Jurnal SGI 1
Jurnal SGI 1
Jurnal SGI 1
Oleh :
M Ibrahim Bayu Pratama
(12407144030)
Abstrak
Pada awal masa pemerintahan Soeharto, pemerintah menyadari pentingnya
ketersediaan pangan, untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. Untuk
menjaga ketersediaan pangan maka pemerintahan Orde Baru mencanangkan
program Revolusi Hijau. Revolusi Hijau mendorong percepatan produksi pangan
dan peningkatan jumlah pangan dengan mengubah teknologi pertanian. Dampak
negatif mulai muncul pada akhir pelaksanaan program ini. Berkurangnya unsur
hara dalam tanah, rusaknya lingkungan serta hilangnya kemandirian petani. Petani
Bambanglipuro mulai merasakan dampak dari program ini. Gereja Ganjuran
mengadakan seminar tani guna membahas dan mencari solusi untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Seminar tani ini kemudian dikenal dengan sebutan
Deklarasi Ganjuran. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
proses lahirnya Deklarasi Ganjuran, pelaksanaannya, dan dampaknya bagi petani
di Bambanglipuro Bantul.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lahirnya Deklarasi Ganjuran
merupakan bentuk kepedulian Gereja Katolik terhadap kaum tani yang haknya
dirampas oleh pemerintah melalui program Revolusi Hijau. Deklarasi Ganjuran
merupakan hasil dari pelaksanaan AISA V yang diselenggarakan di Gereja
Ganjuran sebagai perwujudan misi gereja Asia sebagai Gereja Kaum Miskin/Tani.
Pelaksanaan program Deklarasi Ganjuran dilakukan oleh LSM SPTN-HPS.
SPTN-HPS bertugas membina kelompok tani dan memberikan penyuluhan
tentang teknis pertanian organik. Dengan adanya pertanian lestari ala Deklarasi
Ganjuran memberikan dampak positif terhadap kehidupan petani di
Bambanglipuro, yaitu timbulnya kesadaran petani akan pentingnya menjaga
ekologi, serta menggunakan pertanian organik yang lebih murah dan baik untuk
linggkungan. Pertanian lestari yang secara ekonomis sangat terjangkau oleh petani
Bambanglipuro, dengan harga produk hasil pertanian organik yang secara harga
lebih mahal, sehingga pertanian lestari menjadi solusi alternatif bagi petani untuk
memenuhi subsitensinya.
2
A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan program Revolusi Hijau di Bambanglipuro dimulai pada
tahun 1964 kemudian dilanjutkan kembali dalam pelaksanaan Bimas Nasional
pada tahun 1970. Pemerintah pusat meluncurkan program intensifikasi yang
dikenal dengan nama Bimas (Bimbingan Massal) dan Inmas (Intensifikasi
Massal).
Bimas adalah bimbingan yang diberikan kepada petani dengan
menyediakan kredit produksi di dalamnya, sedangkan Inmas adalah program
intensifikasi padi yang dilaksanakan atas dasar swadaya dengan metode Panca
Usaha Tani, modal dan alat berasal dari perseorangan. Bimas dan Inmas bertujuan
agar petani ikut serta secara aktif dalam meningkatkan produksi pangan terutama
padi. Pengembangan sarana di tingkat desa seperti Petugas Penyuluhan Lapangan
(PPL), BRI-Unit Desa, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa
(KUD), dan Kelompok-kelompok Tani mulai dilakukan sejak adanya program
Bimas. Para petani di Bambanglipuro diwajibkan mengikuti Bimas dari penyuluh
untuk diberikan penyuluhan tentang metode atau cara meningkatkan produksi
padi melalui penyuluhan Bimas seperti pembinaan usaha tani dan mekanisasi
pertanian seperti penggunaan bibit unggul, pupuk buatan, pestisida, traktor dan
alat penggilingan padi (huller). 1
Kelompok-kelompok ini diharapkan mampu mempercepat timbulnya
kemauan dan kesadaran petani untuk meningkatkan produksi sehingga bukan lagi
merupakan suatu keharusan dan kebutuhan pemerintah, tetapi telah menjadi
keharusan dan kebutuhan masing-masing individu. Pada awal pelaksanaan Bimas
atau bimbingan masal tersebut sangat sulit dilaksanakan dan kurang efektif. Hal
ini dikarenakan para petani memiliki kesibukan lain disamping bekerja
disawahnya, meskipun Kepala Desa dengan giatnya melakukan penyuluhhan.
