E-BOOK Psikologi Parenting
E-BOOK Psikologi Parenting
E-BOOK Psikologi Parenting
Pasal 1 Ayat 1 :
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pidana:
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimak-
sud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus
juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cip-
ta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan
mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/
atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dip-
idana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
EDITOR:
Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.
Nailur Rohmah, S.Psi., M.A., Rosyida Qorrin, S.Psi.
KONTRIBUTOR TULISAN:
Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si. • Dr. Hanggara Budi Utomo,
M.Pd., M.Psi., • Rosa Imani Khan, S.Psi., M.Psi. • Dr. Yettie
Wandansari, M.Si., Psikolog, • Agustin Rahmawati, M.Si.,
Psikolog • Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog, • Dr.
Ermida Simanjuntak, M.Sc., M.Psi., Psikolog • Onny Fransinata
Anggara, M.Psi., Psikolog , • Dr. Hera Wahyuni, M.Psi., Psikolog
• Dr. Setyaningsih, S.Psi., M.Si. • Nailur Rohmah, S.Psi., M.A. •
Dr. Netty Herawati, M.Psi., Psikolog • Dwi Nurhayati Adhani,
M.Psi., Psikolog, • Ira Mustika, S.Psi. • Mery Atika, S.Psi., M.Si. •
Rosyida Qorrin, S.Psi., • Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si.
PSIKOLOGI PARENTING
Diterbitkan Oleh
Psikologi Parenting
Penerbit:
CV. Bintang Semesta Media
Anggota IKAPI Nomor 147/DIY/2021
Jl. Karangsari, Gang Nakula, RT 005, RW 031,
Sendangtirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta 57773
Telp: 4358369. Hp: 085865342317
Facebook: Penerbit Bintang Madani
Instagram: @bintangpustaka
Website: www.bintangpustaka.com
Email: [email protected]
[email protected]
Dicetak Oleh:
Percetakan Bintang 085865342319
KATA PENGANTAR
KETUA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI)
WILAYAH JAWA TIMUR CABANG BANGKALAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
KETUA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI)
WILAYAH JAWA TIMUR CABANG BANGKALAN................v
KATA PENGANTAR EDITOR.................................................... vii
DAFTAR ISI......................................................................................ix
BAGIAN I
PARENTING PADA ANAK...........................................................1
MINDFUL PARENTING, IMPLEMENTASI
PENGASUHAN BERBASIS HAK ANAK
Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si................................................3
GAYA PENGASUHAN ORANG TUA
BERDASAR DETERMINASI DIRI
Dr. Hanggara Budi Utomo, M.Pd., M.Psi.
& Rosa Imani Khan, S.Psi., M.Psi............................................17
PENGASUHAN ANAK MELALUI
EMOTION COACHING
Dr. Yettie Wandansari, M.Si., Psikolog...................................29
MEMAHAMI ANDROGINI: PENGASUHAN
DALAM PERSPEKTIF GENDER
Agustin Rahmawati, M.Si., Psikolog......................................47
MEMAKNAI PENGALAMAN PENGASUHAN
ORANG TUA BAGI ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS DI MASA PANDEMI: STUDI LITERATUR
Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog..........................59
x
BAGIAN I
PARENTING PADA ANAK
3
A. Pendahuluan
B. Tinjauan Teori
1. Mindful parenting
Melly Kiong (2015) menjelaskan bahwa “parenting“ diartikan
sebagai “pola mengasuh” yaitu orangtua mengasuh anak-anaknya
agar tumbuh menjadi pribadi-pribadi unggul. “mindful” adalah
“berkesadaran, eling“ atau yang mengacu pada orang yang
selalu menjaga kesadarannya dari pikiran, ucapan, dan semua
perilaku yang kurang pantas. Pendekatan berkesadaran (mindful)
dalam mengasuh anak (parenting) adalah salah satu metode yang
disarankan untuk membangun hubungan yang ideal (Handayani
et al., 2016) serta aman/secure antara orang tua dan anak (Siegel
& Hartzell, 2003).
Ducan et al (2009) serta Kiong (2015) menjelaskan bahwa
model mengasuh berkesadaran terdiri dari lima segmen atau
aspek yaitu:
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara
dengan empati
Perhatian yang benar dan kesadaran (eling) untuk
menerima pengalaman saat ini (present moment) merupakan
hal utama dari hidup berkesadaran dan juga untuk parenting
yang efektif. Orangtua memberikan fungsi pelindung untuk
anak-anak yang membutuhkan perasaan aman dan menjaga
anak dari bahaya.
Orang tua yang mempraktikkan konsep mendengar dan
berbicara secara eling/ berkesadaran, akan lebih sensitif
terhadap isi percakapan dan lebih memahami serta mengerti
anak dari perubahan nada suara, ekspresi wajah, dan
bahasa tubuh. Selain itu orang tua lebih mampu mendeteksi
kebutuhan anak dan makna yang disampaikan anak. Orang
tua dapat menangkap makna tersembunyi di balik kalimat-
kalimat yang diucapkan anak, atau perubahan bahasa tubuh
yang ditampilkan anak.
7
C. Penutup
Daftar Pustaka
Ambarsari, L. and Harun, H., 2018. Sekolah Ramah Anak Berbasis Hak
Anak Di Sekolah Dasar. Profesi Pendidikan Dasar, 5(1), pp.10-19.
Duncan, Larissa G, J. Douglas Coatsworth, & Mark T. Greenberg.
(2009). A Model of Mindful Parenting: Implication for Parent-
Child Relationship and Prevention Research. Clin Child Fam
Psychol Rev, 12, 255-270. Diunduh melalui Springerlink.com,
pada tanggal 23 April 2016.
Fitri, A. N., Riana, A. W., & Fedryansyah, M. (2015). Perlindungan
Hak-Hak Anak Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Anak.
Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1),
45–50. https://doi.org/10.24198/jppm.v2i1.13235
Fitriani, R. (2016). Anak dalam Melindungi dan Memenuhi Hak-hak
Anak. Jurnal Hukum : Samudra Keadilan, 11(2), 250–258.
Gunadi, A. A. (2017). Aj 5. 38–43.
Handayani, A., Yulianti, P. D., Nyoman M., N. A., & Setiawan, A.
(2019). Mindful Parenting Based on Family Life Cycle [Mengasuh
Berkesadaran Berdasarkan Tahap Perkembangan Keluarga].
ANIMA Indonesian Psychological Journal, 35(1), 56–84. https://
doi.org/10.24123/aipj.v35i1.2882
Handayani, A., Yulianti, P. D., & Nyoman, N. A. (2016). Mengasuh
berkesadaran berdasarkan tahap perkembangan keluarga
kedua. Prosiding Seminar Nasional, February 2019.
