Bab 2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 37

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hubungan Sosial

1. Pengertian Hubungan Sosial

Sebagai mahluk sosial, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari

manusia selalu berhubungan dengan lingkungannya. Baik dengan manusia

lainnya maupun dengan alam sekitarnya. Dengan kata lain manusia

tergantung dan membutuhkan manusia lain. Agar dapat bergantung dan

diterima oleh lingkungannya manusia selalu menyesuaikan diri dengan

lingkungan tempat dia tinggal dan berhubungan antara satu dengan yang

lain.

Kata hubungan sosial berasal dari bahasa Inggris yaitu

“interaction” yang artinya saling mempengaruhi atau pengaruh timbal

balik antara dua pihak. Sedangkan hubungan sosial diartikan sebagai

pengaruh timbal balik antara individu atau kelompok melalui metode

komunikasi.1

Kata hubungan berasal dari bahasa inggris yakni Interaction yang

terdiri dari inter dan action. Inter artinya antara dan action artinya

tindakan, ini dapat diartikan bahwa hubungan merupakan tindakan antara

satu sama lain.2 Menurut Kamus Ilmiah Popular hubungan adalah “hal

sewaktu melakukan aksi, hubungan, mempengaruhi antar hubungan.

1
Hassan Shadelly, Enslikopedia Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 1462.
2
Barbara Agusti, Kamus Lengkap Bahasa Inggris (Surabaya: Mega Prass, 2004), 14.

11
12

Dengan demikian hubungan adalah suatu tindakan antara satu sama lain

yang berhubungan dan saling mempengaruhi”.3

Menurut Soleman B. Taneko, dalam bukunya yang berjudul

Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan

menyatakan bahwa:

Hubungan merupakan sarat terjadinya proses sosial atau aktivitas-


aktivitas sosial. Di dalam hubungan sosial terkandung makna
tentang kontak secara timbal balik (inter-stimulasi) dan respon
antar individ-individu atau kelompok-kelompok. Hubungan
diartikan sebagai aksi-reaksi di antara individu-individu. Dengan
kata lain, hubungan terjadi apabila individu berbuat sedemikian
rupa sehingga menimbulkan reaksi dari orang atau individu yang
lain.4

Hubungan sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh

karena itu tanpa hubungan sosial tidak mungkin adanya kehidupan

bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka tidak akan

menghasilkan pergaulan hidup suatu kelompok sosial. Pergaulan baru

akan terjadi apabila individu atau kelompok bekerjasama, saling

berkomunikasi untuk mencapai tujuan masing-masing, bahkan mungkin

terjadinya persaingan, pertikaian, pertentangan di antara individu atau

kelompok.

Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soerjono Soekanto,

mendefinisikan hubungan sosial yaitu “hubungan-hubungan sosial yang

dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan,

3
Mas’ud Khasan. Kamus Ilmiah Populer (Jakarta: Bintang Pelajar, 2010), 138.
4
Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 110.
13

antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan

dengan kelompok manusia”.5

Dewi Wulansari, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi (Konsep

dan Teori) menjelaskan bahwa:

Hubungan sosial bersifat dinamis di mana lebih dari dua individu


bertemu, maka akan terjadi hubungan, pada saat keduanya saling
tegur sapa, saling berjabat tangan, dan saling berbicara. Walaupun
orang-orang yang bertatap muka tersebut tidak saling berbicara
atau saling menukar tanda-tanda hubungan sosial telah terjadi, oleh
karena masing-masing pihak sadar akan adanya pihak lain yang
menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun syaraf
orang-orang yang bersangkutan.6

Berlangsungnya suatu proses hubungan didasarkan pada berbagai

faktor antara lain imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Faktor-faktor

tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam

keadaan bergabung. Imitasi adalah kecenderungan dalam diri seseorang

untuk menjadi sama dengan orang lain dengan kata lain secara tidak

disadari seseorang mengambil sikap, sifat, norma, pedoman hidup dan

sebagainya. Sugesti adalah dorongan yang berasal dari dirinya yang

kemudian diterima oleh orang lain dan dijadikan pedoman untuk

berhubungan.

Sedangkan identifikasi mempunyai peranan penting yaitu dapat

mendorong seseorang mematuhi nilai-nilai yang berlaku, tetapi juga dapat

melemahkan atau dapat mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.

Simpati merupakan perasaan tertariknya individu terhadap individu lain.

5
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV. Rajawali, 2012), 55.
6
Dewi Wulansari, Sosiologi (Konsep dan Teori) (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), 34.
14

Hal tersebut merupakan faktor minimal yang menjadi dasar bagi

keberlangsungan proses hubungan sosial, walaupun kenyataanya proses

tersebut sangat komplek sehingga terkadang sulit mengadakan pembedaan

tegas antara faktor-faktor tersebut.

Jadi hubungan merupakan hubungan-hubungan sosial yang

dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara

kelompok sosial, maupun antara perorangan dan kelompok sosial. Suatu

hubungan sosial dimungkinkan terjadi karena dua hal yakni kontak sosial

dan komunikasi.

2. Syarat-syarat Hubungan Sosial

Pada dasarnya pertemuan individu dengan individu lainnya

Nampak dalam suatu kontak sosial yang disertai adanya komunikasi, oleh

karena itu hubungan baru dapat terjadi jika telah terpenuhi syarat-syarat

berikut:7

a. Ada kontak sosial

Kontak sosial berasal dari bahasa latin “con” atau “cum” yang

berarti bersama-sama dan “tango” yang artinya menyentuh. Dengan

demikian, secara harifah kontak sosial berarti bersama-sama

menyentuh, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah.

Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau

kelompok yang mempunyai makna bagi pelakunya, yang kemudian

ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Pengangkapan makna

7
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 58-61.
15

tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Kontak

dapat terjadi secara langsung yakni melalui gerakan dari fisik

seseorang (action of physical organism).

Secara fisik kontak baru akan terjadi apabila terjadi hubungan

badaniah. Selain itu kontak juga dapat terjadi dengan tanpa adanya

hubungan badaniah atau tanpa menyentuhnya seperti halnya

berhubungan melalui telepon, telegraf, radio, televisi, webcam, internet

dan lainnya.

Terjadinya suatu kontak tidak semata-mata mengandalkan

kontak secara fisik saja tetapi yang paling mendasar adalah tanggapan

terhadap tindakan tersebut. Seseorang dapat saja bersalaman dengan

patung atau main mata dengan orang buta sampai berjam-jam lamanya

tanpa menghasilkan suatu kontak. Dengan kata lain kontak disini

adalah sutu kontak yang menghasilkan suatu tanggapan sehingga

terjadi suatu hubungan sosial.

