg per
hari, ditingkatkan hingga 40 sampai 80 mg per hari), sedangkan SSRI
lain lebih sering digunakan pada dosis awalnya (20 mg per hari).
Meskipun senyawa yang tersedia berbeda dalam potensi spesifiknya,
perbedaan ini tidak memberikan perbedaan klinis yang berarti. SSRI
memiliki efek antikolinergik yang sangat ringan pada beberapa pasien,
dan jauh lebih ringan dari pada obat trisiklik dan tetrasiklik (Sadock et
al., 2004).
iv. Perhatian dan Efek Samping
Sebagian besar pasien tidak mengalami efek samping pada
dosis awal SSRI yang rendah, dan dosis dapat ditingkatkan relatif cepat
pada kelompok ini (yi., dengan peningkatan setiap 1 sampai 2 minggu).
Sisanya memberikan efek samping yang muncul dalam 1 hingga 2
minggu pertama, dan umumnya menghilang atau pulih spontan jika obat
ini diteruskan dengan dosis yang sama. Meskipun demikian, 10 hingga
15 persen pasien tidak akan mampu menoleransi bahkan pada dosis
SSRI yang rendah.
31

Karena terdapat kemungkinan yang tidak menguntungkan


bahwa efek samping dapat mengurangi kepatuhan, beberapa klinisi
memberikan dosis kecil selama 3 hingga 6 minggu pertama terapi dan
kemudian meningkatkannya secara bertahap saat keuntungan terapeutik
tercapai.
Beberapa pasien yang mengkonsumsi SSRI megalami kesulitan
tidur atau somnolen yang berlebihan. Fluoxetine merupakan SSRI yang
palig berpeluang menimbulkan insomnia sehingga lebih sering diberikan
pada pagi hari. SSRI lain secara seimbang memiliki kecenderungan
menimbulkan insomnia serta somnolen. Citalopram, escitalopram, dan
paroksetin lebih besar kemungkinannya menimbulkan somnolen
dibandingkan insomnia. Dengan paroksetin, pasien melaporkan bahwa
mengkonsumsi obat sebelum istirahat tidur dapat membantu mereka
untuk tidur lebih baik, tanpa somnolen residual di siang hari. Insomnia
yang dicetuskan SSRI dapat diatasi dengan benzodiazepine, trazodone
(Desyrel) (Sadock et al., 2004; Nash & Nutt, 2007).

Tabel II.3 Profil Farmakokinetik SSRI (Sumber: Sadock et al., 2009)

t t untuk Ikatan
mencapai t½ t½ mencapai protein
Obat
C maks (jam) metabolit steady plasma
(jam) state (hari) (%)
Citalopram 4 35 3 jam 7 80
(Celexa)

Escitalopram 5 27-32 - 7 56
(Lexapro)

Fluoksetin 6-8 4-6 hari 4-16 hari 28-35 95


(Prozac)
32

Tabel II.3 Profil Farmakokinetik SSRI (lanjutan) (Sumber: Sadock et


al., 2009)

t untuk
t Ikatan
mencapa
mencapai t½ t½ protein
Obat i steady
C maks (jam) metabolit plasma
state
(jam) (%)
(hari)
Fluvoksamin 3-8 15 - 5-7 80
(Luvox)

FuvoksaminCR

Paroksetin (Paxil) 5-6 21 - 5-10 95

Paroksetin CR 6-10 15-20


(Plaxil CR) - <14 95

Paroksetin 21
mesylate(Paxeva) -

Sertralin (Zoloft) 4,5-8,5 26 62-104 7 95


jam
CR, Controlled release

v. Perhatian dan Efek Samping


Sebagian besar pasien tidak mengalami efek samping pada
dosis awal SSRI yang rendah, dan dosis dapat ditingkatkan relatif cepat
pada kelompok ini (yi., dengan peningkatan setiap 1 sampai 2 minggu).
Sisanya memberikan efek samping yang muncul dalam 1 hingga 2
minggu pertama, dan umumnya menghilang atau pulih spontan jika obat
ini diteruskan dengan dosis yang sama. Meskipun demikian, 10 hingga
15 persen pasien tidak akan mampu menoleransi bahkan pada dosis
SSRI yang rendah.
33

Tabel II.4 Enzim utama sitokrom P450 (CYP) yang bertanggung jawab
memetabolisme obat-obat SSRI (Sumber: Shiloh et al., 2006)

Spesifik
enzim 1A2 2C19 2C9 2D6 3A4
Substrat
Citalopram ++++ ++++ ++++
Escitalopram ++++ ++++ ++++
Fluoksetin ++++ ++++ +++
Fluvoksamin ++++ ++ ++
Paroksetin ++++ +++
Sertralin ++ ++++

Keterangan
++++ : Kapasitas utama (major capacity) untuk metabolisme obat
tertentu
+++ : Kapasitas sedang (moderate capacity) untuk metabolisme
obat tertentu
++ : Kapasitas kecil (minor capacity) untuk metabolisme obat
tertentu

Karena terdapat kemungkinan yang tidak menguntungkan


bahwa efek samping dapat mengurangi kepatuhan, beberapa klinisi
memberikan dosis kecil selama 3 hingga 6 minggu pertama terapi dan
kemudian meningkatkannya secara bertahap saat keuntungan terapeutik
tercapai.
Beberapa pasien yang mengkonsumsi SSRI megalami kesulitan
tidur atau somnolen yang berlebihan. Fluoxetine merupakan SSRI yang
palig berpeluang menimbulkan insomnia sehingga lebih sering diberikan
pada pagi hari. SSRI lain secara seimbang memiliki kecenderungan
menimbulkan insomnia serta somnolen. Citalopram, escitalopram, dan
34

paroksetin lebih besar kemungkinannya menimbulkan somnolen


dibandingkan insomnia. Dengan paroksetin, pasien melaporkan bahwa
mengkonsumsi obat sebelum istirahat tidur dapat membantu mereka
untuk tidur lebih baik, tanpa somnolen residual di siang hari. Insomnia
yang dicetuskan SSRI dapat diatasi dengan benzodiazepine, trazodone
(Desyrel) (Sadock et al., 2004; Nash & Nutt, 2007).
vi. Putus Zat SSRI
Penghentian penggunaan SSRI secara tiba-tiba terutama SSRI
dengan waktu paruh yang singkat, seperti paroksetin atau fluvoksamine,
menyebabkan timbulnya sindrom putus obat yang dapat mencakup
pusing, lemah, mual, sakit kepala, depresi rebound, ansietas, insomnia,
konsentrasi buruk, gejala pernapasan atas, parestesia, dan gejala mirip
migraine. Gejala ini biasanya tidak timbul sampai setelah sedikitnya 6
minggu terapi dan biasanya pulih spontan dalam 3 minggu. Fluoxetine
merupakan SSRI yang paling kecil kemungkinannya menyebabkan
sindrom putus obat, karena waktu paruh metabolitnya lebih dari 1
minggu dan kadarnya secara efektif turun dengan sendirinya. Oleh sebab
itu, fluoxetine telah digunakan pada beberapa kasus untuk menanangani
sindrom penghentian zat akibat penghentian SSRI lain (Sadock et al.,
2004).
vii. Interaksi Obat
SSRI tidak mengganggu sebagian besar obat lain. Sindrom
serotonin dapat terjadi dengan pemberin bersama MAOI, tryptophan,
lithium, atau antidepresan lain yang menghambat ambilan kembali
serotonin. Fluoxetine, sertraline, dan paroksetin dapay meningkatkan
konsentrasi antidepresan trisiklik di dalam plasma, sehingga dapat
menimbulkan toksisitas klinis. Sejumlah interaksi farmakokinetik
potensial telah digambarkan berdasarkan analisis in vitro pada enzim
35

CYP, tetapi interaksi yang secara klinis relevan jarang terjadi (Sadock et
al., 2004).
2.2.2.2.1 Fluoksetin
Fluoksetin telah digunakan sebagai manajemen terapi depresi
secara oral, biasanya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari, atau
diberikan 2 kali dalam sehari pada pagi dan siang hari tanpa
memperhatikan makanan. Bila efek sedasi muncul setelah pemerian
fluoxetine, dosis selanjutnya dapat diberikan menjelang tidur. Dosis
awal fluoksetin biasanya diberikan 20 mg ekali dalam sehari, dapat pula
diawali dengan dosis yang lebih rendah yaitu 5 mg sehari atau 20 mg
setiap 2-3 hari. Bila tidak menunjukkan perkembangan setalah terapi
dengan 20 mg sehari, dosis dapat ditingkatkan. Dosis yang biasanya
diperlukan adalah 10 – 80 mg sehari. Efek farmakologis sebagai
antidepresan akan muncul setelah 1 – 4 minggu penggunaan fluoksetin.
Makanan tidak mempengaruhi bioavailabilitas sistemik, walaupun
mungkin dapat menunda absorbsi selama 1 – 2 jam. Fluoksetin dapat
menembus sawar darah otak pada manusia dan dapat menembus
plasenta pada hewan. Fluoksetin dimetabolisme secara luas di hati
(McEvoy, 2011).
2.2.2.2.2 Sertralin
Sertralin diberikan secara oral, sekali dalam sehari pada pagi
atau siang hari. Dosis awal sertalin dimulai dengan 50 – 100 mg sehari,
Durasi optimal pemberian sertralin tidak diketahui, mungkin dibutuhkan
beberapa bulan atau lebih hingga tercapai efek terapi sebagai
antidepresan. Bioavailabilitas oral pada manusia belum dapat dijelaskan
hingga saat ini, namun rentangnya sekitar 22 – 36%. Adanya makanan
dapat meningkatkan absorbsi dari sertralin. Obat ini dapat menembus
sawar darah otak dan terdistribusi kedalam ASI. Sertralin dimetabolisme
36

secara luas di hati menjadi oleh berbagai isoenzim CYP (Tabel II.4).
Umumnya obat ini diekskresi melalui urin danfeses melalui eliminasi
empedu (McEvoy, 2011).
2.2.2.2.3 Paroksetin
Penggunaan paroksetin untuk terapi depresi biasanya dimulai
pada dosis 10 atau 20 mg per hari. Peningkatan dosis harus
dipertimbangkan jika respon yang adekuat tidak terlihat dalam 1 hingga
3 minggu. Paroksetin adalah obat golongan SSRI yang paling besar
kemungkinannya menimbulkan sindrom putus obat karena konsentrasi
plasma segera jatuh saat tidak adanya dosis yang terus menerus. Untuk
membatasi timbulnya gejala putus obat, penggunaan paroksetin harus
diturunkan secara bertahap 10 mg per hari setiap minggu hingga dosis
harian sebesar 10 mg; pada titik ini penggunaannya dapat dihentikan
baik secara langsung ataupun setelah penurunan lagi sebesar 5 mg per
hari. Obat ini tidak dapat diberikan pada pasien anak karena dapat
mengakibatkan agitasi dan pikiran bunuh diri.
2.2.2.2.4 Fluvoksamin
Fluvoksamin diberikan dengan dosis awal 50 mg dalam sehari,
diberikan dalam dosis tunggal sebelum tidur pada miggu pertama
kemudian dosis dapat disesuaikan menurut efek dan respon klinis yang
diberikan. Kisaran dosis harian yang efektif adalah 50 – 300 mg sehari.
Dosis diatas 100 mg sehari dapat diberikan dalam dosis terbagi, dua kali
dalam sehari. Tablet fluvoksamin harus diberikan bersama dengan
makanan tanpa mengunyah tablet tersebut. Fluvoksamin relatif dapat
menimbulkan sindrom putus obat bila penggunaannya dihentikan secara
tiba-tiba (Kaplan 2004; Kaplan 2009).
37

2.2.2.2.5 Citalopram
Citalopram diberikan dengan dosis awal 20 mg sehari untuk
miggu pertama, setelahnya dapat ditingkatkan menjadi 40 mg per hari.
Untuk pasien lansia atau pasien dengan gangguan hati, dosis yang
dianjurkan adalah sebesar 20 mg per hari, dan peningkatan dosis hingga
mencapai 40 mg per hari dilakukan hanya jika pasien tidak memberikan
respon pada dosis 20 mg per hari. Citalopram diberikan sekali dalam
sehari pada pagi atau sore hari (McEvoy, 2011; Kaplan 2009).
2.2.2.2.6 Escitalopram
Escitalopram adalah antidepresan SSRI terbaru yang disetujui
oleh FDA untuk terapi gangguan depresif berat. Escitalopram juga
memiliki spektrum luas efek ansiolitik, yang ditunjukkan oleh
efektifitasnya dalam percobaan klinis untuk gangguan panik, gangguan
ansietas menyeluruh, gangguan ansietas sosial, dan untuk memulihkan
gejala ansietas yang disebabkan oleh depresi. Escitalopram diberikan
sekeli dalam sehari pada pagi dan malam hari, tanpa memperhatikan
makanan. Dosis terepeutik escitalopram adalah 10 mg/hari dan dapat
ditingkatkan hingga 20 mg/hari jika respon tidak terlihat dalam 2
minggu. Tidak ada keuntungan tamahan yang ditunjukkan obat ini pada
dosis yang lebih tinggi.
Escitalopram diabsorbsi dengan baik melalui pemberian secara
oral. Konsentrasi plasma puncak dicapai dalam 5 jam, dan efek
farmakologis obat ini sebagai antidepresan dapat terlihat setelah 1 – 4
minggu pemberian. Adanya makanan tidak mempengaruhi absorbsi dari
escitalopram. Obat ini dapat menembus plasenta dan terdistribusi
kedalam ASI. Escitalopram dimetabolisme secara luas di hati menjadi
metabolit yang kurang aktif oleh beberapa sistem enzim, termasuk
38

CYP3A4 dan CYP2C19 (Tabel II.4), serta umumnya dieliminasi melalui


urin (McEvoy, 2011; Sadock et al., 2009).
2.2.2.3 Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)
SNRI bekerja dengan menghalangi atau menghambat reuptake
dari neurotransmiter serotonin dan norepinefrin. Hal ini mengakibatkan
kadar kedua neurotransmiter ini meningkat (Gambar 2.7) (Nash & Nutt,
2007). SNRI memiliki beberapa efek samping serotonergik dan
noradrenergik seperti peningkatan tekanan darah dan heart rate, serta
aktivasi CNS seperti insomnia, kecemasan, dan agitasi (Katzung, 2009),
sehingga penggunaanya harus diatur dengan baik. SNRI digunakan
sebagai terapi depresi mayor dengan ciri melankolik (Sadock et al.,
2009).