Pada umumnya modernisasi pertanian di Bambanglipuro menimbulkan
dua pendapat yaitu menerima dan menolak. Bagi sebagaian masyarakat menolak
1
Surat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Nomor
464/Um/HKTI/I/9.1976, Perihal: minta laporan alat-alat mekanisasi pertanian.
3
modernisasi pertanian tersebut mereka adalah yang masih berpegang teguh pada
adat dan pola pertanian tradisional alasan mereka jika mereka meninggalkan adat
atau tradisi mereka tidak ingin dianggap sebagai orang yang melupakan tradisi
pertanian. Namun dalam penolakannya masyarakat tani hanya bisa pasrah dan
tidak ada perlawanan terhadap pemerintah. 2
Penerapan kebijakan Revolusi Hijau oleh pemerintah Orde Baru sama
halnya dengan pemaksaan terhadap kaum tani, kebebasan petani direbut secara
paksa. Penerapan kebijakan ini sama halnya dengan tanam paksa di abad
modern. Pelaksanaan kebijakan Revolusi Hijau dengan pengenalan teknologi
pertanian dengan diadakanya penyuluhan dan sosialisasi ke desa-desa
menggunakan aparat militer sebagai bentuk ancaman verbal terhadap petani.
Penyuluhan yang diadakan oleh pihak desa dengan kelompok tani selalu dihadiri
aparat militer atau TNI sebagai pengawas rapat. 3
Pengunaan pupuk kimia yang berlebih guna memepercepat pertumbuhan
padi dan menghilangkan hama pada sawah, menimbulkan masalah baru bagi
petani. Alam mempunyai suatu ekosistem atau rantai makanan yang berkaitan satu
dan lainya. Fungsi dari rantai makanan ini adalah untuk mengontrol populasi satu
dengan lainya. Begitu juga sawah, dengan penggunaan pupuk kimia yang berlebih
untuk membunuh hama sawah, tidak hanya hama yang terbunuh melainkan juga
predator hama tersebut.
Hal ini membahayakan sawah itu sendiri, dengan hilangnya salah satu
komponen dari rantai makanan maka akan ada populasi hewan yang tidak
terkontrol. Dalam hal ini sekitar tahun 1989 hama padi seperti wereng tidak dapat
terkontrol dan memnyebabkan panen petani berkurang.
2
Sajogyo, Bunga Rampai Perekonomian Desa, (Yogyakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1982), hlm.45.
3
Wakijo, wawancara di Sumbermulyo pada 24 Mei 2015 .
4
B. BAMBANGLIPURO DAN LATARBELAKANG MUNCULNYA
DEKLARASI GANJURAN
4
Suhartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal, (Yogyakarta: Agastya
Media, 2001), hlm.89.
5
Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad
Penguasaan Tanah: Penguasaan Pola Tanah Di Jawa Dari Masa Ke Masa,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 318.
5
diperuntukkan bagi petani yang tak bertanah yang bermata-pencaharian sebagai
buruh tani.
Tekonologi modern yang muncul dalam bidang pertanian tidak langsung
dapat diterima oleh masyarakat tani di Bambanglipuro. Penerapan teknologi
pertanian dan kemajuan sistem bercocok tanam membutuhkan penanganan secara
khusus dan lebih rumit, karena pertanian semakin banyak menggunakan alat-alat
dan sarana yang membutuhkan adanya keterampilan khusus diantara para petani. 6
Menurut hasil wawancara dengan bapak Prawiroharjo bahwa penerapan teknologi
Revolusi Hijau hanya bisa digunakan oleh Insinyur saja, karena para petani
Bambanglipuro kebanyakan hanya berpendidikan rendah, membutuhkan waktu
lama untuk bisa diterapkan menyeluruh. 7 Dengan demikian penggunaan teknolgi
pertanian modern sedikit mengalami hambatan.
