E-BOOK Psikologi Parenting

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 229

PSIKOLOGI PARENTING

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014


TENTANG
HAK CIPTA
Lingkup Hak Cipta

Pasal 1 Ayat 1 :
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana:
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimak-
sud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus
juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cip-
ta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 114
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan
mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/
atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dip-
idana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
EDITOR:
Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.
Nailur Rohmah, S.Psi., M.A., Rosyida Qorrin, S.Psi.

KONTRIBUTOR TULISAN:
Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si. • Dr. Hanggara Budi Utomo,
M.Pd., M.Psi., • Rosa Imani Khan, S.Psi., M.Psi. • Dr. Yettie
Wandansari, M.Si., Psikolog, • Agustin Rahmawati, M.Si.,
Psikolog • Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog, • Dr.
Ermida Simanjuntak, M.Sc., M.Psi., Psikolog • Onny Fransinata
Anggara, M.Psi., Psikolog , • Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog
• Dr. Setyaningsih, S.Psi., M.Si. • Nailur Rohmah, S.Psi., M.A. •
Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog • Dwi Nurhayati Adhani,
M.Psi., Psikolog, • Ira Mustika, S.Psi. • Mery Atika, S.Psi., M.Si. •
Rosyida Qorrin, S.Psi., • Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.

PSIKOLOGI PARENTING

Diterbitkan Oleh
Psikologi Parenting

Penulis : Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si., dkk.


Editor : Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.
Nailur Rohmah, S.Psi., M.A.
Rosyida Qorrin, S.Psi.
Tata Letak : Riza Ardyanto
Desain Cover : Bintang W Putra

Penerbit:
CV. Bintang Semesta Media
Anggota IKAPI Nomor 147/DIY/2021
Jl. Karangsari, Gang Nakula, RT 005, RW 031,
Sendangtirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta 57773
Telp: 4358369. Hp: 085865342317
Facebook: Penerbit Bintang Madani
Instagram: @bintangpustaka
Website: www.bintangpustaka.com
Email: [email protected]
[email protected]

Cetakan Pertama, Desember 2021


Bintang Semesta Media Yogyakarta
xii + 217 hal : 15.5 x 23 cm
ISBN :

Dicetak Oleh:
Percetakan Bintang 085865342319

Hak cipta dilindungi undang-undang


All right reserved
Isi di luar tanggung jawab percetakan
v

KATA PENGANTAR
KETUA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI)
WILAYAH JAWA TIMUR CABANG BANGKALAN

Pada masa lalu, menjadi orang tua (parenthood) cukup dijalani


dengan meniru para orang tua pada masa sebelumnya. Dengan
mengamati cara orang tua memperlakukan dirinya saat menjadi
anak, maka orang tua merasa sudah cukup bekal untuk menjalani
masa tua di kemudian hari. Namun, seiring perkembangan zaman,
maka parenthood saja tidaklah cukup (Lestari, 2012:35).
Menurut Lestari (2012:35) salah satu alasan yang mendasari
mengapa saat ini parenthood saja tidak cukup adalah komentar yang
sering dikemukakan para orang tua bahwa anak-anak sekarang
berbeda dengan anak-anak zaman dulu. Kini, istilah parenthood
digeser dengan istilah parenting yang di Indonesia istilah ini dimaknai
dengan pengasuhan.
Tidak banyak buku bacaan yang mengangkat topik seputar
pengasuhan (parenting), khususnya di Indonesia. Bacaan yang
tersedia lebih banyak ditemukan dalam format tabloid maupun
majalah. Namun, tidak dengan buku yang sedang Anda baca ini,
topik pengasuhan (parenting) dikemas dalam bentuk buku, sehingga
di dalamnya bisa kita temukan tulisan-tulisannya tidak hanya tulisan
populer namun juga ilmiah, berdasarkan riset empiris maupun kajian
pustaka yang dilakukan para kontributor tulisan.
Apresiasi yang setinggi-tingginya diberikan kepada para
kontributor tulisan yang telah menuangkan hasil riset empiris maupun
kajian pustakanya sehingga terkumpul empat belas tulisan yang
vi

beragam seputar pengasuhan (parenting). Demikian halnya dengan


tim penyunting (editor) yang telah menyusun beragam tulisan dari
kontributor tulisan menjadi satu buku ini.
Akhir kata, bagi para pembaca, mari kita upayakan untuk terus
belajar tentang pengasuhan (parenting) pada anak-anak kita, salah
satunya dengan membaca buku ini. Dengan semakin banyaknya
pemahaman tentang pengasuhan (parenting) dan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari, harapannya akan tercipta generasi
yang berkualitas di kemudian hari. Selamat membaca..

Bangkalan, November 2021

Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.


Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
Wilayah Jawa Timur (Cabang Bangkalan)
vii

KATA PENGANTAR EDITOR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas


karunia-Nya, kami mampu mengumpulkan dan menyunting tulisan
ini. Buku Psikologi Parenting ini disusun dengan maksud untuk
memberikan bacaan alternatif bagi para orang tua, mahasiswa,
dosen program studi psikologi, dosen program studi pendidikan
guru pendidikan anak usia dini, guru pendidikan anak usia dini,
para pemerhati parenting maupun pemerhati perkembangan anak
dan remaja.
Buku ini merupakan kumpulan dari berbagai tulisan seputar
pengasuhan (parenting) yang ditulis para ilmuwan maupun praktisi
di bidang psikologi. Isi buku terbagi menjadi dua bagian. Bagian I
membahas Parenting pada Anak dan Bagian II membahas Parenting
pada Remaja.
Bagian I tulisannya terdiri dari: 1) Mindful Parenting, Implementasi
Pengasuhan Berbasis Hak Anak (Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si.);
2) Gaya Pengasuhan Orangtua Berdasarkan Determinasi Diri
(Dr. Hanggara Budi Utomo, M. Pd., M.Psi. & Rosa Imani Khan,
S.Psi., M.Psi); 3) Pengasuhan Anak Melalui Emotion Coaching (Dr.
Yettie Wandansari, M.Si., Psikolog); 4) Memahami Androgini:
Pengasuhan dalam Perspektif Gender (Agustin Rahmawati, M.Si.,
Psikolog); 5) Memaknai Pengalaman Pengasuhan Orangtua Bagi
Anak Berkebutuhan Khusus di Masa Pandemi: Studi Literatur (Dr.
Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog);
Pada bagian I ini juga dibahas tentang: 6) Connect atau Disconnect:
Aktivitas Literasi Keluarga Sebagai Sarana Pengasuhan Untuk
viii

Memperkuat Komunikasi Keluarga (Dr. Ermida Simanjuntak, M.Sc.,


M.Psi., Psikolog); 7) Kecanduan Game Online dan Keberfungsian
Keluarga (Onny Fransinata Anggara, M.Psi., Psikolog); 8) Peran
Orangtua dalam Pendampingan Anak yang Mengalami Post Traumatic
Stress Disorder Akibat Bullying (Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog &
Dr. Setyaningsih, S.Psi., M.Si.); 9) Menumbuhkan Minat Belajar pada
Anak (Nailur Rohmah, S.Psi., M.A. & Dr. Netty Herawati, M.Psi.,
Psikolog); 10) Membersamai Anak dalam Pendidikan Spiritual (Dr.
Netty Herawati, M.Psi., Psikolog); 11) Sampai Jumpa Picky Eater:
Panduan Praktis Orangtua Bagi Anak yang Mengalami Picky Eater
(Dwi Nurhayati Adhani, M.Psi., Psikolog).
Bahasan pada Bagian II, antara lain berisi tentang: 1) Keharmonisan
Keluarga dan Pengasuhan Orangtua pada Remaja (Rosyida Qorrin,
S.Psi. & Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.); 2) Perundungan Siber pada
Remaja dan Pola Asuh Single Parent Ayah (Ira Mustika, S.Psi. dan
Mery Atika, S.Psi., M.Si.); 3) “Maah, Kenapa Habis Mimpi Gituan,
Celanaku kok Basah?”: Upaya Membangun Komunikasi Seputar
Seksualitas pada Remaja Laki-laki (Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.).
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan
kepada tujuhbelas kontributor tulisan yang telah mengirimkan
tulisan hingga menjadi buku ini. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
Wilayah jawa Timur Cabang Bangkalan, Dr. Yudho Bawono, S.Psi.,
M.Si. yang telah berkenan memberikan kata pengantar di buku ini.
Merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri atas apresiasi
yang diberikan pada buku ini.
Tak ada gading yang tak retak. Buku ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kami dengan kerendahan hati, berharap adanya kritik dan
saran yang dapat menyempurnakan buku ini.

Bangkalan, November 2021


ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
KETUA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI)
WILAYAH JAWA TIMUR CABANG BANGKALAN................v
KATA PENGANTAR EDITOR.................................................... vii
DAFTAR ISI......................................................................................ix

BAGIAN I
PARENTING PADA ANAK...........................................................1
MINDFUL PARENTING, IMPLEMENTASI
PENGASUHAN BERBASIS HAK ANAK
Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si................................................3
GAYA PENGASUHAN ORANG TUA
BERDASAR DETERMINASI DIRI
Dr. Hanggara Budi Utomo, M.Pd., M.Psi.
& Rosa Imani Khan, S.Psi., M.Psi............................................17
PENGASUHAN ANAK MELALUI
EMOTION COACHING
Dr. Yettie Wandansari, M.Si., Psikolog...................................29
MEMAHAMI ANDROGINI: PENGASUHAN
DALAM PERSPEKTIF GENDER
Agustin Rahmawati, M.Si., Psikolog......................................47
MEMAKNAI PENGALAMAN PENGASUHAN
ORANG TUA BAGI ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS DI MASA PANDEMI: STUDI LITERATUR
Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog..........................59
x

CONNECT ATAU DICONNECT?: AKTIVITAS


LITERASI KELUARGA SEBAGAI SARANA
PENGASUHAN UNTUK MEMPERKUAT
KOMUNIKASI KELUARGA
Dr. Ermida Simanjuntak, M.Sc., M.Psi., Psikolog.................73
KECANDUAN GAME ONLINE
DAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA
Onny Fransinata Anggara, M.Psi., Psikolog..........................89
PERAN ORANG TUA DALAM PENDAMPINGAN
ANAK YANG MENGALAMI POST TRAUMATIC
STRESS DISORDER AKIBAT BULLYING
Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog
& Dr. Setyaningsih, S.Psi., M.Si.............................................101
MENUMBUHKAN MINAT BELAJAR PADA ANAK
Nailur Rohmah, S.Psi., M.A.
& Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog................................133
MEMBERSAMAI ANAK DALAM
PENDIDIKAN SPIRITUAL
Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog....................................143
SAMPAI JUMPA PICKY EATER: PANDUAN
PRAKTIS ORANG TUA BAGI ANAK YANG
MENGALAMI PICKY EATER
Dwi Nurhayati Adhani M.Psi., Psikolog..............................155
BAGIAN II
PARENTING PADA REMAJA...................................................167
KEHARMONISAN KELUARGA DAN
PENGASUHAN ORANG TUA PADA REMAJA.....................
Rosyida Qorrin, S.Psi.
& Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.........................................169
PERUNDUNGAN SIBER PADA REMAJA
DAN POLA ASUH SINGLE PARENT AYAH
Ira Mustika, S.Psi. & Mery Atika, S.Psi., M.Si......................185
xi

“MAAH.. KENAPA HABIS MIMPI GITUAN,


CELANAKU KOK BASAH?”:UPAYA
MEMBANGUN KOMUNIKASI SEPUTAR
SEKSUALITAS PADA REMAJA LAKI-LAKI
Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.............................................199

TENTANG KONTRIBUTOR TULISAN....................................213


1

BAGIAN I
PARENTING PADA ANAK
3

MINDFUL PARENTING, IMPLEMENTASI


PENGASUHAN BERBASIS HAK ANAK
Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si
Universitas PGRI Semarang
[email protected]

A. Pendahuluan

Keluarga adalah pondasi awal untuk tumbuh kembang anak


yang akan membentuk kepribadiannya. Sebelum anak mengenal
lingkungan yang lain, keluarga sudah memberikan dasar-dasar
untuk perkembangan anak. Dengan demikian, keluarga merupakan
ujung tombak dalam pembentukan kepribadian anak, dan orang tua
adalah guru utama di tahun-tahun pertama kehidupan anak. Hal ini
karena orang tua adalah “model” bagi anak.
Dalam tumbuh kembangnya, akan lebih baik jika kebutuhan-
kebutuhan anak diperhatikan untuk kesejahteraannya. Dalam hal
ini kesejahteraan anak mengacu pada terpenuhinya segala hak dan
kebutuhan hidup anak ((Fitri et al., 2015). Ketika anak dalam kondisi
sejahtera, hal ini merupakan pertanda penting kemajuan Indonesia
dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
pada 2030 kelak (UNICEF, 2020)
Meskipun demikian, kenyataan saat ini menunjukkan bahwa
banyak sekali peristiwa di masyarakat yang rentan dengan
4

permasalahan keluarga. Bisa jadi kondisi ini menunjukkan adanya


kerapuhan keluarga, seperti misalnya banyaknya kasus perceraian,
kekerasan dalam rumah tangga maupun perilaku anak-anak yang
semakin mengkhawatirkan, seperti kenakalan remaja, kekerasan
seksual remaja, akses pornografi, serta penggunaan narkoba. Kondisi
tentang anak-anak yang bermasalah juga disampaikan oleh (UNICEF,
2020) tentang situasi anak di Indonesia bahwa penyalahgunaan zat
(khususnya dalam bentuk merokok dan konsumsi alcohol) adalah
masalah yang meluas di kalangan remaja Indonesia, terutama lelaki.
Lebih dari separuh (55,3 persen) remaja lelaki usia 15–19 menyatakan
mengonsumsi tembakau setiap hari dan 15,5 persen mengonsumsinya
sesekali.
Pada umumnya ketika orang tua terlibat dalam konflik rumah
tangga, anak akan selalu menjadi korban yang bisa jadi akan merusak
perilaku dan tumbuh kembangnya. Dalam kondisi demikian ada
hak-hak anak yang terampas karena permasalahan orang tua. Anak
mengalami dampak psikis karena permasalahan orang tua. Sementara
itu, di sisi lain, orang tua sering kali masih menuntut anak berprestasi
baik, ataupun menuntut anak memenuhi harapan orang tua, tetapi
kurang memahami potensi anak. Hal ini terkadang mengakibatkan
anak merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Akan sangat
berbahaya jika kemudiaan anak “berpaling” pada seseorang yang
kurang bertanggung jawab. Belum lagi dengan adanya perkembangan
teknologi jika tidak dimaknai secara positif akan berdampak buruk
bagi perkembangan anak.
Situasi ini juga ditemui penulis berdasarkan hasil diskusi pada
salah satu program parenting di sekolah, diantaranya keinginan anak
dan orang tua yang berbeda sehingga anak sering kali membantah
orang tua bahkan terkesan semaunya sendiri. Kondisi ini semakin
tampak nyata pada situasi pandemi yang menuntut anak dan orang
tua sering berada di rumah sehingga waktu untuk bertemu dan
5

berinteraksi juga semakin banyak. Kondisi ini juga diperparah dengan


adanya pembelajaran daring yang seringkali membosankan bagi anak.
Dengan demikian, keberadaan orang tua dan anak di rumah
yang seharusnya dapat mempererat hubungan, akan tetapi
kenyataannya justru semakin memperuncing permasalahan karena
adanya ketidaksepahaman. Kondisi ini, seperti telah disampaikan
sebelumnya bahwa ada kebutuhan atau hak anak yang kurang
terpenuhinya, diantaranya adalah hak untuk tumbuh kembang dan
hak perlindungan. Jika kondisi ini dibiarkan, permasalahan akan
semakin tajam. Dengan demikian diperlukan suatu strategi yang
tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian (Handayani et al., 2016) diketahui bahwa penerapan pola
asuh yang tepat; yaitu pola asuh berkesadaran (mindful parenting)
menjadi dasar untuk mewujudkan keluarga ideal. Hasil penelitian
(Rinaldi, 2017) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa dengan
mengimplementasikan mindful parenting, ibu mampu menerima
segala pengalaman dalam pengasuhan tanpa memberi penilaian
terhadap situasi yang dialami anak dan lingkungan di sekitar anak.
Konsep mengasuh berkesadaran mulai diminati di Indonesia ,
sehingga mendorong lahirnya kajian baru tentang Mindful
parenting (Sofyan, 2018),
Mindful parenting adalah pola asuh berkesadaran ketika orang tua
menjaga pikiran, ucapan dan perilaku dari hal-hal yang tidak patut
dilakukan dalam mengasuh anak. Ketika orang tua menerapkan
pengasuhan yang berkesadaran dengan adanya komunikasi yang
baik, mampu mengelola emosi, penuh kasih sayang menunjukkan
terpenuhinya hak-hak anak. Meskipun demikian tidak semua orang
tua mampu menerapkan kesadaran dalam mengasuh untuk menunjang
kesejahteraan anak. Tulisan ini akan mengupas bagaimana mindful
parenting, sebagai salah satu bentuk pengasuhan yang memenuhi
kebutuhan atau hak anak untuk menunjang kesejahteraannya.
6

B. Tinjauan Teori

1. Mindful parenting
Melly Kiong (2015) menjelaskan bahwa “parenting“ diartikan
sebagai “pola mengasuh” yaitu orangtua mengasuh anak-anaknya
agar tumbuh menjadi pribadi-pribadi unggul. “mindful” adalah
“berkesadaran, eling“ atau yang mengacu pada orang yang
selalu menjaga kesadarannya dari pikiran, ucapan, dan semua
perilaku yang kurang pantas. Pendekatan berkesadaran (mindful)
dalam mengasuh anak (parenting) adalah salah satu metode yang
disarankan untuk membangun hubungan yang ideal (Handayani
et al., 2016) serta aman/secure antara orang tua dan anak (Siegel
& Hartzell, 2003).
Ducan et al (2009) serta Kiong (2015) menjelaskan bahwa
model mengasuh berkesadaran terdiri dari lima segmen atau
aspek yaitu:
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara
dengan empati
Perhatian yang benar dan kesadaran (eling) untuk
menerima pengalaman saat ini (present moment) merupakan
hal utama dari hidup berkesadaran dan juga untuk parenting
yang efektif. Orangtua memberikan fungsi pelindung untuk
anak-anak yang membutuhkan perasaan aman dan menjaga
anak dari bahaya.
Orang tua yang mempraktikkan konsep mendengar dan
berbicara secara eling/ berkesadaran, akan lebih sensitif
terhadap isi percakapan dan lebih memahami serta mengerti
anak dari perubahan nada suara, ekspresi wajah, dan
bahasa tubuh. Selain itu orang tua lebih mampu mendeteksi
kebutuhan anak dan makna yang disampaikan anak. Orang
tua dapat menangkap makna tersembunyi di balik kalimat-
kalimat yang diucapkan anak, atau perubahan bahasa tubuh
yang ditampilkan anak.
7

Sebagian besar informasi yang dikumpulkan orang tua


adalah hanya melalui laporan lisan dan bukan pengamatan
secara langsung (Smetana et.al. 2006). Orangtua perlu
memahami pikiran dan perasaan anak sehingga orang tua
lebih mengerti kondisi mereka, bahkan dapat mengurangi
konflik serta perselisihan. Paling utama adalah orang tua telah
membangun keberanian anak untuk lebih terbuka dengan
komunikasi dua arah (Smetana et.al. 2006).
b. Pemahaman dan penerimaan untuk tidak menghakimi
diri sendiri dan anak
Orang tua melalui pesan perilaku dan pesan verbalnya,
menekankan dan mengomunikasikan keyakinan mereka
tentang atribut dan kompetensi yang harus diterima dan
dimiliki anak. Pola seperti ini karena keinginan agar anak
seperti yang inginkan orang tua, meskipun terkadang sangat
tidak realistis untuk anak.
c. Kesadaran emosional diri sendiri dan anak
Model mengasuh berkesadaran menekankan pada
kapasitas orang tua atas perhatiannya terhadap emosi dalam
diri dan anaknya. Kecerdasan emosional yang baik pada
gilirannya akan men-trigger proses evaluasi otomatis yang
menuntun pada penetapan perilaku yang baik. Orang tua
yang memahami dimensi ketiga dapat mengidentifikasi emosi
dirinya dan emosi anak dengan memberikan perhatian yang
berkesadaran pada saat interaksi. Orang tua dapat membuat
pilihan secara sadar tentang bagaimana merespons, daripada
selalu reaktif.
d. Pengaturan-diri dalam hubungan pengasuhan/parenting.
Pengaturan dan pengendalian diripada dasarnya adalah
proses di mana orang tua tidak menunjukkan fluktuasi
berlebihan terhadap perilaku anak. Orang tua sering merusak
8

anak dengan terlalu menyanjung, terlalu membanggakan,


terlalu mengelu-elukan prestasi anak. Bahkan sebaliknya
terlalu menghakimi, memandang remeh, atau menyepelekan
anak. Kedua ekstrim ini sebaiknya dihindari, karena mindful
adalah tenang terkendali.
e. Welas asih untuk diri sendiri dan anak.
Welas asih dalam konsep ini adalah tidak menyalahkan diri
ketika tujuan tidak tercapai, yang kemudian mampu bangkit
kembali untuk mengejar tujuan tersebut. Mengembangkan
welas asih dalam keluarga, akan melahirkan anak-anak yang
peduli kepada sesama dan lingkungan.
Berdasarkan gambaran tersebut, dapat disimpulkan
bahwa mengasuh berkesadaran adalah metode pengasuhan
dengan mengacu pada sikap, perilaku, ucapan dan
penampilan orang tua yang selalu memiliki kesadaran/
eling dalam mengasuh anak sehingga terjalin hubungan
aman antara orang tua dan anak. Kondisi ini ditunjukkan
dengan mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara
dengan empati, pemahaman dan penerimaan untuk tidak
menghakimi, pengaturan emosi atau kecerdasan emosional,
mengasuh dengan bijaksana dan tidak berlebihan, dan welas
asih.
2. Hak anak
Berbicara tentang hak anak, tidak dapat dilepaskan dari
Konvensi Hak Anak (KHA) yang merupakan perjanjian bersama
antar negara untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
hak anak. Konvensi Hak Anak adalah sebuah sejarah perlindungan
terhadap hak anak berupa perjanjian yang menjamin perlindungan
hak anak di dunia. Sejalan dengan itu, pemerintah Indonesia
meratifikasi Konvensi Hak Anak ini dengan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1996 (Lestari, 2017).
9

Hak anak adalah hak dasar yang wajib diberikan dan


didapatkan anak atau individu. Menurut Undang-Undang
Perlindungan Anak, anak-anak adalah individu yang masih
berusia di bawah 18 tahun. Dalam hal ini jika dikatakan hak
tentunya harus dipenuhi, sebagai bentuk tanggung jawab orang
tua, terutama dalam konteks pengasuhan.
Dalam KHA terdapat 10 Hak Anak yaitu hak gembira, hak
untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan perlindungan,
memperoleh nama, hak atas kebangsaan, hak mendapatkan
makanan, kesehatan, rekreasi serta kesamaan hak peran dalam
pembangunan. Selanjutnya disebutkan bahwa KHA mengatur
empat golongan hak utama anak yaitu hak kelangsungan hidup,
hak tumbuh kembang, hak partisipasi dan hak perlindungan (Fitri
et al., 2015). Kondisi ini juga termaktub dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak disebutkan bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” (Gunadi, 2017)
Hak kelangsungan hidup, merupakan hak untuk
mempertahankan hidup, mendapatkan nama yang baik, serta
beribadah sesuai agama yang dianut. Hak tumbuh kembang
merupakan hak yang diperlukan anak dalam tumbuh kembang
sesuai potensi serta untuk mendapatkan standar hidup yang layak
seperti mendapatkan tempat tinggal, pendidikan, bermain, bergaul
serta istirahat yang cukup. Hak perlindungan menunjukkan
bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari
tindakan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekerasan
maupun perlakuan salah lainnya. Menurut (Fitri et al., 2015)
bahwa perlindungan terhadap anak meliputi upaya menjamin
dan melindungi anak agar tetap hidup, tumbuh kembang serta
10

turut aktif berpartisipasi dan juga dilindungi dari tindak kekerasan


dan diskriminasi. Sedangkan hak berpartisipasi merupakan hak
anak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, mencari
dan menerima informasi sesuai dengan kehidupannya sebagai
anak-anak. Perlindungan hak anak penting untuk menjamin
anak menerima segala hal yang dibutuhkan anak untuk bertahan
hidup, dan bertumbuh kembang (Fitriani, 2016)
3. Mindful parenting, implementasi pengasuhan berbasis
hak anak
Implementasi pengasuhan berbasis hak anak memang
tidaklah mudah, banyak hal harus dipelajari oleh orang tua mulai
dari pemahaman kondisi psikis, fisik, kognitif, emosi, dan sosial
anak berdasarkan usia tumbuh kembang anak, dan juga tentang
hak anak itu sendiri. Hal ini karena realita di masyarakat, tidak
sedikit orang tua yang belum memahami peran penting dalam
mendukung perkembangan anak. Orangtua kurang memiliki
kesadaran dan kemampuan dalam mengasuh anak dengan baik,
sehingga hak-hak anak terabaikan. Seperti misalnya orang tua
cenderung memberikan peraturan yang justru mengekang anak
dan membuat anak tidak dapat berkembang dengan baik. Hal ini
menunjukkan adanya hak dasar anak tentang tumbuh kembang,
partisipasi dan hak perlindungan yang terabaikan. Kondisi
ini sejalan dengan hasil penelitian (Nomor & Faz, 2021) yang
menunjukkan bahwa masih banyak orang tua dalam menerapkan
peraturan kepada anak cenderung bermusuhan (hostility) dan
termasuk dalam pengasuhan negatif. Sebagian orang tua bahkan
tidak segan melakukan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak.
Adanya model pengasuhan yang berkesadaran (mindful
parenting) yaitu ketika orang tua menjaga kesadarannya baik
dalam hal pikiran, ucapan, dan perilaku yang kurang pantas
diperlakukan terhadap anak merupakan pengasuhan yang relevan
11

yang dengan terpenuhinya hak-hak anak demi kesejahteraan anak.


Pada dasarnya semua aspek dalam mindful parenting memenuhi
hak anak untuk kelangsungan hidup. Karena tanpa adanya empati,
pemahaman diri sebagai orang tua dan juga anak, adanya kontrol
emosi, sikap bijaksana dalam pengasuhan serta adanya sikap
kasih sayang mustahil anak dapat melanjutkan kehidupannya.
Dalam kondisi tidak ada kesadaran dalam pengasuhan sangat
mungkin terjadi kekerasan yang dapat berdampak negatif untuk
anak. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan pada
aspek lain mindful parenting menunjukkan terpenuhinya hak
anak. Berikut adalah beberapa implementasi hak anak dengan
memperhatikan aspek dalam mindful parenting, yaitu :
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara
dengan empati
Dalam hal ini orang tua membangun komunikasi
dengan anak sehingga anak merasa aman dan nyaman ketika
menyampaikan hal-hal yang dialami. Implementasi mindful
parenting pada aspek ini adalah adanya hak partisipasi,
tumbuh kembang dan perlindungan. yaitu dengan mengajak
anak turut berbicara dan belajar untuk berani dalam
mengambil suatu keputusan. Hal ini akan membantu anak
memiliki modal untuk menjalani kehidupan bermasyarakat
nantinya. Kondisi tersebut diantaranya melalui cara sederhana
seperti hal-hal yang dialami anak sepanjang hari, masalah
yang dihadapi anak, upaya yang dilakukan anak dalam
menghadapi masalah, serta membantu anak mengevaluasi
setiap peristiwa yang dialami beserta hikmah yang dapat
diterima anak pada kejadian atau peristiwa tersebut. Menurut
Syam, Nandang, Al Aarisi & Day (Handayani et al., 2019)
bahwa bentuk komunikasi verbal maupun non verbal
seperti pelukan, ciuman dan sentuhan perlu dipupuk dan
dilatih kepada anak-anak sejak dini. Dalam situasi anak
12

berkumunikasi dengan orang tua dengan penuh empati


menunjukkan adanya perlindungan dari orang tua dan juga
akan mendukung tumbuh kembang anak.
b. Pemahaman dan penerimaan untuk tidak menghakimi
diri sendiri dan anak
Hasil penelitian (Rinaldi, 2017) menunjukkan bahwa
dengan mengimplementasikan mindful parenting pada anak,
membuat ibu mampu menerima segala pengalaman dalam
pengasuhan tanpa memberi penilaian terhadap situasi
yang dialami anak dan lingkungan disekitar anak. Dalam
hal ini orang tua yang terlalu memikirkan presepsinya
tanpa memahami dan menerima kondisi nyata dari anak
seringkali justru membuat anak merasa tertekan. Tuntutan
dari orangtua akan membuat anak justru merasa terbebani
sebab kurang realistis dengan kondisi anak. Hal itu tentunya
akan mengganggu tumbuh kembang anak. Namun jika
orangtua mampu memberikan pemahaman dan penerimaan
untuk tidak menghakimi diri sendiri dan anak, maka orang
tua sudah mengimplementasikan hak tumbuh kembang
anak dengan baik. Ketika orang tua tidak menghakimi
diri sendiri dan anak, maka berarti orang tua memberikan
kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi diri dengan
baik tanpa adanya perasaan takut disalahkan, sehingga akan
memberikan dampak positif pula pada tumbuh kembang
anak. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus
diberikan pendidikan dan pemenuhan haknya untuk tumbuh
dan berkembang dengan memanfaatkan segala potensi yang
dimiliki (Herlina & Nadiroh, 2018)
c. Kesadaran emosional diri sendiri dan anak
Orang tua yang menyadari arti penting mindful
parenting akan menjaga emosi diri untuk tidak melakukan
13

tindak kekerasan. Dalam hal ini berarti kebutuhan anak


akan perlindungan terpenuhi. Demikian juga halnya akan
tumbuh kembang. Karena ketika anak dalam tumbuh dalam
kondisi emosional yang baik, akan mendukung tumbuh
kembangnya. Seseorang yang memiliki rasa kemanusiaan
dalam dirinya akan memiliki kesadaran akan nilai penting
pemenuhan hak anak sebagai manusia sehingga mampu
meminimalisir kekerasan yang dilakukan orang dewasa
pada anak (Ambarsari & Harun, 2018).
d. Pengaturan-diri dalam hubungan pengasuhan/parenting.
Pengaturan diri dalam hubungan pengasuhan/parenting
juga turut berkontibusi dalam pemenuhan hak anak terkait
hak tumbuh kembang anak. Pengaturan di sini memiliki
makna orangtua mampu bersikap bijaksana terhadap
keberhasilan ataupun kekurangan anak. sikap demikian tidak
menjadikan anak menjadi sombong ataupun merasa rendah
diri, yang kesemuanya tidak baik untuk tumbuh kembang
anak selanjutnya. Menurut Pomerantz, Grolnick dan Prince
(2005) jika orang tua bersikap positif dan memperhatikan
anak meski anak memiliki rasa frustrasi terhadap tugas-tugas
sekolahnya, hal ini akan membantu anak untuk bersikap ulet
dan belajar. Orang tua menyeimbangkan antara kegiatan
belajar yang dapat menciptakan ketergantungan dengan
mendorong kemandirian anak yang memunculkan inisiatif.
e. Welas asih untuk diri sendiri dan anak
Welas asih dalam pengasuhan terhadap anak mampu
mengembangkan rasa kasih sayang pada anak sehingga
mampu membentuk anak untuk dapat peduli terhadap
lingkungan di sekitar anak. Bagi orang tua yang menerapkan
sikap welas asih juga dapat menghindari tindakan kekerasan
terhadap anak sehingga mampu menjamin hak hidup dengan
14

layak bagi anak. Selain tentunya akan berdampak baik untuk


tumbuh kembangnya.

C. Penutup

Kepribadian anak dibentuk oleh lingkungan terdekat anak, yaitu


keluarga terutama orang tua. Penting untuk melakukan pengawasan
dan pengarahan perilaku terhadap setiap fase tumbuh kembang anak.
Kepribadian anak akan terbentuk baik apabila orang tua mampu
menerapkan pola asuh yang baik pula, diantaranya melalui pola
asuh berkesadaran (mindful parenting) yang mengutamakan hak anak.
Akan tetapi, dalam realitas di lapangan masih banyak orang tua yang
belum memiliki kesadaran penuh dalam pengasuhan terhadap anak
serta kurangnya pengetahuan orang tua akan pentingnya mindful
parenting. Orang tua cenderung melakukan pola asuh yang benar
hanya dalam pandangan orangtua, tanpa memperhatikan kondisi
anak. Akhirnya tak jarang banyak sekali anak yang melakukan
tindakan kriminal dan penyimpangan perilaku yang disebabkan
oleh kesalahan pola asuh dari orang tua.
Mindful parenting merupakan pola asuh berkesadaran ketika orang
tua menjaga pikiran, ucapan dan perilaku dari hal-hal yang tidak patut
dilakukan dalam mengasuh anak. Mindful parenting relevan dengan
terpenuhinya hak anak. Ketika orang tua mampu berkomunikasi
dengan penuh empati, tidak menghakimi diri maupun anak, adanya
kontrol emosi, sikap bijaksana dalam pengasuhan serta adanya sikap
kasih sayang berarti keempat hak dasar anak telah terpenuhi.
15

Daftar Pustaka

Ambarsari, L. and Harun, H., 2018. Sekolah Ramah Anak Berbasis Hak
Anak Di Sekolah Dasar. Profesi Pendidikan Dasar, 5(1), pp.10-19.
Duncan, Larissa G, J. Douglas Coatsworth, & Mark T. Greenberg.
(2009). A Model of Mindful Parenting: Implication for Parent-
Child Relationship and Prevention Research. Clin Child Fam
Psychol Rev, 12, 255-270. Diunduh melalui Springerlink.com,
pada tanggal 23 April 2016.
Fitri, A. N., Riana, A. W., & Fedryansyah, M. (2015). Perlindungan
Hak-Hak Anak Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Anak.
Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1),
45–50. https://doi.org/10.24198/jppm.v2i1.13235
Fitriani, R. (2016). Anak dalam Melindungi dan Memenuhi Hak-hak
Anak. Jurnal Hukum : Samudra Keadilan, 11(2), 250–258.
Gunadi, A. A. (2017). Aj 5. 38–43.
Handayani, A., Yulianti, P. D., Nyoman M., N. A., & Setiawan, A.
(2019). Mindful Parenting Based on Family Life Cycle [Mengasuh
Berkesadaran Berdasarkan Tahap Perkembangan Keluarga].
ANIMA Indonesian Psychological Journal, 35(1), 56–84. https://
doi.org/10.24123/aipj.v35i1.2882
Handayani, A., Yulianti, P. D., & Nyoman, N. A. (2016). Mengasuh
berkesadaran berdasarkan tahap perkembangan keluarga
kedua. Prosiding Seminar Nasional, February 2019.
Herlina, N., & Nadiroh, N. (2018). Peran Strategis Ruang Publik
Terpadu Ramah Anak (Rptra) Dalam Rangka Pemenuhan Hak
Anak Terhadap Lingkungan. JPUD - Jurnal Pendidikan Usia
Dini, 12(1), 104–117. https://doi.org/10.21009//jpud.121.09
Lestari, R. (2017). IMPLEMENTASI KONVENSI INTERNASIONAL
TENTANG HAK ANAK (Convention on The Rights of The
Child ) DI INDONESIA. Journal of Chemical Information and
Modeling, 4(2), 1–10.
16

Nomor, V., & Faz, G. O. (2021). Syams : Jurnal Studi Keislaman Persepsi
Remaja Pelaku Tindak Pidana terhadap Gaya Pengasuhan Orangtua.
2.
Pomerantz, E. M., Grolnick, W. S., & Price, C. E. (2005). The
role of parents in how children approach achievement : A
dynamic process perspec tive .In A. J. Elliot & C. S Dweck
(Eds.), Handbook of competence and motivation (pp. 259 - 296).
Guilford Publications
Rinaldi, M. R. (2017). Program “ Mindful Parenting ” Untuk
Menurunkan Afek Mindful Parenting Program for Decreasing
Negative Affect on Mothers of Children With Intellectual.
Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 19(2), 129–140.
UNICEF. (2020). Situasi Anak di Indonesia - Tren, Peluang, dan
Tantangan dalam Memenuhi Hak-hak Anak. Unicef, 8–38.
17

GAYA PENGASUHAN ORANG TUA


BERDASAR DETERMINASI DIRI
Dr. Hanggara Budi Utomo, M.Pd., M.Psi. & Rosa Imani
Khan, S.Psi., M.Psi.
Universitas Nusantara PGRI Kediri
[email protected], [email protected]

A. Pendahuluan

Individu tumbuh dan berkembang dengan keunikannya masing-


masing. Setiap anak mempunyai karakter dan pola perilaku yang
berbeda sekalipun mereka adalah anak kembar. Misalnya, ada anak
yang cenderung pemberani, mudah dalam bergaul, senang mengobrol
dan mandiri, namun ada pula anak yang cenderung penakut,
sulit bergaul dan sangat bergantung kepada orang lain. Dalam
perkembangannya, karakter dimiliki oleh anak melalui peniruan
terhadap anggota-anggota keluarga yang ada di sekitar anak.
Perkembangan merupakan proses dimana individu mengalami
perubahan-perubahan seiring berjalannya waktu. Suryani dan
Widyasih (2010) memaparkan bahwa perkembangan adalah proses
perubahan psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan fungsi
psikologis dan fisik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
proses belajar dalam lintasan waktu menuju masa kedewasaan.
Perkembangan anak bukan terjadi secara mekanis-otomatis.
Perkembangan anak begitu bergantung pada bermacam-macam
faktor secara stimulan, antara lain: faktor herediter (bawaan),
18

faktor lingkungan, kematangan fungsi psikiologis, aktivitas anak


sebagai subjek bebas yang memiliki kemauan, kemampuan seleksi,
dapat menolak atau menyetujui, memiliki emosi, dan upaya untuk
membangun dirinya sendiri.
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi
setiap anak. Dalam sebuah keluarga, orang tua memiliki peran yang
sangat besar terhadap proses perkembangan anak. Sejak berada dalam
kandungan, orang tualah yang memberikan pendidikan berbentuk
stimulasi dini yang dapat merangsang tumbuh-kembang janin. Saat
anak telah lahir, orang tua jugalah yang pertama kali memberikan
pendidikan awal kepada anaknya melalui gaya pengasuhan. Menurut
Cramer sebagaimana dikutip oleh Suryadi dkk. (2017) menjelaskan
bahwa gaya pengasuhan adalah salah satu aspek dari proses dalam
keluarga yang memiliki peran terhadap perkembangan seorang anak.
Artinya, proses perkembangan seorang anak tidak dapat dipisahkan
dari bagaimana cara orang tuanya memperlakukannya.
Penjelasan di atas sejalan dengan hasil penelitian Budiman dan
Harahap (2015) yang menyatakan bahwa semua jenis gaya pengasuhan
atau pola asuh memiliki pengaruh terhadap perkembangan anak.
Selain itu, hasil penelitian dari Utami (2021) juga menjelaskan
bahwa masing-masing gaya pengasuhan yaitu pengasuhan otoriter,
pengasuhan demokratis, dan pengasuhan permisif yang diterapkan
dalam keluarga mempengaruhi perkembangan anak di masa depan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, melalui
tulisan ini, penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi tentang bagaimana
gaya pengasuhan orang tua ditinjau dari perspektif determinasi diri.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam menyusun kajian ini adalah


studi pustaka dengan pendekatan kualitatif. Teknik studi pustaka
yang dilakukan dalam kajian ini adalah teknik simak dan catat
19

dengan mengumpulkan data dengan cara menggunakan buku


elektronik, jurnal ilmiah, dan literatur ilmiah lainnya. Selanjutnya,
penulis mencatat dengan cara mengutip pendapat para ahli untuk
memperkuat landasan teori.

C. Pembahasan

1. Gaya pengasuhan
Orang tua dalam setiap keluarga selalu menginginkan anak-
anaknya menjadi terbaik sesuai dengan kemampuan dalam
diri anak. Keinginan orang tua supaya anak-anaknya menjadi
terbaik selanjutnya ditentukan oleh gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh orang tua. Konsep gaya atau pola pengasuhan
secara prinsipal menurut Baumrind sebagaimana dikutip
oleh Santrock (2010) merupakan kontrol dari orang tua dalam
membimbing dan terlibat dalam aktivitas anak untuk mendukung
tugas perkembangan anak menuju pada proses kedewasaan
secara fisik dan psikologis. Baumrind membedakan di antara
tiga pengasuhan utama, di antaranya: pola asuh demokratis/
otoritatif, otoriter, dan permisif (Santrock, 2010).
Pola pengasuhan demokratis atau dengan gaya otoritatif
sejatinya bersifat positif dan dapat mendorong untuk
mewujudkan kemandirian dalam diri anak. Konsekuensi dari
gaya pengasuhan demokratis ini adalah orang tua harus dapat
mengontrol perilakunya dan menempatkan batas-batas kendali
atas perilakunya. Komunikasi dua arah antara anak dan orang
tua dapat memberikan info atas aktivitas anak dan orang tua, dan
memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan
suatu tindakan yang disepakati. Orang tua yang menerapkan
pola pengasuhan dengan gaya otoritatif ini secara berproses
berdampak pada anak untuk terlibat lebih dewasa, muncul
kemandirian dalam diri anak dan mampu mengendalikan diri
serta emosi, yang selanjutnya anak mampu mengatasi masalah
yang terjadi dalam dirinya.
20

Pola atau gaya pengasuhan orang tua berikutnya adalah


pengasuhan otoriter. Berbeda dengan pola pengasuhan
demokratis, pola pengasuhan otoriter lebih tertuju pada orang
tua yang menghargai kepatuhan untuk mengkondisikan anak-
anak mereka agar memenuhi standar orang tua, cenderung
membatasi, dan mendesak anak untuk mengikuti segala perintah
orang tua. Pengasuhan otoriter dengan demikian tidak memiliki
dukungan otonomi, tetapi dapat melibatkan tingkat keterlibatan
yang cukup tinggi atau, sebaliknya, hampir tidak ada sama
sekali (Ryan & Deci, 2017). Orang tua yang menerapkan pola
pengasuhan dengan gaya otoriter ini nampak dalam diri anak
menunjukkan kurang adanya kebahagiaan, takut salah, merasa
rendah diri, dan memiliki kemampuan komunikasi yang kurang.
Gaya pengasuhan orang tua selanjutnya adalah pengasuhan
permisif. Orang tua yang permisif mungkin terlalu memanjakan
anak, tetapi bagaimanapun juga, orang tua tidak secara aktif
mengomunikasikan pedoman, aturan, dan batasan penting kepada
anak-anaknya. Sikap permisif jelas menunjukkan kurangnya
struktur dan panduan, dan menyiratkan kurangnya keterlibatan
konstruktif, meskipun beberapa orang tua permisif sangat terlibat
dengan anak-anaknya dan memberi apa yang diinginkan oleh
anak. Sisi yang lain, orang tua yang permisif cenderung tidak
mengajukan permintaan dan tidak mendukung keterlibatan
anak supaya mandiri (Ryan & Deci, 2017). Orang tua yang
menerapkan pola pengasuhan dengan gaya permisif ini berakibat
anak cenderung melakukan kesalahan dan pelanggaran sehingga
anak tidak mampu mengendalikan perilakunya, kurang dewasa,
memiliki harga diri rendah, dan terasingkan dari keluarga.
2. Determinasi diri
Determinasi diri memberikan makna bahwa individu adalah
organisme yang aktif mengembangkan perilaku dan tujuannya
21

(Deci & Ryan, 2000) Determinasi diri dan penyesuaian hidup


pada masa dewasa dapat dikatakan berhasil bila sesuai dengan
tiga kriteria, yaitu prestasi, kepuasan, dan penyesuaian pribadi
yang tercermin dalam kepribadian seseorang. Ketiga kriteria
tersebut saling berkaitan begitu erat sehingga salah satu kriteria
saja tidak cukup untuk menilai penyesuaian perilaku dan tujuan
individu dalam menentukan pilihan dalam hidupnya (Deci &
Ryan, 2000; Hurlock, 2011).
Determinasi diri adalah suatu proses memanfaatkan kehendak
atau kontrol yang dimiliki oleh diri. Determinasi diri menuntut
agar individu-individu menerima kekuatan dan keterbatasannya,
mengetahui berbagai kekuatan yang bertindak atas dirinya,
membuat pilihan, dan menentukan cara-cara memenuhi
kebutuhan. Keterkaitan antara kontrol dan determinasi diri
adalah bahwa untuk memiliki determinasi diri, individu harus
memutuskan cara menindak lingkungan. Individu tidak akan
merasa puas apabila semua kebutuhannya terpenuhi secara
otomatis, tanpa individu tersebut memiliki pilihan-pilihan dan
memutuskan cara mencapai pilihan-pilihan tersebut. Hal ini
merupakan bagian integral dari perilaku yang termotivasi secara
intrinsik dan juga merupakan bukti dalam beberapa perilaku
yang termotivasi secara ekstrinsik (Deci & Ryan, 1985).
Motivasi yang ada dalam diri individu tertuju pada cara
menggerakkan diri sendiri atau orang lain untuk bertindak.
Para orang tua, guru, pelatih, dan manajer berjuang memotivasi
individu yang mereka bimbing, dan individu tersebut berjuang
untuk menemukan energi, mengerahkan upaya, dan bertahan
pada tugas-tugas kehidupan dan pekerjaan. Motivasi intrinsik
ini tidak selalu dihargai atau didukung secara eksternal, namun
demikian individu dapat mempertahankan gairah, kreativitas, dan
upaya secara berkelanjutan. Interaksi antara kekuatan ekstrinsik
22

yang bertindak pada individu, dan motif intrinsik serta kebutuhan


yang melekat dalam sifat manusia adalah tentang determinasi
diri (Deci & Ryan, 1985).
3. Gaya pengasuhan berdasar perspektif determinasi diri
Secara umum, determinasi diri dapat mengendalikan hidup
seseorang. Individu dapat memainkan peran penting dalam
meningkatkan kemampuan dan sikap yang dibutuhkan individu
melalui keterampilan mendeterminasi diri dan menciptakan
lingkungan dengan keterampilan yang dapat dipraktikkan.
Misalnya saja pendidik, bahwa tantangan determinasi diri
yang dialami pendidik adalah menemukan ide-ide yang
dapat digunakan di antara sumber daya yang mendukung di
lingkungannya (Browder dkk., 2001). Ide tersebut misalnya
pendidik dapat menggunakan pengalaman langsung dan belajar
sambil melakukan (learning by doing) bila menghadapi emosi anak
yang bermasalah (Utomo, 2021). Adanya pengalaman langsung
tersebut dapat menjadi implikasi bagi pendidik lainnya, dalam
hal ini adalah orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak.
Berdasar pada perspektif determinasi diri, gaya pengasuhan
orang tua yang paling menarik dalam model Baumrind adalah
pendekatan otoritatif. Gaya pengasuhan otoritatif menekankan
pada orang tua untuk mendorong anak menjadi mandiri, namun
pada saat yang sama, orang tua juga secara tegas mengharuskan
anak untuk mematuhi aturan dan pedoman yang telah disepakati
antara orang tua dan anak (Ryan & Deci, 2017). Senada dengan
hal tersebut, Santrock (2010) menyatakan bahwa gaya pengasuhan
otoritatif merupakan gaya pengasuhan ideal untuk perkembangan
anak karena orang tua otoritatif memiliki keseimbangan yang tepat
antara kendali dan otonomi, sehingga anak diberi kesempatan
untuk mandiri sembari memberikan standar dan panduan yang
dibutuhkan anak. Sisi yang lain, kehangatan dan keterlibatan
23

orang tua yang otoritatif dapat membuat anak bertanggung jawab,


memiliki rasa ingin tahu, dan adanya ketenangan diri dalam
bertindak. Ciri orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan
otoritatif menurut Widyarini (2009), antara lain: (1) orang tua
mengarahkan pemikiran anak secara rasional; (2) orang tua
mengajarkan anak untuk fokus pada masalah yang dihadapi;
(3) orang tua mengajarkan anak untuk menghargai ketika
berkomunikasi dengan orang lain; (4) orang tua menjelaskan
alasan yang rasional bila anak meminta sesuatu; (5) orang tua
mengajarakan pada anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi
juga mengajarkan anak untuk mandiri dan mengarahkan dirinya
sendiri; dan (6) orang tua tidak mendominasi, tetapi juga tidak
mendasarkan pada kebutuhan anak semata. Santrock (2010) juga
menekankan bahwa anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan
otoritatif akan memiliki karakteristik: “often cheerful, self-controlled
and self-reliant, and achievement oriented; they tend to maintain friendly
relations with peers, cooperate with adults, and cope well with stress”
atau anak sering terlihat ceria, dapat mengendalikan diri dan
mandiri, serta berorientasi pada pencapaian; anak cenderung
memelihara hubungan persahabatan dengan teman sebaya,
bekerja sama dengan orang dewasa, dan dapat mengatasi stres
dengan baik.
Determinasi diri dalam proses pengasuhan yang dilakukan
oleh orang tua sangat terkait dengan perkembangan psikologis
anak. Misalnya orang tua dapat memahami perkembangan
sosial dan emosi anak. Menurut Morris dkk. (2013) menunjukkan
bahwa gaya pengasuhan terkait dengan perkembangan emosional
pada anak-anak melalui respons orang tua terhadap emosi anak,
ekspresi emosi orang tua, dan iklim emosional dari hubungan
orang tua-anak. Orang tua yang merespons emosi negatif anak
dengan cara yang mendukung, seperti menggunakan respons yang
berfokus pada masalah, berfokus pada emosi, atau mendorong,
24

dapat membantu anak menjadi lebih kompeten secara sosial dan


emosional (Fabes dkk., 2002). Namun demikian, ada faktor yang
mempengaruhi psikologis orang tua untuk berperilaku dalam
mendukung anak untuk mandiri, yaitu keyakinan orang tua
tentang kemampuan anak mereka untuk berkembang secara
mandiri. Keyakinan orang tua yang otoritatif antara lain memberi
anak-anak mereka tingkat kesadaran emosional yang tinggi yang
memberikan rasa nyaman dan kemandirian serta membantu
mereka untuk berhasil di sekolah. Orang tua yang otoritatif
memberikan penjelasan kepada anak-anak mereka atas tindakan
mereka, yang memberi kesadaran dan pemahaman tentang nilai-
nilai dan moral. Selain itu, keyakinan orang tua yang otoritatif
adalah keterlibatan dalam komunikasi dua arah dengan anak-
anak mereka untuk meningkatkan keterampilan dalam hubungan
interpersonal dan membantu anak-anak menyesuaikan diri
dengan baik, serta berhasil secara sosial dan akademis (Starr,
2011).
Keyakinan orang tua akan penerapan gaya pengasuhan
otoritatif merupakan hal yang penting, karena konsep determinasi
diri mendukung gagasan bahwa anak-anak memainkan peran aktif
dalam perkembangan meraka sendiri. Melalui proses motivasi
intrinsik dan internalisasi, anak-anak secara aktif mengeksplorasi
lingkungan mereka, mengejar minat mereka, menghadapi
tantangan dan terlibat dalam kegiatan di mana mereka dapat
mengembangkan kompetensi mereka, serta menginternalisasi
perilaku, nilai-nilai dan sikap lingkungan sosial mereka. Dengan
demikian, anak-anak secara bawaan didorong untuk terlibat
dalam perilaku yang merupakan kunci perkembangan mereka
sendiri (Deci & Ryan, 2000). Perkembangan yang ditunjukkan
oleh anak bila orang tua yakin menerapkan gaya pengasuhan
otoritatif menurut Papalia dkk. (2009), antara lain: (1) anak lebih
adaptif terhadap lingkungan; (2) anak lebih percaya diri, namun
25

tidak berlebihan; (3) anak memiliki masalah emosional yang lebih


rendah dibandingkan dengan anak dengan gaya pengasuhan
selain otoritatif; (4) anak menghadapi masalah dengan lebih
bertanggung jawab.

