PDF of Psikologi Parenting DR Yudho Bawono Full Chapter Ebook

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 69

Psikologi Parenting Dr.

Yudho Bawono
Visit to download the full and correct content document:
https://ebookstep.com/product/psikologi-parenting-dr-yudho-bawono/
More products digital (pdf, epub, mobi) instant
download maybe you interests ...

Psikologi Belajar Dr Afi Parnawi M Pd

https://ebookstep.com/product/psikologi-belajar-dr-afi-parnawi-m-
pd/

Happy Parenting Kisah Kisah Kami Belajar Bahagia


Mendidik Anak Dr. Sumarto

https://ebookstep.com/product/happy-parenting-kisah-kisah-kami-
belajar-bahagia-mendidik-anak-dr-sumarto/

Mental Training Aspek Aspek Psikologi dalam Olahraga


Prof. Dr. Dr. James Tangkudung

https://ebookstep.com/product/mental-training-aspek-aspek-
psikologi-dalam-olahraga-prof-dr-dr-james-tangkudung/

Psikologi Perkembangan Anak 1 Dr Purwati M S Kons

https://ebookstep.com/product/psikologi-perkembangan-anak-1-dr-
purwati-m-s-kons/
Psikologi Perkembangan Dr Eni Fariyatul Fahyuni M Pd I

https://ebookstep.com/product/psikologi-perkembangan-dr-eni-
fariyatul-fahyuni-m-pd-i/

Psikologi Pembelajaran Matematika Zubaidah Amir M Pd Dr


Risnawati M Pd

https://ebookstep.com/product/psikologi-pembelajaran-matematika-
zubaidah-amir-m-pd-dr-risnawati-m-pd/

Kerjasama Guru dengan Orang Tua Parenting dalam


Pengembangan Sosial Emosi Anak Usia Dini Dr. Syuraini

https://ebookstep.com/product/kerjasama-guru-dengan-orang-tua-
parenting-dalam-pengembangan-sosial-emosi-anak-usia-dini-dr-
syuraini/

Parenting Pendidikan Islam Anak Usia Dini dalam Bingkai


Pendidikan Karakter Nilai Profetik Islam Prof. Dr. Hj.
Warni Djuwita

https://ebookstep.com/product/parenting-pendidikan-islam-anak-
usia-dini-dalam-bingkai-pendidikan-karakter-nilai-profetik-islam-
prof-dr-hj-warni-djuwita/

PSIKOLOGI PEMBELAJARAN Penerapan Psikologi dalam


Pendidikan 1st Edition Zainul Anwar

https://ebookstep.com/product/psikologi-pembelajaran-penerapan-
psikologi-dalam-pendidikan-1st-edition-zainul-anwar/
PSIKOLOGI PARENTING
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG
HAK CIPTA
Lingkup Hak Cipta

Pasal 1 Ayat 1 :
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana:
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimak-
sud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus
juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cip-
ta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 114
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan
mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/
atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dip-
idana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
EDITOR:
Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.
Nailur Rohmah, S.Psi., M.A., Rosyida Qorrin, S.Psi.

KONTRIBUTOR TULISAN:
Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si. • Dr. Hanggara Budi Utomo,
M.Pd., M.Psi., • Rosa Imani Khan, S.Psi., M.Psi. • Dr. Yettie
Wandansari, M.Si., Psikolog, • Agustin Rahmawati, M.Si.,
Psikolog • Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog, • Dr.
Ermida Simanjuntak, M.Sc., M.Psi., Psikolog • Onny Fransinata
Anggara, M.Psi., Psikolog , • Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog
• Dr. Setyaningsih, S.Psi., M.Si. • Nailur Rohmah, S.Psi., M.A. •
Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog • Dwi Nurhayati Adhani,
M.Psi., Psikolog, • Ira Mustika, S.Psi. • Mery Atika, S.Psi., M.Si. •
Rosyida Qorrin, S.Psi., • Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.

PSIKOLOGI PARENTING

Diterbitkan Oleh
Psikologi Parenting

Penulis : Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si., dkk.


Editor : Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.
Nailur Rohmah, S.Psi., M.A.
Rosyida Qorrin, S.Psi.
Tata Letak : Riza Ardyanto
Desain Cover : Bintang W Putra

Penerbit:
CV. Bintang Semesta Media
Anggota IKAPI Nomor 147/DIY/2021
Jl. Karangsari, Gang Nakula, RT 005, RW 031,
Sendangtirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta 57773
Telp: 4358369. Hp: 085865342317
Facebook: Penerbit Bintang Madani
Instagram: @bintangpustaka
Website: www.bintangpustaka.com
Email: [email protected]
[email protected]

Cetakan Pertama, Desember 2021


Bintang Semesta Media Yogyakarta
xii + 217 hal : 15.5 x 23 cm
ISBN :

Dicetak Oleh:
Percetakan Bintang 085865342319

Hak cipta dilindungi undang-undang


All right reserved
Isi di luar tanggung jawab percetakan
v

KATA PENGANTAR
KETUA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI)
WILAYAH JAWA TIMUR CABANG BANGKALAN

Pada masa lalu, menjadi orang tua (parenthood) cukup dijalani


dengan meniru para orang tua pada masa sebelumnya. Dengan
mengamati cara orang tua memperlakukan dirinya saat menjadi
anak, maka orang tua merasa sudah cukup bekal untuk menjalani
masa tua di kemudian hari. Namun, seiring perkembangan zaman,
maka parenthood saja tidaklah cukup (Lestari, 2012:35).
Menurut Lestari (2012:35) salah satu alasan yang mendasari
mengapa saat ini parenthood saja tidak cukup adalah komentar yang
sering dikemukakan para orang tua bahwa anak-anak sekarang
berbeda dengan anak-anak zaman dulu. Kini, istilah parenthood
digeser dengan istilah parenting yang di Indonesia istilah ini dimaknai
dengan pengasuhan.
Tidak banyak buku bacaan yang mengangkat topik seputar
pengasuhan (parenting), khususnya di Indonesia. Bacaan yang
tersedia lebih banyak ditemukan dalam format tabloid maupun
majalah. Namun, tidak dengan buku yang sedang Anda baca ini,
topik pengasuhan (parenting) dikemas dalam bentuk buku, sehingga
di dalamnya bisa kita temukan tulisan-tulisannya tidak hanya tulisan
populer namun juga ilmiah, berdasarkan riset empiris maupun kajian
pustaka yang dilakukan para kontributor tulisan.
Apresiasi yang setinggi-tingginya diberikan kepada para
kontributor tulisan yang telah menuangkan hasil riset empiris maupun
kajian pustakanya sehingga terkumpul empat belas tulisan yang
vi

beragam seputar pengasuhan (parenting). Demikian halnya dengan


tim penyunting (editor) yang telah menyusun beragam tulisan dari
kontributor tulisan menjadi satu buku ini.
Akhir kata, bagi para pembaca, mari kita upayakan untuk terus
belajar tentang pengasuhan (parenting) pada anak-anak kita, salah
satunya dengan membaca buku ini. Dengan semakin banyaknya
pemahaman tentang pengasuhan (parenting) dan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari, harapannya akan tercipta generasi
yang berkualitas di kemudian hari. Selamat membaca..

Bangkalan, November 2021

Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.


Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
Wilayah Jawa Timur (Cabang Bangkalan)
vii

KATA PENGANTAR EDITOR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas


karunia-Nya, kami mampu mengumpulkan dan menyunting tulisan
ini. Buku Psikologi Parenting ini disusun dengan maksud untuk
memberikan bacaan alternatif bagi para orang tua, mahasiswa,
dosen program studi psikologi, dosen program studi pendidikan
guru pendidikan anak usia dini, guru pendidikan anak usia dini,
para pemerhati parenting maupun pemerhati perkembangan anak
dan remaja.
Buku ini merupakan kumpulan dari berbagai tulisan seputar
pengasuhan (parenting) yang ditulis para ilmuwan maupun praktisi
di bidang psikologi. Isi buku terbagi menjadi dua bagian. Bagian I
membahas Parenting pada Anak dan Bagian II membahas Parenting
pada Remaja.
Bagian I tulisannya terdiri dari: 1) Mindful Parenting, Implementasi
Pengasuhan Berbasis Hak Anak (Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si.);
2) Gaya Pengasuhan Orangtua Berdasarkan Determinasi Diri
(Dr. Hanggara Budi Utomo, M. Pd., M.Psi. & Rosa Imani Khan,
S.Psi., M.Psi); 3) Pengasuhan Anak Melalui Emotion Coaching (Dr.
Yettie Wandansari, M.Si., Psikolog); 4) Memahami Androgini:
Pengasuhan dalam Perspektif Gender (Agustin Rahmawati, M.Si.,
Psikolog); 5) Memaknai Pengalaman Pengasuhan Orangtua Bagi
Anak Berkebutuhan Khusus di Masa Pandemi: Studi Literatur (Dr.
Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog);
Pada bagian I ini juga dibahas tentang: 6) Connect atau Disconnect:
Aktivitas Literasi Keluarga Sebagai Sarana Pengasuhan Untuk
viii

Memperkuat Komunikasi Keluarga (Dr. Ermida Simanjuntak, M.Sc.,


M.Psi., Psikolog); 7) Kecanduan Game Online dan Keberfungsian
Keluarga (Onny Fransinata Anggara, M.Psi., Psikolog); 8) Peran
Orangtua dalam Pendampingan Anak yang Mengalami Post Traumatic
Stress Disorder Akibat Bullying (Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog &
Dr. Setyaningsih, S.Psi., M.Si.); 9) Menumbuhkan Minat Belajar pada
Anak (Nailur Rohmah, S.Psi., M.A. & Dr. Netty Herawati, M.Psi.,
Psikolog); 10) Membersamai Anak dalam Pendidikan Spiritual (Dr.
Netty Herawati, M.Psi., Psikolog); 11) Sampai Jumpa Picky Eater:
Panduan Praktis Orangtua Bagi Anak yang Mengalami Picky Eater
(Dwi Nurhayati Adhani, M.Psi., Psikolog).
Bahasan pada Bagian II, antara lain berisi tentang: 1) Keharmonisan
Keluarga dan Pengasuhan Orangtua pada Remaja (Rosyida Qorrin,
S.Psi. & Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.); 2) Perundungan Siber pada
Remaja dan Pola Asuh Single Parent Ayah (Ira Mustika, S.Psi. dan
Mery Atika, S.Psi., M.Si.); 3) “Maah, Kenapa Habis Mimpi Gituan,
Celanaku kok Basah?”: Upaya Membangun Komunikasi Seputar
Seksualitas pada Remaja Laki-laki (Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.).
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan
kepada tujuhbelas kontributor tulisan yang telah mengirimkan
tulisan hingga menjadi buku ini. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
Wilayah jawa Timur Cabang Bangkalan, Dr. Yudho Bawono, S.Psi.,
M.Si. yang telah berkenan memberikan kata pengantar di buku ini.
Merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri atas apresiasi
yang diberikan pada buku ini.
Tak ada gading yang tak retak. Buku ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kami dengan kerendahan hati, berharap adanya kritik dan
saran yang dapat menyempurnakan buku ini.

Bangkalan, November 2021


ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
KETUA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI)
WILAYAH JAWA TIMUR CABANG BANGKALAN................v
KATA PENGANTAR EDITOR.................................................... vii
DAFTAR ISI......................................................................................ix

BAGIAN I
PARENTING PADA ANAK...........................................................1
MINDFUL PARENTING, IMPLEMENTASI
PENGASUHAN BERBASIS HAK ANAK
Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si................................................3
GAYA PENGASUHAN ORANG TUA
BERDASAR DETERMINASI DIRI
Dr. Hanggara Budi Utomo, M.Pd., M.Psi.
& Rosa Imani Khan, S.Psi., M.Psi............................................17
PENGASUHAN ANAK MELALUI
EMOTION COACHING
Dr. Yettie Wandansari, M.Si., Psikolog...................................29
MEMAHAMI ANDROGINI: PENGASUHAN
DALAM PERSPEKTIF GENDER
Agustin Rahmawati, M.Si., Psikolog......................................47
MEMAKNAI PENGALAMAN PENGASUHAN
ORANG TUA BAGI ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS DI MASA PANDEMI: STUDI LITERATUR
Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog..........................59
x

CONNECT ATAU DICONNECT?: AKTIVITAS


LITERASI KELUARGA SEBAGAI SARANA
PENGASUHAN UNTUK MEMPERKUAT
KOMUNIKASI KELUARGA
Dr. Ermida Simanjuntak, M.Sc., M.Psi., Psikolog.................73
KECANDUAN GAME ONLINE
DAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA
Onny Fransinata Anggara, M.Psi., Psikolog..........................89
PERAN ORANG TUA DALAM PENDAMPINGAN
ANAK YANG MENGALAMI POST TRAUMATIC
STRESS DISORDER AKIBAT BULLYING
Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog
& Dr. Setyaningsih, S.Psi., M.Si.............................................101
MENUMBUHKAN MINAT BELAJAR PADA ANAK
Nailur Rohmah, S.Psi., M.A.
& Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog................................133
MEMBERSAMAI ANAK DALAM
PENDIDIKAN SPIRITUAL
Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog....................................143
SAMPAI JUMPA PICKY EATER: PANDUAN
PRAKTIS ORANG TUA BAGI ANAK YANG
MENGALAMI PICKY EATER
Dwi Nurhayati Adhani M.Psi., Psikolog..............................155
BAGIAN II
PARENTING PADA REMAJA...................................................167
KEHARMONISAN KELUARGA DAN
PENGASUHAN ORANG TUA PADA REMAJA.....................
Rosyida Qorrin, S.Psi.
& Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.........................................169
PERUNDUNGAN SIBER PADA REMAJA
DAN POLA ASUH SINGLE PARENT AYAH
Ira Mustika, S.Psi. & Mery Atika, S.Psi., M.Si......................185
xi