Gambar 2.7 Mekanisme kerja SNRI (Sumber : CNSForum, 2014)


39

2.2.2.3.1 Duloksetin
Duloksetin digunakan sebagai terapi fase akut dan fase
pemeliharaan pada gangguan depresi mayor dan biasanya diberikan
secara oral. Untuk terapi fase akut dosis awal yang diberikan adalah 40-
60 mg dalam dosis tunggal atau dibagi menjadi 2 kali pemberian dalam
sehari. Pada beberapa pasien, dosis awal terapi dapat diberikan sebesar
30 mg sekali dama sehari, selama 1 minggu dan diikuti dengan
peningkatan dosis hingga 60 mg sehari. Untuk terapi fase pemeliharaan,
biasanya diberikan duloksetin 60 mg sekali dalam sehari.
Duloksetin diabsorbsi dengan baik dalam saluran cerna, dengan
konsentrasi plasma puncak dicapai dalam 6 jam. Adanya makanan akan
menurunkan absorbsi obat ini sebesar 10%. Obat ini dimetabolisme di
hati melalui enzim CYP2D6 dan CYP1A2 (Tabel II.5), dan dieksresikan
terutama melali urin sebagai metabolitnya sebesar 70 % dan unchanged
drug sebesar < 1 %, serta melalui feses sebanyak 20 % (McEvoy, 2011)
2.2.2.3.2 Venlafaksin
Venlafaksin tablet diberikan dengan dosis maksimum 375 mg
sehari (biasanya dalam 3 dosis terbagi) dan 25 mg sehari untuk kapsul
extended release. Obat ini diabsorbsi dengan baik dalam saluran cerna,
dan mencapai konsentrasi plasma puncak dalam 5,5 – 9 jam.
Venlafaksin merupakan inhibitor ambilan kembali serotonin dan
norepinefrin yang poten serta inhibitor ambilan kembali dopamin yang
lemah. Adanya makanan tidak mempengaruhi absorbsi maupun
bioavailabilitas dari venlafaksin. Obat ini dimetabolisme di hati
utamanya melalui enzim CYP2D6 (Tabel II.5) menjadi metabolit
aktifnya (McEvoy, 2011; Sadock et al., 2009).
40

Tabel II.5 Enzim utama sitokrom P450 (CYP) yang bertanggung jawab
memetabolisme obat-obat SNRI (Sumber: Shiloh et al., 2006)

Spesifik enzim
1A2 2D6 2E1 3A4
Substrat

Duloksetin ++++ ++++


Venlafaksin ++++ + ++++

Keterangan
++++ : Kapasitas utama (major capacity) untuk metabolisme obat
tertentu
+ : Dapat diabaikan (neglible capacity)

2.2.2.4 Bupropion
Bupropion adalah agen lini pertama untuk terapi depresi dan
penghentian merokok. Agen ini umumnya lebih efektif melawan gejala
depresi daripada gejala ansietas, dan cukup efektif dalam kombinasi
dengan SSRI. Bupropion telah menjadi salah satu antidepresan yang
sering diresepkan di Amerika Serikat. Dan bupropion sering digunakan
sebagai alternatif untuk antidepresan golongan SSRI SNRI.
Farmakodinamik dari bupropion masih dalam perdebatan.
Meskipun sering digambarkan sebagai agonis noradrenergik atau
dopamin reuptake inhibitor, namun dalam percobaan in vivo pada
manusia, efek bupropion pada dopamin muncul lebih sederhana.
Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa bupropion dikaitkan
dengan peningkatan konsentrasi dopamin pada nucleus accumbens dan
bupropion lebih poten menghambat reuptake dopamin daripada trisiklik.
Namun, penelitian pada manusia belum konsisten menunjukkan efeknya
pada dopamin. Mekanisme kerja efek antidepresan bupropion masih
41

belum dimengerti. Awalnya diperkirakan bahwa bupropion bekerja


melalui blockade ambilan kembali dopamin. Meskipun demikian,
konsentrasi bupropion di dalam SSP mungkin tidak cukup untuk
menghasilkan inhibisi ambilan kembali dopamin dengan signifikan.
Namun beberapa data meunjukkan bahwa bupropion memberikan efek
antidepresan dengan meningkatkan efisiensi fungsional sistem
noradrenergik.
Bupropion diabsorbsi dengan baik pada saluran cerna.
Konsentrasi plasma puncak bupropion dicapai dalam 2 jam setelah
pemberian oral, dan kadar puncak versi lepas lambat terlihat setelah 2, 3,
atau 5 jam. Waktu paruh bupropion sekitar 12 hingga 14 jam (Sadock et
al., 2004; McEvoy, 2011).
2.2.2.5 Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI)
i. Mekanisme Kerja
Monoamin oksidase merupakan suatu sistem enzim kompleks
yang terdistribusi luas dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi amin
biogenik, seperti norepinefrin, epinefrin, dopamine, serotonin. MAOI
menghambat sistem enzim ini, sehingga menyebabkan peningkatan
konsentrasi amin endogen. Ada dua tipe MAO yang telah teridentifikasi,
yaitu MAO-A dan MAO-B. Kedua enzim ini memiliki substrat yang
berbeda serta perbedaan dalam sensitivitas terhadap inhibitor. MAO-A
cenderung memiliki aktivitas deaminasi epinefrin, norepinefrin, dan
serotonin, sedangkan MAO-B memetabolisme benzilamin dan
fenetilamin. Dopamin dan tiramin dimetabolisme oleh kedua isoenzim.
Pada jaringan syaraf, sistem enzim ini mengatur dekomposisi metabolik
katekolamin dan serotonin. MAOI hepatik menginaktivasi monoamin
yang bersirkulasi atau yang masuk melalui saluran cerna ke dalam
sirkulasi portal (misalnya tiramin). Semua MAOI nonselektif yang
42

digunakan sebagai antidepresan merupakan inhibitor ireversibel,


sehingga dibutuhkan sampai 2 minggu untuk mengembalikan
metabolisme amin normal setelah penghentian obat. Hasil studi juga
mengindikasikan bahwa terapi MAOI kronik menyebabkan penurunan
jumlah reseptor (down regulation) adrenergik dan serotoninergik.
ii. Farmakokinetik
MAOI terabsorpsi baik setelah pemberian oral. Kadar puncak
tranilsipromin dan fenelzin mencapai kadar puncaknya masing-masing
dalam 2 dan 3 jam. Tetapi, inhibisi MAO maksimal terjadi dalam 5
sampai 10 hari. Metabolisme/ekskresi – metabolisme MAOI dari
kelompok hidrazin (fenelzin, isokarboksazid) diperkirakan
menghasilkan metabolit aktif. Inaktivasi terjadi terutama melalui
asetilasi.
iii. Indikasi Obat
Secara umum, MAOI diindikasikan pada penderita dengan
depresi atipikal (eksogen) dan pada beberapa penderita yang tidak
berespon terhadap terapi antidpresif lainnya. MAOI jarang dipakai
sebagai obat pilihan.
iv. Peringatan
MAOI saat ini hanya digunakan untuk pasien yang telah
resisten terhadap antidepresan lain karena efek toksiknya serta
banyaknya interaksi antar obat dan interaksi obat dengan makanan yang
membahayakan. MAOI jarang digunakan dibandingkan antidepresan
lain karena dapat memicu krisis hipertensi yang disebabkan oleh tiramin
dan dapat mengancam jiwa (Dirbinfar Komunitas & Klinik, 2007;
Sadock et al., 2009; Liebelt et al., 2008).
43

2.3 Problema Obat


Tabel II.6 Efek Samping utama antidepresan (Sumber: Shiloh et al.,
2006)

Efek Samping Utama

Toksisitas pada over

Meningkatkan Berat
Induksi Kejang
Antikolinergik

Resiko pada
Kehamilan
Antidepresan

Tremor
Agitasi

Sedasi

Badan
dosis
Amitriptilin ++++ + ++++ ++++ ++++ ++++ ++++ ++++
Klomipramin ++++ ++ +++ +++ ++++ ++++ ++++ +++
Desipramin ++ + ++ ++ +++ ++ +++
Doksepin +++ ++++ ++ +++ ++ ++ +++
Imipramin +++ + +++ +++ ++++ +++ ++++ ++++
Nortriptilin ++ ++ ++ ++++ +++ ++ ++++
Amoksapin ++ ++ ++ ++++ +++ +++
Maprotilin +++ ++ ++++ +++ +++ ++++ ++

Keterangan
++++ : Kapasitas utama (major capacity) untuk metabolisme obat
tertentu
+++ : Kapasitas sedang (moderate capacity) untuk metabolisme
obat tertentu
++ : Kapasitas kecil (minor capacity) untuk metabolisme obat
tertentu
+ : Dapat diabaikan (neglible capacity)
∆ : Dapat menurunkan berat badan
44

Tabel II.6 Efek Samping utama antidepresan (lanjutan) (Sumber: Shiloh


et al., 2006)

Efek Samping Utama

Toksisitas pada over

Meningkatkan Berat
Induksi Kejang
Antikolinergik

Resiko pada
Kehamilan
Antidepresan

Tremor
Agitasi

Sedasi

Badan
dosis
Citalopram + + + + +++
Escitalopram + + + + +++
Fluoksetin + ++ + ∆ +++
Fluvoksamin + + + + +++
Paroksetin ++ + + ++ +++
Sertralin ++ + + + +++
Duloksetin ++ + +
Venlafaksin + + + +++
Bupropion + + +++ +++ ∆ ++

Keterangan
++++ : Kapasitas utama (major capacity) untuk metabolisme obat
tertentu
+++ : Kapasitas sedang (moderate capacity) untuk metabolisme
obat tertentu
++ : Kapasitas kecil (minor capacity) untuk metabolisme obat
tertentu
+ : Dapat diabaikan (neglible capacity)
∆ : Dapat menurunkan berat badan
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA OPERASIONAL

3.1 Uraian Kerangka Konseptual Studi Penggunaan Antidepresan


pada kasus depresi
Depresi merupakan suatu gangguan suasana perasaan yang
sedih dengan gejala penyertanya, seperti perubahan pada: pola tidur,
nafsu makan, psikomotor dan konsentrasi; anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa dan tidak berdaya serta bunuh diri (Sadock et al., 2009)
Neurotransmiter yang paling bertanggung jawab terhadap
patofisiologi depresi adalah norepinefrin (NE) dan serotonin (5-HT).
Norepinefrin yang mempunyai kadar rendah memicu terjadinya depresi
dan kadar norepinefrin yang tinggi dapat memicu mania (Davidson, et
al., 2006). Hiperkortisol juga dapat menjadi pemicu gejala depresi
(Juruena, 2013). Kadar serotonin yang rendah dapat mengakibatkan
penurunan pertahanan sel dan diferensiasi neuronal, yang selanjutnya
mengakibatkan penurunan neurogenesis (Mahar, 2013)
Pengaruh stres kronis dan peristiwa kehidupan yang buruk
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya depresi (Brigitta Bondy,
2002) dan sangat erat kaitannya dengan penurunan jumlah
neurotransmiter serotonin (5-HT) (Mahar et al., 2013), serta disregulasi
dan toksisitas dari HPA axis akibat rilisnya glukokortikoid yang
berlebihan (Lupien, et al., 2009). Stres yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama di dalam biologi otak.
Perubahan yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan
keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dan sistem pemberian
sinyal intraneuron, perubahan tersebut bahkan dapat mengakibatnkan
hilangnya neuron dan berkurangnya kontak sinaps yang berlebihan.