Herlina, N., & Nadiroh, N. (2018). Peran Strategis Ruang Publik
Terpadu Ramah Anak (Rptra) Dalam Rangka Pemenuhan Hak
Anak Terhadap Lingkungan. JPUD - Jurnal Pendidikan Usia
Dini, 12(1), 104–117. https://doi.org/10.21009//jpud.121.09
Lestari, R. (2017). IMPLEMENTASI KONVENSI INTERNASIONAL
TENTANG HAK ANAK (Convention on The Rights of The
Child ) DI INDONESIA. Journal of Chemical Information and
Modeling, 4(2), 1–10.
16
Nomor, V., & Faz, G. O. (2021). Syams : Jurnal Studi Keislaman Persepsi
Remaja Pelaku Tindak Pidana terhadap Gaya Pengasuhan Orangtua.
2.
Pomerantz, E. M., Grolnick, W. S., & Price, C. E. (2005). The
role of parents in how children approach achievement : A
dynamic process perspec tive .In A. J. Elliot & C. S Dweck
(Eds.), Handbook of competence and motivation (pp. 259 - 296).
Guilford Publications
Rinaldi, M. R. (2017). Program “ Mindful Parenting ” Untuk
Menurunkan Afek Mindful Parenting Program for Decreasing
Negative Affect on Mothers of Children With Intellectual.
Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 19(2), 129–140.
UNICEF. (2020). Situasi Anak di Indonesia - Tren, Peluang, dan
Tantangan dalam Memenuhi Hak-hak Anak. Unicef, 8–38.
17
A. Pendahuluan
B. Metode
C. Pembahasan
1. Gaya pengasuhan
Orang tua dalam setiap keluarga selalu menginginkan anak-
anaknya menjadi terbaik sesuai dengan kemampuan dalam
diri anak. Keinginan orang tua supaya anak-anaknya menjadi
terbaik selanjutnya ditentukan oleh gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh orang tua. Konsep gaya atau pola pengasuhan
secara prinsipal menurut Baumrind sebagaimana dikutip
oleh Santrock (2010) merupakan kontrol dari orang tua dalam
membimbing dan terlibat dalam aktivitas anak untuk mendukung
tugas perkembangan anak menuju pada proses kedewasaan
secara fisik dan psikologis. Baumrind membedakan di antara
tiga pengasuhan utama, di antaranya: pola asuh demokratis/
otoritatif, otoriter, dan permisif (Santrock, 2010).
Pola pengasuhan demokratis atau dengan gaya otoritatif
sejatinya bersifat positif dan dapat mendorong untuk
mewujudkan kemandirian dalam diri anak. Konsekuensi dari
gaya pengasuhan demokratis ini adalah orang tua harus dapat
mengontrol perilakunya dan menempatkan batas-batas kendali
atas perilakunya. Komunikasi dua arah antara anak dan orang
tua dapat memberikan info atas aktivitas anak dan orang tua, dan
memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan
suatu tindakan yang disepakati. Orang tua yang menerapkan
pola pengasuhan dengan gaya otoritatif ini secara berproses
berdampak pada anak untuk terlibat lebih dewasa, muncul
kemandirian dalam diri anak dan mampu mengendalikan diri
serta emosi, yang selanjutnya anak mampu mengatasi masalah
yang terjadi dalam dirinya.
20
D. Penutup
Daftar Pustaka
Browder, D. M., Wood, W. M., Test, D. W., Karvonen, M., & Algozzine,
B. (2001). Reviewing resources on self-determination: A map for
teachers. Remedial and Special Education, 22(4), 233–244. https://
doi.org/10.1177/074193250102200407
Budiman, B., & Harahap, T. S. (2015). Pengaruh pola asuh orangtua
terhadap perkembangan anak usia dini (Studi Kasus di PAUD
Al-Muhajirin Desa Cibodas Pacet Cianjur). Prosiding Industrial
Research Workshop and National Seminar, 6, 197–201. https://doi.
org/10.35313/IRWNS.V6I0.253
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination
in human behavior. Plenum Press.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal
pursuits: Human needs and the self-determination of behavior.
Psychological Inquiry, 11(4), 227–268. https://doi.org/10.1207/
S15327965PLI1104_01
Fabes, R. A., Poulin, R. E., Eisenberg, N., & Madden-Derdich, D. A.
(2002). The coping with children’s negative emotions scale
(CCNES): Psychometric properties and relations with children’s
emotional competence. Marriage and Family Review, 34(3–4),
285–310. https://doi.org/10.1300/J002V34N03_05
Hurlock, E. (2011). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. (Istiwidayati (ed.)). Erlangga.
Morris, A. S., Cui, L., & Steinberg, L. (2013). Parenting research and
themes: What we have learned and where to go next. In R.
Larzelere, A. Morris, & A. Harrist (Eds.), Authoritative parenting:
Synthesizing nurturance and discipline for optimal child development.
(pp. 35–58). American Psychological Association.
Papalia, D., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development
(11th ed.). McGraw-Hill.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2017). Self-determination theory: Basic
27
A. Pendahuluan
C. Metode
D. Pembahasan
E. Penutup
Daftar Pustaka
Wilson, B.J., Berg, J.L., Zurawski, M.E., & King, K.A. (2013). Autism and
externalizing behaviors: Buffering effects of parental emotion
coaching. Research in Autism Spectrum Disorders, 7, 767-776.
http://dx.doi.org/10.1016/j.rasd.2013.02.005.
Wilson, B.J., Petaja, H., Yun, J., King, K., Berg, J., Kremmel, L., &
Cook, D. (2014). Parental emotion coaching: Association with
self-regulation in aggressive/rejected and low aggressive/
popular children. Child and Family Behavior Therapy, 36 (2), 81-
106. Doi:10.1080/07317107.2014.910731.
Wilson, K. R., Havighurst, S. S., Kehoe, C., & Harley, A. E. (2016). Dads
Tuning In to Kids: preliminary evaluation of a fathers’ parenting
program. Family Relations, 65(4), 535–549. Doi:10.1111/fare.12216.
47
MEMAHAMI ANDROGINI:
PENGASUHAN DALAM PERSPEKTIF
GENDER
Agustin Rahmawati, M.Si., Psikolog
Universitas Merdeka Malang
[email protected]
A. Pendahuluan
keluarga, tempat kerja, dan komunitas yang lebih luas. Pada saat
yang sama, perubahan global, mendorong nilai-nilai budaya ke arah
munculnya modifikasi dan variasi (Badjanova, Pipere, & Ilisko, 2017).