D. Penutup

Gaya pengasuhan adalah suatu bentuk sikap orang tua untuk


mendidik anak didalam keluarga, yang terdiri atas tiga bentuk,
antara lain: demokratis/otoritatif, otoriter, dan permisif. Berdasar
pada perspektif determinasi diri, gaya pengasuhan orang tua yang
paling menarik adalah pendekatan otoritatif. Gaya pengasuhan
otoritatif menekankan pada orang tua untuk mendorong anak menjadi
mandiri, namun pada saat yang sama, orang tua juga secara tegas
mengharuskan anak untuk mematuhi aturan dan pedoman yang
telah disepakati antara orang tua dan anak. Keyakinan orang tua akan
penerapan gaya pengasuhan otoritatif merupakan hal yang penting,
karena konsep determinasi diri mendukung gagasan bahwa anak-
anak memainkan peran aktif dalam perkembangan meraka sendiri.
Perkembangan yang ditunjukkan oleh anak ketika orang tua yakin
menerapkan gaya pengasuhan otoritatif adalah anak lebih adaptif
dan percaya diri serta bertanggung jawab dalam merespon terhadap
masalah-masalah yang berada lingkungannya.
26

Daftar Pustaka

Browder, D. M., Wood, W. M., Test, D. W., Karvonen, M., & Algozzine,
B. (2001). Reviewing resources on self-determination: A map for
teachers. Remedial and Special Education, 22(4), 233–244. https://
doi.org/10.1177/074193250102200407
Budiman, B., & Harahap, T. S. (2015). Pengaruh pola asuh orangtua
terhadap perkembangan anak usia dini (Studi Kasus di PAUD
Al-Muhajirin Desa Cibodas Pacet Cianjur). Prosiding Industrial
Research Workshop and National Seminar, 6, 197–201. https://doi.
org/10.35313/IRWNS.V6I0.253
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination
in human behavior. Plenum Press.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal
pursuits: Human needs and the self-determination of behavior.
Psychological Inquiry, 11(4), 227–268. https://doi.org/10.1207/
S15327965PLI1104_01
Fabes, R. A., Poulin, R. E., Eisenberg, N., & Madden-Derdich, D. A.
(2002). The coping with children’s negative emotions scale
(CCNES): Psychometric properties and relations with children’s
emotional competence. Marriage and Family Review, 34(3–4),
285–310. https://doi.org/10.1300/J002V34N03_05
Hurlock, E. (2011). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. (Istiwidayati (ed.)). Erlangga.
Morris, A. S., Cui, L., & Steinberg, L. (2013). Parenting research and
themes: What we have learned and where to go next. In R.
Larzelere, A. Morris, & A. Harrist (Eds.), Authoritative parenting:
Synthesizing nurturance and discipline for optimal child development.
(pp. 35–58). American Psychological Association.
Papalia, D., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development
(11th ed.). McGraw-Hill.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2017). Self-determination theory: Basic
27

psychological needs in motivation, development, and wellness.


Guilford Press.
Santrock, J. W. (2010). Child development (13th ed.). McGraw-Hill
Humanities.
Starr, M. L. (2011). The relationship between parenting styles, learning
autonomy, and scholastic achievement in undergraduate college
students. [Master Thesis, Bucknell University]. [Bucknell
University]. https://digitalcommons.bucknell.edu/masters_
theses/8
Suryadi, B., Soriha, E., & Rahmawati, Y. (2017). Pengaruh gaya
pengasuhan orang tua, konsep diri, dan regulasi diri terhadap
motivasi berprestasi siswa. Jurnal Ilmu Pendidikan, 23(2), 91–98.
https://doi.org/10.17977/JIP.V23I2.10969
Suryani, E., & Widyasih, H. (2010). Psikologi ibu dan anak. Fitramaya.
Utami, F. (2021). Pengasuhan keluarga terhadap perkembangan
karakter disiplin anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan
Anak Usia Dini, 5(2), 1777–1786. https://doi.org/10.31004/
OBSESI.V5I2.985
Utomo, H. B. (2021). Mengelola tempetantrum anak. In B. A. Laksono
(Ed.), Inovasi pembelajaran anak usia dini (1st ed., pp. 66–75). CV.
Bayfa Cendekia Indonesia.
Widyarini, M. (2009). Seri psikologi populer: Relasi orang tua dan anak.
Elex Media Komputindo.
29

PENGASUHAN ANAK MELALUI


EMOTION COACHING
Dr. Yettie Wandansari, M.Si., Psikolog
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
[email protected]

A. Pendahuluan

Pengasuhan atau parenting merupakan sebuah tugas orangtua


yang tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar anak
(makanan, pakaian, keamanan). Kebutuhan anak yang juga perlu
dipenuhi orangtua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak
adalah kebutuhan untuk dibimbing agar ia belajar berperilaku sesuai
harapan sosial. Hal yang juga sangat penting adalah pemenuhan
kebutuhan emosi (relasi yang hangat, kelekatan yang aman, sehingga
merasa dicintai dan diterima).
Salah satu kunci keberhasilan pengasuhan adalah pada relasi
pribadi yang hangat antara orangtua dan anak, yang dimulai dari
hati, dan berlanjut di setiap momen interaksi orangtua dengan
anak, terutama pada saat anak sedang mengalami emosi negatif
(Gottman & DeClaire, 1997). Menurut Gottman, pengasuhan yang
baik membutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan atau teknik,
melainkan juga perlu menyentuh emosi. Hal ini didukung hasil
studi meta-analisis pada program-program pelatihan orangtua yang
efektif, yaitu bahwa program yang menunjukkan dampak paling baik
30

bagi anak adalah progtam yang mencakup komponen pengajaran


keterampilan komunikasi emosi (Kaminski, Valle, Filene, & Boyle,
2008).
Berbeda dengan teori-teori parenting yang mengajarkan strategi
untuk mengendalikan atau mendisiplinkan perilaku anak, Gottman,
Katz, dan Hooven (1996) mengajukan sebuah konsep pengasuhan
yang berfokus pada emosi, yang disebut emotion coaching. Konsep
emotion coaching didasarkan pada pemikiran bahwa berbagai emosi
merupakan hal yang alami dan universal, yang memandu individu
untuk memunculkan perilaku adaptif. Dalam konteks pengasuhan,
emotion coaching merupakan sebuah teknik dan pendekatan yang
memanfaatkan momen-momen emosional anak untuk membimbing
dan mengajarkan pada anak respon-respon yang lebih efektif (Gus,
2015). Melalui emotion coaching, anak dibantu untuk memahami
berbagai emosi yang mereka alami, mengapa emosi tersebut muncul,
dan bagaimana cara mengatasinya. Emotion coaching dilandasi sebuah
prinsip bahwa relasi yang bersifat suportif dan mengayomi sangat
penting untuk mengoptimalkan perkembangan pengelolaan diri dan
resiliensi pada anak (Gottman dkk, 1996).
Pada saat menerapkan emotion coaching, orangtua berempati
pada emosi yang sedang dirasakan oleh anak, dan membantu anak
untuk mengatasi emosi negatif mereka. Kondisi emosi yang sedang
dirasakan anak divalidasi, sehingga anak merasa aman dan merasa
dipahami (Gottman & DeClaire, 1997). Porges (2011) menyatakan
bahwa tatapan mata, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh orangtua
dapat menyampaikan pesan ketenangan dan rasa aman, serta
menenangkan sistem syaraf, sehingga membantu anak untuk mulai
menenangkan dirinya secara fisiologis maupun psikologis. Pada
proses tersebut, perilaku anak yang tidak tepat tidak dimaklumi
begitu saja, karena anak perlu belajar untuk mematuhi aturan sosial.
Ketika anak lebih tenang, maka orangtua dapat mendiskusikan hal
31

itu secara lebih rasional, dan membahas pemecahan masalah dan


strategi-strategi yang berfokus pada solusi, yang disesuaikan dengan
usia dan kemampuan anak. Melalui penerapan secara berulang dan
konsisten, emotion coaching dapat membantu anak untuk meregulasi
emosinya, mengurangi perilaku bermasalah, dan meningkatkan
resiliensi (Shortt dkk., 2010; Wilson dkk., 2012).
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran lebih detil
mengenai konsep emotion coaching yang dapat diterapkan orangtua
dalam mengasuh anak, serta dampak positif emotion coaching bagi
perkembangan anak berdasarkan hasil berbagai penelitian. Selain itu,
akan dijelaskan pula beberapa program yang telah terbukti efektif
dalam meningkatkan keterampilan emotion coaching.

B. Tinjauan Teori: Emotion coaching

Konsep emotion coaching pertama kali dikemukakan oleh Gottman


dkk. (1996, 1997) dalam penelitiannya tentang filosofi meta-emosi
yang dimiliki orangtua terhadap emosi anak, dalam kaitannya
dengan regulasi emosi anak. Filosofi meta-emosi orangtua adalah
apa yang diyakini orangtua tentang emosi, mencakup tiga aspek yaitu
kesadaran, penerimaan, dan coaching terhadap emosi anak (Gottman
dkk., 1996, 1997). Kesadaran adalah kemampuan orangtua untuk
mengenali, mendeskripsikan, dan menunjukkan minat terhadap
pengalaman emosi anak. Penerimaan adalah kenyamanan orangtua
terhadap ekspresi emosi anak. Coaching adalah tindakan orangtua
untuk membantu anak mengidentifikasi emosi yang sedang ia alami,
respek terhadap ekspresi emosi anak, dan keterlibatan aktif dalam
situasi yang memicu emosi anak. Secara umum, orangtua yang
memiliki ketiga aspek tersebut memandang pengalaman emosi
negatif anak sebagai sebuah peluang atau kesempatan membangun
kedekatan emosi dengan anak dan untuk membantu anak memikirkan
strategi-strategi pengelolaan emosi. Inilah yang disebut filosofi meta-
emosi tipe coaching.
32

Mengacu pada pernyataan Gottman dkk. (1996), filosofi meta-


emosi yang berbeda akan menghasilkan gaya pengasuhan yang
berbeda. Pada tipe emotion coaching, orangtua menyadari dan
menganggap penting emosi, menilai emosi negatif sebagai hal penting
dalam pengasuhan, peka terhadap kondisi emosi anak, dan respek
terhadap emosi anak. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan momen
emosional anak sebagai momen untuk mendengarkan dan berempati
pada anak, dengan kata dan afeksi yang menenangkan, membantu
anak melabel emosinya, membimbing anak untuk mengelola emosi,
menetapkan batasan dan mengajarkan ekspresi emosi yang dapat
diterima, serta mengajarkan pemecahan masalah (Gottman &
DeClaire, 1997).
Hal ini berkebalikan dengan orangtua yang memiliki filosofi
meta-emosi tipe dismissing. Pada tipe dismisif, orangtua meyakini
bahwa respon yang paling tepat untuk menghadapi pengalaman
emosi negatif adalah dengan cara mengabaikannya. Pengalaman
emosi negatif dianggap sebagai hal yang berbahaya dan perlu segera
dihentikan. Dalam kesehariannya, pada saat menenangkan anak,
orangtua menekankan bahwa pengalaman emosi anak hanya bersifat
sementara. Mereka tidak membantu anak mereka untuk memahami
pengalaman emosinya dan bagaimana pengalaman tersebut dapat
mempengaruhi anak (Gottman & DeClaire,1997)
Filosofi meta-emosi yang lain adalah tipe disapproving, yaitu
tipe orangtua yang meyakini bahwa ekspresi emosi negatif perlu perlu
dikendalikan. Emosi negatif dinilai mencerminkan karakter yang
buruk dan menyebabkan orang menjadi lemah. Pada tipe ini, orangtua
mengkritik emosi negatif anak, bahkan menegur atau menghukum
anak atas ekspresi emosinya. Mereka menetapkan batasan secara
berlebihan pada anak, menekankan pada kepatuhan anak untuk
memenuhi standar perilaku yang baik (Gottman & DeClaire, 1997).
33

Filosofi meta-emosi yang terakhir adalah tipe laissez-faire, yaitu


orangtua yang meyakini bahwa tidak ada yang bisa dilakukan
terhadap emosi negatif selain melampiaskannya. Orangtua menerima
dan berempati terhadap emosi anak, membebaskan anak untuk
mengekspresikan emosinya, membantu anak agar merasa nyaman
saat mengalami emosi negatif, namun tidak membimbing atau
memberikan batasan pada perilaku anak (Gottman & DeClaire, 1997).
Apa yang diyakini orangtua mengenai emosi (filosofi meta-emosi
tersebut akan berpengaruh pada bagaimana orangtua melakukan
sosialisasi emosi terhadap anak (Gottman dkk., 1996, 1997). Menurut
Eisenberg dkk. (1998), sosialisasi emosi adalah proses yang mencakup
respon orangtua terhadap emosi anak, diskusi mengenai emosi oleh
orangtua terhadap anak, dan ekspresi emosi oleh orangtua. Sejumlah
studi melaporkan bahwa sosialisasi emosi oleh orangtua membantu
berkembangnya keterampilan emosi anak, yaitu dalam mengenali,
mengekspresikan, dan mengelola emosi (Breaux dkk., 2018; Wang
dkk., 2019, Wandansari, 2021), yang selanjutnya berdampak positif
pada penyesuaian sosial anak (Katz dkk., 2012; Jin dkk., 2017).
Sosialisasi emosi berlangsung dalam interaksi antara orangtua dan
anak, sehingga dapat dikatakan sebagai bagian dari pengasuhan
yang dilakukan oleh orangtua. Dengan demikian, penerapan emotion
coaching dalam konteks pengasuhan anak merupakan bagian dari
sosialisasi emosi.
Selanjutnya, Gottman dan DeClaire (1997) menjelaskan bahwa
dalam interaksi antara orangtua dan anak yang menerapkan
emotion coaching, terjadi proses yang mencakup 5 langkah berikut
ini. Langkah 1, orangtua menyadari emosi, yaitu mengenali ketika
sedang merasakan emosi tertentu, dapat mengidentifikasi perasaan,
dan peka terhadap adanya emosi orang lain. Langkah 2, orangtua
mengenali emosi sebagai sebuah kesempatan untuk mendekatkan
diri pada anak dan melakukan pembimbingan. Emosi negatif tidak
34

dapat hilang begitu saja, melainkan perlu dibicarakan, dilabel, dan


dipahami. Tanda-tanda awal emosi perlu dipahami pada saat kadarnya
masih rendah, sebelum intensitasnya meningkat, sehingga orangtua
berkesempatan untuk mempraktekkan keterampilan mendengarkan
dan memecahkan masalah. Langkah 3, orangtua mendengarkan
secara empatik dan memvalidasi perasaan anak. Orangtua perlu
memperhatikan secara seksama bahasa tubuh dan ekspresi wajah anak.
Perhatian orangtua terhadap anak akan menimbulkan pemahaman
anak bahwa orangtua peduli dan ingin menyediakan waktu bagi anak,
sehingga anak berpikir bahwa perasaannya valid. Langkah 4, orangtua
membantu anak menemukan kata yang tepat untuk melabel emosi
yang ia rasakan, menetapkan batasan sembari mengeksplorasi strategi
untuk menyelesaikan masalah. Hal ini dapat membantu anak untuk
mentransformasikan sebuah perasaan tidak nyaman atau menakutkan
menjadi hal yang dapat didefinisikan dan merupakan bagian normal
dari kehidupan. Emosi marah, sedih, atau takut menjadi pengalaman
yang dialami dan dapat diatasi oleh setiap orang. Melabel emosi
berlangsung seiring dengan empati. Melabel emosi memiliki dampak
menenangkan sistem syaraf, membantu anak untuk pulih lebih cepat
dari pengalaman yang kurang menyenangkan. Langkah 5, orangtua
menetapkan batasan sembari membantu anak memecahkan masalah.
Proses ini mencakup lima tahap, yaitu menetapkan batasan untuk
perilaku yang tidak tepat, mengidentifikasi tujuan terkait pemecahan
masalah, memikirkan berbagai solusi, mengevaluasi usulan solusi,
dan membantu anak untuk memilih solusi terbaik.

C. Metode

Tulisan ini menggunakan metode studi pustaka. Referensi yang


digunakan adalah artikel jurnal dan buku bertema emotion coaching.
35

D. Pembahasan

Penjelasan mengenai peran emotion coaching dalam pengasuhan


anak dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu dampak emotion
coaching terhadap perkembangan anak, peran emotion coaching sebagai
faktor protektif dalam perkembangan anak, dan efektivitas program
pengasuhan untuk meningkatkan keterampilan emotion coaching
orangtua,
1. Dampak emotion coaching terhadap perkembangan anak
Berdasarkan hasil penelitiannya, Gottman dkk. (1996)
menyatakan bahwa orangtua yang menerapkan emotion coaching
melaporkan bahwa masalah perilaku anak menurun seiring
dengan semakin terbiasanya keluarga menerapkan emotion
coaching. Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama,
orangtua secara konsisten merespon perasaan anak ketika
masih berada pada intensitas yang rendah. Dengan kata lain,
sebelum emosi naik tajam anak telah mendapatkan perhatian
orangtua. Anak menjadi merasa orangtua memahami dan
berempati serta peduli terhadap dirinya. Kedua, bila anak telah
terlatih emosinya sejak usia dini, maka mereka menjadi terlatih
dalam menenangkan diri dan menjaga ketenangan diri saat
tertekan, sehingga membuat mereka berkemungkinan kecil untuk
mengalami perilaku bermasalah. Ketiga, orangtua menerima
emosi anak, serta menetapkan batasan yang jelas dan konsisten,
sehingga dapat memperkecil peluang konflik. Keempat, emotion
coaching menciptakan ikatan emosi yang kuat antara orangtua dan
anak, sehingga anak menjadi lebih responsif terhadap orangtua.
Ketika anak merasa terkoneksi secara emosi dengan orangtua,
dan orangtua menggunakan ikatan ini untuk membantu anak
mengelola emosi dan memecahkan masalah, maka dampak baik
akan terjadi dalam hal prestasi akademik, kesehatan mental, dan
relasi dengan teman. Anak menjadi lebih terampil untuk bangkit
36

dari pengalaman yang kurang menyenangkan, dan lebih siap


untuk menghadapi berbagai tantangan.
Temuan yang serupa juga dilaporkan dalam sejumlah
penelitian pada anak usia prasekolah, usia sekolah dasar, dan
usia remaja, yang menunjukkan adanya hubungan positif antara
gaya pengasuhan emotion coaching orangtua dengan perilaku
sosial dan masalah perilaku pada anak (Katz & Hunter, 2007;
Katz & Windecker-Nelson, 2006; Shipman dkk., 2007; Stocker,
Richmond, Rhoades & Kiang, 2007). Emotion coaching berpengaruh
positif pada perilaku anak melalui perantaraan regulasi emosi
(Ramsden & Hubbard, 2002).
Pada keluarga dengan anak yang mengalami gangguan
perilaku, Katz dan Windecker-Nelson (2004) melaporkan bahwa
ibu dari anak dengan ODD atau CD lebih jarang melakukan emotion
coaching, sedangkan anaknya lebih agresif serta menunjukkan
kualitas interaksi yang lebih rendah dengan teman sebaya.
Sebaliknya, ibu yang menerapkan emotion coaching memiliki
anak yang kualitas interaksinya lebih baik dengan teman sebaya.
2. Emotion coaching sebagai faktor protektif dalam
perkembangan anak
Berdasarkan hasil sejumlah penelitian, diketahui bahwa
emotion coaching oleh orangtua berperan sebagai penyangga (buffer)
yang melindungi anak dari dampak negatif permasalahan yang
dialaminya. Salah satunya adalah penelitian Buckholdt, Kitzmann,
dan Cohen (2016) terhadap anak kelas 4 SD hingga 6 SD yang
menunjukkan bahwa emotion coaching oleh orangtua, khususnya
pada emosi sedih dan marah, berperan sebagai moderator
dalam hubungan antara relasi anak dengan teman sebaya dan
kompetensi sosial anak. Pada orangtua yang kurang menerapkan
emotion coaching, anak menunjukkan relasi sosial yang rendah
serta kompetensi sosial yang juga rendah. Akan tetapi, hubungan
itu tidak ditemukan pada orangtua yang menerapkan emotion
37

coaching dengan baik. Dengan kata lain, emotion coaching oleh


orangtua meminimalkan dampak negatif dari relasi anak yang
buruk dengan teman sebaya.
Dalam konteks pandemi COVID-19, Cohodes, McCauley,
dan Gee (2021) meneliti emotion coaching pada keluarga dengan
anak usia antara 10 bulan hingga 17 tahun. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa emotion coaching yang diterapkan oleh
orangtua dengan baik pada emosi negatif anak serta rutinitas
di rumah yang terjaga secara stabil terbukti efektif dalam
meminimalkan dampak stress terkait pandemi yang dialami anak.
Selain pada keluarga yang berfungsi dengan baik, terdapat
pula sejumlah penelitian mengenai peran emotion coaching pada
keluarga yang mengalami permasalahan khusus. Cohode, Chen,
dan Lieberman (2017) meneliti peran meta-emosi dan emotion
coaching ibu terhadap masalah perilaku pada anak usia prasekolah
yang pernah menyaksikan ibu sebagai korban kekerasan
domestik. Ibu yang menjadi korban kekerasan domestik seringkali
mengalami simptomatologi (gejala depresi, kecemasan, dan stress
paska trauma), sehingga menurunkan kemampuan mereka untuk
merespon emosi negatif anak. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa meta-emosi dan emotion coaching ibu terhadap emosi
negatif anak memoderasi hubungan antara simptomatologi
ibu dan masalah perilaku anak. Temuan ini mendukung peran
meta-emosi sebagai faktor protektif bagi anak prasekolah yang
menyaksikan kekerasan domestik.
Demikian pula pada anak yang mengalami trauma, Ellis dan
Alisic (2013) melaporkan peran emotion coaching oleh orangtua
sebagai faktor protektif yang potensial bagi anak usia 4-5 tahun
yang mengalami trauma. Semakin baik emotion coaching yang
dilakukan ibu, maka semakin baik pula regulasi emosi anak. Di
samping itu, emotion coaching oleh ayah maupun ibu ternyata
38

berperan penting pada perkembangan regulasi diri pada siswa


taman kanak-kanak dan kelas 1 SD yang agresif atau ditolak teman
sebaya (Wilson, Petaja, Yun, King, Berg, Kremmel, & Cook, 2014).
Pada konteks keluarga yang memiliki anak usia 7-14 tahun
dengan oppositional defiant disorder (ODD), Dunsmore, Booker,
dan Ollendick (2013) melaporkan hasil penelitian bahwa ada
kaitan antara emotion coaching oleh ibu dan regulasi emosi anak.
Pada anak dengan labilitas emosi yang tinggi, emotion coaching
oleh ibu berhubungan dengan rendahnya perilaku bermasalah
pada anak. Hasil penelitian ini menekankan potensi emotion
coaching oleh ibu sebagai faktor protektif bagi anak dengan ODD,
terutama yang memiliki labilitas emosi yang tinggi.
Emotion coaching oleh orangtua juga terbukti melindungi anak
autis dari masalah perilaku eksternal. Wilson, Berg, Zurawski, dan
King (2013) meneliti anak dengan gangguan spektrum autisma
usia 3-6 tahun. Hasil analisa menunjukkan bahwa emotion coaching
oleh orangtua memoderasi hubungan status autisma dan masalah
perilaku eksternal, yaitu semakin baik orangtua menerapkan
emotion coaching, maka semakin rendah masalah perilaku eksternal
anak. Temuan ini menegaskan emotion coaching oleh orangtua
berperan menyangga atau meringankan dampak dari status
autisma anak terhadap masalah perilaku eksternal anak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa emotion coaching
oleh orangtua berperan penting dalam meminimalkan dampak
negatif dari berbagai permasalahan yang berpengaruh pada
perkembangan anak, serta mendukung adaptasi anak.
3. Program pengasuhan untuk meningkatkan keterampilan
emotion coaching orangtua
Salah satu program pengasuhan yang dikembangkan
berdasarkan teori meta-emosi dan emotion coaching dari Gottman
dkk. (1996, 1997) adalah program Tuning in to Kids (TIK) yang
dikembangkan oleh Havighurst dkk (2010). Program intervensi
39

awal dan preventif tersebut bertujuan untuk meningkatkan


keterampilan pengasuhan oleh orangtua, khususnya melalui
emotion coaching. Intervensi dilakukan dalam kelompok, 2
jam per minggu selama 6 minggu. Program ini mendorong
perubahan dalam keyakinan dan perilaku pengasuhan orangtua
dan meningkatkan koneksi emosi antara orangtua dan anak.
Orangtua diajarkan lima langkah emotion coaching melalui
serangkaian latihan, role play, materi DVD dan psikoedukasi.
Penekanan diberikan pada orangtua agar menyadari emosi
diri maupun emosi anak, termasuk pada level fisiologis. Pada
3 sesi pertama, orangtua dilatih untuk memperhatikan emosi
intensitas rendah pada anak, serta cara merefleksikan, melabel,
dan berempati terhadap emosi anak. Pada sesi keempat dibahas
kecemasan dan pemecahan masalah. Dua sesi terakhir difokuskan
pada emosi yang lebih intensif, terutama emosi marah, serta
strategi regulasi emosi seperti mengatur pernapasan, relaksasi,
pengendalian diri, dan ekspresi rasa marah secara aman. Orangtua
juga dilatih keterampilan memahami dan meregulasi emosi diri,
serta merefleksikan bagaimana pengalaman dari keluarga asal
berpengaruh pada keyakinan dan respon terhadap emosi. Hasil
studi ini menunjukkan bahwa program pengasuhan TIK terbukti
dapat meningkatkan praktik sosialisasi emosi oleh orangtua,
serta meningkatkan pengetahuan emosi dan penurunan perilaku
bermasalah pada anak.
Program pengasuhan TIK juga terbukti dapat menurunkan
masalah perilaku pada anak usia 4-5 tahun (Havighurst, Wilson,
Harley, Kehoe, Efron, & Prior, 2013). Orangtua melaporkan
berkurangnya emotional dismissiveness dan menurunnya masalah
perilaku anak, meningkatnya empati dan keterampilan emotion
coaching, serta meningkatnya pengetahuan anak tentang emosi.
Hal ini menunjukkan bahwa TIK potensial untuk digunakan
sebagai tambahan dalam penanganan masalah perilaku anak.
40

Selain ditujukan untuk orangtua yang memiliki anak usia


dini, program TIK juga dikembangkan untuk orangtua yang
memiliki anak usia remaja, yaitu Tuning in to Teens (TINT). TINT
merupakan program pengasuhan remaja yang bertujuan untuk
meningkatkan respon orangtua terhadap emosi remaja dengan
fokus pada emotion coaching. Kehoe, Havighurst, & Harley (2014,
2020) meneliti orangtua yang memiliki anak remaja kelas 6 SD dan
pengambilan data diulang 10 bulan berikutnya saat anak kelas 1
SMP. Orangtua yang berpartisipasi dalam program ini mengalami
peningkatan dalam menyadari emosi dan sosialisasi emosi, yang
selanjutnya berdampak pada menurunnya masalah perilaku
internal pada remaja. Demikian juga Havighurst, Kehoe, dan
Harley (2015) melaporkan adanya peningkatan dalam sosialisasi
emosi orangtua serta penurunan konflik dalam keluarga dan
masalah perilaku eksternal remaja. Dengan demikian, TINT
terbukti dapat menurunkan masalah perilaku pada remaja.
TIK juga dikembangkan lebih lanjut untuk para ayah
yang memiliki anak usia prasekolah, yaitu Dads Tuning in to
Kids (DadsTIK) oleh Wilson, Havighurst, dan Harley (2014).
Program ini merupakan versi modifikasi dari program TIK, yang
mengajarkan keterampilan emotion coaching untuk meningkatkan
kompetensi sosial emosi anak dan menurunkan masalah perilaku
anak. Program kelompok ini terdiri dari 7 sesi (total 14 jam). Di
akhir program, para ayah melaporkan peningkatan dalam emotion
coaching, serta kepuasan dan kepercayaan diri dalam pengasuhan.
Mereka juga mengalami penurunan dalam emotion dismissing dan
reaktivitas, serta berkurangnya perilaku bermasalah pada anak.
Hasil yang konsisten dilaporkan oleh Wilson, Havighurst, Kehoe,
dan Harley (2016), yaitu bahwa para ayah yang menjadi peserta
mengalami peningkatan dalam empati, dukungan terhadap
ekspresi emosi, dan kepercayaan diri dalam mengasuh anak.
Mereka juga mengalami penurunan pada keyakinan yang terkait
41

dengan emotion-dismissing, reaksi dismisif terhadap emosi negatif


anak, serta respon pengasuhan yang kasar. Selain itu, terjadi
pula peningkatan positif pada perilaku remaja.
Selain terbukti efektif pada orangtua dengan latar belakang
budaya Barat, program TIK ternyata juga terbukti efektif untuk
meningkatkan keterampilan pengasuhan orangtua melalui emotion
coaching pada orangtua dengan latar belakang budaya non-
Barat. Sebagai contoh, penelitian Edrissi, Havighurst, Aghebati,
Habibi, & Arani (2019) yang menguji efektivitas TIK di Iran
untuk mengurangi kecemasan anak prasekolah yang mengalami
risiko gangguan kecemasan. Hasil penelitian menyatakan bahwa
program TIK berhasil menurunkan kecemasan anak. Demikian
pula penelitian Meybodi, Mohammadkhani, Pourshahbazm, &
Dolatshahi (2019) pada ibu yang memiliki anak usia 3-6 tahun
dengan masalah perilaku disruptif di Iran. Di akhir program,
para ibu melaporkan berkurangnya pengasuhan emotion
dismissive, masalah perilaku anak dan labilitas emosi anak,
serta meningkatnya emotion coaching. Hasil yang positif juga
dilaporkan oleh Qiu & Shum (2020) yang menguji efektivitas
program TIK untuk meningkatkan responsivitas emosi ibu di
Cina. Para ibu dilaporkan lebih banyak melakukan dukungan
terhadap ekspresi emosi anak dan reaksi berfokus emosi terhadap
ekspresi emosi anak, serta mengalami penurunan dalam emotion
dismissing dan menghukum saat mengasuh anak. Berbagai hasil
penelitian tersebut mempertegas efektivitas program TIK dalam
meningkatkan keterampilan emotion coaching pada orangtua
untuk memfasilitasi perkembangan emosi anak.

E. Penutup

Pengasuhan orangtua merupakan sebuah proses belajar dan


adaptasi secara terus menerus seiring perkembangan anak. Dalam
proses ini, emotion coaching yang berfokus pada emosi dan koneksi
42

antara orangtua dan anak dapat diterapkan untuk melengkapi


teknik-teknik pengasuhan positif yang telah dijalankan orangtua.
Emotion coaching terbukti dapat dipelajari dan berdampak positif bagi
optimalisasi perkembangan anak. Bagi para peneliti, tema emotion
coaching berpeluang untuk dieksplorasi lebih jauh, khususnya dalam
kaitan dengan keluarga di Indonesia dengan nilai-nilai budaya yang
beragam.

Daftar Pustaka

Breaux, R. P., McQuade, J. D., Harvey, E. A., & Zakarian, R. J. (2018).


Longitudinal associations of parental emotion socialization and
children’s emotion regulation: the moderating role of ADHD
symptomatology. Journal of Abnormal Child Psychology, 46,
671–683. doi: 10.1007/s10802-017-0327-0.
Buckholdt, K.E., Kitzmann, K.M., & Cohen, R. (2016). Parent emotion
coaching buffers the psychological effects of poor peer relations
in the classroom. Journal of Social and Personal Relationships, 33
(1), 23-41. Doi: 10.1177/0265407514562560.
Cohode, E., Chen, S., & Lieberman, A. (2017). Maternal meta-emotion
philosophy moderates effect of maternal symptomatology on
preschoolers exposed to domestic violence. Journal of Child
and Family Studies, 26(7), 1831–1843.  /.
Cohodes, E.M., McCauley, S., & Gee, D.G. (2021). Parental buffering
of stress in the time of COVID19: Familylevel factors
may moderate the association between pandemicrelated stress
and youth symptomatology. Research on Child and Adolescent
Psychopathology, 49(7), 935–948. https://doi.org/10.1007/
s10802-020-00732-6.
Dunsmore, J.C., Booker, J.A., & Ollendick, T.H. (2013). Parental
emotion coaching and child emotion regulation as protective
43

factors for children with oppositional defiant disorder. Social


Development, 22 (3), 1-23. Doi:10.1111/j.1467-9507.2011.00652.x
Edrissi, F., Havighurst, S.S., Aghebati, A., Habibi, M., & Arani, A.M.
(2019). A pilot study of the Tuning in to Kid parenting program
in Iran for reducing preschool children’s anxiety. Journal of Child
and Family Studies, 28, 1695-1702. https://doi.org/10.1007/
s10826-019-01400-0.
Eisenberg, N., Cumberland, A., & Spinrad, T.L. (1998). Parental
socialization of emotion. Psychological Inquiry, 9 (4), 241-273.
Ellis, B.H., & Alisic, E. (2013). Maternal emotion coaching: A
protective factor for traumatizes children’s emotion regulation?
Journal of Child and Adolescent Trauma, 6, 118-125. Doi:
10.1080/19361521.2013.755651.
Ellis, B.H., Alisic, E., Reiss, A., Dishion, T., & Fisher, P.A. (2014).
Emotion regulation among preschoolers on a continuum of
risk: The role of maternal emotion coaching. Journal of Child
and Family Studies, 23, 965-974. Doi: 10.1007/s10826-013-9752-z.
Gottman, J.M, Katz, L.F., & Hooven, C. (1996). Parental meta-emotion
philosophy and the emotional life of families: Theoretical models
and preliminary data. Journal of Family Psychology, 10 (3), 243-268.
Gottman, J.M., Katz, L.F., & Hooven, C. (1997). Meta-emotion: How
families communicate emotionally. New Jersey: Larence Erlbaum
Associates Publishers.
Gottman, J., & Declaire, J. (1997). Raising an emotionally intelligent child,
The heart of parenting. New York: Simon & Schuster Paperbacks.
Havighurst, S.S., Wilson, K.R., Harley, A.E., Prior, M.R., & Kehoe, C.
Tuning in to Kids: improvint emotion socialization practices
in parents of preschool children, findings form a community
trial. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 51, 1342-1350.
Doi:10.1111/j.1469-7610.2010.02303.x
Jin, Z., Zhang, X., & Han, Z. R. (2017). Parental emotion socialization
and child psychological adjustment among Chinese urban
44

families: mediation through child emotion regulation and


moderation through dyadic collaboration. Frontiers in Psychology,
8, 2198. doi: 10.3389/fpsyg.2017.02198.
Kaminski, J.W., Valle, L.A., Filene, J.H., & Boyle, C.L. (2008). A meta-
analytic review of components associated with parent training
program effectiveness. Journal of Abnormal Child Psychology, 36,
567–589.
Katz L.F., & Hunter E.C. (2007). Maternal meta-emotion philosophy
and adolescent depressive symptomatology. Social Development,
16, 343–360.
Katz, L. F., Maliken, A. C., & Stettler, N. M. (2012). Parental meta-
emotion philosophy: a review of research and theoretical
framework. Child Developmental Perspective, 6, 417–422. Doi:
10.1111/j.1750-8606.2012.00244.x
Katz, L.F., & Windecker-Nelson, B. (2004). Parental meta-emotion
philosophy in families with conduct-problem children: Links
with peer relations. Journal of Abnormal Child Psychology, 32:385–
398. [PubMed: 15305544]
Meybodi, F.A., Mohammadkhani, P., Pourshahbazm A., & Dolatshahi,
B. (2019). Improving emotion socialization practices: Piloting
Tuning in to Kids in Iran for children with disruptive behavior
problems. Family Relations. Doi: 10.1111/fare.12387.
Miller, R.L., & Dunsmore, J.C. (2015). Effortful control and parents’
emotion socialization patterns predict children’s positive social
behavior: A person-centered approach. Early Education and
Development, 26, 167-188. Doi: 10.1080/10409289.2015.975034.
Porges, S.W. (2011). The polyvagal theory: Neurophysiological
foundations of emotions, attachment, communication, and
self-regulation (Norton Series on Interpersonal Neurobiology).
New York: W.W. Norton & Co.
Qiu, C., & Shum, K.K. (2020). Emotion coaching intervention for
Chinese mothers of preschoolers: A randomized controlled trial.
45

Child Psychiatry & Human Development, https://doi.org/10.1007/


s10578-020-01101-6.
Ramsden, S.R., Hubbard, J.A. (2002). Family expressiveness and
parental emotion coaching: Their role in children’s emotion
regulation and aggression. Journal of Abnormal Child Psychology,
30, 657–667.
Sanders, M.R., & Turner, K.M.T. (2018). The importance of parenting
in influencing the lives of children. Dalam M.R. Sanders dan
A. Morawska (Eds.). Handbook of parenting and child development
across the lifespan. Cham, Switzerland: Springer International
Publishing AG.
Shipman K.L., Schneider, R., Fitzgerald, M.M., Sims, C., Swisher,
L., & Edwards, A. (2007). Maternal emotion socialization in
maltreating and non-maltreating families: Implication for
children’s emotion regulation. Social Development, 16, 268–285
Shortt, J.W., Stoolmiller, M., Smith-Shine, J.N., Mark Eddy, J. &
Sheeber, L. (2010). Maternal emotion coaching, adolescent
anger regulation, and siblings’ externalising symptoms. Journal
of Child Psychology and Psychiatry, 51(7), 799–808.
Stocker, C.M., Richmond, M.K., Rhoades, G.K., Kiang, L. (2007).
Family emotional processes and adolescents’ adjustment. Social
Development,16, 310–325.
Wandansari, Y. (2021). Model kompetensi emosi anak usia dini.
Disertasi (tidak diterbitkan). Surabaya: Universitas Airlangga.
Wang, M., Liang, Y., Zhou, N., and Zou, H. (2019). Chinese fathers’
emotion socialization profiles and adolescents’ emotion
regulation. Personality and Individual Differences, 137, 33–38.
doi: 10.1016/j.paid.2018.08.006
Wilson, K.R., Havighurst, S.S. & Harley, A.E. (2012). Tuning in to Kids:
An effectiveness trial of a parenting program targeting emotion
socialization of preschoolers. Journal of Family Psychology, 26(1),
56–65.
46

Wilson, B.J., Berg, J.L., Zurawski, M.E., & King, K.A. (2013). Autism and
externalizing behaviors: Buffering effects of parental emotion
coaching. Research in Autism Spectrum Disorders, 7, 767-776.
http://dx.doi.org/10.1016/j.rasd.2013.02.005.
Wilson, B.J., Petaja, H., Yun, J., King, K., Berg, J., Kremmel, L., &
Cook, D. (2014). Parental emotion coaching: Association with
self-regulation in aggressive/rejected and low aggressive/
popular children. Child and Family Behavior Therapy, 36 (2), 81-
106. Doi:10.1080/07317107.2014.910731.
Wilson, K. R., Havighurst, S. S., Kehoe, C., & Harley, A. E. (2016). Dads
Tuning In to Kids: preliminary evaluation of a fathers’ parenting
program. Family Relations, 65(4), 535–549. Doi:10.1111/fare.12216. 
47

MEMAHAMI ANDROGINI:
PENGASUHAN DALAM PERSPEKTIF
GENDER
Agustin Rahmawati, M.Si., Psikolog
Universitas Merdeka Malang
[email protected]

A. Pendahuluan

Semua orang tua di mana pun akan menginginkan anaknya


tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, sehat, bahagia,
dan matang secara sosial, tetapi kita seringkali tidak yakin bagaimana
membantu anak mencapai tujuan ini. Memahami bagaimana anak
berkembang dapat membantu kita menjadi orang tua yang lebih
baik. Pengasuhan anak membutuhkan waktu. Artinya kita harus
berkomitmen secara terus menerus untuk menyediakan lingkungan
yang kondusif dan hangat, sehingga anak akan merasa aman serta
dapat berkembang sepenuhnya, di mana lingkungan pertama dan
terpenting untuk perkembangan anak adalah keluarga. Asuhan orang
tua merupakan pengalaman pertama bagi anak, termasuk juga tentang
bagaimana anak-anak akan mengembangkan identitas gendernya.
Perilaku yang ditunjukkan orang tua akan dapat memengaruhi
perkembangan gender anak. (Gore, 2009; Nuryoto, 2003).
Dewasa ini menjadi semakin jelas bahwa identitas gender dan
hubungan gender secara signifikan terkait dengan kemajuan budaya
karena mereka menentukan kehidupan sehari-hari setiap orang,
48

keluarga, tempat kerja, dan komunitas yang lebih luas. Pada saat
yang sama, perubahan global, mendorong nilai-nilai budaya ke arah
munculnya modifikasi dan variasi (Badjanova, Pipere, & Ilisko, 2017).
Identitas gender seperti apakah yang akan melekat pada anak akan
memengaruhi menjadi seperti apakah mereka kelak. Dalam tulisan
ini kami menyarankan kemungkinan adaptasi kreatif analisis gender,
yang dianjurkan selama lebih dari 20 tahun, untuk masalah-masalah
pengasuhan dan pendidikan.