“MAAH.. KENAPA HABIS MIMPI GITUAN,


CELANAKU KOK BASAH?”:UPAYA
MEMBANGUN KOMUNIKASI SEPUTAR
SEKSUALITAS PADA REMAJA LAKI-LAKI
Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.............................................199

TENTANG KONTRIBUTOR TULISAN....................................213


1

BAGIAN I
PARENTING PADA ANAK
3

MINDFUL PARENTING, IMPLEMENTASI


PENGASUHAN BERBASIS HAK ANAK
Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si
Universitas PGRI Semarang
[email protected]

A. Pendahuluan

Keluarga adalah pondasi awal untuk tumbuh kembang anak


yang akan membentuk kepribadiannya. Sebelum anak mengenal
lingkungan yang lain, keluarga sudah memberikan dasar-dasar
untuk perkembangan anak. Dengan demikian, keluarga merupakan
ujung tombak dalam pembentukan kepribadian anak, dan orang tua
adalah guru utama di tahun-tahun pertama kehidupan anak. Hal ini
karena orang tua adalah “model” bagi anak.
Dalam tumbuh kembangnya, akan lebih baik jika kebutuhan-
kebutuhan anak diperhatikan untuk kesejahteraannya. Dalam hal
ini kesejahteraan anak mengacu pada terpenuhinya segala hak dan
kebutuhan hidup anak ((Fitri et al., 2015). Ketika anak dalam kondisi
sejahtera, hal ini merupakan pertanda penting kemajuan Indonesia
dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
pada 2030 kelak (UNICEF, 2020)
Meskipun demikian, kenyataan saat ini menunjukkan bahwa
banyak sekali peristiwa di masyarakat yang rentan dengan
4

permasalahan keluarga. Bisa jadi kondisi ini menunjukkan adanya


kerapuhan keluarga, seperti misalnya banyaknya kasus perceraian,
kekerasan dalam rumah tangga maupun perilaku anak-anak yang
semakin mengkhawatirkan, seperti kenakalan remaja, kekerasan
seksual remaja, akses pornografi, serta penggunaan narkoba. Kondisi
tentang anak-anak yang bermasalah juga disampaikan oleh (UNICEF,
2020) tentang situasi anak di Indonesia bahwa penyalahgunaan zat
(khususnya dalam bentuk merokok dan konsumsi alcohol) adalah
masalah yang meluas di kalangan remaja Indonesia, terutama lelaki.
Lebih dari separuh (55,3 persen) remaja lelaki usia 15–19 menyatakan
mengonsumsi tembakau setiap hari dan 15,5 persen mengonsumsinya
sesekali.
Pada umumnya ketika orang tua terlibat dalam konflik rumah
tangga, anak akan selalu menjadi korban yang bisa jadi akan merusak
perilaku dan tumbuh kembangnya. Dalam kondisi demikian ada
hak-hak anak yang terampas karena permasalahan orang tua. Anak
mengalami dampak psikis karena permasalahan orang tua. Sementara
itu, di sisi lain, orang tua sering kali masih menuntut anak berprestasi
baik, ataupun menuntut anak memenuhi harapan orang tua, tetapi
kurang memahami potensi anak. Hal ini terkadang mengakibatkan
anak merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Akan sangat
berbahaya jika kemudiaan anak “berpaling” pada seseorang yang
kurang bertanggung jawab. Belum lagi dengan adanya perkembangan
teknologi jika tidak dimaknai secara positif akan berdampak buruk
bagi perkembangan anak.
Situasi ini juga ditemui penulis berdasarkan hasil diskusi pada
salah satu program parenting di sekolah, diantaranya keinginan anak
dan orang tua yang berbeda sehingga anak sering kali membantah
orang tua bahkan terkesan semaunya sendiri. Kondisi ini semakin
tampak nyata pada situasi pandemi yang menuntut anak dan orang
tua sering berada di rumah sehingga waktu untuk bertemu dan
5

berinteraksi juga semakin banyak. Kondisi ini juga diperparah dengan


adanya pembelajaran daring yang seringkali membosankan bagi anak.
Dengan demikian, keberadaan orang tua dan anak di rumah
yang seharusnya dapat mempererat hubungan, akan tetapi
kenyataannya justru semakin memperuncing permasalahan karena
adanya ketidaksepahaman. Kondisi ini, seperti telah disampaikan
sebelumnya bahwa ada kebutuhan atau hak anak yang kurang
terpenuhinya, diantaranya adalah hak untuk tumbuh kembang dan
hak perlindungan. Jika kondisi ini dibiarkan, permasalahan akan
semakin tajam. Dengan demikian diperlukan suatu strategi yang
tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian (Handayani et al., 2016) diketahui bahwa penerapan pola
asuh yang tepat; yaitu pola asuh berkesadaran (mindful parenting)
menjadi dasar untuk mewujudkan keluarga ideal. Hasil penelitian
(Rinaldi, 2017) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa dengan
mengimplementasikan mindful parenting, ibu mampu menerima
segala pengalaman dalam pengasuhan tanpa memberi penilaian
terhadap situasi yang dialami anak dan lingkungan di sekitar anak.
Konsep mengasuh berkesadaran mulai diminati di Indonesia ,
sehingga mendorong lahirnya kajian baru tentang Mindful
parenting (Sofyan, 2018),
Mindful parenting adalah pola asuh berkesadaran ketika orang tua
menjaga pikiran, ucapan dan perilaku dari hal-hal yang tidak patut
dilakukan dalam mengasuh anak. Ketika orang tua menerapkan
pengasuhan yang berkesadaran dengan adanya komunikasi yang
baik, mampu mengelola emosi, penuh kasih sayang menunjukkan
terpenuhinya hak-hak anak. Meskipun demikian tidak semua orang
tua mampu menerapkan kesadaran dalam mengasuh untuk menunjang
kesejahteraan anak. Tulisan ini akan mengupas bagaimana mindful
parenting, sebagai salah satu bentuk pengasuhan yang memenuhi
kebutuhan atau hak anak untuk menunjang kesejahteraannya.
6

B. Tinjauan Teori

1. Mindful parenting
Melly Kiong (2015) menjelaskan bahwa “parenting“ diartikan
sebagai “pola mengasuh” yaitu orangtua mengasuh anak-anaknya
agar tumbuh menjadi pribadi-pribadi unggul. “mindful” adalah
“berkesadaran, eling“ atau yang mengacu pada orang yang
selalu menjaga kesadarannya dari pikiran, ucapan, dan semua
perilaku yang kurang pantas. Pendekatan berkesadaran (mindful)
dalam mengasuh anak (parenting) adalah salah satu metode yang
disarankan untuk membangun hubungan yang ideal (Handayani
et al., 2016) serta aman/secure antara orang tua dan anak (Siegel
& Hartzell, 2003).
Ducan et al (2009) serta Kiong (2015) menjelaskan bahwa
model mengasuh berkesadaran terdiri dari lima segmen atau
aspek yaitu:
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara
dengan empati
Perhatian yang benar dan kesadaran (eling) untuk
menerima pengalaman saat ini (present moment) merupakan
hal utama dari hidup berkesadaran dan juga untuk parenting
yang efektif. Orangtua memberikan fungsi pelindung untuk
anak-anak yang membutuhkan perasaan aman dan menjaga
anak dari bahaya.
Orang tua yang mempraktikkan konsep mendengar dan
berbicara secara eling/ berkesadaran, akan lebih sensitif
terhadap isi percakapan dan lebih memahami serta mengerti
anak dari perubahan nada suara, ekspresi wajah, dan
bahasa tubuh. Selain itu orang tua lebih mampu mendeteksi
kebutuhan anak dan makna yang disampaikan anak. Orang
tua dapat menangkap makna tersembunyi di balik kalimat-
kalimat yang diucapkan anak, atau perubahan bahasa tubuh
yang ditampilkan anak.
7

Sebagian besar informasi yang dikumpulkan orang tua


adalah hanya melalui laporan lisan dan bukan pengamatan
secara langsung (Smetana et.al. 2006). Orangtua perlu
memahami pikiran dan perasaan anak sehingga orang tua
lebih mengerti kondisi mereka, bahkan dapat mengurangi
konflik serta perselisihan. Paling utama adalah orang tua telah
membangun keberanian anak untuk lebih terbuka dengan
komunikasi dua arah (Smetana et.al. 2006).
b. Pemahaman dan penerimaan untuk tidak menghakimi
diri sendiri dan anak
Orang tua melalui pesan perilaku dan pesan verbalnya,
menekankan dan mengomunikasikan keyakinan mereka
tentang atribut dan kompetensi yang harus diterima dan
dimiliki anak. Pola seperti ini karena keinginan agar anak
seperti yang inginkan orang tua, meskipun terkadang sangat
tidak realistis untuk anak.
c. Kesadaran emosional diri sendiri dan anak
Model mengasuh berkesadaran menekankan pada
kapasitas orang tua atas perhatiannya terhadap emosi dalam
diri dan anaknya. Kecerdasan emosional yang baik pada
gilirannya akan men-trigger proses evaluasi otomatis yang
menuntun pada penetapan perilaku yang baik. Orang tua
yang memahami dimensi ketiga dapat mengidentifikasi emosi
dirinya dan emosi anak dengan memberikan perhatian yang
berkesadaran pada saat interaksi. Orang tua dapat membuat
pilihan secara sadar tentang bagaimana merespons, daripada
selalu reaktif.
d. Pengaturan-diri dalam hubungan pengasuhan/parenting.
Pengaturan dan pengendalian diripada dasarnya adalah
proses di mana orang tua tidak menunjukkan fluktuasi
berlebihan terhadap perilaku anak. Orang tua sering merusak
8

anak dengan terlalu menyanjung, terlalu membanggakan,


terlalu mengelu-elukan prestasi anak. Bahkan sebaliknya
terlalu menghakimi, memandang remeh, atau menyepelekan
anak. Kedua ekstrim ini sebaiknya dihindari, karena mindful
adalah tenang terkendali.
e. Welas asih untuk diri sendiri dan anak.
Welas asih dalam konsep ini adalah tidak menyalahkan diri
ketika tujuan tidak tercapai, yang kemudian mampu bangkit
kembali untuk mengejar tujuan tersebut. Mengembangkan
welas asih dalam keluarga, akan melahirkan anak-anak yang
peduli kepada sesama dan lingkungan.
Berdasarkan gambaran tersebut, dapat disimpulkan
bahwa mengasuh berkesadaran adalah metode pengasuhan
dengan mengacu pada sikap, perilaku, ucapan dan
penampilan orang tua yang selalu memiliki kesadaran/
eling dalam mengasuh anak sehingga terjalin hubungan
aman antara orang tua dan anak. Kondisi ini ditunjukkan
dengan mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara
dengan empati, pemahaman dan penerimaan untuk tidak
menghakimi, pengaturan emosi atau kecerdasan emosional,
mengasuh dengan bijaksana dan tidak berlebihan, dan welas
asih.
2. Hak anak
Berbicara tentang hak anak, tidak dapat dilepaskan dari
Konvensi Hak Anak (KHA) yang merupakan perjanjian bersama
antar negara untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
hak anak. Konvensi Hak Anak adalah sebuah sejarah perlindungan
terhadap hak anak berupa perjanjian yang menjamin perlindungan
hak anak di dunia. Sejalan dengan itu, pemerintah Indonesia
meratifikasi Konvensi Hak Anak ini dengan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1996 (Lestari, 2017).
9

Hak anak adalah hak dasar yang wajib diberikan dan


didapatkan anak atau individu. Menurut Undang-Undang
Perlindungan Anak, anak-anak adalah individu yang masih
berusia di bawah 18 tahun. Dalam hal ini jika dikatakan hak
tentunya harus dipenuhi, sebagai bentuk tanggung jawab orang
tua, terutama dalam konteks pengasuhan.
Dalam KHA terdapat 10 Hak Anak yaitu hak gembira, hak
untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan perlindungan,
memperoleh nama, hak atas kebangsaan, hak mendapatkan
makanan, kesehatan, rekreasi serta kesamaan hak peran dalam
pembangunan. Selanjutnya disebutkan bahwa KHA mengatur
empat golongan hak utama anak yaitu hak kelangsungan hidup,
hak tumbuh kembang, hak partisipasi dan hak perlindungan (Fitri
et al., 2015). Kondisi ini juga termaktub dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak disebutkan bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” (Gunadi, 2017)
Hak kelangsungan hidup, merupakan hak untuk
mempertahankan hidup, mendapatkan nama yang baik, serta
beribadah sesuai agama yang dianut. Hak tumbuh kembang
merupakan hak yang diperlukan anak dalam tumbuh kembang
sesuai potensi serta untuk mendapatkan standar hidup yang layak
seperti mendapatkan tempat tinggal, pendidikan, bermain, bergaul
serta istirahat yang cukup. Hak perlindungan menunjukkan
bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari
tindakan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekerasan
maupun perlakuan salah lainnya. Menurut (Fitri et al., 2015)
bahwa perlindungan terhadap anak meliputi upaya menjamin
dan melindungi anak agar tetap hidup, tumbuh kembang serta
10

turut aktif berpartisipasi dan juga dilindungi dari tindak kekerasan


dan diskriminasi. Sedangkan hak berpartisipasi merupakan hak
anak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, mencari
dan menerima informasi sesuai dengan kehidupannya sebagai
anak-anak. Perlindungan hak anak penting untuk menjamin
anak menerima segala hal yang dibutuhkan anak untuk bertahan
hidup, dan bertumbuh kembang (Fitriani, 2016)
3. Mindful parenting, implementasi pengasuhan berbasis
hak anak
Implementasi pengasuhan berbasis hak anak memang
tidaklah mudah, banyak hal harus dipelajari oleh orang tua mulai
dari pemahaman kondisi psikis, fisik, kognitif, emosi, dan sosial
anak berdasarkan usia tumbuh kembang anak, dan juga tentang
hak anak itu sendiri. Hal ini karena realita di masyarakat, tidak
sedikit orang tua yang belum memahami peran penting dalam
mendukung perkembangan anak. Orangtua kurang memiliki
kesadaran dan kemampuan dalam mengasuh anak dengan baik,
sehingga hak-hak anak terabaikan. Seperti misalnya orang tua
cenderung memberikan peraturan yang justru mengekang anak
dan membuat anak tidak dapat berkembang dengan baik. Hal ini
menunjukkan adanya hak dasar anak tentang tumbuh kembang,
partisipasi dan hak perlindungan yang terabaikan. Kondisi
ini sejalan dengan hasil penelitian (Nomor & Faz, 2021) yang
menunjukkan bahwa masih banyak orang tua dalam menerapkan
peraturan kepada anak cenderung bermusuhan (hostility) dan
termasuk dalam pengasuhan negatif. Sebagian orang tua bahkan
tidak segan melakukan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak.
Adanya model pengasuhan yang berkesadaran (mindful
parenting) yaitu ketika orang tua menjaga kesadarannya baik
dalam hal pikiran, ucapan, dan perilaku yang kurang pantas
diperlakukan terhadap anak merupakan pengasuhan yang relevan
11

yang dengan terpenuhinya hak-hak anak demi kesejahteraan anak.