Sudah dijelaskan diatas bahwa kontak merupakan tahap

pertama dari terjadinya hubungan sosial. Kontak sosial tidak hanya

berlangsung dalam tahap orang perorangan tetapi antar kelompok

manusia dengan kelompok lain.

b. Ada komunikasi

Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan, pikiran

atau perasaan dari satu pihak ke pihak lain, sehingga terjadi pengertian

bersama. Komunikasi mempunyai peranan yang penting, karena

seseorang bisa memberikan tafsiran pada perilaku orang lain yang


16

berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah, atau sikap perasaan

yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Kemudian orang lain

memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh

orang tersebut. Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan

perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau orang perseorangan

atau kelompok tersebut.

Berlangsungnya suatu hubungan sosial terutama antara

individu dengan individu atau individu dengan kelompok atau

kelompok dengan kelompok disadari oleh beberapa faktor, yakni

faktor peniruan, faktor sugesti, faktor identifikasi, dan faktor simpati.8

Manusia merupakan mahluk yang saling menggantungkan

hidupnya satu sama lain. Keinginan dan kebutuhan yang dimilikinya

tidak mungkin dapat dipenuhi tanpa bantuan orang lain. Untuk

mewujudkannya, ia berupaya menyampaikan keinginan tersebut

kepada orang lain baik secara verbal maupun simbol-simbol tertentu,

sehingga orang lain dapat memahaminya dan meresponnya, ketika

itulah terjadi komunikasi.

Komunikasi adalah proses pengiriman berita dari seseorang

kepada orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari kita lihat komunikasi

ini dalam bentuk percakapan antara dua orang, pidato dari ketua

kepada anggota rapat, berita yang dibacakan oleh penyiar televisi atau

radio dan sebagainya.9

8
Wulansari, Sosiologi (Konsep dan Teori), 37.
9
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Ilmu Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 86.
17

Komunikasi muncul setelah kontak langsung, terjadinya kontak

berarti telah ada komunikasi, itu timbul apabila individu memberi

penafsiran pada prilaku individu lain. Dengan tafsiran tadi, lalu

seseorang itu mewujudkan reaksi terhadap perasaan yang ingin

disampaikan oleh orang lain itu.10 Soleman B. Taneko menyatakan

bahwa:

Komunikasi merupakan suatu kegiatan manusia yang


sedemikian otomatis. Dengan berkomunikasi orang dapat,
menyampaikan pengalamannya pada orang lain, sehingga
pengalaman itu menjadi milik orang lain pula tanpa harus
mengalaminya sendiri. Melalui komunikasi orang dapat
merencanakan masa depannya, membentuk kelompok dan
lainnya. Dengan komunikasi pula orang dapat menyampaikan
informasi, opini, ide, konsepsi, pengetahuan, perasaan, sikap,
perbuatan dan sebagainya kepada sesamanya secara timbal
balik.11

Komunikasi terjadi apabila seseorang memberi arti pada

kegiatan orang lain serta perasaan-perasaan apa saja yang ingin

disampaikan oleh orang tersebut, orang yang bersangkutan kemudian

memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh

orang tersebut.

Arti yang terpenting dari komunikasi adalah bahwa seseorang

memberikan tafsiran kepada perilaku orang lain (yang berwujud

pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap) perasaan-perasaan apa

yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan

10
Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 111.
11
Wijaya, Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 5-
6.
18

kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan-perasaan yang ingin

disampaikan oleh orang lain tersebut.12

Menurut Harley dalam buku karya Sarlito Wirawan, ada

beberapa jenis komunikasi, yaitu “komunikasi antar individu dengan

individu, antar individu dengan massa. Misalnya dalam berpidato

kuliah dan komunikasi antar kelompok atau antar massa, misalnya

antara para penyuluh pertanian dengan para petani”.13

Dari berbagai jenis komunikasi ini, komunikasi antar individu

yang berlangsung secara tatap muka adalah yang paling lengkap dan

mengandung faktor psikologi. Dalam komunikasi model ini, terdapat

peran yang harus dijalankan oleh pihak pemberi dan penerima

informasi, seperti suami dengan istri, majikan dengan pembantu.

Dalam komunikasi, diperlukan sikap saling terbuka antara kedua pihak

agar tercipta kelancaran komunikasi. Komunikasi yang didasari rasa

saling suka lebih berhasil dari komunikasi yang awalnya sudah tidak

saling menyukai.

3. Bentuk-bentuk Hubungan Sosial

Bentuk-bentuk hubungan sosial dapat berupa kerjasama,

persaingan, bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian.

Suatu pertikaian mungkin mendapat suatu penyelesaian. Mungkin

penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu,

12
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 60.
13
Sarwono, Pengantar Ilmu Psikologi, 193.
19

proses ini dinamakan akomodasi. Suatu keadaan tersebut dapat dianggap

sebagai bentuk keempat dari hubungan sosial. Dibawah ini akan dijelaskan

bentuk-bentuk hubungan, yaitu

a. Kerja sama (cooperation)

Kerja sama merupakan bentuk hubungan sosial yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan bersama antara dua orang atau lebih. Kerja

sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya

(in-group) dan kelompok lainnya (out-group).14

Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap

kelompok lain. Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada

bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan dari luar

yang mengancam atau ada tindakan-tindakan dari luar yang

menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah

tertanam di dalam kelompok. Charles H. Cooley yang dikutip oleh

Sarwono menggambarkan bahwa:

Betapa pentingnya kerjasama, yaitu kerjasama timbul apabila


orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-
kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri
sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut;
kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama
dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting
dalam kerjasama yang berguna. 15

Sehubungan dengan pelaksanaan kerjasama, ada lima bentuk

kerjasama, yaitu:

14
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 64.
15
Sarwono, Pengantar Ilmu Psikologi, 80.
20

1) Kerukunan, yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong

2) Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran

barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.

3) Ko-optasi, yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam

kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi,

sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan

dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

4) Koalisi, yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang

mempunyai tujuan-tujuan bersama.

5) Join-venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek

tertentu.16

b. Persaingan (competition)

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu

proses sosial, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia

yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan

yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan

cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka

yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.

Persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, yakni

individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari

keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa

tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun

16
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 66.
21

kelompok manusia) dengan menarik perhatian publik atau dengan

mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa menggunakan ancaman

atau kekerasan.

Bentuk-bentuk persaingan yaitu: Pertama, persaingan

ekonomi, Kedua, persaingan kebudayaan. Ketiga, persaingan

kedudukan dan peranan. Keempat, persaingan ras. Persaingan dalam

batas-batas tertentu mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1) Menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang

bersifat kompetitif.

2) Sebagai jalan yang menyebabkan keinginan, kepentingan serta

nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian,

tersalurkan dengan baik oleh masyarakat yang bersaing.

3) Merupakan alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan

sosial.

4) Alat untuk menyaring para warga golongan karya (fungsional)

yang akhirnya akan menghasilkan pembagian kerja yang efektif.17

c. Pertentangan (pertikaian atau konflik)

Pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-

perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur

kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri

tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu

pertentangan atau pertikaian.