Identitas gender seperti apakah yang akan melekat pada anak akan
memengaruhi menjadi seperti apakah mereka kelak. Dalam tulisan
ini kami menyarankan kemungkinan adaptasi kreatif analisis gender,
yang dianjurkan selama lebih dari 20 tahun, untuk masalah-masalah
pengasuhan dan pendidikan.
B. Tinjauan Teori
1. Sosialisasi gender
Sejak dilahirkan, orang tua sudah memiliki preferensi akan
bagaimana memperlakukan anak-anaknya kelak. Jika berjenis
kelamin laki-laki akan diarahkan pada hal-hal yang bersifat
maskulin. Sementara jika berjenis kelamin perempuan, akan
dikenalkan pada segala hal yang bersifat feminin. Ketika seorang
anak dilahirkan, ia sudah mendapatkan tugas dan beban gender
dari masyarakat (Nasarudin Umar, 1999, dalam Ratnasari, 2017).
Identitas gender dapat diartikan sebagai pemahaman individu
terhadap peran gendernya, termasuk persepsi tentang bagaimana
harus menjadi seorang laki-laki atau perempuan (Egan & Perry,
2001). Pendapat senada mengatakan bahwa identitas gender
mengacu pada tingkat di mana seseorang menganggap diri
sebagai maskulin atau feminin, dengan mendasarkan diri pada
makna maskulin atau feminin dalam budaya tertentu (Perry
& Pauletti, 2011; Wood & Eagly, 2009). Identitas gender dapat
membenarkan perilaku gender tertentu di bidang sosial (Tobin
et al., 2010). Oleh karena itu, identitas gender memengaruhi
bagaimana orang memandang dunia di sekitar mereka dan
bagaimana mereka berperilaku (Vantieghem, Vermeersch, &
Van Houtte, 2014). Salah satu aspek identitas gender adalah
mengetahui apakah kita perempuan atau laki-laki, di mana
49
tentang apa yang sesuai dan apa yang tidak bagi anak laki-laki
dan anak perempuan adalah penting juga bagi perkembangan
gender. Penstereotipan peran gender nampak dalam media,
baik cetak maupun elektronik. Pada iklan, perempuan seringkali
digambarkan dalam produk-produk kecantikan, produk
perawatan rumah/kebersihan, dan produk bahan makan.
Sementara laki-laki seringkali digambarkan dengan iklan produk
otomotif dan minuman. Secara masif, seringkali kita masih
menemukan bahwa televisi menggambarkan laki-laki sebagai
lebih berkompeten daripada perempuan (Durkin, 1985; dalam
Santrock, 2012)
Pada hampir semua budaya di seluruh dunia menyetujui
adanya peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan
(Kagitcibasi, 2007). Di banyak budaya, ibu mengajarkan anak
perempuannya agar lebih patuh dan bertanggungjawab daripada
anak laki-laki. Selain itu ibu juga menerapkan banyak batasan
terhadap kebebasan pada anak perempuan. Ayah memberi
perhatian lebih besar kepada anak laki-laki, lebih sering
melakukan aktivitas Bersama anak laki-laki, dan lebih mendorong
kemampuan intelektual anak laki-laki (Bronstein, 2006). Sementara
orang tua memberikan batasan paling awal tentang peran gender,
teman sebaya selanjutnya juga turut memberikan respon terhadap
perilaku maskulin dan feminin (Blakemore, Berrenbaum, & Liben,
2009). Teman sebaya menunjukkan penghargaan dan hukuman
terhadap bagaimana harus berperilaku terkait gender (Leaper &
Friedman, 2007). Saat anak berperilaku sesuai dengan gendernya,
teman-temannya akan menghargai mereka, sebaliknya akan
menolak jika anak berperilaku dengan cara yang menurut budaya
dianggap lebih menggambarkan karakteristik gender lain.
51
lebih baik dan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Ross, Baird,
& Towson, (2009).
Selaras dengan beberapa hasil penelitian diatas, Kaplan &
Sidney (dalam Nuryoto, 2003) mengatakan bahwa sifat androgini
memiliki implikasi bahwa anak akan mempunyai wawasan
yang luas sehingga mampu bereaksi secara tepat dalam situasi
apapun. Anak juga mampu bersikap fleksibel seperti .apa yang
diharapkan oleh masyarakat (mampu membedakan kapan harus
bersikap maskulin dan kapan harus bersikap feminine). Terakhir,
anak-anak yang teridentifikasi sebagai androginos akan mampu
bersikap hangat dan dapat diterima dengan baik oleh orang lain.
Konsep androgini lebih lanjut diperkuat oleh gagasan
transendensi peran gender. Walaupun konsep androgini merupakan
suatu perbaikan atas paham eksklusif tentang feminitas dan
maskulinitas, konsep ini bukanlah konsep yang betul-betul
sempurna untuk mengatasi fenomena-fenomena sebelumnya.
Beberapa peneliti percaya bahwa gagasan tentang androgini
harus diganti dengan transendensi peran gender, yakni
keyakinan bahwa bila kompetisi individu yang dipersoalkan,
maka sebenarnya kompetensi tersebut tidak dikonseptualisaikan
atas dasar maskulinitas, feminitas, atau androgini, tetapi lebih
baik atas dasar individu itu. Dengan demikian, sebagai ganti
menggabungkan peran gender, kita harus mulai berpikir tentang
manusia sebagai manusia (Pleck, 1981; dalam Santrock, 2012).
Bantulah anak untuk mngurangi stereotipe dan diskriminasi
gender. Mendorong anak laki-laki untuk belajar lebih peka dan
prososial, tidak agresif, dan mengatasi emosi secara positif.
Sementara kepada anak perempuan, agar lebih asertif, bangga
dengan kemampuannya yang selama ini dianggap tidak berharga,
dan lebih mengembangkan potensi diri (Santrock, 2012). Hal ini
bisa dilakukan jika orang tua tidak melakukan stereotipe dan
54
C. Penutup
Daftar Pustaka
UGM, Yogyakarta.
Kagitcibasi, C. (2007). Family, Self, and Human Development Across
Cultures: Theory and Applications (2nd ed.) Mahwah, NJ: Lawrence
Erlbaum.
Leaper, C., & Friedman,C.K. (2007). The Socialization of Gender.
In Joan E. Grusec and Paul D. Hastings (eds) Handbook of
Socialization: Theory and Research, Guilford Publications.
Ivan, L. (2012). Sex Role Identity, Nonverbal Sensitivity and Potential
Leadership Style, Procedia - Social and Behavioral Sciences. 46,
1720-1729
Ivan, L., (2017). Sex Role Identity, Communication Skills, and Group
Popularity, Romanian Journal of Communication and Public
Relations. 19 (41) 19-28
Nuryoto, S. (2003), Manfaat Penanaman Sifat Androgini Pada Anak
Sejak Dini, Anima; Indonesian Psychological Journal, 19(1), 17-36
Pauletti, R.E., Menon, M., Cooper, P.J., Aults, C.D., Perry, D.G.