Pada dasarnya semua aspek dalam mindful parenting memenuhi
hak anak untuk kelangsungan hidup. Karena tanpa adanya empati,
pemahaman diri sebagai orang tua dan juga anak, adanya kontrol
emosi, sikap bijaksana dalam pengasuhan serta adanya sikap
kasih sayang mustahil anak dapat melanjutkan kehidupannya.
Dalam kondisi tidak ada kesadaran dalam pengasuhan sangat
mungkin terjadi kekerasan yang dapat berdampak negatif untuk
anak. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan pada
aspek lain mindful parenting menunjukkan terpenuhinya hak
anak. Berikut adalah beberapa implementasi hak anak dengan
memperhatikan aspek dalam mindful parenting, yaitu :
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara
dengan empati
Dalam hal ini orang tua membangun komunikasi
dengan anak sehingga anak merasa aman dan nyaman ketika
menyampaikan hal-hal yang dialami. Implementasi mindful
parenting pada aspek ini adalah adanya hak partisipasi,
tumbuh kembang dan perlindungan. yaitu dengan mengajak
anak turut berbicara dan belajar untuk berani dalam
mengambil suatu keputusan. Hal ini akan membantu anak
memiliki modal untuk menjalani kehidupan bermasyarakat
nantinya. Kondisi tersebut diantaranya melalui cara sederhana
seperti hal-hal yang dialami anak sepanjang hari, masalah
yang dihadapi anak, upaya yang dilakukan anak dalam
menghadapi masalah, serta membantu anak mengevaluasi
setiap peristiwa yang dialami beserta hikmah yang dapat
diterima anak pada kejadian atau peristiwa tersebut. Menurut
Syam, Nandang, Al Aarisi & Day (Handayani et al., 2019)
bahwa bentuk komunikasi verbal maupun non verbal
seperti pelukan, ciuman dan sentuhan perlu dipupuk dan
dilatih kepada anak-anak sejak dini. Dalam situasi anak
12

berkumunikasi dengan orang tua dengan penuh empati


menunjukkan adanya perlindungan dari orang tua dan juga
akan mendukung tumbuh kembang anak.
b. Pemahaman dan penerimaan untuk tidak menghakimi
diri sendiri dan anak
Hasil penelitian (Rinaldi, 2017) menunjukkan bahwa
dengan mengimplementasikan mindful parenting pada anak,
membuat ibu mampu menerima segala pengalaman dalam
pengasuhan tanpa memberi penilaian terhadap situasi
yang dialami anak dan lingkungan disekitar anak. Dalam
hal ini orang tua yang terlalu memikirkan presepsinya
tanpa memahami dan menerima kondisi nyata dari anak
seringkali justru membuat anak merasa tertekan. Tuntutan
dari orangtua akan membuat anak justru merasa terbebani
sebab kurang realistis dengan kondisi anak. Hal itu tentunya
akan mengganggu tumbuh kembang anak. Namun jika
orangtua mampu memberikan pemahaman dan penerimaan
untuk tidak menghakimi diri sendiri dan anak, maka orang
tua sudah mengimplementasikan hak tumbuh kembang
anak dengan baik. Ketika orang tua tidak menghakimi
diri sendiri dan anak, maka berarti orang tua memberikan
kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi diri dengan
baik tanpa adanya perasaan takut disalahkan, sehingga akan
memberikan dampak positif pula pada tumbuh kembang
anak. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus
diberikan pendidikan dan pemenuhan haknya untuk tumbuh
dan berkembang dengan memanfaatkan segala potensi yang
dimiliki (Herlina & Nadiroh, 2018)
c. Kesadaran emosional diri sendiri dan anak
Orang tua yang menyadari arti penting mindful
parenting akan menjaga emosi diri untuk tidak melakukan
13

tindak kekerasan. Dalam hal ini berarti kebutuhan anak


akan perlindungan terpenuhi. Demikian juga halnya akan
tumbuh kembang. Karena ketika anak dalam tumbuh dalam
kondisi emosional yang baik, akan mendukung tumbuh
kembangnya. Seseorang yang memiliki rasa kemanusiaan
dalam dirinya akan memiliki kesadaran akan nilai penting
pemenuhan hak anak sebagai manusia sehingga mampu
meminimalisir kekerasan yang dilakukan orang dewasa
pada anak (Ambarsari & Harun, 2018).
d. Pengaturan-diri dalam hubungan pengasuhan/parenting.
Pengaturan diri dalam hubungan pengasuhan/parenting
juga turut berkontibusi dalam pemenuhan hak anak terkait
hak tumbuh kembang anak. Pengaturan di sini memiliki
makna orangtua mampu bersikap bijaksana terhadap
keberhasilan ataupun kekurangan anak. sikap demikian tidak
menjadikan anak menjadi sombong ataupun merasa rendah
diri, yang kesemuanya tidak baik untuk tumbuh kembang
anak selanjutnya. Menurut Pomerantz, Grolnick dan Prince
(2005) jika orang tua bersikap positif dan memperhatikan
anak meski anak memiliki rasa frustrasi terhadap tugas-tugas
sekolahnya, hal ini akan membantu anak untuk bersikap ulet
dan belajar. Orang tua menyeimbangkan antara kegiatan
belajar yang dapat menciptakan ketergantungan dengan
mendorong kemandirian anak yang memunculkan inisiatif.
e. Welas asih untuk diri sendiri dan anak
Welas asih dalam pengasuhan terhadap anak mampu
mengembangkan rasa kasih sayang pada anak sehingga
mampu membentuk anak untuk dapat peduli terhadap
lingkungan di sekitar anak. Bagi orang tua yang menerapkan
sikap welas asih juga dapat menghindari tindakan kekerasan
terhadap anak sehingga mampu menjamin hak hidup dengan
14

layak bagi anak. Selain tentunya akan berdampak baik untuk


tumbuh kembangnya.

C. Penutup

Kepribadian anak dibentuk oleh lingkungan terdekat anak, yaitu


keluarga terutama orang tua. Penting untuk melakukan pengawasan
dan pengarahan perilaku terhadap setiap fase tumbuh kembang anak.
Kepribadian anak akan terbentuk baik apabila orang tua mampu
menerapkan pola asuh yang baik pula, diantaranya melalui pola
asuh berkesadaran (mindful parenting) yang mengutamakan hak anak.
Akan tetapi, dalam realitas di lapangan masih banyak orang tua yang
belum memiliki kesadaran penuh dalam pengasuhan terhadap anak
serta kurangnya pengetahuan orang tua akan pentingnya mindful
parenting. Orang tua cenderung melakukan pola asuh yang benar
hanya dalam pandangan orangtua, tanpa memperhatikan kondisi
anak. Akhirnya tak jarang banyak sekali anak yang melakukan
tindakan kriminal dan penyimpangan perilaku yang disebabkan
oleh kesalahan pola asuh dari orang tua.
Mindful parenting merupakan pola asuh berkesadaran ketika orang
tua menjaga pikiran, ucapan dan perilaku dari hal-hal yang tidak patut
dilakukan dalam mengasuh anak. Mindful parenting relevan dengan
terpenuhinya hak anak. Ketika orang tua mampu berkomunikasi
dengan penuh empati, tidak menghakimi diri maupun anak, adanya
kontrol emosi, sikap bijaksana dalam pengasuhan serta adanya sikap
kasih sayang berarti keempat hak dasar anak telah terpenuhi.
15

Daftar Pustaka

Ambarsari, L. and Harun, H., 2018. Sekolah Ramah Anak Berbasis Hak
Anak Di Sekolah Dasar. Profesi Pendidikan Dasar, 5(1), pp.10-19.
Duncan, Larissa G, J. Douglas Coatsworth, & Mark T. Greenberg.
(2009). A Model of Mindful Parenting: Implication for Parent-
Child Relationship and Prevention Research. Clin Child Fam
Psychol Rev, 12, 255-270. Diunduh melalui Springerlink.com,
pada tanggal 23 April 2016.
Fitri, A. N., Riana, A. W., & Fedryansyah, M. (2015). Perlindungan
Hak-Hak Anak Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Anak.
Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1),
45–50. https://doi.org/10.24198/jppm.v2i1.13235
Fitriani, R. (2016). Anak dalam Melindungi dan Memenuhi Hak-hak
Anak. Jurnal Hukum : Samudra Keadilan, 11(2), 250–258.
Gunadi, A. A. (2017). Aj 5. 38–43.
Handayani, A., Yulianti, P. D., Nyoman M., N. A., & Setiawan, A.
(2019). Mindful Parenting Based on Family Life Cycle [Mengasuh
Berkesadaran Berdasarkan Tahap Perkembangan Keluarga].
ANIMA Indonesian Psychological Journal, 35(1), 56–84. https://
doi.org/10.24123/aipj.v35i1.2882
Handayani, A., Yulianti, P. D., & Nyoman, N. A. (2016). Mengasuh
berkesadaran berdasarkan tahap perkembangan keluarga
kedua. Prosiding Seminar Nasional, February 2019.
Herlina, N., & Nadiroh, N. (2018). Peran Strategis Ruang Publik
Terpadu Ramah Anak (Rptra) Dalam Rangka Pemenuhan Hak
Anak Terhadap Lingkungan. JPUD - Jurnal Pendidikan Usia
Dini, 12(1), 104–117. https://doi.org/10.21009//jpud.121.09
Lestari, R. (2017). IMPLEMENTASI KONVENSI INTERNASIONAL
TENTANG HAK ANAK (Convention on The Rights of The
Child ) DI INDONESIA. Journal of Chemical Information and
Modeling, 4(2), 1–10.
16

Nomor, V., & Faz, G. O. (2021). Syams : Jurnal Studi Keislaman Persepsi
Remaja Pelaku Tindak Pidana terhadap Gaya Pengasuhan Orangtua.
2.
Pomerantz, E. M., Grolnick, W. S., & Price, C. E. (2005). The
role of parents in how children approach achievement : A
dynamic process perspec tive .In A. J. Elliot & C. S Dweck
(Eds.), Handbook of competence and motivation (pp. 259 - 296).
Guilford Publications
Rinaldi, M. R. (2017). Program “ Mindful Parenting ” Untuk
Menurunkan Afek Mindful Parenting Program for Decreasing
Negative Affect on Mothers of Children With Intellectual.
Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 19(2), 129–140.
UNICEF. (2020). Situasi Anak di Indonesia - Tren, Peluang, dan
Tantangan dalam Memenuhi Hak-hak Anak. Unicef, 8–38.
17

GAYA PENGASUHAN ORANG TUA


BERDASAR DETERMINASI DIRI
Dr. Hanggara Budi Utomo, M.Pd., M.Psi. & Rosa Imani
Khan, S.Psi., M.Psi.
Universitas Nusantara PGRI Kediri
[email protected], [email protected]

A. Pendahuluan

Individu tumbuh dan berkembang dengan keunikannya masing-


masing. Setiap anak mempunyai karakter dan pola perilaku yang
berbeda sekalipun mereka adalah anak kembar. Misalnya, ada anak
yang cenderung pemberani, mudah dalam bergaul, senang mengobrol
dan mandiri, namun ada pula anak yang cenderung penakut,
sulit bergaul dan sangat bergantung kepada orang lain. Dalam
perkembangannya, karakter dimiliki oleh anak melalui peniruan
terhadap anggota-anggota keluarga yang ada di sekitar anak.
Perkembangan merupakan proses dimana individu mengalami
perubahan-perubahan seiring berjalannya waktu. Suryani dan
Widyasih (2010) memaparkan bahwa perkembangan adalah proses
perubahan psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan fungsi
psikologis dan fisik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
proses belajar dalam lintasan waktu menuju masa kedewasaan.
Perkembangan anak bukan terjadi secara mekanis-otomatis.
Perkembangan anak begitu bergantung pada bermacam-macam
faktor secara stimulan, antara lain: faktor herediter (bawaan),
18

faktor lingkungan, kematangan fungsi psikiologis, aktivitas anak


sebagai subjek bebas yang memiliki kemauan, kemampuan seleksi,
dapat menolak atau menyetujui, memiliki emosi, dan upaya untuk
membangun dirinya sendiri.
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi
setiap anak. Dalam sebuah keluarga, orang tua memiliki peran yang
sangat besar terhadap proses perkembangan anak. Sejak berada dalam
kandungan, orang tualah yang memberikan pendidikan berbentuk
stimulasi dini yang dapat merangsang tumbuh-kembang janin. Saat
anak telah lahir, orang tua jugalah yang pertama kali memberikan
pendidikan awal kepada anaknya melalui gaya pengasuhan. Menurut
Cramer sebagaimana dikutip oleh Suryadi dkk. (2017) menjelaskan
bahwa gaya pengasuhan adalah salah satu aspek dari proses dalam
keluarga yang memiliki peran terhadap perkembangan seorang anak.
Artinya, proses perkembangan seorang anak tidak dapat dipisahkan
dari bagaimana cara orang tuanya memperlakukannya.
Penjelasan di atas sejalan dengan hasil penelitian Budiman dan
Harahap (2015) yang menyatakan bahwa semua jenis gaya pengasuhan
atau pola asuh memiliki pengaruh terhadap perkembangan anak.
Selain itu, hasil penelitian dari Utami (2021) juga menjelaskan
bahwa masing-masing gaya pengasuhan yaitu pengasuhan otoriter,
pengasuhan demokratis, dan pengasuhan permisif yang diterapkan
dalam keluarga mempengaruhi perkembangan anak di masa depan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, melalui
tulisan ini, penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi tentang bagaimana
gaya pengasuhan orang tua ditinjau dari perspektif determinasi diri.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam menyusun kajian ini adalah


studi pustaka dengan pendekatan kualitatif. Teknik studi pustaka
yang dilakukan dalam kajian ini adalah teknik simak dan catat
19

dengan mengumpulkan data dengan cara menggunakan buku


elektronik, jurnal ilmiah, dan literatur ilmiah lainnya. Selanjutnya,
penulis mencatat dengan cara mengutip pendapat para ahli untuk
memperkuat landasan teori.