17
Sarwono, Pengantar Ilmu Psikologi, 101.
22

Pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana individu

atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang

pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.sebab

musabab dari pertentangan antara lain: perbedaan antara individu-

individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, pertumbahan

sosial.18

Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus, antara lain:

pertentangan pribadi, pertentangan rasial, pertentangan antara kelas-

kelas sosial, pertentangan politik, dan pertentangan yang bersifat

internasional.

d. Akomodasi

Isitilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk

menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses.

Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu

keseimbangan dalam hubungan antara orang-perorangan atau

kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma

sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai

suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk

meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai

kestabilan.

Menurut Gillin dan Gillin, yang dikutip oleh Sarlito Wirawan

Sarwono menyatakan bahwa:

18
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 67.
23

Akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para


sosiolog untuk mengambarkan suatu proses dalam hubungan
sosial yang artinya sama dengan pengertian adaptasi yang
digunakan oleh para ahli-ahli biologi untuk menunjukan pada
suatu proses di mana hidup selalu menyesuaikan dirinya
dengan alam sekitarnya.19

Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi

yang dihadapinya, yaitu:

1) Untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau

kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham.

2) Mencegah terjadinya suatu pertentangan untuk sementara waktu.

3) Untuk memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok-

kelompok sosial yang hidupnya terpisah sebagai faktor sosial,

psikologis dan kebudayaan.

4) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang

terpisah.20

Selain itu akomodasi juga berperan dalam: Pertama, usaha-usaha

untuk sebanyak mungkin menghindarkan diri dari bentuk-bentuk

pertentangan yang baru guna kepentingan integrasi masyarakat. Kedua,

menekan oposisi. Ketiga, koordinasi berbagai kepribadian yang berbeda.

Keempat, perubahan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan agar sesuai

dengan keadaan yang baru. Kelima, perubahan perubahan kependudukan.

Keenam, membuka jalan kearah asimilasi.21

19
Sarwono, Pengantar Ilmu Psikologi, 82-83.
20
Ibid., 85.
21
Yudi Santoso, Max Weber (Sosiologi Agama) (Yogyakarta: Ircisod, 2012), 76.
24

B. Teori Max Weber

1. Tindakan Sosial

Tidak semua tindakan manusia dalam pandangan weber dapat

dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat dikatakan

sebagai tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan

mempertimbangkan orang lain dan berorientasi pada orang lain. Menurut

Weber tindakan sosial adalah perbuatan manusia yang dilakukan untuk

mempengaruhi individu lain di dalam masyarakat. Dengan kata lain,

tindakan sosial adalah tindakan yang penuh makna subjektif (subjective

meaning) bagi pelakunya.

Proses interaksi dalam kehidupan sosial baik secara vertikal

dengan Tuhan maupun horizontal dalam hubungannya dengan individu

dalam masyarakat, tentu diwarnai dengan berbagai macam tindakan.

Tidakan ini menunjukkan bahwa manusia selau aktif dalam menjalani

hidup ini. Mereka bekerja, belajar dan berhubungan dengan manusia

lainnya senantiasa didasarkan pada motif tertentu. Dari setiap perbuatan

atau tindakan manusia yang dilakukan didasarkan pada maksud dan tujuan

tertentu. Menurut Weber, tindakan demikian itulah yang disebut dengan

tindakan sosial. Sebagai contoh, seorang istri karena tidak mapu lagi

menahan penderitaan atas suatu penyakit menahun yang dideritanya,

bukan suatu tindakan sosial, akan tetapi bunuh diri yang dimaksudkan agar

suaminya berhenti menyeleweng adalah bentuk tindakan sosial. Contoh

lain, jika anda bersiul pada saat berada di kamar mandi keran anda baru

saja mendapatkan honor dari atasan, itu bukan tindakan sosial, tetapi jika
25

anda bersiul di kamar mandi karena pada saat itu teman anda akan

berkunjung ke rumah anda, sehingga dengan bersiul teman anda tadi tahu

jika anda sedang berada di kamar mandi. Tindakan ini dapat disebut

sebagai tindakan sosial, karena senantiasa memiliki makna subjektif dan

memperhatikan tindakan orang lain.

Di sinilah tujuan sosiologi untuk memahami (verstehen) mengapa

tindakan sosial mempunyai arah dan tujuan tertentu. Karena itu, seorang

sosiolog bermaksud melakukan interpretasi atas makna, harus mempu

membayangkan dirinya di tempat pelaku (actor) untuk dapat

menghayatinya. Dengan kata lain, untuk memahami makna subjektif dari

orang lain, maka seorang ahli sosiologi perlu membongkar isi kepala si

pelakunya, sehingga mampu memahami apa yang dipahami oleh si pelaku

(understanding of understanding).

Weber secara khusus mengklasifikasi tindakan sosial yang

memiliki arti-arti subjektif ke dalam empat tipe:22

a. Instrumentally rational (zweckrationalitat), yaitu tindakan yang

ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan (zweck) untuk

dicapai dalam kehidupan manusia yang bertujuan untuk mencapai hal

tersebut telah dirasionalisasikan sedemikian rupa untuk dapat dikejar

atau diraih oleh yang melakukannya. Sebagai contoh, mahasiswa yang

ingin berprestasi memilih membeli buku sebagai referensi bacaan

daripada mengikuti arisan kelas.

22
Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 204.
26

b. Value rational (wertrationalitat) yaitu tindakan yang didasari oleh

kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai (wert) yang penting seperti

etika, estetika, agama dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi

tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Sebagai contoh konkret

kita dapat melihat ritual kearamaan pada bulan Ramadhan bagi umat

Islam di seluruh dunia berupa pelaksanaan ibadah puasa.

c. Affectual (especially emotional), yaitu tindakan yang ditentukan oleh

kondisi kejiwaan dan perasaan aktor yang melakukannya. Tindakan ini

dilakukan seseorang bedasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya

timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Misalnya,

seorang begitu mendengar cerita menyedihkan, atau berita duka atas

kecelakaan keluarganya secara spontan ia meneteska air mata. Atau

sebaliknya, ketika ia mendengar hal-hal yang lucu secara spontan

tertawa terbahak-bahak. Semua tindakan ini didasarkan atas perasaan

kejiwaan masing-masing individu yang mengalaminya.

d. Traditional yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan

yang telah mendarah daging. Tindakan yang demikian ini lazimnya

dilakukan atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun-temurun.

Tindakan ini lazimnya dilakukan pada masyarakat yang adat-

istiadatnya masih kental, sehingga dalam melakukan tindakan ini tanpa

mengkritisi dan memikirkan terlebih dahulu. Walaupun bila dipikir

ulang sebenarnya tidak masuk akal. Misalnya, adat mitoni pada

masyarakat Jawa, yaitu upacara yang dilakukan dalam bulan ketujuh


27

usia kandungan pertama seorang istri. Ini dilakukan dengan maksud

agar bayiyang kelak akan dilahirkan mendapatkan keselamatan.