45
46

Akibatnya, seseorang dengan stres kronis memiliki risiko tinggi


mengalami episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stresor
eksternal (Kaplan, 2010). Faktor genetik juga terlibat dalam timbulnya
gangguan mood (Kaplan, 2010).
Farmakoterapi merupakan komponen penting dalam
pengobatan gangguan depresi. Terdapat tiga fase pengobatan pada
pasien depresi sesuai dengan perjalanan gangguan depresi, yaitu fase
akut yang bertujuan untuk meredakan gejala, fase kelanjutan untuk
mencegah relaps, dan fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah
rekuren (Dirbinfar Komunitas dan Klinik, 2007).
Antidepresan yang diakui oleh Food and Drug Administration
(FDA) yaitu penghambat monoamine oksidase (MAOI), antidepresan
trisiklik (TCA), penghambat ambilan kembali serotonin secara selektif
(SSRI), serta penghambat ambilan kembali serotonin dan norepinefrin
(SNRI) (Richards & O’Hara, 2014). MAOI saat ini hanya digunakan
untuk pasien yang telah resisten terhadap antidepresan lain karena efek
toksiknya serta banyaknya interaksi antar obat dan interaksi obat dengan
makanan yang membahayakan (Liebelt et al., 2008). MAOI jarang
digunakan dibandingkan antidepresan lain karena dapat memicu krisis
hipertensi yang disebabkan oleh tiramin dan dapat mengancam jiwa
(Sadock et al., 2009).
Pemberian obat-obatan diatas memiliki efek samping dan
indikasi berbeda-beda, oleh karena itu diperlukan penguasaan data-data
obat di lapangan oleh farmasis agar pasien mendapatkan semua
informasi yang dibutuhkan tentang pemakaian obat dan pengawasan
dalam penggunaan obat pasien berjalan dengan baik agar tercapai
47

outcome yang diinginan. Oleh karena itu perlu dilakukan studi


penggunaan obat pada pasien depresi untuk mengetahui pola terapi yang
meliputi jenis obat yang diberikan, dosis, frekuensi, lama penggunaan,
interaksi dan efek samping serta kajian terapinya dikaitkan dengan data
rekam medik pasien.
48
49

3.3 Kerangka Operasional

Dari database IT, diketahui jumlah pasien depresi di RSUD Dr.Soetomo

Pasien depresi yang memenuhi kriteria inklusi

Nomor DMK pasien dengan diagnosa depresi

Terapi Obat :
Data Penderita :
Inisial Pasien, Nomor DMK, Alamat, Jenis Jenis obat yang diberikan
kelamin, Usia, Status, Cara Pembayaran Dosis
Diagnosa utama Frekuensi penggunaan
Penyakit penyerta / komplikasi
Data klinik meliputi :
Keluhan - Persepsi
- Berat Badan - Kemauan
- Kontak - Psikomotor
- WTO - GAF
- M/A - PB
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat obat
Keterangan

Pemindahan data ke lembar pengumpul data

Rekapitulasi data

Penyajian dan analisis data

Gambar 3.2 Skema Kerangka Operasional


50

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis penelitian


Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional
dengan menggunakan data retrospektif. Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan mendeskripsikan profil penggunaan obat antidepresan pada kasus
depresi di RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Analisis hasil penelitian
dilakukan secara deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti
pola terapi dari Dokumen Medik Kesehatan (DMK) pada pasien selama
periode 1 Juni 2014 - 31 Maret 2015.
4.2 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya
pada bulan Februari – April 2015.
4.3 Populasi dan sampel penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien dengan
diagnosis depresi yang menjalani terapi di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
4.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pasien
dengan diagnosis depresi dan memenuhi kriteria inklusi yang dibatasi
oleh waktu (time limited) yaitu periode 1 Juni 2014 - 31 Maret 2015.
Dengan jumlah sampel minimal 30 sampel (Hasan, 2002).
51

4.4 Kriteria Inklusi


Pasien dengan diagnosis depresi dan mendapatkan terapi
antidepresan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
4.5 Kriteria Eksklusi
Pasien dengan diagnosa depresi dengan data rekam medik tidak
lengkap seperti identitas pasien, data klinik, atau profil terapi.
4.6 Definisi operasional
- Pasien Depresi adalah pasien dengan diagnosa depresi yang
mengalami gangguan suasana perasaan, termasuk perasaan
tidak berharga, gangguan ativitas fisik seperti pola tidur,
kehilangan minat, dan ketidakmampuan mengalami
kesenangan (anhedonia) (Sadock et al., 2009).
- Data klinik adalah data yang berhubungan dengan tanda klinik
pasien depresi meliputi berat badan, tekanan darah, nadi,
perasaan gelisah dan kehilangan minat, dan frekuensi
pernafasan (respiratory rate).
- Pola terapi adalah suatu profil yang menggambarkan atau
mendeskripsikan penggunaan antidepresan pada pasien yang
didiagnosa depresi.
- Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk terapi pada
pasien depresi antara lain antidepresan trisiklik (TCA),
selective serotonine reuptake inhibitors (SSRI), dan serotonine
norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI).
- Efek samping adalah efek yang tidak dikehendaki disebabkan
pemberian antidepresan pada dosis lazim yang diberikan pada
pasien selama menjalani terapi dengan antidepresan.
52

- Drug related problems ( DRPs) adalah semua permasalahan


yang terkait obat yang dapat mempengaruhi outcome terapi
antara lain interaksi obat, monitoring efek samping, dan
regimentasi dosis terapi (dosis, rute, lama pemberian, waktu
pemberian, dan bentuk sediaan).
4.7 Ethical Clearance
Penelitian ini akan di-review oleh Komite Etik Penelitian
RSUD Dr. Soetomo dan apabila dinyatakan laik etik maka akan
diterbitkan Surat Keterangan Kelaikan Etik
4.8 Cara Pengumpulan Data
Dari buku registrasi didapatkan sampel penelitian kemudian
ditentukan pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Dari DMK pasien
yang telah ditetapkan dikumpulkan dan dilakukan pemindahan data
yang diperlukan dari tiap – tiap DMK sampel ke lembar pengumpulan
data yang kemudian dipindahkan ke tabel induk. Data yang dicatat
memuat data pasien meliputi No. DMK, nama, keluhan utama, diagnosa
akhir, penyakit penyerta/komplikasi, data klinik, riwayat obat, riwayat
penyakit terdahulu, dan terapi obat yang diterima meliputi jenis obat
dosis, frekuensi pemberian, lama pemberian serta masalah terkait obat.
4.9 Pengolahan & Analisis Data
Dari data yang diperoleh dilakukan pengolahan dan analisis
data, meliputi:
1. Analisa hasil prosentase penggunaan obat meliputi jenis
obat, frekuensi pemberian, dan dosis, data disajikan dalam
bentuk uraian, tabel, dan diagram.
53

2. Analisa secara deskriptif antara terapi yang diperoleh


dengan data klinik pasien yang disajikan dalam bentuk
uraian.
3. Analisa kemungkinan adanya DRP meliputi efek samping
obat, interaksi obat, dosis yang digunakan dan frekuensi
pemberian yang disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.
BAB V
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini telah di-review oeh Komisi Etik RSUD Dr.


Soetomo dan telah dinyatakan laik etik berdasarkan Surat Kelaikan Etik
No 75/Panke.KKE/I/2015 (Lampiran 1). Jumlah pasien gangguan
depresi yang menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr Soetomo
periode 1 Juni 2014 sampai 31 Maret 2015 tercatat sebanyak 605 pasien
berdasarkan data yang diperoleh dari database IT RSUD Dr. Soetomo.
Dari 605 pasien, diambil DMK pasien sebanyak 146 secara random
sampling, dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 44 pasien,
sedangkan sebanyak 102 pasien masuk dalam kriteria eksklusi antara
lain karena: pasien tidak mendapat terapi antidepresan, pasien tidak
datang ke Poli sehingga data klinik tidak dapat diamati, dan duplikasi
data pasien.
5.1 Demografi Pasien Depresi
Demografi pasien depresi yang menjalani Rawat Jalan di Poli
Jiwa dibagi berdasarkan jenis kelamin, usia, status perkawinan, riwayat
pendidikan, dan tempat tinggal.
5.1.1 Jenis Kelamin Pasien Depresi
Dari 44 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 9
pasien berjenis kelamin laki-laki, dan sebanyak 35 pasien berjenis kelamin
perempuan.
5.1.2 Sebaran Usia Pasien Depresi
Pasien depresi dalam penelitian ini tersebar pada rentang usia
antara 7-72 tahun. Pengelompokan usia pasien depresi pada penelitian
ini berdasarkan Riskesadas tahun 2013 pada pasien gangguan mental

54
55

emosional. Sebaran usia pasien pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel V.1

Laki-laki
20%

Perempuan
80%

Gambar 5.1 Sebaran Jenis Kelamin Pasien Depresi yang menjalani


Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni
2014 – Maret 2015

Tabel V.1 Sebaran Usia Pasien Depresi yang menjalani Rawat Jalan di
Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014 – Maret
2015

Usia Pasien (Tahun) Jumlah Pasien Prosentase (%)*


< 15 3 7
15-24 1 2
25-34 5 11
35-44 11 25
45-54 8 18
55-64 10 23
65-74 6 14
Total 44 100%

*= Prosentase dihitung berdasarkan jumlah sampel yaitu 44 pasien


56

Dari tabel V.1 dapat diketahui bahwa sebaran usia pasien


depresi paling banyak berada pada rentang 35-44 dan 55-64 tahun
dengan prosentase 23%.
5.1.3 Status Pernikahan Pasien Depresi

Gambar 5.2 Status Pernikahan Pasien Depresi yang menjalani


Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode
Juni 2014 – Maret 2015

5.1.4 Riwayat Pendidikan Pasien Depresi


Pasien depresi tersebar dengan riwayat pendidikan yang
berbeda. Riwayat pendidikan dibagi dalam 5 bagian yaitu sarjana (S1),
Diploma (D3), SMA, SMP, SD, dan sisanya tidak didapatkan data.
Riwayat pendidikan dibagi berdasarkan pendidikan terakhir yang
ditempuh oleh pasien. Sebaran riwayat pendidikan pasien depresi dapat
dilihat pada Gambar 5.3
5.1.5 Kategori Pasien
Kategori pasien depresi dalam penelitian ini terdiri dari pasien
lama dan pasien baru. Pasien lama merupakan pasien yang telah
menjalani rawat jalan sebelum rentang waktu penelitian, dan pasien baru
merupakan pasien yang baru menjalani rawat jalan pada rentang waktu
57

penelitian, yaitu Juni 2014 - Maret 2015. Dari 44 pasien, sebanyak 13


pasien merupakan pasien baru, dan 31 pasien merupakan pasien lama.
Sebaran kategori pasien dapat dilihat pada Gambar 5.4
Jumlah (Prosentase)

Riwayat Pendidikan

Gambar 5.3 Riwayat Pendidikan Pasien Depresi yang menjalani Rawat


Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014 –
Maret 2015.

Gambar 5.4 Sebaran Kategori Pasien Depresi yang menjalani Rawat


Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Periode Juni 2014 –
Maret 2015
58

5.2 Riwayat Depresi pada Keluarga Pasien Depresi


Faktor genetik terlibat dalam timbulnya gangguan depresi. Dari
data sampel penelitian, didapatkan sebanyak 4 pasien memiliki anggota
keluarga yang juga mengalami depresi, 6 pasien tidak memiliki anggota
keluarga yang juga mengalami depresi, dan pada 34 pasien sisanya tidak
didapatkan data mengenai anggota keluarga yang mengalami depresi.
Sebaran riwayat depresi pada keluarga pasien depresi dapat dilihat pada
Gambar 5.5

Gambar 5.5 Sebaran Riwayat Depresi pada Keluarga Pasien Depresi


yang menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr.
Soetomo Periode Juni 2014 – Maret 2015

5.3 Macam Penyakit Penyerta (Komorbid) pada Pasien Depresi


Macam penyakit penyerta (komorbid) yang didapatkan dari
DMK pasien depresi dijabarkan pada Gambar 5.6. Dari gambar dapat
diketahui bahwa hipertensi merupakan penyakit penyerta yang paling
banyak dialami oleh pasien depresi.
59

30
25
25
20
Prosentase (%)

15
9
10 7
5 5
5 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
0

Komorbid
Gambar 5.6 Penyakit Penyerta (Komorbid) Pasien Depresi yang
menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015

5.4 Gejala/Keluhan Pasien Depresi


Menurut PPDGJ III 3 gejala utama yang dialami oleh pasien
depresi adalah afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta
mudah lelah dan menurunnya aktivitas. Selain 3 gejala utama terdapat
beberapa gejala lainnya yang dialami oleh pasien depresi yaitu
menurunnya konsentrasi dan percaya diri, pikiran rasa bersalah dan
tidak berguna, pandangan masa depan yang suram, pikiran atau
perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, gangguan tidur,
serta menurunnya nafsu makan. Prosentase penyebaran gejala/keluhan
yang dialami oleh pasien depresi dapat dilihat pada tabel V.2
60

Tabel V.2 Gejala/Keluhan yang Dialami oleh Pasien Depresi yang


Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015

Gejala Jumlah Prosentaseb


Pasiena (%)

Utama Afek depresi 14 31


Kehilangan minat dan kegembiraan, 24 55
Mudah lelah dan menurunnya aktivitas, 13 30

Lainnya Menurunnya konsentrasi 5 11


Menurunnya percaya diri, 5 11
Pikiran rasa bersalah dan tidak berguna, 4 9
Pandangan masa depan yang suram, 2 5
Pikiran atau perbuatan yang 3 8
membahayakan diri atau bunuh diri,
Gangguan tidur, 26 63
Menurunnya nafsu makan 18 42

a
Pasien dapat mengalami lebih dari 1 macam keluhan
b
Prosentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yaitu 44 pasien

5.5 Klasifikasi Depresi


Klasifikasi gangguan depresif menurut Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa-III (PPDGJ-III, Departemen Kesehatan)
dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu episode depresi ringan
(F32.0), episode depresi sedang (F32.1), episode depresi berat tanpa
gejala psikotik (F32.2), episode depresi berat dengan gejala psikotik
(F32.3), dan gangguan depresi berulang (F33). Sebaran data klasifikasi
depresi dapat dilihat pada Tabel V.3

Tabel V.3 Klasifikasi Depresi yang Diderita oleh Pasien Depresi yang
Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015
61

Klasifikasi Depresi
Kodifikasi Prosentase
Pada Awal Gejalaa
ICD-10 (%)b
Pengamatan
Episode depresi (F32.0) Sekurang-kurangnya 20
ringan ada 2 dari 3 gejala
utama
+
sekurang-kurangnya 2
dari gejala lainnya
Episode depresi (F32.1) Sekurang-kurangnya 61
sedang ada 2 dari 3 gejala
utama
+
sekurang-kurangnya 3
(sebaiknya 4) dari
gejala lainnya
Episode depresi (F32.2) Semua gejala utama 4
berat tanpa gejala +
psikotik Sekurang-kurangnya
4 dari gejala lainnya
Episode depresi (F32.3) Gejala pada F32.2 13
berat dengan gejala +
psikotik Waham, halusinasi,
atau stupor depresif
Gangguan depresi (F33.2) Kriteria untuk F33 2
berulang episode harus dipenuhi, dan
kini berat tanpa episode sekarang
gejala psikotik harus memenuhi
kriteria F32.2
a
Pustaka – Maslim, 2013
b
Prosentase dihitung berdasarkan jumlah pasien