C. Pembahasan

1. Gaya pengasuhan
Orang tua dalam setiap keluarga selalu menginginkan anak-
anaknya menjadi terbaik sesuai dengan kemampuan dalam
diri anak. Keinginan orang tua supaya anak-anaknya menjadi
terbaik selanjutnya ditentukan oleh gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh orang tua. Konsep gaya atau pola pengasuhan
secara prinsipal menurut Baumrind sebagaimana dikutip
oleh Santrock (2010) merupakan kontrol dari orang tua dalam
membimbing dan terlibat dalam aktivitas anak untuk mendukung
tugas perkembangan anak menuju pada proses kedewasaan
secara fisik dan psikologis. Baumrind membedakan di antara
tiga pengasuhan utama, di antaranya: pola asuh demokratis/
otoritatif, otoriter, dan permisif (Santrock, 2010).
Pola pengasuhan demokratis atau dengan gaya otoritatif
sejatinya bersifat positif dan dapat mendorong untuk
mewujudkan kemandirian dalam diri anak. Konsekuensi dari
gaya pengasuhan demokratis ini adalah orang tua harus dapat
mengontrol perilakunya dan menempatkan batas-batas kendali
atas perilakunya. Komunikasi dua arah antara anak dan orang
tua dapat memberikan info atas aktivitas anak dan orang tua, dan
memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan
suatu tindakan yang disepakati. Orang tua yang menerapkan
pola pengasuhan dengan gaya otoritatif ini secara berproses
berdampak pada anak untuk terlibat lebih dewasa, muncul
kemandirian dalam diri anak dan mampu mengendalikan diri
serta emosi, yang selanjutnya anak mampu mengatasi masalah
yang terjadi dalam dirinya.
20

Pola atau gaya pengasuhan orang tua berikutnya adalah


pengasuhan otoriter. Berbeda dengan pola pengasuhan
demokratis, pola pengasuhan otoriter lebih tertuju pada orang
tua yang menghargai kepatuhan untuk mengkondisikan anak-
anak mereka agar memenuhi standar orang tua, cenderung
membatasi, dan mendesak anak untuk mengikuti segala perintah
orang tua. Pengasuhan otoriter dengan demikian tidak memiliki
dukungan otonomi, tetapi dapat melibatkan tingkat keterlibatan
yang cukup tinggi atau, sebaliknya, hampir tidak ada sama
sekali (Ryan & Deci, 2017). Orang tua yang menerapkan pola
pengasuhan dengan gaya otoriter ini nampak dalam diri anak
menunjukkan kurang adanya kebahagiaan, takut salah, merasa
rendah diri, dan memiliki kemampuan komunikasi yang kurang.
Gaya pengasuhan orang tua selanjutnya adalah pengasuhan
permisif. Orang tua yang permisif mungkin terlalu memanjakan
anak, tetapi bagaimanapun juga, orang tua tidak secara aktif
mengomunikasikan pedoman, aturan, dan batasan penting kepada
anak-anaknya. Sikap permisif jelas menunjukkan kurangnya
struktur dan panduan, dan menyiratkan kurangnya keterlibatan
konstruktif, meskipun beberapa orang tua permisif sangat terlibat
dengan anak-anaknya dan memberi apa yang diinginkan oleh
anak. Sisi yang lain, orang tua yang permisif cenderung tidak
mengajukan permintaan dan tidak mendukung keterlibatan
anak supaya mandiri (Ryan & Deci, 2017). Orang tua yang
menerapkan pola pengasuhan dengan gaya permisif ini berakibat
anak cenderung melakukan kesalahan dan pelanggaran sehingga
anak tidak mampu mengendalikan perilakunya, kurang dewasa,
memiliki harga diri rendah, dan terasingkan dari keluarga.
2. Determinasi diri
Determinasi diri memberikan makna bahwa individu adalah
organisme yang aktif mengembangkan perilaku dan tujuannya
21

(Deci & Ryan, 2000) Determinasi diri dan penyesuaian hidup


pada masa dewasa dapat dikatakan berhasil bila sesuai dengan
tiga kriteria, yaitu prestasi, kepuasan, dan penyesuaian pribadi
yang tercermin dalam kepribadian seseorang. Ketiga kriteria
tersebut saling berkaitan begitu erat sehingga salah satu kriteria
saja tidak cukup untuk menilai penyesuaian perilaku dan tujuan
individu dalam menentukan pilihan dalam hidupnya (Deci &
Ryan, 2000; Hurlock, 2011).
Determinasi diri adalah suatu proses memanfaatkan kehendak
atau kontrol yang dimiliki oleh diri. Determinasi diri menuntut
agar individu-individu menerima kekuatan dan keterbatasannya,
mengetahui berbagai kekuatan yang bertindak atas dirinya,
membuat pilihan, dan menentukan cara-cara memenuhi
kebutuhan. Keterkaitan antara kontrol dan determinasi diri
adalah bahwa untuk memiliki determinasi diri, individu harus
memutuskan cara menindak lingkungan. Individu tidak akan
merasa puas apabila semua kebutuhannya terpenuhi secara
otomatis, tanpa individu tersebut memiliki pilihan-pilihan dan
memutuskan cara mencapai pilihan-pilihan tersebut. Hal ini
merupakan bagian integral dari perilaku yang termotivasi secara
intrinsik dan juga merupakan bukti dalam beberapa perilaku
yang termotivasi secara ekstrinsik (Deci & Ryan, 1985).
Motivasi yang ada dalam diri individu tertuju pada cara
menggerakkan diri sendiri atau orang lain untuk bertindak.
Para orang tua, guru, pelatih, dan manajer berjuang memotivasi
individu yang mereka bimbing, dan individu tersebut berjuang
untuk menemukan energi, mengerahkan upaya, dan bertahan
pada tugas-tugas kehidupan dan pekerjaan. Motivasi intrinsik
ini tidak selalu dihargai atau didukung secara eksternal, namun
demikian individu dapat mempertahankan gairah, kreativitas, dan
upaya secara berkelanjutan. Interaksi antara kekuatan ekstrinsik
22

yang bertindak pada individu, dan motif intrinsik serta kebutuhan


yang melekat dalam sifat manusia adalah tentang determinasi
diri (Deci & Ryan, 1985).
3. Gaya pengasuhan berdasar perspektif determinasi diri
Secara umum, determinasi diri dapat mengendalikan hidup
seseorang. Individu dapat memainkan peran penting dalam
meningkatkan kemampuan dan sikap yang dibutuhkan individu
melalui keterampilan mendeterminasi diri dan menciptakan
lingkungan dengan keterampilan yang dapat dipraktikkan.
Misalnya saja pendidik, bahwa tantangan determinasi diri
yang dialami pendidik adalah menemukan ide-ide yang
dapat digunakan di antara sumber daya yang mendukung di
lingkungannya (Browder dkk., 2001). Ide tersebut misalnya
pendidik dapat menggunakan pengalaman langsung dan belajar
sambil melakukan (learning by doing) bila menghadapi emosi anak
yang bermasalah (Utomo, 2021). Adanya pengalaman langsung
tersebut dapat menjadi implikasi bagi pendidik lainnya, dalam
hal ini adalah orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak.
Berdasar pada perspektif determinasi diri, gaya pengasuhan
orang tua yang paling menarik dalam model Baumrind adalah
pendekatan otoritatif. Gaya pengasuhan otoritatif menekankan
pada orang tua untuk mendorong anak menjadi mandiri, namun
pada saat yang sama, orang tua juga secara tegas mengharuskan
anak untuk mematuhi aturan dan pedoman yang telah disepakati
antara orang tua dan anak (Ryan & Deci, 2017). Senada dengan
hal tersebut, Santrock (2010) menyatakan bahwa gaya pengasuhan
otoritatif merupakan gaya pengasuhan ideal untuk perkembangan
anak karena orang tua otoritatif memiliki keseimbangan yang tepat
antara kendali dan otonomi, sehingga anak diberi kesempatan
untuk mandiri sembari memberikan standar dan panduan yang
dibutuhkan anak. Sisi yang lain, kehangatan dan keterlibatan
23

orang tua yang otoritatif dapat membuat anak bertanggung jawab,


memiliki rasa ingin tahu, dan adanya ketenangan diri dalam
bertindak. Ciri orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan
otoritatif menurut Widyarini (2009), antara lain: (1) orang tua
mengarahkan pemikiran anak secara rasional; (2) orang tua
mengajarkan anak untuk fokus pada masalah yang dihadapi;
(3) orang tua mengajarkan anak untuk menghargai ketika
berkomunikasi dengan orang lain; (4) orang tua menjelaskan
alasan yang rasional bila anak meminta sesuatu; (5) orang tua
mengajarakan pada anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi
juga mengajarkan anak untuk mandiri dan mengarahkan dirinya
sendiri; dan (6) orang tua tidak mendominasi, tetapi juga tidak
mendasarkan pada kebutuhan anak semata. Santrock (2010) juga
menekankan bahwa anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan
otoritatif akan memiliki karakteristik: “often cheerful, self-controlled
and self-reliant, and achievement oriented; they tend to maintain friendly
relations with peers, cooperate with adults, and cope well with stress”
atau anak sering terlihat ceria, dapat mengendalikan diri dan
mandiri, serta berorientasi pada pencapaian; anak cenderung
memelihara hubungan persahabatan dengan teman sebaya,
bekerja sama dengan orang dewasa, dan dapat mengatasi stres
dengan baik.
Determinasi diri dalam proses pengasuhan yang dilakukan
oleh orang tua sangat terkait dengan perkembangan psikologis
anak. Misalnya orang tua dapat memahami perkembangan
sosial dan emosi anak. Menurut Morris dkk. (2013) menunjukkan
bahwa gaya pengasuhan terkait dengan perkembangan emosional
pada anak-anak melalui respons orang tua terhadap emosi anak,
ekspresi emosi orang tua, dan iklim emosional dari hubungan
orang tua-anak. Orang tua yang merespons emosi negatif anak
dengan cara yang mendukung, seperti menggunakan respons yang
berfokus pada masalah, berfokus pada emosi, atau mendorong,
24

dapat membantu anak menjadi lebih kompeten secara sosial dan


emosional (Fabes dkk., 2002). Namun demikian, ada faktor yang
mempengaruhi psikologis orang tua untuk berperilaku dalam
mendukung anak untuk mandiri, yaitu keyakinan orang tua
tentang kemampuan anak mereka untuk berkembang secara
mandiri. Keyakinan orang tua yang otoritatif antara lain memberi
anak-anak mereka tingkat kesadaran emosional yang tinggi yang
memberikan rasa nyaman dan kemandirian serta membantu
mereka untuk berhasil di sekolah. Orang tua yang otoritatif
memberikan penjelasan kepada anak-anak mereka atas tindakan
mereka, yang memberi kesadaran dan pemahaman tentang nilai-
nilai dan moral. Selain itu, keyakinan orang tua yang otoritatif
adalah keterlibatan dalam komunikasi dua arah dengan anak-
anak mereka untuk meningkatkan keterampilan dalam hubungan
interpersonal dan membantu anak-anak menyesuaikan diri
dengan baik, serta berhasil secara sosial dan akademis (Starr,
2011).
Keyakinan orang tua akan penerapan gaya pengasuhan
otoritatif merupakan hal yang penting, karena konsep determinasi
diri mendukung gagasan bahwa anak-anak memainkan peran aktif
dalam perkembangan meraka sendiri. Melalui proses motivasi
intrinsik dan internalisasi, anak-anak secara aktif mengeksplorasi
lingkungan mereka, mengejar minat mereka, menghadapi
tantangan dan terlibat dalam kegiatan di mana mereka dapat
mengembangkan kompetensi mereka, serta menginternalisasi
perilaku, nilai-nilai dan sikap lingkungan sosial mereka. Dengan
demikian, anak-anak secara bawaan didorong untuk terlibat
dalam perilaku yang merupakan kunci perkembangan mereka
sendiri (Deci & Ryan, 2000). Perkembangan yang ditunjukkan
oleh anak bila orang tua yakin menerapkan gaya pengasuhan
otoritatif menurut Papalia dkk. (2009), antara lain: (1) anak lebih
adaptif terhadap lingkungan; (2) anak lebih percaya diri, namun
25

tidak berlebihan; (3) anak memiliki masalah emosional yang lebih


rendah dibandingkan dengan anak dengan gaya pengasuhan
selain otoritatif; (4) anak menghadapi masalah dengan lebih
bertanggung jawab.