Pada umumnya modernisasi pertanian di Bambanglipuro menimbulkan
dua pendapat yaitu menerima dan menolak. Bagi sebagaian masyarakat menolak
modernisasi pertanian tersebut mereka adalah yang masih berpegang teguh pada
adat dan pola pertanian tradisional alasan mereka jika mereka meninggalkan adat
atau tradisi mereka tidak ingin dianggap sebagai orang yang melupakan tradisi
pertanian. Namun dalam penolakannya masyarakat tani hanya bisa pasrah dan
tidak ada perlawanan terhadap pemerintah. 8
Penerapan kebijakan Revolusi Hijau oleh pemerintah Orde Baru sama
halnya dengan pemaksaan terhadap kaum tani, kebebasan petani direbut secara
paksa. Penerapan kebijakan ini sama halnya dengan tanam paksa di abad
modern. Pelaksanaan kebijakan Revolusi Hijau dengan pengenalan teknologi
pertanian dengan diadakanya penyuluhan dan sosialisasi ke desa-desa
menggunakan aparat militer sebagai bentuk ancaman verbal terhadap petani.
Penyuluhan yang diadakan oleh pihak desa dengan kelompok tani selalu dihadiri
6
Anonim, “Rendahnya Pendidikan Masyarakat Adopsi Teknolgi Baru”,
dalam Majalah Krida (No.48, 1980), hlm. 120.
7
Hasil wawancara degan Bapak Prawiroharjo pada 24 Mei 2015
8
Ibid., hlm.45.
6
aparat militer atau TNI sebagai pengawas rapat. 9 Menurut penuturan Wakijo yang
pada masa pelaksanaan Revolusi Hijau, bekerja sebagai penggarap sawah. Beliau
pernah dipanggil oleh kepala desa setempat untuk diberi teguran, panggilan
tersebut dikarenakan Wakijo tidak menanam padi tipe IR 16. Menurutnya pada
waktu itu jika menanam padi tipe tersebut maka hasil panen tidak bisa menutupi
modal. Ketika masa panen datang padi bapak Wakijo sudah dibakar oleh koramil
setempat. Menurut penuturan bapak Wakijo jika ada petani yang tidak menanam
bibit dan menggunakan pupuk yang dianjurkan oleh pemerintah, maka akan
dilakukan tindakan peneguran, dan jika masih tidak mau menggunakan bibit maka
ketika musim panen, sawah tersebut akan dibakar. 10
C. DEKLARASI GANJURAN
9
Wakijo, wawancara di Sumbermulyo pada 24 Mei 2015
10
Ibid.
11
Rr.Huub J.W.M. Boelaars, dalam R. Hadawiryana (ed.), Indonesasi:
Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hlm. 415.
12
Rerum Novarum adalah sebuah ensiklik yang diterbitkan oleh Paus Leo
XIII pada 15 Mei 1891. Ini adalah sebuah surat terbuka yang diedarkan kepada
semua uskup yang membahas kondisi kelas pekerja.
7
Pada bulan Maret 1971 diadakan Asian Bishops Meeting (ABM) yang
merupakan embrio dari Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC) atau
forum para uskup Asia. Pada pertemuan ini tema yang diangkat adalah ensiklik
Paus Paulus VI Populorom Progressio: Pembangunan manusia adalah suatu
proses mengubah kondisi yang kurang manusiawi menjadi lebih manusiawi. 13
Selama berlangsungnya ABM, kebutuhan akan suatu organisasi untuk
mempersatukan dan menjadi media komunikasi para uskup, menjadi kebutuhan
yang sangat mendesak. Maka diadakanlah sebuah pertemuan khusus selama
berlangsungnya ABM. Pertemuan khusus ini membentuk sebuah panitia untuk
menindaklanjuti untuk isu tersebut. Panitia ini diberi mandat khusus untuk
mengadakan pertemuan Para Ketua Konferensi Wali Gereja. 14 FABC adalah
sebuha asosiasi sukarela Konferensi-konferensi para Wali Gereja di Asia Selatan,
Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Tengah, yang dibentuk atas persetujuan
Takhta Suci (Vatikan). Tujuan untuk membantu memperkembangkan solidaritas
dan koresponsibilitas antar para-anggota. Demi kesejahteraan Gereja dan
masyarakat Asia, dan memajukan serta membela kebaikan yang lebih besar.
Federasi tidak mempunyai daya mengikat secara yuridis: penerimaannya
merupakan suatu ungkapan tenggung-jawab kolegial.