5.6 Fase Terapi Pada Pasien Depresi


62

Berdasarkan lama terapi, terapi pada pasien depresi dibagi


menjadi 3 fase yaitu fase akut, fase kronis, dan fase maintenance. Terapi
fase akut merupakan terapi pada 6-12 minggu pertama sejak
mengkonsumsi obat, fase kronis pada 4 – 9 bulan terapi, dan fase
maintenance pada 1 tahun atau lebih terapi. Sebaran fase terapi pada
pasien depresi yang menjalani rawat jalan di Poli Jiwa RSUD Dr.
Soetomo periode Juni 2014 – Maret 2015 dapat dilihat pada Gambar 5.7
Jumlah Pasien
(Prosentase)

Gambar 5.7 Fase Terapi pada Pasien Depresi yang Menjalani Rawat
Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo periode Juni 2014 –
Maret 2015

5.7 Terapi Obat Pada Pasien Depresi


5.7.1 Terapi Obat Antidepresan
Antidepresan yang diterima oleh pasien depresi yang menjalani
rawat inap di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo periode Juni 2014 – Maret
2015 adalah antidepresan golongan TCA yaitu Amitriptilin dan
Maprotilin serta golongan SSRI yaitu Fluoksetin dan Sertralin. Sebaran
terapi obat antidepresan yang diterima oleh pasien dapat dilihat pada
Gambar 5.8
63

Prosentasea,b

Jenis Obat
a
Prosentase dihitung berdasarkan jumlah pasien
b
Satu pasien dapat menerima lebih dari satu jenis antidepresan pada kunjungan
yang berbeda

Gambar 5.8 Terapi Obat Antidepresan yang diterima Pasien Depresi


yang menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr.
Soetomo Periode Juni 2014 – Maret 2015

Tabel V.4 Terapi Obat Antidepresan yang Diterima oleh Pasien


Depresi yang Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD
Dr. Soetomo Periode Juni 2014 – Maret 2015

Jenis Obat Bentuk Dosis Frekuensi Dosis Jumlah


Sediaan (mg) Penggunaan Pustaka* Pasien
**

TCA
Amitriptilin Tablet 25 mg 1x1 25-50 1
2x0,5 mg/haria 1
Maintanance :
50-100 mgb
Tablet 25 mg 1x1 Maksimal 150 1
Salut 2x1 mg/harib 2
3x1 1

* Pustaka- a. Shann, 2014; b. McEvoy, 2011; c. Maslim, 2014


** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat
tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam obat dan lebih dari 1
macam dosis pada kunjungan yang berbeda
64

Tabel V.4 Terapi Obat Antidepresan yang Diterima oleh Pasien


Depresi yang Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD
Dr. Soetomo Periode Juni 2014 – Maret 2015 (lanjutan)

Jenis Obat Bentuk Dosis Frekuensi Dosis Jumlah


Sediaan (mg) Penggunaan Pustaka* Pasien
**

TCA
Maprotilin Tablet 25 1x1 10-50 1
Tablet Salut 25 1x1 mg/haria 1
Maintananc
e:
75-150 mgb
SSRI
Fluoksetin Tablet 10 1x1 8

20 1x1 Maks 20 12
1x0,5 mg/haria 6
2x0,5 10-40 2
mg/haric
Kapsul 10 1x1 16
1x0,25 1
20 1x1 13

Sertralin Tablet 50 1x0,5 5


1x1 4
2x1 25-200 1
2x0,5 mg/haria 1
50-100
Tablet Salut 50 1x0,5 mg/harib 1
1x1 3
1x1,5 1

* Pustaka- a. Shann, 2014; b. McEvoy, 2011; c. Maslim, 2014


** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat
tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam obat dan lebih dari 1
macam dosis pada kunjungan yang berbeda

5.7.2 Terapi Obat Lain


Selain mendapatkan terapi antidepresan, pasien juga
mendapatkan terapi obat lain seperti anticemas dan antipsikotik. Terapi
obat lain yang diterima oleh pasien dapat dilihat pada tabel V.5
65

Tabel V.5 Terapi Obat Lain yang Diterima Pasien Depresi yang
Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015

Kelas Bentuk Dosis Dosis Jumlah


Nama obat Frekuensi
Terapi Sediaan (mg) Pustaka* Pasien**

Anti Klobazam Tablet 10 1 x 0,25 Dosis awal : 1


cemas 1 x 0,5 10 mg 10
1 x 0,75 Maintanance : 1
1x1 20-30 mg 8
2 x 0,25 Dosis maks: 1
2 x 0,5 60 mg 8
2x1 Geriatri : 1
10-20 mgc

Lorazepam Tablet 2 1x1 Dosis awal : 6


2x1 2-3 mg dalam 1
1 x 0,5 dosis terbagib 2
1 x 0,25 Maintenance: 1
2-6 mg a,b
Tablet 1x1 8
Salut 1 x 0,5 2

Diazepam Tablet 2 1x1 Dosis awal: 1


2x1 1-2,5 mg 3dd1 1
atau 4dd1
Dosis
dinaikkan
secara
bertahapc
2-10 mg/harid

* Pustaka – a. Sadock et al., 2009; b. McEvoy, 2011; c. Tatro, 2003; d.


Shann, 2014
** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat
tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam obat dan lebih
dari 1 macam dosis pada kunjungan yang berbeda
66

Tabel V.5 Terapi Obat Lain yang Diterima Pasien Depresi yang
Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015 (lanjutan)

Kelas Bentuk Dosis Dosis Jumlah


Nama obat Frekuensi
Terapi Sediaan (mg) Pustaka* Pasien**

Anti Alprazolam Tablet 0,5 1x1 Dosis awal : 4


cemas 1 x 0,5 0,25 mg 3dd1a 1
2x1 0,25 – 0,5 mg 1
2 x 0,5 3dd1b 1
Dosis maks:
1 1x1 4 mgb 1
2 x 0,25 Maintenance : 1
2 x 0,5 1-4 mga 1

0,25 1x1 1

Anti Trifluoperazin Tablet 1 x 0,25 1-10 mg/hari 1


psikotik (generasi 1) Salut

Haloperidol Tablet 1,5 2x1 Dosis Awal : 1


(generasi 1) 0,5 mg/hari,
dapat
ditingkatkan
secara
bertahapb

Risperidon Tablet 2 1 x 0,25 0,5-1 mga 3


(generasi 2) 2 x 0,5 2-8 mgb,d 5

Tablet 2 x 0,5 2
Salut 2x1 2
1 x 0,5 1

Klozapin Tablet 25 1 x 0,25 25 mg/hari 1


(generasi 2) 2 x 0,5 Dosis 1
ditingkatkan
secara
bertahapc
* Pustaka – a. Sadock et al., 2009; b. McEvoy, 2011; c. Tatro, 2003; d. Shann,
2014** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang
mendapatkan obat tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam obat
dan lebih dari 1 macam dosis pada kunjungan yang berbeda
67

Tabel V.5 Terapi Obat Lain yang Diterima Pasien Depresi yang
Menjalani Rawat Jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo
Periode Juni 2014 – Maret 2015 (lanjutan)

Kelas Nama obat Bentuk Dosis Frekuensi Dosis Jumlah


Terapi Sediaan (mg) Pustaka* Pasien**

Anti Triheksi- Tablet 5 2 x 0,5 1-2 mgb 3


Parkinson fenidil 2-50 mgc
(Antidotum
EPS)

* Pustaka – a. Sadock et al., 2009; b. McEvoy, 2011; c. Tatro, 2003; d. Shann,


2014
** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat
tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam obat dan lebih dari 1
macam dosis pada kunjungan yang berbeda

5.7.3 Terapi Obat Dikaitkan dengan Kondisi Pasien


Pasien depresi menerima terapi tunggal antidepresan maupun
kombinasi dengan anti cemas dan/atau antipsikotik. Hal ini tergantung
dari kondisi pasien saat melakukan kontrol di Poli Jiwa RSUD
Dr.Soetomo Surabaya. Terapi Obat dikaitkan dengan kondisi pasien
dapat dilihat pada Tabel V.6 dan Tabel V.7

Tabel V.6 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Jenis


Depresi

Terapi lain Jumlah


Jenis Depresi Antidepresan
Anti cemas Antipsikotik Pasiena
Episode Amitriptilin Klobazam - 1
depresi ringan Lorazepam + - 1
(F32.0) Klobazam

* Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat


tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam obat
(tunggal/kombinasi) pada kunjungan yang berbeda
68

Tabel V.6 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Jenis


Depresi (lanjutan)

Terapi lain Jumlah


Jenis Depresi Antidepresan
Anti cemas Antipsikotik Pasiena
Episode Fluoksetin Lorazepam - 2
depresi ringan Klobazam - 2
(F32.0) - Klozapin 1
- Risperidon + 1
Triheksifenidil
Sertralin Lorazepam - 1
Alprazolam - 1
Klobazam - 1
Episode Fluoksetin - - 4
depresi sedang Klobazam - 13
(F32.1) Trifluoperazin 1
Risperidon 2
Lorazepam - 5
Alprazolam - 2
Diazepam - 1
Amitriptilin - - 2
Lorazepam - 1
Sertralin - - 1
Alprazolam - 2
Lorazepam - 2
Klobazam - 1
Maprotilin - - 1
Lorazepam - 1
Episode Fluoksetin Klobazam Risperidon 1
depresi berat - Risperidon 2
tanpa gejala - Risperidon + 1
psikotik Tiheksifenidil
(F32.2)
Sertralin - Haloperidol + 1
Triheksifenidil

* Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat


tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam obat
(tunggal/kombinasi) pada kunjungan yang berbeda
69

Tabel V.6 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Jenis


Depresi (lanjutan)

Terapi lain Jumlah


Jenis Depresi Antidepresan
Anti cemas Antipsikotik Pasiena
Episode Fluoksetin - - 1
depresi berat Lorazepam - 2
dengan gejala Risperidon 1
psikotik Klobazam Haloperidol 1
(F32.3)
- Risperidon 5
- Risperidon + 1
Triheksifenidil
Sertralin - Klozapin 1
Gangguan Fluoksetin Klobazam - 1
depresi
berulang
episode kini
ringan (F33.0)

* Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat


tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam obat
(tunggal/kombinasi) pada kunjungan yang berbeda
Tabel V.7 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Data Klinik Pasien

Anti- Terapi lain Data Klinik Jml.


Indikasi Antidepresan Menurut Pustaka***
depresan Anti cemas Antipsikotik Pasien* Pasien**
Amitriptilin - - - Gangguan tidur 1 Trisiklik
- Mudah emosi
- Manajemen terapi untuk depresi dengan cemasa
Klobazam - - Gangguan tidur 1
- Nafsu makan ↓ - Memiliki efek sedasi dan antikolinergik paling tinggia,b
- Ide bunuh diri - Diberikan kepada pada pasien usia muda, dan bermanfaat untuk
Lorazepam - - Gangguan tidur 1 meredakan agitated depressiona
- Merupakan antidepresan pilihan kedua setelah golongan SSRIa
Maprotilin - - Kondisi pasien 1 Tetrasiklik
stabil
- Diberikan kepada pasien yang kondisinya kurang tahan terhadap
Lorazepam - - Gangguan tidur 1 efek otonomika
- Nafsu makan ↓
- Cemas - Diberikan kepada pasien depresi dengan gejala anxietas dan
insomnia yang menonjola
- Efek sedasi lebih kuata,b
- Antidepresan tetrasiklik yang merupakan pilihan ketiga setelah
golongan Trisiklik dan SSRIa

* Data klinik pasien merupakan data klinik yang tercantum pada DMK
** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1
macam obat (tunggal/kombinasi) pada kunjungan yang berbeda
*** Pustaka – a. Maslim, 2014; Shiloh et al., 2006

70
Tabel V.7 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Data Klinik Pasien (lanjutan)

Anti Terapi lain Data Klinik Jml.


Indikasi Antidepresan Menurut Pustaka***
depresan Anti cemas Antipsikotik Pasien* Pasien**
Fluoksetin - - Kondisi pasien 4 SSRI
stabil
- Efek sedasi dan antikolinergik sangat minimala,b
Klobazam - - Afek depresif 15
- Cemas - Diberikan kepada pasien usia dewasa & usia lanjut, atau
dengan gangguan jantung, berat badan lebih, dan
TFP - Gangguan tidur 1
keadaan lain yang menarik manfaat dari efek samping
- Cemas
minimal tersebuta
Risperidon Kondisi pasien 3
stabil - Merupakan antidepresan pilihan pertama pada
pemilihan obat antidepresana
Haloperidol - Gejala psikotik 1
- Nafsu makan ↓
- Malas berbicara
- Gelisah
- Mudah lelah
Lorazepam - - Gangguan tidur 7
- Cemas
Risperidon - Gejala psikotik 1
- Ide bunuh diri
- Nafsu makan ↓

* Data klinik pasien merupakan data klinik yang tercantum pada DMK
** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1
macam obat (tunggal/kombinasi) pada kunjungan yang berbeda
*** Pustaka – a. Maslim, 2014; Shiloh et al., 2006

71
Tabel V.7 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Data Klinik Pasien (lanjutan)

Anti Terapi lain Data Klinik Jml.