Menurut Weber manusia yang merupakan sosial harus mempunyai

tujuan tertentu, yang terwujud dengan jelas. Artinya, itu harus mempunyai

arti bagi pihak-pihak lain. yang bersifat introspektif seperti meditasi atau

yang bersifat orientasi terhadap obyek atau situasi materiel bukanlah

merupakan sosial. Bentuk sosial yang paling penting adalah sosial timbal

balik atau resiprokal. Gejala itu kemudian tercemin dalam pengertian

hubungan sosial yang menurut Weber menjadi tema sentral sosiologi.

Suatu hubungan sosial ada pabila para individu secara mutual

mendasarkan pada yang diharapkan oleh pihak-pihak lain. Beberapa tipe

hubungan sosial yang penting adalah perjuangan, komunikasi, agregasi

dan kelompok korporasi.23

Pengartian hubungan sosial dipergunakan untuk menggambarkan

suatu keadaan di mana ada dua orang atau lebih terlibat dalam suatu

proses. Proses prilaku tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para pihak

yang masing-masing memperhitungkan pihak lain dengan cara

mengandung arti bagi masing-masing. Dengan demikian, maka hubungan

sosial berisikan kemungkinan bahwa para pribadi yang terlibat di

dalamnya akan berinteraksi dengan cara mengandung arti serta ditetapkan

terlebih dahulu. Adanya kemungkinan tersebut sebenarnya tidak penting

sepanjang mengenai sebab-sebabnya, yang penting adalah eksistensinya.

23
Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 9-
10.
28

Semua pihak yang secara mutual berorientasi dalam suatu

hubungan sosial tertentu tidak harus mewujudkan pengartian subyektif

yang sama mengenai hal itu. Misalnya, sikap manusia terhadap

persahabatan, cinta, kesetiaan, kepercayaan kontraktual, mungkin berbeda-

beda. Bagi pihak-pihak yang telibat, maka masing-masing hanya

memperlihatkan pelbagai bentuk dan arti, sedangkan hubungan sosialnya

bersifat asimetris. Walaupun demikian, mereka mungkin mempunyai

orientasi mutual sepanjang salah satu pihak mempunyai sikap yang

senantiasa memperhitungkan pihak lain atau dengan cara menyesuaikan

dengan sikap pihal lain. Terlepas kenyataan bahwa mungkin terjadi

kesalahan pada harapannya, namun hal itu akan menghasilkan proses

tertentu yang mempunyai akibat terhadap bentuk hubungan itu. Secara

obyektif dapatlah dikatakan bahwa suatu hubungan simetris hanya ada

kalau dalam pengharapan-pengharapan terhadap hubungan tersebut ada

parsamaan-persamaan pengartian mengenai sifat hubungan tersebut.

Misalnya, sikap aktual seorang anak terhadap ayahnya mungkin adalah

sesuai dengan yang diharapakan ayah. Hubungan sosial yang berisikan

orientasi penuh terhadap pihak lain dan sebaliknya, jarang sekali terjadi.

Suatu hubungan sosial mungkin bersifat mempunyai derajat

keteraturan yang berbeda-beda. Artinya, mungkin terdapat pengulangan

yang terkait dengan arti suyektifnya sehingga memang diharapakan. Akan

tetapi untuk menghindarkan terjadinya kesan keliru, perlu dicatat bahwa

hal itu hanya merupakan bukti adanya kemungkinan bahwa suatu bentuk

tertentu akan terjadi hal mana membuktikan adanya suatu hubungan sosial.
29

Dengan demikian, apabila suatu persahabatan itu ada, maka artinya adalah

bahwa dalam pertimbangan pengamat terdapat kemungkinan bahwa sikap-

sikap sunyektif tertentu yang sudah dikenal lazimnya akan mengahsilakan

bentuk-bentuk tertentu.24

Arti suyektif hubungan sosial dapat berubah misalnya, suatu

hubungan politis yang semula didasarkan pada solidaritas, mungkin

berubah dasarnya menjadi konflik. Namun, hal itu hanyalah merupakan

masalah terminologis dan kesinambungan perubahan, apakah terjadi suatu

perubahan, atau apakah yang lama tetap ada akan tetapi artinya berubah.

Arti itu sendiri pun mungkin mengalami proses antara konstannya arti

denga sifatnya yang permanen.

Isi yang mempunyai arti yang relatif konstan dalam hubungan

sosial dapat diungkapkan dalam beberapa aksioma yang paling tidak

dianuti oleh para pihak-pihak yang mengadakan hubungan itu. Hal itu

mungkin terjadi pada hubungan-hubungan yang lebih rasional, apabila

dibandingkan dengan hubungn-hubungan yang berkaitan degan nilai-nilai

atau tujuan-tujuan. Kemungkinan menyusun formulasi arti subyektif

secara rasional semakin mengecil kalau hubungan didasarkan pada emosi

atau perasaan.

Arti suatu hubungan sosial dapat disepakati atas dasar persetujuan

mutual. Artinya, para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan membuat

perjanjian mengenainya di masa depan. Dengan demikian maka setiap

24
Ibid 46-47.
30

pihak dalam keadaan normal dan selama di berasional, akan dianuti oleh

pihak lain dengan siapa dia berhubungan dan akan menyesuaikan diri

dengan pemahamannya terhadap kesepakatan yang telah ada. Dengan

demikian maka untuk sebagian berorientasi pada tujuan dan dia ingin

berpegang pada orientasi tersebut. Namun, untuk sebagiannya berorientasi

pada nilai-nilai. Artinya, dia wajib mentaati persetujuan yang telah ada,

sejauh dia memahami kesepakatan itu, sehingga mungkin diadakan suatu

antisipasi.25

2. Ekonomi

Weber memang banyak mencurahkan perhatiannya pada gagasan

dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Terutama memusatkan perhatian pada

pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Dalam karyanya The

Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.26 Dwi Narwoko dan Bagong

Suyanto menyatakan bahwa:

Studi yang dilakukan Max Weber mengenai “etika protestan”


menemukan bahwa agama protestan ternyata memberikan
sumbangan tidak kecil bagi upaya penciptaan jiwa kewiraswastaan.
Ajaran agama protestan menganjurkan kepada para pemeluknya
agar selalu bekerja keras, tahan cobaan dan hidup irit, menurut
weber menjadikan mereka tidak konsumtif, tapi selalu berusaha
menginfestasikan sumber dana yang dimilikinya untuk berusaha
dan terus berusaha.27

Menurut Weber kapitalisme modern timbul sebagai hasil kumulatif

kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi dan agama yang Eropa. Mulai