D. Penutup

Gaya pengasuhan adalah suatu bentuk sikap orang tua untuk


mendidik anak didalam keluarga, yang terdiri atas tiga bentuk,
antara lain: demokratis/otoritatif, otoriter, dan permisif. Berdasar
pada perspektif determinasi diri, gaya pengasuhan orang tua yang
paling menarik adalah pendekatan otoritatif. Gaya pengasuhan
otoritatif menekankan pada orang tua untuk mendorong anak menjadi
mandiri, namun pada saat yang sama, orang tua juga secara tegas
mengharuskan anak untuk mematuhi aturan dan pedoman yang
telah disepakati antara orang tua dan anak. Keyakinan orang tua akan
penerapan gaya pengasuhan otoritatif merupakan hal yang penting,
karena konsep determinasi diri mendukung gagasan bahwa anak-
anak memainkan peran aktif dalam perkembangan meraka sendiri.
Perkembangan yang ditunjukkan oleh anak ketika orang tua yakin
menerapkan gaya pengasuhan otoritatif adalah anak lebih adaptif
dan percaya diri serta bertanggung jawab dalam merespon terhadap
masalah-masalah yang berada lingkungannya.
26

Daftar Pustaka

Browder, D. M., Wood, W. M., Test, D. W., Karvonen, M., & Algozzine,
B. (2001). Reviewing resources on self-determination: A map for
teachers. Remedial and Special Education, 22(4), 233–244. https://
doi.org/10.1177/074193250102200407
Budiman, B., & Harahap, T. S. (2015). Pengaruh pola asuh orangtua
terhadap perkembangan anak usia dini (Studi Kasus di PAUD
Al-Muhajirin Desa Cibodas Pacet Cianjur). Prosiding Industrial
Research Workshop and National Seminar, 6, 197–201. https://doi.
org/10.35313/IRWNS.V6I0.253
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination
in human behavior. Plenum Press.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal
pursuits: Human needs and the self-determination of behavior.
Psychological Inquiry, 11(4), 227–268. https://doi.org/10.1207/
S15327965PLI1104_01
Fabes, R. A., Poulin, R. E., Eisenberg, N., & Madden-Derdich, D. A.
(2002). The coping with children’s negative emotions scale
(CCNES): Psychometric properties and relations with children’s
emotional competence. Marriage and Family Review, 34(3–4),
285–310. https://doi.org/10.1300/J002V34N03_05
Hurlock, E. (2011). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. (Istiwidayati (ed.)). Erlangga.
Morris, A. S., Cui, L., & Steinberg, L. (2013). Parenting research and
themes: What we have learned and where to go next. In R.
Larzelere, A. Morris, & A. Harrist (Eds.), Authoritative parenting:
Synthesizing nurturance and discipline for optimal child development.
(pp. 35–58). American Psychological Association.
Papalia, D., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development
(11th ed.). McGraw-Hill.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2017). Self-determination theory: Basic
27

psychological needs in motivation, development, and wellness.


Guilford Press.
Santrock, J. W. (2010). Child development (13th ed.). McGraw-Hill
Humanities.
Starr, M. L. (2011). The relationship between parenting styles, learning
autonomy, and scholastic achievement in undergraduate college
students. [Master Thesis, Bucknell University]. [Bucknell
University]. https://digitalcommons.bucknell.edu/masters_
theses/8
Suryadi, B., Soriha, E., & Rahmawati, Y. (2017). Pengaruh gaya
pengasuhan orang tua, konsep diri, dan regulasi diri terhadap
motivasi berprestasi siswa. Jurnal Ilmu Pendidikan, 23(2), 91–98.
https://doi.org/10.17977/JIP.V23I2.10969
Suryani, E., & Widyasih, H. (2010). Psikologi ibu dan anak. Fitramaya.
Utami, F. (2021). Pengasuhan keluarga terhadap perkembangan
karakter disiplin anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan
Anak Usia Dini, 5(2), 1777–1786. https://doi.org/10.31004/
OBSESI.V5I2.985
Utomo, H. B. (2021). Mengelola tempetantrum anak. In B. A. Laksono
(Ed.), Inovasi pembelajaran anak usia dini (1st ed., pp. 66–75). CV.
Bayfa Cendekia Indonesia.
Widyarini, M. (2009). Seri psikologi populer: Relasi orang tua dan anak.
Elex Media Komputindo.
29

PENGASUHAN ANAK MELALUI


EMOTION COACHING
Dr. Yettie Wandansari, M.Si., Psikolog
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
[email protected]

A. Pendahuluan

Pengasuhan atau parenting merupakan sebuah tugas orangtua


yang tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar anak
(makanan, pakaian, keamanan). Kebutuhan anak yang juga perlu
dipenuhi orangtua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak
adalah kebutuhan untuk dibimbing agar ia belajar berperilaku sesuai
harapan sosial. Hal yang juga sangat penting adalah pemenuhan
kebutuhan emosi (relasi yang hangat, kelekatan yang aman, sehingga
merasa dicintai dan diterima).
Salah satu kunci keberhasilan pengasuhan adalah pada relasi
pribadi yang hangat antara orangtua dan anak, yang dimulai dari
hati, dan berlanjut di setiap momen interaksi orangtua dengan
anak, terutama pada saat anak sedang mengalami emosi negatif
(Gottman & DeClaire, 1997). Menurut Gottman, pengasuhan yang
baik membutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan atau teknik,
melainkan juga perlu menyentuh emosi. Hal ini didukung hasil
studi meta-analisis pada program-program pelatihan orangtua yang
efektif, yaitu bahwa program yang menunjukkan dampak paling baik
30

bagi anak adalah progtam yang mencakup komponen pengajaran


keterampilan komunikasi emosi (Kaminski, Valle, Filene, & Boyle,
2008).
Berbeda dengan teori-teori parenting yang mengajarkan strategi
untuk mengendalikan atau mendisiplinkan perilaku anak, Gottman,
Katz, dan Hooven (1996) mengajukan sebuah konsep pengasuhan
yang berfokus pada emosi, yang disebut emotion coaching. Konsep
emotion coaching didasarkan pada pemikiran bahwa berbagai emosi
merupakan hal yang alami dan universal, yang memandu individu
untuk memunculkan perilaku adaptif. Dalam konteks pengasuhan,
emotion coaching merupakan sebuah teknik dan pendekatan yang
memanfaatkan momen-momen emosional anak untuk membimbing
dan mengajarkan pada anak respon-respon yang lebih efektif (Gus,
2015). Melalui emotion coaching, anak dibantu untuk memahami
berbagai emosi yang mereka alami, mengapa emosi tersebut muncul,
dan bagaimana cara mengatasinya. Emotion coaching dilandasi sebuah
prinsip bahwa relasi yang bersifat suportif dan mengayomi sangat
penting untuk mengoptimalkan perkembangan pengelolaan diri dan
resiliensi pada anak (Gottman dkk, 1996).
Pada saat menerapkan emotion coaching, orangtua berempati
pada emosi yang sedang dirasakan oleh anak, dan membantu anak
untuk mengatasi emosi negatif mereka. Kondisi emosi yang sedang
dirasakan anak divalidasi, sehingga anak merasa aman dan merasa
dipahami (Gottman & DeClaire, 1997). Porges (2011) menyatakan
bahwa tatapan mata, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh orangtua
dapat menyampaikan pesan ketenangan dan rasa aman, serta
menenangkan sistem syaraf, sehingga membantu anak untuk mulai
menenangkan dirinya secara fisiologis maupun psikologis. Pada
proses tersebut, perilaku anak yang tidak tepat tidak dimaklumi
begitu saja, karena anak perlu belajar untuk mematuhi aturan sosial.
Ketika anak lebih tenang, maka orangtua dapat mendiskusikan hal
31

itu secara lebih rasional, dan membahas pemecahan masalah dan


strategi-strategi yang berfokus pada solusi, yang disesuaikan dengan
usia dan kemampuan anak. Melalui penerapan secara berulang dan
konsisten, emotion coaching dapat membantu anak untuk meregulasi
emosinya, mengurangi perilaku bermasalah, dan meningkatkan
resiliensi (Shortt dkk., 2010; Wilson dkk., 2012).
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran lebih detil
mengenai konsep emotion coaching yang dapat diterapkan orangtua
dalam mengasuh anak, serta dampak positif emotion coaching bagi
perkembangan anak berdasarkan hasil berbagai penelitian. Selain itu,
akan dijelaskan pula beberapa program yang telah terbukti efektif
dalam meningkatkan keterampilan emotion coaching.

B. Tinjauan Teori: Emotion coaching

Konsep emotion coaching pertama kali dikemukakan oleh Gottman


dkk. (1996, 1997) dalam penelitiannya tentang filosofi meta-emosi
yang dimiliki orangtua terhadap emosi anak, dalam kaitannya
dengan regulasi emosi anak. Filosofi meta-emosi orangtua adalah
apa yang diyakini orangtua tentang emosi, mencakup tiga aspek yaitu
kesadaran, penerimaan, dan coaching terhadap emosi anak (Gottman
dkk., 1996, 1997). Kesadaran adalah kemampuan orangtua untuk
mengenali, mendeskripsikan, dan menunjukkan minat terhadap
pengalaman emosi anak. Penerimaan adalah kenyamanan orangtua
terhadap ekspresi emosi anak. Coaching adalah tindakan orangtua
untuk membantu anak mengidentifikasi emosi yang sedang ia alami,
respek terhadap ekspresi emosi anak, dan keterlibatan aktif dalam
situasi yang memicu emosi anak. Secara umum, orangtua yang
memiliki ketiga aspek tersebut memandang pengalaman emosi
negatif anak sebagai sebuah peluang atau kesempatan membangun
kedekatan emosi dengan anak dan untuk membantu anak memikirkan
strategi-strategi pengelolaan emosi. Inilah yang disebut filosofi meta-
emosi tipe coaching.
32