Indikasi Antidepresan Menurut Pustaka***
depresan Anti cemas Antipsikotik Pasien* Pasien**
Fluoksetin Alprazolam - - Gangguan tidur 1 SSRI
- Nafsu makan ↓
- Efek sedasi dan antikolinergik sangat minimala,b
- Mudah lelah tidak
bertenaga - Diberikan kepada pasien usia dewasa & usia lanjut, atau dengan
Diazepam - - Gangguan tidur 1 gangguan jantung, berat badan lebih, dan keadaan lain yang
- Cemas menarik manfaat dari efek samping minimal tersebuta
- Klozapin Kondisi pasien 1 - Merupakan antidepresan pilihan pertama pada pemilihan obat
stabil antidepresana
- Risperidon - Gejala psikotik 5
- Ide bunuh diri
- Percaya diri ↓
- Nafsu makan ↓
- Risperidon + Kondisi pasien 2
THD stabil
Sertralin - - Kondisi pasien 1
stabil
Alprazolam - - Gangguan tidur 2
- Malas berbicara
- Nafsu makan ↓
- Cemas

* Data klinik pasien merupakan data klinik yang tercantum pada DMK
** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1
macam obat (tunggal/kombinasi) pada kunjungan yang berbeda
*** Pustaka – a. Maslim, 2014; Shiloh et al., 2006
72
Tabel V.7 Terapi Obat Tunggal/Kombinasi Dikaitkan dengan Data Klinik Pasien (lanjutan)

Anti Terapi lain Data Klinik Jml.


Indikasi Antidepresan Menurut Pustaka***
depresan Anti cemas Antipsikotik Pasien* Pasien**
Sertralin Lorazepam - - Perasaan 3 - Efek sedasi dan antikolinergik sangat minimala,b
bersalah
- Diberikan kepada pasien usia dewasa & usia
- Cemas
lanjut, atau dengan gangguan jantung, berat
- Ganguan tidur
badan lebih, dan keadaan lain yang menarik
- Nafsu makan ↓
manfaat dari efek samping minimal tersebuta
Klobazam - Kondisi pasien 2 - Merupakan antidepresan pilihan pertama pada
stabil pemilihan obat antidepresana
- Klozapin - Perasaan 1
bersalah
- Sulit
konsentrasi
- Mudah lelah
- Haloperidol + Kondisi pasien 1
THD stabil

* Data klinik pasien merupakan data klinik yang tercantum pada DMK
** Jumlah pasien merupakan banyaknya pasien yang mendapatkan obat tersebut. Pasien dapat menerima lebih dari 1
macam obat (tunggal/kombinasi) pada kunjungan yang berbeda
*** Pustaka – a. Maslim, 2014; Shiloh et al., 2006

73
74

5.7.4 Perubahan Terapi Obat Dikaitkan dengan Gejala Klinis


Pasien
Pada tabel V.8 dapat dilihat perubahan terapi obat dikaitkan
dengan gejala klinis pasien yang terdiri dari perubahan jenis obat dan
perubahan dosis obat.

Tabel V.8 Perubahan Terapi Obat Dikaitkan dengan Gejala Klinis


Pasien

Jenis Obat Jumlah


Alasan
Awal Akhir Pasien
Fluoksetin + Fluoksetin Perubahan diagnosa dari Episode 1 (2%)
Risperidon depresi dengan gejala psikotik
(F32.2) menjadi Episode depresi
sedang (F32.1)
Fluoksetin + Fluoksetin Gangguan tidur (-) 1 (2%)
Klobazam
Fluoksetin + Fluoksetin Gangguan tidur (-) 1 (2%)
Lorazepm
Fluoksetin + Fluoksetin + Pasien merasa kesemutan di leher 1 (2%)
Klozapin Klobazam hingga belakang kepala
Sertralin + Sertralin + Gangguan tidur dan perasaan 1 (2%)
Lorazepam Alprazolam cemas tidak ada perbaikan dengan
terapi sebelumnya
Fluoksetin + Sertralin + Tidak tertera pada DMK 1 (2%)
Risperidon Klozapin Perubahan terapi dapat
disebabkan karena adanya
hipersensitivitas (Alergi) terhadap
terapi awal
Fluoksetin + Fluoksetin + Perasaan cemas (gemetar) (-) 1 (2%)
Lorazepam + Risperidon
Risperidon
Fluoksetin Fluoksetin + Gangguan tidur (+) 1 (2%)
Klobazam
75

Tabel V.8 Perubahan Terapi Obat Dikaitkan dengan Gejala Klinis


Pasien (lanjutan)

Jenis Obat Jumlah


Alasan
Awal Akhir Pasien
Maprotilin Sertralin Tidak tertera pada DMK 1 (2%)
Perubahan terapi dapat
disebabkan karena adanya
hipersensitivitas (Alergi)
terhadap terapi awal
Amitriptilin Amitriptilin + Gangguan tidur (+) 1 (2%)
Lorazepam
Maprotilin + Sertralin + Tidak tertera pada DMK 1 (2%)
Lorazepam Lorazepam Perubahan terapi dapat
disebabkan karena adanya
hipersensitivitas (Alergi)
terhadap terapi awal
Dosis Obat Jumlah
Alasan
Awal Akhir Pasien
Fluoksetin 20 Fluoksetin 10 Pasien merasa kondisi membaik 1 (2%)
mg/hari mg/hari 100 %
Amitriptilin Amitriptilin Pasien mengeluhkan lidah dan 1 (2%)
25 mg/hari 12,5 mg/hari tenggorokkan terasa kering dan
lidah terasa lengket.

5.8 Problema Terkait Obat pada Pasien Depresi


Identifikasi problema terkait obat (DRP) dapat berupa
problema aktual maupun potensial. Dalam penelitian ini dilakukan
identifikasi efek samping obat baik potensial maupun aktual. Efek
samping potensial merupakan data yang didapatkan dari pustaka,
sedangkan efek samping aktual didapatkan dari data yang tercatat pada
DMK pasien. Selain itu, dalam penelitian ini dilakukan identifikasi
terkait interaksi obat yang mungkin terjadi pada pasien depresi yang
menjalani rawat jalan di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
76

5.8.1 Efek Samping Potensial


Tabel V.9 Efek Samping Potensial

Obat Efek Sampinga Jumlah Prosentase


Pasien** (%)
Fluoksetin - Insomniaa,b,c,d 36 82
- Withdrawala
- Muala,b,d
- Muntaha,b,d
- Gangguan pencernaana,b
- Disfungsi seksuala,b,d
- Pusinga,d
- Gelisaha,d
Sertralin - Insomniaa,b,c 10 23
- Withdrawala
- Muala,b,d
- Muntaha,b,d
- Gangguan pencernaana,b
- Disfungsi seksuala,b,d
- Pusinga
- Gelisaha
-
Amitriptilin Efek antikolinergik 4 9
seperti mulut kering,
konstipasi, gangguan
penglihatana,b,c
- Hipotensi ortostatikb,c
- Sedasia,b,c
- Takikardib
- Sakit kepalaa
- Tremora,b
Maprotilin - Efek antikolinergik seperi 2 5
mulut kering, konstipasi,
gangguan penglihatan
(lebih rendah dari
amitriptilin)a,b,c
- Hipotensi ortostatikb,c
-
Sedasia,b,c
- Takikardib
- Pusinga
- Tremora,b

* Pustaka – a.McEvoy, 2011; b.Shiloh et al., 2006; c.Maslim, 2014; d.


Aronson, 2005
** Jumlah pasien menunjukkan banyaknya pasien yang berpotensi mengalami
efek samping obat
77

5.8.2 Efek Samping Aktual

Tabel V.10 Efek Samping Aktual

Obat Efek Samping* Jumlah Saran Penyelesaian*


Pasien**
Amitriptilin Mulut kering 1 (2%) Turunkan dosis
amitriptilin
Fluoksetin Depresi rebound 1 (2%) Turunkan dosis fluoksetin
Mual 1 (2%) secara bertahap
Kembung
Sakit kepala

* Pustaka - McEvoy, 2011


** Jumlah pasien menunjukkan banyaknya pasien yang mengalami efek
samping obat

5.8.3 Interaksi Obat


Tabel V.11 Interaksi Obat

Jumlah Kebermaknaan
Obat Interaksi* Saran Penyelesaian*
Pasien** Interaksi*
Fluoksetin ↑ Gunakan dengan 1 (2%) sedang
+ Konsentrasi perhatian, monitor efek
Diazepam plasma diazepam.
diazepama,b
Diazepam diberikan
dalam dosis terbagi. Bila
perlu dilakukan
penurunan dosisa,b
1 (2%)
Fluoksetin ↑ Gunakan dengan sedang
+ Konsentrasi perhatian, monitor efek
Alprazolam plasma alprazolam.
alprazolam
Alprazolam diberikan
sehingga
dalam dosis terbagi. Bila
efeknya
perlu dilakukan
meningkata,b
penurunan dosisa,b

* Pustaka- a. McEvoy, 2011; b. Tatro, 2003; c. Spina et al., 2002; d. Bailie et


al., 2004
** Jumlah pasien menunjukkan banyaknya pasien yang berpotensi mengalami
interaksi obat
78

Tabel V.11 Interaksi Obat (lanjutan)

Saran Jumlah Kebermaknaan


Obat Interaksi*
Penyelesaian* Pasien** Interaksi*
1 (2%)
Fluoksetin ↑ Konsentrasi Gunakan dengan sedang
+ plasma perhatian, monitor
Haloperidol haloperidola,b efek haloperidol.
Bila EPS muncul,
Daya ingat pertimbangkan
dan perhatian untuk menghentikan
↓b salah satu obatb

Menyebabkan
EPSa
Fluoksetin ↑ Konsentrasi Gunakan dengan 5 (11%) sedang
+ plasma perhatian, monitor
Risperidon risperidona,b efek risperidon, dan
dilakukan
Menyebabkan
penyesuaian dosis.
EPSc
1 (2%)
Fluoksetin ↑ Konsentrasi Gunakan dengan sedang
+ Klozapin plasma perhatian, monitor
klozapina,b efek klozapin
Dilakukan
penurunan dosis
klozapin bila
dicurigai timbul
interaksib
1 (2%)
Sertrallin + ↑ Konsentrasi Gunakan dengan tinggi
Klozapin plasma perhatian, monitor
klozapina,b efek samping, dan
dilakukan
penurunan dosis
klozapin bila
diperlukanb,d

* Pustaka- a. McEvoy, 2011; b. Tatro, 2003; c. Spina et al., 2002; d. Bailie et


al., 2004
** Jumlah pasien menunjukkan banyaknya pasien yang berpotensi mengalami
interaksi obat
79

5.9 Outcome Terapi pada Pasien Depresi


Outcome terapi pada pada pasien depresi dilihat berdasarkan
data klinik pasien yang tercatat dalam DMK.

Tabel V.12 Outcome Terapi pada Pasien depresi

Parameter Outcome* Jumlah Pasien

Afek Depresif + 2 (14%)


- 12 (86%)
Kehilangan minat dan kegembiraan, + 10 (42%)
- 14 (58%)
Mudah lelah dan menurunnya + 6 (43%)
aktivitas - 7 (57%)
Menurunnya konsentrasi + 1 (20%)
- 4 (80%)
Menurunnya percaya diri, + 1 (20%)
- 4 (80%)
Pikiran rasa bersalah dan tidak + 1 (34%)
berguna, - 3 (76%)
Pandangan masa depan yang suram, + -
- 2 (100%)
Pikiran atau perbuatan yang + -
membahayakan diri atau bunuh diri, - 3 (100%)
Gangguan tidur + 14 (54%)
- 12 (46%)
Menurunnya nafsu makan + 3 (17%)
- 15 (83%)

* (+) Gejala klinis masih muncul pada pasien diakhir penelitian


(-) Gejala klinis sudah tidak muncul pada pasien akhir penelitian
Outome terapi pada saat pengamatan terakhir
BAB VI
PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan diagnosa depresi


yang menjalani rawat jalan di Poli Jiwa RSUD Dr.Soetomo Surabaya
periode 1 Juni 2014 – 31 Maret 2015, dan didapatkan sampel yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 44 pasien dengan metode random
sampling. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
Gambar 5.1. Dari gambar tersebut dapat diketahui prevalensi depresi
pada perempuan (80%) lebih banyak daripada laki-laki (20%). Menurut
penelitian, perempuan mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar
mengalami gangguan depresi daripada laki-laki (Hankin & Abramson
2001; Dirbinfar Komunitas dan Klinik, 2007). Dari hasil Riskesdas
tahun 2013, penderita depresi di Indonesia didominasi oleh perempuan
daripada laki-laki. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa di Amerika
jumlah penderita depresi pada perempuan lebih besar (51,9%)
dibandingkan laki laki (48,1%) pada berbagai etnis (Gonzales et al.,
2010, hal ini dapat terjadi karena faktor hormonal (Dirbinfar Komunitas
dan Klinik, 2007). Hormon estrogen pada wanita berperan dalam
peningkatkan konsentrasi neurotransmitter seperti serotonin, dopamin,
dan norepinefrin serta mempengaruhi pelepasan, reuptake, dan
inaktivasi enzimatik dari neurotansmiter tersebut (Shepherd, 2001).
Selain dampak dari hormonal, depresi pada wanita dapat disebabkan
karena dampak melahirkan, stresor dan pola perilaku (Dirbinfar
Komunitas dan Klinik, 2007).
Dari hasil penelitian pada Tabel V.I dapat dilihat bahwa
sebaran usia pasien depresi paling banyak berada pada rentang 35-44
tahun dengan prosentase 25%. Berdasarkan studi epidemiologi, pasien