25
Ibid., 48.
26
Ibid., 49.
27
Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, 299.
31

dari masa Reformasi sampai kira-kira abad ke-18 pegaruh dari agama

sangat bersifat menentukan. Protestanisme terutama Calvinisme,

menimbulkan semacam etika tertentu yang dengan bersumbu kapitalisme

melahirkan sesuatu yang oleh Weber dinamakan semangat kapitalisme

modern. Semangat inilah yang mengakibatkan tenaga luar biasa yang

merupakan ciri khas kapitalisme modern. Weber berminat terhadap

terhadap beberapa sikap psikologis tertentu dan unsur-unsur dari ajaran ini

yang selajutnya menjelmakan gejala-gejala yang pada waktu tertentu

berlawan dengan tujuan-tujuan keagamaan dari Calvinisme. Semangat ini

dibawakan oleh kelas menengah yang tengah naik dan sejarahnyalah yang

menjadi sumber dari argumen-argumen Weber.28 Hubungan langsung

antara Calvinisme dan semangat kapitalisme modern didahului oleh

hubungan serupa dalam masa lampau dalam arti bahwa di mana-mana

agama untuk sebagian menentukan pertumbuhan kapitalisme yaitu

menghalangi atau membantu. Dalam hal Calvinisme, faktor utama yang

dilihat oleh Weber adalah doktrin tentang panggilan itu, di mana

memperoleh harta kekayaan dianggap sebagai kemungkinan akan pertanda

keselamatan, menandakan termasuknya beberapa gelintir manusia ke

dalam golongan yang terpilih oleh Tuhan. Maka terdapat suatu dorongan

untuk usaha kuat dan sungguh-sungguh guna memperoleh sukses duniawi.

Inilah, bersama beberapa faktor lain yang timbul dari Calvinisme,

menjiwai dunia usaha niaga dengan suatu semangat baru. Sifat hemat yang

28
Taufik Abdullah, Agama Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1979), 141.
32

menjelma dari kesadaran akan panggilan mengakibatkan pengumpulan

modal, dan ini pun menyebabkan usaha-usaha lain selanjutnya. Fikiran

bahwa sukes merupakan berkat Tuhan bukan tak dikenal sebelum adanya

ajran Protestan dan bahkan agama Kristen. Akan tetapi aliran Calvinis

memberinya tempat utama dengan jalan mengaitkannya dengan pemikiran

bahwa mungkin sekali sukses merupakan pertanda dari keselamatan.

Inilah menjadi penyebab rasa gelisah karena ingin tahu apakah seseorang

terkutuk atau diselamatkan menimbulkan aktivitas hidup dalam bidang

ekonomi. Dengan demikian semangat kapitalisme modern dipengaruhi

oleh calvinis yang menekankan tanggung jawab perorangan untuk

penyelamatan dan mengemukakan sukses duniawi sebagai kemungkinan

indikasinya, menimbulkan sutau cara kehidupan yang metodis serta

dislipiner. Sifat-sifat ini kemudian jadi milik bersama dan juga menjiwai

aspek-aspek non-ekonomi dari kehidupan.29

Weber mengatakan bahwa calvinisme terutama sekte puritanisme,

melihat kerja sebagai Beruf atau panggilan. Kerja tidaklah sekedar

pemenuhan keperluan, tetapi suatu tugas yang suci. Pensucian kerja, (atau

perlakuan terhadap kerja sebagai suatu usaha keagamaan yang akan

menjamin kepastian dalam diri akan keselamatan) berarti mengingkari

sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia. Sikap hidup

keagamaan yang diinginkan oleh doktrin ini, kata Weber ialah “askese

duniawi”, yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam

29
Ibid., 143.
33

kegairahan kerja sebagai gambaran dan pernyataan dari manusia yang

terpilih. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti ini, maka “semangat

kapitalisme”, yang bersandarkan kepada cita ketekunan, hemat,

berperhitungan, rasional dan sanggup menahan diri, menemukan

pasangannya. Sukses hidup, yang dihasilkan oleh kerja keras bisa pula

dianggap sebagai pembenaran bahwa ia, si pemeluk adalah orang yang

terpilih.30

Terjadinya etika protestan dengan semangat kapitalisme

dimungkinkan oleh para rasionalisasi dunia, penghapusan usaha magis

yaitu menipulasi kekuatan supernatural sebagai alat untuk mendapat

keselamatan. Ajaran reformis yang puritan dengan begini menekankan

harkat dan usaha pribadi, bukan penantian akan nasib.

Semangat kapitalisme lebih langsung berhubungan dengan sekte-

sekte.31 Dengan kecenderungan yang bersifat anti-otoriter, sekte-sekte

memberi tekanan yang lebih besar pada individualisme, pada pada

kemampuan pribadi untuk memilih. Dengan begini juga memperteguh

etika prorestan. Dalam interaksi sosial seakan-akan tampak bahwa sekte

bukan saja mempengaruhi sikap tertentu terhadap pengikutnya, tetapi juga

sekaligus memberikan status sosial bagi mereka.

30
Ibid., 9.
31
Weber dalam thesisnya mempertegas perbedaan antara gereja dan sekte. “Gereja” pada dasrnya
dapat dikatakan sebagai suatu pranata dengan sifat-sifat khusus yang mempunyai kerangka
sosial dan peradaban yang lebih luas dan sering menjadi aktualisasi dari suatu penekanan
struktural. Sedangkan “sekte” mempunyai pengertian lebih terbatas. Ia adalah bagian dari gereja
walaupun secara teoritis sekte tersebut dapat pula memunculkan dirinya menjadi gereja. Jika itu
terjadi maka ini berarti bahwa sekte telah sanggup menjadikan dirinya sebagai perumus umum
dari penekanan strukturak dari kebudayaan dan masyarakat yang luas.
34

C. Agama dan Perkembangan Ekonomi

Sistem mata pencaharian seperti bertani di kalangan masyarakat

primitif tidak terlepas dari kehidupan beragama dan kepercayaan kepada yang

gaib. Ketika akan turun ke sawah mereak mengadakan ritual tertentu terlebih

dahulu, seperti sesajen dan berdoa. Dalam mencari hasil hutan juga tidak

boleh melanggar pantangan (taboo) karena tanaman dan binatang dipercayai

punya penghuni, tenaga atau penunggu gaib (dinamisme, animisme).32

Agama juga mengajarkan bahwa mencari rezeki adalah mencari

karunia Tuhan atau melaksanakan perintah-Nya. Umat beragama

diperintahkan untuk melakukan usaha produktif, seperti menanam pohon,

membuka tanah mati, melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan jasa

bagi orang lain, seperti mengajar, bertukang, berdagang dan lainnya. Dalam

menjalankan usaha tersebut harus diperhatikan norma halal dan haram.