B. Tinjauan Teori

1. Sosialisasi gender
Sejak dilahirkan, orang tua sudah memiliki preferensi akan
bagaimana memperlakukan anak-anaknya kelak. Jika berjenis
kelamin laki-laki akan diarahkan pada hal-hal yang bersifat
maskulin. Sementara jika berjenis kelamin perempuan, akan
dikenalkan pada segala hal yang bersifat feminin. Ketika seorang
anak dilahirkan, ia sudah mendapatkan tugas dan beban gender
dari masyarakat (Nasarudin Umar, 1999, dalam Ratnasari, 2017).
Identitas gender dapat diartikan sebagai pemahaman individu
terhadap peran gendernya, termasuk persepsi tentang bagaimana
harus menjadi seorang laki-laki atau perempuan (Egan & Perry,
2001). Pendapat senada mengatakan bahwa identitas gender
mengacu pada tingkat di mana seseorang menganggap diri
sebagai maskulin atau feminin, dengan mendasarkan diri pada
makna maskulin atau feminin dalam budaya tertentu (Perry
& Pauletti, 2011; Wood & Eagly, 2009). Identitas gender dapat
membenarkan perilaku gender tertentu di bidang sosial (Tobin
et al., 2010). Oleh karena itu, identitas gender memengaruhi
bagaimana orang memandang dunia di sekitar mereka dan
bagaimana mereka berperilaku (Vantieghem, Vermeersch, &
Van Houtte, 2014). Salah satu aspek identitas gender adalah
mengetahui apakah kita perempuan atau laki-laki, di mana
49

sebagian besar anak-anak dapat melakukannya pada usia sekita


2,5 tahun (Blakemore, Berrenbaun, & Liben, 2009). Sementara
peran gender dimengerti sebagai seperangkat harapan tentang
bagaimana seorang laki-laki dan perempuan dalam berpikir
dan bertindak.
Pengaruh Biologis. Hormon berpengaruh dalam
perkembangan perbedaan seks (Santrock, 2012). Estrogen
disebut-sebut sebagai penentu karakteristik fisik perempuan,
dan androgen untuk karakteristik fisik laki-laki. Lebih lanjut
dikatakan bahwa hormon seks akan memengaruhi bagaimana
emosi anak-anak berkembang. Sementara itu, mengacu pada
paradigma psikologi evolusioner, penyesuaian yang terjadi
selama evolusi manusia memunculkan perbedaan antara laki-
laki dan perempuan (Cosmides, 2011). Laki-laki mengembangkan
perilaku mengganggu, kompetisi, dan berani mengambil resiko.
Pengaruh Sosial. Teori peran sosial mengatakan bahwa
peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan lah yang
menyebabkan perbedaan gender (Eagly & Sczesny, 2009). Menurut
teori kognitif sosial, anak-anak mengembangkan peran gendernya
berdasarkan pada apa yang dilihat dan dilakukan oleh orang lain.
Perkembangan peran gender anak-anak terjadi melalui hadiah dan
hukuman yang diterima atas perilaku yang boleh dan tidak boleh
dilakukan sebagai seorang laki-laki atau perempuan (Bussey
& Bandura 1999, dalam Santrock, 2012). Meskipun bukan satu-
satunya sumber bagi anak dalam mempelajari gender, orang tua
memegang peran penting dalam memengaruhi anak (Blakemore,
Berenbaum, & Liben, 2009). Budaya, sekolah, media, dan teman
sebaya juga bisa menjadi model peran gender.
Anak-anak menghadapi peran maskulin dan feminin dalam
interaksi mereka setiap hari dengan orang tua, saudara, dan
teman sebaya. Pesan-pesan yang disampaikan melalui media
50

tentang apa yang sesuai dan apa yang tidak bagi anak laki-laki
dan anak perempuan adalah penting juga bagi perkembangan
gender. Penstereotipan peran gender nampak dalam media,
baik cetak maupun elektronik. Pada iklan, perempuan seringkali
digambarkan dalam produk-produk kecantikan, produk
perawatan rumah/kebersihan, dan produk bahan makan.
Sementara laki-laki seringkali digambarkan dengan iklan produk
otomotif dan minuman. Secara masif, seringkali kita masih
menemukan bahwa televisi menggambarkan laki-laki sebagai
lebih berkompeten daripada perempuan (Durkin, 1985; dalam
Santrock, 2012)
Pada hampir semua budaya di seluruh dunia menyetujui
adanya peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan
(Kagitcibasi, 2007). Di banyak budaya, ibu mengajarkan anak
perempuannya agar lebih patuh dan bertanggungjawab daripada
anak laki-laki. Selain itu ibu juga menerapkan banyak batasan
terhadap kebebasan pada anak perempuan. Ayah memberi
perhatian lebih besar kepada anak laki-laki, lebih sering
melakukan aktivitas Bersama anak laki-laki, dan lebih mendorong
kemampuan intelektual anak laki-laki (Bronstein, 2006). Sementara
orang tua memberikan batasan paling awal tentang peran gender,
teman sebaya selanjutnya juga turut memberikan respon terhadap
perilaku maskulin dan feminin (Blakemore, Berrenbaum, & Liben,
2009). Teman sebaya menunjukkan penghargaan dan hukuman
terhadap bagaimana harus berperilaku terkait gender (Leaper &
Friedman, 2007). Saat anak berperilaku sesuai dengan gendernya,
teman-temannya akan menghargai mereka, sebaliknya akan
menolak jika anak berperilaku dengan cara yang menurut budaya
dianggap lebih menggambarkan karakteristik gender lain.
51

2. Klasifikasi peran gender


Individu dalam peran sosial gender mereka dibentuk oleh
harapan yang diberikan oleh norma-norma budaya. Secara
tradisional, ada anggapan bahwa anak laki-laki harus bertumbuh
menjadi maskulin dan anak perempuan harus bertumbuh menjadi
feminin. Perempuan di banyak budaya disosialisasikan untuk
menjadi lebih ekspresif, peduli, saling tergantung, penuh kasih
sayang, memelihara, kooperatif, dan membantu dalam peran
pengasuhan (Beutel & Marini, 1995; Chodorow, 1974; Eagly, 1987;
Gilligan, 1982; dalam Badjanova, Pipere, & Ilisko, 2017), sementara
laki-laki disosialisasikan dengan kepribadian lebih mandiri
dan kompetitif. Norma-norma gender tradisional maskulinitas,
memprioritaskan dominasi, daya saing dan keberhasilan (Connell,
1995). Sementara norma-norma feminitas bertentangan dengan
pemberdayaan dan partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial,
meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan
lebih peduli dengan lingkungan (Schultz & Stiess, 2009).
Pada tahun 1970an, muncul alternatif gagasan mengenai
feminitas dan maskulinitas, dimana individu dapat memiliki
sikap maskulin sekaligus feminin (Santrock, 2012). Pemikiran
ini menggiring pada berkembangnya konsep androgini, yakni
terdapatnya karakteristik maskulin dan feminin pada individu
yang sama (Bem, 1974), yang diperkuat dengan analisa Dean &
Tate (2016). Hasil penelitiannya menemukan bahwa ada satu
jenis karakter kepribadian yang lebih unggul, lebih adaptif
karena dianggap lebih mampu menyelesaikan berbagai persoalan
kehidupan secara konstruktif, yaitu karakter yang ditandai dengan
kesepadanan dominasi unsur feminin dan unsur maskulin.
Seorang anak laki-laki androgini dapat memiliki sifat asertif
(maskulin) maupun mengasuh (feminin). Seorang perempuan
androgini dapat memiliki sifat kuat (maskulin) dan empati
terhadap orang lain (feminin).
52

Para ahli gender meyakini bahwa individu androgini


mempunyai karakteristik yang lebih lentur, kompeten, dan sehat
mental jika dibandingkan dengan individu yang hanya memiliki
sifat maskulin atau feminin (Pauletti, Menon, Cooper, Aults, &
Perry, 2017). Semakin tinggi androginitas seseorang, maka dia
akan lebih adaptif dan mampu menyelesaikan berbagai masalah
secara konstruktif. Anak-anak yang memiliki sifat androgini
akan mampu bersifat lemah lembut, tegas dan luwes dalam
menghadapi kenyataan hidup. Mereka dapat mewujudkan secara
tepat kapan harus bersikap feminin dan kapan harus bersifat
maskulin (Bem, 1974).
Didapatkan beberapa hasil penelitian tentang karakteristik
individu androginos. Pada anak-anak usia 11 tahun, ditemukan
hasil bahwa anak-anak dengan sifat androgini lebih sehat mental,
memiliki self esteem tinggi, dan rendahnya tekanan terhadap
diferensiasi gender (Pauletti, Menon, Cooper, Aults, & Perry,
2017). Individu androginos mampu beradaptasi dalam berbagai
situasi, terlibat dalam perilaku secara efektif, tanpa menganggap
sebagai diri yang paling ideal dibanding peran jenis lainnya
(Bem & Lewis, 1975). Farida dan Nuryoto (2006) menemukan
bahwa terdapat hubungan sangat signifikan antara empati dan
pemahaman androgini dengan perilaku prososial pada anak-
anak usia Sekolah Dasar kelas 5. Sementara itu, mahasiswa
dengan peran jenis androgini memiliki rerata skor paling
tinggi pada perilaku prososial dan kemampuan berkomunikasi
yang memadai (Priatmoko, 2016; Ivan, 2017). Demikian juga
tentang kemampuan kepemimpinan, mahasiswa dengan
karakter androgini menunjukkan kepemimpinan yang lebih
transformasional (Ivan, 2012). Dan pada subyek usia lanjut,
didapatkan temuan juga bahwa individu yang mempersepsi
diri mereka sebagai androgini, memiliki kesehatan umum yang
53

lebih baik dan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Ross, Baird,
& Towson, (2009).
Selaras dengan beberapa hasil penelitian diatas, Kaplan &
Sidney (dalam Nuryoto, 2003) mengatakan bahwa sifat androgini
memiliki implikasi bahwa anak akan mempunyai wawasan
yang luas sehingga mampu bereaksi secara tepat dalam situasi
apapun. Anak juga mampu bersikap fleksibel seperti .apa yang
diharapkan oleh masyarakat (mampu membedakan kapan harus
bersikap maskulin dan kapan harus bersikap feminine). Terakhir,
anak-anak yang teridentifikasi sebagai androginos akan mampu
bersikap hangat dan dapat diterima dengan baik oleh orang lain.
Konsep androgini lebih lanjut diperkuat oleh gagasan
transendensi peran gender. Walaupun konsep androgini merupakan
suatu perbaikan atas paham eksklusif tentang feminitas dan
maskulinitas, konsep ini bukanlah konsep yang betul-betul
sempurna untuk mengatasi fenomena-fenomena sebelumnya.
Beberapa peneliti percaya bahwa gagasan tentang androgini
harus diganti dengan transendensi peran gender, yakni
keyakinan bahwa bila kompetisi individu yang dipersoalkan,
maka sebenarnya kompetensi tersebut tidak dikonseptualisaikan
atas dasar maskulinitas, feminitas, atau androgini, tetapi lebih
baik atas dasar individu itu. Dengan demikian, sebagai ganti
menggabungkan peran gender, kita harus mulai berpikir tentang
manusia sebagai manusia (Pleck, 1981; dalam Santrock, 2012).
Bantulah anak untuk mngurangi stereotipe dan diskriminasi
gender. Mendorong anak laki-laki untuk belajar lebih peka dan
prososial, tidak agresif, dan mengatasi emosi secara positif.
Sementara kepada anak perempuan, agar lebih asertif, bangga
dengan kemampuannya yang selama ini dianggap tidak berharga,
dan lebih mengembangkan potensi diri (Santrock, 2012). Hal ini
bisa dilakukan jika orang tua tidak melakukan stereotipe dan
54

diskriminasi, karena anak-anak akan mengamati dan menjadikan


orang tuanya sebagai model.

C. Penutup

Sifat androgini ini akan memberikan peluang pada seseorang


untuk mengembangkan sifat-sifat feminin dan maskulin secara
seimbang. Dengan kata lain orang yang mempunyai sifat androgini
ini dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang lintas peran jenis. Laki-
laki akan mampu mengerjakan tugas-tugas yang bersifat feminin
sementara perempuan akan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan
maskulin.
Dengan merujuk pada banyak hasil penelitian diatas, yang
mencoba menunjukkan keuntungan-keuntungan yang akan
didapatkan oleh indidividu jika memiliki identitas dan peran gender
androgini, maka sebetulnya tidak perlu menjadikan keraguan untuk
mengarah pada pencapaian tersebut. Maka menjadi tugas lingkungan,
terutama orang tua untuk melakukan pengasuhan yang mengarahkan
anak-anak menjadi pribadi androginos, karena anak-anak dapat
belajar dan menginternalisasi identitas dan peran gender untuk
menjadi feminin, maskulin ataupun androgini secara langsung dari
model yang dilakukan oleh orang tuanya (Santrock, 2012). Ayah dan
ibu secara psikologis adalah penting bagi perkembangan gender
anak-anak.
55

Daftar Pustaka

Badjanova, J., Pipere, A., and Ilisko, D. (2017). Gender Identity of


Students and Teachers: Implications for a Sustainable Future,
Journal of Teacher Education for Sustainability, 19 (2), 138-153.
Bem, S.L.(1974). The Measurement Of Psychological Androgyny.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 42(2), 1S5-162
Bem, S.A, & Lewis, S.A. (1975). Sex Role Adaptability; One Consequence
of Psychological Androgyny, Journal of Personality & Social
Psychology. , 31 (4) 634-643.
Blakemore, J.E.O, Berenbaum, S.A, & Liben, L.S. (2009). Gender
Development. Psychology Press: New York.
Connell, R.W. (1995). Masculinities. Berkeley, CA, USA: University
of California Press
Cosmides, L. (2011). Evolution of direct reciprocity under uncertainty
can explain human generosity in one-shot encounters.
Dalam Binmore, K. (ed). Center for Evolutionary Psychology
and Departments of Psychology and Anthropology, University of
California: Santa Barbara.
Dean, M.L., & Tate, C.C. (2016). Extending the Legacy of Sandra
Bem: Psychological Androgyny as a Touchstone Conceptual
Advance for the Study of Gender in Psychological Science, Sex
Roles. 76:643–654
Eagly, A.H., & Sczesny, S. (2009). Stereotypes about women, men, and
leaders: Have times changed? American Psychological Association:
Washington, DC
Egan, S.K., & Perry, D.G. (2001). Gender Identity: A Multidimensional
Analysis With Implications for Psychosocial Adjustment.
Developmental Psychology, 37(4), 451-463.
Farida, H., & Nuryoto, S. (2006). Perilaku prososial ditinjau dari
kemampuan empati dan pemahaman sifat Androgini dalam
kegiatan pramuka pada anak kelas V Sekolah Dasar, Tesis,
56

UGM, Yogyakarta.
Kagitcibasi, C. (2007). Family, Self, and Human Development Across
Cultures: Theory and Applications (2nd ed.) Mahwah, NJ: Lawrence
Erlbaum.
Leaper, C., & Friedman,C.K. (2007). The Socialization of Gender.
In Joan E. Grusec and Paul D. Hastings (eds) Handbook of
Socialization: Theory and Research, Guilford Publications.
Ivan, L. (2012). Sex Role Identity, Nonverbal Sensitivity and Potential
Leadership Style, Procedia - Social and Behavioral Sciences. 46,
1720-1729
Ivan, L., (2017). Sex Role Identity, Communication Skills, and Group
Popularity, Romanian Journal of Communication and Public
Relations. 19 (41) 19-28
Nuryoto, S. (2003), Manfaat Penanaman Sifat Androgini Pada Anak
Sejak Dini, Anima; Indonesian Psychological Journal, 19(1), 17-36
Pauletti, R.E., Menon, M., Cooper, P.J., Aults, C.D., Perry, D.G.
(2017). Psychological Androgyny and Children’s Mental Health:
A New Look with New Measures, Sex Roles, 76:705–718
Perry, D. G., & Pauletti, R. E. (2011). Gender and adolescent
development. Journal of Research on Adolescence, 21(1), 61-74.
Priatmoko, A. (2016). Prososial Ditinjau dari Peran Jenis pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Skripsi,
Fakultas Psikilogi, Universitas gajah Mada, Yogyakarta.
Ratnasari, D. (2017). Menggagas Pendidikan Islam Responsif Gender.
Jurnal Humanika, 17(1), 12-22.
Reagan Gale-Ross, R.G., Baird, A.& Towson, S. (2009). Gender Role,
Life Satisfaction, and Wellness: Androgyny in a Southwestern
Ontario Sample Canadian Journal on Aging / La Revue canadienne
du vieillissement 28 (2) : 135 – 146
Santrock, J.W. (2012). Live Span Development; Perkembangan Masa
Hidup. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Tobin, D. D., Menon, M., Menon, M., Spatta, B. C., Hodges, E. V. E.,
57

& Perry, D. G. (2010). The intrapsychics of gender: A model of


self-socialization. Psychological Review, 117(2), 601-622.
Schultz, I., & Stiess, E. (2009). WP1. Gender aspects of sustainable
consumption strategies and instruments. Policies to Promote
Sustainable Consumption Patterns, EUPOP. Institute for Social-
Ecological Research, Frankfurt/Main.
Vantieghem, W., Vermeersch, H., & Van Houtte, M. (2014). Why
Gender disappeared from the gender gap: (Re-) introducing
gender identity theory to educational gender gap research. Social
Psychology of Education: An International Journal, 17(3), 357-381.
Wood, W., & Eagly, A. H. (2009). Gender identity. In R. H. M. Leary
(ed.), Handbook of individual differences in social behavior. 109-125.
New York: Guilford Press.
59

MEMAKNAI PENGALAMAN PENGASUHAN ORANG


TUA BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI
MASA PANDEMI: STUDI LITERATUR
Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
[email protected]

A. Pendahuluan

Masalah kesehatan yang diakibatkan oleh virus severe acute


respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) menjadi sebuah
pandemi tengah melanda seluruh negara di dunia ini telah
berlangsung hampir dua tahun dimulai dari Maret 2020 hingga kini.
Dampak yang dimunculkan akibat pandemi ini juga beragam, seperti:
masalah ekonomi, seperti masyarakat banyak kehilangan pekerjaan
(Gassman-Pines, dkk. 2020); masalah pendidikan, seperti kegiatan
belajar mengajar di sekolah beralih pembelajaran secara online yang
berlangsung di rumah (Bozkurt & Sharma, 2020); masalah psikologi,
seperti peningkatan emosi negatif, seperti: stress, depresi, cemas,
sedih (Boyraz & Legros, 2020)
Salah satu dampak yang ditimbulkan dari kehadiran
pandemi covid 19 terutama dampak di bidang pendidikan adalah
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di rumah secara online.
Belajar di rumah merupakan alternatif pendidikan yang telah
dilaksanakan oleh hampir seluruh negara di dunia, di mana orang
tua yang mengajarkan pendidikan kepada anak mereka di rumah
60

(Majoko & Dudu, 2020). Bukanlah hal yang mudah menyiapkan


pembelajaran yang semula berlangsung tatap muka beralih menjadi
pembelajaran daring. Berbagai tantangan dan kendala kerap muncul
dalam proses pelaksanaannya, seperti: para guru dan siswa dituntut
mampu beradaptasi atas kondisi belajar online (Murphy, 2020);
penyesuaian guru dan siswa dalam penggunaan teknologi dan tidak
cukupnya fasilitas yang memadai (Flores & Gago, 2020); pembelajaran
di rumah justru memunculkan stres pengasuhan yang lebih berat
bagi orang tua (Brown, dkk. 2020).
Tantangan belajar online juga sangat dirasakan oleh guru dan
orang tua dalam mengajari anak-anak berkebutuhan khusus. Anak
berkebutuhan khusus (selanjutnya ditulis ABK) merupakan anak
yang dianggap mempunyai kelainan/penyimpangan dari kondisi
rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental maupun
karakteristik perilaku sosialnya (Efendi,2006). Berdasarkan pengertian
tersebut anak yang dikategorikan berkebutuhan dalam aspek fisik
meliputi kelainan dalam indra penglihatan (tunanetra) kelainan indra
pendengaran (tuna rungu) kelainan kemampuan berbicara (tuna
wicara) dan kelainan fungsi anggota tubuh (tuna daksa). Anak yang
memiliki kebutuhan dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki
kemampuan mental lebih (super normal) yang dikenal sebagai anak
berbakat atau anak unggul dan yang memiliki kemampuan mental
sangat rendah (abnormal) yang dikenal sebagai tuna grahita. Anak
yang memiliki kelainan dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki
kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan
sekitarnya. Anak yang termasuk dalam kelompok ini dikenal dengan
sebutan tunalaras (Abdullah, 2013).
Berdasarkan keterangan di atas menegaskan tidak mudah bagi
orang tua mengasuh anak-anaknya selama pandemi ini, terutama
jika orang tua yang dianugerahi anak-anak dengan keistimewaannya.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Daulay (2021) akan pengalaman
61

ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis terbukti


bahwa pelaksanaan belajar mengajar yang dilakukan ibu di rumah
selama pandemi kurang optimal, disebabkan meningkatnya perilaku
maladaptif anak autis, minimnya pengetahuan ibu terkait cara
mengajari anak di rumah, ibu memiliki tanggung jawab pengasuhan
yang lebih berat di rumah, hingga tidak tertutup kemungkinan
berdampak negatif yakni mengalami stres pengasuhan.
Berbagai kesulitan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus hingga berdampak pada intensnya kemunculan emosi negatif,
mengupas dari berbagai riset sebelumnya bagaimanakah orang tua
mampu bertahan di tengah terpaan badai selama pandemi? Tulisan
ini berupaya menyampaikan bagaimana suka duka orang tua yang
memiliki anak istimewa dan upaya yang dilakukannya untuk dapat
mengatasi suka duka tersebut.

B. Tinjauan Teori

Pengasuhan orang tua yang dianugerahkan ABK bukanlah


sesuatu hal yang mudah, sikap penerimaan orang tua terhadap
kekurangan yag dimiliki anak merupakan kunci agar orang tua
mampu memberikan pengasuhan terbaiknya, selain itu juga orang tua
juga harus mampu membuka dirinya sendiri yang telah diamanahkan
anak special ini. Terkait dengan pengasuhan pada ABK, maka dapat
dianalisis melalui teori pengasuhan akan penerimaan dan penolakan
orang tua (parental-acceptance-rejection theory/PART) yang dikemukakan
oleh Rohner, Khaleque, dan Cournoyer (2012). Teori ini menjelaskan
persepsi tentang pengasuhan menjadi dua bagian, yaitu penerimaan
(parental acceptance) dan penolakan (parental rejection). Keduanya
digambarkan dalam suatu rentang dimensi yang terkait dengan
kualitas ikatan emosi antara orang tua dengan anak-anak mereka dan
dengan tingkah laku fisik, verbal dan simbolik yang digunakan orang
tua untuk mengekspresikan dan menyatakan perasaannya. Dimensi
penerimaan ditandai dengan kehangatan, kasih sayang, perhatian,
62

kenyamanan, kepedulian, dukungan atau cinta yang didapatkan


anak-anak dari orang tuanya. Sementara dimensi penolakan ditandai
dengan kurangnya perasaan penuh cinta, hadirnya beragam emosi
dan tingkah laku fisik serta psikis yang menyakitkan (Rohner, dkk.
2012).
Hubungan antara teori pengasuhan akan penerimaan dan
penolakan orang tua dengan pengasuhan orang tua ABK adalah orang
tua merupakan figur terpenting bagi anak-anak dengan keunikannya
ini, bagi anak dan orang tua dengan adanya peran kondisi aman secara
emosi serta kondisi psikologis bergantung pada kualitas hubungan
antara orang tua dan anak. Jika kebutuhan ini terpenuhi maka akan
berdampak positif terhadap perilaku dan emosi anak serta terjalinnya
interaksi hangat antara orang tua dan anak.

C. Metode

Berdasarkan tujuan tulisan ini adalah berupaya menginformasikan


pengalaman pengasuhan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus di masa pandemi covid 19 ini di Indonesia. Maka tulisan
ini menggunakan metode studi literature, dengan cara menelusuri
berbagai jurnal yang telah terpublikasi, melalui laman google scholar
dengan cara mengetikkan kata kunci “Anak berkebutuhan khusus,
pengasuhan, orang tua dan Covid-19”. Menurut Creswell (2014) bahwa
kajian literatur berupa ringkasan tertulis mengenai artikel dari jurnal,
buku, dan dokumen lain yang mendeskripsikan teori serta informasi
baik masa lalu maupun saat ini mengorganisasikan pustaka ke dalam
topik dan dokumen yang dibutuhkan. Selanjutnya Habsy (2017)
juga menegaskan data-data yang sudah dikumpulkan kemudian
dianalisis dengan metode analisis deskriptif, lalu pengulasan fakta-
fakta secara terurai dan dipertegas dengan penjelasan.
63

D. Hasil

Beberapa penelitian telah membuktikan di masa pandemi


orang tua cukup mengalami beban pengasuhan, namun mereka
memiliki cara-cara tersendiri dalam menangguhkan diri dan memiliki
kekuatan dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. Hasil dari
berbagai riset sebelumnya, telah penulis rangkum dan termuat
dalam Tabel 1.

E. Pembahasan

Berdasarkan riset tentang pengasuhan bagi orang tua yang


memiliki ABK di masa pandemi memiliki keunikan tersendiri,
jika ditelaah lebih lanjut terdiri dari faktor pendukung dan faktor
penghambat. Faktor pendukung pengasuhan bagi ABK seperti:
mendampingi anak dalam mengerjakan tugas sekolah secara daring,
mengerjakan aktivitas bersama selama di rumah, menciptakan
lingkungan yang nyaman agar anak betah tinggal di rumah saja,
dan kemampuan mengontrol emosi negatif,
Faktor penghambat, seperti: minimnya pengetahuan orang tua
dalam memberikan intervensi kepada anak; meningkatnya perilaku
maladaptif anak (seperti: tantrum, hiperaktif); ketergantungan anak
kepada orang tua semakin besar (seperti: semakin manja, dan tidak
mandiri), orang tua tidak mampu mengontrol emosi negatif (seperti:
sering marah, membentak anak).
Berbagai kendala yang dijumpai orang tua dalam mengasuh ABK
dapat diatasi dengan berbagai upaya, salah satunya adalah koping
religius. Menurut Pargament (1992), agama dapat menjadi bagian
sentral dari konstruksi koping, misalnya seseorang dapat berbicara
tentang peristiwa religius, penilaian religius, kegiatan koping religius,
dan tujuan religius dalam koping. Sebagai bagian proses koping
transaksional, agama mempunyai dua arah peran. Pertama, agama
dapat menyumbang proses koping dan kegiatan koping dalam
64

menghadapi peristiwa kehidupan. Kedua, agama dapat menjadi hasil


koping, dibentuk oleh elemen-elemen lain yang berproses.
Berbagai riset sebelumnya tentang peran koping religius
membantu seseorang di masa pandemi ini juga telah dirangkum
dalam studi literatur oleh Daulay (2020), hasilnya menegaskan
bahwa melalui agama membantu dalam memberikan dukungan
untuk meminimalisasi stres, memunculkan resiliensi, meningkatkan
kesehatan mental, mengelola emosi negatif, mendekatkan diri
kepada Tuhan melalui praktik agama. Penelitian Daulay (2018)
juga membuktikan agama memiliki peran penting dalam memaknai
kehidupan yang sulit. Berdasarkan penelitiannya tersebut kepada
orang tua muslim yang memiliki anak GSA membuktikan bahwa
peran agama sebagai cara untuk koping, seperti: iman, husnuzan,
sabar, ikhlas menerima anak, ikhtiar, tawakal, bersyukur, pengalaman
religius, dan ibadah.

F. Penutup

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman


pengasuhan orang tua yang memiliki ABK selama pandemi covid 19
dan upaya yang orang tua lakukan untuk tetap tangguh memberikan
pengasuhan terbaik. Memanfaatkan pendekatan studi literatur dengan
merangkum dari berbagai riset sebelumnya terkait pengasuhan.
Hasilnya menunjukkan bahwa orang tua dari ABK memiliki
pengalaman positif dan pengalaman negatif yang dipengaruhi oleh
adanya faktor pendukung dan faktor penghambat.
65

Daftar Pustaka

Abdullah, N. (2013). Mengenal anak berkebutuhan


khusus. Magistra, 25(86), 1.
Apriyani, N., & Rochyadi, E. (2020, December). Program Parental
Self-Efficacy Pada Orang Tua Dalam Pembelajaran Bagi Anak
Tunagrahita Di Masa Pandemi. In Prosiding Seminar Nasional
PGSD UST (Vol. 1, pp. 27-36).
Aulia, N. R., & Santosa, H. P. (2021). Pengalaman Komunikasi Orang
Tua dengan Anak Autis dalam Mendampingi Belajar di Rumah
selama Pandemi Covid-19. Interaksi Online, 9(3), 126-135.
Boyraz, G., & Legros, D. N. (2020). Coronavirus disease (COVID-19)
and traumatic stress: probable risk factors and correlates of
posttraumatic stress disorder. Journal of Loss and Trauma, 25(6-
7), 503-522.
Brown, S. M., Doom, J. R., Lechuga-Peña, S., Watamura, S. E., &
Koppels, T. (2020). Stress and parenting during the global
COVID-19 pandemic. Child abuse & neglect, 110, 104699.
Creswell, J. W. (2014). Qualitative, quantitative and mixed methods
approaches. Sage.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, N. R. (2018). Proses menjadi
tangguh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan
spektrum autis. Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2),
267245.
Daulay, N. (2020). Koping Religius dan Kesehatan Mental Selama
Pandemi Covid-19: Studi Literatur. Psisula: Prosiding Berkala
Psikologi, 2, 349-358.
Daulay, N. (2021). Home education for children with autism spectrum
disorder during the COVID-19 pandemic: Indonesian mothers
experience. Research in Developmental Disabilities, 114, 103954.
Efendi,M., 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta,
Bumi Aksara.
66

Gassman-Pines, A., Ananat, E. O., & Fitz-Henley, J. (2020). COVID-19


and parent-child psychological well-being. Pediatrics, 146(4).
Habsy, B. A. (2017). Seni memehami penelitian kuliatatif dalam
bimbingan dan konseling: studi literatur. Jurnal Konseling Andi
Matappa, 1(2), 90-100.
Majoko, T., & Dudu, A. (2020). Parents’ strategies for home educating
their children with Autism Spectrum Disorder during the
COVID-19 period in Zimbabwe. International Journal of
Developmental Disabilities, 1-5. https://doi.org/10.1080/2047
3869.2020.1803025
Nurhastuti, N., Zulmiyetri, Z., Budi, S., & Utami, I. S. (2021). Ketahanan
mental keluarga anak berkebutuhan khusus dalam menghadapi
new normal. Jurnal Buah Hati, 8(1), 20-32.
Pargament, K. I. (1992). Of means and ends: Religion and the search
for significance. The International Journal for the Psychology of
Religion, 2(4), 201-229.
Pratiwi, H., Ismail, M., & Irayana, I. Efikasi Diri, Stres Pengasuhan dan
Strategi Koping Orang Tua dari Anak Berkebutuhan Khusus
di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Smart PAUD, 4(1), 11-22.
Rahmawati, T., Fartiwi, F., & Fatimah, U. N. (2020). Model pendampigan
belajar orang tua untuk anak berkebutuhan khusus selama masa
pandemic. Academica: Journal of Multidisciplinary Studies, 4(2),
257-266.
Ramadhani, S. P., & Supena, A. (2020). Persepsi Orangtua dan Guru
terhadap Pembelajaran Masa Pandemi COVID-19 terhadap Anak
Speech Disorder Usia 8 Tahun di Madrasah Ibtidayah. Jurnal
Basicedu, 4(4), 1267-1273.
Rizkiani, N., & Efendi, J. (2021). Persepsi Orang Tua Anak Berkebutuhan
Khusus Tentang Pembelajaran Daring Pada Masa Pandemi
Covid-19 Se-Kecamatan Koto Tangah. Journal of Basic Education
Studies, 4(1), 1430-1435.
Rohner, R. P., Khaleque, A., & Cournoyer, D. E. (2012). Introduction
67

to parental acceptance-rejection theory, methods, evidence,


and implications. Journal of Family Theory & Review, 2(1), 73-87.
Safitri, Y. W., Karsidi, R., & Yusuf, M. (2021). Analisis kendala orang
tua dalam mendampingi anak tunanetra belajar dari rumah di
masa pandemic Jurnal Orthopedagogik, 2(1), 77-87.
Sari, D. P., & Paska, S. (2021). Pengalaman Orang Tua Anak
Berkebutuhan Khusus Mengenai Pembelajaran daring selama
Pandemi COVID-19. JPK (Jurnal Pendidikan Khusus), 17(1), 11-19.
Wardany, O. F., & Sani, Y. (2020). Pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh
Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (Survei terhadap Orangtua
dan Guru di Lampung). JPK (Jurnal Pendidikan Khusus), 16(2),
48-64.
Winarti, A. (2020). Implementasi Parenting Pada Pendidikan Anak
Usia Dini Di Masa Pandemi Covid-19. Jp3m: Jurnal Pendidikan,
Pembelajaran Dan Pemberdayaan Masyarakat, 2(2), 131-145.
Tabel 1. Penelitian Pengasuhan Orang Tua yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di
Masa Pandemi (Sumber: googlescholar.com)
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
68

Winarti, Implementasi Subyek Metode kualitatif, Hasil penelitian (1) fungsi orang tua adalah sebagai pembimbing,
A. parenting pada penelitian pengumpulan data: pendidik, penjaga, pengembang dan pengawas. Secara khusus menjaga
(2020) pendidikan anak terdiri dari wawancara, observasi, dan memastikan anak untuk menerapkan hidup bersih dan sehat,
usia dini di masa kepala sekolah, dokumentasi. mengikuti protokol kesehatan. (2) Pelaksanaan mendampingi anak
pandemi covid 19 dua guru, tiga dalam mengerjakan tugas sekolah secara daring, mengerjakan aktivitas
orang tua. bersama selama di rumah, menciptakan lingkungan yang nyaman agar
anak betah tinggal di rumah saja, (3) Faktor pendukung pendidikan
anak usia dini masa pandemi covid-19, adanya sarana dan prasarana
pendukung untuk daring, adanya komunikasi searah orang tua dan
guru PAUD dengan baik, selain itu ada faktor penghambat yaitu orang
tua yang bekerja tidak dapat sepenuhnya mendampingi anak belajar.
Nurhast Ketahanan mental Partisipan Metode: mixed methods, Hasil: setiap anggota keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus
uti, dkk. keluarga anak sejumlah 150 menggabungkan mempunyai peran dalam memperkokoh ketahanan mental keluarga dan
(2021) berkebutuhan orag tua yang penelitian kuantitatif juga berperan dalam mempertahankan keutuhan dan kesejahteraan
khusus dalam memiliki anak dan kualitatif. Analisis keluarga. Hal pertama yang harus dilakukan mengelola emosi,
menghadapi new berkebutuhan data pada penelitian ini mengelola stres, meningkatkan motivasi hidup, dan membina
normal khusus di kota menggunakan analisis komunikasi dengan anggota keluarga.
Padang statistik deskriptif.
Safitri, Analisis kendala Partisipan Metode: studi kasus, Hasil: 1) Kurangnya pemahaman terhadap materi ajar 2) Kesulitan
dkk. orang tua dalam sejumlah 3 pengumpulan data dalam menumbuhkan minat belajar pada anak, 3) Ketergantungan anak
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
(2021) mendampingi anak orang tua dari wawancara. Analisis kepada orang tua semakin besar (anak manja), 4) kurangnya skill orang
tunanetra belajar di anak tuna netra. data: tematik analisis tua dalam intervensi anak. Penelitian ini diharapkan dapat menggali
rumah di masa apa saja kendala yang dialami orang tua mendampingi anak belajar dari
pandemi rumah (BDR) sehingga dapat berkontribusi dalam penelitian
selanjutnya dalam memberikan solusi untuk mengatasi masalah
tersebut.
Rahmaw Model Partisipan Metode: studi kasus, Hasil: terdapat tiga model pendampingan belajar orang tua untuk anak
ati, dkk. pendampigan sejumlah 3 pengumpulan data berkebutuhan khusus selama masa pandemi yakni pendampingan belajar dengan
(2020) belajar orang tua orang tua dari wawancara. Analisis menggunakan pendekatan pola asuh permisif, otoriter, dan otoritarian.
untuk anak anak data: tematik analisis
berkebutuhan berkebutuhan
khusus selama khusus
masa pandemic
Pratiwi, Efikasi Diri, Stres Partisipan metode mixed method Hasil: terdapat korelasi signifikan dalam bentuk negatif antara efikasi diri
dkk. Pengasuhan dan sejumlah 41 strategi embedded terhadap stress pengasuhan. Adapun strategi koping yang sering
(2021) Strategi Koping orang tua dari konkuren diterapkan dalam mengasuh ABK berfokus pada emosi dalam bentuk
Orang Tua dari anak koping religius.
Anak berkebutuhan
Berkebutuhan khusus
Khusus di Masa
69
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
70

Pandemi Covid-19
Aulia, Pengalaman Partisipan Metode: fenomenologi Hasil: pola komunikasi yang tercipta diantara orang tua dengan anak
dkk. Komunikasi Orang sejumlah 4 dengan teknik autis merupakan pola komunikasi sebagai interaksi dimana orang tua
(2020) Tua dengan Anak orang tua dari pengumpulan data mendominasi peran sebagai pengirim pesan dan anak autis cenderung
Autis dalam anak autis level berupa wawancara berperan sebagai penerima pesan. Orang tua berperan sebagai fasilitator
Mendampingi pendidikan mendalam dalam mendampingi anak belajar di rumah. orang tua menjelaskan materi
Belajar di Rumah sekolah dasar. dengan metode penyampaian yang mudah dipahami oleh anak autis.
selama Pandemi Informan Ibu cenderung lebih pasif dalam mengikuti kemauan anak
Covid-19 untuk belajar di rumah. Sedangkan, informan Ayah lebih bersemangat
dan teliti dalam mendampingi anak belajar di rumah dengan mencarikan
solusi jika anak mengalami kesulitan. Dalam berkomunikasi dan
berinteraksi, anak autis mengalami hambatan psikologis yang berasal
dari emosi yang membuatnya sulit berkonsentrasi sehingga sulit untuk
menerima pesan yang disampaikan oleh orang tua.
Wardan Pelaksanaan Partisipan Metode: penelitian PJJ memerlukan pendampingan dari orangtua. dan pada pelaksanaan
y & Sany pembelajaran jarak sejumlah 58 survey, Survei terdapat kendala terkait konektivitas internet, waktu yang dimiliki,
(2020) jauh bagi anak guru dan 36 dilakukan dengan keadaan emosi dan kesiapan anak belajar daridi rumah, serta
berkebutuhan khusus orangtua ABK menyebarkan angket kompetensi dan kemampuan orangtua dalam pengasuhan anak dan
(Survei terhadap di Provinsi melalui Google Form pembelajaran ABK di rumah. Guru dan orangtua diharapkan memiliki
orangtua dan guru Lampung. kompetensi dan keterampilan dalam mendampingi ABK belajar,
di Lampung)
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
mengelola perilaku, mengatur seting belajar, mengakses teknologi, serta
kesediaan berkolaborasi. Sehingga, berbagai pelatihan terkait
penggunaan teknologi, pengasuhan anak, dan pelatihan mengajar jarak
jauh sangat diperlukan baik bagi guru, maupun bagi orangtua.
Sari & Pengalaman orang Partisipan Metode survei Hasil: orang tua sebagai pendamping anak yang utama selama
Paska tua anak sejumlah 43 pertanyaan terbuka pembelajaran daring merasa bahwa pembelajaran daring tidak hanya
(2021) berkebutuhan orang tua dari pada google form memberikan pengalaman secara negatif, namun juga memberikan
khusus mengenai ABK yang kemudian dilanjutkan pengalaman positif bagi para orang tua dan juga anak mereka. Namun,
pembelajaran berada Jakarta, dengan wawancara terdapat beberapa orang tua menyimpulkan bahwa pembelajaran daring
daring selama Jawa Barat, melalui aplikasi tidak cocok untuk anak yang memiliki disabilitas tertentu
pandemi COVID- Jawa Tengah, Whatsapp
19 Yogyakarta
serta Jawa
Timur.
Apriyani Program parental Partisipan Metode deskriptif Hasil: program yang dibuat dapat meningkatkan self-efficacy orang tua
& self-efficacy pada sejumlah 25 kualitatif yang berfokus dalam memberikan layanan dan pembelajaran pada anaknya yang
Rochyad orang tua dalam orang tua yang pada program untuk tunagrahita pada masa pandemic.
i (2020) pembelajaran bagi tersebar di tiga meningkatkan parental
anak tunagrahita sekolah SLB di self-efficacy
di masa pandemic. Jakarta Selatan
71
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
72

Rizkiani Persepsi Orang Tua Partisipan Metode: deskriptif Hasil: Orang tua memilki persepsi yang baik tentang pembelajaran
& Efendi Anak Berkebutuhan sejumlah 25 kuantitatif dengan daring seperti: mencegah penyebaran virus Covid-19, memiliki banyak
(2020) Khusus Tentang orang tua anak teknik pengumpulan waktu berkumpul bersama keluarga, mempererat hubungan orang tua
Pembelajaran Daring berkebutuhan data berupa dengan anak, melatih kesabaran orang tua, memberikan ilmu baru
Pada Masa Pandemi khusus yang menyebarkan angket. terutama dalam penggunaan teknologi, dan melatih kreativitas orang
Covid-19 Se- tersebar di kota Analisis teknik tua.
Kecamatan Kota tangah. perhitungan persentase
Tangah
Ramadh Persepsi orang tua Partisipan Metode: kualiatif, Hasil: Terdapat empat tema : 1) cara guru dan orangtua dalam
ani & dan guru terhadap sejumlah satu dengan teknik pembelajaran selama COVID-19 pada anak yang berkebutuhan khusus
Supena pembelajaran masa orang tua dari triangulasi, ganguan berbicara. 2) Hambatan orangtua dan guru menghadapi
(2021). pandemic covid 19 anak speech pengumpulan data: COVID-19 pada anak dengan ganguan berbicara. 3) Persepsi orangtua
pada anak speech disorders. observasi dan dan guru untuk memberikan aktivitas belajar pada anak pada ganguan
disorder usia 8 tahun wawancara. berbicara. 4) Dukungan apa yang dibutuhkan anak dengan ganguan
di Madrasah berbicara saat COVID-19.
Ibtidaiyah
73

CONNECT ATAU DICONNECT?: AKTIVITAS LITERASI


KELUARGA SEBAGAI SARANA PENGASUHAN UNTUK
MEMPERKUAT KOMUNIKASI KELUARGA
Dr. Ermida Simanjuntak, M.Sc., M.Psi., Psikolog
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
[email protected]

A. Pendahuluan

Pengasuhan (parenting) merupakan salah satu faktor penting


yang berpengaruh pada perkembangan individu (Plunkett et al.,
2007; Reckmeyer & Robison, 2016). Keluarga terutama orang tua
merupakan model yang menjadi acuan bagi anak untuk mengadopsi
perilaku yang sehat secara mental serta menjadi pelindung bagi anak
untuk mencegah munculnya perilaku yang bermasalah (Morton et
al., 2010). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pengasuhan
dapat mempengaruhi kesehatan mental, harga diri serta kemampuan
individu dalam berelasi dengan orang lain (Cai et al., 2013; Morton
et al., 2010).
Pengasuhan didefinisikan sebagai cara orang tua dalam
berinteraksi serta berkomunikasi dengan anak yang mengandung
nilai-nilai (values), sikap dan ekspresi verbal serta non-verbal yang
konsisten dalam segala situasi (Morton et al., 2010; Santrock, 2011).
Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua pada anak akan
menggambarkan sikap orang tua pada anak sehingga menciptakan
iklim emosi tertentu saat orang tua mengekspresikan perilakunya
74

pada anak (Arranz Freijo & Rodrigo López, 2018). Merujuk pada
definisi ini maka pengasuhan yang positif akan menciptakan iklim
emosi yang positif dalam interaksi orang tua dengan anak. Iklim
emosi yang positif dalam relasi orang tua dengan anak terbukti
akan meningkatkan kemampuan adaptasi anak pada lingkungan
sekitarnya (Stallman & Ralph, 2007).
Berkaitan dengan pengasuhan maka selalu mengacu pada relasi
anak dan orang tua (Lakind & Atkins, 2018; Santrock, 2011; Teubert
& Pinquart, 2011). Salah satu sarana untuk menciptakan relasi yang
positif serta meningkatkan kemampuan anak baik secara kognitif
maupun emosi dapat dilakukan melalui literasi (Dolezal-Sams et
al., 2009). Literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk
memahami wacana baik secara sosial dan kontekstual dengan tepat
(Loring, 2017). Pengertian ini mengandung arti yang luas sebab literasi
tidak hanya sebatas memahami bahan bacaan belaka tetapi juga
kemampuan untuk memahami konteks, nilai-nilai serta keyakinan-
keyakinan (beliefs) yang tampak secara jelas maupun implisit pada
apa yang dibaca (Loring, 2017). Adanya kaitan antara literasi dengan
nilai-nilai maupun keyakinan-keyakinan ini akan dapat terpantau
apabila dalam setiap keluarga memiliki kemampuan literasi keluarga
yang kuat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa program literasi
keluarga dapat meningkatkan iklim emosi yang positif antara orang
tua dengan anak sehingga dapat meningkatkan kualitas hubungan
anak dengan orang tuanya (Anderson et al., 2017; Barnes & Potter,
2021; Dolezal-Sams et al., 2009; Hannon, 2003). Literasi keluarga
secara tidak langsung dapat menjadi sarana bagi orang tua untuk
melakukan pengasuhan serta meningkatkan kualitas komunikasi
antara orang tua dengan anak (Jones et al., 2012; Rosales & Blanche-T,
2021). Literasi keluarga merupakan salah satu hal penting yang perlu
dikembangkan oleh setiap keluarga terutama pada masa teknologi
75

saat ini ketika anak lebih banyak menghabiskan waktu sendirian


dengan gadget dan alat-alat teknologi. Literasi keluarga dapat menjadi
sarana bagi orang tua untuk meminimalisir dampak buruk pengaruh
digital yang cukup kuat pada generasi muda saat ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Turkle (2011) menyebutkan
bahwa generasi muda saat ini dikenal dengan istilah “the tethered
self” yang menggambarkan kondisi diri generasi muda yang sangat
dipengaruhi dengan keberadaan internet. Pada remaja sebagian besar
waktu dari bangun tidur di pagi hari sampai tidur kembali dihabiskan
dengan menggunakan internet dan gadget sehingga komunikasi dan
koneksi dengan keluarga menjadi minim. Remaja bahkan lebih suka
berkomunikasi dengan menggunakan teks menggunakan gadget
dibandingkan berbicara langsung dengan orang lain (Turkle, 2011).
Dengan kondisi ini maka keluarga memiliki peran yang cukup
penting untuk dapat mengembangkan anak menjadi pribadi yang
sehat secara mental meskipun hidup dalam masa digital. Literasi
keluarga dapat menjadi salah satu solusi untuk menyeimbangkan
pengaruh-pengaruh digital pada anak.
Literasi mendapatkan perhatian yang cukup besar dari Pemerintah
Indonesia dengan adanya Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang
dicanangkan sejak tahun 2016 (Kemdikbud, 2016). Pada GKN ini juga
memiliki beberapa cabang-cabang gerakan literasi yang bertujuan
untuk meningkatkan literasi pada masyarakat. Salah satu cabang
gerakan literasi yang dikembangkan oleh pemerintah adalah gerakan
literasi keluarga yang diprakarsai oleh Ditjen PAUD Dikmas untuk
dapat meningkatkan minat baca pada anak serta melibatkan keluarga
untuk mencapai tujuan tersebut (Kemdikbud, 2016). Literasi keluarga
dapat digunakan sebagai sarana strategi pendidikan bagi anak dengan
melibatkan orang tua di dalam prosesnya (Fauziyyah et al., 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Inten (2017) menyebutkan bahwa
sebagian besar orang tua tidak memiliki waktu untuk terlibat dalam
76

kegiatan literasi anak sehingga hal ini menyebabkan kemampuan


literasi anak juga tidak berkembang dengan optimal. Seperti yang
dikemukakan oleh Loring (2017) bahwa literasi pada individu bukan
hanya sebatas pengertian membaca dan menulis namun di dalam
literasi ada penanaman nilai-nilai (values) maupun keyakinan-
keyakinan (beliefs) yang dapat ditransfer pada pihak-pihak terlibat
dalam kegiatan literasi. Berkaitan dengan literasi keluarga maka
minimnya keterlibatan orang tua pada literasi dapat merupakan
salah satu indikasi minimnya saat-saat penanaman nilai-nilai (values)
serta keyakinan-keyakinan (beliefs) yang dapat mengembangkan anak
menjadi pribadi yang sehat secara mental. Penelitian-penelitian terkait
literasi keluarga menunjukkan bahwa literasi keluarga dapat berguna
sebagai sarana untuk menjalin interaksi dan komunikasi antara orang
tua dan anak sehingga merupakan salah satu sarana pengasuhan yang
dapat digunakan orang tua untuk mengoptimalkan potensi-potensi
yang dimiliki oleh anak. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan
gambaran melalui telaah literatur penelitian-penelitian pada literasi
keluarga yang menunjukkan bahwa literasi keluarga dapat menjadi
salah satu kekuatan bagi keluarga untuk membangun komunikasi dan
interaksi yang kuat sekaligus menjadi sarana pengasuhan (parenting)
antara orang tua dengan anak.