(2017). Psychological Androgyny and Children’s Mental Health:
A New Look with New Measures, Sex Roles, 76:705–718
Perry, D. G., & Pauletti, R. E. (2011). Gender and adolescent
development. Journal of Research on Adolescence, 21(1), 61-74.
Priatmoko, A. (2016). Prososial Ditinjau dari Peran Jenis pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Skripsi,
Fakultas Psikilogi, Universitas gajah Mada, Yogyakarta.
Ratnasari, D. (2017). Menggagas Pendidikan Islam Responsif Gender.
Jurnal Humanika, 17(1), 12-22.
Reagan Gale-Ross, R.G., Baird, A.& Towson, S. (2009). Gender Role,
Life Satisfaction, and Wellness: Androgyny in a Southwestern
Ontario Sample Canadian Journal on Aging / La Revue canadienne
du vieillissement 28 (2) : 135 – 146
Santrock, J.W. (2012). Live Span Development; Perkembangan Masa
Hidup. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Tobin, D. D., Menon, M., Menon, M., Spatta, B. C., Hodges, E. V. E.,
57
A. Pendahuluan
B. Tinjauan Teori
C. Metode
D. Hasil
E. Pembahasan
F. Penutup
Daftar Pustaka
Winarti, Implementasi Subyek Metode kualitatif, Hasil penelitian (1) fungsi orang tua adalah sebagai pembimbing,
A. parenting pada penelitian pengumpulan data: pendidik, penjaga, pengembang dan pengawas. Secara khusus menjaga
(2020) pendidikan anak terdiri dari wawancara, observasi, dan memastikan anak untuk menerapkan hidup bersih dan sehat,
usia dini di masa kepala sekolah, dokumentasi. mengikuti protokol kesehatan. (2) Pelaksanaan mendampingi anak
pandemi covid 19 dua guru, tiga dalam mengerjakan tugas sekolah secara daring, mengerjakan aktivitas
orang tua. bersama selama di rumah, menciptakan lingkungan yang nyaman agar
anak betah tinggal di rumah saja, (3) Faktor pendukung pendidikan
anak usia dini masa pandemi covid-19, adanya sarana dan prasarana
pendukung untuk daring, adanya komunikasi searah orang tua dan
guru PAUD dengan baik, selain itu ada faktor penghambat yaitu orang
tua yang bekerja tidak dapat sepenuhnya mendampingi anak belajar.
Nurhast Ketahanan mental Partisipan Metode: mixed methods, Hasil: setiap anggota keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus
uti, dkk. keluarga anak sejumlah 150 menggabungkan mempunyai peran dalam memperkokoh ketahanan mental keluarga dan
(2021) berkebutuhan orag tua yang penelitian kuantitatif juga berperan dalam mempertahankan keutuhan dan kesejahteraan
khusus dalam memiliki anak dan kualitatif. Analisis keluarga. Hal pertama yang harus dilakukan mengelola emosi,
menghadapi new berkebutuhan data pada penelitian ini mengelola stres, meningkatkan motivasi hidup, dan membina
normal khusus di kota menggunakan analisis komunikasi dengan anggota keluarga.
Padang statistik deskriptif.
Safitri, Analisis kendala Partisipan Metode: studi kasus, Hasil: 1) Kurangnya pemahaman terhadap materi ajar 2) Kesulitan
dkk. orang tua dalam sejumlah 3 pengumpulan data dalam menumbuhkan minat belajar pada anak, 3) Ketergantungan anak
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
(2021) mendampingi anak orang tua dari wawancara. Analisis kepada orang tua semakin besar (anak manja), 4) kurangnya skill orang
tunanetra belajar di anak tuna netra. data: tematik analisis tua dalam intervensi anak. Penelitian ini diharapkan dapat menggali
rumah di masa apa saja kendala yang dialami orang tua mendampingi anak belajar dari
pandemi rumah (BDR) sehingga dapat berkontribusi dalam penelitian
selanjutnya dalam memberikan solusi untuk mengatasi masalah
tersebut.
Rahmaw Model Partisipan Metode: studi kasus, Hasil: terdapat tiga model pendampingan belajar orang tua untuk anak
ati, dkk. pendampigan sejumlah 3 pengumpulan data berkebutuhan khusus selama masa pandemi yakni pendampingan belajar dengan
(2020) belajar orang tua orang tua dari wawancara. Analisis menggunakan pendekatan pola asuh permisif, otoriter, dan otoritarian.
untuk anak anak data: tematik analisis
berkebutuhan berkebutuhan
khusus selama khusus
masa pandemic
Pratiwi, Efikasi Diri, Stres Partisipan metode mixed method Hasil: terdapat korelasi signifikan dalam bentuk negatif antara efikasi diri
dkk. Pengasuhan dan sejumlah 41 strategi embedded terhadap stress pengasuhan. Adapun strategi koping yang sering
(2021) Strategi Koping orang tua dari konkuren diterapkan dalam mengasuh ABK berfokus pada emosi dalam bentuk
Orang Tua dari anak koping religius.
Anak berkebutuhan
Berkebutuhan khusus
Khusus di Masa
69
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
70
Pandemi Covid-19
Aulia, Pengalaman Partisipan Metode: fenomenologi Hasil: pola komunikasi yang tercipta diantara orang tua dengan anak
dkk. Komunikasi Orang sejumlah 4 dengan teknik autis merupakan pola komunikasi sebagai interaksi dimana orang tua
(2020) Tua dengan Anak orang tua dari pengumpulan data mendominasi peran sebagai pengirim pesan dan anak autis cenderung
Autis dalam anak autis level berupa wawancara berperan sebagai penerima pesan. Orang tua berperan sebagai fasilitator
Mendampingi pendidikan mendalam dalam mendampingi anak belajar di rumah. orang tua menjelaskan materi
Belajar di Rumah sekolah dasar. dengan metode penyampaian yang mudah dipahami oleh anak autis.
selama Pandemi Informan Ibu cenderung lebih pasif dalam mengikuti kemauan anak
Covid-19 untuk belajar di rumah. Sedangkan, informan Ayah lebih bersemangat
dan teliti dalam mendampingi anak belajar di rumah dengan mencarikan
solusi jika anak mengalami kesulitan. Dalam berkomunikasi dan
berinteraksi, anak autis mengalami hambatan psikologis yang berasal
dari emosi yang membuatnya sulit berkonsentrasi sehingga sulit untuk
menerima pesan yang disampaikan oleh orang tua.