Mengacu pada pernyataan Gottman dkk. (1996), filosofi meta-


emosi yang berbeda akan menghasilkan gaya pengasuhan yang
berbeda. Pada tipe emotion coaching, orangtua menyadari dan
menganggap penting emosi, menilai emosi negatif sebagai hal penting
dalam pengasuhan, peka terhadap kondisi emosi anak, dan respek
terhadap emosi anak. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan momen
emosional anak sebagai momen untuk mendengarkan dan berempati
pada anak, dengan kata dan afeksi yang menenangkan, membantu
anak melabel emosinya, membimbing anak untuk mengelola emosi,
menetapkan batasan dan mengajarkan ekspresi emosi yang dapat
diterima, serta mengajarkan pemecahan masalah (Gottman &
DeClaire, 1997).
Hal ini berkebalikan dengan orangtua yang memiliki filosofi
meta-emosi tipe dismissing. Pada tipe dismisif, orangtua meyakini
bahwa respon yang paling tepat untuk menghadapi pengalaman
emosi negatif adalah dengan cara mengabaikannya. Pengalaman
emosi negatif dianggap sebagai hal yang berbahaya dan perlu segera
dihentikan. Dalam kesehariannya, pada saat menenangkan anak,
orangtua menekankan bahwa pengalaman emosi anak hanya bersifat
sementara. Mereka tidak membantu anak mereka untuk memahami
pengalaman emosinya dan bagaimana pengalaman tersebut dapat
mempengaruhi anak (Gottman & DeClaire,1997)
Filosofi meta-emosi yang lain adalah tipe disapproving, yaitu
tipe orangtua yang meyakini bahwa ekspresi emosi negatif perlu perlu
dikendalikan. Emosi negatif dinilai mencerminkan karakter yang
buruk dan menyebabkan orang menjadi lemah. Pada tipe ini, orangtua
mengkritik emosi negatif anak, bahkan menegur atau menghukum
anak atas ekspresi emosinya. Mereka menetapkan batasan secara
berlebihan pada anak, menekankan pada kepatuhan anak untuk
memenuhi standar perilaku yang baik (Gottman & DeClaire, 1997).
Another random document with
no related content on Scribd:
casa. Ya le hizo aquello malas tripas. Después salió al campo, y vio a
chotacabras dando brinquitos delante de ella. Todo esto era de muy
mala sombra. Al volver a casa, la niña con un calenturón que se
abrasaba.
Habiéndoles preguntado don Nazario si la visitaba el médico
contestaron que sí. Don Sandalio, el titular del pueblo, había venido
tres veces, y la última dijo que solo Dios, con un milagro, podía salva
a la nena. Trajeron también a una saludadora, que hacía grandes
curas. Púsole un emplasto de rabos de salamanquesas, cogidas a las
doce en punto de la noche... Con esto parecía que la criaturita entraba
en reacción; pero la esperanza que cobraron duró bien poco. La
saludadora, muy desconsolada, les había dicho que el no hacer efecto
los rabos de salamanquesa, consistía en que era el menguante de la
luna. Siendo creciente, cosa segura, segurísima.
Con severidad y casi casi con enojo, las reprendió Nazarín por su
estúpida confianza en tales paparruchas, exhortándolas a no cree
más que en la ciencia, y en Dios por encima de la ciencia y de todas
las cosas. Hicieron ellas ardorosas demostraciones de acatamiento a
buen sacerdote, y llorando y poniéndose de hinojos, le suplicaron que
viese a la niña, y la curara.
—¿Pero, hijas mías, cómo pretendéis que yo la cure? No seáis
locas. El cariño maternal os ciega. Yo no sé curar. Si Dios quiere
quitaros a la niña, Él se sabrá lo que hace. Resignaos. Y si decide
conservárosla, ya lo hará con solo que se lo pidáis vosotras, aunque
no está de más que yo también se lo pida.
Tanto lo instaron a que la viera, que Nazarín pasó tras la cortinilla
Sentose junto al lecho de la criatura, y largo rato la observó en
silencio. Tenía Carmencita el rostro cadavérico, los labios casi negros
los ojos hundidos, ardiente la piel, y todo su cuerpo desmayado, inerte
presagiando ya la inmovilidad del sepulcro. Las dos mujeres, madre y
tía, se echaron a llorar otra vez como Magdalenas, y las vecinas que
allí entraron hicieron lo propio, y en medio de aquel coro de femeni
angustia, Fabiana dijo al sacerdote:
—Pues si Dios quiere hacer un milagro, ¿qué mejor ocasión?
Sabemos que usted, padre, es de pasta de ángeles divinos, y que se
ha puesto ese traje y anda descalzo y pide limosna por parecerse más
a Nuestro Señor Jesucristo, que también iba descalzo, y no comía más
que lo que le daban. Pues yo digo que estos tiempos son como los
otros, y lo que el Señor hacía entonces, ¿por qué no lo hace ahora?
Total, que si usted quiere salvarnos a la niña, nos la salvará, como
este es día. Yo así lo creo, y en sus manos pongo mi suerte, bendito
señor.
Apartando sus manos para que no se las besaran, Nazarín con
reposado y firme acento les dijo:
—Señoras mías, yo soy un triste pecador como vosotras, yo no soy
perfecto, ni a cien mil leguas de la perfección estoy, y si me ven en
este humilde traje, es por gusto de la pobreza, porque creo servir a
Dios de este modo, y todo ello sin jactancia, sin creer que por anda
descalzo valgo más que los que llevan medias y botas, ni figurarme
que por ser pobre, pobrísimo, soy mejor que los que atesoran
riquezas. Yo no sé curar; yo no sé hacer milagros, ni jamás me ha
pasado por la cabeza la idea de que, por mediación mía, los haga e
Señor, único que sabe alterar, cuando le plazca, las leyes que ha dado
a la naturaleza.
—¡Sí puede, sí puede, sí puede! —clamaron a una todas las
mujeres, viejas y jóvenes, que presentes estaban.
—¡Que no puedo digo..., y conseguiréis que me enfade, vamos! No
esperéis nunca que yo me presente ante el mundo revestido de
atribuciones que no tengo, ni que usurpe un papel superior al oscuro y
humilde que me corresponde. Yo no soy nadie, yo no soy santo, n
siquiera bueno...
—Que sí lo es, que sí lo es.
—Ea, no me contradigáis, porque me marcharé de vuestra casa..
Ofendéis gravemente a nuestro Señor Jesucristo suponiendo que este
pobre siervo suyo es capaz de igualarse, no digo a Él, que esto sería
delirio, pero ni tan siquiera a los varones escogidos a quienes dio
facultades de hacer maravillas para edificación de gentiles. No, no
hijas mías. Yo estimo vuestra simplicidad; pero no quiero fomentar en
vuestras almas esperanzas que la realidad desvanecería. Si Dios tiene
dispuesto que muera la niña, es porque la muerte le conviene, como
os conviene a vosotros el consiguiente dolor. Aceptad con ánimo
sereno la voluntad celestial, lo cual no quita que roguéis con fe y amor
que oréis, que pidáis fervorosamente al Señor y a su Santísima Madre
la salud de esta criatura. Y por mi parte, ¿sabéis lo único que puedo
hacer?
—¿Qué, señor, qué?... Pues hágalo pronto.
—Eso mismo; pedir a Dios que devuelva su ser sano y hermoso a
esta inocente niña, y ofrecerle mi salud, mi vida en la forma que quiera
tomarlas; que a cambio del favor que de Él impetramos, me dé a m
todas las calamidades, todos los reveses, todos los achaques y
dolores que pueden afligir a la humanidad sobre la tierra..., que
descargue sobre mí la miseria en su más horrible forma, la ceguera
tristísima, la asquerosa lepra..., todo, todo sea para mí, a cambio de
que devuelva la vida a este tierno y cándido ser, y os conceda a
vosotras el premio de vuestros afanes.
Dijo esto con tan ardoroso entusiasmo y convicción tan honda y
firme, fielmente traducidos por la palabra, que las mujeres
prorrumpieron en gritos, acometidas súbitamente de una exaltación
insana. El entusiasmo del sacerdote se les comunicó como chispa que
cae en montón de pólvora, y allí fue el llorar sin tasa, y el cruzar de
manos convulsivamente, confundiendo los alaridos de la súplica con
los espasmos del dolor. El peregrino, en tanto, silencioso y grave, puso
su mano sobre la frente de la niña, como para apreciar el grado de
calor que la consumía, y dejó transcurrir en esta postura buen espacio
de tiempo, sin parar mientes en las exclamaciones de las desoladas
mujeres. Despidiose de ellas poco después, con promesa de volver, y
preguntando hacia dónde caía la iglesia del pueblo, Ándara se ofreció
a enseñarle, y fueron, y allá se estuvo todo el santo día. La tarasca no
entró en la iglesia.
IV

Al anochecer, cuando salió del templo, las primeras personas con


que tropezó don Nazario fueron Ándara y Beatriz, que iban a
encontrarle.
—La niña no está peor —le dijeron—. Aun parece que está algo
despejadita... Abrió los ojos un rato, y nos miraba... Veremos qué ta
pasa la noche.
Añadieron que le habían preparado una modesta cena, la cua
aceptó por no parecer huraño y desagradecido. Reunidos todos en e
bodegón, la Fabiana parecía un poquito más animada, por habe
notado en la niña, hacia el mediodía, algún despejo; pero a la tarde
había vuelto el recargo. Ordenole Nazarín que siguiese dándole la
medicina prescrita por el médico.
Alumbrados por un candilejo fúnebre pendiente del techo, cenaron
extremando el convidado su sobriedad hasta el punto de no tomar más
que medio huevo cocido y un platito de menestra con ración exigua de
pan. Vino, ni verlo. Aunque le habían preparado una cama bien mullida
con paja y unas mantas, se resistió a pernoctar allí, y defendiéndose
como pudo de las afables instancias de aquella buena gente
determinó dormir con su perro en el espacioso solar donde pasado
había la anterior noche. Antes de retirarse al descanso, estuvieron un
ratito de tertulia, sin poder hablar de otra cosa que de la niña enferma
y de cuán vanas son, en todo caso de enfermedad, las esperanzas de
alivio.
—Pues esta —dijo Fabiana señalando a Beatriz—, también está
malucha.
—Pues no lo parece —observó Nazarín, mirándola con más
atención que lo había hecho hasta entonces.
—Son cosas —dijo Ándara— de los condenados nervios. Está as
desde que vino de Madrid; pero no se le conoce en la cara, ¿verdad?
Cada día más guapa... Todo es por un susto, por muchísimos sustos
que le hizo pasar aquel chavó...
—Cállate, tonta.
—Pues no lo digo...
—Lo que tiene —agregó Fabiana— es pasmo de corazón, vamos a
decir, maleficio, porque crea usted, padre Nazarín, que en los pueblos
hay malos quereres, y gente que hace daño con solo mirar por el rabo
del ojo.
—No seáis supersticiosas os he dicho; y vuelvo a repetíroslo.
—Pues lo que tengo —afirmó Beatriz no sin cierta cortedad— es
que hace tres meses perdí las ganas de comer, pero tan en punto, que
no entraba por mi boca ni el peso de un grano de trigo. Si me
embrujaron o no me embrujaron, yo no lo sé. Y tras el no comer, vino
el no dormir; y me pasaba las noches dando vueltas por la casa, con
un bulto aquí, en la boca del estómago, como si tuviera atravesado un
sillar de berroqueña de los más grandones.
—Después —añadió Fabiana—, le daban unos ataques tan fuertes
pero tan fuertes, señor de Nazarín, que entre todos no la podíamos
sujetar. Bramaba y espumarajeaba, y luego salía pegando gritos, y
pronunciando cosas que la avergonzaban a una.
—No seáis simples —dijo Ándara con sincera convicción—; eso es
tener los demonios metidos en el cuerpo. Yo también los tuve cuando
pasé de la edad del pavo, y me curé con unos polvos que los llaman..
cosa de broma dura..., o no sé qué.
—Fueran o no demonios —manifestó Beatriz—, yo padecía lo que
no hay idea, señor cura, y cuando me daba, yo era capaz de matar a
mi madre si la tuviera, y habría cogido un niño crudo o una pierna de
persona para comérmela, o destrozarla con los dientes... Y después
¡qué angustias mortales, qué ganitas de morirme! A veces no pensaba
más que en la muerte, y en las muchas maneras que hay de matarse
una. Y lo peor era cuando me entraban los horrores de las cosas. No
podía pasar por junto a la iglesia sin sentir que se me ponían los pelos
de punta. ¿Entrar en ella? Antes morir... Ver a un cura con hábitos, ve
un mirlo en su jaula, un jorobado, o una cerda con crías, eran las
cosas que más me horrorizaban. ¿Y oír campanas? Esto me volvía
loca.
—Pues eso —dijo Nazarín— no es brujería ni nada de demonios; es
una enfermedad muy común y muy bien estudiada, que se llama
histerismo.
—Esterismo, cabal; eso decía el médico. Me entraba el ataque sin
saber por qué, y se me pasaba sin saber cómo. ¿Tomar? ¡Dios mío las
cosas que he tomado! Los palitos de saúco puestos de remojo un
viernes, el suero de la vaca negra, las hormigas machacadas con
cebolla... ¡Pues y las cruces, y medallas, y muelas de muerto que me
he colgado del pescuezo!
—¿Y está usted curada ya? —le preguntó Nazarín mirándola otra
vez.
—Curada no. Hace tres días me dio la malquerencia, esto de
aborrecer una; pero ya menos fuerte que antes. Voy mejorando.
—Pues la compadezco a usted. Esa dolencia debe de ser muy
mala. ¿Cómo se cura? Mucha parte tiene en ella la imaginación, y con
la imaginación debe intentarse el remedio.
—¿Cómo, señor?
—Procurando penetrarse bien de la idea de que tales trastornos
son imaginarios. ¿No dice usted que le causaba horror la santa
iglesia? Pues vencer ese horror y entrar en ella, y pedi
fervorosamente al Señor el alivio. Yo le aseguro a usted que no tiene
ya dentro del cuerpo ningún demonio, llamemos así a esas extrañas
aberraciones de la sensibilidad que produce nuestro sistema nervioso
Persuádase usted de que esos fenómenos no significan lesión n
avería de ninguna entraña, y no volverá a padecerlos. Rechace usted
la tristeza, pasee, distráigase, coma todo lo que pueda, aleje de su
cerebro las cavilaciones, procure dormir, y ya está usted buena. Ea
señoras, que es tarde, y yo voy a recogerme.
Ándara y Beatriz le acompañaron hasta su domicilio, en el solar, y
dejáronle allí después de arreglarle con hierba y piedras el mejor lecho
posible.
—No crea usted, padre —le dijo Beatriz al despedirse—; me ha
consolado mucho con lo que me ha dicho de este mal que padezco. S
son demonios, porque son demonios, si no, porque son nervios..., ello
es que más fe tengo en usted que en todo el medicato facultativo de
mundo entero... Conque..., buenas noches.
Rezó largo rato Nazarín, y después se durmió como un bendito
hasta el amanecer. El canto gracioso de los pajarillos, que en aquellos
ásperos bardales tenían sus aposentos, le despertó, y a poco entraron
Ándara y su amiga a darle las albricias. ¡La niña mejor! Había pasado
la noche más tranquilita, y desde el alba tenía un despejo y un brilla
de ojos que eran señales de mejoría.
—¡Si no es esto milagro, que venga Dios y lo vea!
—Milagro no es —les dijo con gravedad—. Dios se apiada de esa
infeliz madre. Habríalo hecho quizás sin nuestras oraciones.
Fueron todos allá, y encontraron a Fabiana loca de contento. Echó
al curita los brazos, y aun quiso besarle, a lo que él resueltamente se
opuso. Había esperanzas; pero no motivo aún para confiar en la
curación de la niña. Podía venir un retroceso, y entonces, ¡cuánto
mayor sería la pena de la pobre madre! En fin, cualquiera que fuese e
resultado ya lo verían ellas, que él, si no mandaban otra cosa, se
marchaba en aquel mismo momento, después de tomar un frugalísimo
desayuno. Inútiles fueron las instancias y afabilidades de las tres
hembras para detenerle. Nada tenía que hacer allí; estaba perdiendo
el tiempo muy sin sustancia, y érale forzoso partir para da
cumplimiento a su peregrina y santa idea.
Tierna fue la despedida, y aunque reiteradamente exhortó a la
feróstica de Madrid a que no le acompañara, ella dijo, en su tosco
estilo, que hasta el fin del mundo le seguiría gozosa, pues se lo pedía
el corazón de una manera tal, que su voluntad era impotente para
resistir aquel mandato. Salieron, pues, juntos, y tras ellos multitud de
chiquillos y algunas vejanconas del lugar; tanto que, por librarse de
una escolta que le desagradaba, Nazarín se apartó de la carretera, y
metiéndose por el campo a la izquierda del camino real, siguió en
derechura de una arboleda que a lo lejos se veía.
—¿No sabe? —le dijo Ándara, cuando se retiraron los últimos de
séquito—. Me ha dicho anoche Beatriz que si la niña cura hará lo
mismo que yo.
—¿Qué hará, pues?
—Pues seguirle a usted a donde quiera que vaya.
—Que no piense en tal cosa. Yo no quiero que nadie me siga. Voy
mejor solito.
—Pues ella lo desea. Dice que por penitencia.
—Si la llama la penitencia, adóptela en buen hora; pero para eso no
necesita ir conmigo. Que abandone toda su hacienda, en lo cua
paréceme que no hace un gran sacrificio, y que salga a pedi
limosna..., pero solita. Cada cual con su conciencia, cada cual con su
soledad.
—Pues yo le contesté que sí, que la llevaríamos...
—¿Y quién te mete a ti...?
—Me meto, sí señor, porque quiero a la Beatriz, y sé que le probará
esta vida. Como que le viene bien el ejercicio penitente para quitarse
de lo que la está matando el alma, que es un mal hombre llamado e
Pinto, o el Pintón, no estoy bien segura. Pero le conozco, buen mozo
viudo, con un lunar de pelo aquí. Pues ese es el que le sorbe e
sentido, y el que le metió los demonios en el cuerpo. La tiene
engañada: hoy la desprecia, mañana le hace mil figuras, y vele aqu
por qué se ha puesto tan estericada. Le conviene, sí señor, le conviene
el echarse a peregrina para limpiarse la cabeza de maldades, que s
no, lleva los demonios en el vientre y pecho, y en los vacíos, en la
cabeza cerebral sí que tiene sin fin de ellos. Y todo desde un ma
parto; y por la cuenta fueron dos...
—¿Para qué me traes a mi esas vanas historias, habladora
entrometida? —le dijo Nazarín con enfado—. ¿Qué tengo yo que ve
con Beatriz, ni con el Pinto, ni con...?
—Porque usted debe ampararla, que si no se mete pronto a
penitente con nosotros, mirando un poco para lo del alma, se meterá a
otra cosa mala, tocante a lo del cuerpo, ¡mal ajo! ¡Si estuvo en un tris
Cuando la niña cayó mala, ya tenía ella su ropa en el baúl para
marcharse a Madrid. Me enseñó la carta de la Seve llamándola y...
—Que no me cuentes historias, ea.
—Acabo ya... La Seve le decía que se fuera pronto, y que allá...
pues...
—¡Que te calles! Vaya la Beatriz a donde quiera... No, eso no: que
no acuda al llamamiento de esa embaucadora..., que no muerda e
anzuelo que el demonio le tiende, cebado con vanidades ilusorias..
Dile que no vaya, que allí la esperan el pecado, la corrupción, el vicio
y una muerte ignominiosa, cuando ya no tenga tiempo de arrepentirse.
—¿Pero cómo le digo todas esas cosas, padrito, si no volvemos a
Móstoles?
V