Langkah awal yang ditempuh para uskup Asia adalah dengan mengadakan
seminar dan pelatihan bagi para uskup. Pada Januari 1979 seminar pertama ini
dimulai kegiatan ini di namakan Bishop’s Institute for Social Action (BISA)
meskipun menjadi seminar uskup terbesar di Asia namun pelaksanaanya
disponsori oleh Komisi Urusan Teologi (Protestan), Konfrensi Kristen Asia dan
13
Dewan Karya Pastoral Keuskupan Semarang, Arah Dasar Umat Allah
Keuskupan Agung Semarang 1984-1990, (Semarang: Keuskupan Agung
Semarang, 1984), hlm. 64.
14
History of Federation of Asian Bishop’s Conferences,
http://www.fabc.org/about.html, diakses 20 July 2016, pukul.01.00.
8
Kantor Pembangunan Manusia (OHD). 15 Tema untuk seminar tersebut adalah
Pergumulan Asia untuk Kemanusiaan yang Penuh: Upaya Menemukan Teologi
yang Relevan. Meskipun untuk pertama kalinya seminar tentang kemanusiaan ini
diadakan di Asia, namun adalah yang ketiga dari rangkaian konfrensi-konfrensi
serupa dalam rangka program lima tahunan Keuskupan Asia. Pelaksanaan AISA
di gereja lokal di Asia merupakan bentuk kepedulian FABC kepada masyarakat
akar rumput. Umat akar rumput adalah anggota gereja yang paling dekat dan
dalam arti tertentu menyatu ditengah masyarakat Asia yang majemuk, sehingga
menjadi ujung tombak dinamika gereja di dan kedalam dunia. 16 Penggunaan
gereja lokal sebagai tempat pelaksanaan sengaja untuk mengajak umat katolik
berpartisipasi aktif dalam gerakan sosial gereja. Paroki sebagai hirarki gereja
terendah dijadikan patokan untuk mengukur dinamika kehidupan masyarakat
pedesaan Asia. Indonesia terpilih menjadi tuan rumah penyelenggaraan AISA ke-
5 yang berlangsung tanggal 9-16 Oktober 1990 dan bertempat di Ganjuran,
Yogyakarta. Peringatan Hari Pangan Sedunia 1990 dan sekaligus
penyelenggaraan AISA V, yang bertemakan “Gereja Asia, Gereja Kaum Tani”.
Acara AISA V dibagi menjadi dua rangkaian acara. Acara pertama
diperuntukkan bagi pihak internal gereja yang berupa misa pembukaan/misa
syukur pada tanggal 16 Oktober 1990 pukul 17.00 wib. Pada tanggal 17 Oktober,
sehari setelahnya dilakukan acara seminar yang dihadiri oleh berbagai perwakilan
petani se-Asia, LSM baik nasinonal dan international, dan pihak-pihak yang
menaruh perhatian pada pertanian organik.
Pembicara pada seminar tersebut dari pihak LPPS ialah Rm. Utomo, pihak
akedemisi diwakili oleh Dr. Loekman Soetrisno dari UGM, dan bapak K.R.T.
Suryo Padmo Hadinigrat sebagai kepala daerah Bantul yang pada saat itu
15
Douuglas J.Elwood, dalam Pdt.B.A. Abednego, DPS (ed.), Teologi
Kristen Asia: Tema-tema yang Tampil ke Permukaan, (Jakarta: Gunung Mulia,
2006),.hlm. 35.
16
Mgr. Edmund Woga, CSsR, Misi Misiologi dan Evangelisasi di
Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 315.
9
mensosialisasikan semangat Projotamansari. 17 Diluar acara seminar diadakan
gelar budaya dan pameran HPS serta pasar malam dilapangan depan Gereja
Ganjuran. Pameran yang berupa produk pertanian unggulan daerah, produk
kerjaninan tangan masyrakat Sumbermulyo, produk pertanian organik dan pasar
malam/pasar hiburan rakyat yang berlangsung tiga malam.
Pada seminar tersebut disetujui sebuah kesepakatan tentang pembangunan
pertanian dan pedesaan lestari. Kesepatan inilah yang disebut sebagai Deklarasi
Ganjuran. Deklarasi Ganjuran berisikan:
Deklarasi Ganjuran 18
a. Peryataan:
1. Kepedulian:
a.) Mayoritas penduduk Indonesia adalah petani.
b.) Realtif kesejahteraan petani yang berjasa tertinggal.
c.) Petani kehilangan kebebasan bertani sesuai aspirasinya.