Wardan Pelaksanaan Partisipan Metode: penelitian PJJ memerlukan pendampingan dari orangtua. dan pada pelaksanaan
y & Sany pembelajaran jarak sejumlah 58 survey, Survei terdapat kendala terkait konektivitas internet, waktu yang dimiliki,
(2020) jauh bagi anak guru dan 36 dilakukan dengan keadaan emosi dan kesiapan anak belajar daridi rumah, serta
berkebutuhan khusus orangtua ABK menyebarkan angket kompetensi dan kemampuan orangtua dalam pengasuhan anak dan
(Survei terhadap di Provinsi melalui Google Form pembelajaran ABK di rumah. Guru dan orangtua diharapkan memiliki
orangtua dan guru Lampung. kompetensi dan keterampilan dalam mendampingi ABK belajar,
di Lampung)
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
mengelola perilaku, mengatur seting belajar, mengakses teknologi, serta
kesediaan berkolaborasi. Sehingga, berbagai pelatihan terkait
penggunaan teknologi, pengasuhan anak, dan pelatihan mengajar jarak
jauh sangat diperlukan baik bagi guru, maupun bagi orangtua.
Sari & Pengalaman orang Partisipan Metode survei Hasil: orang tua sebagai pendamping anak yang utama selama
Paska tua anak sejumlah 43 pertanyaan terbuka pembelajaran daring merasa bahwa pembelajaran daring tidak hanya
(2021) berkebutuhan orang tua dari pada google form memberikan pengalaman secara negatif, namun juga memberikan
khusus mengenai ABK yang kemudian dilanjutkan pengalaman positif bagi para orang tua dan juga anak mereka. Namun,
pembelajaran berada Jakarta, dengan wawancara terdapat beberapa orang tua menyimpulkan bahwa pembelajaran daring
daring selama Jawa Barat, melalui aplikasi tidak cocok untuk anak yang memiliki disabilitas tertentu
pandemi COVID- Jawa Tengah, Whatsapp
19 Yogyakarta
serta Jawa
Timur.
Apriyani Program parental Partisipan Metode deskriptif Hasil: program yang dibuat dapat meningkatkan self-efficacy orang tua
& self-efficacy pada sejumlah 25 kualitatif yang berfokus dalam memberikan layanan dan pembelajaran pada anaknya yang
Rochyad orang tua dalam orang tua yang pada program untuk tunagrahita pada masa pandemic.
i (2020) pembelajaran bagi tersebar di tiga meningkatkan parental
anak tunagrahita sekolah SLB di self-efficacy
di masa pandemic. Jakarta Selatan
71
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
72
Rizkiani Persepsi Orang Tua Partisipan Metode: deskriptif Hasil: Orang tua memilki persepsi yang baik tentang pembelajaran
& Efendi Anak Berkebutuhan sejumlah 25 kuantitatif dengan daring seperti: mencegah penyebaran virus Covid-19, memiliki banyak
(2020) Khusus Tentang orang tua anak teknik pengumpulan waktu berkumpul bersama keluarga, mempererat hubungan orang tua
Pembelajaran Daring berkebutuhan data berupa dengan anak, melatih kesabaran orang tua, memberikan ilmu baru
Pada Masa Pandemi khusus yang menyebarkan angket. terutama dalam penggunaan teknologi, dan melatih kreativitas orang
Covid-19 Se- tersebar di kota Analisis teknik tua.
Kecamatan Kota tangah. perhitungan persentase
Tangah
Ramadh Persepsi orang tua Partisipan Metode: kualiatif, Hasil: Terdapat empat tema : 1) cara guru dan orangtua dalam
ani & dan guru terhadap sejumlah satu dengan teknik pembelajaran selama COVID-19 pada anak yang berkebutuhan khusus
Supena pembelajaran masa orang tua dari triangulasi, ganguan berbicara. 2) Hambatan orangtua dan guru menghadapi
(2021). pandemic covid 19 anak speech pengumpulan data: COVID-19 pada anak dengan ganguan berbicara. 3) Persepsi orangtua
pada anak speech disorders. observasi dan dan guru untuk memberikan aktivitas belajar pada anak pada ganguan
disorder usia 8 tahun wawancara. berbicara. 4) Dukungan apa yang dibutuhkan anak dengan ganguan
di Madrasah berbicara saat COVID-19.
Ibtidaiyah
73
A. Pendahuluan
pada anak (Arranz Freijo & Rodrigo López, 2018). Merujuk pada
definisi ini maka pengasuhan yang positif akan menciptakan iklim
emosi yang positif dalam interaksi orang tua dengan anak. Iklim
emosi yang positif dalam relasi orang tua dengan anak terbukti
akan meningkatkan kemampuan adaptasi anak pada lingkungan
sekitarnya (Stallman & Ralph, 2007).
Berkaitan dengan pengasuhan maka selalu mengacu pada relasi
anak dan orang tua (Lakind & Atkins, 2018; Santrock, 2011; Teubert
& Pinquart, 2011). Salah satu sarana untuk menciptakan relasi yang
positif serta meningkatkan kemampuan anak baik secara kognitif
maupun emosi dapat dilakukan melalui literasi (Dolezal-Sams et
al., 2009). Literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk
memahami wacana baik secara sosial dan kontekstual dengan tepat
(Loring, 2017). Pengertian ini mengandung arti yang luas sebab literasi
tidak hanya sebatas memahami bahan bacaan belaka tetapi juga
kemampuan untuk memahami konteks, nilai-nilai serta keyakinan-
keyakinan (beliefs) yang tampak secara jelas maupun implisit pada
apa yang dibaca (Loring, 2017). Adanya kaitan antara literasi dengan
nilai-nilai maupun keyakinan-keyakinan ini akan dapat terpantau
apabila dalam setiap keluarga memiliki kemampuan literasi keluarga
yang kuat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa program literasi
keluarga dapat meningkatkan iklim emosi yang positif antara orang
tua dengan anak sehingga dapat meningkatkan kualitas hubungan
anak dengan orang tuanya (Anderson et al., 2017; Barnes & Potter,
2021; Dolezal-Sams et al., 2009; Hannon, 2003). Literasi keluarga
secara tidak langsung dapat menjadi sarana bagi orang tua untuk
melakukan pengasuhan serta meningkatkan kualitas komunikasi
antara orang tua dengan anak (Jones et al., 2012; Rosales & Blanche-T,
2021). Literasi keluarga merupakan salah satu hal penting yang perlu
dikembangkan oleh setiap keluarga terutama pada masa teknologi
75
C. Rekomendasi
C. Kesimpulan
Daftar Pustaka
A. Pendahuluan
B. Tinjauan Teori
C. Penutup
Daftar Pustaka
A. Pendahuluan
terjadi secara fisik. Luka memar dan berdarah bisa langsung terlihat
dan jadi senjata pendorong untuk membuat pelaku minta maaf.