Mengaitkan usaha mencari rezeki dengan Tuhan diharapkan memberi

tambahan harapan dan optimisme karena Tuhan adalah yang maha kaya dan

maha penagsih. Di samping itu, mengaitkan kerja mencari rezeki dengan

Tuhan supaya tidak melakukan penipuan, pemerasan dan perampasan

terhadap hak orang lain, supaya menjaga diri untuk hanya mau mengambil

rezeki yang halal.33

Dalam kenyataannya sosial umat beragama juga ditemukan penipuan,

pencurian dan pemerasan. Hal ini tentu karena mereka hanya beragama

32
Agus Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006), 235-236.
33
Ibid., 236.
35

dengan simbol tanpa makna. Beragama sebagai simbol adakalanya untuk

kepentingan politik dan kekuasan, sebagaimana ada pula untuk kepentingan

materi dan ekonomi. Selain iman yang lemah untuk memegang prinsip,

berbagai pelanggaran memperebutkan harta juga disebabkan faktor sosial,

seperti besarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin, kecemburuan sosial

dan lain sebagainya.34

Kemudian ajaran agama juga sangat diperlukan untuk memacu

semangat kewirausahaan dan kemandirian. Dengan ajaran agama, etos kerja

meningkat. Hemat dan keikhlasan meningkatkan produktivitas. Dengan

mengaitkannya dengan Tuhan, keberkahan akan dirasakan sehingga

menambah gairah disiplin kerja. Hal ini memang sangat tergantung pada

interpretasi ajaran agama yang dikemukakan oleh pemuka agama.35

Pranata agama juga berfungsi menciptakan norma-norma sosial yang

mempengaruhi pranata ekonomi. Studi yang dilakukan Max Weber mengenai

“etika protestan” menemukan bahwa agam protestan ternyata memberikan

sumbangan tidak kecil bagi upaya penciptaan jiwa kewiraswastaan. Ajaran

agama protestan menganjurkan kepada para pemeluknya agar selalu bekerja

keras, tahan cobaan dan hidup irit, menurut weber menjadikan mereka tidak

konsumtif, tapi selalu berusaha menginfestasikan sumber dana yang

dimilikinya untuk berusaha dan terus berusaha.36

34
Ibid, 237.
35
Ibid, 237.
36
Dwi narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, 299.
36

Menurut Weber kapitalisme modern timbul sebagai hasil kumulatif

kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi dan agama yang Eropa. Mulai dari

masa Reformasi sampai kra-kira abad ke-18 pegaruh dari agama sangat

bersifat menentukan. Protestanisme terutama Calvinisme, menimbulkan

semacam etika tertentu yang dengan bersumbu kapitalisme melahirkan sesuatu

yang oleh Weber dinamakan semangat kapitalisme modern. Semangat inilah

yang mengakibatkan tenaga luar biasa yang merupakan ciri khas kapitalisme

modern. Weber berminat terhadap terhadap beberapa sikap psikologis tertentu

dan unsur-unsur dari ajaran ini yang selajutnya menjelmakan gejala-gejala

yang pada waktu tertentu berlawan dengan tujuan-tujuan keagamaan dari

Calvinisme. Semangat ini dibawakan oleh kelas menengah yang tengah naik

dan sejarahnyalah yang menjadi sumber dari argumen-argumen Weber.37

Hubungan langsung antara Calvinisme dan semangat kapitalisme modern

didahului oleh hubungan serupa dalam masa lampau dalam arti bahwa di

mana-mana agama untuk sebagian menentukan pertumbuhan kapitalisme

yaitu menghalangi atau membantu. Dalam hal Calvinisme, faktor utama yang

dilihat oleh Weber adalah doktrin tentang panggilan itu, di mana memperoleh

harta kekayaan dianggap sebagai kemungkinan akan pertanda keselamatan,

menandakan termasuknya beberapa gelintir manusia ke dalam golongan yang

terpilih oleh Tuhan. Maka terdapat suatu dorongan untuk usaha kuat dan

sungguh-sungguh guna memperoleh sukses duniawi. Inilah, bersama beberapa

faktor lain yang timbul dari Calvinisme, menjiwai dunia usaha niaga dengan

37
Taufik Abdullah, Agama Etos Kerja Dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1979), 141.
37

suatu semangat baru. Sifat hemat yang menjelma dari kesadaran akan

panggilan mengakibatkan pengumpulan modal, dan ini pun menyebabkan

usaha-usaha lain selanjutnya. Fikiran bahwa sukes merupakan berkat Tuhan

bukan tak dikenal sebelum adanya ajaran Protestan dan bahkan agama

Kristen. Akan tetapi aliran Calvinis memberinya tempat utama dengan jalan

mengaitkannya dengan pemikiran bahwa mungkin sekali sukses merupakan

pertanda dari keselamatan. Inilah menjadi penyebab rasa gelisah karena ingin

tahu apakah seseorang terkutuk atau di selamatkan menimbulkan aktivitas

hidup dalam bidang ekonomi. Dengan demikian semangat kapitalisme modern

dipengaruhin oleh Calvinis yang menekankan tanggungjawab perorangan

untuk penyelamatan dan mengemukakan sukses duniawi sebagai

kemungkinan indikasinya, menimbulkan sutau cara kehidupan yang metodis

serta dislipiner. Sifat-sifat ini kemudian jadi milik bersama dan juga menjiwai

aspek-aspek non-ekonomi dari kehidupan.38

Weber mengatakan bahwa calvinisme terutama sekte puritanisme,

melihat kerja sebagai Beruf atau panggilan. Kerja tidaklah sekedar pemenuhan

keperluan, tetapi suatu tugas yang suci. Pensucian kerja, (atau perlakuan

terhadap kerja sebagai suatu usaha keagamaan yang akan menjamin kepastian

dalam diri akan keselamatan) berarti mengingkari sikap hidup keagamaan

yang melarikan diri dari dunia. Sikap hidup keagamaan yang diinginkan oleh

doktrin ini, kata Weber ialah “askese duniawi”, yaitu intensifikasi pengabdian

agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran dan

38
Ibid., 143.
38

pernyataan dari manusia yang terpilih. Dalam kerangka pemikiran teologis

seperti ini, maka “semangat kapitalisme”, yang bersandarkan kepada cita

ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional dan sanggup menahan diri,

menemukan pasangannya. Sukses hidup, yang dihasilkan oleh kerja keras bisa

pula dianggap sebagai pembenaran bahwa ia, si pemeluk adalah orang yang

terpilih.39

D. Agama dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Sosial

Kehidupan manusia yang terbentang sepanjang sejarah selalu

dibayang-bayangi oleh apa yang disebut agama. Bahkan dalam kehidupan

sekarang pun dengan kemajaun teknologi supra modern manusia tidak luput

dari agama. Agama-agama lahir pada babak sejarah pramodern, sebelum

masyarakat dan dunia diwarnai perkembangan pesat ilmu dan teknik. Hampir

semua masyarakat manusia mempunyai agama. Malinowski menyatakan

“Tidak ada bangsa bagaimana primitifnya, yang tidak memiliki agama dan

magi”. Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan pola prilaku yang

diusahakan oleh suatu masyarakat untuk menangani masalah penting yang

tidak dapat dipecahkan oleh teknologi dan dan teknik prganisasi yang

diketahuinya. Untuk mengatasi keterbatasan itu, orang berpaling kepada

manipulasi kekuatan supernatural.40 Agama memberi makna pada kehidupan

individu dan kelompok, juga memberi harapan tentang kelanggengan hidup

sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana manusia untuk mengankat diri dari

39
Ibid., 9.
40
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya), 119.
39

kehidupan duniawi yang penuh penderitaan, mencapai kemandirian spiritual.