B. Tinjauan Teori: Pengasuhan (Parenting) dan Literasi Keluarga

Penelitian-penelitian mengenai literasi umumnya berfokus pada


kemampuan literasi yang dimiliki oleh individu baik pada setting
sekolah maupun keluarga (Mongillo, 2017; Özkubat & Ulutaş, 2018;
Saracho, 2017). Namun penelitian-penelitian lain juga mengungkapkan
sisi-sisi lain dari literasi keluarga yang juga mengandung adanya
unsur pengasuhan (parenting) yang dilakukan oleh orang tua kepada
anak (Anderson et al., 2017; Dolezal-Sams et al., 2009; Hébert et al.,
2020; Jones et al., 2012; Stickel et al., 2021). Interaksi yang terjadi antara
orang tua dengan anak saat terlibat aktivitas literasi memperkuat
77

komunikasi serta interaksi sehingga iklim emosi dalam pengasuhan


orang tua terhadap anak bernuansa positif.
Penelitian-penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Penelitian Stickel et al., (2021)
Penelitian ini dilakukan pada 11 orang ayah yang menjadi
narapidana di penjara negara. Posisi sebagai narapidana dengan
masa hukuman yang cukup lama menyebabkan para ayah ini
tidak dapat berkontak langsung dengan anak mereka. Para ayah
diminta membuat buku kliping (scrapbook) yang berisi surat, foto,
gambar, halaman berwarna serta memilih buku cerita untuk
anak. Program ini diprakarsai oleh kelompok Read to Your Child/
Grandchild (RYCG) di penjara negara Pennsylvania (Stickel et al.,
2021). Para ayah diminta untuk membacakan buku cerita pada
anaknya kemudian buku dan video tersebut akan dikirimkan
kepada anak-anak mereka. Para ayah juga menambahkan pesan
kepada anak-anak mereka dan juga kepada ibu dari anak-anak
tersebut. Bahan bacaan yang dibacakan dapat berasal dari buku
cerita atau buku kliping yang telah disiapkan oleh para ayah
tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjalin komunikasi
antara ayah kepada anak meskipun posisi ayah masih menjalani
hukuman di penjara. Para ayah merasa mendapatkan kesempatan
untuk dapat melakukan kontak dan komunikasi dengan anak-
anak mereka serta memberikan kesempatan pada para ayah di
penjara untuk merasa “hadir” bagi anak-anak mereka. Video
membacakan buku pada anak ini juga memberi kesempatan
pada anak untuk dapat merasakan keberadaan ayah mereka
meskipun berbeda jarak dan adanya keterbatasan visitasi akibat
posisi ayah sebagai narapidana (Stickel et al., 2021).
78

2. Penelitian Hébert et al. (2020)


Penelitian Hébert et al. (2020) ini dilakukan pada 9 orang
tua beserta anak-anak mereka pada masing-masing keluarga.
Penelitian ini memberikan kesempatan pada keluarga untuk
membuat proyek literasi keluarga berupa buku cerita digital
(digital story telling). Bagian awal di pelatihan ini berisi materi
untuk mengajarkan keterampilan digital kepada orang tua.
Setelah itu, pada 5 minggu berikutnya fokus pelatihan adalah
memfasilitasi orang tua dan anak untuk menciptakan buku cerita
digital. Buku cerita digital ini dikerjakan secara tim oleh orang
tua dan anak sehingga memungkinkan orang tua dan anak saling
berkomunikasi serta memberikan kesempatan pengasuhan bagi
orang tua.
Hasil penelitian membuktikan bahwa tercipta komunikasi
yang kolaboratif antara orang tua dan anak saat mengerjakan
proyek buku cerita digital ini. Orang tua dan anak saling berbagi
ide saat keduanya duduk bersama dan menggunakan mouse
komputer untuk menciptakan alur cerita buku. Hal ini juga
memberikan kesempatan pada anak untuk dapat melihat orang
tua dari sisi yang lain. Selain itu pelatihan ini juga memberi
kesempatan kepada orang tua dan anak untuk membangun
kedekatan serta komunikasi yang intensif bagi kedua belah
pihak. Dengan demikian, proyek literasi keluarga ini memberi
kesempatan kepada keluarga yang terlibat pada proyek buku
cerita digital di penelitian ini untuk membangun komunikasi
yang positif di dalam keluarga.
3. Penelitian Prins (2017)
Penelitian ini membahas mengenai literasi keluarga yang
terwujud dalam digital storytelling (DST) berupa foto, grafis,
video klip, teks, narasi verbal, animasi, musik dan efek suara
yang bertujuan untuk membuat sebuah proyek DST pada sebuah
79

keluarga (Prins, 2017). Proyek ini diprakarsai oleh Clare Family


Learning Project (CFLP) di Irlandia yang merupakan bagian dari
Clare Adult Basic Education Service (CABES). Partisipan pada
penelitian ini berjumlah 12 orang yang mengikuti sesi DST
termasuk 8 orang tua yang dilakukan di laboratorium sekolah.
Sebagian besar partisipan tidak memiliki kemampuan digital yang
cukup memadai dan mengembangkan kemampuan digitalnya
ketika mengikuti pelatihan ini. Waktu pembuatan proyek DST
adalah 9 minggu dengan 2 jam per sesi yang diadakan dari
April – Juni 2014. Pada sesi tutorial, partisipan memahami cerita
digital serta melakukan telaah pada DST yang terdapat di media
sosial seperti Youtube dan situs-situs internet. Partisipan juga
belajar untuk menggunakan aplikasi-aplikasi komputer yang
bermanfaat untuk pembuatan DST seperti aplikasi Movie Maker
dan Zimmer Twins.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
penggunaan teknologi pada partisipan terutama partisipan
orang tua meningkat (Prins, 2017). Partisipan dapat menciptakan
DST sesuai dengan ide-ide yang mereka miliki. Hasil dari DST
ini dapat mengembangkan kemampuan orang tua untuk dapat
menjalin interaksi bersama anak. Melalui pelatihan ini orang tua
juga belajar mengemukakan ide-ide kreatif dalam bentuk digital.
4. Penelitian Jarrett et al. (2015)
Penelitian ini didasari asumsi bahwa status sosial ekonomi
serta situasi keluarga berpengaruh pada kemampuan literasi
pada anak (Jarrett et al., 2015). Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi praktek-praktek literasi yang dijalankan keluarga
di rumah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan jumlah responden sebanyak 20 orang dengan karakteristik
yaitu ibu yang berasal dari etnis Amerika – Afrika yang memiliki
status ekonomi menengah ke bawah serta memiliki anak yang
akan masuk TK.
80

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan membaca


anak prasekolah berkembang pada setting rumah. Para ibu
menggunakan waktu di rumah untuk dapat melatih kemampuan
anak dalam membaca. Bentuk-bentuk latihan literasi yang
digunakan para ibu adalah membacakan buku kepada anak,
mengajak anak mengenali huruf, kemampuan mengenali huruf
dan kata, kosakata, ejaan dan menuliskan nama anak. Aktivitas
literasi ini tidak hanya dilakukan oleh ibu tetapi anggota keluarga
yang lain seperti suami, kakek-nenek, saudara, paman-bibi dari
anak. Para ibu juga menggunakan mimik dan berakting ketika
membacakan buku kepada anak mereka. Aktivitas literasi ini
juga membantu terbentuknya kemampuan resiliensi pada anak
sehingga dapat meminimalkan resiko yang mungkin akan terjadi
pada anak-anak dengan status ekonomi menengah ke bawah
(Jarrett et al., 2015). Aktivitas membaca buku bersama maupun
aktivitas-aktivitas literasi lainnya seperti yang digambarkan
pada penelitian ini akan menguatkan komunikasi yang dibangun
antara ibu dengan anak. Dengan demikian anak akan merasa
mendapatkan dukungan dari keluarga saat memasuki masa TK.
5. Penelitian Kim et al. (2021)
Penelitian ini diikuti oleh 5 keluarga yang akan terlibat
pada kegiatan pembuatan buku cerita keluarga (family story
book). Setiap keluarga yang menjadi partisipan memiliki seorang
anak kelas 4 SD dan berasal dari keluarga multi bahasa (Kim
et al., 2021). Proyek buku cerita keluarga pada penelitian ini
dibangun dari ide-ide pengalaman sehari-hari, sejarah/kisah
keluarga dan aktivitas sehari-hari yang dijalani oleh partisipan.
Sebelum pelatihan dilakukan beberapa keluarga beranggapan
bahwa kemampuan literasi dilatih hanya di sekolah dan tidak
di rumah. Hal ini mendorong dilakukannya penelitian ini yang
bertujuan agar setiap keluarga dapat menggunakan teknologi
dalam praktek-praktek literasi di rumah. Penelitian ini juga
81

mengungkapkan adanya translanguaging yaitu kemampuan untuk


menduplikasi informasi secara utuh kepada 2 pendengar dengan
bahasa yang berbeda pada subjek penelitian. Pelatihan literasi ini
dilakukan oleh partisipan di ruang serba guna sekolah bersama
anak-anak mereka. Situasi pelatihan di ruang serbaguna tersebut
membuat partisipan keluarga merasakan atmosfir keterbukaan.
Selama pelatihan ini terdapat diskusi ide-ide menarik dalam
partisipan keluarga (orang tua dengan anak) untuk membahas
proyek buku cerita ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proyek buku keluarga
ini mampu menciptakan interaksi yang dinamis antar keluarga.
Selain itu muncul translanguaging ketika masing-masing anggota
keluarga yang terlibat dapat mengkomunikasikan ide serta
menuliskan ide-ide tersebut dalam multi bahasa (Kim et al.,
2021). Contoh interaksi yang terbangun antara orang tua dengan
anak dapat terlihat pada diskusi yang terjadi antara ibu dengan
anak laki-lakinya saat membahas mengenai bentuk dinosaurus
sebagai bagian dari isi cerita buku. Selain itu, penyampaian
dan diskusi ide ini tidak hanya sebatas pada bahasa ibu tetapi
juga menggunakan bahasa lain yang digunakan oleh anak di
sekolah. Ide-ide yang muncul kemudian dituliskan sehingga
menjadi isi cerita pada proyek buku keluarga ini. Merujuk dari
hasil penelitian ini maka terlihat bahwa literasi keluarga dapat
melekatkan komunikasi antara orang tua dengan anak serta
meningkatkan kemampuan literasi pada anak.
6. Penelitian Dolezal-Sams et al. (2009)
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan aspek fisik,
sosial dan simbolik saat proses membaca buku di rumah pada
keluarga dengan anak berkebutuhan khusus (Dolezal-Sams
et al., 2009). Penelitian ini dilakukan pada 6 keluarga di East
Tennessee yang memiliki anak berkebutuhan khusus yang berusia
82

di bawah 5 tahun. Para partisipan (orang tua) melaporkan bahwa


mereka membacakan buku kepada anak-anak mereka rata-
rata sekali atau tiga kali dalam seminggu. Kondisi keluarga
dengan anak berkebutuhan khusus ini membuat keluarga banyak
menghabiskan waktu pula dengan kegiatan terapi bagi anak serta
orang tua yang harus bekerja. Hal ini menyebabkan keluarga tidak
memiliki waktu yang banyak untuk terlibat pada aktivitas literasi
keluarga seperti menulis, membaca dan pergi ke perpustakaan
bersama anak. Pada penelitian ini orang tua diminta membacakan
buku cerita kepada anak selama 10 – 15 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan
oleh orang tua dengan anak saat membaca buku mampu
menciptakan hubungan afeksi yang positif antara orang tua dengan
anak (Dolezal-Sams et al., 2009). Peneliti menekankan bahwa
kegiatan literasi keluarga ini bukan hanya sekedar meningkatkan
kemampuan literasi pada anak tetapi juga meningkatkan kualitas
interaksi yang positif antara orang tua dengan anak.
Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa literasi
keluarga dapat menciptakan relasi yang positif bagi orang tua
dan anak (Dolezal-Sams et al., 2009; Hébert et al., 2020; Jarrett et
al., 2015; Kim et al., 2021; Prins, 2017; Stickel et al., 2021). Selain
itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa proses pengasuhan
(parenting) dapat dilakukan bersamaan dengan aktivitas literasi
keluarga. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Sénéchal & Young (2008) bahwa aktivitas literasi keluarga
berhubungan dengan pengasuhan (parenting). Keterlibatan orang
tua pada pengasuhan anak sebagian besar dilakukan di rumah
(home-based involvement) yaitu ketika orang tua mendorong belajar
anak pada setting di rumah dan memberi kesempatan-kesempatan
belajar pada anak termasuk aktivitas literasi keluarga. Aktivitas-
aktivitas literasi keluarga tersebut meliputi joint book reading
83

(orang tua mendengarkan anak membaca buku), paired reading


(orang tua dan anak membaca buku secara bersama-sama) dan
aktivitas orang tua membacakan buku bagi anak. Aktivitas-
aktivitas tersebut akan membangun interaksi yang positif antara
orang tua dengan anak sehingga akan tercipta pengasuhan yang
positif yang dilakukan orang tua kepada anak.

C. Rekomendasi

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan di atas


terlihat bahwa aktivitas literasi keluarga dapat menghubungkan orang
tua dengan anak secara positif (Dolezal-Sams et al., 2009; Hébert et
al., 2020; Jarrett et al., 2015; Kim et al., 2021; Prins, 2017; Stickel et al.,
2021). Aktivitas literasi keluarga dapat menjadi sarana bagi orang
tua untuk dapat memberikan iklim pengasuhan yang positif bagi
anak. Saracho (2017) menyebutkan bahwa literasi merupakan sebuah
praktek sosial yang dapat dijalankan di dalam keluarga dan dapat
menjadi sarana bagi anak untuk belajar mengenai literasi maupun
belajar mengenai aspek sosial. Merujuk pada hal ini maka aktivitas
literasi keluarga perlu digiatkan sebagai sarana untuk menciptakan
pengasuhan yang positif. Berdasarkan penelitian-penelitian yang
telah dibahas sebelumnya maka aktivitas-aktivitas literasi keluarga
yang dapat dilakukan antara lain :
1. Orang tua dan anak terlibat dalam aktivitas membaca.
Pada aktivitas ini orang tua dapat membacakan cerita pada
anak, membaca bersama-sama dengan anak (paired reading) dan
mendengarkan anak saat membaca buku (joint book reading).
2. Orang tua dan anak menciptakan sesuatu yang berhubungan
dengan literasi.
Selain aktivitas membaca bersama anak lewat buku cerita yang
telah tersedia, orang tua bersama anak juga dapat menciptakan
sesuatu (proyek bersama) yang dapat dijadikan sebagai bahan
84

bacaan, misalnya : buku cerita digital atau buku cerita anak


dengan bahan cerita yang berasal dari kebiasaan keluarga,
aktivitas keluarga dan budaya yang ada dalam keluarga.
Aktivitas-aktivitas literasi keluarga akan mendorong orang tua
dan anak memiliki waktu bersama sehingga dalam kondisi ini maka
pengasuhan yang dilakukan orang tua kepada anak akan bernuansa
positif. Dengan demikian, aktivitas literasi keluarga adalah hal yang
dapat direkomendasikan bagi orang tua dan anak untuk menciptakan
suasana pengasuhan yang positif.

C. Kesimpulan

Aktivitas literasi keluarga dapat menjadi sarana untuk


menciptakan iklim pengasuhan positif yang dilakukan orang tua
kepada anak. Pada aktivitas literasi seperti orang tua membacakan
buku bagi anak, aktivitas membaca bersama anak (paired reading)
maupun aktivitas menciptakan sebuah karya literasi keluarga seperti
buku kliping, buku cerita keluarga tentu akan membantu terbentuknya
interaksi komunikasi antara orang tua dengan anak. Aktivitas literasi
keluarga ini merupakan salah satu alternatif pilihan cara bagi keluarga
untuk membangun iklim pengasuhan yang positif dan mendorong
anak untuk dapat memaksimalkan potensi-potensinya.
85

Daftar Pustaka

Anderson, J., Anderson, A., & Sadiq, A. (2017). Family literacy


programmes and young children’s language and literacy
development: paying attention to families’ home language.
Early Child Development and Care, 187(3–4), 644–654. https://
doi.org/10.1080/03004430.2016.1211119
Arranz Freijo, E. B., & Rodrigo López, M. J. (2018). Positive parenting in
Spain: introduction to the special issue. Early Child Development
and Care, 188(11), 1503–1513. https://doi.org/10.1080/030044
30.2018.1501565
Barnes, R., & Potter, A. (2021). Sharenting and parents’ digital literacy:
an agenda for future research. Communication Research and
Practice, 7(1), 6–20. https://doi.org/10.1080/22041451.2020.1
847819
Cai, M., Hardy, S. A., Olsen, J. A., Nelson, D. A., & Yamawaki, N.
(2013). Adolescent–parent attachment as a mediator of relations
between parenting and adolescent social behavior and wellbeing
in China. International Journal of Psychology, 48(6), 1185–1190.
https://doi.org/10.1080/00207594.2013.774091
Dolezal-Sams, J. M., Nordquist, V. M., & Twardosz, S. (2009). Home
Environment and Family Resources to Support Literacy
Interaction: Examples From Families of Children With
Disabilities. Early Education & Development, 20(4), 603–630.
https://doi.org/10.1080/10409280802356661
Fauziyyah, D. F., Sunendar, D., Damaianti, V. S., Pasundan, U.,
Indonesia, U. P., & Indonesia, U. P. (2020). Strategi Pendidikan
Literasi Keluarga. In Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa, Sastra
Indonesia dan Daerah (Vol. 10, Issue 2, pp. 61–70).
Hannon, P. (2003). Family literacy programmes. In N. Hall, J. Larson,
& J. Marsh (Eds.), Handbook of early childhood literacy (pp. 99–111).
Sage.
86

Hébert, C., Thumlert, K., & Jenson, J. (2020). #Digital parents:


Intergenerational learning through a digital literacy workshop.
In Journal of Research on Technology in Education. https://doi.or
g/10.1080/15391523.2020.1809034
Inten, D. N. (2017). Peran Keluarga dalam Menanamkan Literasi Dini
pada Anak. GOLDEN AGE: JURNAL PENDIDIKAN ANAK USIA
DINI, 1(1). https://doi.org/10.29313/ga.v1i1.2689
Jarrett, R. L., Hamilton, M. B., & Coba-Rodriguez, S. (2015). “So we
would all help pitch in:” The family literacy practices of low-
income African American mothers of preschoolers. In Journal
of Communication Disorders (Vol. 57, pp. 81–93). https://doi.
org/10.1016/j.jcomdis.2015.07.003
Jones, H., Johnson, P., & Gruszczynska, A. (2012). Digital literacy:
digital maturity or digital bravery? Enhancing Learning in the Social
Sciences, 4(2), 1–3. https://doi.org/10.11120/elss.2012.04020001
Kemdikbud. (2016). Kilasan Gerakan Literasi Nasional. https://gln.
kemdikbud.go.id/glnsite/tentang-gln/
Kim, S., Dorner, L. M., & Song, K. H. (2021). Conceptualizing
community translanguaging through a family literacy project.
International Multilingual Research Journal, 1–24. https://doi.or
g/10.1080/19313152.2021.1889112
Lakind, D., & Atkins, M. S. (2018). Promoting positive parenting for
families in poverty: New directions for improved reach and
engagement. Children and Youth Services Review, 89, 34–42.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2018.04.019
Loring, A. (2017). Literacy in Citizenship Preparatory Classes. Journal
of Language, Identity & Education, 16(3), 172–188. https://doi.or
g/10.1080/15348458.2017.1306377
Mongillo, M. B. (2017). Creating mathematicians and scientists:
disciplinary literacy in the early childhood classroom. Early
Child Development and Care, 187(3–4), 331–341. https://doi.org
/10.1080/03004430.2016.1236090
87

Morton, K. L., Barling, J., Rhodes, R. E., Mâsse, L. C., Zumbo, B.


D., & Beauchamp, M. R. (2010). Extending transformational
leadership theory to parenting and adolescent health behaviours:
an integrative and theoretical review. Health Psychology Review,
4(2), 128–157. https://doi.org/10.1080/17437191003717489
Özkubat, S., & Ulutaş, İ. (2018). The effect of the visual awareness
education programme on the visual literacy of children aged
5-6. Educational Studies, 44(3), 313–325. https://doi.org/10.10
80/03055698.2017.1373632
Plunkett, S. W., Williams, S. M., Schock, A. M., & Sands, T. (2007).
Parenting and Adolescent Self-Esteem in Latino Intact Families,
Stepfather Families, and Single-Mother Families. Journal of
Divorce & Remarriage, 47(3–4), 1–20. https://doi.org/10.1300/
J087v47n03_01
Prins, E. (2017). Digital storytelling in adult education and family
literacy: a case study from rural Ireland. Learning, Media and
Technology, 42(3), 308–323. https://doi.org/10.1080/1743988
4.2016.1154075
Reckmeyer, M., & Robison, J. (2016). Strengths Based Parenting
Developing Your Children’s Innate Talents. Gallup, Inc.
Rosales, A., & Blanche-T, D. (2021). Explicit and Implicit
Intergenerational Digital Literacy Dynamics: How Families
Contribute to Overcome the Digital Divide of Grandmothers.
Journal of Intergenerational Relationships, 1–19. https://doi.org
/10.1080/15350770.2021.1921651
Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (11th editi). McGraw-
Hill Publishing Company.
Saracho, O. N. (2017). Literacy in the twenty-first century: children,
families and policy. In Early Child Development and Care (Vol.
187, Issues 3–4, pp. 630–643). https://doi.org/10.1080/03004
430.2016.1261513
Sénéchal, M., & Young, L. (2008). The Effect of Family Literacy
88

Interventions on Children’s Acquisition of Reading


From Kindergarten to Grade 3: A Meta-Analytic Review.
Review of Educational Research, 78(4), 880–907. https://doi.
org/10.3102/0034654308320319
Stallman, H. M., & Ralph, A. (2007). Reducing risk factors for adolescent
behavioural and emotional problems: A pilot randomised
controlled trial of a self-administered parenting intervention.
Australian E-Journal for the Advancement of Mental Health, 6(2),
125–137. https://doi.org/10.5172/jamh.6.2.125
Stickel, T., Prins, E., & Kaiper-Marquez, A. (2021). ‘The video is an
upgrade from them all’: how incarcerated fathers view the
affordances of video in a family literacy programme. Learning,
Media and Technology, 46(2), 174–189. https://doi.org/10.1080
/17439884.2021.1888117
Teubert, D., & Pinquart, M. (2011). The link between coparenting,
parenting, and adolescent life satisfaction. Family Science, 2(4),
221–229. https://doi.org/10.1080/19424620.2012.666655
Turkle, S. (2011). The Tethered Self: Technology Reinvents Intimacy
and Solitude. Continuing Higher Education Review, 75.
89

KECANDUAN GAME ONLINE DAN


KEBERFUNGSIAN KELUARGA
Onny Fransinata Anggara, M.Psi., Psikolog
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]

A. Pendahuluan

Dalam beberapa tahun ini, permainan elektronik berupa


permainan game online mengalami kemajuan yang sangat pesat ini
bisa dilihat dari semakin banyaknya warnet ataupun game center
yang bermunculan bukan hanya di kota-kota besar melainkan juga
di kota-kota kecil. Yang mendominasi memainkan game online adalah
kalangan pelajar, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA bahkan dari
kalangan mahasiswa banyak yang bermain. Hal ini dapat diketahui
dari banyaknya game center dan juga genre game yang paling banyak
didownload melalui google play store, yaitu Free Fire, PUBG, dan
juga Mobile Legend.
Perkembangan teknologi di Era digital sekarang ini sangatlah
cepat, berbagai akselarasi teknologi dapat kita peroleh dengan
mudahnya. Seiring dengan perkembangan zaman dan pesatnya
perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi antar manusia
dapat dilakukan dengan gadget melalui berbagai platform atau
aplikasi android yang disediakan oleh para Developer. Adapun
salah satu aplikasi yang paling banyak didownload oleh pengguna
90

smartphone dari segala rentang usia ada aplikasi untuk sarana


penyegaran, seperti aplikasi game online.
Game online sangat berkembang pesat akhir-akhir ini, semakin
lama, permainannya semakin seru dan menyenangkan. Mulai dari
tampilan, gaya bermain, grafis permainan, resolusi gambar dan lain
sebagainya. Tak kalah juga bervarisasinya tipe permainan seperti
permainan perang, petualangan, perkelahian dan game online jenis
lainnya yang membuat menariknya permainan. Semakin menarik
suatu permainan maka semakin banyak orang yang memainkan
game online tersebut.
Salah satu kelompok yang paling sering memainkan game
online adalah dari kalangan anak dan pelajar. Padahal pada
beberapa situasi, anak yang sering memainkan suatu game online
akan menyebabkan munculnya potensi untuk menjadi ketagihan.
Ketagihannya memainkan game online akan berdampak baginya,
terutama dari segi akademik karena masih dalam usia sekolah. Hal
ini didukung dengan mudahnya mengakses berbagai aplikasi game
melalui aplikasi android yang tentunya sudah dimiliki oleh semua
kalangan dan kelompok masyarakat. Maka tak heran jika banyak
anak remaja yang menyisihkan uang sakunya untuk membeli voucher
game untuk dapat bermain game online berjam-jam hingga lama-
kelamaan kecanduan game online. Akibat hal ini anak-anak dan remaja
pun banyak melupakan hal-hal yang lebih penting seperti belajar,
beribadah, bahkan kesehatan pun dilupakan.
Game online ini dapat mempengaruhi pada kepercayaan diri para
pemainnya. Chen dan Chang (2008:45) dalam Asian Journal of Health
and Information Sciences, menyebutkan tentang aspek kecanduan game
online salah satunya adalah compulsion (kompulsif/dorongan untuk
melakukan secara terus menerus). Didalam game misalnya pada games
mobile legend dilengkapi oleh berbagai mode, salah satunya adalah
mode ranked. Dimana semakin tinggi tingkatan pada mode ranked,
91

maka pemain tersebut dianggap lebih hebat dalam bermain game


mobile legend ini. Sehingga dapat meningkatkan rasa percaya dirinya.
Namun sebaliknya yang terjadi pada pemain yang mempunyai
tingkatan ranked lebih rendah akan merasa kurang percaya diri karena
dianggap bukan pemain yang hebat.
Semakin seorang pemain ingin dianggap hebat dihadapan teman-
temannya, hal ini yang mendorong untuk melakukannya secara terus-
menerus. Tetapi justru hubungan dengan keluarga dan masyarakat
semakin kurang baik. Hal ini dikarenakan seorang pemain tersebut
lebih sering menyendiri dan menghindar dari lingkungan sekitar
untuk memainkan game demi mencapai suatu tujuan dari game
tersebut.
Anak yang gemar bermain video game adalah anak yang sangat
menyukai tantangan. Anak-anak ini cenderung tidak menyukai
rangsangan yang daya tariknya lemah, monoton, tidak menantang,
dan lamban. Hal ini setidaknya berakibat pada proses belajar akademis.
Suasana kelas seolah-olah merupakan penjara bagi jiwanya. Tubuhnya
ada di kelas tetapi pikiran, rasa penasaran, dan keinginannya ada
di video game. Sepertinya sedang belajar, tetapi pikirannya sibuk
mengolah bayang-bayang game yang mendebarkan. Kadangkala
anak juga jadi malas belajar atau sering membolos sekolah hanya
untuk bermain game.
Young (1998) mendefinisikan kecanduan games sebagaimana
kriteria dari kelompok patologi perjudian, yaitu gangguan kontrol-
impuls yang tidak melibatkan zat yang memabukkan. Kecanduan
games dikonseptualisasikan sebagai kecanduan perilaku yang
melibatkan penggunaan berlebihan aplikasi games online dan mengarah
pada dampak merugikan pada kehidupan individu tersebut (Kuss
& Griffiths, 2015). Secara umum, kecanduan games dikelompokkan
sebagai kecanduan teknologi (Widyanto & Griffiths, 2007), yaitu
kecanduan non-kimia (perilaku) yang melibatkan interaksi mesin-
92

manusia. Kecanduan games paling tidak memenuhi komponen inti


kecanduan yaitu, punya arti penting (salience), modifikasi mood,
toleransi, penarikan diri (withdrawal), konflik, dan kambuh (relapse)
(Widyanto & G riffiths, 2007).
Ada banyak istilah yang terkait dengan kecanduan internet yang
seringkali digunakan secara silih berganti . Istilah-istilah tersebut
antara lain Internet abuse, games dependency, compulsive gadget use,
Games pathological dan problematic Internet use (Morahan Martin, 2008).
Meskipun demikian semua istilah tersebut hampir sama merujuk
kepada pola penggunaan internet berlebihan yang mengakibatkan
gangguan dalam kehidupan seseorang tetapi tidak menyiratkan proses
penyakit tertentu atau perilaku kecanduan (Morahan-Mar tin, 2008).
Kecanduan bermain games, dari berbagai penelitian, ditemukan
memiliki dampak dalam berbagai aspek kehidupan manusia mulai
dari masalah personal sampai dengan masalah interpersonal.
Individu yang kecanduan bermain games dilaporkan mengalami
kegagalan untuk berfungsi sebagaimana semestinya, misalkan
kesulitan dalam mengatur waktu (misalkan, mengabaikan tugas
sekolah atau pekerjaan), menjadi kurang tidur, dan kurang makan
(Brenner, 1997; Spada, 2014). Pada mahasiswa, kecanduan bermain
games berdampak pada permasalahan pendidikan, dari nilai yang
buruk, menunda menyelesaikan tugas-tugas kuliah, kurang mampu
melakukan manajemen waktu secara baik, memperoleh peringatan
untuk memperbaiki nilai agar tidak dikeluarkan dari universitas,
bahkan sudah dikeluarkan dari universitas (drop out) (Chou et al.,
2005).
Dampak negatif yang paling sering terjadi dengan kecanduan
bermain games terkait dengan interaksi sosial (Caplan & High, 2011).
Hal ini dapat dimaklumi karena bermain games dengan intensitas
tinggi seringkali difungsikan sebagai media untuk berinteraksi dengan
orang lain (Morahan-Martin, 2 008). Pecandu internet ditemukan
93

cenderung mengalami kesepian, hal ini disebabkan karena alokasi


waktu penggunaan gadget yang berlebihan mengurangi relasi dalam
dunia nyata (Morahan-Martin & Schumacher, 2003). Ketidakmampuan
untuk membangun relasi dengan orang lain dimungkinkan terjadi
karena pecandu game dikarakteristikkan dengan rendahnya efikasi
sosial (Iskender & Akin, 2010).
Keberfungsian keluarga dalam model McMaster (Epstein,
Baldwin, & Bishop, 1983) didefiniskan sebagai pembeda antara
keluarga yang sehat dan keluarga yang tidak sehat. Lebih lanjut,
keberfungsian keluarga dipandang sebagai sebuah konsep yang
multidimensional yaitu keluarga yang memiliki komunikasi terbuka
antar anggota keluarga, mampu untuk memecahkan permasalahan
yang terjadi, memiliki ketertarikan pada aktivitas keluarga dan dapat
merespon perasaan afektif pada anggota keluarga secara tepat, serta
memiliki kontrol perilaku yang jelas (Epstein, Bishop, & Levin, 1978;
Miller, Ryan, Keitner, Bishop, & Epstein, 2000).
Pendapat lain mengenai batasan keberfungsian keluarga
disampaikan oleh Beavers & Hampson (2000), yang mendefinisikan
keberfungsian keluarga sebagai konsep yang memiliki dua dimensi
yaitu kompetensi keluarga dan gaya keluarga. Kompetensi keluarga
berkaitan dengan struktur, ketersediaan informasi dan fleksibilitas
adaptif sistem keluarga, sedangkan gaya keluarga merujuk pada
gaya interaksi keluarga.
Kedua hal tersebut saling berimplikasi terhadap bagaimana
terbentuknya suatu pola kecanduan pada anak baik pada games online
atau kecanduan yang serupa dengan memenuhi kriteria yang ada.
Digitalisasi yang terjadi saat ini memiliki 2 sisi, yang satu memiliki
potensi yang luas untuk bereksplorasi dengan memaksimalkan
penggunaan teknologi namun disisi lain ada potensi penggunaan
fasilitas digital yang justru memberikan dampak dekonstruktif pada
potensi yang dimiliki oleh seseorang.
94

B. Tinjauan Teori

Fungsi keluarga dalam model McMaster (Epstein, Baldwin,


& Bishop, 1983) didefinisikan sebagai perbedaan antara keluarga
yang sehat dan tidak sehat. Selain itu, fungsi keluarga dianggap
sebagai konsep multi dimensi, yaitu anggota keluarga memiliki
cara komunikasi yang terbuka, dapat memecahkan masalah yang
terjadi, tertarik dengan kegiatan keluarga, dan dapat menanggapi
perasaan emosional anggota keluarga dengan tepat, dan memiliki
kontrol Perilaku yang baik (Epstein, Uskup, & Levin, 1978; Miller,
Ryan, Keitner, Uskup, & Epstein, 2000).
Beavers & Hampson (2000) mengemukakan pandangan lain
tentang keterbatasan fungsi keluarga, ia mendefinisikan fungsi
keluarga sebagai sebuah konsep dengan dua dimensi, yaitu
kemampuan keluarga dan gaya keluarga. Kemampuan keluarga
berkaitan dengan struktur sistem keluarga, ketersediaan informasi
dan fleksibilitas kemampuan beradaptasi, sedangkan gaya keluarga
mengacu pada cara keluarga berinteraksi.
Preechawong dkk. (2007) mendefinisikan fungsi keluarga sebagai
cara anggota keluarga berinteraksi dan membangun hubungan,
termasuk pencapaian tujuan, aktivitas bersama, dan penerimaan
praktik keluarga. Fungsi keluarga dianggap sebagai faktor penting
yang terkait dengan perilaku adiktif. Tingkat kecanduan remaja
yang tinggal di keluarga dengan keterikatan emosional yang lebih
lemah dan kemampuan beradaptasi keluarga meningkat (Tafà dan
Baiocco, 2009). Lebih khusus, Yen, Yen, Chen, Chen, dan Ko (2007)
menunjukkan bahwa fungsi keluarga yang rendah dapat memprediksi
kecanduan game online. Orang tua memainkan peran yang sangat
penting pada anak-anaknya, terutama sebagai agen penting dan
berpengaruh (Van Den Eijnden, Spijkerman, Vermulst, Van Rooij
dan Engels, 2010), lebih lanjut menjelaskan bahwa pengasuhan dapat
mendorong atau menghentikan masalah agar tidak berkembang
95

khususnya masalah yang berhubungan dengan durasi dan adiksi


pada games online.
Pada keluarga yang kurang memiliki kedekatan antar anggotanya
ditandai dengan orang tua yang tidak responsif terhadap komunikasi
melibatkan emosi serta pengungkapan emosinya tumpul, tidak
konsisten, dan menentang pengungkapan emosi membangun
tumbuhnya individu yang selalu merasa tidak aman dalam
mengungkapkan emosinya. Selain itu, sikap orang tua tersebut
membuat perkembangan kapasitas pengungkapan emosi dan
regulasi terhadap pengalaman emosi individu gagal (Garbarino
dan Abramowitz, 1992).
Peranan keluarga pada pengungkapan emosi juga dijelaskan
oleh Goleman (2000) yang menjelaskan bahwa pemahaman emosi
pada anak yang dipengaruhi bagaimana orang tua memperlakukan
anak. Pada keluarga yang terlalu menekan atau membebaskan anak
untuk berekspresi, anak tidak mampu membedakan antara emosi
sedih dan gembira. Pola menghukum yang disesuaikan pada suasana
hati orang tua, dan bukannya pada berat tidaknya kesalahan anak,
membuat anak tidak mampu membedakan dan memahami.
Liu & Kuo (2007) menemukan hal yang sama, yaitu hubungan
antara orang tua dan anak mempengaruhi kecanduan game online.
Penelitian yang dilakukan oleh Isfahani (2013) juga mempelajari
pengaruh faktor internal keluarga terhadap kecenderungan kecanduan
games online pada remaja. Studi telah menemukan bahwa komunikasi
terbuka antara orang tua dan anak-anak dapat memprediksi
kecenderungan gadis remaja menjadi kecanduan. Penelitian yang
dilakukan oleh Wartberg et al. (2014) menemukan bahwa fungsi
keluarga berperan dalam masalah penggunaan gadget pada anak.
Persepsi anak terhadap perilaku orang tuanya dan perilakunya sendiri
dalam keluarga (fungsi diri) sangat berkaitan dengan intensitas
memainkan games online yang berlebihan.
96

Fungsi keluarga biasanya terkait dengan berbagai bentuk


kecanduan, termasuk kecanduan games online. Tafà (2009) mempelajari
bagaimana sistem keluarga terkait dengan perilaku adiktif. Mereka
menemukan bahwa ketidakmampuan keluarga untuk mengubah dan
membangun ikatan emosional. Faktor keluarga dianggap sebagai
faktor penting dalam perilaku adiktif yang berhubungan dengan
kecanduan games online dan kecanduan pada hal lainnya (Yen et
al., 2007).
Anak-anak yang berpikir bahwa lingkungan keluarga mereka
tidak baik cenderung menggunakan games online sebagai pelarian,
dan kesenangan terhubung ke games akan memperkuat persepsi
negatif mereka tentang kondisi keluarga. Kecanduan dapat diprediksi
dari manfaat anggota keluarga sejauh mana keluarga memenuhi
kebutuhan keluarga dan kepentingan keluarga. ChngLi, Liau, dan
Khoo (2015) menyatakan bahwa anak yang kurang memiliki kelekatan
dengan orang tua cenderung bermasalah dengan penggunaan internet
dan gadget. Orangtua yang dipandang terlalu menghukum, kurang
memberi dukungan, kurang hangat dan kurang terlibat cenderung
membuat anak menggunakan internet dan fitur-fitur didalamnya
secara berlebihan (Li, Garland, & Ho ward, 2014).
Selain pada cara orang tua dalam memperlakukan anak,
faktor kemampuan orang tua dalam mengolah emosinya juga
berpengaruh pada kehidupan emosi anak. Orang tua yang tidak
mampu membedakan bagaimana merespon sebuah situasi yang
haru, gembira atau takut, akan memiliki anak yang 10 tidak mampu
memahami emosinya. Pola asuh orang tua yang demokratis, yang
ditunjukkan dengan kepedulian orang tua pada masalah yang
dihadapi anakanaknya, penyelesaian masalah keluarga dengan
kepala dingin dan penghargaan terhadap peran anak pada keluarga
mendukung terbentuknya individu yang mampu mengeksplorasi
emosinya. Sebaliknya pola asuh orang tua yang represif dan otoriter
akan membangun pengalaman traumatik pada individu.
97

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa trauma pada


individu merupakan pencetus individu sehingga menjadi individu
yang tidak memahami emosi mereka sendiri. Hodgins (2000), melalui
studi longitudinal, menemukan bahwa terdapat keterkaitan antara
trauma yang dialami individu dengan keterbatsan kosa kata emosi
dan rendahnya pemahaman terhadap emosi. Masalah trauma anak
pada keluarga yang berkaitan dengan rendahnya pemahaman emosi
juga dibuktikan oleh penelitian Mallinkrodt dan Coble (1998).
Yen et al. (2007) juga menemukan bahwa keberfungsian keluarga
memprediksi kecanduan internet, terutama konflik antara orangtua
dan anak. Orangtua yang berkonflik dengan anak cenderung menolak
untuk mengawasi anak termasuk di antaranya dalam memberi batasan-
batasan akses games online pada anak. Ada indikasi keterkaitan
antara kontrol perilaku dengan kecanduan internet, kontrol perilaku
diartikan sebagai pola adopsi keluarga dalam menangani perilaku,
termasuk di dalamnya terkait dengan batasan-batasan aturan dan
standar perilaku yang dapat diterima dan derajat keleluasaan yang
diperbolehkan dalam batas-batas standar (Miller et al., 2000). Dengan
demikian, keluasaan penggunaan internet pada anak ditentukan
oleh sejauhmana keluarga memiliki aturan dan kontrol terhadap
perilaku penggunaannya.