—Puedes ir tú, y yo te espero aquí.


—No se convencerá por lo que yo le hable. Yendo usted en persona
y parlándoselo bien, es seguro que no se pierde. En usted tiene fe
pues con lo poquito que le oyó explicar de su enfermedad, ya se tiene
por curada, y no le entra más el arrechucho. Conque volvamos, si le
parece bien.
—Déjame, déjame que lo piense.
—Y con eso, sabremos si al fin se ha muerto la nena, o vive.
—Me da el corazón que vive.
—Pues volvamos, señor..., para verlo.
—No; vas tú, y le dices a tu amiga... En fin, mañana lo determinaré.
En una corraliza hallaron albergue, después de procurarse cena
con los pocos cuartos que les produjo la postulación de aquel día, y
como al amanecer del siguiente emprendiera Nazarín la marcha con e
mismo derrotero que desde Móstoles traía, le dijo Ándara:
—¿Pero usted sabe a dónde vamos?
—¿A dónde?
—A mi pueblo, ¡mal ajo!
—Te he dicho que no pronuncies más delante de mí ninguna fea
palabra. Si una sola vez reincides, no te permito acompañarme
Bueno: ¿hacia dónde dices que caminamos?
—Hacia Polvoranca, que es mi pueblo, señor; y yo, la verdad, no
quisiera ir a mi tierra, donde tengo parientes, algunos en buena
posición, y mi hermana está casada con el del fielato. No se crea
usted que Polvoranca es cualesquiera cosa, que allá tenemos gente
muy rica, y los hay con seis pares... de mulas, quiere decirse.
—Comprendo que te sonrojes de entrar en tu patria —replicó e
peregrino—. ¡Ahí tienes! Si fueras buena, a todas partes podrías ir sin
sonrojarte. No iremos, pues, y encaminémonos por este otro lado, que
para nuestro objeto es lo mismo.
Anduvieron todo aquel día, sin más ocurrencia digna de
mencionarse que la deserción del perro que acompañaba a Nazarín
desde Carabanchel. Bien porque el animal tuviese también parentela
honrada en Polvoranca, bien porque no gustase de salir de su terreno
que era la zona de Madrid en un corto radio, ello es que al caer de la
tarde, se despidió como un criado descontento, tomando soleta para la
Villa y Corte, en busca de mejor acomodo. Después de hacer noche
en campo raso, al pie de un fresno, los caminantes avistaron
nuevamente a Móstoles, a donde Ándara guiaba, sin que don Nazario
se enterase del rumbo.
—¡Calle!, ¿ya estamos otra vez en el poblachón de tus amigas?
Pues mira, hija, yo no entro. Ve tú y entérate de cómo está la niña, y
de paso le dices de mi parte a esa pobre Beatriz lo que ya sabes, que
no haga caso de las solicitudes del vicio, y que si quiere peregrinar y
hacer vida humilde, no necesita de mí para nada... Anda, hija, anda
En aquella noria vieja, que allí se ve entre dos árboles raquíticos, y
que estará como a un cuarto de legua del pueblo, te espero. No
tardes.
Fuese a la noria despacito, bebió un poco de agua, descansó, y no
habían pasado dos horas desde que se alejó la andariega, cuando
Nazarín la vio volver, y no sola, sino acompañada de otra que tal, en
quien, cuando se aproximaron, reconoció a la Beatriz. Seguíanlas
algunos chicos del pueblo. Antes de llegar a donde el mendigo las
esperaba, las dos mozas y los rapaces prorrumpieron en gritos de
alborozo.
—¿No sabe?... ¡La niña, buena! ¡Viva el santo Nazarín! ¡Vivaaa! La
niña, buena..., buena del todo. Habla, come, y parece resucitada.
—Hijas, no seáis locas. Para darme la buena noticia, no es preciso
alborotar tanto.
—¡Sí que alborotamos! —gritaba Ándara dando brincos.
—Queremos que lo sepan los pájaros del aire, los peces del río, y
hasta los lagartos que corren entre las piedras —dijo la Beatriz
radiante de júbilo, con los ojos echando lumbre.
—Que es milagro, ¡contro!
—¡Silencio!
—No será milagro, padre Nazarín; pero usted es muy bueno, y e
Señor le concede todo lo que lo pide.
—No me habléis de milagros, ni me llaméis santo, porque me
meteré avergonzado y corrido donde jamás volváis a verme.
Los muchachos alborotaban no menos que las mujeres, llenando e
aire de graciosos chillidos.
—Si entra el señor en el pueblo, le llevan en volandas. Creen que la
niña estaba muerta y que él, con solo ponerle la mano en la frente, la
volvió a la vida.
—Jesús, ¡qué disparate! Cuánto me alegro de no haber ido allá. En
fin, alabemos la infinita misericordia del Señor... Y la Fabiana, ¡qué
contenta estará!
—Loca, señor, loca de alegría. Dice que si usted no entra en su
casa, la niña se muere. Y yo también lo creo. ¿Y sabe usted lo que
hacen las viejas del pueblo? Entran en nuestra casucha, y nos piden
por favor que las dejemos sentar en la misma banqueta en que e
bendito de Dios se sentó.
—¡Vaya un desatino! ¡Qué simplicidad! ¡Qué inocencia!
Reparó entonces don Nazario que Beatriz iba descalza, con falda
negra, pañuelo corto cruzado en el busto, un morral a la espalda, en la
cabeza otro pañuelo liado en redondo.
—¿Vas de viaje, mujer? —le preguntó; y no es de extrañar que la
tutease, pues esta era en él añeja costumbre, hablando con gente de
pueblo.
—Viene con nosotros —afirmó Ándara con desenfado—. Ya ve
señor. No tiene más que dos caminos: el que usted sabe, allá, con la
Seve, y este.
—Pues que emprenda solita su campaña piadosa. Idos las dos
juntas, y dejadme a mí.
—Eso nunca —replicó la de Móstoles—, pues no es bien que usted
vaya solo. Hay mucha gente mala en este mundo. Llevándonos a
nosotras, no tenga ningún cuidado, que ya sabremos defenderle.
—No, si yo no tengo cuidado, ni temo nada.
—¿Pero en qué le estorbamos? ¡Vaya con el señor!... —dijo la de
Polvoranca con cierto mimo—. Y si se nos llena el cuerpo de
demonios, ¿quién nos los echa? ¿Y quién nos enseña las cosas
buenas, lo del alma, de la gloria divina, de la misericordia, y de la
pobreza? ¡Esta y yo solas! Apañadas estábamos. ¡Mire que...! ¡Vaya
que quererle una tanto, sin malicia, todo por bien, y darle a una este
pago!... Malas semos; pero si nos deja atrás, ¿qué va a ser de
nosotras?
Beatriz nada decía, y se limpiaba las lágrimas con su pañuelo
Quedose un rato meditabundo el buen Nazarín, haciendo rayas en e
suelo con su palo, y por fin les dijo:
—Si me prometéis ser buenas, y obedecerme en todo lo que os
mandare, venid.
Despedidos los chicuelos mostolenses, para lo cual fue preciso
darles los poquísimos ochavos de la colecta de aquel día
emprendieron los tres penitentes su marcha, tomando un senderillo
que hay a la derecha del camino real, conforme vamos a
Navalcarnero. La tarde fue bochornosa; levantose a la noche un fuerte
viento que les daba de cara, pues iban hacia el oeste, brillaron
relámpagos espantosos, seguidos de formidables truenos, y descargó
una violentísima lluvia que les puso perdidos. Felizmente, les deparó
la suerte unas ruinas de antigua cabaña, y allí se guarecieron de
furioso temporal. Ándara reunió leña y hojarasca. Beatriz que, como
mujer precavida, llevaba mixtos, prendió una hermosa hoguera, a la
cual se arrimaron los tres para secar sus ropas. Resueltos a pasar all
la noche, pues no era probable encontraran sitio más cómodo y
seguro, Nazarín les dio la primera conferencia sobre la Doctrina, que
las pobres ignoraban o habían olvidado. Más de media hora las tuvo
pendientes de su palabra persuasiva, sin retóricas ociosas
hablándoles de los principios del mundo, del pecado original, con
todas sus consecuencias lamentables, hasta que la infinita
misericordia de Dios dispuso sacar al hombre del cautiverio del ma
por medio de la redención. Estas nociones elementales las explicaba
el ermitaño andante con lenguaje sencillo, dándoles más claridad a
veces con la forma de ejemplos, y ellas le oían embobadas, sobre todo
Beatriz, que no perdía sílaba, y todo se lo asimilaba fácilmente
grabándolo en su memoria. Después rezaron el rosario y letanías, y
repitieron varias oraciones que el buen maestro quería que
aprendiesen de corrido.
Al día siguiente, después de orar los tres de rodillas, emprendieron
la marcha con buena fortuna: las dos mujeres, que se adelantaban a
pedir en las aldeas o caseríos por donde pasaban, recogieron
bastantes ochavos, hortalizas, zoquetes de pan y otras especies
Pensaba Nazarín que iban demasiado bien aquellas penitencias para
ser tales penitencias, pues desde que salió de Madrid llovían sobre é
las bienandanzas. Nadie le había tratado mal: no había tenido ningún
tropiezo; le daban limosna casi siempre que la pedía, y éranle
desconocidas el hambre y la sed. Y a mayor abundamiento, gozaba de
preciosa libertad, la alegría se deabordaba de su corazón, y su salud
se robustecía. Ni un triste dolor de muelas lo había molestado desde
que se echó a los caminos, y además, ¡qué ventura no cuidarse de
calzado ni de la ropa, ni inquietarse por si el sombrero era flamante o
viejo, o por si iba bien o mal pergeñado! Como no se afeitaba, ni lo
había hecho desde mucho antes de salir de Madrid, tenía ya la barba
bastante crecida: era negra y canosa, terminada airosamente en
punta. Y con el sol y el aire campesino, su tez iba tomando un colo
bronceado, caliente, hermoso. La fisonomía clerical habíase
desvanecido por completo, y el tipo arábigo, libre ya de aquella
máscara, resaltaba en toda su gallarda pureza.
Cortoles el paso el río Guadarrama, que con el reciente tempora
venía bastante lleno; pero no les fue difícil encontrar más arriba sitio
por donde vadearlo, y siguieron por una campiña menos solitaria y
estéril que la de la orilla izquierda, pues de trecho en trecho veían
casas, aldehuelas, tierras bien labradas, sin que faltaran árboles y
bosquecillos muy amenos. A media tarde divisaron unas casonas
grandes y blancas, rodeadas de verde floresta, destacándose entre
ellas una gallarda torre, de ladrillo rojo, que parecía campanario de un
monasterio. Acercándose más, vieron a la izquierda un caserío
rastrero y pobre, del color de la tierra, con otra torrecilla, como de
iglesia parroquial de aldea. Beatriz, que estaba fuerte en la geografía
de la región que iban recorriendo, les dijo:
—Ese lugar es Sevilla la Nueva, de corto vecindario, y aquellas
casas grandonas y blancas con arboleda y una torre, son la finca o
estados que llaman la Coreja. Allí vive ahora su dueño, un tal don
Pedro de Belmonte, rico, noble, no muy viejo, buen cazador, gran
jinete, y el hombre de peor genio que hay en toda Castilla la Nueva
Quién dice que es persona muy mala, dada a todos los demonios
quién que se emborracha para olvidar penas, y hallándose en estado
peneque, pega a todo el mundo, y hace mil tropelías... Tiene tanta
fuerza que un día, yendo de caza, porque un hombre que pasaba en
su burra no quiso desapartarse, cogió burra y hombre, y levantándolos
en vilo los tiró por un despeñadero... Y a un chico que le espantó unas
liebres le dio tantos palos que le sacaron de la Coreja entre cuatro
medio muerto. En Sevilla la Nueva le tienen tanto miedo que, cuando
le ven venir, aprietan todos a correr, santiguándose, porque una vez
no es broma, por no sé qué pendencia de unas aguas, entró mi don
Pedro en el pueblo a la hora que salían de misa, y a bofetada limpia, a
este quiero, a este no quiero, tumbó en el suelo a más de la mitad..
En fin, señor, que me parece prudente que no nos acerquemos
porque suele andar el tal de caza por estos contornos, y fácil es que
nos vea y nos dé el quien vive.
—¿Sabes que me pones en curiosidad —indicó Nazarín—, y que la
pintura que has hecho de esa fiera más me mueve a seguir hacia allá
que a retroceder?
VI