Namun bagaimana apabila dampak itu berdampak secara mental,
maka akan berdampak pada trauma jangka panjang atau yang biasa
disebut sebagai Post traumatic stress disorder (PTSD).
Post Traumatic Stress Disoder (PTSD) adalah gangguan mental yang
dapat berkembang setelah seseorang terkena peristiwa traumatis,
seperti kekerasan seksual, peperangan, tabrakan lalu lintas, bencana
alam atau ancaman lain pada kehidupan seseorang. Bencana alam
biasanya menghasilkan tingkat PTSD yang lebih rendah dibandingkan
peristiwa traumatis yang lain (Earls dkk., 1988; Hanford dkk., 1986).
Menurut Aroyo dan Eth (1985), PTSD pada anak yang diakibatkan
oleh peperangan relatif lebih tinggi, berkisar antara 27% (Saigh,
1991) dan 33%. Sehubungan dengan hal tersebut, Alisic dkk. (2014)
juga menginfomasikan rata-rata 16% dari anak-anak yang terpapar
peristiwa traumatis mengembangkan PTSD, dengan hasil yang
bervariasi sesuai dengan jenis paparan traumatik dan jenis kelamin.
Selanjutnya, Zoladz (2013) mengungkapkan bahwa orang yang
mengalami trauma interpersonal (kekerasan, bullying) lebih mungkin
untuk mengembangkan PTSD, dibandingkan dengan orang yang
mengalami trauma berdasarkan nonkekerasan seperti kecelakaan
dan bencana alam.
Sebagai akibat dari peristiwa bullying yang dialami korban yang
berusia anak dan remaja memikul tanggung jawab yang lebih besar, bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Mereka menghadapi tantangan
moral dalam hubungannya dengan lingkungan disekitarnya (terutama
hubungan teman sebaya), yang secara otomotis akan berdampak pada
perkembangan sosial dan moral mereka. Perkembangan moral pada
anak yang terkena paparan tarumatis berhubungan dengan respon
emosional yang negatif, seperti rasa takut, malu dan rasa bersalah
(Goenjian dkk., 1998). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa PTSD
107
B. Tinjauan Teori
1. Definisi bullying
Kata bullying berasal berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari
kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana
kemari. Dalam bahasa Indonesia secara etimologi kata bully
berarti mengertak, orang yang mengganggu orang lemah. Istilah
bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyakat
(berasal dari kata sakat) dan pelakunya (bully) disebut penyakat.
Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang
lain (Wiyani, 2012).
108
(provocative victim), dan korban bully. Dalam hal ini, Elliot juga
menyebutkan beberapa bentuk korban bullying lainnya, yaitu
false victim sebagai kelompok kecil siswa yang sering mengeluh
dan tanpa pembenaran kepada guru dalam melakukan bullying.
Kemudian ada perpetual victim, yaitu individu yang diganggu
sepanjang hidup mereka, dan bahkan mungkin mengembangkan
mentalitas korban (Rejeki, 2016).
Anak korban bullying cenderung diam, terhambat dengan
penghargaan diri yang rendah. Beberapa di antaranya lemah
secara fisik. Beberapa korban bersifat impulsif dan cenderung
bereaksi negatif. Korban agresi menarik diri atau merespons
dengan perilaku yang tidak matang seperti menangis, yang justru
memuaskan pelaku. Ketika korban terus mengalami bullying,
penghargaan diri tajam, dan seiring waktu menjadi depresi dan
mengembangkan masalah perilaku di rumah dan di sekolah.
Beberapa anak yang menjadi pelaku sekaligus korban memiliki
ciri dari kedua kelompok tersebut (Brook, 2011).
3. Definisi post traumatic stress disorder
DSM V (APA, 2013) Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah
gangguan mental yang dapat berkembang setelah seseorang
terkena peristiwa traumatis, seperti kekerasan seksual, peperangan,
tabrakan lalu lintas, atau ancaman lain pada kehidupan seseorang.
Nevid (2005) mendefinisikan PTSD sebagai reaksi maladaptif
yang berkelanjutan terhadap suatu peristiwa traumatis yang
melibatkan kematian atau ancaman kematian atau cedera fisik
serius atau ancaman terhadap keselamatan diri sendiri atau orang
lain. Definisi tersebut selaras dengan ungkapan Weston (2014)
bahwa PTSD ditandai dengan perilaku dan emosi yang sedih,
pasif dan umumnya persisten, dan mengarah pada gangguan
serius fungsi ekonomi dan sosial, serta bisa meningkatan angka
kematian.
114
C. Penutup
jantung berdebar dan sakit kepala; (3) positive thinking dan self talk,
iaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan mengganti
dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat
stress (stresor); (4) assertiveness training, yaitu belajar bagaimana
mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain; (5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana
mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress.
Daftar Pustaka
Ahmed, E., Harris, N., Braithwaite, J.B., & Braithwaite, V.A. (2001).
Shame Management through Reintegration. Cambridge: Cambridge
University Press.
Alisic, E., Alyson, K. Z, Floryt V. W, Sadie E. L, Gertrud S. H., Katayun
H., Geert E. S. (2014). Rates of post-traumatic stress disorder in
trauma-exposed children and adolescents: meta-analysis. The
British Journal of Psychiatry, 204 (5), 335-340.
American Association of School Administrators (2009) Bullying at
school and ------------------------------------------------------------
psychosocial health: A cross-sectional study among school
students of Pyuthan municipality. Journal of Nepal Health Research
Council, 16, 73–78.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-
IV-TR. Washington, DC : American Psychiatric Association.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (5th ed.). Washington, DC : American
Psychiatric Publishing.
Andreou, E., Tsermentseli, S., Anastasiou, O., dan Kouklari, E.-C.
126
A. Pendahuluan
B. Tinjauan Teori
1) Faktor Internal
Sebuah ketertarikan yang muncul dalam diri anak
tersebut terhadap sesuatu. Yang termasuk dalam factor
internal ini, antara lain:
- Pemusatan perhatian. Kemampuan anak dalam
memusatkan seluruh perhatiannya pada objek yang
dipelajari.
- Keingintahuan. Merupakan perasaan dan sikap yang
kuat untuk mengetahui sesuatu, atau termotivasi untuk
memahami sesuatu secara lebih mendalam.
- Motivasi. Dapat dipahami sebagai penggerak psikis
dari dalam diri anak untuk belajar, ataupun mengasah
ketrampilan diri.
- Kebutuhan. Sebutan lain dari factor ini, adalah motif.