79
80

depresi umumnya berada pada rentang usia 35-44 tahun (Gonzales et al.,
2010). Pada rentang usia 35-44 tahun manusia cenderung memiliki
beban hidup terkait masalah ekonomi, pekerjaan, dan masalah rumah
tangga yang dapat memicu terjadinya depresi. Pada Gambar 5.2 dapat
dilihat distribusi status pernikahan pasien depresi yang menggambarkan
bahwa pasien yang berstatus menikah (71%) lebih banyak mengalami
depresi dibandingkan pasien yang berstatus belum menikah (27%), hal
ini dapat disebabkan karena pernikahan merupakan salah satu faktor
psikososial yang dapat mengakibatkan terjadinya depresi. Orang yang
telah menikah memiliki tanggungan hidup yang lebih besar, misalnya
tuntutan untuk menafkahi keluarga, kebutuhan akan tempat tinggal,
masalah dengan pasangan dan juga masalah anak (Trilistya, 2006). Dari
hasil penelitian didapatkan pasien dengan status menikah lebih banyak
mengalami depresi dibandingkan dengan pasien yang berstatus janda
(2%). Namun menurut studi epidemiologi yang dilakukan oleh
Topuzoglu et al (2015), pasien yang berstatus cerai memiliki prosentase
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang berstatus menikah
atau tidak menikah. Adanya perbedaan hasil tersebut disebabkan karena
perbedaan jumlah sampel yang digunakan. Dalam penelitian ini hanya
didapatkan sampel sebesar 44 pasien sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Topuzoglu et al (2015) digunakan sampel sebanyak 4011
pasien.
Pasien depresi tersebar dengan riwayat pendidikan yang
berbeda. Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 5.3 dapat
diketahui bahwa jumlah pasien yang memiliki riwayat pendidikan
terakhir diploma dan sarjana memiliki prosentase depresi yang rendah
81

yaitu masing-masing 2% dan 9%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan


Dasar Indonesia tahun 2007, semakin tinggi tingkat pendidikan maka
angka kejadian gangguan mental emosional makin kecil. Dari Gambar
5.3 dapat diketahui bahwa pasien dengan riwayat pendidikan terakhir
SMA memiliki angka paling tinggi mengalami depresi (36%), kemudian
riwayat pendidikan terakhir SMP (28%), dan riwayat pendidikan
terakhir SD (16%). Semakin rendahnya riwayat pendidikan, dapat
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan ekonomi dikaitkan dengan
pekerjaan dan gaji yang diperoleh, serta dapat memicu terjadinya
depresi. Terdapat 9% dari jumlah pasien tidak didapatkan data mengenai
riwayat pendidikan karena tidak tertulis pada DMK pasien.
Dalam penelitian ini, pasien dibagi menjadi 2 kategori yaitu
pasien lama dan pasien baru. Pasien lama merupakan pasien yang telah
menjalani rawat jalan sebelum rentang waktu penelitian, dan pasien baru
merupakan pasien yang baru menjalani rawat jalan pada rentang waktu
penelitian, yaitu Juni 2014 – Maret 2015. Dari Gambar 5.5 dapat dilihat
dari 44 pasien, sebanyak 70% merupakan pasien lama, dan 30%
merupakan pasien baru. Pada pasien lama seringkali tidak ditemukan
data yang lengkap mengenai keluhan dan riwayat pasien, sedangkan
keluhan dan riwayat pasien biasanya tercatat lengkap pada DMK saat
awal kunjungan pasien yang tidak masuk dalam rentang waktu dalam
penelitian ini.
Pada Gambar 5.5 dapat dilihat distribusi riwayat depresi pada
keluarga pasien menunjukkan bahwa sebesar 9% pasien memiliki
anggota keluarga yang juga mengalami depresi, 14% pasien tidak
memiliki anggota keluarga yang juga mengalami depresi, 77% pasien
82

sisanya tidak didapatkan data mengenai anggota keluarga yang


mengalami depresi karena tidak tercatat pada DMK pasien. Menurut
Sadock et al (2009), faktor genetik terlibat dalam timbulnya gangguan
mood namun pola pewarisannya terjadi melalui mekanisme yang belum
diketahui. Gen serotonin transporter yaitu SLC6A4/5HTT (5-
hydroxytryptamine transporter) adalah gen yang paling banyak
dipelajari dalam kasus depresi (Caspi et al., 2010; McGrath et al., 2013).
Gejala depresi juga dapat disebabkan karena adanya stres fisiologi
akibat adanya suatu penyakit atau akibat penggunaan obat tertentu. Pada
penelitian ini, macam penyakit penyerta (komorbid) yang diderita oleh
pasien depresi dijabarkan pada Gambar 5.7. Dari gambar dapat diketahui
bahwa hipertensi merupakan penyakit penyerta yang paling banyak
dialami oleh pasien depresi. Menurut Luchsinger et al (2008), hipertensi
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya depresi. Penelitian di
Eropa melaporkan bahwa pasien hipertensi menunjukkan 37-46%
kemungkinan meningkatnya kejadian depresi dibandingkan dengan
pasien dengan tekanan darah yang normal (Lobo-Escolar et al., 2008).
Dari hasil penelitian pada Tabel V.2 didapatkan sebesar 55%
pasien depresi mengalami keluhan kehilangan minat dan kegembiraan,
31% pasien mengalami afek depresif, dan 30% pasien mengeluh mudah
lelah serta menurunnya aktifitas. Gangguan depresi tidak mempunyai
gejala yang sama dan pasti. Gejala depresi bervariasi dari satu orang ke
orang lain dan sering kali tidak dikenali. Menurut PPDGJ III, 3 gejala
utama yang dapat dialami oleh pasien depresi adalah afek depresif,
kehilangan minat dan kegembiraan serta mudah lelah dan menurunnya
aktivitas. Selain 3 gejala utama, terdapat beberapa gejala lainnya yang
83

dialami oleh pasien depresi yaitu menurunnya konsentrasi dan percaya


diri, pikiran rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan
yang suram, pikiran atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh
diri, gangguan tidur, serta menurunnya nafsu makan. Timbulnya gejala
klinis tersebut dapat dikaitkan dengan penurunan jumlah
neurotransmitter di otak yaitu serotonin, norepinefrin, dan dopamin yang
memperantarai suasana perasaan seseorang (Teter et al., 2008).
Neurotansmiter serotonin memperantarai mood, sedasi, nafsu makan,
konsentrasi, memori, dan motivasi. Neurotransmiter norepinefrin
memperantarai konsentrasi, perhatian, dan energi, sedangkan
neurotransmiter dopamin memperantarai efek kesenangan, motivasi, dan
penghargaan. Adanya ketidakseimbangan pada ketiga neurotransmiter
tersebut akan mengakibatkan gangguan pada pola prilaku tertentu
(Durand&Barlow, 2006; NeuroScience, 2010).
Klasifikasi gangguan depresif menurut Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa-III (PPDGJ-III, Departemen Kesehatan)
dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu episode depresi ringan
(F32.0), episode depresi sedang (F32.1), episode depresi berat tanpa
gejala psikotik (F32.2), episode depresi berat dengan gejala psikotik
(F32.3), dan gangguan depresi berulang (F33). Dari Tabel V.3 dapat
diketahui jenis depresi yang paling banyak diderita pasien depresi yang
menjalani rawat jalan di Poli Jiwa RSUD Dr.Soetomo Surabaya periode
1 Juni 2014 – 31 Maret 2015 adalah episode depresi sedang (F32.1)
sebesar 61%. Pada pasien yang didiagnosa episode depresi sedang akan
mengalami sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala utama depresi dan
sekurang-kurangnya 3 (sebaiknya 4) dari gejala lainnya. Pasien dengan
84

episode depresi sedang akan mengalami kesulitan yang nyata untuk


meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga. Selain
itu, sebesar 20% pasien didiagnosis episode depresi ringan (F32.0), 4%
pasien didiagnosis episode depresi berat tanpa gejala psikotik (F32.2),
13% pasien didiagnosis episode depresi berat dengan gejala psikotik
(F32.3), dan 2% mengalami gangguan depresi berulang episode kini
berat tanpa gejala psikotik (F33.2). Pasien yang didiagnosis episode
depresi ringan, hanya mengalami sedikit kesulitan dalam pekerjaan
maupun kegiatan sosial yang biasa dilakukannya, sedangkan pada pasien
dengan diagnosis episode depresi berat tanpa gejala psikotik sangat tidak
mungkin meneruskan kegiatan sosial, urusan rumah tangga kecuali pada
taraf yang sangat terbatas. Pasien yang didiagnosis episode depresi berat
dengan gejala psikotik akan mengalami keluhan waham, halusinasi atau
stupor negatif. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa,
kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa
bertanggungjawab atas hal itu. Halusinasi biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh (Maslim, 2013).
Tujuan dari pengobatan depresi adalah untuk mengurangi
gejala dari depresi akut, memfasilitasi pasien untuk kembali seperti
sebelum timbulnya penyakit, dan mencegah episode lebih lanjut dari
terjadinya depresi (Teter et al., 2008). Pemberian obat antidepresan
dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama karena obat-obat
antidepresan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menimbulkan
efek terapi (Maslim, 2014). Berdasarkan lama terapi, terapi pada pasien
depresi dibagi menjadi 3 fase yaitu fase akut, fase kronis, dan fase
maintenance. Terapi fase akut merupakan terapi pada 6-12 minggu
85

pertama sejak mengkonsumsi obat, fase kronis pada 4 – 9 bulan terapi,


dan fase maintenance pada 1 tahun atau lebih terapi. Pada Gambar 5.8
dapat dilihat dari 44 sampel, sebesar 64% sedang menjalani terapi fase
maintenance, 18% menjalani fase kronis, dan 18% menjalani fase akut.
Pada fase akut terapi bertujuan untuk meredakan gejala, fase kronis
untuk mencegah relaps, dan fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah
rekuren pada pasien (Dirbinfar Komunitas dan Klinik, 2007).
Dari Tabel V.4 dapat dilihat bahwa terapi yang diterima oleh
pasien depresi pada penelitian ini adalah antidepresan golongan TCA
dan SSRI. Antidepresan golongan TCA yang digunakan adalah
amitriptilin yang merupakan antidepresan trisiklik dan maprotilin yang
merupakan antidepresan tetrasiklik. Sedangkan golongan SSRI yang
digunakan adalah fluoksetin dan sertralin. Dari Gambar 5.9 dapat
diketahui bahwa antidepresan yang paling banyak diresepkan kepada
pasien depresi di Poli Jiwa RSUD Dr.Soetomo adalah fluoksetin (82%),
diikuti sertralin (23%). Fluoksetin dan sertralin merupakan antidepresan
golongan SSRI yang digunakan sebagai terapi lini pertama pada
pengobatan depresi (Maslim, 2014), selain itu SSRI memiliki level of
evidence A pada pedoman manajemen depresi (GAC, 2009). Pada
penelitian ini fluoksetin paling banyak diberikan karena merupakan
SSRI yang paling kecil kemungkinannya menyebabkan sindrom putus
obat sebab waktu paruh metabolitnya panjang yaitu lebih dari 1 minggu
dan kadarnya secara efektif turun dengan sendirinya (Licino & Wong,
2005; Sadock et al., 2009). Dari hasil penelitian pada Tabel V.4 dapat
dilihat bahwa penggunaan fluoksetin dan sertralin memiliki beberapa
variasi pada frekuensi dan dosis. Fluoksetin dan sertralin memiliki
86

aktivitas spesifik di dalam inhibisi reuptake serotonin, tanpa efek pada


reuptake norepinefrin dan dopamin, sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi serotonin pada sinaps (Sadock et al., 2004; Nash & Nutt,
2007). Gen yang mengkode transporter serotonin sangat mempengaruhi
respon terapi dari obat-obat SSRI, yaitu SLC6A4/5HTT. Variasi gen
transporter serotonin pada tiap individu dapat menunjukkan respon
terapi yang berbeda pada masing-masing pasien (Perlis, 2007), sehingga
kebutuhan dosis dan frekuensi dapat bervariasi pula.
Disamping fluoksetin dan sertralin, antidepresan yang juga
diberikan kepada pasien depresi dalam penelitian ini adalah amitriptilin
(9%) yang merupakan antidepresan golongan trisiklik dan digunakan
sebagi terapi lini kedua pada pengobatan depresi (Lam et al., 2009;
Maslim 2013). Pada Tabel V.4 dapat dilihat bahwa amitriptilin diberikan
dengan frekuensi 1-2 kali sehari. Amitriptilin mempunyai rentang waktu
paruh yang panjang yaitu antara 5-45 jam sehingga memungkinkan bila
amitriptilin diberikan satu kali dalam sehari (Sadock et al., 2009).
Namun dari hasil penelitian dapat dilihat ahwa frekuensi pemberian
amitriptilin bervariasi antar pasien, hal ini tergantung bagaimana respon
individu pada efek amitriptilin. Antidepresan yang juga diberikan
kepada pasien depresi dalam penelitian ini adalah maprotilin (5%) yang
merupakan antidepresan golongan tetrasiklik dan digunakan sebagai
terapi lini ketiga setelah SSRI dan trisiklik (Maslim, 2014). Maprotilin
mempunyai spektrum antidepresan yang lebih sempit dibandingkan
dengan amitriptilin yang merupakan golongan trisiklik. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan gugus amin pada kedua obat ini.
Amitriptilin mempunyai gugus amina tersier sedangkan maprotilin
87