C. Penutup

Kecanduan game online mempengaruhi cara seseorang dalam


melakukan komunikasi interpersonal. Lebih banyak menghabiskan
waktu untuk bermain game online yang kemudian menyebabkan
berkurangnya kesempatan untuk terlibat dalam interaksi sosial,
sehingga berimbas negatif kepada komunikasi interpersonal. Pecandu
game online sulit bagi mereka untuk berintaksi dengan orang lain secara
terbuka, kebanyakan dari mereka menutup diri dan tidak bergaul
dengan orang banyak Kecanduan bermain game online membuat
hubungan dengan teman, keluarga menjadi renggang karena waktu
98

bersama mereka menjadi jauh berkurang karena pecandu game online


menghabiskan waktu hanya di game saja.
Keberfungsian keluarga adalah salah satu factor pendorong dan
penghambat timbulnya perilaku adiksi pada anak terhadap games,
gadget atau penggunaan internet lainnya. Tidak jarang permasalahan
terkait keluarga menjadi alasan pelarian anak untuk mencari rasa
nyaman dan aman melalui games online. Fungsi keluarga memiliki
peran yang sentral dalam masalah penggunaan gadget dan adiksi
terhadap games online pada anak. Persepsi anak terhadap perilaku
orang tuanya dan bagaimana perilakunya sendiri dalam keluarga
sangat berkaitan dengan intensitas memainkan games online yang
berlebihan.
99

Daftar Pustaka

Beavers, R., & Hampson, R. B . (2000). The Beavers systems model


of family functioning. 128–143.
Brenner, V. (1997). Psychology of computer use: XLVII. parameters
of internet use, abuse and addiction: the first 90 days of the
internet usage survey. Psychological Reports, 80, 879–882.
John Willey & Sons. Chng, G. S., Li, D., Liau, A. K., & Khoo, A. (2015).
Moderating effects of t he family environment for parental
mediation and pathological internet use in yo uths. Cyb erpsycho
logy, Behavi or, and Soci al Networking, 18(1), 30– 36. https://
doi.or g/10.1089/cyber.2014.0368
Epstein, N. B., B aldw in, L. M., & B ishop, D. S. (1983). T he McMast
er family assessment device. Journal of Marital and Family
Therapy, 9(2), 171–180.
C. H., Yen, J. Y., Yen, C. F., Lin, H. C., & Yang, M. J. (2007). Fact or s
pr edict iv e for incidence and r emi ss ion of internet addicti on
in yo ung adolesc ents: A prospectiv e study. Cyberpsychology
and Be ha vior, 10(4), 545–5 51. https:// doi.org/10.1089/
cpb.2007.9992
Liu, C. Y., & Kuo, F. Y. (2007). A study of Internet addicti on t hr
ough the lens of the interpers onal theory. Cybe rpsycho
logy and Behavior, 10(6), 799–804. https:// doi.org/10.1089/
cpb.2007.9951
Morahan- Martin, J. (2008). Internet abuse: emerging trends and
lingering questions. In A. Barak (Ed.), Psychologica l aspects
of cyberspace: theory, research, applications (p. 317). Camb ri
dge: Camb ri dge University Press.
Preechawong, S., Zauszniewski, J. A., Heinzer, M. M. V., M usil, C.
M., Kerc smar, C., & Aswinanonh, R. (2007). Relationships of
family funct ioning, self- esteem, and res ourceful co ping of Thai
adolescents wi th asthma. Is sues in Men tal Heal th Nursing,
100

28(1), 21–36. https://doi.org/ 10.1080/01612840600996208


Quinn, S. (2016). Parenting the online child. In A. A ttrill & C. F
ullwood (Eds.), Applied cyberpsychology: practical applications
of cyberpsychological theory and research. h t t p s : / / d o i
. o r g / 1 0 . 1 0 5 7 / 9781137517036
101

PERAN ORANG TUA DALAM PENDAMPINGAN


ANAK YANG MENGALAMI POST TRAUMATIC
STRESS DISORDER AKIBAT BULLYING
Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog & Dr. Setyaningsih,
S.Psi., M.Si.
Universitas Trunojoyo Madura
[email protected], [email protected]

A. Pendahuluan

Kasus kekerasan anak di Indonesia terus meningkat setiap


tahun. Kekerasan pada anak atau Child Abuse, yaitu semua bentuk
kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang yang seharusnya
bertanggung jawab atas anak tersebut atau orang yang memiliki
kuasa atas anak tersebut yang seharusnya dapat dipercaya, misalnya
orang tua, keluarga dekat, dan guru (Sururin, 2016). Remaja usia
13-15 tahun sebanyak 40% melaporkan pernah diserang secara fisik
sedikitnya satu kali dalam setahun, 26% mendapatkan hukuman
fisik dari orang tua atau pengasuh di rumah tangga, dan 50% remaja
pernah dibully di sekolah (Mardia, 2018).
Data kekerasan tahun 2018 dari Dinas Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak dan Pengendalian Keluarga Berencana (DP3AKB)
Jawa Tengah menerangkan bahwa jumlah kasus kekerasan pada
anak yang dilaporkan selama 1 Januari- 8 Agustus 2018 sebanyak
7.253 kasus. Daerah yang memiliki angka tindak kekerasan paling
tinggi di Jawa Tengah yaitu Kota Semarang. Data Kota Semarang
kasus kekerasan dilaporkan setiap tahun 350- 400 kasus. Sedangkan
102

data di Sekolah Negeri Semarang menunjukkan 80% anak mengaku


pernah dibully (Dinas Pemberdayaan Perempuan, 2019).
Kata bullying berasal berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari
kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana
kemari. Dalam bahasa Indonesia secara etimologi kata bully berarti
mengertak, orang yang mengganggu orang lemah. Istilah bullying
dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyakat (berasal dari
kata sakat) dan pelakunya (bully) disebut penyakat. Menyakat berarti
mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain (Wiyani, 2012).
Menurut American Psychiatric Association (APA, 2000) bullying adalah
perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a)
perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan
(b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya
ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang
terlibat.
Bullying berbeda dengan pertengkaran biasa (occasional conflict)
yang umum terjadi pada anak. Konflik pada anak adalah normal dan
membuat anak belajar cara bernegosiasi dan bersepakat satu sama
lain. Pertengkaran tujuan utamanya bukan untuk menyakiti, tetapi
bisa juga untuk mempertahankan diri. Pertengkaran muncul karena
adanya konflik, sehingga tidak diawali karena ada pihak yang kuat
dan yang lemah. Di samping itu, pertengkaran juga tidak terjadi
secara berulang-ulang. Jadi, pertengkaran yang berulang-ulang itu
disebabkan karena adanya konflik, bukan karena kesengajaan dari
pihak yang kuat (Rejeki, 2016).
Bullying merupakan ancaman baik fisik maupun verbal terhadap
seorang anak oleh anak lain, dengan tujuan memperoleh kepuasan.
Pelaku bullying merasa sangat puas melihat kegelisahan bahkan
sorot mata permusuhan dari korban. Pada anak yang melakukan
bullying biasanya baru muncul diusia sekolah dan berlangsung
hingga bertahun-tahun (Jahja, 2011). Bullying terdiri dari beberapa
103

bentuk yakni bullying fisik, bullying psikis dan bullying relasional.


Bullying fisik adalah tindakan yang paling tampak dan paling dapat
diidentifikasikan diantara bentuk-bentuk penindasan lainnya. Contoh
penindasan secara fisik meliputi memukul, mencekik, menyikut,
meninju, menendang, menggigit, mencakar, dan meludahi seseorang
yang ditindas hingga merasa kesakitan. Tentu saja perlakuan ini
menimbulkan bekas luka fisik pada tubuh korbannya. Selain itu,
tindakan merusak dan menghancurkan pakaian orang lain juga
termasuk bullying fisik. Bentuk bullying yang kedua adalah bullying
verbal, bulllying verbal merupakan tindakan yang dilakukan
menggunakan kata-kata untuk menjatuhkan orang lain. Kata-kata
adalah alat yang kuat dan dapat mematahkan semangat seorang.
Ketiga, bentuk bullying relasional yaitu tindakan untuk menjatuhkan
harga diri orang lain. Hal ini dilakukan dengan cara melemahkan
harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan,
pengecualian, atau penghindaran (Barbara, 2007).
Bullying kerap kali terjadi dibeberapa lingkungan seperti keluarga,
sekolah, kelompok pertemanan, lingkungan tempat tinggal, dan media
sosial. Salah satu kasus bullying yang sempat menjadi pemberitaan
yang cukup menggegerkan di Indonesia yaitu seorang remaja laki-
laki berusia 12 tahun, yang merupakan penjual jalangkote di-bully
oleh 8 orang pemuda dengan cara di takut-takuti, dipukul, dan
didorong hingga dirinya, sepeda, dan semua dagangannya jatuh
ke aspal (Mandegani, 2020). Bullying yang dialami remaja tersebut
tidak diketahui alasan atau penyebabnya pastinya. Kondisi demikian
juga sering terjadi pada remaja yang mengalami bullying, remaja
tidak memahami mengapa orang di sekitarnya melakukan bullying
terhadap mereka. Melihat kasus bullying yang cukup sering terjadi
di kalangan remaja, bullying tentunya menjadi pengalaman buruk
bagi remaja yang pernah menghadapinya. Hidup sebagai individu
yang menjadi sasaran bullying tidaklah mudah, sebagian individu
menganggap bahwa bullying merupakan suatu beban hidup atau
104

hantaman besar yang menimbulkan luka sangat dalam dan sulit


untuk disembuhkan.
Jumlah kasus bullying yang terjadi didunia terbilang tinggi.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Unesco, diperkirakan sekitar 246
juta anak dan remaja di dunia mengalami berbagai bentuk kekerasan
dan bullying di sekolah setiap tahunnya (UNESCO, 2017). Sementara
di Indonesia, berdasarkan data publikasi yang dihimpun dari bank
data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah kasus
bullying pada anak dan remaja periode tahun 2011-2016 mencapai
1.174 kasus (Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2016). Data
terbaru berupa akumulasi dari tahun 2011-2019 yang tercatat oleh
KPAI, telah terjadi kasus bullying sebanyak 2.473 kasus dengan tren
yang terus meningkat (Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2020).
Fenomena bullying ibarat fenomena gunung es yang nampak
“kecil” di permukaan, namun menyimpan berjuta permasalahan
yang sebagian besar di antaranya tidak mudah ditangkap oleh mata
orang tua ataupun guru. Sebagaimana dikemukakan dalam paparan
sebelumnya, masyarakat (khususnya para orang tua dan guru)
seringkali terlena oleh kesan “remeh” fenomena bullying, sehingga
mengesampingkan dampak dan bahayanya yang luar biasa yang
muncul di kemudian hari baik terhadap korban bullying, pelaku
bullying, maupun dampak yang lebih luas lagi terhadap masyarakat
kita. Beberapa dampak tersebut tergambar melalui beberapa kasus
di bawah ini.
MS (13 tahun), siswa korban bully disebuah sekolah menengah
pertama negeri (SMPN) di Kota Malang. Tubuh MS dibanting ke
lantai paving. “Diangkat beramai-ramai begitu. Terus dibanting ke
paving dalam kondisi terlentang,” kata Leonardus. Aksi itu dilakukan
saat jam istrirahat sekolah. Oleh teman-temannya, MS juga pernah
dibanting ke pohon dengan cara yang sama. “Kedua posisinya juga
sama, tapi dibanting ke pohon kecil,” ungkapnya. Mengaku hanya
105

bercanda, 7 orang siswa. Dampak bullying pada MS mengakibatkan,


MS menjalani operasi amputasi, jari tengah tangan kanan korban
harus diamputasi karena sudah tidak berfungsi, setelah kejadian
tersebut MS kerap menangis akibat syok usai jarinya diamputasi
(Hartik, 2020).
Hal yang sama juga dialami oleh salah satu siswa SMA di
Pekanbaru, Riau berinisial FA. Menurut pengakuan FA, ia di-bully
oleh teman-temannya di sekolah hingga ia mengalami patah tulang
hidung. Paman korban, Muchtar mengatakan, tak hanya di-bully,
FA juga diancam dan diperas. “Dia (korban) sudah sekitar lima
bulan sekolah di situ. Selama dia di situ, uang jajannya dirampas
dan diancamsupaya tidak ngadu ke orangtuanya,” kata Muchtar.
Selain dibully hingga mengalami patah tulang hidung, korban juga
dipaksa mengaku bahwa dirinya terjatuh. Pelaku memukul korban
dengan kayu bingkai foto. Kemudian pelaku menarik kepala korban
dan dibenturkan ke lutut hingga korban mengalami patah tulang.
“Awalnya mereka bercanda. Mungkin ada kata-kata yang tidak bisa
diterima para terlapor sehingga merasa tersinggung dan emosi lalu
melakukan kekerasan,” kata Kapolres. Tak terima, orangtua korban
melaporkan kejadian itu pada polisi. Diketahui, pelaku perundungan
yang menyebabkan korban mengalami patah tulang adalah dua
orang rekan sekolahnya yang berinisial M dan R (Tanjung, 2019).
Beberapa kasus bullying tersebut menggambarkan bahwa bullying
tidak hanya berdampak pada luka fisik yang dialami oleh korbannya,
tetapi banyak yang mengalami gangguan pada kesehatan mental.
Perilaku bullying bisa berdampak buruk, misalnya pada perilaku :
minder, malu, luka fisik, sering sakit tiba-tiba, merasa terisolasi dari
pergaulan, prestasi akademik merosot, kurang bersemangat dan
ketakutan untuk masuk sekolah bahkan memiliki perasaan takut gagal
ketika terlibat dalam hubungan sosial (KPAI, 2016). Dampak bullying
dalam jangka pendek bisa terlihat jelas. Apalagi jika perundungan
106

terjadi secara fisik. Luka memar dan berdarah bisa langsung terlihat
dan jadi senjata pendorong untuk membuat pelaku minta maaf.
Namun bagaimana apabila dampak itu berdampak secara mental,
maka akan berdampak pada trauma jangka panjang atau yang biasa
disebut sebagai Post traumatic stress disorder (PTSD).
Post Traumatic Stress Disoder (PTSD) adalah gangguan mental yang
dapat berkembang setelah seseorang terkena peristiwa traumatis,
seperti kekerasan seksual, peperangan, tabrakan lalu lintas, bencana
alam atau ancaman lain pada kehidupan seseorang. Bencana alam
biasanya menghasilkan tingkat PTSD yang lebih rendah dibandingkan
peristiwa traumatis yang lain (Earls dkk., 1988; Hanford dkk., 1986).
Menurut Aroyo dan Eth (1985), PTSD pada anak yang diakibatkan
oleh peperangan relatif lebih tinggi, berkisar antara 27% (Saigh,
1991) dan 33%. Sehubungan dengan hal tersebut, Alisic dkk. (2014)
juga menginfomasikan rata-rata 16% dari anak-anak yang terpapar
peristiwa traumatis mengembangkan PTSD, dengan hasil yang
bervariasi sesuai dengan jenis paparan traumatik dan jenis kelamin.
Selanjutnya, Zoladz (2013) mengungkapkan bahwa orang yang
mengalami trauma interpersonal (kekerasan, bullying) lebih mungkin
untuk mengembangkan PTSD, dibandingkan dengan orang yang
mengalami trauma berdasarkan nonkekerasan seperti kecelakaan
dan bencana alam.
Sebagai akibat dari peristiwa bullying yang dialami korban yang
berusia anak dan remaja memikul tanggung jawab yang lebih besar, bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Mereka menghadapi tantangan
moral dalam hubungannya dengan lingkungan disekitarnya (terutama
hubungan teman sebaya), yang secara otomotis akan berdampak pada
perkembangan sosial dan moral mereka. Perkembangan moral pada
anak yang terkena paparan tarumatis berhubungan dengan respon
emosional yang negatif, seperti rasa takut, malu dan rasa bersalah
(Goenjian dkk., 1998). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa PTSD
107

yang dialami oleh korban bullying dapat berdampak pada fungsi


kehidupan seseorang hingga dewasa, bahkan seumur hidupnya.
Secara umum, individu yang mengalami PTSD mengalami reaksi
emosi negative yang berlarut-larut seperti sedih, kecewa, gelisah, malu,
merasa bersalah, marah bahkan hingga tidak terkontrol. Perilaku
khas yang bisa diamati dari individu yang mengalami PTSD adalah
menghindari kondisi/situasi, pelaku yang mengingatkannya kembali
pada peristiwa tersebut. Reaksi menyedihkan yang berkepanjangan
tersebut dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari (Regel dan
Joseph, 2010).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sekiranya penting
melakukan pendampingan pada anak korban bullying yang mengalami
PTSD. Peran orang tua dalam kasus bullying sangat penting, sebagai
lingkaran terdekat orangtua diharapkan dapat memberikan semangat
kepada anak ketika sedang terpuruk. Akibat bullying tersebut, anak
akan mengalami rasa percaya diri yang rendah, tidak ingin lagi
bergaul, bersekolah, atau bahkan keluar rumah dan trauma yang
berkepanjangan seperti PTSD. Ketika anak sedang mengalami bullying,
anak akan membutuhkan orang dewasa yang dapat dipercaya untuk
mencari bantuan dan mencurahkan kesulitannya seperti keberadaan
orangtua.

B. Tinjauan Teori

1. Definisi bullying
Kata bullying berasal berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari
kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana
kemari. Dalam bahasa Indonesia secara etimologi kata bully
berarti mengertak, orang yang mengganggu orang lemah. Istilah
bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyakat
(berasal dari kata sakat) dan pelakunya (bully) disebut penyakat.
Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang
lain (Wiyani, 2012).
108

Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, karena


belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia
(Susanti, 2006). Bullying dari kata bully yang artinya menggertak,
orang yang menganggu orang yang lemah. Penindasan (bullying)
merupakan angka yang signifikan di dalam kehidupan siswa
(Santrock, 2001). Bullying melibatkan perilaku agresif (Rigby,
2004). Pengertian agresif sendiri adalah suatu serangan, serbuan
atau tindakan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang
atau benda (Chaplin, 2005). Sedangkan, agresifitas (Chaplin,
2005) sendiri adalah kecenderungan habitual (yang dibiasakan)
untuk memamerkan permusuhan, dominasi sosial, kekuasaan
sosial secara ekstrem.
Menurut American Psychiatric Association (APA, 2000) bullying
adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi
yaitu (a) perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau
membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu
tertentu (c) adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan
dari pihak-pihak yang terlibat. Storey, dkk (2008) mendefinisikan
bullying sebagai suatu bentuk abuse emosional atau fisik yang
mempunyai 3 karakteristik, yakni : deliberate, dimana pelaku
cenderung untuk menyakiti seseorang; repeated, yakni seringkali
target bullying adalah orang yang sama; dan power imbalance,
dalam hal ini pelaku memilih korban yang dianggapnya rentan.
Adapun karakteristik anak yang menjadi korban bullying
menurut American Association of School Administrator (2009)
yaitu: 1)  Mempunyai harga diri rendah, 2)  Ketidakhadiran di
sekolah tinggi, 3)  Ketakutan saat berangkat dan pulang sekolah,
4)  Sering menangis, 5)  Terdapat luka memar yang tidak bias
dijelaskan apa penyebabnya, 6)  Menarik diri dari aktivitas sosial
atau suka menyendiri, 7)  Kehilangan rasa percaya diri secara
bertahap dalam situasi sosial, 8)  Sering merasa tidak berdaya,
109

9)  Memperlihatkan adanya tanda dan gejala depresi (American


Association of School Administrator, 2009).
Sampson dalam Problem Oriented for Police Series No. 12, juga
menyebutkan bahwa tindakan lain yang juga termasuk bullying
adalah merusak barang atau hasil karya, mencuri barang yang
berharga dan meminta uang. Selain itu, tindakan seperti pelecehan
seksual, pemboikotan karena perbedaan orientasi seksual, serta
hazing (perpeloncoan) juga digolongkan sebagai bullying. Ada
tiga bentuk bullying menurut Coloroso (2006), yaitu
1) Verbal bullying (bullying secara lisan)
Kata-kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat
mematahkan semangat anak yang menerimanya. Verbal
abuse adalah bentuk yang paling umum dari bullying yang
digunakan baik anak laki-laki maupun perempuan. Hal
ini dapat terjadi pada orang dewasa dan teman sebaya
tanpa terdeteksi. Verbal bullying dapat berupa teriakan dan
kericuhan yang terdengar. Hal ini berlangsung cepat dan
tanpa rasa sakit pada pelaku bullying dan dapat sangat
menyakitkan pada target. Jika verbal bullying dimaklumi,
maka akan menjadi suatu yang normal dan target menjadi
dehumanized. Ketika seseorang menjadi dehumanized, maka
seseorang tersebut akan lebih mudah lagi untuk diserang
tanpa mendapatkan perlindungan dari orang di sekitar
yang mendengarnya. Verbal bullying dapat berbentuk name-
calling (memberi nama julukan), taunting (ejekan), belittling
(meremehkan), cruel criticsm (kritikan yang kejam), personal
defamation (fitnah secara personal), racist slurs (menghina
ras), sexually suggestive (bermaksud/bersifat seksual) atau
sexually abusive remark (ucapan yang kasar).
110

2) Physical bullying (bullying fisik)


Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan paling
mudah untuk diidentifikasi adalah bullying secara fisik.
Bentuk ini meliputi menampar, memukul, mencekik,
mencolek, meninju, menendang, menggigit, menggores,
memelintir, meludahi, merusak pakaian atau barang dari
korban.
3) Relational bullying (bullying secara hubungan)
Bentuk ini adalah yang paling sulit untuk dideteksi.
Relational bullying adalah pengurangan perasaan (sense) diri
seseorang yang sistematis melalui pengabaian, pengisolasian,
pengeluaran, penghindaran. Penghindaran, sebagai suatu
perilaku penghilangan, dilakukan bersama rumor adalah
sebuah cara yang paling kuat dalam melakukan bullying.
Relational bullying paling sering terjadi pada tahun-tahun
pertengahan, dengan onset remaja yang disertai dengan
perubahan fisik, mental, emosional, dan seksual. Pada waktu
inilah, remaja sering menggambarkan siapa diri mereka dan
mencoba menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
4) Bullying elektronik.
Pelakunya menggunakan sarana ekektronik dan
fasilitas internet seperti komputer, hadphone, kamera dan
website atau situs pertemanan jejaring sosial diantarannya,
chatting, e-mail, facebook, twitter, dan sebagainya. Hal
tersebut ditunjukkan untuk meneror korban bullying dengan
menggunakan tulisan, animasi, gambar, vidio, atau film
yang sifatnya mengitimidasi, menyakiti, dan menyudutkan.
2. Faktor risiko korban bullying
Semua anak pada dasarnya bisa menjadi korban bullying, akan
tetapi beberapa faktor risiko dapat membuat anak/seseorang
lebih rentan menjadi korban perundungan, yaitu (Yovita, 2019):
111

a. Terlihat “berbeda” dari teman-teman yang lain. Misalnya,


memiliki berat badan berlebih atau justru kurang, memiliki
penampilan rambut yang berbeda, menggunakan pakaian
atau kacamata yang tampak beda dari teman lain, atau
berasal dari ras, etnis, ataupun agama yang berbeda.
Berbeda yang dimaksud bukan berarti selalu “buruk
rupa”. Terkadang, seseorang yang terlampau cantik atau
tampan juga dapat menjadi sasaran bully.
b. Terlihat lemah dan atau tidak dapat membela dirinya
sendiri. Ingat, bullying melibatkan tingkatan superior dan
inferior. Saat ada satu orang yang dipandang sebagai
makhluk yang lebih “lemah”, ia akan menjadi sasaran
kelompok yang lebih superior.
c. Terlihat mengalami depresi, cemas, atau memiliki
kepercayaan diri yang rendah. Orang-orang seperti ini
akan lebih mudah menjadi sasaran karena terlihat lebih
“lemah”.
d. Memiliki sedikit teman atau kurang populer dibandingkan
yang lain. Hal ini sering terjadi di sekolah, saat anak kerap
sendirian karena tidak punya banyak teman.
e. Tidak dapat bersosialisasi dengan baik dengan sesama.
Serupa dengan tidak punya banyak teman, orang yang
sulit bersosialisasi biasanya juga sering sendirian. Karena
dianggap “berbeda” inilah, ia rentan jadi target bullying.
f. Menderita suatu gangguan perkembangan maupun
mental. Kondisi mental yang berbeda dan dianggap
lemah menjadikan seseorang sering menjadi sasaran
perundungan.
Beberapa tipe anak rentan akan dibully jika memiliki kondisi
fisik tertentu. Jika anak menunjukkan tanda di atas, apalagi jika
masuk kelompok di bawah ini akan rentan mengalami bullying
di sekolah (Wisnubrata, 2019) :
112

a. Anak yang pintar Siswa yang menjadi korban bullying


biasanya termasuk anak yang pintar dan cerdas, atau
mungkin memiliki keahlian yang membuatnya sering
dipuji. Pelaku perisakan bisa merasa minder atau iri
dengan keahlian anak tersebut. Siswa yang tidak memiliki
teman Anak yang menjadi korban bullying cenderung
tidak memiliki teman. Kalaupun punya teman, jumlahnya
sedikit. Akibatnya, korban akan menjadi sasaran untuk
di-bully, dikucilkan dari acara-acara sekolah, dan sering
menghabiskan waktu sendirian. Murid yang disukai di
sekolah Anak yang disukai oleh siswa-siswi lain, juga
kerap menjadi sasaran bully di sekolah. Pelaku kerap
merasa terancam, dengan popularitas yang dimiliki
oleh korban. Jenis bullying ini disebut dengan agresi
relasional, yang cenderung sering dilakukan ‘geng
murid perempuan’ popular, terhadap anak perempuan
lain. Contoh perilaku bullying agresi relasional yakni
menyebarkan rumor, memengaruhi orang lain untuk
membenci korban, atau merusak kepercayaan diri
seseorang.
b. Anak yang berkebutuhan khusus, atau memiliki penyakit
tertentu, rentan mengalami bullying di sekolah. Korban
bullying dalam kelompok ini, misalnya anak dengan
gangguan spektrum autisme, penderita ADHD, down
syndrome, atau gangguan disleksia.
c. Murid dengan keunikan fisik Anak yang memiliki ciri
fisik unik dan berbeda dari siswa kebanyakan, juga rentan
menjadi korban perundungan. Misalnya, anak dengan
mata sipit, postur tubuh yang dianggap terlalu pendek,
kelewat tinggi, gemuk, dan ciri fisik lainnya.
Karakteristik korban bullying menurut Olweus ada tiga
jenis, yaitu korban pasif (passive victim), korban provokatif
113

(provocative victim), dan korban bully. Dalam hal ini, Elliot juga
menyebutkan beberapa bentuk korban bullying lainnya, yaitu
false victim sebagai kelompok kecil siswa yang sering mengeluh
dan tanpa pembenaran kepada guru dalam melakukan bullying.
Kemudian ada perpetual victim, yaitu individu yang diganggu
sepanjang hidup mereka, dan bahkan mungkin mengembangkan
mentalitas korban (Rejeki, 2016).
Anak korban bullying cenderung diam, terhambat dengan
penghargaan diri yang rendah. Beberapa di antaranya lemah
secara fisik. Beberapa korban bersifat impulsif dan cenderung
bereaksi negatif. Korban agresi menarik diri atau merespons
dengan perilaku yang tidak matang seperti menangis, yang justru
memuaskan pelaku. Ketika korban terus mengalami bullying,
penghargaan diri tajam, dan seiring waktu menjadi depresi dan
mengembangkan masalah perilaku di rumah dan di sekolah.
Beberapa anak yang menjadi pelaku sekaligus korban memiliki
ciri dari kedua kelompok tersebut (Brook, 2011).
3. Definisi post traumatic stress disorder
DSM V (APA, 2013) Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah
gangguan mental yang dapat berkembang setelah seseorang
terkena peristiwa traumatis, seperti kekerasan seksual, peperangan,
tabrakan lalu lintas, atau ancaman lain pada kehidupan seseorang.
Nevid (2005) mendefinisikan PTSD sebagai reaksi maladaptif
yang berkelanjutan terhadap suatu peristiwa traumatis yang
melibatkan kematian atau ancaman kematian atau cedera fisik
serius atau ancaman terhadap keselamatan diri sendiri atau orang
lain. Definisi tersebut selaras dengan ungkapan Weston (2014)
bahwa PTSD ditandai dengan perilaku dan emosi yang sedih,
pasif dan umumnya persisten, dan mengarah pada gangguan
serius fungsi ekonomi dan sosial, serta bisa meningkatan angka
kematian.
114

Herbert, dkk. (2016) mendefinisikan PTSD sebagai sindrom


yang ditandai dengan gejala yang berhubungan dengan kecemasan
persisten yang dipicu oleh peristiwa traumatis dan gangguan
mental, dengan prevalensi seumur hidup. PTSD adalah reaksi
umum untuk peristiwa traumatis seperti serangan, bencana
atau kecelakaan parah. Bisa terlihat dari beberapa gejala seperti
terulang kembali (mengingat) peristiwa yang tidak diinginkan,
reexperiencing, hyperarousal, avoidant secara emosi mengalami
mati rasa dan menghindari rangsangan (termasuk pikiran)
yang mengingatkannya pada kejadian tersebut. Banyak orang
mengalami beberapa gejala ini segera setelah peristiwa traumatik
(Ehlers & Clark, 2000).
DSM V (APA, 2013) PTSD diklasifikasikan di bawah
kelompok Trauma and Stressor-Related Disorders bersama dengan
6 jenis disorder lainnya. Gejala PTSD ini bisa dipergunakan untuk
individu baik anak atau orang dewasa yang memiliki usia > 6
tahun, PTSD mencakup empat kelompok gejala (APA, 2013):
a. Kembali mengingat kejadian – Mengalami kilas balik
secara berulang-ulang, mengalami mimpi buruk, reaksi
disosiatif, mengalami tekanan psikologis berkepanjangan.
b. Perubahan dalam gairah - Agresif, adanya perilaku
sembrono atau merusak diri sendiri , gangguan tidur,
hypervigilance.
c. Penghindaran – terhadap kenangan yang menyedihkan,
pikiran, atau berusaha untuk tidak mengingat kembali
teristiwa tersebut.
d. Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana
hati keyakinan negatif persistent, terdistorsi untuk
menyalahkan, atau timbul emosi yang terkait dengan
trauma; perasaan terasing dan perhatian atau fungsi
hidup berkurang.
115

Durasi gejala ini (yang menyebabkan terganggunya fungsi


kehidupan bersosialisasi dan bekerja) harus terjadi selama satu
bulan atau lebih. Selain itu, gangguan tidak dapat dikaitkan
dengan suatu zat atau kondisi medis yang lain.
4. Faktor risiko post traumatic stress disorder
Faktor risiko adalah hal-hal yang terkait dengan peningkatkan
suatu penyakit atau gangguan tertentu dalam diri seseorang,
ada yang tidak bisa diubah seperti usia dan jenis kelamin.
Ada yang bisa diubah misalnya kondisi lingkungan, seperti
dukungan keluarga dan lain sebagainya. Breslau dkk. (1999)
menginformasikan bahwa perempuan dua kali lebih mungkin
untuk mengembangkan PTSD dalam hidup mereka tetapi tentu
saja gangguan pada perempuan cenderung lebih kronis. Hal
tersebut diperkuat oleh hasil studi yang dilakukan oleh National
Collaborating Centre for Mental Health (2005) mengungkapkan
bahwa pria lebih mungkin untuk mengalami peristiwa traumatis,
jenis kelamin perempuan lebih mungkin untuk mengalami
dampak tinggi peristiwa traumatik yang dapat menyebabkan
PTSD, seperti kekerasan interpersonal dan kekerasan seksual.
Kepribadian juga dianggap sebagai faktor pencetus terjadinya
PTSD, seperti pribadi yang pesimisme dan introvet, menyalahkan
diri sendiri, penyangkalan (Schiraldi, 2000). Hal tersebut
sejalan dengan kajian studi tentang kepribadian dalam etiologi
dan ungkapan PTSD oleh Miller (2003) yang menyimpulkan
bahwa emosional negatif yang tinggi merupakan faktor utama
kepribadian yang berisiko untuk pengembangan PTSD.
Sagatun (2015) mengungkapkan bahwa PTSD erat kaitannya
dengan patologi keluarga dan kurangnya dukungan masyarakat.
Korban yang mengalami stres akut memiliki kebutuhan untuk
memiliki hubungan sehat dan dukungan dari orang-orang
disekitarnya sehingga untuk pulih dari trauma sebaiknya korban
116

mendapatkan dukungan yang signifikan dari lingkungannya. Hal


tersebut juga diperkuat oleh hasil meta analisa yang dilakukan
oleh Nickerson (2009) yang membagi menjadi 2 faktor pemicu
terjadinya PTSD, yakni : 1). Faktor lingkungan seperti reaksi
orangtua saat anak mengalami peristiwa traumatis, dukungan
sosial, sejarah traumatis stres yang pernah terjadi dilingkungan
sekitar, kondisi/keadaan keluarga, status sosial ekonomi yang
rendah dan sejarah kesehatan mental keluarga. 2). Faktor
kerentanan individu yakni adanya persepsi negatif, kondisi
kesehatan mental, harga diri yang rendah, coping strategi, locus
of control dan faktor genetik.
5. Dampak post traumatic stress disorder pada anak yang
mengalami bullying
Beberapa kasus bullying tersebut menggambarkan bahwa
bullying tidak hanya berdampak pada luka fisik yang dialami
oleh korbannya, tetapi banyak yang mengalami gangguan pada
kesehatan mental. Perilaku bullying bisa berdampak buruk,
misalnya pada perilaku : minder, malu, luka fisik, sering sakit
tiba-tiba, merasa terisolasi dari pergaulan, prestasi akademik
merosot, kurang bersemangat dan ketakutan untuk masuk sekolah
bahkan memiliki perasaan takut gagal ketika terlibat dalam
hubungan sosial (KPAI, 2016).
Bullying memiliki dampak negatif bagi perkembangan
karakter anak, baik bagi korban maupun pelaku. Sementara
kegagalan untuk mengatasi tindakan bullying akan menyebabkan
agresi lebih jauh. Akibat tindakan bullying pada diri korban tidak
hanya secara fisik namun bisa berdampak secara psikologis,
sehingga dapat timbul perasaan tertekan karena pelaku menguasai
korban (Astuti, 2008).
Dampak negatif secara emosional juga dialami oleh remaja
penyintas bullying. Slonje, Smith, dan Frisén (2016) menemukan
117

bahwa remaja penyintas bullying akan mengalami pengalaman


emosi negatif seperti selalu merasa ketakutan atau terancam
untuk berada di lingkungannya. Bullying juga dapat menyebabkan
remaja mengalami depresi. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian
Ramadhani dan Retnowati (2013) yang menemukan adanya
hubungan positif antara bullying dengan depresi. Hal serupa
juga ditemukan oleh penelitian Mishra, Thapa, Marahatta, dan
Mahotra (2018) bahwa remaja yang mengalami bullying cenderung
mengalami tingkat depresi yang tinggi. Tingginya tingkat depresi
yang dialami penyintas bullying dapat mengarah pada pikiran
dan tendensi untuk melakukan bunuh diri di kemudian hari
(Takizawa, Maughan, dan Arseneault, 2014).
Dampak bullying dalam jangka pendek bisa terlihat jelas,
apalagi jika perundungan terjadi secara fisik. Luka memar dan
berdarah bisa langsung terlihat dan jadi senjata pendorong
untuk membuat pelaku minta maaf. Namun bagaimana apabila
dampak itu berdampak secara mental, maka akan berdampak
pada trauma jangka panjang atau yang biasa disebut sebagai
Post traumatic stress disorder (PTSD). Bullying merupakan salah
satu tindakan yang dapat menimbulkan trauma dan stres bagi
remaja penyintas bullying. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian
Idsoe, Dyregrov, dan Idsoe (2012) bahwa remaja yang mengalami
bullying menunjukkan adanya gejala posttraumatic stress disorder
(PTSD), dan frekuensi paparan bullying yang semakin sering akan
berdampak pula pada gejala PTSD yang lebih parah. Penelitian
yang dilakukan oleh Andreou, Tsermentseli, Anastasiou,
dan Kouklari (2020) yang meneliti tentang hubungan antara
pengalaman bullying di sekolah dengan PTSD dan posttraumatic
growth menemukan bahwa terdapat hubungan yang kurvilinier
antara posttraumatic growth dengan tingkat keparahan gejala PTSD,
yang mana fitur selektif seperti frekuensi dan durasi bullying
yang sedang, akan memunculkan keparahan gejala PTSD yang
118

sedang pula sehingga memunculkan posttraumatic growth yang


tinggi, sementara frekuensi bullying yang lebih sering dan durasi
yang lebih lama akan memunculkan keparahan gejala PTSD yang
tinggi sehingga memunculkan posttraumatic growth yang sedang.
Post Traumatic Stress Disoder (PTSD) adalah gangguan mental
yang dapat berkembang setelah seseorang terkena peristiwa
traumatis, seperti kekerasan seksual, peperangan, tabrakan
lalu lintas, bencana alam atau ancaman lain pada kehidupan
seseorang (APA, 2013). Bencana alam biasanya menghasilkan
tingkat PTSD yang lebih rendah dibandingkan peristiwa traumatis
yang lain (Earls dkk., 1988). Menurut Eth (1985), PTSD pada
anak yang diakibatkan oleh peperangan relatif lebih tinggi,
berkisar antara 27% (Saigh, 1991) dan 33%. Sehubungan dengan
hal tersebut, Alisic dkk. (2014) juga menginfomasikan rata-
rata 16% dari anak-anak yang terpapar peristiwa traumatis
mengembangkan PTSD, dengan hasil yang bervariasi sesuai
dengan jenis paparan traumatik dan jenis kelamin. Selanjutnya,
Zoladz (2013) mengungkapkan bahwa orang yang mengalami
trauma interpersonal (kekerasan, bullying) lebih mungkin untuk
mengembangkan PTSD, dibandingkan dengan orang yang
mengalami trauma berdasarkan nonkekerasan seperti kecelakaan
dan bencana alam.
Sebanyak 130 juta siswa berusia 13-15 tahun di seluruh dunia
menyatakan pernah dibuli (Contin, 2012), dan sebanyak 57%
siswa korban bullying mengalami PTSD (Nielsen dkk., 2015).
Dalam beberapa dekade ini telah terjadi peningkatan yang stabil
dalam berbagai penelitian yang menganalisis masalah perilaku
kekerasan diantara anak-anak dan remaja di sekolah, yang
mencerminkan semakin seriusnya masalah ini. Berdasarkan data
dari Official Journal of The American Academy of Pediatrics dengan
judul Global Prevalence of Past- year Violence Againts Children:
119

A Systematic Review and Minimun Estimates tahun 2016 dalam


satu tahun rata- rata 50% atau diperkirakan lebih dari 1 milyar
anak di dunia berusia 2-17 tahun mengalami kekerasan fisik,
seksual, emosional dan penelantaran di kawasan Asia, Afrika,
dan Amerika Utara (Hillis, dkk., 2016).
Sebagai akibat dari peristiwa bullying yang dialami korban
yang berusia anak dan remaja memikul tanggung jawab yang
lebih besar, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Mereka
menghadapi tantangan moral dalam hubungannya dengan
lingkungan disekitarnya (terutama hubungan teman sebaya), yang
secara otomotis akan berdampak pada perkembangan sosial dan
moral mereka. Perkembangan moral pada anak yang terkena
paparan tarumatis berhubungan dengan respon emosional yang
negatif, seperti rasa takut, malu dan rasa bersalah (Goenjian
dkk., 1998). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa PTSD
yang dialami oleh korban bullying dapat berdampak pada fungsi
kehidupan seseorang hingga dewasa, bahkan seumur hidupnya.
Secara umum, individu yang mengalami PTSD mengalami
reaksi emosi negative yang berlarut-larut seperti sedih, kecewa,
gelisah, malu, merasa bersalah, marah bahkan hingga tidak
terkontrol. Perilaku khas yang bisa diamati dari individu yang
mengalami PTSD adalah menghindari kondisi/situasi, pelaku
yang mengingatkannya kembali pada peristiwa tersebut.
Reaksi menyedihkan yang berkepanjangan tersebut dapat
mempengaruhi kehidupan sehari-hari (Regel & Joseph, 2010).
PTSD yang berkepanjangan juga akan berdampak pada: Academic
Functioning yang rendah (Scott dkk., 2014 ;Carmen dkk, 2013;
David dkk, 2012), gangguan pada Social Functioning (David
dkk., 2012), meningkatkan kecanduan terhadap minuman keras/
alkoholisme (Cynthia dkk., 2009; Henrietta, dkk., 2006).
120

6. Peran orangtua pada anak yang mengalami bullying


Hubungan orang tua dan anak digambarkan dengan
interaksi antara dua dimensi perilaku orang tua yaitu: warmth
atau responsiveness dan control atau demandingness sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Baumrind (dalam Martin dan Colbert,
1997). Penelitian Ahmed dan Braithwaite (2001) juga menemukan
bahwa anak yang menjadi pelaku bullying ataupun sebagai korban
mengalami masalah dalam sekolah dan rumah, sebagai tambahan
mereka memiliki orang tua yang menggunakan pendekatan
otoriter dalam pengasuhan. Penelitian ini juga membuktikan ada
hubungan antara ketidakharmonisan dalam keluarga dengan anak
yang menjadi korban bullying. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh keluarga yang mengabaikan anak atau bersifat memaksa
terhadap anak sehingga berdampak pada pandangan anak
terhadap kehidupan sekolah, anak menjadi kurang memperoleh
kemampuan sosial dan juga kurang mampu dalam kemampuan
interpersonal sehingga menjadi korban bullying di sekolah.
Temuan lain menunjukkan bahwa orang tua dengan pola
asuh permisif cenderung menjadikan anak kesulitan dalam
membatasi perilaku agresif mereka, sehingga mengembangkan
mereka menjadi pelaku pembulian (Miller dkk., 2002). Coloroso
(2003) juga mengatakan pola pengasuhan keluarga yang kurang
dalam membuat aturan, permisif sehingga membuat anak merasa
ditolak, dihina, dipermalukan dan dimanipulasi dengan sogokan,
hadiah, ancaman atau hukuman menjadikan anak jengkel dan/
atau takut dan dendam. Pola keluarga ini diketahui juga dapat
menciptakan anak menjadi pelaku bully ataupun target yang
dibuli.
Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
menyebutkan bahwa anak yang tidak terlibat dalam bullying
memiliki dukungan orangtua yang lebih baik daripada anak yang
121

terlibat dalam bullying (Conners-Burrow dkk., 2009). Baik sebagai


pelaku, korban maupun anak yang bertindak sebagai pelaku
dan korban melaporkan bahwa mereka memiliki pengalaman
keluarga yang lebih negatif daripada anak yang tidak terlibat
dalam perilaku bullying (Guerra, dkk., 2011).
Orangtua khususnya Ibu memiliki peran sebagai faktor
sentral dalam perkembangan anak. Malekpour mengungkapkan
bahwa hubungan antara orangtua dan anak pada awal kehidupan
anak berpengaruh terhadap kematangan otak anak. Scheider
juga mengemukakan bahwa anak yang memiliki kelekatan yang
bagus dengan orangtuanya akan memiliki kemampuan yang
baik dalam menjalin hubungan pertemanan dengan oranglain,
baik dengan teman sebayanya maupun orang lain yang baru
dikenalnya (Wahyuni dan Asra, 2014)

C. Penutup

Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),


sepanjang Januari-April 2019, setidaknya ada 20 kasus bullying, yang
melibatkan kekerasan fisik dan psikis. Perundungan tersebut pun
berupa saling ejek di dunia maya, yang berlanjut ke dunia nyata.
Siswa yang berasal dari suku, etnis, ras, dan agama tertentu kasus
bullying yang melibatkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
sudah sangat sering terjadi. Pada akhir tahun 2019, seorang anak
di Alabama, Amerika Serikat, dilaporkan bunuh diri. Disebutkan
oleh keluarganya, ia melakukan bunuh diri sebagai akibat bullying
rasisme karena korban berasal dari keluarga kulit hitam. Pada 2017,
seorang murid SD dengan ciri fisik menyerupai mantan gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjadi korban bullying.
Akibatnya, ia enggan masuk sekolah cukup lama, dan mengalami
ketertinggalan dalam pelajaran. Akhirnya, ia harus pindah ke sekolah
lain (Retno, 2021).
122

Gangguan psikologis yang dapat timbul pada korban bullying


bisa beragam. Salah satunya yaitu post traumatic stress disorder (PTSD).
PTSD pada korban bullying bisa ditandai dengan berbagai ciri yang
bisa dikenali sejak dini, seperti mengalami mimpi buruk, depresi,
dan gangguan mental (Putri, 2019). Korban bullying bisa merasakan
akibat perilaku ini secara fisik maupun mental. Korban akan terbiasa
merasakan emosi seperti rasa takut, marah, tidak berdaya, dan sulit
menemukan jalan keluar dari masalahnya. Kondisi-kondisi yang
dialami di atas, erat kaitannya dengan PTSD. Sehingga, menguatkan
kemungkinan bahwa korbang bullying berisiko lebih besar terkena
PTSD dikemudian hari.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ada hubungan langsung
antara bullying dan PTSD. Meskipun segala jenis stres dapat mengarah
ke PTSD, ini biasanya melibatkan pengalaman pribadi langsung,
misalnya ketika para korban merasa terancam, terluka hingga hampir
hilang nyawa, serta menyaksikan orang lain meninggal dunia. Ada
pula penelitian lain yang menyebut bahwa anak perempuan lebih
mungkin mengalami PTSD dibandingkan dengan anak laki-laki.
Selain itu, stres yang dialami tidak selalu berhenti ketika perundungan
selesai. PTSD bisa muncul dalam kehidupan korban meski bullying tak
lagi dialami (Prasetyo, 2018).
Anak-anak yang mengalami bullying dapat menyebabkan luka
batin atau trauma sehingga menjadi orang yang memiliki kepercayaan
diri rendah, juga berbagai masalah lainnya. Anak tentunya belum
dapat menyelesaikan sendiri masalahnya yang berkaitan dengan
gangguan dari teman lainnya, karena itu sangat diperlukan adanya
peranan orang tua dalam kasus bullying untuk membantu anak
melalui tahapan tersebut dan meminimalkan dampak negatifnya.
Peran orang tua dalam kasus bullying dapat memberikan semangat
kepada anak ketika sedang terpuruk. Akibat bullying tersebut, anak
akan mengalami rasa percaya diri yang rendah, tidak ingin lagi
123

bergaul, bersekolah, atau bahkan keluar rumah dan trauma yang


berkepanjangan seperti PTSD. Ketika anak sedang mengalami bullying,
anak akan membutuhkan orang dewasa yang dapat dipercaya untuk
mencari bantuan dan mencurahkan kesulitannya. Tentunya anak
akan berpaling kepada orang tuanya, orang tua dapat menjadi pihak
yang dipercaya anak. Peran orang tua dalam kasus bullying sangat
vital dan penting untuk membantu anak dapat melewati fase-fase
sulit dalam hidupnya. Saat ini, bullying tidak hanya terjadi didunia
nyata, namun juga dapat dialami anak di dunia maya. Hampir semua
anak sudah mengenal internet dan aktif di dalamnya, paling tidak
dalam bermedia sosial sehingga membuat mereka rentan menjadi
korban atau pelaku bullying itu sendiri, selain itu orangtua juga
bisa memberikan pujian karena keberanian mereka untuk bercerita
secara terbuka, dengan memahami pikiran dan perasaan anak-anak
korban bullying orangtua lebih mampu untuk melakukan motivasi
dan membangkitkan semangat mereka kembali.
Hal tersebut juga selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh (Tatyagita dan Handayani, 2014), bahwa hubungan yang bersifar
kumulatif. pada tahap perkembangan Ericson menyebutkan trust, yaitu
seseorang mempercayai orang-orang disekitarnya yang mengasihi
tanpa syarat. Sama seperti trust yang dikembangkan dulu, sumber
resilensi i have juga merupakan sumber inti untuk memunculkan
resiliensi dan merupakan sumber inti untuk memunculkan perasaan
aman. Pada penelitian menghasilkan bahwa subjek yang mengalami
resilensi setelah mengalami bullying karena sudah mempunyai
kepercayaan dalam dirinya untuk bisa mempercayai orang-orang
terdekat. ketika mengalami bullying, orang-orang terdekatnya
berperan untuk memberi mereka pertolongan atau merupakan
sarana untuk bisa mengurangi tekanan yang dirasakan. orang-orang
terdekatnya seperti orangtua dapat membuat korban bullying merasa
lebih baik, sehingga dapat mengurangi PTSD yang dialaminya.
124

Langkah berikutnya yang bisa dilakukan oleh orangtua saat


melakukan pendampingan pada anak yang mengalami PTSD adalah
tidak menyalahkan mereka terhadap peristiwa bullying yang sudah
terjadi, memahami perubahan sikap mereka yang mengalami
PTSD. Selanjutnya orangtua dapat membicara hal tersebut dengan
pihak sekolah, seperti wali kelas dan guru BK. Meminta bantuan
kepada pihak sekolah untuk bersama melakukan pendampingan
dan menghilangkan perilaku bullying yang terjadi disekolah. Pihak
sekolah juga dapat melakukan mediasi dengan anak pelaku bullying
untuk memberikan penyadaran. Hal yang tidak kalah penting adalah
orangtua merujuk pada profesional ahli dibidangnya. Anak-anak
yang terindikasi PTSD setelah mengalami bullying. Para professional
(psikolog, psikiater, dan konselor) untuk membantu survivor PTSD
terkait : (1) Incident Stress Debriefing (CISD), (2) menceritakan kembali
peristiwa traumatik yang dialami secara berstruktur pasca terjadinya
peristiwa traumatik, (hal ini, masih diperdebatkan apakah baik untuk
digunakan / tidak), (3) konseling PTSD, (4) normalisasi reaksi, (5)
membantu proses coping (Hatta, 2016).
Kaplan menyatakan ada dua macam terapi pengobatan yang
dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan
farmakoterapi dan psikoterapi. Pertama, pengobatan farmakoterapi,
dapat berupa terapi obat. Kedua pengobatan psikoterapi. Para terapis
percaya bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan
efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, cognitive
therapy, exposure therapy. Pada anxiety management, terapis akan
mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi
gejala PTSD dengan lebih baik melalui: (1) relaxation training, yaitu
belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot -otot utama; (2) breathing retraining,
yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai
dan menghindari bernafas dengan tergesa - gesa yang menimbulkan
perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti
125

jantung berdebar dan sakit kepala; (3) positive thinking dan self talk,
iaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan mengganti
dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat
stress (stresor); (4) assertiveness training, yaitu belajar bagaimana
mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain; (5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana
mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress.