Kebutuhan yang ingin dipenuhi, sehingga harus terus
melakukan aktifitas belajar.
2) Faktor Eksternal
Factor-faktor yang memperkuat minat belajar anak,
namun berasal dari luar dirinya, yakni:
- Dorongan dari orang tua. Orang tua sebagai
penanggungjawab utama pendidikan anak, berkewajiban
untuk dapat memenuhi hak anak untuk mendapatkan
pendidikan atau menjalani proses pembelajaran
seoptimal mungkin dengan memberikan dukungan
yang dibutuhkan oleh anak.
- Dorongan dari guru. Guru merupakan sosok yang
memiliki otoritas penuh dalam menjamin hak anak
menjalani dan mengikuti proses pembelajaran di
lingkungan sekolah. Dukungan dalam bentuk moril
dan materil, tentu akan memberi dampak yang cukup
besar dalam meningkatkan minat belajar dalam diri anak.
138
C. Penutup
Daftar Pustaka
2. Mythical-literal faith
Terjadi pada usia minimal 5 sampai 6 tahun. Pada fase ini,
fantasi sudah tidak lagi menjadi sumber utama dari pengetahuan,
dan pembuktian fakta menjadi perlu. Pembuktian kebenaran
bukan berasal dari pengalaman aktual yang dialami sendiri,
tapi berasal dari sesuatu yang dianggap lebih ahli, seperti guru,
orang tua, buku, dan tradisi. Kepercayaan di fase ini mengarah
pada sesuatu yang konkrit dan tergantung dari kredibilitas orang
yang bercerita. Disinilah orang tua dituntut dalam membersamai
anak memahami konsep Tuhan kepada sesuatu yang konkrit.
Biasanya anak lebih banyak bertanya melalui ciptaanNya.
3. Poetic-conventional faith
Terjadi pada usia minimal 12 sampai 13 tahun. Pada fase ini
kepercayaan tergantung pada konsensus dari opini orang lain,
orang yang lebih ahli. Mempelajari fakta masih menjadi sumber
informasi, tapi individu mulai percaya pada penilaian mereka
sendiri. Meskipun demikian mereka belum sepenuhnya percaya
terhadap penilaian mereka tersebut.
4. Individuating-reflective faith
Terjadi pada usia minimal 18 sampai 19 tahun. Pada fase
yang ketiga remaja tidak dapat menemukan area pengalaman
baru karena tergantung pada orang lain di kelompoknya yang
belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Individu di fase ini
mulai mengambil tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku,
komitmen, dan gaya hidupnya. Tapi individu pada tahap ini
tetap masih membutuhkan figure yang bisa diteladani.
5. Paradoxical-consolidation faith
Terjadi pada usia minimal 30 tahun. Pada fase ini individu
mulai bisa memahami dan mengintegrasikan elemen spiritual
seperti simbolisasi, ritual, dan kepercayaan. Individu di fase ini
juga menganggap bahwa semua orang termasuk dalam kelompok
150
Daftar Pustaka
A. Pendahuluan
B. Tinjauan Teori
1. Picky eater
Picky eater yaitu anak masih mau makan beberapa varian
makanan yang belum dimakan akan tetapi anak menolak untuk
menolak memakan dengan jumlah cukup. Anak picky eater
masih mau makan golong seperti karbohidrat akan tetapi anak
picky eater lebih menyukai rasa dan tekstur yang disukai, misal
menolak makan nasi, akan tetapi masih mengonsumsi mie dan
roti (https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/
pilih-pilih-makanan, diakses tanggal 7 September 2021, pukul
10.45 WIB).
Picky eater adalah perilaku anak untuk selektif sehingga
mereka menolak memakan jenis makanan tertentu seperti bunga
kol, atau asparagus. Picky eater yang tergolong level rendah
menyukai 30 jenis makanan, kemungkinan mereka memilih
makanan, tetapi mereka masih memakan jenis makanan seperti
buah, sayuran, daging.
Perbedaan picky eater dengan problem feeding (Hemrick,
Ellen,2015)
Picky Eater Problem Feeding
Makan setidaknya kurang lebih 30 Makan setidaknya kurang
jenis makanan lebih 20 jenis makanan
Masih mau mencoba makan jenis Tidak mau mencoba jenis
makanan baru walaupun sangat makanan baru dan menangis
jarang
Memakan dan mau merasakan 1 jenis Menolak semua kategori
makanan dalam 1 kelompok makanan yang memiliki
tekstur
158
Daftar Pustaka
Fraker, C., Fishbein, M., Cox, S., & Walbert, L. (2007).Food Chaining.
Cambridge: Da Capo Press
Hemrick, Ellen.2015.Picky Eater Problem Feeder. Building Blocks,
Inc. Naples, FL
Jani Mehta, R., Mallan, K. M., Mihrshahi, S., Mandalika, S., & Daniels,
L. A. (2014). An exploratory study of associations between
Australian-Indian mothers’ use of controlling feeding practices,
concerns and perceptions of children’s weight
Moroshko, I., & Brennan, L. (2013). Maternal controlling feeding
behaviours and child eating in preschool-aged children.
Nutrition & Dietetics, 70, 49e53.
Pietes, Linda.(2006). Just two more bites: Helping picky eaters say
yes to food.English:Harmony
Taylor et All. (2015). Picky/fussy eating in children: Review of
definitions, assessment,prevalence and dietary intakes.
Appetite.95.pp 349-359
Tharner, Annet et all. (2015). Bidirectional Associations between
Fussy Eating and Functional
Constipation in Preschool Children. Journal Pediatric, vol 166, pp 96
https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pilih-pilih-
makanan, diakses tanggal 7 september 2021, pukul 10.45
https://www.healthychildren.org/English/ages-stages/toddler/
nutrition/Pages/Picky-Eaters.aspx, diakses tanggal 11
september 2021, pukul 11.56
167
BAGIAN II
PARENTING PADA REMAJA
169
A. Pendahuluan
B. Tinjauan Teori
3. Pengasuhan (parenting)
Barangkali masyarakat awam sudah sering mendengar atau
membaca kata pengasuhan (parenting), namun ketika ditanyakan
artinya, bisa jadi kurang tepat dalam menjawabnya. Lantas, apa
yang sebenarnya disebut dengan pengasuhan atau parenting?
Parenting adalah pengasuhan (cara, perbuatan, dan sebagainya).
Tujuan pengasuhan untuk meningkatkan atau mengembangkan
kemampuan anak dan dilakukan dengan dilandasi kasih sayang
tanpa pamrih (Lestari, 2012).