2. Refleksi:
a.) Petani sebagai pangkal dan tujuan pembangunan Indonesia.
b.) Presiden mengakui pendapat alternatif, keterbukaan, dan
bottom up system( dari bawah ke atas).
c.) Dalam Pancasila ada kesetiakawanan sosial, dan demokrasi.
d.) Pembangunan nasional memperhatikan pelestarian alam dalam
peningkatan produksi.
e.) Tanah, air dan alam anugerah Allah harus dipelihara untuk
kesejahteraan umum dan sebagai ungkapan syukur dan cinta
sesama.
3. Himbauan:
1.) Kepada Pemerintah:
(a) Agar mendukung dan melindungi prakarsa petani dalam
bervisi.
♦ Berwawasan lingkungan
♦ Murah secara ekonomis
♦ Sesuai budaya setempat
♦ Berkeadilan sosial
♦ Dengan pendekatan holistic dan berkelanjutan
(b) Agar mendukung dan melindungi prakarsa petani dalam
bertani sesuai aspirasi.
17
Ibid.
18
Romo Gregorius Utomo, Pr., :Deklarasi Ganjuran, Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan Lestari”, Bahan materi Seminar Hari Pangan Sedunia
1990 di Gereja Ganjuran 16 Oktober 1990.
10
(c) Agar mendukung dan melindungi prakarsa petani dalam
berorganisasi sesuai kebutuhan dan aspirasi petani.
2.) Kepada Gereja:
♦ Agar lebih menampakan perhatian, keterlibatan, dan
kepedulianya kepada nasib petani.
♦ Agar membantu perorangan, lembaga/paguyuban dalam
usaha pengembangan dan penelitian pertanian lestari.
♦ Agar membina jaringan petani lestari.
♦ Agar membantu petani dengan media
komunikasi/informasi antar peneliti, pendamping petani
dan petani.
3.) Kepada diri petani:
♦ Mulai mengembangkan pertanian lestari ditempat masing-
masing.
♦ Membentuk dan mengembangkan wadah serta jaringan
kerjasama antara kaum petani.
11
Tenggara bermata pencaharian sebagai petani. Dalam pidato pembukaan
Deklarasi Ganjuran Rm Utomo berbicara mewakili petani mengatakan 19:
Delapan puluh persen lebih penduduk Indonesia adalah petani.
Namun sampai saat ini petani tak banyak yang mengalami peningkatan
kesejahteraan. Berdasarkan pertimbangan itu, para petani memberi himbauan
kepada pemerintah untuk lebih mendukung prakarsa-prakarsa kelompok tani.
Selain itu, dihimbau juga kepada gereja untuk semakin lebih menampakkan
keberpihakanya kepada rakyat miskin, dalam hal ini para petani. Deklarasi
juga menandai jaringan kerjasama di antara para petani di tanah air.
19
Romo Gregorius Utomo, Pr.”Deklarasi Ganjuran, Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan Lestari”, Bahan materi Seminar (Sragen,21 Oktober
2009).
12
Secara psikologis para petani merasa senang dengan adanya Deklarasi
Ganjuran. Hal ini disebabkan suara ketidak setujuan petani atas program Revolusi
Hijau telah terwakili, selain itu juga petani merasa kebebasan untuk mengolah
lahan pertaniannya sendiri mulai dikembalikan. Menanam padi dan palawija
dengan sistem tumpang sari maupun Jajar legowo dirasa lebih menguntungkan
daripada hanya menanam padi hibrida dari pemerintah. Petani dan pemilik lahan
serta penggarap sawah mulai bisa menentukan tanaman jenis apa yang yang ingin
ditanam setelah mendapat binaan dari SPTN-HPS. Kehadiran program pertanian
lestari oleh SPTN-HPS dianggap baik oleh petani karena model pertanian lestari
sama halnya dengan pertanian tradisonal yang digunakan sekian lama oleh petani
yang pada akhirnya tergusur oleh program Revolusi Hijau. Sistem pertanian
tradisional petani yang melibatkan hubungan sosial antara sesamanya yang
terwujud dengan suatu seremonial 20 seperti upacara merti desa dan wiwtan. Hal
ini sejalan dengan program pertanian lestari yang salah satunya ingin
menghidupkan kembali pengetahuan dan kearifan lokal. Pada prinsipnya
pertanian lestari adalah membina petani untuk kembali mandiri. Selain itu petani
tidak mungkin bisa mandiri jika penggunaan bibit serta pupuk masih bergantung
terhdap subsidi pemerintah.