Daftar Pustaka

Ahmed, E., Harris, N., Braithwaite, J.B., & Braithwaite, V.A. (2001).
Shame Management through Reintegration. Cambridge: Cambridge
University Press.

Alisic, E., Alyson, K. Z, Floryt V. W, Sadie E. L, Gertrud S. H., Katayun
H., Geert E. S. (2014). Rates of post-traumatic stress disorder in
trauma-exposed children and adolescents: meta-analysis. The
British Journal of Psychiatry, 204 (5), 335-340.
American Association of School Administrators (2009) Bullying at
school and ------------------------------------------------------------
psychosocial health: A cross-sectional study among school
students of Pyuthan municipality. Journal of Nepal Health Research
Council, 16, 73–78.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-
IV-TR. Washington, DC : American Psychiatric Association.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (5th ed.). Washington, DC : American
Psychiatric Publishing.
Andreou, E., Tsermentseli, S., Anastasiou, O., dan Kouklari, E.-C.
126

(2020). Retrospective accounts of bullying victimization at school:


associations with post-traumatic stress disorder symptoms and
post-traumatic growth among university students. Journal of
Child dan Adolescent Trauma. https://doi.org/10.1007/s40653-
020-00302-4
Astuti, P.R. (2008). Meredam Bullying 3 Cara Efektif Menanggulangi
Kekerasan Pada Anak. Jakarta: Grasindo.
Barbara, C. (2007). Stop Bullying (Memutus Rantai Kekerasan Anak dari
Prasekolah Hingga SMU). Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi.
Breslau, N., Kessler, R. C., Chilcoat, H. D., Schultz, L. R., Davis, G.
C., & Andreski, P. (1999). Trauma and posttraumatic stress
disorder in the community: Detroit area survey of trauma.
Archives of General Psychiatry, 55, 626–632.
Brooks, J. (2011). The Process of Parenting. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Carmen P. McLean, Sarah B. Rosenbach, Sandra Capaldi, Edna B.
Foa. (2013). Social and academic functioning in adolescents
with child sexual abuse-related PTSD. Journal Child Abuse and
neglect. Volume 37, Issue 9, 675–678.
Chaplin J.P. (2007). Kamus Lengkap Psikologi (alih bahasa: Kartono,
K). Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Coloroso, A. (2006). Penindas, Tertindas, dan Penonton; Resep
MemutusRantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU.
Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka.
Conners-Burrow, N. A., Johnson, D. L., Whiteside-Mansell, L.,
McKelvey, L., & Gargus, R. A. (2009). Adults matter: Protecting
children from the negative impacts of bullying. Psychology in
the Schools, 46, 539 – 604.
Contin, P. (2012). A familiar face. In Architectural Digest (Vol. 69,
Issue 8). https://doi.org/10.1088/0031- 9112/34/7/004
Cynthia J. Najdowski , Sarah E. Ullman. (2009). Prospective effects
of sexual victimization on PTSD and problem drinking. Journal
Addictive Behaviors, 34, 965–968.
127

David Trickey , Andy P. Siddaway , Richard Meiser-Stedman , Lucy


Serpell , Andy P. Field. (2012). A meta-analysis of risk factors
for post-traumatic stress disorder in children and adolescents.
Clinical Psychology Review, 32, 122–138.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, P. A. dan P. K. B. (DP3AKB). (2019).
No Title. Kekerasan Pada Anak Dan Remaja, 1.
Earls, Christopher,. M. (1988). Aberrant Sexual Arousal in Sexual
Offenders, Human Sexual Aggression: Current Perspective.
Annals of the New York Academy of Sciences, 528 (1) 41–48.
Ehlers, A., & Clark, D.M. (2000). A cognitive model of posttraumatic
stress disorder . Behaviour Research and Therapy, 38, 319-345.
Eth, S., Pynoos, R. S. (1985). Post-traumatic stress disorder in children.
American Psychiatric Association. Meeting (137th : 1984 : Los
Angeles).
Goenjian, a, Stilwell, B. M., Steinberg, a M., Fairbanks, L. a, Galvin,
M. R., Karayan, I., & Pynoos, R. S. (1999). Moral development
and psychopathological interference in conscience functioning
among adolescents after trauma. Journal of the American Academy
of Child and Adolescent Psychiatry, 38(4), 376–384.
Guerra, Nancy & Williams, Kirk & McCoy, Shelly. (2011).
Understanding Bullying and Victimization During Childhood
and Adolescence: A Mixed Methods Study. Child development.
82. 295-310. 10.1111/j.1467-8624.2010.01556.x.
Hartik, A. (2020). Kasus Bully Siswa SMP di Kota Malang,
Kepala Sekolah Dipecat, 2 Siswa Ditetapkan Tersangka. 12
Februari 2020. Retrieved from https://malang.kompas.com/
read/2020/02/12/11220021/kasus-bully-siswa-smp-di-
kotamalang-kepala-sekolah-dipecat-2-siswa?page=all
Hatta, K. (2016). Trauma dan Pemulihannya. Banda Aceh : Dakwah
Ar-Raniry Press
Hebert, M., Langevin, R., & Daigneault, I. (2016). The association
between peer victimization, PTSD, and dissociation in child
128

victims of sexual abuse. Journal of Affective Disorders, 193, 227–232.


Henrietta H. Filipas, Sarah E. Ullman. 2006. Child Sexual Abuse,
Coping Responses, Self-Blame, Posttraumatic Stress Disorder,
and Adult Sexual Revictimization. Journal of Interpersonal
Violence, 21 (5), 652-672.
Hillis, S., Mercy, J., Amobi, A., & Kress, H. (2016). Global prevalence
of past-year violence against children: A systematic review and
minimum estimates. Pediatrics, 137(3).
Idsoe, T., Dyregrov, A., dan Idsoe, E. C. (2012). Bullying and PTSD
symptoms. Journal of Abnormal Child Psychology, 40, 901–911.
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Prenada Media.
KPAI. (2016). Data kasus perlindungan anak berdasarkan lokasi
pengaduan dan pemantauan media se-Indonesia tahun
2011-2016. Retrieved from : https://bankda ta.kpai.go.id/
tabulasi-data/data-kasus-se-indonesia/data-kasus-
perlindungan-anak-ber dasarkan-lokasi-pengaduan-dan-
pemantauan-media-se-indonesia-tahun-2011-2016

KPAI. ( 2020). Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah
Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI. Diakses pada 9
April 2021. Retrieved From : https://www.kpai.go.id/publikasi/
sejumlah-kasus-bullying-sudah-warnai-catatan-masalah-anak-di-
awal-2020-begini-kata-komisioner-kpai.
Mandegani, D. P. (2020). 6 fakta aksi perundungan anak penjual
jalangkote yang viral di media sosial. Retrieved from https://
www.merdeka.com/sumut/6-fakta-aksi-perundungan-anak-
penjual-jalang kote-yang-viral-di-media-sosial.html

Mardia, R. (2018). infoDATIN (pusat data informasi kementrian
kesehatan RI kekerasan terhadap anak dan remaja (p. 11).
Retrieved From : https://www.depkes.go.id/resources/
download/pusdatin/infodatin/Kekera san-terhadap-anak.pdf
Miller, Mark Weber. (2003). Personality and the Etiology and
Expression of PTSD: A Three‐Factor Model Perspective. Clinical
129

Psychology Science and Practise, 10 (4), 373 – 393.


Mishra, D. K., Thapa, T. R., Marahatta, S. B., dan Mahotra, A. (2018).
Bullying behavior and Journal of Nepal Health Research Council,
16, 73–78.
Nina Hertiwi Putri, 18 Jun 20191. Anak-anak Korban Bullying Berisiko
Lebih Besar Terkena PTSD Saat Dewasa. Retrieved From :
https://www.sehatq.com/artikel/korban-bullying-berisiko-
lebih-besar-terkena-ptsd-saat-dewasa
Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal edisi
kelima jilid 2 (Terjemahan: Murad, J., Basri, A.S., Ginanjar, A.,
Poerwandari, E.K., Saraswati, I., Musabia, S., Nurwianti, F.,
Hutauruk, I.S., Fausiah, F., Oriza, D. & Bintari, D.R.). Jakarta
: Erlangga.
Prasetyo, B.A, (2018). Awas, Anak Korban Bullying Rentan Alami
Trauma. Retrieved From : https://www.klikdokter.com/info-sehat/
read/3617927/awas-anak-korban-bullying-rentan-alami-trauma
Ramadhani, A., dan Retnowati, S. (2013). Depresi pada remaja korban
bullying. Jurnal Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim, 9, 73–79. 

Regel, S., & Joseph, S. (2010). Post-traumatic Stress. Retrieved from
https://books.google.co.id
Rejeki, S. Pendidikan Psikologi Anak “Anti Bullying” Pada Guru-
Guru PAUD. Jurnal: Dimas, Vol 16, N0 2, 2016), h. 239
Retno, D. (2021). 14 Peran Orang Tua Dalam Kasus Bullying
di Kalangan Anak – anak. Retrieved From https://
dosenpsikologi.com/peran-orang-tua-dalam-kasus-
bullying
Rigby, K. (2004). Addressing Bullying In Schools Theoretical Perspectives
and Their Implications. Australia : University Of South Australia
Schiraldi, G. R. (2000). The post traumatic stress disorder, sourcebook,
guide to healing, recovery and growth. Boston : Lowell House.
Scott JC, Matt GE, Wrocklage KM, Crnich C, Jordan J, Southwick
SM, Krystal JH, Schweinsburg BC. (2014). A quantitative meta-
130

analysis of neurocognitive functioning in posttraumatic stress


disorder. Psychol Bull. 1,105-40.
Slonje, R., Smith, P. K., dan Frisén, A. (2016). Perceived reasons for
the negative impact of cyber- bullying and traditional bullying.
European Journal of Developmental Psychology, 14, 295–310.
Sururin. (2016). Kekersan Pada Anak (Perspektif Psikologi). Institutional
Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 3. http://repository.
uinjkt.ac.id/dspace/ bitstream/123456789/34575/1/Sururi
n-FITK
Susanti, Inda. 2006. Bullying Bikin Anak Depresi dan Bunuh Diri.
(Online). Retrieved From : http://www.kpai.go.id/mn_access.
php?to=2artikel&sub=kpai_2- artikel_bd.html
Takizawa, R., Maughan, B., dan Arseneault, L. (2014). Adult health
outcomes of childhood bullying victimization: Evidence from
a five-decade longitudinal British birth cohort. American Journal
of Psychiatry, 171, 777–784.
Tanjung, I. (2019). Siswa SMP Korban “Bully” di Pekanbaru Mengalami
Patah Hidung. Retrieved From : https://regional.kompas.com/
read/2019/11/08/14163971/siswa-smp-korban-bully-di-pekanbaru-
mengalami-patah-hidung?page=all. 
Tatyagita, R, R, S. & Handayani, M.M. (2014). Resiliensi Pada Remaja
Korban Bullying. Jurnal psikologi Kepribadian dan Sosial, Vol. 3
No. 1.
UNESCO. (2017). School violence and bullying: Global status report.
Retrieved from https: //resourcecentre.savethechildren.net/
library/school-violence-and-bullying-global-status-report
Wahyuni, S & Asra, Y. K. (2014). Kecenderungan Anak Menjadi
Pelaku dan Korban Bullying ditinjau dari Kelekatan Ibu Yang
Bekerja. Jurnal Marwah, vol.XIII, No.1, Juni.
Weston., CS. (2014). Posttraumatic stress disorder: a theoretical model
of the hyperarousal subtype. Front Psychiatry, 4 (5),37.
Wisnubrata. (2019). Tipe-Tipe Anak yang Rentan Mengalami Bullying
131

di Sekolah. Retrieved From : https://lifestyle.kompas.com/


read/2019/07/15/081119720/tipe-tipe-anak-yang-rentan-
mengalami-bullying-di-sekolah?page=all. 
Wiyani, N.A. (2012). Save Our Children From School Bullying. Yogyakarta
: Ar-Rus Media.
Yovita, N. V. 09 Nov 2019, 11:00 WIB. orang-Orang Ini Rentan Jadi
Korban Bullying. Retrieved From : https://www.klikdokter.
com/info-sehat/read/3634631/orang-orang-ini-rentan-jadi-korban-
bullying
Zoladz PR, Fleshner M, Diamond DM.(2013). Differential effectiveness
of tianeptine, clonidine and amitriptyline in blocking traumatic
memory expression, anxiety and hypertension in an animal
model of PTSD. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry,
133

MENUMBUHKAN MINAT BELAJAR


PADA ANAK
Nailur Rohmah, S.Psi., M.A. & Dr. Netty Herawati, M.Psi.,
Psikolog
Universitas Trunojoyo Madura
[email protected], [email protected]

A. Pendahuluan

Kalimat “Belajar tidak berbatas usia, tempat maupun waktu”,


menunjukkan bahwa aktifitas belajar dipandang sebagai aktifitas
yang dapat dilakukan siapapun, dimanapun dan kapanpun mereka
berada. Apakah hal ini berarti bahkan bayi pun juga dapat belajar?.
Tentu saja!. Sesuai dengan usia dan kemampuannya, bayi belajar
melalui bagaimana caranya ia bertahan hidup. Menangis merupakan
bahasa awal yang diketahui bayi dapat membantunya memenuhi
rasa lapar atau haus yang ia rasakan. Memasuki usia Taman Kanak-
kanak, anak-anak juga terus belajar melalui aktifitas bermain yang
mereka lakukan, melalui interaksi dengan orang-orang sekitarnya,
melalui pengalaman yang mereka lalui. Saat memasuki usia sekolah,
anak mulai mengenal situasi belajar secara formal.
Proses pembelajaran akan menjadi sarana yang tepat dalam
mengembangkan potensi anak, agar menjadi manusia yang
berilmu, bertanggungjawab, berakhlak mulia dan kreatif. Namun,
didalam prosesnya, anak bisa saja menghadapi kendala untuk
mencapai optimalisasi potensinya. Beberapa factor diketahui dapat
134

mempengaruhi proses berhasil tidaknya seseorang dalam belajar.


Factor-faktor tersebut, antara lain adalah intelegensi, bakat, minat,
motivasi, maupun kesehatan fisik/mental (Ahmadi, 2013). Salah satu
factor yang pengaruhnya cukup kuat dalam proses pembelajaran,
adalah minat belajar.
Minat belajar dalam diri anak, perlu ditumbuhkan agar proses
belajar berjalan menyenangkan dan yang jauh lebih penting adalah
motivasi untuk belajar, muncul dari dalam diri anak itu sendiri.
Kesenangan, ketertarikan atau minat untuk belajar ini, perlu
ditumbuhkan sejak dini dalam diri anak. Tidak lain, agar terbentuk
pola pembiasaan belajar dalam diri anak.

B. Tinjauan Teori

1. Pengertian Minat Belajar


Sebelum lebih jauh membahas mengenai minat belajar,
perlu dipahami terlebih dahulu, makna dari minat (interest) itu
sendiri. Berdasarkan KBBI, minat (interest) diartikan sebagai
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu; gairah;
keinginan. Adanya minat, tentu saja akan meningkatkan motivasi
dalam melakukan sesuatu, termasuk juga dalam aktifitas belajar.
Minat akan menjadi salah satu aspek penting dalam proses
pembelajaran individu.
Berdasarkan definisi dari Slameto (2003), menyatakan
bahwa minat merupakan kecenderungan yang tetap untuk
memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Sedangkan
menurut Susanto (2013), mengungkapkan bahwa minat adalah
dorongan dalam diri seseorang atau factor yang menimbulkan
ketertarikan atau perhatian secara efektif yang menyebabkan
dipilihnya sebuah objek atau kegiatan yang menguntungkan,
menyenangkan dan lama-lama akan mendatangkan kepuasan
dalam dirinya.
135

Sementara, belajar menurut Hakim (2010) adalah suatu proses


perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut
ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas
tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan,
sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan
lain sebagainya. Pendapat lain, mengemukakan bahwa belajar
merupakan sebuah proses yang memungkinkan seseorang
memperoleh dan membentuk kompetensi, ketrampilan, dan
sikap yang baru melibatkan proses-proses mental internal serta
mengakibatkan perubahan perilaku dan sifatnya relativ permanen
(Khodijah, 2014).
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa yang dimaksudkan
dengan minat belajar, adalah adanya ketertarikan, kecenderungan
hati yang cukup tinggi serta kesenangan tanpa paksaan terhadap
aktifitas belajar.
2. Ciri-ciri Minat Belajar
Menurut Hurlock (dalam Susanto, 2013) mengungkapkan
bahwa terdapat 7 ciri-ciri dari minat belajar, yakni:
1) Minat tumbuh bersamaan dengan perkembangan fisik
dan mental
2) Minat yang muncul, tergantung pada kegiatan belajar.
3) Perkembangan minat mungkin saja terbatas, terkait
dengan keterbatasan individu secara fisik.
4) Minat tergantung pada adanya kesempatan belajar
5) Minat dipengaruhi oleh budaya. Semakin besar dukungan
nilai budaya pada aktifitas belajar, semakin tinggi pula
minat belajar yang muncul dalam diri individu.
6) Minat berbobot emosional. Apabila aktifitas belajar
melibatkan objek yang dianggap sebagai sesuatu yang
berharga, maka ketertarikan untuk belajar juga akan
semakin tinggi.
136

7) Minat berbobot egosentris, hal ini berkaitan dengan


keinginan untuk memiliki sesuatu yang dinilai/dianggap
berharga bagi dirinya.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Minat Belajar


Beberapa factor yang memengaruhi minat belajar, menurut
Singer (1987), antara lain:
1) Pembelajaran akan menarik minat anak, apabila hal
tersebut berkaitan dengan realitas kehidupan. Keterkaitan
dengan kehidupan nyata pada diri pembelajar,
menunjukkan bahwa apa yang akan dipelajari, memang
benar-benar bermanfaat baginya atau bagi orang lain.
2) Bantuan yang diberikan pengajar, dalam pencapaian
tujuan tertentu. Bantuan pengajar merupakan salah
satu pendukung terbesar dalam kesuksesan seorang
anak dalam meraih tujuannya. Oleh karna itu, anak
yang mendapatkan bantuan (materi atau immateri),
akan semakin tertarik untuk terus berupaya menggapai
impiannya.
3) Adanya kesempatan untuk berperan aktif dalam
proses pembelajaran dari pengajar untuk anak. Hal
ini menunjukkan adanya rasa percaya dari pengajar
terhadap kemampuan belajar anak tersebut, sehingga
dapat turut meningkatkan minat belajar siswa disaat
yang bersamaan.
4) Sikap pengajar sebagai upaya untuk meningkatkan
minat belajar anak. Sikap menyenangkan serta supportif
dari tenaga pendidik dalam proses pembelajaran, akan
meningkatkan ketertarikan siswa untuk terus belajar.
Pendapat lain, dikemukakan oleh Syah (2008), yang membagi
factor-faktor yang memengaruhi minat belajar ke dalam dua
aspek, yakni:
137

1) Faktor Internal
Sebuah ketertarikan yang muncul dalam diri anak
tersebut terhadap sesuatu. Yang termasuk dalam factor
internal ini, antara lain:
- Pemusatan perhatian. Kemampuan anak dalam
memusatkan seluruh perhatiannya pada objek yang
dipelajari.
- Keingintahuan. Merupakan perasaan dan sikap yang
kuat untuk mengetahui sesuatu, atau termotivasi untuk
memahami sesuatu secara lebih mendalam.
- Motivasi. Dapat dipahami sebagai penggerak psikis
dari dalam diri anak untuk belajar, ataupun mengasah
ketrampilan diri.
- Kebutuhan. Sebutan lain dari factor ini, adalah motif.
Kebutuhan yang ingin dipenuhi, sehingga harus terus
melakukan aktifitas belajar.
2) Faktor Eksternal
Factor-faktor yang memperkuat minat belajar anak,
namun berasal dari luar dirinya, yakni:
- Dorongan dari orang tua. Orang tua sebagai
penanggungjawab utama pendidikan anak, berkewajiban
untuk dapat memenuhi hak anak untuk mendapatkan
pendidikan atau menjalani proses pembelajaran
seoptimal mungkin dengan memberikan dukungan
yang dibutuhkan oleh anak.
- Dorongan dari guru. Guru merupakan sosok yang
memiliki otoritas penuh dalam menjamin hak anak
menjalani dan mengikuti proses pembelajaran di
lingkungan sekolah. Dukungan dalam bentuk moril
dan materil, tentu akan memberi dampak yang cukup
besar dalam meningkatkan minat belajar dalam diri anak.
138

- Tersedianya sarana dan prasarana/fasilitas. Ketersediaan


sarana atau fasilitas pendukung pembelajaran, akan
memperlancar proses pembelajaran yang berlangsung.
- Situasi dan kondisi lingkungan sekitar. Keadaan
lingkungan sekitar anak yang sedang belajar pun, turut
mempengaruhi seberapa baik proses pembelajaran yang
berjalan. Termasuk didalamnya adalah polusi suara,
cuaca (panas, hingga membuat anak merasa gerah atau
sebaliknya) dan lain sebagainya.
4. Indikator Minat Belajar
Berdasarkan paparan Slameto (2015), yang menyatakan
bahwa beberapa indicator adanya minat belajar dalam diri anak,
adalah sebagai berikut:
1) Perasaan senang. Hal yang disenangi atau disukai oleh
anak, akan dilakukan dengan senang hati, tanpa ada
rasa keterpaksaan dalam diri.
2) Keterlibatan anak. Ketertarikan yang ada dalam diri anak,
tampak juga dalam kesediaan anak untuk terlibat secara
aktif dalam proses pembelajaran, misalkan: keterlibatan
dalam diskusi kelas.
3) Ketertarikan. Ketertarikan ini, bukan hanya pada objek
belajar, tapi bisa juga ketertarikan terhadap benda atau
aktifitas belajar tertentu.
4) Perhatian Siswa. Adanya ketertarikan terhadap sesuatu,
dengan sendirinya anak akan menuangkan pikiran
dan perhatiannya terhadap hal tersebut. Dalam proses
pembelajaran, anak akan tampak menyimak apa yang
disampaikan oleh guru dengan baik
Indicator tersebut, dapat menjadi acuan awal untuk menilai,
apakah anak memiliki minat belajar yang cukup baik atau
sebaliknya.
139

5. Fungsi Minat Belajar


Minat belajar memiliki beberapa fungsi yang menunjukkan
urgensi keberadaannya (Sabri, 2007), yaitu:
1) Sebagai kekuatan yang akan mendorong anak untuk
belajar
2) Pendorong anak untuk terus berupaya mencapai
tujuannya
3) Penentu arah dalam mencapai tujuannya
4) Sebagai penyeleksi langkah-langkah prioritas untuk
menngapai tujuannya.
Berdasarkan fungsi minat belajar diatas, dapat disimpulkan
pentingnya seseorang memiliki minat dalam belajar, agar dapat
mengoptimalkan upayanya untuk mencapai tujuan melalui proses
pembelajaran dengan cara yang menyenangkan, tanpa merasa
terpaksa. Minat belajar juga mampu menguatkan focus atau
perhatian anak pada tujuan yang ingin dicapainya secara efektif.
6. Cara Menumbuhkan dan Meningkatkan Minat Belajar
Anak
Upaya orang tua maupun guru dalam menumbuhkan
minat belajar pada diri anak, idealnya didasari dengan adanya
kedekatan secara emosional yang baik dan kuat sebelumnya.
Terjalinnya komunikasi yang baik dan sehat, dapat menjadi
langkah penting dalam menjalin kedekatan tersebut. Dengan
demikian, apa yang diinginkan oleh anak, maupun harapan
orang tua pada anak dapat tersampaikan dan diterima dengan
baik oleh kedua belah pihak. Selain itu, pola komunikasi sehat
diantara keduanya, akan dirasakan oleh anak sebagai salah satu
sikap orang tua/guru yang menyenangkan bagi anak, sehingga
minatnya untuk belajar pun semakin meningkat (Singer, 1987).
Cara selanjutnya, dalam menumbuhkan minat belajar pada
anak adalah memberikan informasi kepada siswa mengenai
140

hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan


dengan bahan pengajaran yang lalu atau telah diberikan
sebelumnya, serta menjelaskan manfaatnya bagi siswa dimasa
yang akan dating (Slameto, 2015). Sesuaikan penjelasan dengan
usia anak, agar lebih mudah dipahami. Selain itu, mengenalkan
anak pada hal-hal baru juga dapat meningkatkan rasa ingin tahu
dan ketertarikan anak untuk belajar. Lakukan secara bertahap,
agar anak tidak mudah teralihkan fokusnya pada objek yang
dipelajarinya.
Ciptakan suasana yang mendukung berjalannya proses
pembelajaran. Minimalisir adanya gangguan-gangguan
(visual/auditori) yang dapat memunculkan distraksi pada diri
anak. Gunakan sarana & prasarana untuk mendukung proses
pembelajaran yang berlangsung menarik bagi anak. Orang tua/
guru dapat menggunakan media interaktif agar anak dapat
terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Hal lain yang
tidak kalah penting, adalah orang tua sebagai role model utama
anak dalam hidupnya, diharapkan mampu menjadi teladan yang
baik dan bijak bagi anak.

C. Penutup

Secara umum, minat belajar dapat dipahami sebagai salah


satu factor penting dan cukup mempengaruhi keberhasilan proses
pembelajaran yang sedang dijalani oleh seorang anak. Tanpa minat
belajar, anak bisa saja meraih nilai tinggi, namun tidak mampu
memanfaatkan ilmunya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya untuk menumbuhkan dan meningkatkan minat belajar
pada anak, bukanlah tanggungjawab guru semata, namun juga sebagai
tanggungjawab orang tua di rumah. Sinergitas antara rumah dan
sekolah juga harus terjalin kuat. Orang tua akan menjadi role model
bagi anak selama di rumah, sebaliknya guru akan menjadi role model
bagi anak selama di sekolah.
141

Daftar Pustaka

Ahmadi, A. (2013). Psikologi belajar. Jakarta. Rineka Cipta


Hakim, T. (2010). Belajar secara efektif. Jakarta. Pustaka Pembangunan
Swadaya Masyarakat
Khodijah, N. (2014). Psikologi pendidikan. Jakarta. Rajawali Pers.
Sabri, A. (2007). Psikologi pendidikan. Jakarta. Pedoman Ilmu Jaya.
Singer, K. (1987). Membina hasrat belajar di sekolah. Bandung. Remaja
Karya
Slameto. (2015). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta.
Rineka Cipta
Susanto, A. (2013). Teori belajar dan pembelajaran di sekolah dasar. Jakarta.
Kencana Prenada Media Group.
Syah, M. (2008). Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung.
PT Remaja Rosdakarya.
143

MEMBERSAMAI ANAK DALAM


PENDIDIKAN SPIRITUAL
Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog
Universitas Trunojoyo Madura
[email protected]

Anak adalah anugerah, dan amanah yang menjadi tanggung jawab


orang tua dalam membesarkannya, mendidiknya dan menikahkannya
sampai pada waktunya. Dalam hal mendidik anak, orang tua tidak
cukup dengan memberikan pendidikan formal di sekolah saja, namun
pendidikan dalam semua aspek kehidupan merupakan hal yang
jauh lebih urgent untuk membekali anak dalam menghadapi masa
depannya. Secara Sosial, anak belajar pertama tentang kehidupan
dari keluarga atau orang tua. Orang tua lah yang memiliki peran
paling besar dalam pendidikan anak, bukan sekolah, bukan lembaga
lain tempat anak belajar. Oleh karena itu orang tua perlu melakukan
persiapan untuk mengarahkan anak dan bertanggungjawab atas
pendidikan dan perkembangan rohani, fisik, dan psikologis anak.
Pendidikan anak dalam spiritual merupakan tanggungjawab
terbesar orang tua karena melalui Pendidikan spiritual, orang tua
mengenalkan hubungan personal dengan orang lain atau alam, dan
kehadiran atau kekuatan yang lebih tinggi. Spiritual dapat dimaknai
sebagai suatu yang multidimensi yaitu dimensi eksistensial dan
dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti
144

kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan


seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa (Mickey, 1992; Yusuf
et al., 2017). Spiritualitas juga dapat dimaknai sebagai kepercayaan
seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, mengakui adanya
kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan Yang Maha Esa) dan mengakui
bahwa setiap individu punya tempat masing-masing di dunis serta
kepercayaan yang mengarah kepada praktik spiritual (White, Peters
& Schim, 2011).
Herawati (2019) mengemukakan bahwa dukungan keluarga dan
keharmonisan perkawinan orang tua tidak kalah pentingnya dalam
mempengaruhi pendidikan spiritual anak. Sebelumnya Rofiah (2013)
juga mengemukakan bahwa keharmonisan keluarga berpengaruh
terhadap kecerdasan spiritual anak. Mengapa demikian? perkawinan
yang harmonis akan menciptakan kehidupan yang tenteram dan
damai di dalam keluarga. Hal tersebut sangat memungkinkan anggota
keluarga akan merasa nyaman untuk tinggal di dalamnya, saling
mengasihi, dan menyayangi. Soetjiningsih (1995) mengemukakan
bahwa dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayag, maka
semua pihak dituntut agar memiliki tanggungjawab, pengorbanan,
saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling
membina, pengertian. Dengan kehidupan perkawinan yang harmonis,
maka setiap orang berupaya untuk memenuhi kebutuhan anggota
keluarga yang lain, yaitu anak-anak mereka, baik kebutuhan jasmani
maupun rohani, kebutuhan fisik maupun psikologis. Dengan rasa
kasih sayang dan tanggung jawab orang tua menjalankan perannya
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, termasuk di dalamnya
kebutuhan spiritual anak.
Setiap manusia memiliki kebutuhan spiritual. Bukan saja anak,
tetapi orang tua pun sepanjang perjalanan hidupnya memiliki
kebutuhan akan spiritualitas. Hal ini untuk mengembalikan dan
mempertahankan keyakinan, menjalin hubungan baik dengan
145

Tuhannya, serta mencapai kehidupan yang lebih bermakna.


Kebutuhan spiritual juga meliputi kebutuhan akan harapan dan
keyakinan untuk hidup. Sebagaimana yang dikemukakan Kozier
(dalam Yusuf, 2017). Kebutuhan spiritual meliputi : (1) kebutuhan
hubungan dengan diri sendiri, antara lain meliputi keinginan untuk
memiliki arti, makna dan arahan hidup, mengekspresikan kreatifitas,
memiliki harapan, penghargaan personal, berterimakasih, memiliki
visi hidup, menyiapkan dan menerima kematian. (2) kebutuhan dalam
hubungan spiritual dengan orang lain meliputi kebutuhan untuk
memberi maaf kepada orang lain, beradaptasi dalam menyelesaikan
masalah terkait adanya kehilangan seseorang atau objek lain, baik
aktual maupun kehilangan yang dipersepsikan. (3) kebutuhan
spiritual terkait dengan kelompok antara lain kebutuhan untuk
berkontribusi dalam kelompok, menjunjung tinggi norma dan nilai
kelompok, mengetahui apa dan kapan harus memberi atau menerima
dalam kelompok. (4) kebutuhan spiritual terkait dengan Tuhan atau
kekuatan supranatural lainnya yaitu kebutuhan untuk mendapatkan
kepastian adanya kekuatan Tuhan atau kekuatan utama dalam alam,
percaya bahwa Tuhan mencintai dan menyayangi setiap umatnya,
serta kebutuhan untuk melaksanakn ibadah. Untuk dapat memenuhi
kebutuhan spiritual tersebut diatas, orang tua perlu membersamai
anak dalam pendidikan spiritual.
Pendidikan spiritual anak menjadi salah satu pilar pembentuk
pertumbuhan/perkembangan yang sempurna, tanpa pendidikan
spiritual maka pembentukan kepribadian manusia tidak akan lengkap.
Dengan keharmonisan perkawinan orang tua dapat menjalankan
perannya mengajarkan tata cara untuk melakukan hubungan personal
dengan alam, dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan
Tuhan melalui sikap, tindakan maupun contoh perilaku yang baik
pada anak. Dalam pemahaman ini konsep tentang spiritual melibatkan
dua dimensi, yaitu dimensi vertical dan dimensi horizontal. Dimensi
vertical merupakan dimensi yang berhubungan dengan Tuhan Yang
146

Maha Tinggi, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan dengan


diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan. Antara dua
dimensi tersebut ada saling keterkaitan (Stoll, 1989, dikutip dari
Kozier, Blais & Wilkinson, 1995).
Orang tua yang harmonis dalam perkawinan dapat membersamai
anak dalam mengenalkan dimensi spiritual baik secara vertical
maupun secara horizontal. Orang tua dapat memberikan contoh
secara langsung dalam kehidupan bagaimana membangun hubungan
secara personal dengan diri sendiri, dengan orang lain maupun
dengan alam/ lingkungan, disamping hubungan dengan Tuhannya.
Keharmonisan orang tua menjadikan anak dapat menemukan figure/
model sosial. sehingga anak terbimbing ke arah perilaku yang tepat.
Menurut Parsiak (2012) spiritualitas merupakan pola pikir yang
mensintesiskan kepribadian dan mengarahkan energi untuk menjadi
lebih tertib. Spiritualitas mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi
fisik, perasaan, pikiran dan hubungan antara ketiganya. Dimensi
spiritualitas mencoba menjadi selaras dengan alam semesta, berusaha
menjawab tentang yang tidak terbatas dan menjadi focus sandaran
pada saat stress emosional, penyakit fisik dan mental, kerugian,
kehilangan dan kematian. Membersamai anak dalam memahami
konsep spiritualitas menjadikan anak tumbuh dengan kepribadian
yang dapat memaknai spiritualitas, baik dalam hubungannya secara
vertical maupun secara horizontal. Anak akan menemukan makna
bahwa keduanya perlu sejalan seharmonis sebagaimana tumbuhnya
kekuatan hubungan secara vertical dan memperbaiki hubungan secara
horizontal yang terus menerus. Manusia perlu menjaga alam, perlu
menjaga hubungan dengan sesama, dan perlu mengenali dirinya
agar ia mampu mengenali Tuhannya. Dengan mengenali Tuhannya,
maka manusia mudah dalam membangun hubungan secara vertical
dengan Tuhannya.
147

Parsiak, dalam Yusuf et al (2017) mengemukakan terdapat 4


dimensi spiritualitas manusia yaitu makna hidup, emosi positif,
kecenderungan ritual, dan pengalaman spiritual. Makna hidup artinya
bahwa spiritualitas merupakan penghayatan intrapersonal yang
bersifat unik, ditunjukkan dalam hubungan sosial (interpersonal) yang
bermanfaat, menginspirasi dan mewariskan sesuatu yang bernilai
bagi kehidupan manusia. Emosi positif maksudnya manifestasi
spiritual berupa kemampuan mengelola pikiran dan perasaan dalam
hubungan interpersonal sehingga seseorang memiliki nilai kehidupan
yang mendasari kemampuan bersikap dengan tepat. Pengalaman
spiritual yang dimaksud disini adalah manifestasi spiritual di
dalam diri seseorang berupa pengalaman spesifik dan unik terkait
hubungan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai
tingkatannya. Sedangkan Ritual dalam hal ini manifestasi spiritual
berupa tindakan terstruktur, sistematis, berulang, melibatkan aspek
motorik, kognisi, dan afeksi yang dilakukan menurut suatu tata cara
tertentu baik individual maupun komunal. Keempat dimensi tersebut
diatas, sudah menjadi kewajiban orang tua untuk membersamai
anak, agar anak tumbuh dan berkembang sempurna membentuk
kepribadiannya. Tentu saja orang tua juga perlu keselarasan dalam
mengajarkannya agar tumbuh pola pikir yang positif dan tidak
ambigu. Perlu kekompakan orang tua dalam membimbing dan
mengarahkan anak dalam bersikap, dan berperilaku.
Bagaimana cara orang tua membersamai anak dalam Pendidikan
spiritual? Setiap anak memiliki tahapan perkembangan dalam
hidupnya, yang dalam setiap tahapan tersebut memiliki tugas-
tugas perkembangan tertentu. Pendidikan spiritual pada anak dapat
dimulai sejak dalam kandungan ibu. Ibu yang mengandung dapat
mengajak anak berinteraksi dengan dirinya, interaksi ini merupakan
salah satu dimensi horizontal yang perlu di bangun di awal dalam
pendidikan spiritual. Interaksi ini kemudian berlanjut ketika anak
dilahirkan ke muka bumi. Anak yang sudah terbiasa berinteraksi
148

dengan ibunya sejak di dalam kandungan akan mengenali suara


ibunya walaupun ia belum bisa melihat secara jelas sosok ibunya,
anak mulai merespon dengan tangisan ketika mendapatkan stimulasi
dari luar sebagai sinyal bahwa ia harus mulai belajar berinteraksi
dengan sekitarnya. Interaksi anak dengan orang tua dan orang-orang
di sekitarnya ini terus berkembang, yang kemudian oleh Fowler
dikelompokkan. Fowler, 1993; 2000, dalam Dacey & Travers (2004)
mengemukakan bahwa antara kebutuhan kognitif dan emosional tidak
dapat dipisahkan dalam perkembangan spiritual. Spiritual tidak dapat
berkembang lebih cepat dari kemampuan intelektual dan tergantung
pada perkembangan kepribadian. Fowler dengan teorinya tentang
perkembangan spiritual mengemukakan bahwa perkembangan
spiritual meliputi ketidaksadaran, kebutuhan, kemampuan seseorang,
dan perkembangan kognitif. Fowler melihat ada 6 fase perkembangan
spiritual, yaitu:
1. Intuitive-projective faith
Fase ini minimal terjadi setelah usia 4 tahun. Pada fase ini
manusia hanya fokus pada kualitas secara permukaan saja, seperti
apa yang digambarkan oleh orang dewasa dan tergantung pada
luasnya fantasi dari manusia itu sendiri. Di sini konsep Tuhan
direfleksikan sebagai sesuatu yang gaib.
Orang tua merupakan figure orang dewasa yang paling dekat
dengan anak seusia ini. Seiring perkembangan kognitif anak
diusia ini pada tahapan praoperasional. Dimana anak berpikir
pada tingkat simbolik tapi belum menggunakan operasi kognitif,
artinya belum bisa menggunakan logikanya untuk memahami
suatu konsep. Kemampuan orang tua dalam merefleksikan
konsep Tuhan sebagai sesuatu yang gaib menumbuhkan fantasi
bagi anak, bahwa Tuhan itu ada, bisa melihat keberadaan kita,
mengetahui apapun yang kita lakukan, selalu bersama kita,
melindungi dan menjaga kita dan orang-orang yang baik.
149

2. Mythical-literal faith
Terjadi pada usia minimal 5 sampai 6 tahun. Pada fase ini,
fantasi sudah tidak lagi menjadi sumber utama dari pengetahuan,
dan pembuktian fakta menjadi perlu. Pembuktian kebenaran
bukan berasal dari pengalaman aktual yang dialami sendiri,
tapi berasal dari sesuatu yang dianggap lebih ahli, seperti guru,
orang tua, buku, dan tradisi. Kepercayaan di fase ini mengarah
pada sesuatu yang konkrit dan tergantung dari kredibilitas orang
yang bercerita. Disinilah orang tua dituntut dalam membersamai
anak memahami konsep Tuhan kepada sesuatu yang konkrit.
Biasanya anak lebih banyak bertanya melalui ciptaanNya.
3. Poetic-conventional faith
Terjadi pada usia minimal 12 sampai 13 tahun. Pada fase ini
kepercayaan tergantung pada konsensus dari opini orang lain,
orang yang lebih ahli. Mempelajari fakta masih menjadi sumber
informasi, tapi individu mulai percaya pada penilaian mereka
sendiri. Meskipun demikian mereka belum sepenuhnya percaya
terhadap penilaian mereka tersebut.
4. Individuating-reflective faith
Terjadi pada usia minimal 18 sampai 19 tahun. Pada fase
yang ketiga remaja tidak dapat menemukan area pengalaman
baru karena tergantung pada orang lain di kelompoknya yang
belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Individu di fase ini
mulai mengambil tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku,
komitmen, dan gaya hidupnya. Tapi individu pada tahap ini
tetap masih membutuhkan figure yang bisa diteladani.
5. Paradoxical-consolidation faith
Terjadi pada usia minimal 30 tahun. Pada fase ini individu
mulai bisa memahami dan mengintegrasikan elemen spiritual
seperti simbolisasi, ritual, dan kepercayaan. Individu di fase ini
juga menganggap bahwa semua orang termasuk dalam kelompok
150

yang universal dan memiliki rasa kekeluargaan terhadap semua


orang.
6. Universalizing faith
Terjadi pada usia minimal 40 tahun. Tapi meskipun begitu
Fowler menganggap bahwa sangat sedikit orang yang mampu
mencapai fase ini, sama seperti fase terakhir dari perkembangan
moral Kohlberg.
Taylor, Lilis dan LeMone, 1997; Craven Hirnle, 1996; dan
Hamid, 2000; Mereka menjelaskan bahwa faktor penting yang dapat
mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah 1). Pertimbangan tahap
perkembangan, dimana manusia mempunyai persepsi tentang Tuhan
dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, jenis kelamin,
agama, dan kepribadian manusia, 2). Keluarga, peran orang tua
sangat menentukan dalam perkembangan spiritual seseorang. Oleh
karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan
pertama seseorang dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, maka
pandangan seseorang pada umumnya diwarnai oleh pengalaman
mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
3). Latar belakang etnik dan budaya. Sikap, keyakinan dan nilai
dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada
umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga. 4). Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup
baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat mempengaruhi
spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana
seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman
tersebut. 5). Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat
menguatkan kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami
ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan,
kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien terminal
atau dengan prognosis yang buruk. 6). Terpisah dari ikatan spiritual.
Menderita sakit terutama yang bersifat akut seringkali membuat
151

individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan


system dukungan sosial. 7). Isu moral terkait dengan terapi. Pada
kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara
Tuhan untuk menunjukkan kebesarannya walaupun ada juga agama
yang menolak intervensi pengobatan.
Adapun karakteristik spiritualitas terdiri dari 4 yaitu : (1)
hubungan dengan Tuhan, (2) hubungan dengan diri sendiri, (3)
hubungan dengan orang lain, (4) hubungan dengan alam. Pertama,
hubungan dengan Tuhan merupakan keadaan yang menyangkut
ritual sembahyang dan berdoa, beribadah (Kozier, Erb, Blais &
Wilkinson, 1995). Dapat dikatakan bahwa seseorang terpenuhi
kebutuhan spiritualnya jika ia mampu menemukan makna bagi
dirinya dalam tujuan keberadaannya di dunia ataupun kehidupan,
menjalin hubungan yang positif dan dinamis, mebina integritas
personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah
terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan dengan
orang lain secara positif (Hamid, 2000). Kedua, hubungan dengan
diri sendiri merupakan kekuatan dari dalam diri sendiri seseorang
yang meliputi pengetahuan diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukan, dan juga sikap yang menyangkut kepercayaan pada
diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan
pikiran serta keselarasan dengan diri sendiri. Kekuatan yang timbul
dari diri seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan
hidupnya, diantaranya memandang pengalaman hidupnya sebagai
pengalaman positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan
dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson,
1995). Ketiga, hubungan dengan orang lain. Hubungan ini terbagi
atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan orang lain.
Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan
sumber secara timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orang tua
dan yang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan
kondisi yang tidak harmonis mencakup konflik dengan orang lain
152

dan resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi serta


keterbatasan asosiasi (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
153

Daftar Pustaka

Craven dan Hirnle. (2000). Fundamentals of Nursing. Philadelphia:


Lippincott.
Dacey, J.S., & Travers, J.F. (2004). Human Development: Across The
Lifespan. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan
Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Herawati, N., Herlambang, S.M., Setyaningsih (2019). Peran Dukungan
Keluarga dan Keharmonisan Perkawinan Orang Tua dalam
Pendidikan Spiritual Anak. Jurnal Wacana. Vol.11. No.2. ISSN:
2716-1625 (online). Diakses tanggal 10 November 2021.
Kozier B, Erb G., Blais K (1995). Profesional Nursing Practice : Concepts
and Perspectives 3nd Edition. California : Addison- Wesley.
Parsiak (2012). Spiritualitas dan integrasi spiritualitas dalam
Pendidikan. Surabaya: Komisi Imtak Graha Masyarakat Ilmiah
Kedokteran & FMI, Fakultas Kedokteran Unair.
Rofiah, Alifatur (2013). Pengaruh Keharmonisan keluarga terhadap
tingkat Kecerdasan Spiritual Anak di MI Miftahul Huda
Kedunglumpang Jombang. Undergraduate thesis, Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Diakses tanggal 12
November 2021.
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC.
Taylor C, Lilis C, LeMone, P. (1997). Fundamental of Nursing: The
Art and Science of Nursing Care. Philadelphia : Lippinoot-
Raven Publishers.
Yusuf A., Nihayati H.E., Iswari M.F., (2017). Kebutuhan Spiritual:
Konsep dan Aplikasi dalam Asuhan Keperawatan. Jakarta:
Mitra Wacana Medika.
155

SAMPAI JUMPA PICKY EATER: PANDUAN


PRAKTIS ORANG TUA BAGI ANAK YANG
MENGALAMI PICKY EATER
Dwi Nurhayati Adhani M.Psi., Psikolog
Universitas Trunojoyo Madura
[email protected]

Azka adalah anak berusia 1 tahun. Ia merupakan anak satu-satunya.