Menurut Diana Baumrind (dalam Lestari, 2012) ada 4 jenis
gaya pengasuhan, antara lain:
a. Otoritarian: gaya pengasuhan yang membatasi dan
menghukum. Hasilnya, anak menjadi tidak bahagia,
ketakutan, minder, tidak mampu memulai aktivitas,
memiliki kemampuan komunikasi yang lemah.
b. Otoritatif: gaya pengasuhan yang mendorong anak untuk
mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali
pada tindakan mereka. Hasilnya, anak sering kali ceria,
bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada
prestasi, memiliki hubungan yang ramah dengan teman
sebaya, dapat bekerjasama dengan orang dewasa, mampu
mengatasi stres dengan baik.
c. Mengabaikan: gaya pengasuhan di mana orang tua sangat
tidak terlibat dalam kehidupan anak. Hasilnya, anak
cenderung tidak memiliki kemampuan sosial, memiliki
pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri,
memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan
mungkin terasing dari keluarga.
d. Menuruti: gaya pengasuhan di mana orang tua sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau
mengontrol mereka. Hasilnya, anak tidak pernah belajar
179
C. Penutup
Daftar Pustaka
A. Pendahuluan
dua macam, yaitu single parent mother (ibu tunggal) dan single parent
father (ayah tunggal).
Peranan orang tua dalam mengawasi aktivitas anak dalam
berinteraksi di internet merupakan faktor yang cukup berpengaruh
pada kecenderungan anak untuk terlibat dalam perundungan siber
sehingga penting untuk memahami bagaimana peranan keluarga
dalam hal ini single parent ayah dalam kaitan permasalahan
perundungan siber oleh remaja.
B. Tinjauan Teori
2. Perundungan Siber
Hinduja & Patchin (2012) yang khusus meneliti tentang agresi
di media online mengemukakan bahwa tindakan yang sengaja
dilakukan berulang kali untuk menyakiti melalui penggunaan
computer, telepon seluler, dan alat elektronik lain disebut sebagai
perundungan siber. Tindakan tersebut mengacu pada insiden
di mana remaja menggunakan teknologi untuk mengganggu,
mengancam, menghina atau melakukan perbuatan yang
menimbullkan pertengkaran dengan teman sebaya. Perbuatan
yang temasuk dalam perundungan siber, misalnya seperti
mengirimkan pesan teks yang melukai perasaan orang lain,
menyebarkan rumor tentang teman sebaya menggunnakan
smartphone, menyebarkan foto dan video tentang teman sebaya di
media sosial, maupun menggunakan aplikasi tanpa nama untuk
menghina orang lain. Menurut Langos (2012), yang berpendapat
bahwa perilaku perundungan siber merupakan serangkaian
tindakan online (penindasan maya) dengan menggunakan media
teknologi baik terjadi secara langsung maupun tidak langsung
dengan maksud untuk merugikan orang lain (korban) yang tidak
dapat dengan mudah membela dirinya sendiri.
Perundungan siber atau disebut juga sebagai electronic bullying
didefinisikan sebagai tindakan bullying melalui email, Instant
Messaging, ruang obrolan (chat room), website, situs game online,
pesan singkat yang dikirim melalui telepon seluler maupun
teknologi informasi dan komunikasi lainnya (Kowalski dkk, 2012).
Perilaku agresi yang digunakan untuk melakukan
perundungan melalui media elektronik memiliki berbagai
macam cara. Willard (dalam Kowalski dkk, 2012) kemudian
mengklasifikasikan tujuh perilaku yang paling umum digunakan
untuk melakukan tindakan perundungan siber, antara lain :
191
a. Flaming
Individu mengirimkan pesan teks berisi kata-kata yang
penuh amarah dan frontal kepada orang lain.
b. Harassment
Individu mengirimkan pesan-pesan berisi gangguan
pada email, sms, maupun pesan teks di jejaring sosial yang
dilakukan secara terusmenerus kepada orang lain.
c. Denigration
Individu memposting pernyataan yang tidak benar atau
kejam tentang seseorang dengan tujuan untuk merusak
reputasi dan nama baik orang tersebut.
d. Impersonation
Individu berpura-pura menjadi orang lain untuk
membuat seseorang terlihat buruk atau berada dalam bahaya.
Misalnya, individu mencuri kata sandi akun jejaring sosial
seseorang, kemudian memposting status yang negatif atau
mengirimkan kata-kata menghina kepada orang lain.
e. Outing and trickery
Individu terlibat dalam trik untuk mengumpulkan
informasi pribadi, foto-foto pribadi atau informasi memalukan
tentang orang lain yang kemudian disebarkan dengan
mempublikasikan melalui media elektronik.
f. Exclusion
Individu secara sengaja dan kejam mengeluarkan
seseorang dari group online.
g. Cyberstalking
Individu mengganggu dan mencemarkan nama baik
seseorang secara intens sehingga menimbulkan ketakutan
yang besar pada orang tersebut.
192
C. Penutup
Daftar Pustaka
A. Pendahuluan
B. Tinjauan Teori
Gambar 1
Perubahan proporsi tubuh remaja laki-laki dan perempuan
Sumber: Growing Up. Scientific American, J. M. Tanner (1973)
203
Gambar 2
Organ-organ seks pada remaja laki-laki dan perempuan
Sumber: Ensiklopedia Mini Tubuh Manusia (2003)
Gambar 3
Ciri-ciri seks sekunder pada remaja laki-laki dan perempuan
Sumber: http://www.ilma95.net/edukasi/remaja_dan_
perubahan_kejiwaannya/ciri-ciri_fisik.htm
atau guling ketika tidur malam. Rangsangan yang kecil ini dapat
membuat remaja ejakulasi (keluarnya sperma), untuk mengurangi
tekanan pada tempat penyimpanan sperma. Dalam beberapa
kasus, kandung kemih yang penuh akan menekan vesikula
seminalis dan mengakibatkan ejakulasi.
Dengan dibukanya “keran” komunikasi seputar seksualitas,
khususnya tentang mimpi basah antara orang tua dengan anak
laki-laki yang beranjak remaja, diharapkan para remaja laki-laki
ini semakin terbuka dengan masalah seputar seksualitas yang
dihadapinya. Demikian pula halnya para orangtua yang dapat
menjelaskan tentang perubahan yang terjadi pada anak-anak
laki-laki mereka yang beranjak remaja dengan lebih terbuka.
Tentang ciri-ciri seks primer, ciri-ciri seks sekunder, dorongan
seksual, maupun perilaku seksual pada remaja. Pada akhirnya,
dengan semakin terbukanya antara orangtua dan anak-anak
remaja laki-laki dalam hal seksualitas, diharapkan komunikasi
seputar seksualitas di antara mereka tidak mengalami hambatan.
C. Penutup
Daftar Pustaka