Bambanglipuro setelah diterapkanya pertanian lestari menimbulkan rasa
solidaritas yang kuat dan mengurangi kesenjangan antar petani baik kaya maupun
miskin. Sebelum adanya pertanain lestari sangat terliha kesenjagan antara petani
kaya dan miskin. hal ini dikarenakan mahalnya faktor produksi ketika itu.
Akibatnya hanya petani kaya dengan modal sendiri yang mampu membeli faktor
produksi baru seperti membeli pupuk dan pengadaan bibit. Sebaliknya petani
miskin yang tidak mampu membeli karena tidak memiliki modal maka dengan
terpaksa berhutang dengan bunga yang cukup tinggi. Peralihan petani ke sistem
pertanian lestari mampu mengurangi kesenjangan tersebut. Hal ini disebabkan
beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah dalam pertanian lestari petani
diharuskan saling menolong dan bergotongroyong guna memenuhi sarana
20
Erik wolf ,Petani Suatu Tinjauan Antropologis.(Jakarta: CV Rajawali,
1983),hlm. 90.
13
produksi seperti pengadaan bibit dan pupuk kompos. Pengandaan bibit tidak bisa
dilakukan sendirian karena ketika itu bibit lokal hampir tidak ada karena kurang
peminatnya dan tergusur bibit hibrida, solusi saat itu adalah dengan
mendatangkan bibit lokal dari Kabupaten Karanganyar. Bibit lokal yang
didatangkan dari Karanganyar harus dibudidayakan bersama oleh seluruh anggota
kelompok tani. Penggadaan pupuk kompos dan pestisida alami juga
mengharuskan semua anggota petani berkerja sama, mulai dari pengangkutan
limbah kotoran ternak, pengadaan bekatul, tetes tebu dan lain-lain. Kerjasama ini
dilakukan hampir selama satu kali masa tanam padi yaitu tiga bulan. Untuk
anggota yang tidak mempunyai salah satu bahan baku pupuk kompos maka
bertugas untuk mengolah sedangkan anggota yang mampu dengan modalnya
sendiri mencukupi bahan baku tersebut. Maka dapat dilihat bahwa dengan sistem
pertanian lestari kesenjangan antara petani kaya dan petani miskin tak lagi terlihat,
antara petani kaya dan miskin dapat berkumpul dan saling tolong menolong.
Menjelang akhir pemerintahan Orde Baru petani Bambanglipuro
dianjurkan oleh pemerintah setempat unutk mengurangi penggunaan pupuk urea,
hal ini dikarenakan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Bantuan pupuk yang
sebelumnya mencapai empat kwintal dikurangi menjadi tiga kwintal. Pada
pengurangan pertama membuat petani khawatir, karena meskipun mahal untuk
mendapatkanya tetapi keberlangsungan sawah mereka sangat bergantung pada
pupuk urea tersebut.
Harga pupuk urea dipasaran menurut keputusan Menteri Keuangan
Indonesia tahun 1998 adalah sebagai berikut: Urea Prill: Rp. 450/kg, Urea Tablet:
Rp. 450/kg, SP-36: Rp.675/kg dan ZA: Rp.506,25/kg. 21 Dengan harga eceran
tersebut jika diaplikasikan untuk menanam padi dengan luas lahan 1000 m2 maka
rata-rata petani mengeluarkan biaya sebesar Rp.112.000, sedangkan rata-rata luas
21
Lihat keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 207 tahun
1998 tentang Harga Eceran Tertinggi Pupuk Urea.
14
sawah petani Bambanglipuro 0,41 ha. 22 Maka biaya yang harus dikeluarkan petani
Bambanglipuro sebesar Rp. 448.000 untuk sekali pemupukan padi. Dengan
menggunakan pupuk organik petani hanya mengeluarkan biaya sebesar
Rp.240.000 untuk sekali masa tanam. Berdasarkan perhitungan Ir Yuni biaya
yang harus dikeluarkan petani untuk membuat pupuk kompos adalah sebagai
berikut.