—Señor, no busquemos tres pies al gato —dijo Ándara—, que s


ese hombre tan bruto nos arrima una paliza, con ella hemos de
quedarnos.
En esto llegaban a un caminito estrecho, con dos filas de chopos, e
cual parecía la entrada de la finca, y lo mismo fue poner su planta en
él los tres peregrinos, que se abalanzaron dos perrazos como leones
ladrando desaforadamente, y antes que pudieran huir, les embistieron
furiosos. ¡Qué bocas, que feroces dientes! A Nazarín le mordieron una
pierna, a Beatriz una mano, y a la otra le hicieron trizas la falda, y
aunque los tres se defendían con sus palos bravamente, los terribles
canes habrían dado cuenta de ellos, si no los contuviera un guarda
que salió de entre unos matojos.
Ándara se puso en jarras, y no fueron injurias las que echó de su
boca contra la casa y sus endiablados perros. Nazarín y Beatriz no se
quejaban. Y el maldito guarda, en vez de mostrarse condolido del daño
causado por los fieros animales, endilgó a los peregrinos esta grosera
intimación:
—Váyanse de aquí, granujas, holgazanes, taifa de ladrones. Y den
gracias a Dios de que no les ha visto el amo; que si les ve, ¡Cristo!, no
les quedan ganas de asomar las narices a la Coreja.
Apartáronse medrosas las dos mujeres, llevándose casi a la fuerza
a Nazarín, que, al parecer, no se asustaba de cosa alguna. En una
frondosa olmeda, por donde pasaba un arroyuelo, se sentaron a
descansar del sofoco, y a lavarle las heridas al bendito clérigo
vendándoselas con trapos que la previsora Beatriz llevaba. En todo e
resto de la tarde y prima noche, hasta la hora del rezo, no se habló
más que del peligro que habían corrido, y la de Móstoles contó nuevos
desmanes del señor de Belmonte. Decía la fama que era viudo y que
había matado a su mujer. La familia, de la nobleza de Madrid, no se
trataba con él, y le recluía en aquella campestre residencia como en
un presidio, con muchos y buenos criados, unos para cuidarle y
asistirle en sus cacerías, otros para tenerle bien vigilado, y prevenir a
sus parientes si se escapaba. Con estas noticias se avivó más y más
el deseo que Nazarín sentía de encararse con semejante fiera
Acordando pasar la noche en la espesura de aquellos olmos, all
rezaron y cenaron, y de sobremesa dijo que por nada de este mundo
dejaría de hacer una visita a la Coreja, donde le daba el corazón que
encontraría algún padecimiento grande, o cuando menos castigos
desprecios, y contrariedades, ambición única de su alma.
—¡Y qué, hijas mías, todo no ha de ser bienandanzas! Si no nos
salieran al encuentro ocasiones de padecer, y grandes desventuras
terribles hambres, maldades de hombres y ferocidades de bestias
esta vida sería deliciosa, y buenos tontos serían todos los hombres y
mujeres del mundo si no la adoptaran. ¿Pues qué os habíais figurado
vosotras? ¿Que íbamos a entrar en un mundo de amenidades y
abundancias? ¡Tanto empeño por seguirme, y en cuanto se presenta
coyuntura de sufrir, ya queréis esquivarla! Pues para eso no hacía
ninguna falta que vinierais conmigo; y de veras os digo que si no
tenéis aliento para las cuestas enmarañadas de abrojos, y solo os
gusta el caminito llano y florido, debéis volveros y dejarme solo.
Trataron de disuadirle con cuantas razones se les ocurrieron, entre
ellas algunas que no carecían de sentido práctico, verbigracia, que
cuando el mal les acometiese, debían apechugar con él y resistirlo
pero que en ningún caso era prudente buscarlo con temeridad. Esto
arguyeron ellas en su tosco estilo, sin lograr convencerle ni aquella
noche, ni a la siguiente mañana.
—Por lo mismo que el señor de la Coreja goza fama de corazón
duro —les dijo—, por lo mismo que es cruel con los inferiores, sañudo
con los débiles, yo quiero llamar a su puerta y hablar con él. De este
modo veré por mí mismo si es justa o no la opinión, la cual a veces
señoras mías, yerra grandemente. Y si en efecto es malo el señor..
¿cómo dices que se llama?
—Don Pedro de Belmonte.
—Pues si es un dragón ese don Pedro, yo quiero pedirle una
limosna por amor de Dios, a ver si el dragón se ablanda y me la da. Y
si no, peor para él y para su alma.
No quiso oír más razones, y viendo que las dos mujeronas
palidecían de miedo y daban diente con diente, les ordenó que le
aguardasen allí, que él iría solo, impávido, y decidido a cuanto pudiera
sucederle, desde la muerte, que era lo más, a las mordidas de los
canes, que eran lo menos. Púsose en marcha, y ellas le gritaban:
—No vaya, no vaya, que ese bruto le va a matar... ¡Ay, seño
Nazarín de mi alma, que no le volvemos a ver!... Vuélvase, vuélvase
para atrás, que ya salen los perros, y muchos hombres, y uno que
parece el amo, con escopeta... ¡Dios mío, Virgen Santísima
socorrednos!
Fue don Nazario en derechura de la entrada del predio, y avanzó
resuelto por la calle de árboles sin encontrar a nadie. Ya cerca de
edificio, vio que hacia él iban dos hombres, y oyó ladrar de perros; mas
eran de caza, no los furiosos mastines del día anterior. Avanzó con
paso firme, y ya próximo a los hombres, observó que ambos se
plantaron como esperándole. Él les miró también, y encomendose a
Dios, conservando su paso reposado y tranquilo. Al llegar junto a ellos
y antes de que pudiera hacerse cargo de cómo eran los tales, una voz
imperativa y furibunda le dijo:
—¡A dónde va usted por aquí, demonio de hombre! Esto no es
camino, ¡rayos!, no es camino más que para mi casa.
Parose en firme Nazarín ante don Pedro de Belmonte, pues no era
otro el que así le hablaba, y con voz segura y humilde, sin que en ella
la humildad delatara cobardía, le dijo:
—Señor, vengo a pedirle una caridad, por amor de Dios. Bien sé
que esto no es camino más que para su casa, y como doy por cierto
que en toda casa de esta cristiana tierra viven buenas almas, por eso
he entrado sin licencia. Si en ello le ofendí, perdóneme.
Dicho esto, Nazarín pudo contemplar a sus anchas la arrogantísima
figura del anciano señor de la Coreja, don Pedro de Belmonte. Era
hombre de tan alta estatura que bien se le podía llamar gigante, bien
plantado, airoso, como de sesenta y dos años; pero vejez más
hermosa difícilmente se encontraría. Su rostro, del sol curtido, su nariz
un poco gruesa y de pronunciada curva, sus ojos vivos bajo espesas
cejas, su barba blanca, puntiaguda y rizosa, su ancha y despejada
frente revelaban un tipo noble, altanero, más amigo de mandar que de
obedecer. A las primeras palabras que le oyó, pudo observar Nazarín
la fiereza de su genio, y la gallardía despótica de sus ademanes. Lo
más particular fue que después de echarle a cajas destempladas, y
cuando ya el penitente, con humilde acento, gorra en mano, se
despedía, don Pedro se puso a mirarle fijamente, poseído de una
intensísima curiosidad.
—Ven acá —le dijo—. No acostumbro dar a los holgazanes y
vagabundos más que una buena mano de palos, cuando se acercan a
mi casa. Ven acá, te digo.
Turbose Nazarín un instante, pues con todo el valor del mundo era
imposible no desmayar ante la fiereza de aquellos ojos, y la voz
terrorífica del orgulloso caballero. Vestía traje ligero y elegante, con e
descuido gracioso de las personas hechas al refinado trato social
botas de campo, y en la cabeza un livianillo oscuro, ladeado sobre la
oreja izquierda. A la espalda llevaba la escopeta de caza, y en un cinto
muy majo las municiones.
«Ahora —pensó Nazarín—, este buen señor coge la escopeta, y me
destripa de un culatazo, o me da con el cañón en la cabeza y me la
parte. Dios sea conmigo».
Pero el señor de Belmonte seguía mirándole, mirándole, sin deci
nada, y el hombre que iba en su compañía, también armado de
escopeta, les miraba a los dos.
—Pascual —dijo el caballero a su criado—, ¿qué te parece este
tipo?
Como Pascual no respondiese, sin duda por respeto, don Pedro
soltó una risotada estrepitosa, y encarándose con Nazarín añadió:
—Tú eres moro... Pascual, ¿verdad que es moro?
—Señor, soy cristiano —replicó el peregrino.
—Cristiano de religión... ¡Y a saber...! Pero eso no quita que seas
de pura raza arábiga. ¡Ah!, conozco yo bien a mi gente. Eres árabe, y
de Oriente, del poético, del sublime Oriente. ¡Si tengo yo un ojo...! ¡En
seguida que te vi...! Ven conmigo.
Y echó a andar hacia la casa, llevando a su lado al pordiosero, y
detrás al sirviente.
—Señor —repitió Nazarín—, soy cristiano.
—Eso lo veremos... ¡A mí con esas! Para que te enteres, yo he sido
diplomático, y cónsul, primero en Beirut, después en Jerusalén. En
Oriente pasé quince años, los mejores de mi vida. Aquello es país.
Creyó Nazarín prudente no contradecirle, y se dejó llevar, hasta ve
en qué paraba todo aquello. Entraron en un largo patio, donde oyó
ladrar los perros del día anterior... Les conocía por el metal de voz
Luego atravesaron una segunda portalada, para pasar a otro corralón
más grande que el primero, donde algunos carneros y dos vacas
holandesas pastaban la abundante hierba que allí crecía. Tras aque
patio, otro más chico, con una noria en el centro. Tan extraña serie de
recintos murados pareciéronle a Nazarín fortaleza o ciudadela. Vio
también la torre que desde tan lejos se divisaba, y que era un inmenso
palomar, en torno del cual revoloteaban miles de parejas de aquellas
lindas aves.
Desembarazose el caballero de su escopeta, que entregó al criado
mandándole que se alejara, y se sentó en un poyo de piedra.
Las primeras frases de la conversación entre el mendigo y
Belmonte fueron de lo más extraño que puede imaginarse.
—Dime: si ahora te arrojara yo a ese pozo, ¿qué harías?
—¿Qué había de hacer, señor? Pues ahogarme, si tiene agua; y s
no la tiene, estrellarme.
—¿Y tú que crees? ¿Que soy capaz de arrojarte?... ¿Qué opinión
tienes de mí? Habrás oído en el pueblo que soy muy malo.
—Como siempre hablo con verdad, señor, en efecto, le diré que la
opinión que traigo de usted no es muy buena. Pero yo me permito
creer que la aspereza de su genio no quita que posea un corazón
noble, un espíritu recto y cristiano, amante y temeroso de Dios.
Volvió a mirarle el caballero con atención y curiosidad tan intensas
que Nazarín no sabía qué pensar, y estaba un sí es no es aturdido.
VII

De pronto, Belmonte empezó a reñir con los criados, por si habían o


no habían dejado escapar una cabra que se comió un rosal
Llamábales gandules, renegados, beduinos, zulúes, y les amenazaba
con desollarles vivos, cortarles las orejas o abrirles en canal. Nazarín
estaba indignado; pero se reprimía. «Si de este modo trata a sus
servidores, que son como de la familia —pensaba—, ¿qué hará
conmigo, pobrecito de las calles? Lo que me maravilla es que todos
mis huesos estén enteros a la hora presente». Volvió el caballero a su
lado, pasada la borrasca, y aún estuvo bufando un ratito, como volcán
que arroja escorias y gases después de la erupción.
—Esta canalla le acaba a uno la paciencia. A propósito hacen las
cosas mal para fastidiarme y aburrirme. ¡Lástima que no viviéramos en
los tiempos del feudalismo, para tener el gusto de colgar de un árbol a
todo el que no anduviese derecho!
—Señor —dijo Nazarín, resuelto a dar una lección de cristianismo a
noble caballero, sin temor a las consecuencias funestísimas de su
cólera—, usted pensará de mí lo que guste, y me tendrá po
impertinente; pero yo reviento si no le digo que esa manera de tratar a
sus servidores es anticristiana, y antisocial, y bárbara y soez. Tómelo
usted por donde quiera, que yo, tan pobre y tan desnudo como entré
en su casa, saldré de ella. Los sirvientes son personas, no animales, y
tan hijos de Dios como usted, y tienen su dignidad y su pundonor
como cualquier señor feudal, o que pretende serlo, de los tiempos
pasados y futuros. Y dicho esto, que es en mi un deber de conciencia
deme permiso para marcharme.
Volvió el señor a examinarle detenidamente, cara, traje, manos, los
pies desnudos, el cráneo de admirable estructura, y lo que veía, as
como el lenguaje urbano del mendigo, tan desconforme con su
aparente condición, debió de asombrarlo y confundirle.
—Y tú, moro auténtico, o pordiosero falsificado —le dijo—, ¿cómo
sabes esas cosas, y cuándo y dónde aprendiste a expresarlas tan

Anda mungkin juga menyukai