Agama memperkuat norma-norma kelompok, sanksi moral untuk perbuatan

perorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi

landasan keseimbangan masyarakat.41

Agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan

dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai

hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor

yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat manapun. Tidak begitu

persis dengan apa yang digambarkan oleh Karl Mark yang menganggap

bahwa agama hanya merupakan salah satu faktor bangunan atas, yang

pembentukannya dipengaruhi oleh bangunan pokok, yaitu struktur ekonomi

(sistem perhubungan dan kekuatan-kekuatan produksi). Pendapat Max Weber,

sosiolog modern ini memberi komentar berdasarkan beberapa hasil studinya

tentang beberapa lembaga sosial di berbagai tipe masyarakat, baik dulu

maupun kini. Hasil studinya menunjukkan terjadi kerjasama secara timbal

balik di antara semua lembaga sosial. Dalam kerjasama menunjukkan tentang

betapa pentingnya lembaga agama dan pengaruhnya atas semua lembaga

sosial lainnya, baik lembaga keluarga, politik, ekonomi, hukum, maupun

pendidikan.42

Intensitas pengaruh agama dalam kehidupan sosial masyarakat

semakin lama semakin berkurang sejalan dengan menaiknya perkembangan

kebudayaan masyarakat tersebut. Tetapi, berkurangnya pengaruh tersebut

41
Ibid., 119-120.
42
Ibid., 15.
40

bukan pada dataran keberagamaan individual melainkan pada dataran

kehidupan beragama secara komunal. Di kota-kota besar yang modern seperti

Amerika, Eropa, agama tidak lagi ikut berperan sebagai alat legetimasi sosial

yang dijadikan acuan dalam menentukan kebujakan hidup bersama. Agama

telah terpinggirkan dan hanya berperan dalam membentuk kesalehan

individual.

Di masyarakat kaum petani pedesaan, fenomena di atas tidak begitu

tampak. Dalam kehidupan mereka, agama masih berperan dalam berbagai

aspek kehidupan, bahkan hampir di setiap kegiatan selalu melibatkan agama,

ekonomi, pendidikan, politik san sosial lainnya. Di masyarakat pedesaan

tradisional, upacara-upacara ritual selalu menjadi bumbu dalam berbagai

kegiatan non-agama. Dalam kegiatan bercocok tanam, umpamanya selalu

diadakan upacara religi memberi sesajen kepada dewa atau dewi yang

menguasai pertanian (Dewi Sri) agar berkenan datang, pedagang-pedagang di

pasar memakai jampi-jampi tertentu agar dagangannya laku keras, sekolah

yang disukai oleh masyarakat pedesaan adalah sekolah yang diselenggarakan

oleh lembaga-lembaga agama (madrasah), partai politik dipilih dalam

pemiliham umum adalah partai politik yang mempunyai asas dan dasar

agama.

Berbeda dengan masyarakat perkotaan kecil. Pada masyarakat seperti

ini, agama mulai berkurang peranannya dalam aspek-aspek kehidupan

tertentu. Misalnya, dalam hal penentuan jenis pendidikan dan afiliasi pada

partai politik, tidak terlalu melibatkan pertimbangan-pertimbangan agama.

Dalam masyarakat seperti ini, muncul organisasi-organisasi keagamaan yang


41

melakukan tugas-tugan sosial dan menyelenggarakan pendidikan umum dan

agama menjado fokus potensial bagi munculnya pembaruan yang kreatif,

sehingga terjadi benturan kepentingan di antara organisasi keagmaan dan

politik. Ide-ide modernisasi selalu terhambat oleh pemikiran-pemikiran

keagamaan yang membatasi kreativititas bebas dalam melaksanakan

pembaharuan sosial.

Apalagi masyarakat kota metropolitan. Pada masyarakat seperti ini,

peran agama hampir hanya dalam kehidupan induvidu dan lingkungan

keluarga saja. Agama disajikan begitu formal dan fungsional. Kehidupan

agama terasa hanya di bangunan-banguan tempat ibadat saja. Ketika berada di

daerah bukan tempat ibadah agama hampir tidak dilibatkan. Selain itu,

masyarakat dalam kota seperti ini bersifat dinamis dan perkembangan iptek

sangat berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan, termasuk agama.43

Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada

kehidupan manusia, dan memberikan penjelasan yang paling komperhensif

tentang seluruh realitas. Agama merupakan naungan sakral yang melindungi

manusia dari situasi kekacauan (chaos). Bagi para penganutnya, agama

berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi (sumummum bunum)

dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup

selamat di dunia dan di akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada

Tuhan, beradab dan manusiawi, yang berbeda dari cara-cara hidup hewan dan

mahluk lainnya. Sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi bagian dan

43
Ibid., 48.
42

inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi

pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat

tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran

agamanya. Ketika pengaruh ajaran agama sangat kuat terhaap sistem niali dari

kebudayaan mesyarakat yang bersangkutan, maka sistem nilai kebudaan itu

terwujud dalam simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama

yang menjadi kerangka acuannya.

Dalam keadaan demikan, secara langsung atau tidak langsung, etos

yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada

dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik dan pendidikan), dipengaruhi,

digerakkan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah

agama yang dianutnya dan terwujud dalam kegiatan para warga masyarakatnya

sebagai tindakan dan karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci. Keyakinan

agama yang sifatnya pribadi dan individuan bisa berupa tindakan kelompok.

Keyakinan itu menjadi sosial disebabkan oleh terutama hakikat agama itu

sendiri yang salah satu ajarannya adalah hidup dalam kebersamaan dengan

orang lain. Kegiatan keagamaan dalam bentuk berjamaah, kongresisasi, atau

upacara keagamaan dalam kelompok amat penting dalam setiap agama.44

Agama dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang oleh

manusia digunakan untuk mengendalikan aspek alam semesta yang tidak

dapat dikendalikannya. Ada keberagaman di antara masyarakat manusia yang

menggunakan agama sebagai pengendalian aspek alam. Bagi masyarakat

44
Ibid., 63-64.
43

tradisional, misalnya, peranan agama sungguh besar hampir dalam setiap

aspek pengendalian kehidupan. Bagi sebagian masyarakat yang sudah

berkebudayaan maju, seperti negara industri, agama hanya merupakan bagian

kecil dari kehidupan sehari-hari agama cenderung dibatasi untuk keadaan

tertentu.45

Emile Durkheim menyimpulkan bahwa tujuan utama agama dalam

masyarakat primitif adalah membantu orang berhubungan bukan dengan

Tuhannya, melainkan dengan sesamanya. Ritual-ritual religius membantu

orang untuk mengembangkan rasa sepaguyupan (sense of community), misalnya

mereka bersama-sama ambil bagian dalam pesta perkawinan, kelahiran, dan

kematian, dan bersama-sama merayakan musim tanam dan panen. Hal itu

mempersatukan kelompok dengan cara kontraksi kontraksi religius.