Azka tidak mau makan makanan penambah ASI, dan yang disukai
hanya minum susu saja, sehingga saat itu berat badannya berkurang
dan di bawah standar yang dianjurkan 7-11, 5 kg untuk anak
perempuan, akan tetapi berat badan Azka saat itu hanya mencapai
6,5-6,8 kg saja. Saat Azka dibawa ke dokter anak untuk imunisasi,
dokter anak selalu bilang ke mamanya agar menaikkan berat badan
untuk anak. Dokter anak memeriksa sistem pencernaan Azka,
namun menurut diagnosa dokter tidak ada masalah dengan sistem
pencernaan Azka, sehingga Azka hanya perlu menaikkan berat
badan dengan makan lebih banyak. Setelah mendapatkan penjelasan
dari dokter bahwa tidak ada masalah dengan sistem pencernaan
Azka, maka mama dari Azka mulai meminumkan vitamin berbentuk
botol yang diresepkan dokter. Namun, seiring waktu vitamin yang
diresepkan dokter tidak banyak membantu berat badan Azka. Mama
dari Azka berusaha mencari beberapa jenis vitamin yang dapat
membantu Azka untuk makan bahkan samp 3-6 jenis vitamin
dengan merk yang berbeda. Namun, hal tersebut tidak banyak
memberikan hasil yang signifikan.
156

A. Pendahuluan

Beberapa orang tua mungkin mengalami seperti hal di atas, saat


anak mengalami picky eater maka yang terjadi adalah kebingungan.
Banyak hal yang mungkin terjadi, misalnya saat anak sudah diberikan
vitamin untuk menambah nafsu makan, namun setelah vitaminnya
habis, maka anak akan kembali ke posisi semula yaitu gerakan tutup
mulut dan picky eater dengan memakan makanan yang disukai saja.
Sebelum melihat tentang picky eater lebih dalam, maka dibahas
“periode ideal” yaitu fase anak untuk makan (Piette, Linda, 2006):
1. Weaning adalah periode seorang bayi diperkenalkan makanan
padat. Proses weaning lebih mudah dilakukan saat bayi
sebelum berusia 15 bulan. Mengambil botol saat anak usia
2 tahun lebih sulit.
2. Drinking Milk adalah periode saat orang tua mulai
memperkenalkan cara meminum dengan gelas/ cup seperti
air susu ibu, susu formula, minuman yoghurt. Periode ini
sebaiknya dilakukan saat anak berusia 1 tahun.
3. Sitting at table, sebaiknya anak yang memasuki untuk makan
makanan padat maka anak diperkenalkan untuk makan
dengan duduk di tempat, seperti menempatkan mereka pada
high chair. Jika orang tua terlambat untuk memperkenalkan
makan dengan posisi duduk dan diam di tempat, maka anak
akan mudah rewel, dan kesulitan untuk makan, karena anak
akan lebih banyak bergerak.
4. Chewing adalah periode saat anak belajar untuk makan
makanan padat dengan menggerakkan geraham kanan kiri,
atas dan bawah. Hal dimulai pada periode 6 bulan.
Teori Adaptasi-Hierarki Makan (Fraker, et. al, (2007): (1)
Melihat, maksudnya adalah anak melihat suatu makanan; (2)
Membau, maksudnya anak dapat membau aroma dari makanan;
(3) Menyentuh, maksudnya anak dapat menyentuh makanan; (4)
157

Mengunyah, maksudnya anak dapat mengunyah makanan; (5)


Merasakan, maksudnya anak dapat merasakan sensasi variasi rasa;
dan (6) Menerima makanan, maksudnya adalah anak dapat menerima
makanan kemudian menyukainya dan makan makanan tersebut.

B. Tinjauan Teori

1. Picky eater
Picky eater yaitu anak masih mau makan beberapa varian
makanan yang belum dimakan akan tetapi anak menolak untuk
menolak memakan dengan jumlah cukup. Anak picky eater
masih mau makan golong seperti karbohidrat akan tetapi anak
picky eater lebih menyukai rasa dan tekstur yang disukai, misal
menolak makan nasi, akan tetapi masih mengonsumsi mie dan
roti (https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/
pilih-pilih-makanan, diakses tanggal 7 September 2021, pukul
10.45 WIB).
Picky eater adalah perilaku anak untuk selektif sehingga
mereka menolak memakan jenis makanan tertentu seperti bunga
kol, atau asparagus. Picky eater yang tergolong level rendah
menyukai 30 jenis makanan, kemungkinan mereka memilih
makanan, tetapi mereka masih memakan jenis makanan seperti
buah, sayuran, daging.
Perbedaan picky eater dengan problem feeding (Hemrick,
Ellen,2015)
Picky Eater Problem Feeding
Makan setidaknya kurang lebih 30 Makan setidaknya kurang
jenis makanan lebih 20 jenis makanan
Masih mau mencoba makan jenis Tidak mau mencoba jenis
makanan baru walaupun sangat makanan baru dan menangis
jarang
Memakan dan mau merasakan 1 jenis Menolak semua kategori
makanan dalam 1 kelompok makanan yang memiliki
tekstur
158

2. Isu-isu tentang picky eater


a. Picky eater dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya
tekanan untuk makan, faktor kepribadian, praktik dari
orang tua/gaya memberi makan, termasuk kontrol orang
tua, dan pengaruh sosial (Jani Mehta, Mallan, Mihrshahi,
Mandalika, & Daniels, 2014; Moroshko & Brennan, 2013).
b. Asesmen untuk mengetahui anak mengalami picky eater
ada beberapa bentuk asesmen, yaitu Lifestyle Behaviour
Checklist (West & Sanders, 2009), Five items including
refusal to eat foods and resistance or difficult behavior around
food (Haszard et al., 2014), Children’s Eating Behaviour
Questionnaire (Wardle et al., 2001), Six items identified
pickiness: high fussiness/high slowness in eating/highsatiety
responsiveness/low food enjoyment/low food responsiveness
(Bucher, Siegrist, and van der Horst, 2014).
c. Prevalensi anak yang mengalami picky eater pada usia 4
tahun sekitar 5,6% di Belanda, 50% pada anak 2 tahun di
Amerika, sekitar 59% dari anak usia 7-12 tahun di Cina
(Taylor et al, 2015)
d. Penelitian membuktikan adanya hubungan antara
masalah pencernaan pada anak dan masalah perilaku
makan. Anak yang mengalami picky eater akan mengalami
sembelit karena kurang asupan nutrisi dan makanan
yang mengandung serat. Bahkan terkadang anak yang
mengalami konstipasi berat, masalah pencernaan, sakit
saat buang air besar (Tharner, Anne, 2015).
2. Peran orang tua pada anak picky eater
Mengingat pentingnya isu picky eater dalam masa tumbuh
kembang anak, maka dibutuhkan peran dari orang tua untuk
mengatasi picky eater ini. Beberapa cara yang dapat dilakukan
orang tua manakala menghadapi anak-anak picky eater antara lain:
159

a. Menentukan tujuan dan tetap konsisten, yaitu saat


menentukan tujuan agar anak mau makan seusia dengan
yang dibutuhkan dan orang tua harus konsisten saat
menerapkan aturan, misal saat anak merengek ingin
makan biskuit bentuk hewan sebelum waktu makan,
maka orang tua berusaha untuk tetap konsisten dengan
aturan yang diterapkan, dengan tidak memberi snack
sebelum jam makan.
b. Pertengakaran tentang makanan adalah orang tua
menghindari mengomel agar anak untuk makan, karena
hanya akan membuat anak stres dan malas makan. Orang
tua perlu tetap menyediakan makanan untuk anak dan
meletakkan di tempat yang mudah dia jangkau, dan
sebaiknya anak akan belajar untuk mendengarkan yang
tubuhnya inginkan, misal rasa lapar, maka anak akan
mengambil makanan yang sudah disediakan.
c. Melibatkan anak saat menyiapkan suatu masakan agar
anak makin tertarik dengan makanan yang disajikan
dan bangga akan masakan yang sudah membuatnya
terlibat dalam proses masak, misalnya anak diminta
untuk membantu memotong tomat, memetik bayam,
kangkung, mencuci kepiting.

Gambar 1. Anak memetik sayur dilibatkan dalam kegiatan


memasak
160

d. Mengajak anak ke pasar atau supermarket saat berbelanja


untuk memasak, dan memberinya kebebasan untuk
memilih belanja makanan yang disukai, kemudian
dikombinasikan dengan sayur dan buah serta sesuai
dengan kecukupan gizi, misalnya saat anak menyukai
bakso ikan dan ingin mengambil bakso ikan di
supermarket, maka ibu juga mengajak anak berbelanja
sayur yang dapat dikombinasikan dengan bahan
makanan yang disukai anak tersebut.

Gambar 2. Anak memilih bahan makanan yang


disukai di supermarket

e. Memberi kesempatan anak untuk mandiri, misalnya saat


anak makan sebaiknya orang tua membiarkan anak untuk
makan sendiri, walaupun memerlukan waktu lama, serta
terkadang membuat makanan tercecer, kemudian orang
tua juga perlu memberikan pujian karena anak sudah
bisa makan sendiri dan sudah mau makan.
161

Gambar 3. Anak dapat makan sendiri


f. Makan bersama dengan orang tua, maksudnya disini
adalah periode makan untuk orang tua dan anak harus
sama. Anak harus makan bersama- sama dengan orang
tua dengan membebaskan anak sendiri. Anak akan
merasa termotivasi untuk makan jika melihat orang
tuanya juga makan di depannya. Momen tersebut orang
tua dapat membagi makanan yang disukai oleh anak dan
sebaliknya sehingga terjadi komunikasi dan interaksi
yang kuat oleh orang tua dan anak.
g. Saat makan di sebuah resoran bersama keluarga, maka
sebaiknya anak dijauhkan dari gadget, dan memberikan
kesempatan anak untuk duduk sendiri dan makan
sendiri. Hal ini akan membuat anak menjadi sibuk untuk
menikmati proses makan dengan mengambil makanan
sesuai dengan yang dia sukai, dan menjadi momen
kebersamaan bersama keluarga.
162

Gambar 4. Anak makan bersama di restoran tanpa


melibatkan gadget
h. Berusaha untuk membuat jadwal yang konsisten untuk
makan dan diusahakan makan bersama keluarga. Hal
tersebut menjadi pembiasaan untuk anak, dan anak
menjadi disiplin untuk makan pagi, makan siang, dan
makan malam.
i. Membuat makanan yang lebih menarik dengan
memodifikasi, menghias atau membentuk makanan. Hal
tersebut dapat dilakukan saat weekend, momen bersama
anak dengan membuat masakan dengan cara menghias
agar anak termotivasi.

Gambar 5. Anak dan ibu menghias makanan


163

j. Anak diajak untuk mengikuti seperti play-date yang berisi


kegiatan memasak sederhana untuk anak misalnya acara
fun cooking dengan membuat sushi, dengan kegiatan
tersebut maka anak merasa senang dan termotivasi untuk
mencicipi makanan yang telah dibuatnya, serta akan
menjalin interaksi sosial anak dengan anak yang lain.

Gambar 6. Anak mengikuti fun cooking membuat sushi


k. Anak diajak untuk mencoba makanan baru dengan
tekstur yang berbeda, sehingga anak memiliki ‘kamus
rasa’ yang dimiliki dan anak tidak hanya makan salah
satu jenis makanan saja. Misalnya anak diajak untuk
mencoba jenis kerang yang tidak biasanya ia makan,
ia diajari merasakan kerang jenis baru seperti kerang
simping, kerang yang hanya ada sesuai musim saja.

Gambar 7. Anak mencoba kerang yang tidak biasanya ia makan


164

3. Yang perlu dihindari orang tua saat anak mengalami Picky


Eater:
a. Memberikan penjelasan yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dan yang boleh dimakan
b. Memperbolehkan anak untuk makan di mana-mana,
dan bergerak ke mana-mana. Sebaiknya anak diberikan
pembiasan untuk makan di ruang makan
c. Tidak membiasakan anak untuk makan sambil melihat
televisi ataupun melihat gadget
d. Orang tua dan anak makan dengan periode waktu yang
berbeda-beda, sehingga orang tua makan di waktu yang
berbeda dengan anak
e. Orang tua tidak memberikan role model untuk makan
makanan sehat yang berisi gizi dan serat
165

Daftar Pustaka

Fraker, C., Fishbein, M., Cox, S., & Walbert, L. (2007).Food Chaining.
Cambridge: Da Capo Press
Hemrick, Ellen.2015.Picky Eater Problem Feeder. Building Blocks,
Inc. Naples, FL
Jani Mehta, R., Mallan, K. M., Mihrshahi, S., Mandalika, S., & Daniels,
L. A. (2014). An exploratory study of associations between
Australian-Indian mothers’ use of controlling feeding practices,
concerns and perceptions of children’s weight
Moroshko, I., & Brennan, L. (2013). Maternal controlling feeding
behaviours and child eating in preschool-aged children.
Nutrition & Dietetics, 70, 49e53.
Pietes, Linda.(2006). Just two more bites: Helping picky eaters say
yes to food.English:Harmony
Taylor et All. (2015). Picky/fussy eating in children: Review of
definitions, assessment,prevalence and dietary intakes.
Appetite.95.pp 349-359
Tharner, Annet et all. (2015). Bidirectional Associations between
Fussy Eating and Functional
Constipation in Preschool Children. Journal Pediatric, vol 166, pp 96
https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pilih-pilih-
makanan, diakses tanggal 7 september 2021, pukul 10.45
https://www.healthychildren.org/English/ages-stages/toddler/
nutrition/Pages/Picky-Eaters.aspx, diakses tanggal 11
september 2021, pukul 11.56
167

BAGIAN II
PARENTING PADA REMAJA
169

KEHARMONISAN KELUARGA DAN


PENGASUHAN ORANG TUA PADA REMAJA
Rosyida Qorrin, S.Psi. & Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.
Universitas Trunojoyo Madura
[email protected], [email protected]

A. Pendahuluan

Masa remaja adalah masa yang menghubungkan masa kanak-


kanak dengan masa dewasa. Masa transisi atau peralihan juga menjadi
sebutan bagi masa remaja (Agustiani, 2009). Pada masa ini, terjadi
banyak perubahan di dalamnya, baik dari sisi psikologis maupun fisik.
Jahja (2011) mengatakan bahwa perubahan pada remaja dimulai dari
berfungsinya organ reproduksi. Pada sisi psikologis terjadi perubahan
tugas perkembangan, karena dalam setiap periode kehidupan manusia
terdapat berbagai macam tugas perkembangan dalam setiap masanya.
Tugas perkembangan pada manusia memiliki keterkaitan dengan
sikap maupun keterampilan yang harus dimiliki individu sesuai tahap
perkembangannya. Salah satu tugas perkembangan remaja sebagai
makhluk sosial adalah bergaul dengan teman sebaya. William (dalam
Jahja, 2011) mengatakan bahwa bergaul secara individual maupun
kelompok dengan teman sebaya merupakan tugas perkembangan
remaja.
Teman sebaya biasanya memiliki beberapa kesamaan seperti
tingkatan kelas di sekolah serta kemampuan yang dimiliki. Usia
170

dan tingkat kematangan pada teman sebaya memiliki kesamaan


(Santrock, 2007). Kelompok teman sebaya adalah lingkungan bagi
para remaja agar dapat bersosialisasi dengan nilai yang berlaku di
kalangan mereka, partisipasi dalam kelompok teman sebaya memberi
kesempatan besar bagi remaja untuk menjalani bagaimana cara belajar
sosial atau social learning karena dari teman sebaya seorang remaja
dapat mempelajari kebudayaan, kejujuran, keadilan, kerjasama, dan
bertanggung jawab, mempelajari peranan sosial yang baru, dan dapat
mengenal kehidupan demokratis (Marliani, 2016). Namun tidak
jarang ditemui bahwa teman sebaya memberikan dampak negatif
bagi kehidupan remaja, salah satu bentuk dampak negatif dari teman
sebaya adalah kenakalan remaja. Kenakalan remaja merupakan
bentuk penyimpangan tingkah laku, perbuatan serta tindakan remaja
yang tidak taat pada norma sosial, agama serta hukum yang ada di
lingkungan sekitar remaja tinggal (Willis, 2014).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (dalam Panjaitan,
2018) kasus kenakalan remaja di Indonesia setiap tahun semakin
meningkat jumlahnya. Pada tahun 2013 kasus kenakalan remaja
di Indonesia adalah sebesar 6325 kasus, kemudian mencapai 7007
kasus pada tahun 2014, dan 7762 kasus pada tahun 2015. Kenakalan
tersebut mencakup narkoba, pencurian, pembunuhan, dan pergaulan
bebas yang banyak dilakukan oleh remaja. Badan Narkotika Nasional
(dalam Puslidatin, 2019) melaporkan bahwa penyalahgunaan obat-
obat terlarang di kalangan remaja semakin meningkat, di mana
peningkatan tersebut adalah sekitar 24-28%. Jika tidak segera
disembuhkan maka rentan sebagai pengguna jangka panjang karena
remaja memiliki waktu yang panjang untuk dapat mengkonsumsi
obat-obatan terlarang. Selain rawannya terpapar obat terlarang, remaja
juga rawan terpapar pergaulan bebas yang mengakibatkan terjadinya
seks bebas. Pada tahun 2019 Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (dalam KKI, 2019) mengungkapkan bahwa
seks bebas adalah permasalahan utama yang dihadapi oleh remaja
171

Indonesia. Kepala BKKBN Subagyo menjelaskan bahwa penelitian


survei kesehatan reproduksi remaja Indonesia menemukan bahwa
seks bebas adalah hal yang wajar di kalangan remaja Indonesia.
Keluarga merupakan sistem unit sosial-ekonomi terkecil yang
ada pada masyarakat, dasar dari semua lembaga dan berbagai elemen
yang terdiri dari dua orang atau lebih dan memiliki ikatan perkawinan
ataupun darah (Puspitawati, 2012). Keluarga memiliki pengaruh
dalam pembentukan kepribadian individu. Individu memperoleh
norma dan nilai dari lingkungan pertamanya yakni keluarga (Falah,
2014). Norma dan nilai dari keluarga inilah yang dibawa oleh remaja
ketika melakukan interaksi dengan individu selain keluarga, sebab
itulah perlu adanya keharmonisan dalam sebuah keluarga. Keluarga
yang harmonis menyediakan tempat yang nyaman dan aman bagi
anggotanya agar dapat tumbuh berkembang secara optimal sehingga
berhasil menyelesaikan tugas perkembangannya dengan baik.
Keharmonisan keluarga merupakan suatu kondisi keluarga yang
di dalamnya terdapat keeratan dan saling berintegrasi antaranggota
keluarga (Hawari, 1997).
Keharmonisan keluarga membuat remaja dapat melakukan
interaksi yang baik dengan lingkungannya, karena di lingkungan
keluarganya seorang remaja sudah diajarkan cara berinteraksi yang baik
antarsesama anggota keluarga. Menurut Yusuf (2012) keharmonisan
keluarga akan tercipta manakala setiap anggota keluarga sama-
sama mencintai, peduli, jujur, terbuka, saling menghargai perasaan
dan pendapat, adanya percakapan yang menyenangkan, mampu
menyelesaikan masalah, memiliki kemampuan menyesuaikan diri,
komunikasi yang berjalan baik dan orang tua mewariskan nilai-nilai
budaya terhadap anak-anaknya. Seluruh anggota di dalam keluarga
baik itu ayah dan ibu, ibu dan anak serta ayah dan anak saling
berhubungan baik dan tidak ada pengacuhan.
172

Keharmonisan keluarga perlu dibentuk agar seluruh anggota


keluarga dapat berkembang secara optimal karena tinggal di dalam
keluarga yang harmonis. Setiap anggota keluarga memiliki tanggung
jawab atas pembentukan keharmonisan keluarga ini, orang tua harus
membimbing anak sehingga anak memahami hak dan kewajibannya di
dalam keluarga (Endriani, 2017). Semua anggota keluarga bertanggung
jawab atas keseimbangan dalam sebuah keluarga, sehingga memang
diperlukan adanya kesadaran dari masing-masing anggota dalam
sebuah keluarga.
Keharmonisan keluarga menjadi faktor penting perkembangan
remaja dan kaitannya dengan perilaku sosial yang dimilikinya.
Marmin (dalam Arintina & Fauziah, 2015) mengatakan bahwa seorang
remaja yang tumbuh di lingkungan keluarga yang harmonis memiliki
potensi yang lebih kecil untuk melakukan kenakalan daripada seorang
remaja yang tumbuh di lingkungan keluarga disharmoni, hal ini
senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Ermawati (2016)
dengan judul hubungan antara keharmonisan keluarga dengan
perilaku siswa di sekolah dasar. Hasil penelitian ini adalah siswa yang
tinggal di dalam keluarga yang disharmoni seperti keluarga broken
home, hubungan yang tidak baik antara orang tua dengan anaknya,
dan anak yang diacuhkan oleh keluarganya akan menjadi siswa
yang bermasalah di sekolah. Remaja yang tinggal dalam keluarga
disharmoni melampiaskan kekesalan ataupun emosinya dengan
berperilaku buruk di sekolahnya. Disharmoni keluarga membuat
remaja merasa tidak nyaman di dalam rumah sehingga memengaruhi
perkembangan emosinya (Arintina & Fauziah, 2015).
Oktaviani dan Lukmawati (2018) melakukan penelitian yang
mendukung adanya keterkaitan keharmonisan keluarga dengan
perilaku sosial yang ada pada remaja. Penelitian ini memiliki tujuan
untuk mengetahui hubungan keharmonisan keluarga dengan
kenakalan remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
173

hubungan negatif yang sangat signifikan antara keharmonisan


keluarga dengan kenakalan remaja siswa kelas IX di MTSN Negeri
2 Palembang, semakin tinggi tingkat keharmonisan keluarga maka
semakin rendah pula tingkat kenakalan remaja, dan semakin rendah
tingkat keharmonisan keluarga maka semakin tinggi pula tingkat
kenakalan remaja.
Kenakalan remaja dapat dihindari oleh remaja apabila tinggal
dalam sebuah keluarga yang harmonis. Remaja yang terlibat dalam
tindak kenakalan mayoritas tinggal dalam keluarga yang tidak
memiliki keharmonisan atau disharmoni (Safitri, 2019). Keluarga yang
tidak memiliki keharmonisan atau disharmoni tidak memberikan
figur untuk masing-masing anggotanya agar tumbuh berkembang
dengan baik sehingga remaja melihat figur lain untuk dijadikan
contoh, dan figur yang dijadikan contoh tersebut belum tentu baik.
Perbedaan terlihat jelas dengan keluarga yang hormonis, di dalam
keluarga yang harmonis seorang remaja telah diajarkan untuk bersikap
jujur, saling menghargai, mencintai, peduli, dan terbuka pada sesama
anggota keluarga. Remaja yang tinggal dalam keluarga harmonis
akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan pada keluarganya tersebut
sehingga remaja dapat memiliki perilaku asertif. Perilaku manusia
merupakan perilaku yang dapat dibentuk dengan penyesuaian pada
lingkungan, salah satu proses pembentukan perilaku adalah dengan
kebiasaan (Husen, 2019).

B. Tinjauan Teori

1. Definisi keharmonisan keluarga


Keluarga adalah sistem unit sosial-ekonomi terkecil yang
ada pada masyarakat, dasar dari semua lembaga dan berbagai
elemen yang terdiri dari dua orang atau lebih dan memiliki
ikatan perkawinan ataupun darah (Puspitawati, 2012). Keluarga
adalah sebuah sistem unit paling awal dan paling kecil yang ada
di kalangan masyarakat dan sebuah negara, keluarga terdiri
174

dari ayah, ibu dan anak-anaknya (Sahara dkk, 2013). Menurut


KBBI (2008) keharmonisan adalah keselarasan atau keserasian.
Keharmonisan adalah rasa kebersamaan, saling menghargai,
menyayangi, memelihara, penuh kasih sayang dan menutupi
kekurangan satu sama lain, keharmonisan keluarga merupakan
sebuah kondisi yang rukun, serasi, seimbang dalam kehidupan
keluarga (Sahara dkk, 2013).
Menurut Hawari (1997) keharmonisan keluarga adalah
suatu kondisi keluarga yang di dalamnya terdapat keeratan
hubungan dan saling berintegrasi antaranggota keluarga.
Keharmonisan keluarga bukan semata-mata ayah dan ibu tinggal
bersama, melainkan justru melibatkan peran dari masing-masing
anggotanya sehingga setiap anggota keluarga menjadi berfungsi
(Sahara dkk, 2013).
Keharmonisan keluarga bukanlah kondisi yang statis,
akan tetapi merupakan proses dinamis melibatkan semua
sikap anggota di dalamnya, menerapkan nilai-nilai positif dan
dialog yang memiliki konsep untuk mencapai keharmonisan
keluarga (Ronosulistyo, Rosalina & Angelina, 2009). Membangun
keharmonisan keluarga tentu tidak mudah, tidak selamanya
kondisi dalam keluarga hanya mulus saja tanpa masalah
maupun hambatan, oleh sebab itu membangun keluarga agar
menjadi harmonis membutuhkan persiapan yang mumpuni
sehingga peran di dalam keluarga dapat dipahami seluruh
anggota keluarga (Sahara dkk, 2013). Menurut Yusuf (2012)
keharmonisan keluarga dapat tercipta manakala masing-masing
anggota keluarga dapat saling mencintai, peduli, jujur, terbuka,
saling menghargai perasaan dan pendapat, adanya percakapan
yang menyenangkan, mampu menyelesaikan masalah, memiliki
kemampuan menyesuaikan diri, komunikasi yang berjalan baik
dan orang tua mewariskan nilai-nilai budaya terhadap anak-
anaknya.
175

Keluarga yang harmonis memberikan peran sosialisasi yang


bertujuan untuk membentuk setiap anggotanya mematuhi nilai-
nilai dan kaidah, sedangkan pada keluarga disharmoni sangat besar
kemungkinan anggota keluarga menjadi parasit di masyarakat
(Sahara dkk, 2013). Menurut Affandi (2017) keharmonisan
keluarga merupakan salah satu penentu kebahagiaan individu,
karena keharmonisan keluarga membuat anggotanya menjadi
produktif dan sukses di lingkungan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas, keharmonisan keluarga
merupakan sebuah kondisi keluarga yang seimbang dan selaras,
yang anggotanya memiliki dan memahami peran dalam keluarga
tersebut sehingga di dalamnya terdapat rasa aman, nyaman,
saling mengasihi dan peduli antarsesama anggota keluarga.
2. Faktor-faktor yang memengaruhi keharmonisan keluarga
Sahara, dkk (2013) mengemukakan beberapa faktor yang
dapat memengaruhi keharmonisan keluarga, antara lain:
a. Perbedaan tingkat pendidikan. Perbedaan tingkat
pendidikan pada suami istri pada sebuah keluarga
awalnya bukan merupakan sebuah masalah, akan
tetapi seiring berjalannya waktu muncul benih-benih
disharmoni manakala suami memiliki pekerjaan yang
lebih bagus dan istri yang memang sedari awal menjadi
ibu rumah tangga. Suami mulai jarang di rumah dan
memiliki gaya hidup yang tinggi dan istri tidak bisa
mengimbangi, akibatnya keharmonisan keluarga menjadi
retak.
b. Tingkat sosial dan ekonomi. Terdapat banyak fakta di
masyarakat bahwa meskipun sebuah keluarga memiliki
finansial yang hanya ala kadarnya memiliki keluarga
harmonis, namun tidak jarang ditemui bahwa finansial
menjadi penyebab percekcokan dalam keluarga.
176

c. Mobilitas sosial. Perpindahan seseorang dari suatu


daerah ke daerah lain berhubungan erat mengakibatkan
terjadinya pengaruh sosial bagi individu. Pekerjaan
sering kali menjadi alasan kepala keluarga atau ayah
berpindah tempat atau pergi keluar daerah dan tidak
selalu berada di rumah, akibatnya tidak ada lagi peran
dari sosok ayah dan suami sehingga menyebabkan
terganggunya keharmonisan keluarga.
d. Media komunikasi modern. Dewasa ini sangat mudah
ditemukan media komunikasi modern, kemudahan ini
menjadi biang dari kemanfaatan maupun kegunaan
suatu modernisasi, namun dampak negatifnya adalah
menjadi penyebab kekacauan dan keretakan keluarga
yang mengarah pada disharmoni. Disharmoni dapat
terjadi ketika masuknya komunikasi modern ke dalam
keluarga yang tidak diantisipasi dengan persoalan
bahwa komunikasi modern sifatnya dapat membawa
kehancuran dalam keluarga, apalagi jika komunikasi
modern dianggap sebagai hal eksklusif oleh anggota
keluarga.
Faktor yang memengaruhi keharmonisan keluarga menurut
Gunarsa (dalam Eviyana, 2019) adalah sebagai berikut:
a. Perhatian. Perhatian merupakan salah satu faktor dapat
memengaruhi keharmonisan dalam sebuah keluarga,
keluarga yang harmonis merupakan keluarga yang saling
memberikan perhatian antaranggota keluarga, sehingga
semua anggota keluarga mengetahui permasalahan
dalam keluarga tersebut dan diharapkan bersama-
sama menjadi solusi terbaik agar dapat menyelesaikan
permasalahan.
b. Pengetahuan. Menambah pengetahuan sehingga
memiliki wawasan yang luas diperlukan dalam sebuah
177

keluarga, sehingga masing-masing anggota keluarga


dapat mengetahui perubahan yang terjadi pada anggota
keluarganya, sehingga dapat meminimalisir kejadian-
kejadian tidak mengenakkan yang bisa saja terjadi.
c. Saling mengenali antaranggota keluarga. Saling
mengenal secara dekat pada seluruh anggota keluarga
dapat membuat terpupuknya rasa saling pengertian
antaranggota keluarga, bila pengenalan telah terlaksana
maka akan lebih mudah mengontrol peristiwa yang
muncul pada keluarga, dan problematika dalam keluarga
memungkinkan lebih mudah teratasi.
d. Sikap saling menerima. Adanya sikap saling menerima
antaranggota keluarga, menerima baik kelebihan ataupun
kekurangan, apapun yang terjadi keluarga selalu
menerima bagaimanapun kondisi anggota keluarganya.
e. Peningkatan usaha. Setelah adanya sikap saling menerima
keadaan anggota keluarga, maka perlu ada peningkatan
kemampuan atas berbagai aspek dari seluruh anggota
keluarga, peningkatan ini didasarkan pada minat masing-
masing anggota keluarga tersebut sehingga dapat
menciptakan perubahan-perubahan dalam keluarga
tersebut.
f. Penyesuaian. Penyesuaian perlu dilakukan oleh semua
anggota keluarga tidak hanya anak tetapi juga orang
tua. Penyesuaian ini dapat berupa penyesuaian terhadap
berbagai perubahan yang terjadi dalam keluarga tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, faktor-faktor yang
memengaruhi keharmonisan keluarga antara lain: perbedaan
tingkat pendidikan, tingkat sosial-ekonomi, mobilitas sosial media
komunikasi modern, perhatian, pengetahuan, saling mengenali
antaranggota keluarga, sikap saling menerima, peningkatan
usaha dan penyesuaian.
178

3. Pengasuhan (parenting)
Barangkali masyarakat awam sudah sering mendengar atau
membaca kata pengasuhan (parenting), namun ketika ditanyakan
artinya, bisa jadi kurang tepat dalam menjawabnya. Lantas, apa
yang sebenarnya disebut dengan pengasuhan atau parenting?
Parenting adalah pengasuhan (cara, perbuatan, dan sebagainya).
Tujuan pengasuhan untuk meningkatkan atau mengembangkan
kemampuan anak dan dilakukan dengan dilandasi kasih sayang
tanpa pamrih (Lestari, 2012).
Menurut Diana Baumrind (dalam Lestari, 2012) ada 4 jenis
gaya pengasuhan, antara lain:
a. Otoritarian: gaya pengasuhan yang membatasi dan
menghukum. Hasilnya, anak menjadi tidak bahagia,
ketakutan, minder, tidak mampu memulai aktivitas,
memiliki kemampuan komunikasi yang lemah.
b. Otoritatif: gaya pengasuhan yang mendorong anak untuk
mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali
pada tindakan mereka. Hasilnya, anak sering kali ceria,
bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada
prestasi, memiliki hubungan yang ramah dengan teman
sebaya, dapat bekerjasama dengan orang dewasa, mampu
mengatasi stres dengan baik.
c. Mengabaikan: gaya pengasuhan di mana orang tua sangat
tidak terlibat dalam kehidupan anak. Hasilnya, anak
cenderung tidak memiliki kemampuan sosial, memiliki
pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri,
memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan
mungkin terasing dari keluarga.
d. Menuruti: gaya pengasuhan di mana orang tua sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau
mengontrol mereka. Hasilnya, anak tidak pernah belajar
179

mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap


mendapatkan keinginannya, mendominasi, egosentris,
tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan
hubungan dengan teman sebaya (peer).
4. Keharmonisan keluarga dan pengasuhan orang tua
Bergaul dengan teman sebaya baik secara individual maupun
kelompok merupakan tugas perkembangan remaja (William
dalam Jahja, 2011). Teman sebaya dapat memberi dampak
positif untuk perkembangan remaja. Kelompok teman sebaya
menyediakan lingkungan untuk remaja agar dapat bersosialisasi
dengan nilai yang berlaku di kalangan mereka, partisipasi
dalam kelompok teman sebaya memberi kesempatan besar
bagi remaja mendapatkan pembelajaran sosial atau social learning
karena dari teman sebaya seorang remaja dapat mempelajari
kebudayaan, kejujuran, keadilan, kerjasama, dan bertanggung
jawab, mempelajari peranan sosial yang baru, dan dapat mengenal
kehidupan demokratis (Marliani, 2016). Selain memberi dampak
positif, bergaul dengan teman sebaya juga memberikan dampak
negatif bagi remaja.
Kenakalan merupakan sebuah bentuk dampak negatif bergaul
dengan teman sebaya. Kenakalan yang biasanya dilakukan oleh
remaja antara lain minuman keras, penyalahgunaan narkoba,
mencuri, dan pergaulan bebas. Sebagian besar remaja melakukan
kenakalan karena pengaruh teman sebaya (Tianingrum &
Nurjannah, 2019). Pengaruh negatif dari teman sebaya perlu
dihindari agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi remaja di
kehidupan mendatang. Peran keluarga turut serta memengaruhi
apakah remaja dapat menghindari perilaku menyimpang yang
disebabkan pengaruh teman sebaya. Keluarga yang membentuk
kepribadian individu. Individu memperoleh norma dan nilai dari
lingkungan pertamanya yakni keluarga (Falah, 2014).
180

Kepribadian individu mencerminkan bagaimana kondisi


keluarganya. Kondisi keluarga yang harmonis memungkinkan
individu berperilaku baik. Keharmonisan keluarga merupakan
kondisi rukun, sepadan, pada kehidupan keluarga (Sahara dkk,
2013). Menurut Yusuf (2012) keharmonisan keluarga dapat
diwujudkan jika semua anggota keluarga saling mencintai,
peduli, jujur, terbuka, saling menghargai perasaan dan pendapat,
adanya percakapan yang menyenangkan, mampu menyelesaikan
masalah, memiliki kemampuan menyesuaikan diri, orang tua
mengayomi anak, komunikasi yang berjalan baik dan orang tua
mewariskan nilai-nilai budaya terhadap anak-anaknya.
Remaja yang tinggal dalam keluarga harmonis akan mengikuti
kebiasaan-kebiasaan pada keluarganya tersebut sehingga remaja
dapat memiliki perilaku asertif. Perilaku manusia merupakan
perilaku yang dapat dibentuk dengan penyesuaian pada
lingkungan, salah satu proses pembentukan perilaku adalah
dengan kebiasaan (Husen, 2019). Sejalan dengan keharmonisan
keluarga, yang mementingkan komunikasi, kepedulian,
keterbukaan, dan saling menghargai, perilaku asertif merupakan
kemampuan mengkomunikasikan perasaan, pikiran, keinginan
tanpa memengaruhi atau membuat orang lain menyetujui apa
yang diungkapan. Keluarga merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi perilaku asertif (Alberti & Emmons, 2017).
Terciptanya keluarga yang harmonis tidak lepas dari
pengasuhan (parenting) yang diberikan orangtua kepada anak-
anaknya. Menurut Lestari (2012) parenting adalah pengasuhan
(cara, perbuatan, dan sebagainya). Tujuan pengasuhan adalah
untuk meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak
dan dilakukan dengan dilandasi kasih sayang tanpa pamrih. Ada
4 gaya pengasuhan, antara lain: a) Otoritarian: gaya pengasuhan
yang membatasi dan menghukum; b) Otoritatif: gaya pengasuhan
181

yang mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan


batas dan kendali pada tindakan mereka; c) Mengabaikan: gaya
pengasuhan di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam
kehidupan anak; dan d) Menuruti: gaya pengasuhan di mana
orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu
menuntut atau mengontrol mereka (Baumrind dalam Lestari,
2012).
Dari keempat gaya pengasuhan sebagaimana diuraikan di
atas, gaya pengasuhan otoritatif dianggap dapat mendukung
terciptanya keluarga yang harmonis. Hal ini karena orangtua
yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif, orangtua akan
mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas
dan kendali pada tindakan mereka. Keluarga yang harmonis
tidak dapat terwujud apabila gaya pengasuhan orangtua masih
cenderung membatasi dan menghukum, tidak terlibat dalam
kehidupan anak, maupun tidak terlalu menuntut atau mengontrol
anak-anak.

C. Penutup

Keluarga memiliki pengaruh dalam pembentukan kepribadian


individu. Individu memperoleh norma dan nilai dari lingkungan
pertamanya yakni keluarga. Norma dan nilai dari keluarga inilah yang
dibawa oleh remaja ketika melakukan interaksi dengan individu selain
keluarga, sebab itulah perlu adanya keharmonisan dalam sebuah
keluarga. Keluarga yang harmonis menyediakan tempat yang nyaman
dan aman bagi anggotanya agar dapat tumbuh berkembang secara
optimal sehingga berhasil menyelesaikan tugas perkembangannya
dengan baik.
Terciptanya keluarga yang harmonis tidak lepas dari pengasuhan
(parenting) yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya. Dari
keempat gaya pengasuhan yang ada, gaya pengasuhan otoritatif
182

dianggap dapat mendukung terciptanya keluarga yang harmonis.


Hal ini karena orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif
akan mendorong anak untuk mandiri dan menerapkan batas serta
kendali pada tindakan mereka. Keluarga yang harmonis tidak dapat
terwujud apabila gaya pengasuhan orangtua cenderung otoriter,
mengabaikan, dan terlalu menuruti anak.
183

Daftar Pustaka

Affandi, R. (2017). Membuka tirai kebahagiaan hidup. Bogor: IPB Press


Agustiani, H. (2009). Psikologi perkembangan: Pendekatan ekologi
kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada
remaja. Bandung: PT Refika Aditama
Alberti, R.E., Emmons, M.L. (2017). Perfect your right: Tenth edition.
Canada: Impact Publisher
Arintina, C.Y., Fauziah, N. (2015). Keharmonisan keluarga dan
kecenderungan berperilaku agresif pada siswa SMK. Jurnal
Empati 4 (1) 208-212
Endriani, A. (2017). Hubungan antara keharmonisan keluarga dengan
sikap disiplin siswa. Jurnal Paedagogy 4 (2) 42-49
Ermawati. (2016). Hubungan antara keharmonisan keluarga dengan
perilaku siswa sekolah dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan, Sains, dan
Humaniora 2 (3) 183-187
Eviyana, S. (2019). Keharmonisan keluarga bagi pasangan yang sudah
menikah. Skripsi (tidak diterbitkan). Lampung: Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Falah, S. (2014). Parents power. Jakarta: Republika penerbit
Hawari, D. (1997). Al-Quran ilmu kedokteran dan kesehatan jiwa.
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa
Husen, M. (2018). Proses pembentukan perilaku manusia ditinjau
dari hadis. Skripsi (tidak diterbitkan). Banda Aceh: Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Jahja, Y. (2011). Psikologi perkembangan. Jakarta: Kencana
Kamus Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Pusat Departemen
Pendidikan Nasional
Kebijakan Kesehatan Indonesia. Seks bebas kini masalah utama remaja
Indonesia. Diakses dari https://kebijakankesehatanindonesia.
net/25-berita/berita/859-bkkbn-seks-bebas-kini-masalah-
utama-remaja-indonesia
184

Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga: Penanaman nilai dan penanganan


konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana
Marliani, R. (2016). Psikologi perkembangan anak dan remaja.
Bandung: Pustaka Setia
Oktaviani, D., Lukmawati. (2018). Keharmonisan keluarga dan
kenakalan remaja pada siswa kelas 9 MTS Negeri 2 Palembang.
Jurnal Psikologi Islam 4 (1) 52-60
Panjaitan, S. (2018). Peran tokoh masyarakat dalam mengatasi
kenakalan remaja di Desa Buntu Bayu Hotonduhan Kabupaten
Simalungun. Thesis (tidak diterbitkan). Universitas Negeri
Medan
Puslitdatin. (2019). Penggunaan narkoba di kalangan remaja
meningkat. Diakses dari https://bnn.go.id/penggunaan-
narkotika-kalangan-remaja-meningkat/
Puspitawati, H. (2012). Gender dan keluarga. Bogor: IPB Press
Ronosulistyo, H., Rosalina, I., Angelina, A. (2009). Dialog keluarga
menuju surga. Jakarta : Pustaka Oasis
Safitri, A. (2019). Hubungan keharmonisan keluarga dengan kenakalan
remaja di PKBM Al-jauhar kecamatan Bogor Utara kota Bogor.
Jurnal Obor Penmas 2 (1) 97-107
Sahara, E., Wiradnyana, K., Mediena, D., Hakim, K., Zulkarnain,
Frolin., Ansyori, M.H., Sarwan, Rachmad, Akhirul, T., Chalid,
I. (2013). Harmonious Family. Jakarta: Pustaka Obor
Santrock, J.W. (2007). Remaja: Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Tianingrum, N.A., Nurjannah, U. (2019). Pengaruh teman sebaya
terhadap perilaku kenakalan remaja sekolah di Samarinda.
Jurnal Dunia Kesmas 8 (4) 275-285
Willis, S, S. (2014). Remaja dan masalahnya. Bandung: Alfabeta
Yusuf, S. (2012). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
185

PERUNDUNGAN SIBER PADA REMAJA


DAN POLA ASUH SINGLE PARENT AYAH
Ira Mustika, S.Psi. & Mery Atika, S.Psi., M.Si.
Universitas Trunojoyo Madura
[email protected], [email protected]

A. Pendahuluan

Seiring berkembangnya teknologi digital dengan pesat, mengakses


internet sangat mudah dilakukan. Penggunaan internet sudah menjadi
kebutuhan yang penting bagi kehidupan seseorang. Remaja saat
ini dapat bergaul dan berkomunikasi tanpa mengenal batas, ruang
dan waktu menambah kemudahan dalam bergaul dan berinteraksi.
Kemudahan akses internet saat ini sangat memungkinkan seseorang
dapat mengekspresikan dirinya tanpa harus ada norma- norma sosial
yang berlaku saat berinteraksi secara langsung. Seseorang dapat
menjadi siapa saja saat berinteraksi dalam dunia maya. Ditambah
lagi dengan kurangnya pengawasan pola penggunaan internet oleh
orang tua mengakibatkan anak rentan terlibat hal-hal negatif. Padahal
ini lah orang mudah untuk melakukan tindakan perundungan siber.
Seorang anak tidak selalu memiliki keluarga yang utuh, keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak disebut keluarga utuh. Fenomena
yang kita jumpai sekarang, terdapat tidak sedikit keluarga yang
tidak utuh seperti tanpa ayah atau tanpa ibu. Kehidupan seperti
ini biasa disebut sebagai single parent. Single parent dibagi menjadi
186

dua macam, yaitu single parent mother (ibu tunggal) dan single parent
father (ayah tunggal).
Peranan orang tua dalam mengawasi aktivitas anak dalam
berinteraksi di internet merupakan faktor yang cukup berpengaruh
pada kecenderungan anak untuk terlibat dalam perundungan siber
sehingga penting untuk memahami bagaimana peranan keluarga
dalam hal ini single parent ayah dalam kaitan permasalahan
perundungan siber oleh remaja.