mempunyai gugus amina sekunder. Gugus amina tersier memiliki


afinitas terhadap serotonin sedangkan gugus amina sekunder memiliki
afinitas terhadap norepinefrin. Amitriptilin dimetabolisme (N-
demetilasi) menjadi metabolit aktif yaitu nortriptilin yang memiliki
gugus amina sekunder, sedangkan maprotilin dimetabolisme menjadi
metabolit tidak aktif yaitu demetilmaprotilin (Siswandono & Soekardjo,
2000; Sadock et al., 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat
pada Tabel V.4, maprotilin diberikan pada pasien dengan dosis 25 mg,
dan frekuensi penggunaan sehari satu kali. Seperti halnya amitriptilin,
maprotilin memiliki waktu paruh yang cukup panjang yaitu 25-50 jam
(Sadock et al., 2009; McEvoy, 2011), sehingga memungkinkan
diberikan satu kali dalam sehari.
Pada Tabel V.5 dapat dilihat terapi obat lain yang diterima oleh
pasien depresi yaitu berupa anti cemas dan antipsikotik. Sebagian besar
pasien depresi mendapatkan benzodiazepin yang merupakan anti cemas
sebagai terapi kombinasi dengan antidepresan. Kecemasan merupakan
salah satu gejala klinis yang juga dialami oleh pasien depresi, sehingga
pemberian benzodiazepin bertujuan untuk mengatasi gejala cemas yang
muncul pada pasien. Selain itu, pemberian benzodiazepin yang
dikombinasi dengan antidepresan golongan SSRI bertujuan untuk
memberikan efek sedasi pada pasien depresi yang tidak didapatkan dari
obat-obat golongan SSRI (Shiloh et al., 2006; McEvoy, 2011).
Golongan benzodiazepin yang diterima oleh pasien depresi antara lain
klobazam, lorazepam, diazepam, dan alprazolam. Dari keempat jenis
benzodiazepin tersebut, alprazolam memiliki efek yang poten untuk
mengatasi gangguan tidur, selain itu alprazolam juga memiliki efek
88

antidepresi. Klobazam digunakan untuk pasien dewasa dan lansia yang


ingin tetap beraktifitas karena efek sedasinya yang minimal. Selain anti
cemas, obat lain yang diterima oleh pasien depresi dalam penelitian ini
adalah antipsikotik, antara lain trifluoperazin dan haloperidol yang
merupakan antipsikotik 1st generation serta klozapin dan risperidon
yang merupakan antipsikotik 2nd generation. Antipsikotik 1st
generation/tipikal bekerja pada reseptor dopamin, sedangkan
nd
antipsikotik 2 generation/atipikal bekerja pada reseptor dopamin dan
juga serotonin. Kelebihan antispikotik atipikal adalah angka kejadian
EPS lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan antipsikotik tipikal.
Kombinasi antidepresan dengan antipsikotik berguna pada pasien yang
menderita episode depresif berat dengan gejala psikotik. Disamping itu,
beberapa pasien juga mendapatkan triheksifenidil sebagai antidotum
extrapyramidal syndrome yang merupakan efek samping dari
penggunaan antipsikotik (McEvoy, 2011).
Dalam memilih terapi antidepresan baik tunggal maupun
kombinasi dengan anticemas dan/atau antipsikotik pada pasien depresi,
harus mempertimbangkan beberapa hal diantaranya respon pada terapi
sebelumnya, keamanan pada pasien terkait efek samping, usia pasien,
kondisi medis/kejiwaan, kemungkinan adanya interaksi obat,
kenyamanan, biaya, dan yang terakhir adalah permintaan pasien
(Alldredge et al., 2013). Pada Tabel V.6 dijabarkan terapi obat
tunggal/kombinasi dikaitkan dengan jenis depresi yang diderita oleh
pasien. Dari tabel dapat dilihat bahwa terdapat pasien dengan diagnosis
depresi baik ringan, sedang, dan berat tanpa gangguan psikotik namun
mendapatkan terapi obat antipsikotik. Hal ini dapat terjadi karena
89

sebelumnya pasien memiliki riwayat depresi dengan gejala psikotik,


sehingga terapi antipsikotik masih diterima oleh pasien sebagai fase
maintenance untuk mempertahankan kondisi agar tetap stabil dan
mencegah terjadinya relaps.
Pada Tabel V.7 dapat dilihat penggunaan antidepresan baik
tunggal maupun kombinasi yang dikaitkan dengan data klinik pasien.
Dari data klinik yang didapat, amitriptilin diberikan kepada pasien
depresi yang mengalami gejala klinik nafsu makan menurun, gangguan
tidur, dan adanya ide bunuh diri dengan kombinasi bersama lorazepam
dan klobazam. Amitriptilin bekerja dengan menghambat re-uptake dari
serotonin dan norepinefrin pada sela sinaps di ujung-ujung saraf (Sadock
et al., 2009) sehingga dapat meningkatkan kadar neurotransmiter
tersebut dalam reseptor CNS (Liebelt et al., 2008). Amitriptilin
mempunyai efek sedasi yang tinggi (Shiloh 2006; Maslim 2014),
sehingga dapat diberikan tunggal pada pasien depresi yang mengalami
gangguan tidur tanpa dikombinasikan dengan golongan benzodiazepin.
Amitriptilin dapat diberikan kepada pasien usia muda, dan bermanfaat
untuk meredakan depresi yang disertai gelisah (Maslim, 2014). Dari
hasil penelitian pada Tabel V.7 didapatkan data bahwa penggunaan
maprotilin diberikan kepada pasien yang mengalami nafsu makan
menurun dan gangguan tidur. Maprotilin bekerja dengan menghambat
re-uptake noradrenalin pada sela sinaps di ujung-ujung saraf (Sadock et
al., 2009) dan tidak mempengaruhi re-uptake serotonin (McEvoy, 2011).
Maprotilin juga memiliki efek sedasi yang kuat (Aronson, 2005; Shiloh,
2006; Maslim 2014) sehingga dapat diberikan secara tunggal kepada
pasien yang mengalami gangguan tidur. Dalam penelitian ini, pasien
90

yang mendapatkan terapi tunggal maprotilin berada dalam fase terapi


maintenance dan dalam kondisi stabil sehingga tidak terdapat gejala
klinis yang muncul. Selain diberikan tunggal, satu orang pasien
mendapatkan terapi kombinasi maprotilin dengan lorazepam untuk
mengatasi gangguan tidur dan gejala cemas pada pasien.
Pemberian fluoksetin dan sertralin kepada pasien depresi baik
secara tunggal maupun kombinasi dengan anti cemas dan/atau
antipsikotik dapat dilihat pada Tabel V.7. Dari hasil penelitian, sebanyak
4 pasien mendapatkan fluoksetin sebagai terapi tunggal dan 1 pasien
mendapatkan sertralin sebagai terapi tunggal. Berdasarkan data yang
tertera pada DMK, pasien sedang berada di fase maintenance dan dalam
kondisi satabil. Selain itu, fluoksetin dan sertralin diberikan bersama
klobazam, lorazepam, alprazolam dan diazepam pada pasien yang
menunjukkan gejala depresi dengan kecemasan serta mengalami
gangguan tidur karena fluoksetin dan sertralin tidak memiliki efek
sedasi. Fluoksetin diberikan bersama antipsikotik kepada pasien yang
menunjukkan gejala psikotik seperti waham dan halusinasi, serta ide-ide
bunuh diri. Namun pada beberapa pasien yang menerima kombinasi
antidepresan dan antipsikotik, gejala psikotik tidak terlihat (tidak tertera
pada DMK), hal ini dikarenakan pasien sedang dalam fase terapi
maintenance dan dalam kondisi stabil sehingga tidak terdapat gejala
yang dikeluhkan oleh pasien.
Selama menjalani terapi di Poli Jiwa, pasien dapat mengalami
perubahan terapi obat sesuai dengan kondisi pasien saat melakukan
kontrol. Perubahan terapi obat meliputi jenis obat dan dosis obat yang
diterima pasien dijabarkan pada Tabel V.8. Dari tabel dapat dilihat
91

perubahan jenis obat yang diterima pasien meliputi penghentian


antipsikotik yang ditemukan pada 1 orang pasien, disebabkan karena
gejala psikotik sudah tidak dialami oleh pasien. Selain itu antipsikotik
yang diganti dengan anticemas juga ditemukan pada 1 pasien karena
pasien merasakan kesemutan di leher hingga kepala. Peghentian
anticemas ditemukan pada beberapa pasien dikarenakan pasien sudah
tidak lagi mengalami gangguan tidur maupun kegelisahan/cemas. Selain
penghentian anticemas, penambahan anticemas juga ditemukan pada
pasien karena mengeluhkan gangguan tidur yang sebelumnya hanya
mendapatkan terapi antidepresan fluoksetin yang tidak memiliki efek
sedasi. Selain perubahan jenis obat, perubahan dosis juga ditemukan
pada 2 pasien, yaitu 1 pasien mengalami perubahan dosis amitriptilin
25mg/hari menjadi 12,5 mg/hari dan 1 pasien mengalami perubahan
dosis fluoksetin 20 mg/hari menjadi 10 mg/hari. Perubahan dosis
amitriptilin dilakukan karena pasien mengalami ESO dari amitriptilin
berupa mulut kering, sedangkan perubahan dosis pada fluoksetin
dilakukan karena pasien mengalami perbaikan kondisi sehingga
dilakukan tapering off fluoksetin. Pada beberapa pasien tidak diketahui
alasan perubahan terapi dikarenakan informasi yang tertera pada DMK
sangat terbatas, diantaranya perubahan terapi fluoksetin dan risperidon
menjadi sertralin dan klozapin, serta perubahan terapi maprotilin
menjadi sertralin. Perubahan terapi dapat disebabkan karena adanya
reaksi hipersensitivitas pada terapi awal atau juga dapat disebabkan
karena terapi awal yang tidak adekuat sehingga pasien tidak mengalami
perbaikan selama menjalani terapi (McEvoy, 2011; Maslim 2014).
92

Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi problema obat


terkait efek samping obat baik potensial maupun aktual yang dijabarkan
pada Tabel V.9 dan V.10. Efek antikolinergik, sedasi, hipotensi
ortostatik, takikardi, dan tremor berpotensi pada pasien yang
mendapatkan terapi amitriptilin (9%) dan maprotilin (5%), namun
amitriptilin memiliki potensi yang lebih besar menimbulkan efek
samping tersebut dibandingan maprotilin (Shiloh et al., 2006; Maslim,
2014). ESO potensial tersebut dikarenakan kedua obat ini merupakan
antagonis kompetitif pada reseptor muskarinik asetilkolin, Histamin H1 ,
dan reseptor α1 dan ß2 adrenergik (Sadock et al., 2009). Pasien yang
menerima obat golongan SSRI yaitu fluoksetin (82%) dan sertralin
(23%) berpotensi mengalami withdrawal syndrome seperti pusing,
lemah, mual, sakit kepala, depresi rebound, ansietas, insomnia,
konsentrasi buruk, dan gejala pernapasan atas bila penggunaan kedua
obat ini dihentikan secara tiba-tiba (Sadock et al., 2009; McEvoy, 2011).
Oleh karena itu, penghentian kedua obat ini harus dilakukan dengan
tappering dose. Selain itu, penggunaan obat golongan SSRI juga
berpotensi menyebabkan mual, muntah, gangguan pencernaan, pusing,
dan disfungsi seksusal seperti menurunnya libido pada perempuan dan
gangguan ejakulasi pada laki-laki (Aronson, 2005; Shiloh et al., 2006;
McEvoy, 2011). Dari hasil penelitian pada Tabel V.10, ditemukan 3
pasien yang mengalami efek samping aktual, yaitu satu orang pasien
mengalami ESO amitriptilin yaitu mulut kering akibat efek
antikolinergik, satu orang pasien mengalami depresi rebound akibat
peurunan dosis fluoksetin, dan satu orang pasien mengalami ESO
fluoksetin yaitu mual, kembung, dan sakit kepala.
93

Problema obat yang juga diidentifikasi dalam penelitian ini


adalah interaksi obat. Interaksi yang potensial terjadi adalah interaksi
antara sertralin dengan antipsikotik klozapin dengan level signifikansi
mayor yang dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari klozapin,
sehingga pemberian kombinasi kedua obat ini harus diperhatikan dan
dimonitor efek samping, serta dilakukan penurunan dosis klozapin
apabila diperlukan. (Tatro, 2003; McEvoy, 2011).
Outcome terapi pada penelitian ini dilihat berdasarkan data
klinik pasien yang tercatat pada DMK. Lebih dari 75% pasien
mengalami perbaikan dikaitkan dengan gejala klinis yang tertera pada
DMK, kecuali pada gangguan tidur, hanya 46% pasien yang mengalami
perbaikan pada pola tidurnya. Outcome terapi pada pasien depresi sangat
bergantung dari kepatuhan pasien dalam menjalani terapi, baik dalam
mengkonsumsi obat maupun kontrol. Pasien harus rutin melakukan
kontrol sesuai jadwal yang telah ditetapkan, agar outcome terapi dapat
dipertahankan dan ditingkatkan, selain itu terapi non farmakologis juga
perlu diberikan kepada pasien. Terapi non farmakologi diantaranya
terapi fisik dan terapi perubahan perilaku, serta psikoterapi. Psikoterapi
merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau
mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan
psikologik atau pola perilaku maladaptif. . Psikoterapi pada penderita
gangguan depresif dapat diberikan secara individu, kelompok, atau
pasangan disesuaikan dengan gangguan psikologik yang mendasarinya.
Psikoterapi dilakukan dengan memberikan kehangatan, empati,
pengertian dan optimisme. Dalam pengambilan keputusan untuk
94

melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dari dokter


atau penderitanya (Dirbinfar Komunitas dan Klinik, 2007).
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada periode 1 Juni 2014 – 31 Maret 2015 dengan
jumlah sampel 44 pasien, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. a) Terapi antidepresan yang digunakan di Poli Jiwa RSUD Dr.
Soetomo adalah amitriptilin (9%) dengan dosis 12,5-25 mg
(frekuensi 1-3 kali/hari), maprotilin (5%) dengan dosis 25 mg
(frekuensi 1 kali/hari), fluoksetin (82%) dengan dosis 10-20 mg
(frekuensi 1-2 kali/hari), dan sertralin (23%) dengan dosis 25-
50 mg (frekuensi 1-2 kali/hari).
b) Amitriptilin dan maprotilin diberikan kepada pasien depresi
dengan cemas, gangguan tidur, dan gangguan makan.
Fluoksetin dan sertralin diberikan kepada pasien depresi yang
masih ingin beraktifitas (bekerja). Kombinasi fluoksetin dan
sertralin dengan anticemas diberikan kepada pasien depresi
dengan gejala cemas. Kombinasi fluoksetin dan sertralin
dengan antipsikotik diberikan kepada pasien depresi dengan
gejala psikotik.
2. a) Efek samping aktual yang ditemukan dalam penelitian ini
meliputi mulut kering akibat pemberian amitriptilin, depresi
rebound akibat penurunan dosis fluoksetin, serta mual,
kembung, dan sakit kepala akibat pemberian fluoksetin.
b) Efek samping yang potensial terjadi pada pemberian amitriptilin
(9%) dan maprotilin (5%) adalah efek antikolinergik, hipotensi
ortostatik, sedasi, takikardi, tremor dan sakit kepala. Efek
95
96

samping potensial terkait pemberian fluoksetin (82%) dan


sertralin (23%) adalah insomnia, withdrawal, mulut kering,
mual, muntah, gangguan pencernaan, disfungsi seksual, pusing
dan gelisah.
c) Interaksi yang potensial terjadi adalah interaksi antara sertralin
dengan antipsikotik klozapin yang dapat meningkatkan
konsentrasi plasma dari klozapin.
7.1 Saran
Dari hasil penelitian disarankan :
1. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai tapering off dosis
antidepresan pada kasus depresi
2. Perlunya monitoring efek samping obat terhadap penggunaan
antidepresan pada kasus depresi.
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, Brian K., Corelli, Robin L., Ernst, Michael E., Guglielmo, B.
Joseph., Jacobson, Pamala A., Kradjan, Wayne A., Williams,
Bradley R. 2013. Koda Kimble & Young’s Applied
Therapeutics The Clinical Use of Drugs. 10th Ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins Inc.