Durkheim yang telaahannya terfokus pada unsur-unsur sosial yang

menghasilkan solidaritas, melihat agama sebagai faktor esensial bagi identitas

dan integrasi masyarakat. “Agama merupakan sesuatu sistem interprstasi diri

dan kolektif. Dengan kata lain, agama adalah sistem simbol di mana

masyarakat bisa menjadi sadar akan dirinya, ia adalah cara berpikir tentang

eksistensi kolektif.” Agama tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri

dalam kesadaran manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agama pun

akan tetap lestari. Masyarakat, bagaimanapun, akan tetap menghasilkan

simbol-simbol pengertian diri kolektifnya; dan dengan demikian, menciptakan

agama.

45
Ibid., 121-122.
44

Masyarakat diikat oleh sistem simbil yang umum. Sistem simbol itu

akan berpusat pada martabat manusia sebagai pribadi, kesejahteraan umum,

dan norma-norma etik yang selaras dengan karakteristik itu masyarakat itu

sendiri. Setiap masyarakat akan menciptakan agamanya sendiri. Setiap

masyarakat dalam proses menghayati cita-citanya yang tertinggi akan

menumbuhkan kebaktian pada representasi diri simboliknya. Tak ada

masyarakat yang tidak merasa perlu menegaskan dan menekuhkan, pada

selang waktu tertentu, perasaan dan gagasan kolektifnya yang menciptakan

kesatuan dan kepribadiannya.

Kerap kali Durkhiem dikritik karna ia melihat agama hanya sebagai

ideologi yang melegitimatisasikan tatanan sosial. Kritik seperti itu kurang

tepat. Sebab, bagi Durkhim agama mengekspresikan nilai-nilai terdalam yang

ada dalam tatanan sosial, mengenang saat-saat yang berarti dalam sejarah dan

memproyeksikan gambaran simbolik mengenai masa depan masyarakat.

Agama pada saat tertentu dapat berfungsi sebagai pelindung tatanan sosial,

dan pada saat lainnya dapat menilai kondisi sosial saat sekarang dengan

mengacu pada gambaran masyarakat ideal, dan dengan demikian

menumbuhkan gerakan pembaruan.46

46
Ibid., 122-123.
45

E. Faktor-faktor Memperlemah Hubungan Sosial Ekonomi antara Islam

dan Hindu

Aliran-aliran yang muncul yang tidak selaras dari suatu keyakinan

yang ada akan menimbulkan konflik. Suatu kegiatan yang menyimpang dari

suatu ajaran yang sudah diyakini kebenarannya oleh agama tertentu. Apabila

dibelokkan oleh aliran baru akan memicu kekhawatiran bagi umat-umat yang

lain. Dalam masyarakat telah banyak kesadaran yang terjadi berkaitan dengan

pluralisme dan kebersamaan dalam hidup, saling berbagi tanpa ada pilah-pilah

membedakan antara golongan satu dengan yang lainnya khususnya yang

berkaitan dengan masalah SARA.

Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti

jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain

di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme secara istilah adalah suatu

sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara

dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural,

jamak dan banyak itu.47

Secara fenomenologis, istilah pluralisme beragama (religious

pluralisme) menunjukkan pada fakta bahwa sejarah agama-agama

menampilkan suatu pluralitas tradisi dan berbagai varian tiap-tiap tradisi.

Secara filosofis, istilah pluralisme beragama menunjukkan pada suatu teori

dengan hubungan antar berbagai konsepsi, persepsi dan respon tentang ultim

yang satu, realitas ketuhanan yang penuh dengan misteri. Teori hubungan

47
Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka,
Yogyakarta, 2005), 11.
46

antar agama itu paling tidak didekati melalui dua bentuk utama, enklusivisme

dan inklusivisme. Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan menyatakan

bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku

dan agama karena hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan

pluralisme.48

Dalam perjalanannya menuju hubungan sosial ekonomi antara umat

Islam dan Hindu, maka kerukunan umat beragama selalu diiringi dengan

beberapa faktornya, ada yang beberapa di antaranya bersinggungan secara

langsung di masyarakat, ada pula terjadi akibat akulturasi budaya yang

terkadang berbenturan dengan aturan yang berlaku di dalam agama itu sendiri.

Adapun faktor-faktor memperlemah kerukunan umat beragama antara

lain:

1. Pendirian rumah ibadah: apabila dalam mendirikan rumah ibadah tidak

melihat situasi dan kondisi umat beragama dalam kacamata stabilitas

sosial dan budaya masyarakat setempat maka akan tidak menutup

kemungkinan menjadi biang dari pertengkaran atau munculnya

permasalahan umat beragama.

2. Penyiaran agama: apabila penyiaran agama bersifat agitasi dan

memaksakan kehendak bahwa agama sendirilah yang paling benar dan

tidak mau memahami keberagamaan agama lain, maka dapat

memunculkan permasalahan agama yang kemudian akan menghambat

kerukunan antar umat beragama, karena disadari atau tidak kebutuhan

48
Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama
(Bandung: Pustaka Pelajar, Bandung, 2004), 199.
47

akan penyiaran agama terkadang berbenturan dengan aturan

kemasyarakatan.

3. Perkawinan beda agama: perkawinan beda agama disinyalir akan

mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis, terlebih pada anggota

keluarga masing-masing pasangan berkaitan dengan hukum perkawinan,

warisan, dan harta benda, dan yang paling penting adalah keharmonisan

yang tidak mampu bertahan lama di masing-masing keluarga.

4. Penodaan agama: yaitu melecehkan atau menodai doktrin suatu agama

tertentu. Tindakan ini sering dilakukan baik perorangan atau kelompok.

Meski dalam skala kecil, baru-baru ini penodaan agama banyak terjadi

baik dilakukan oleh umat agama sendiri maupun dilakukan oleh umat

agama lain yang menjadi provokatornya.

5. Kegiatan aliran sempalan: adalah suatu kegiatan yang menyimpang dari

suatu ajaran yang sudah diyakini kebenarannya oleh agama tertentu.49 Hal

ini terkadang sulit di antisipasi oleh masyarakat beragama sendiri,

pasalnya akan menjadikan rancu diantara menindak dan menghormati

perbedaan keyakinan yang terjadi didalam agama ataupun antar agama.

49
Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju
Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2009), 13-14.

Anda mungkin juga menyukai