B. Tinjauan Teori

1. Pola Asuh Orang Tua Single Parent


Baumrind (dalam Santrok, 2007) menjelaskan bahwa pola
asuh orang tua adalah sikap orang tua terhadap anak dengan
mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang
kepada anak. Selain berinteraksi, pola asuh juga mengajarkan
anak tentang bagaimana menerapkan aturan dalam kehidupan,
memberikan kasih sayang dan perhatian, serta menunjukkan
perilaku yang baik sehingga anak mendapatkan contoh yang baik.
Baumrind (dalam Santrock, 2007) menyimpulkan dimensi pola
asuh orang tua menjadi dua dimensi utama yaitu responsiveness/
penerimaan dan demandingness/tuntutan. Responsiveness atau
penerimaan mengacu pada dukungan dan kasih sayang yang
diberikan oleh orang tua. Secara praktiknya, responsiveness
yaitu adanya usaha dari orang tua untuk meluangkan waktu,
mendukung keputusan anak, dan menunjukkan keterlibatan pada
anak. Orang tua dapat dikatakan responsiveness apabila mereka
sering tersenyum, memuji, dan memberikan semangat atau
support kepada anak-anak mereka. Orang tua yang responsiveness
akan mengekspresikan kehangatan yang mendalam, namun
meskipun demikian mereka dapat menjadi cukup kritis ketika
anak melakukan perilaku yang tidak pantas. Demandingness/
187

tuntutan memfokuskan pada kontrol atau pengawasan yang


orang tua berikan untuk anak. Demandingness secara bahasa berarti
ekspektasi orang tua. Mereka akan memantau perilaku anak-anak
mereka untuk memastikan bahwa aturan yang dibuat oleh orang
tua sudah ditaati. Orang tua dengan demandingness yang tinggi
cenderung membatasi kebebasan anak untuk berekspresi dan
memberikan banyak tuntutan. Keterkaitan antara dua dimensi
tersebut (responsiveness dan demandingness) membentuk empat
jenis pola asuh. Keempat pola asuh tersebut adalah otoritatif,
otoriter, tidak terlibat, permisif.
a. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh ini akan menghasilkan anak yang mandiri,
dapat mengontrol dirinya sendiri, berorientasi terhadap
pencapaian, dan dapat mengatasi stress dengan baik.
Selain itu, anak cenderung mempertahankan hubungan
persahabatan dengan teman sebaya dan dapat bekerja sama
dengan orang yang lebih dewasa.
b. Pola Asuh Otoriter
Anak dengan pola asuh ini cenderung tidak bahagia,
takut, cemas, dan memiliki keterampilan komunikasi yang
lemah. Anak suka membandingkan dirinya dengan orang
lain.
c. Pola Asuh Uninvolved/Tidak Terlibat
Dalam pola asuh ini orang tua terkadang hanya berfokus
pada kebutuhannya sendiri dan mengabaikan kebutuhan
anak. Penelitian menjelaskan bahwa anak dengan pola asuh
ini cenderung egois dan sering bermusuhan ketika remaja.
Anak-anak juga suka memberontak, melakukan tindakan
antisosial, nakal, dan berbagai macam pelanggaran kriminal.
188

d. Pola Asuh Permisif


Pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang kurang
dapat menghargai orang lain dan sulit untuk mengendalikan
perilaku mereka. Selain itu, mereka cenderung egois, tidak
patuh, mendominasi, dan mengalami kesulitan dalam
membangun hubungan dengan teman sebaya.
Hasil penelitian Hestina (2017) menunjukkan bahwa pelaku
bullying lebih banyak berasal dari keluarga yang orang tuanya
membesarkan anaknya dengan pola asuh otoriter. Hal ini
menyebabkan, anak-anak akan berperilaku buruk di sekolah
dan tidak mampu berkomunikasi dengan orang tua. Orang tua
juga kesulitan berkomunikasi dengan anak. Sejak anak di asuh
secara otoriter, anak sudah mampu meniru atau melakukan hal
yang sama seperti perilaku orang tuanya atau mengekspresikan
perilaku negatif di luar lingkungan rumahnya.
Hetherington (dalam Dagun 2002) melakukan penelitian
terhadap 96 keluarga selama dua tahun lebih, di mana 48 keluarga
adalah keluarga utuh dan 46 keluarga lainnya adalah keluarga
yang mengalami kasus perceraian. Penelitian ini dilakukan dalam
tiga tahap. Pertama, setelah dua bulan perceraian, kedua setelah
satu tahun dan yang ketiga setelah dua tahun. Hasil penelitian
tersebut adalah di dalam kasus perceraian, kaum ibu lebih
mengalami kesulitan dalam menangani anak-anak. Sementara
bagi ayah, ia mengalami kesulitan dalam taraf berpikir, merenungi
bagaimana menghadapi situasi dari perceraian yang terjadi.
Hetherington juga menjelaskan bahwa ibu tunggal akan menjadi
lebih keras pada anak laki-laki dan akan sering membentak anak
laki-lakinya dikarenakan tekanan batin yang menimpa ibu tunggal
tersebut. Perlakuan ibu tersebut pada sang anak sudah pasti akan
memengaruhi pola asuh yang diberikan oleh ibu tunggal pada
sang anak. Dagun (2002) menyatakan ketika kasus perceraian
189

terjadi, ternyata cara ayah dan ibu dalam mengasuh anaknya


berbeda. Misalnya dalam soal memberikan perhatian, keramahan,
dan kebebasan kepada anak-anak. Seorang ibu menjadi kurang
memperlihatkan kasih sayang kepada anak-anaknya, khususnya
terhadap anak laki-laki.
Berdasarkan studi yang dipublikasikan pada jurnal The
Lancet Public Health, ditemukan bahwa tingkat kematian duda
lebih tinggi 3 kali lipat dibandingkan pria beristri atau wanita
yang sudah bercerai. Penelitian dilakukan pada populasi dari the
Canadian Community Health Survey terhadap sejumlah 40,000
orang tua (yang masih menikah atau bercerai). Penelitian tersebut
menyebutkan bahwa kurangnya kemampuan menangani stres
pada duda, bila dibandingkan dengan wanita yang bercerai. Di
saat yang sama para duda harus dapat merawat anak dengan baik.
Selain itu, ia juga dituntut harus bisa mengurus keperluan rumah
tangga, sekaligus mengurus diri sendiri dan bekerja. Terlebih
lagi, kemampuan multitasking seringkali tidak dimiliki oleh
pria. Oleh karena itu, tingkat stres duda lebih tinggi. (Simpson
& Floud, 2018).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shundy (2015)
terkait pola asuh menyatakan bahwa ada perbedaan pola
asuh anak antara single parent mother (ibu tunggal) dan single
parent father (ayah tunggal). Perbedaan tersebut terletak pada
komunikasi, kontrol, peraturan, dan hukuman bagi anak. Pada
single parent father komunikasi kurang terjalin dengan baik antara
ayah dengan anak, selain itu tidak ada kontrol yang dilakukan
kepada anak, tidak ada peraturan dan hukuman yang diterapkan
kepada anak. Sedangkan pada single parent mother komunikasi
terjalin dengan baik tetapi tidak hangat. kontrol yang dilakukan
kepada anaknya tergolong rendah dan kurang konsisten dalam
menerapkan peraturan dan hukuman pada anak.
190

2. Perundungan Siber
Hinduja & Patchin (2012) yang khusus meneliti tentang agresi
di media online mengemukakan bahwa tindakan yang sengaja
dilakukan berulang kali untuk menyakiti melalui penggunaan
computer, telepon seluler, dan alat elektronik lain disebut sebagai
perundungan siber. Tindakan tersebut mengacu pada insiden
di mana remaja menggunakan teknologi untuk mengganggu,
mengancam, menghina atau melakukan perbuatan yang
menimbullkan pertengkaran dengan teman sebaya. Perbuatan
yang temasuk dalam perundungan siber, misalnya seperti
mengirimkan pesan teks yang melukai perasaan orang lain,
menyebarkan rumor tentang teman sebaya menggunnakan
smartphone, menyebarkan foto dan video tentang teman sebaya di
media sosial, maupun menggunakan aplikasi tanpa nama untuk
menghina orang lain. Menurut Langos (2012), yang berpendapat
bahwa perilaku perundungan siber merupakan serangkaian
tindakan online (penindasan maya) dengan menggunakan media
teknologi baik terjadi secara langsung maupun tidak langsung
dengan maksud untuk merugikan orang lain (korban) yang tidak
dapat dengan mudah membela dirinya sendiri.
Perundungan siber atau disebut juga sebagai electronic bullying
didefinisikan sebagai tindakan bullying melalui email, Instant
Messaging, ruang obrolan (chat room), website, situs game online,
pesan singkat yang dikirim melalui telepon seluler maupun
teknologi informasi dan komunikasi lainnya (Kowalski dkk, 2012).
Perilaku agresi yang digunakan untuk melakukan
perundungan melalui media elektronik memiliki berbagai
macam cara. Willard (dalam Kowalski dkk, 2012) kemudian
mengklasifikasikan tujuh perilaku yang paling umum digunakan
untuk melakukan tindakan perundungan siber, antara lain :
191

a. Flaming
Individu mengirimkan pesan teks berisi kata-kata yang
penuh amarah dan frontal kepada orang lain.
b. Harassment
Individu mengirimkan pesan-pesan berisi gangguan
pada email, sms, maupun pesan teks di jejaring sosial yang
dilakukan secara terusmenerus kepada orang lain.
c. Denigration
Individu memposting pernyataan yang tidak benar atau
kejam tentang seseorang dengan tujuan untuk merusak
reputasi dan nama baik orang tersebut.
d. Impersonation
Individu berpura-pura menjadi orang lain untuk
membuat seseorang terlihat buruk atau berada dalam bahaya.
Misalnya, individu mencuri kata sandi akun jejaring sosial
seseorang, kemudian memposting status yang negatif atau
mengirimkan kata-kata menghina kepada orang lain.
e. Outing and trickery
Individu terlibat dalam trik untuk mengumpulkan
informasi pribadi, foto-foto pribadi atau informasi memalukan
tentang orang lain yang kemudian disebarkan dengan
mempublikasikan melalui media elektronik.
f. Exclusion
Individu secara sengaja dan kejam mengeluarkan
seseorang dari group online.
g. Cyberstalking
Individu mengganggu dan mencemarkan nama baik
seseorang secara intens sehingga menimbulkan ketakutan
yang besar pada orang tersebut.
192

3. Perundungan Siber Pada Remaja


Masa remaja ialah perkembangan transisi yang melibatkan
perubahan fisik, kognitif, emosional, dan sosial dengan beragam
bentuk latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang
berbeda. Masa remaja ditentukan sekitar usia 11 dan 19 atau
20 tahun (Papalia, Feldman & Martorell, 2014). Santrock (2007)
mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan
antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimulai
sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir sekitar usia 18
hingga 22 tahun.
Perilaku bullying paling banyak terjadi di lingkungan sekolah,
terutama di tempat-tempat yang bebas dari pengawasan guru
maupun orang tua. Seiring dengan berkembangnya teknologi
yang semakin canggih, perilaku bullying terjadi di kawasan
yang lebih luas. Remaja saat ini lebih aktif memonitor komputer
atau mengecek smartphone daripada bermain di luar bersama
teman-teman sebaya. Perilaku bullying pun sekarang ini lebih
mudah dilakukan melalui media elektronik, yang kemudian
disebut sebagai perundungan siber (Sejiwa, 2008).
Teknologi komunikasi yang semakin canggih mengubah
banyak cara pandangan remaja dalam membangun hubungan
sosial dengan teman-teman sebaya (Papalia, Feldman & Martorell,
2014). Para remaja saat ini lebih sering bernalar mengenai orang-
orang disekitar melalui dunia maya. Kebutuhan eksistensi remaja
lebih banyak disalurkan melalui media-media sosial untuk
menunjukkan diri dan menjadi pusat perhatian. Penggunaan
teknologi komunikasi yang berlebihan dapat berdampak pada
perkembangan emosi dan sosial remaja. Remaja cenderung lebih
senang mengekspresikan emosi melalui status-status di media
sosial daripada mengkomunikasikan secara langsung.
193

Kasus perundungan siber disebutkan Tokunaga (2010) bahwa


perundungan siber banyak terjadi di usia Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP)
di Indonesia rata-rata berada pada usia 12 hingga 14 tahun. Price
& Dalgeish (2010) menemukan bahwa persentase terbesar usia
yang terlibat dalam perundungan siber adalah usia 10 hingga 18
tahun. Lindfors, P. L., Heino, R. K., & Rimpela, A. H. (2012) juga
melaporkan bahwa proporsi tertinggi terjadinya perundungan
siber diantara usia 14 tahun dan yang terendah usia 18 tahun.
Data yang didapat oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia) di Indonesia pengguna internet terbanyak
ada di rentang usia 15-19 tahun dan pengguna internet terbanyak
kedua adalah usia 20-24 tahun (APJII, 2018). Dari data yang
diperoleh APJII tersebut dapat diketahui bahwa pengguna
internet terbanyak di Indonesia adalah remaja dengan rentang
usia 15-19 tahun.
Usia 15-19 tahun di Indonesia adalah mereka yang masih
berada di jenjang pendidikan SMP, SMA dan mahasiswa baru di
Perguruan Tinggi. Hal ini sesuai dengan survei dari APJII tentang
pengguna internet berdasarkan tingkat pendidikan. Mahasiswa
atau Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 92,6%, menempati urutan
pertama sebagai pengguna internet tebanyak, yang kedua adalah
SMA sebesar 90,2% dan ketiga adalah SMP sebesar 80, 4% dari
jumlah penduduk Indonesia. Alasan utama dalam menggunakan
internet adalah komunikasi lewat pesan (24,7%), sosial media
(18,9%), mencari informasi terkait pekerjaan (11,5%) (APJII,
2018). Setiap perkembangan pasti selalu disertai dengan dampak
positif dan negatif, termasuk kemajuan teknologi. Salah satu
bentuk kekerasan yang sering dialami anak muda di dunia maya
adalah perundungan siber. Willard (2007) menegaskan bahwa
perundungan siber terdiri dari mengirim atau mengunggah materi
berbahaya atau terlibat dalam agresi sosial melalui Internet atau
teknologi lainnya.
194

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rifauddin


(2016) fenomena perundungan siber yang dilakukan para
remaja khususnya di wilayah Indonesia menunjukkan bahwa
antara tahun 2011 dan 2013 yang diterbitkan pada Februari 2014
bahwa mayoritas anak muda di Indonesia telah menjadi korban
perundungan siber. 400 anak-anak dan remaja antara usia 10
dan 19 mengambil bagian dalam penelitian ini. Juga ditemukan
bahwa sembilan dari sepuluh siswa, atau 89 persen responden,
berkomunikasi online dengan teman-teman mereka, 56 persen
online dengan keluarga dan 35 persen online dengan guru
mereka. Hingga 13 persen responden mengaku menjadi korban
perundungan siber berupa hinaan dan ancaman. Hasil penelitian
Ramadhan dan Coralia (2018) menyatakan bahwa banyak
penelitian sebelumnya yang menunjukkan hasil bahwa pola asuh
berpengaruh signifikan terhadap perilaku perundungan siber,
khususnya pola asuh otoriter. menjadi perilaku perundungan
siber karena teknologi saat ini bisa mewujudkannya. Meskipun
data yang disajikan adalah data perilaku bullying, bukan perilaku
perundungan siber. Namun perilaku bullying bisa berubah
menjadi perilaku perundungan siber karena teknologi saat ini
bisa mewujudkannya
Perundungan siber pada remaja terkait pengasuhan single
parent ayah berdasarkan penelitian Mustika (2021) menunjukkan
bahwa adanya hubungan antara variabel pola asuh single parent
ayah dan variabel perilaku perundungan siber pada remaja.
Variabel pola asuh single parent ayah (X) memengaruhi variabel
perilaku perundungan siber pada remaja (Y) sebesar 17,7%.
4. Dampak Perundungan Siber Pada Remaja
Hinduja & Patchin (2014) mengemukakan efek negatif
perundungan siber berdasarkan pengalaman para korban. Para
korban perundungan siber merasa depresi, sedih, marah dan
195

frustrasi. Beberapa korban mengaku terluka baik secara fisik


maupun mental. Perundungan siber yang dialami membuat
para korban merasa tidak berdaya (Notar, C. E., Padgett, S., &
Roden, J, 2013), tidak berharga dan tidak percaya diri. Beberapa
korban sering merasa takut dan malu untuk pergi ke sekolah.
Dampak-dampak negatif lain bagi korban yang pernah mengalami
perundungan siber adalah menurunnya harga diri (Brewer &
Kerslake, 2015; Hinduja & Patchin, 2010), mengalami bermacam-
macam masalah akademis seperti ketidakhadiran di sekolah dan
kegagalan di sekolah (Chibbaro, 2007), kekerasan di sekolah serta
keinginan untuk bunuh diri (Klomek dkk, 2011).
Efek negatif dari perundungan siber tidak hanya dirasakan
oleh korban. Pelaku cyberbulllying juga mengalami penurunan
harga diri (Brewer & Kerslake, 2015; Hinduja & Patchin, 2010).
Pelaku kemungkinan mengalami implikasi jangka panjang antara
lain peningkatan sikap antisosial, kekerasan atau perilaku kriminal
pada masa dewasa (Patchin & Hinduja: Kulig dkk dalam Notar
dkk, 2013). Pinchot & Paullet (2013) menemukan fakta-fakta
bahwa perilaku perundungan siber dapat berlanjut menjadi
masalah ketika siswa memasuki universitas walaupun insiden
perundungan siber selama ini terjadi pada tahun-tahun sekolah
menengah. Remaja yang terus-menerus melakukan perundungan
siber dapat mengalami penurunan kualitas hubungan dengan
teman sebaya. Remaja pelaku perundungan siber akan kehilangan
dukungan dari teman-teman sebaya yang kemudian berdampak
pada kesejahteraan psikologis (Price & Dalgeish 2010).

C. Penutup

Perundungan siber rentan terjadi pada remaja. Kemudahan akses


teknologi yang ada saat ini memberikan peluang yang cukup tinggi
para remaja dalam melakukan perundungan siber. Peranan orang
tua dalam mengawasi aktivitas anak dalam berinteraksi di internet
196

merupakan faktor yang cukup berpengaruh pada kecenderungan anak


untuk terlibat dalam perundungan siber. Pola asuh single parent ayah
memiliki kaitan dalam kasus perilaku perundungan siber pada remaja.
Dampak perilaku perundungan siber pada remaja memunculkan
implikasi jangka panjang terkait agresifitas pada masa dewasa dan
kualitas hubungan dengan sebaya yang tentunya akan berdampak
pada kesejahteraan psikologisnya.

Daftar Pustaka

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia(APJII). (2018). Profil


Pengguna Internet Indonesia 2014. Jakarta: Author.
Brewer, G. & Kerslake, J. (2015). Cyberbullying, self-esteem, empathy
and loneliness. Computer in Human Behavior, 48, 255-260.
Chibbaro, J. S. (2007). School Counselors and theCyberbully: Interventions
and Implications. ASCA, 11 (1), 65-68.
Dagun, M. S. (2002). Psikologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta.
Haffer, D., R., & Kipp, K. (2014). Development psychology: childhood
and adolescence, 9th edition, international edition. United Station
America: WADSWORTH Cengage Learning.
Hestina. (2017). Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan
Kecenderungan Bullying Siswa. FKIP Universitas Lampung.
Hinduja, S. & Patchin, J. W. (2010). Cyberbullying and Self-esteem.
Journal of School Health, 80 (12), 614-621.
Hinduja, S.& Patchin, J. W. (2014). Cyberbullying: Identification,
Prevention & Response. Cyberbullying Research Center (www.
cyberbullying.us).
Klomek, A. B., Sourander, A. & Gould, M. S. (2011). Bullying and
Suicide. Psychiatric Times, 28 (2), 1-6.
Kowalski, R. M., Limber, S. P. & Agatston, P. W. (2012). Cyberbullying:
197

Bullying in The Digital Age. Second Edition. Wiley-Blackwell.


Langos, C. (2012). Cyberbullying: The Challenge to Define. Cyberpsychology,
Behavior, and Social Networking, 15(6), 285-289.
Lindfors, P. L., Heino, R. K., & Rimpela, A. H. (2012). Cyberbullying
among Finish adolescents - a population – based study. BMC Public
Health, 12.
Mustika, Ira. (2021) Pengaruh Pola Asuh Single Parent Ayah Terhadap
Perilaku Perundungan Siber Pada Remaja. Skripsi. Program Studi
Psikologi: Universitas Trunojoyo Madura.
Notar, C. E., Padgett, S., & Roden, J. (2013). Cyberbullying: Resources
for Intervention and Prevention. Universal Journal of Educational
Research, 1 (3), 133-145.
Pinchot, J. L., & Paullet, K. L. (2013). Social Networking: Friend or
Foe? A Study of Cyberbullying at a University Campus. Issues in
Information Systems, 14 (2), 174-181.
Price, M. & Dalgeish, J. (2010). Cyberbullying: Experiences, Impacts and
Coping Strategies. BoysTown (www.kidshelp.com.au).
Ramadhan dan Coralia. (2018). Peran Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Cyberbullying Pada Remaja. http://proceeding.unisba.ac.id/
index.php/PronaP/article/view/1491
Riebel, J., Jager, R.S., & Fischer, U.C. (2009). Cyberbullying in Germany—
an exploration of prevalence, overlapping with real life bullying and
coping strategies. Psychology Science Quarterly, 51 (3), 298-314.
Rifauddin, M. (2016). Fenomena cyberbullying pada remaja. Jurnal Ilmu
Perpustakaan, Informasi, dan Kearsipan Khianah Al-Hikmah,
4(1), 35-44
Santrock, J. (2007). Child development (Ed ke-11). New York: McGraw
Hill.
Sejiwa (Yayasan Semai Jiwa Amini). (2008). Bullying: Mengatasi
kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak. Jakarta:
PT. Grasindo.
Shundy, Bagas Tigara Akbar. 2015. Pengasuhan Single parent pada
198

Kasus Kenakalan Remaja. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas


Muhammadiyah Surakarta.
Simpson, R. F., & Floud, S. (2018). Premature mortality in single fathers.
The Lancet Public Health, Vol 3 (3): 101-102.
Smith, P. K., Mahdavi, J., Carvalho, M., Fisher, S., Russell, S., &
Tippett, N. (2008). Cyberbullying: its nature and impact in secondary
school pupils. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 49
(4), 376-385.
Tokunaga, R. S. (2010). Following you home from school: A critical review
and synthesis of research on cyberbullying victimization. Computers
in Human Behavior, 26, 277–287.
Willard, N. (2005). Cyberbullying and cyberthreats. Washington: U.S.
Department of Education.
199

“MAAH.. KENAPA HABIS MIMPI GITUAN, CELANAKU


KOK BASAH?”:UPAYA MEMBANGUN KOMUNIKASI
SEPUTAR SEKSUALITAS PADA REMAJA LAKI-LAKI
Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.
Universitas Trunojoyo Madura
[email protected]

A. Pendahuluan

Salah satu tahap atau masa dalam rentang kehidupan manusia


adalah masa remaja. Menurut Mönks, Knoers, dan Haditono (2001)
remaja dianggap tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak
termasuk golongan anak maupun golongan dewasa. Remaja ada
di antara anak dan orang dewasa, bahkan di ranah hukum, tidak
dikenal istilah remaja karena hanya mengenal istilah anak dan
dewasa (Sarwono, 2013). Lebih jauh Lewin (dalam Mönks, dkk, 2001)
mengemukakan bahwa remaja ada di tempat marginal. Disebabkan
ada beragam persyaratan untuk dapat dikatakan sebagai orang
dewasa, maka remaja lebih mudah dimasukkan ke dalam kategori
anak daripada kategori dewasa. Baru pada akhir abad ke 18 masa
remaja dipandang sebagai periode yang lepas dari periode kanak-
kanak. Meskipun demikian, kedudukan dan status remaja berbeda
dibandingkan anak. Masa remaja menunjukkan sifat-sifat masa transisi
atau peralihan (Calon dalam Mönks, dkk, 2001) karena remaja belum
berstatus orang dewasa namun juga tidak berstatus kanak-kanak.
200

Secara etimologis, Hurlock (1994) mengemukakan bahwa istilah


remaja berasal dari kata adolescence (bahasa Latin) adolescere, kata
bendanya adolescentia, yang berarti remaja; tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa; di mana istilah adolescence ini, saat ini memiliki arti
yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan
fisik. Penggunaan istilah remaja sendiri sangat beragam. Ada yang
memberi istilah: puberty (Inggris), puberteit (Belanda), pubertas (Latin).
Ada pula yang menggunakan istilah adolescentio (Latin) yaitu masa
muda, istilah pubescence yang berasal dari kata pubis yang dimaksud
pubis hair atau rambut di sekitar kemaluan. Dengan tumbuhnya
rambut itu suatu pertanda masa kanak-kanak berakhir dan menuju
kematangan/ kedewasaan seksual (Rumini & Sundari, 2004).
Selain tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan yang dianggap
sebagai suatu pertanda masa kanak-kanak berakhir dan menuju
kematangan/ kedewasaan seksual, pertanda yang lain, khususnya
pada remaja laki-laki adalah “mimpi basah”. Menurut Risman,
Madani, dan Maisura (2014) mimpi basah terjadi ketika organ
reproduksi laki-laki (meliputi penis, testis, kelenjar prostat, dan
sebagainya) sudah mulai berfungsi dalam memproduksi sperma.
Cairan sperma yang keluar dari kemaluan laki-laki disebut air mani.
Peristiwa ini menandakan seorang anak laki-laki sudah beralih dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Tidak jarang, peristiwa pertama
kalinya anak laki-laki mengalami mimpi basah inilah yang membuat
mereka bingung dan tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Di
sinilah pentingnya peran orang tua mulai mengajak berkomunikasi
tentang seksualitas manakala mengetahui anak laki-lakinya sudah
mengalami mimpi basah dan mulai bertanya tentang mimpi basah
kepada orangtuanya.
201

B. Tinjauan Teori

1. Pengertian dan pembagian masa remaja. Masa remaja


adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia,
menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa
(Santrock, 2003). Secara umum, Hurlock (1994) membagi
masa remaja menjadi dua, yaitu awal masa remaja dan akhir
masa remaja. Garis pemisah antara awal masa remaja dan
akhir masa remaja terletak di sekitar usia 17 tahun. Awal
masa remaja berlangsung dari usia 13 tahun sampai 16 tahun
atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16
tahun atau 17 tahun sampai usia 18 tahun. Konopka (dalam
Agustiani, 2009) sendiri membagi masa remaja menjadi tiga
bagian, antara lain:
2. Masa remaja awal (12-15 tahun). Pada masa ini, individu
mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha
mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak
tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah
penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya
konformitas yang kuat dengan teman sebaya.
3. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun). Masa ini ditandai
dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru.
Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun
individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri
(self-directed). Pada masa ini, remaja mulai mengembangkan
kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas,
dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan
dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai.
4. Masa remaja akhir (19-22 tahun). Masa ini ditandai oleh
persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa.
Selama periode ini, remaja berusaha memantapkan tujuan
vokasional dan mengembangkan sense of personal identity.
202

Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima


dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga
menjadi ciri dari tahap ini.
Menurut Desmita (2015) batasan usia remaja yang umum
digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. rentang
waktu usia remaja ini biasanya dibedakan menjadi tiga yaitu: 12-15
tahun disebut dengan masa remaja awal, 15-18 tahun disebut masa
remaja pertengahan, dan 18-21 tahun disebut remaja akhir. Namun
batasan usia ini menurut Mönks, dkk (2001) masih dibagi lagi menjadi:
usia 10-12 tahun (masa pra-remaja/ pra-pubertas); usia 12-15 tahun
(remaja awal/ pubertas); 15-18 tahun (remaja pertengahan); dan 18-21
tahun (remaja akhir), di mana usia 12-21 tahun (remaja awal-remaja
akhir) ini disebut dengan adolesensi.
1. Perubahan fisik dan seksual remaja
Salah satu masa dalam rentang kehidupan individu, di
mana terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat, selain masa
pranatal dan bayi adalah masa remaja (Yusuf, 2012). Hingga usia
9 tahun dapat dikatakan pertumbuhan tinggi badan laki-laki dan
perempuan berjalan sama, namun setelah itu mulai permulaan
percepatan pertumbuhan pada perempuan, sedang percepatan
pada remaja laki-laki lebih kemudian (Rumini & Sundari, 2004).

Gambar 1
Perubahan proporsi tubuh remaja laki-laki dan perempuan
Sumber: Growing Up. Scientific American, J. M. Tanner (1973)
203

Pada mulanya, tanda-tanda perubahan fisik dari masa


remaja terjadi dalam konteks pubertas. Dalam konteks ini,
kematangan organ-organ seks dan kemampuan reproduktiflah
bertumbuh dengan cepat, baik pada anak laki-laki maupun anak
perempuan. Mereka mengalami pertumbuhan fisik yang cepat,
yang disebut “growth spurt” (percepatan pertumbuhan) di mana
terjadi perubahan dan percepatan pertumbuhan di seluruh bagian
dan dimensi badan (Zigler & Stevenson dalam Desmita, 2015).
Selanjutnya, dalam perkembangan seksualitas remaja,
perkembangannya ditandai dengan dua ciri, yaitu ciri-ciri seks
primer dan ciri-ciri seks sekunder (Yusuf, 2012).
a. Ciri-ciri seks primer
Pada masa remaja laki-laki ditandai dengan cepatnya
pertumbuhan testis, yakni pada tahun pertama dan kedua,
kemudian pertumbuhannya menjadi lambat, dan mencapai
ukuran matangnya pada usia 20-21 tahun. Testis ini telah ada
sejak kelahiran, meskipun baru 10% dari ukuran matangnya.
Setelah testis mulai tumbuh, penis mulai bertambah panjang,
pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin membesar.
Matangnya organ-organ seks tersebut, memungkinkan remaja
laki-laki (14-15 tahun) mengalami “mimpi basah” (Yusuf,
2012).
Sementara pada remaja perempuan, kematangan
organ-organ seksnya ditandai dengan tumbuhnya rahim,
vagina, dan ovarium (indung telur) secara cepat. Ovarium
menghasilkan ova (telur) dan mengeluarkan hormon-
hormon yang diperlukan untuk kehamilan, menstruasi
dan perkembangan seks sekunder. Pada masa inilah (11-15
tahun) untuk pertama kalinya remaja perempuan mengalami
menarche (menstruassi pertama). Peristiwa menarche ini diikuti
oleh menstruasi yang terjadi dalam interval yang tidak
204

beraturan. Untuk jangka waktu 6 bulan sampai 1 tahun atau


lebih, ovulasi mungkin tidak selalu terjadi (Yusuf, 2012).

Gambar 2
Organ-organ seks pada remaja laki-laki dan perempuan
Sumber: Ensiklopedia Mini Tubuh Manusia (2003)

b. Ciri-ciri seks sekunder


Ciri-ciri seks sekunder adalah ciri-ciri jasmaniah yang
tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi.
Pada perempuan dapat diketahui dari rambut kemaluan dan
pinggul melebar. Sementara pada laki-laki, selain rambut
kemaluan, bagian bahu melebar. Pertumbuhan rambut pada
perempuan terbatas di kepala, ketiak dan alat kemaluan,
sedangkan pada laki-laki masih mengalami pertumbuhan
rambut di tempat lain, yaitu kening, janggut, kaki, tangan,
dan dada (Rumini & Sundari, 2004).
205

Gambar 3
Ciri-ciri seks sekunder pada remaja laki-laki dan perempuan
Sumber: http://www.ilma95.net/edukasi/remaja_dan_
perubahan_kejiwaannya/ciri-ciri_fisik.htm

2. Dorongan dan perilaku seksual remaja


Setiap manusia memiliki dorongan seksual. Dorongan ini
mulai dirasakan sejak masa remaja akibat pengaruh hormon
seks, khususnya hormon testosteron. Dalam perkembangannya,
dorongan seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti juga
perilaku seksual. Salah satu faktor yang memengaruhi perilaku
seksual adalah dorongan seksual. Tanpa dorongan seksual, tidak
terjadi perilaku seksual (Pangkahila, 2001). Perilaku seksual
merupakan perilaku yang muncul karena adanya dorongan
seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual
melalui berbagai perilaku. Perilaku seksual yang sehat dan
dianggap normal adalah cara heteroseksual, vaginal, dan
dilakukan suka sama suka, dan tentu saja dalam ikatan suami istri.
206

Sedangkan yang tidak normal antara lain sodomi, homoseksual,


lesbian, dan lain-lain (Wahyudi dalam Yuliadi, 2010).
Menurut Pangkahila (2001) perilaku seksual dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain: a) Dorongan seksual; b) Nilai-
nilai sosiokultural dan moral; c) Pengetahuan seksual; dan d)
Fungsi seksual. Jika dorongan seksual normal, maka perilaku
seksualnya juga normal, namun ekspresi dorongan seksual
ini diatur oleh nilai-nilai sosiokultural dan moral yang sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai agama. Di sisi lain, nilai-nilai agama
sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang pada akhirnya memengaruhi perilaku seksual
manusia. Fungsi seksual juga dapat memengaruhi perilaku
seksual. Seseorang dengan fungsi seksual yang normal, perilaku
seksualnya berbeda dengan mereka yang mengalami disfungsi
(gangguan fungsi) seksual.
Berikut adalah sepuluh bentuk perilaku seksual yang
dikemukakan Wahyudi (dalam Yuliadi, 2010) antara lain:
a. Berfantasi: merupakan perilaku membayangkan dan
mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk
menimbulkan perasaan erotisme.
b. Pegangan tangan: aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan
rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul
keinginan untuk mencoba aktivitas yang lain.
c. Cium kering: berupa sentuhan pipi dengan pipi atau
pipi dengan bibir.
d. Cium basah: berupa sentuhan bibir ke bibir
e. Meraba: merupakan kegiatan bagian-bagian sensitif
rangsang seksual, seperti leher, breast, paha, alat kelamin
dan lain-lain.
f. Berpelukan: aktivitas ini menimbulkan perasaan tenang,
aman, nyaman disertai rangsangan seksual  (terutama
207

bila mengenai daerah aerogen/sensitif)


g. Masturbasi atau onani: perilaku merangsang organ
kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual.
h. Oral seks: merupakan aktivitas seksual dengan cara
memasukkan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.
i. Petting: merupakan seluruh aktivitas non intercourse
(hingga menempelkan alat kelamin).
j. Intercourse (senggama): merupakan aktivitas seksual
dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam
alat kelamin perempuan.
3. Membangun komunikasi seputar seksualitas pada remaja
laki-laki
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pada masa remaja laki-
laki ditandai dengan cepatnya pertumbuhan testis, yakni pada
tahun pertama dan kedua, kemudian pertumbuhannya menjadi
lambat, dan mencapai ukuran matangnya pada usia 20-21 tahun.
Testis ini telah ada sejak kelahiran, meskipun baru 10% dari
ukuran matangnya. Setelah testis mulai tumbuh, penis mulai
bertambah panjang, pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin
membesar. Matangnya organ-organ seks tersebut, memungkinkan
remaja laki-laki (14-15 tahun) mengalami “mimpi basah” (Yusuf,
2012).
Saat remaja laki-laki kebingungan mendapati dirinya
mengalami “mimpi basah” dan mulai bertanya kepada orangtuanya
tentang kondisinya tersebut, orangtua dapat mulai membangun
komunikasi seputar seksualitas pada remaja laki-laki. Menurut
Andika (2010) untuk mulai menciptakan komunikasi yang terbuka
pada anak, termasuk komunikasi seputar seksualitas, orangtua
dapat mendiskusikan beberapa hal sebagai berikut: a) Dalam
mengungkapkan pendapat atau pertanyaan kepada orangtua
dilakukan dengan cara yang santun; b) Cara mengekspresikan
perasaan yang tepat jika ada sesuatu yang kurang menyenangkan;
208

dan c) Sediakan waktu untuk berbincang, biasanya saat makan


malam, untuk menjaga komunikasi antaranggota keluarga.
Lebih lanjut, Andika (2010) menyebutkan cara lain yang bisa
dilakukan orangtua jika masih merasa risi menjawab pertanyaan
anak mengenai seksualitas. Setiap minggu, orangtua dapat
membagikan potongan-potongan kertas dan berikan kepada
anak. Di kertas tersebut, mereka dapat bertanya hal-hal apa saja
yang mengganjal pikiran mereka namun tidak bisa diungkapkan.
Setelah orangtua menerima kartu pertanyaan tersebut, orangtua
dapat mengambil jeda waktu tiga hari untuk mencari informasi
yang paling tepat mengenai pertanyaan tersebut. Dengan
demikian, orangtua juga dapat mempersiapkan diri untuk
menjawab pertanyaan dari mereka.
Terkait pertanyaan tentang “mimpi basah”, El- Qudsy (2012)
mengatakan bahwa orang tua yang bijak harus mengatakan
kepada anaknya bahwa mimpi basah adalah sesuatu yang
normal dan lazim bagi anak laki-laki yang akan menjadi dewasa.
Pembicaraannya harus diawali dengan menaruh rasa hormat
sehingga tidak menertawakan pertanyaan atau kata-kata yang
diucapkan anak. Jika orangtua memberikan contoh bagaimana
mengucapkan kata-kata “sensitif” dengan penuh hormat, maka
anak akan meniru sikap itu. Mereka tidak akan merasa malu atau
tertekan untuk membicarakan hal-hal yang masih dianggap tabu
oleh sebagian besar masyarakat (Andika, 2010).
Pada saat orangtua berkomunikasi dengan anak mengenai
mimpi basah, El-Qudsy (2012) mengemukakan bahwa orangtua
dapat mengibaratkan terjadinya mimpi basah seperti gelas yang
diisi penuh sehingga dengan sendirinya air yang ada di dalam
gelas tersebut tumpah. Ketika sistem reproduksi sudah penuh
dengan sel sperma, penis menjadi sangat sensitif terhadap
rangsangan apa pun dari luar, misalnya gesekan dengan bantal
209

atau guling ketika tidur malam. Rangsangan yang kecil ini dapat
membuat remaja ejakulasi (keluarnya sperma), untuk mengurangi
tekanan pada tempat penyimpanan sperma. Dalam beberapa
kasus, kandung kemih yang penuh akan menekan vesikula
seminalis dan mengakibatkan ejakulasi.
Dengan dibukanya “keran” komunikasi seputar seksualitas,
khususnya tentang mimpi basah antara orang tua dengan anak
laki-laki yang beranjak remaja, diharapkan para remaja laki-laki
ini semakin terbuka dengan masalah seputar seksualitas yang
dihadapinya. Demikian pula halnya para orangtua yang dapat
menjelaskan tentang perubahan yang terjadi pada anak-anak
laki-laki mereka yang beranjak remaja dengan lebih terbuka.
Tentang ciri-ciri seks primer, ciri-ciri seks sekunder, dorongan
seksual, maupun perilaku seksual pada remaja. Pada akhirnya,
dengan semakin terbukanya antara orangtua dan anak-anak
remaja laki-laki dalam hal seksualitas, diharapkan komunikasi
seputar seksualitas di antara mereka tidak mengalami hambatan.

C. Penutup

Salah satu tahap atau masa dalam rentang kehidupan manusia


adalah masa remaja. Selain tumbuhnya rambut kemaluan sebagai
suatu pertanda masa kanak-kanak berakhir dan menuju kematangan/
kedewasaan seksual (khususnya pada remaja laki-laki) adalah “mimpi
basah”. Mimpi basah terjadi ketika organ reproduksi laki-laki (meliputi
penis, testis, kelenjar prostat, dan sebagainya) sudah mulai berfungsi
dalam memproduksi sperma.
Peristiwa mimpi basah ini menandakan seorang anak laki-
laki sudah beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Tidak
jarang, peristiwa pertama kalinya anak laki-laki mengalami mimpi
basah inilah yang membuat mereka bingung dan tidak tahu harus
bertanya kepada siapa. Di sinilah pentingnya peran orang tua mulai
210

mengajak berkomunikasi tentang seksualitas manakala mengetahui


anak laki-lakinya sudah mulai bertanya tentang mimpi basah kepada
orangtuanya.
Dengan dibukanya “keran” komunikasi seputar seksualitas,
khususnya tentang mimpi basah antara orang tua dengan anak
laki-laki yang beranjak remaja, diharapkan para remaja laki-laki
ini semakin terbuka dengan masalah seputar seksualitas yang
dihadapinya. Mereka tidak lagi merasa malu dan canggung bertanya
tentang seksualitas pada orangtuanya. Mereka percaya bahwa sumber
informasi tentang seksualitas yang dapat dipercaya adalah orangtua
mereka sendiri.

Daftar Pustaka

Agustiani, H. (2009). Psikologi perkembangan: Pendekatan ekologi


kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada
remaja. Bandung: PT Refika Aditama
Andika, A. (2010). Bicara seks bersama anak. Yogyakarta: Pustaka
Anggrek
Desmita (2015). Psikologi perkembangan. Bandung: Remaja
Rosdakarya
El-Qudsy, H. (2012). Ketika anak bertanya tentang seks: Panduan
islami bagi orang tua mendampingi anak tumbuh menjadi
dewasa. Solo: Tinta Media
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga
Mönks, F. J., Knoers, A. M. P & Haditono, S. R. (2001). Psikologi
perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Risman, E., Madani, H. A., & Maisura, Y. (2014). Ensexclopedia:
Tanya jawab masalah pubertas & seksualitas remaja. Jakarta:
211

Yayasan Kita & Buah Hati


Rumini, S. & Sundari, S. (2004). Perkembangan anak & remaja. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta
Santrock, J. W. (2003). Perkembangan masa hidup. Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Yuliadi, I. (2010). Free sex, masturbasi/ onani, dan gangguan orientasi
seksual remaja. Makalah Seminar. 21 Maret
Yusuf, S. (2012). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung:
Remaja Rosdakarya
213

TENTANG KONTRIBUTOR TULISAN


1 Nama : Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si.
Institusi : Universitas PGRI Semarang
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang
S2 Psikologi Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang
S3 Psikologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Email : [email protected]

2 Nama : Dr. Hanggara Budi Utomo, M.Pd., M.Psi.


Institusi : Universitas Nusantara PGRI Kediri
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Negeri Malang
S2 Teknologi Pendidikan Universitas PGRI
Adi Buana Surabaya
S2 Psikologi Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya
S3 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Email : [email protected]

3 Nama : Rosa Imani Khan, S.Psi., M.Psi.


Institusi : Universitas Nusantara PGRI Kediri
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
S2 Psikologi Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya
Email : [email protected]
214

4 Nama : Dr. YettieWandansari, M.Si., Psikolog


Institusi : Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
S2 Psikologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
S3 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Email : [email protected]

5 Nama : Agustin Rahmawati, M.Si., Psikolog


Institusi : Universitas Merdeka Malang
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya
S2 Psikologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
S3 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
(on progress)
Email : [email protected]

6 Nama : Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi, Psikolog


Institusi : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Medan
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Sumatera Utara
S2 Profesi Psikologi Klinis Anak Universitas
Sumatera Utara
S3 Ilmu Psikologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Email : [email protected]
215

7 Nama : Dr. Ermida Simanjuntak, M.Sc., M.Psi,


Psikolog
Institusi : Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
S2 Educational Effectivesness and School
Improvement University of Groningen,
Belanda
S2 Profesi Psikologi Pendidikan Universitas
Airlangga Surabaya
S3 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Email : [email protected].

8 Nama : Onny Fransinata Anggara, M.Psi, Psikolog


Institusi : Universitas Negeri Surabaya
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Brawijaya Malang
S2 Profesi Psikologi Klinis Universitas
Airlangga Surabaya
Email : [email protected]

9 Nama : Dr. Hera Wahyuni, M.Psi, Psikolog


Institusi : Universitas Trunojoyo Madura
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Muhammadiyah
Malang
S2 Profesi Psikologi Klinis Universitas
Airlangga Surabaya
S3 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Email : [email protected]
216

10 Nama : Dr. Setyaningsih, S.Psi., M.Si.


Institusi : Universitas Trunojoyo Madura
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya
S2 Psikologi Universitas Indonesia Depok
S3 Psikologi Universitas Padjajaran Bandung
Email : [email protected]

11 Nama : Nailur Rohmah, S.Psi., M.A.


Institusi : Universitas Trunojoyo Madura
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
S2 Psikologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Email : [email protected]

12 Nama : Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog


Institusi : Universitas Trunojoyo Madura
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Putra Bangsa
Surabaya
S2 Profesi Psikologi Klinis Universitas
Airlangga Surabaya
S3 Psikologi Universitas Padjajaran Bandung
Email : [email protected]

13 Nama : Dwi Nurhayati Adhani, M.Psi, Psikolog


Institusi : Universitas Trunojoyo Madura
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
S2 Profesi Psikologi Pendidikan Universitas
Airlangga Surabaya
Email : [email protected]
217

14 Nama : Rosyida Qorrin, S.Psi.


Institusi : SMK Al-Azhar Menganti Gresik
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Trunojoyo Madura
Email : [email protected]

15 Nama : Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.


Institusi : Universitas Trunojoyo Madura
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Muhammadiyah
Surakarta
S2 Psikologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
S3 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Email : [email protected]

16 Nama : Ira Mustika, S.Psi.


Institusi :-
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Trunojoyo Madura
Email : [email protected]

17 Nama : Mery Atika, S.Psi., M.Si.


Institusi : Universitas Trunojoyo Madura
Riwayat
Pendidikan : S1 Psikologi Universitas Negeri Malang
S2 Psikologi Komunitas dan Pembangunan
Universitas Airlangga Surabaya
Email : [email protected]

Anda mungkin juga menyukai