American Society of Health-System Pharmacists. 2011. Drug


Information Essentials. Bethesda, Meryland: American
Society of Health-System Pharmacists

Aronson, JK. 2005. Myler’s Side Effects of Drugs The International


Encyclopedia of Advers Drug Reactions and Interactions.
14th Ed. Oxford, United Kingdom

Arozal, W. & Gan, S., 2009. Psikotropik. In: S. G. Gunawan, R.


Setiabudy & Nafrialdi, eds. Farmakologi dan terapi. Jakarta:
Balai Penernit FKUI, p. 171.

Attard, Azizah. 2012. Treatment Strategies and Psychopharmacology,


Medicine, Vol. 40 No. 12, pp. 681-683

Bambico, F.R., Nguyen, N.T., Gobbi, G., 2009b. Decline in serotonergic


firing activity and desensitization of 5-HT1A autoreceptors
after chronic unpredictable stress, European
Neuropsychopharmacology: Journal of the European
College of Neuropsychopharmacology, Vol. 19, pp. 215–
228.

Bailie, George R., Johnson,Curtis A., . Mason, Nancy., St. Peter, Wendy
L. 2004. Med Facts Pocket Guide of Drug Interactions. 2nd
Ed

Bateman, D. Nicholas. 2007. Poisonous Substances, Medicine, Vol. 33


No. 11, pp. 587-589.

97
98

Bennet, Paul. 2006. Abnormal and Clinical Psychology An


Introductory Textbook. 2nd Ed. New York: Open University
Press

Brigitta Bondy, M., 2002. Pathophysiology of Depression and


Mechanisms of Treatment, Dialogues in Clinical
Neuroscience, Vol. 4 No. 1, pp. 7-20.

Caspi, A., Hariri, A.R., Holmes, A., Uher, R., Moffitt, T.E. 2010.
Genetic Sensitivity to The Environment: The Case of The
Serotonine Transporter Geneand Its Implications for Studying
Complex Diseaseand Traits, American Journal of
Psychiatry, Vol 167, pp 509-527.

Caspi, A., Sugden, K., Moffitt, T.E., Taylor, A., Craig, I.W., Harrington,
H., McClay, J., Mill, J., Martin, J., Braithwaite, A., Poulton,
R., 2003. Influence of life stress on depression: moderation by
a polymorphism in the 5-HTT gene, Science Vol. 301, pp.
386–389.

Cipriani, A., Furukawa, T.A., Salanti, G., Geddes, J.R., Higgins, J.P.T.,
Churchill, R.,Watanabe, N., Nakagawa, A., Omori, I.M.,
McGuire, H., Tansella, M., Barbui, C., 2009. Comparative
efficacy and acceptability of 12 new-generation
antidepressants: a multiple-treatments meta-analysis. Lancet
Vol. 373, pp. 746–758.

CNSForum. Diakses dari


https://www.cnsforum.com/educationalresources/image bank,
pada tanggal 10 Oktober 2014.

Davidson, G. C., Neale, J. M. & Kring, A. M., 2006. Abnormal


Psychology. 9th Ed. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
99

DeBatista, Charles. 2012. Antidepressant Agents, In: Katzung, Bertram


G., Masters, Susan B., Trevor, Anthony J (Eds). Basic &
Clinical Pharmacology, 12th Ed, United States: The
McGraw-Hill Companies Inc.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2007. Pharmaceutical


Care Untuk Penderita Gangguan Depresif. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik

Durand, V. M. & Barlow, D. H., 2006. Intisari Psikologi Abnormal. 4th


ed. Diterjemahkan oleh Soetjipto, Helly Prajitmo dan
Soetjipto, Sri Mulyantini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Guideline Advisory Comitee. 2009. Summary of Recommended


Guidline Depression: Management of Moderate to Severe
Depression. Ontario: Guideline Advisory Comitee

Hankin, Benjamin L., Abramson, Lyn Y., 2001. Development of Gender


Differences in Depression: An Elaborated Cognitive
Vulnerability-Transactional Stress Theory, Psychological
Bulletin, Vol. 127 No. 6, pp. 773-796.

Holmes, A., 2008. Genetic variation in cortico-amygdala serotonin


function and risk for stress-related disease, Neuroscience and
Biobehavioral Reviews, Vol. 32, 1293–1314.

Juruena, Mario F., 2013. Early-life stress and HPA axis trigger recurrent
adulthood depression, Epilepsy and Behavior, Vol. 38, pp.
148-159.

Kasch, K.L., Rottenberg, J., Anrow, B. A., & Gotlib, I. H., 2002.
Behavioral Activation and Inhibition System and The
Severity and Course of Depression, Journal of Abnormal
Psychology, Vol. 111, pp. 589-597.
100

Kementerian Kesehatan Repunlik Indonesia. 2013. Laporan Hasil Riset


Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diakses dari


http://www.depkes.go.id/article/print/201410270010/lighting-
the-hope-for-schizoprenia-warnai-peringatan-hari-kesehatan-
jiwa-tahun-2014.html , pada tanggal 10 Oktober 2014.

Kessler, R.C., Berglund, P., Demler, O., Jin, R., Koretz, D., Merikangas,
K.R., Rush, A.J., Walters, E.E., Wang, P.S., National
Comorbidity Survey, R. 2003. The Epidemiology of Major
Depressive Disorder: Results From The National Comorbidity
Survey Replication (NCS-R), Journal of the American
Medical Association, Vol. 289, pp. 3095–3105.

Lesch, K.P., 2004. Gene-environment interaction and the genetics of


depression. Journal of Psychiatry & Neuroscience, Vol. 29,
pp. 174–184.

Licino, Julio., Wong, Ma-Li.,2005. Biology of Depression. From Novel


Insights to Therapeutic Strategies. Weinheim: Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co. KGaA

Liebelt, Erica L., 2008. An Update on Antidepressant Toxicity: An


Evolution of Unique Toxicities to Master, Clinical Pediatric
Emergency Medicine, pp. 24-34

Lobo-Escolar, A., Roy, J.F., Saz, P., De-la-Camara, C., Marcos, G.,
Lobo, A. 2008. Association Of Hypertension With
Depression in Community-Dwelling Elderly Persons: Result
fom ZARADEMP project, Psychoter. Psychosom, Vol 77, pp
323-325.
101

Lubis, Namora Lumongga. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.

Lupien, S.J., McEwen, B.S., Gunnar, M.R., Heim, C., 2009. Effects of
Stress Throughout The Lifespan on The Brain, Behaviour and
Cognition, Nature Reviews. Neuroscience, Vol. 10, pp. 434–
445.

Luschinger, J. A., Honig, L.S., Tang, M.X., Devanand, D.P., 2008.


Depressive Symptoms, Vascular Risk Factors, and
Alzheimer’s Disease, Int.J. Geriatr.Psychiatry, Vol 23, pp
922-928.

Mahar, Ian., Bambico, Francis Rodriguez., Mechwar, Naguib., Nobrega,


Jose N., 2013. Stress, serotonin, and hippocampal
neurogenesis in relation to depression and antidepressant
effects, Neuroscience and Biobehavioral Reviews, Vol. 38,
pp. 173-192.

Maslim, Rudi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan


Ringkas dari Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa III dan Diagnostic and Statistical Manual V. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Maslim, Rusdi. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat


Psikotropik (Psuchotropic Medication). Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

McGrath LM., Cornelis MC., Lee PH., Robinson EB., Duncan


LE., Barnett JH., Huang J., Gerber G., Sklar P., Sullivan
P., Perlis RH., Smoller JW. 2013. Genetic Predictors Of Risk
And Resilience In Psychiatric Disorders: A Cross-Disorder
Genome-Wide Association Study Of Functional Impairment
In Major Depressive Disorder, Bipolar Disorder, And
102

Schizophrenia, American Journal of Medical Genetic B


Neuropsychiatric Genetics, Vol 126B, pp 779-788

Montgomery, S.A., Baldwin, D.S., Blier, P., Fineberg, N.A., Kasper, S.,
Lader, M., Lam, R.W., Lépine, J.P., Möller, H.J., Nutt, D.J.,
Rouillon, F., Schatzberg, A.F., Thase, M.E., 2007. Which
antidepressants have demonstrated superior efficacy? A
review of the evidence, International Clinical
Psychopharmacology, Vol. 22, pp. 323–329.

Nash, Jon., Nutt, David. 2007. Specific Treatments and Disorders,


Psichiatry, Vol. 6 No. 7, pp 289-294

Neal, Michael J., 2006. Medical Pharmacology At a Glance. 7th Ed.


London: John Wiley & Sons, Ltd, p. 60.

Paul, I.A., Skolnick, P., 2003. Glutamate and Depression: Clinical and
Preclinical Studies, Ann.N.Y.Acad.Sci, Vol. 1003, 250–272.

Perlis, Roy H. 2007. Pharmacogenetics Studies of Antidepressant


Response: How Far from The Clinic?, Psychiatric Clin N
Am, Vol 30, pp 125-138

Reus, Victor I., 2012. Psychiatric Disorders. In: Longo, Dan L., Kasper,
Dennis L., Jameson, J. Larry., Fauci, Anthony S., Hauser,
Stephen L., Loscalzo, Joseph (Eds). Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 18th Ed, United States: The McGraw-Hill
Companies Inc.

Richards, C.Steven., O’Hara, Michael W., 2014. The Oxford Handbook


of Depression and Comorbidity. New York: Oxford
University Press.
103

Sadock, Benjamin J., Sadock, Virgina A., 2004. Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Diterjemahkan oleh Profitasari dan Nisa, Tiara
Mahatmi. Jakarta: EGC

Sadock, Benjamin J., Sadock, Virgina A., Ruiz, Pedro. Eds. 2010.
Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical
Psychiatry, 9th Ed. New York: Lippincott Williams &
Wilkins Inc.

Shann, Frank. 2014. Drug Doses. Austalia: Intensive Care Unit Royal
Children’s Hospital

Shepherd, Janet E. 2001. Effects of Estrogen on Cognition, Mood, and


Degenerative Brain Disease, J Am Pharm Association, Vol.
41 No.2

Shiloh, Roni., Stryjer, Rafael., Weizman, Abraham., Nutt, David. 2006.


Atlas of Psychiatric Pharmacotherapy, 2nd Ed. United States:
Taylor & francis

Siswandono., Soekardjo, Bambang. 2000. Kimia Medisinal. Surabaya:


Airlangga University Press

Spina, E., Avenoso, A., Scordo, MG. 2002. Inhibition of Risperidone


Metabolism by Fluoxetine in Patients With Scizophrenia: A
Clinically Relevant Pharmacokinetic Drug Interaction, J Clin
Psychopharmacology, 22, pp 419-423

Tatro, David S. 2003. A to Z Drug Facts. San Francisco: Facts and


Comparations

Teter, Cristian J., Kando, Judith C., Wells, Barbara G., Hayes, Peggy E.,
2008. Depressive Disorder. In: Dipiro, Joseph T., Talbert,
Robert L., Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara G.,
104

Posey, L. Michael (Eds). Pharmacotherapy A


Pathophysiologic Approach, 7th Ed, New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc, pp. 1123-1140.

Topuzoğlu, Ahmet., Binbay, Tolga., Ulaşb, Halis., Elbi, Hayriye., Tanık,


Feride Aksu., Zağlıe, Nesli., Alptekin, Köksal. 2015. The
Epidemiology of Major Depressive Disorder and
Subthreshold Depression in Izmir, Turkey: Prevalence,
Socioeconomic Differences, Impairment And Help-Seeking,
Journal of Affective Disorders, 181, pp 78-86

Trilistya, Sholikhin. 2006. Tingkat Depresi Korban Tanah Longsor Di


Banjarnegara Artikel Karya Tulis Ilmiah. Semarang.
Semarang: Fakultas Kedokeran Universitas Diponegoro

World Health Organisation. 2008. The Global Burden of Disease: 2004


Update. WHO
LAMPIRAN 1

LEMBAR KELAIKAN ETIK

105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116

Anda mungkin juga menyukai