Bahan: Pupuk kandang: 1000 kg x 20 = Rp 20.000
Sekam: 400 kg x 100 = Rp 40.000
Calsit: 20 kg x 200 = Rp 4.000
Bekatul : 30 kg x 100 = Rp 30.000
Gula Pasir: 0,5 kg x 4000 = Rp 2.000
Em4 1 liter = Rp 16.000
Stardek 2,5 kg x 10.000 = Rp 25.000
Tenaga: 4 hari kerja x 2 orang x 10.000 = Rp 80.000
Penggunaan Peralatan = Rp 23.000
Jumlah = Rp 240.000
Pupuk kompos yang dihasilkan ialah 1.450 kg.
Penggunaan pupuk organik membuat kebutuhan petani akan pupuk
menjadi lebih ringan, karena kebutuhan nutrient yang meningkat dapat dipenuhi
kebutuhanya dengan pupuk organik. Pupuk organik yang bahan bakunya
merupakan hasil dari sampah rumah tangga sangat membantu dan mengurangi
pengeluaran petani. Kelompok tani binaan SPTN-HPS tidak terlalu merasakan
karena mayoritas mereka telah menggunakan pupuk organik sebelum keluarnya
kebijakan tersebut.
Keberhasilan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian petani
dirasa cukup berhasil. Indikator keberhasilanya adalah bahwa petani organik bisa
memenuhi kebutuhan subsitenya lebih lama daripad para petani konvensional.
Dimulai dari sistem tanam trradisional seperti tumpang sari dan jajar legowo serta
22
Laporan Pertanggungjawaban Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul
Kepada DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul Mengenai Pelaksanaan
Pemerintah Daerah, hlm. 34-35.
15
pola tanamnya membuat petani organik mendapatkan pemasukan dari tanaman
selain padi. Sealin itu juga pemasukan petani organik didapat dari pemanfaatan
pupuk kompos. Pemanfaatan pupuk kompos yang murah dan penggunaanya bisa
mencapai sekali musim tanam membuat para petani bisa berhemat dan hal ini
memberikan opsi petani dalam memanfaatkan uangnya untuk keperluan yang lain
seperti membiayai anak mereka sekolah. 23
E. KESIMPULAN
Deklarasi Ganjuran menyuarakan pelaksanaan, dan penyebarluasan
pembangunan pertanian dan pedesaan yang lestari. Penggunaan kata lestari
menurut pihak gereja adalah tentang cara pandang atau filosofi hidup, sedangkan
organik lebih kepada media saluran dan teknis pertanian. Pembangunan pertanian
dan pedesaan yang lestari yaitu berwawasan lingkungan (ecological sound),
murah secara ekonomis sehingga tergapai oleh segala kalangan masyrakat
(economically feasible), sesuai dengan kebudayaan setempat (culturally adapted),
dan berkeadilan sosial (social just).Pertanian dan pedesaan lestari yang
merupakan semangat dari Deklarasi Ganjuran pada intinya adalah mengajak
masyarakat untuk menggunakan sistem pertanian yang peduli alam sekitar
(ecological sound). Supaya tercapainya keseimbangan ekologi dan lingkungan
sehat, dengan mengolah alam secara bijak serta menghindarkan dari eksploitasi
alam. Jika poin pertama tercapai maka dampaknya alam akan memberikan
keuntungan kepada petani. Sehingga petani dapat menggunakan bahan yang telah
disediakan oleh alam seperti benih, pestisida alami dari kumpulan daun-daun
kering, pupuk kompos untuk mengolah pertanian yang secara ekonomis lebih
murah dari beli di pabrik.
23
Ir. Yuni,Wawancara di Sidomulyo , 6 Agustus 2016.
16
kesenjangan antara petani miskin dan petani kaya. Pertanian lestari menjadi solusi
alternatif petani Bambanglipuro untuk menambah dan mencukupi subsitensinya.
Pada perkembanganya Deklarasi Ganjuran dapat mengembalikan kemandirian
petani, menyelamatkan bibit lokal dari kepunahan, menghidupkan kembali tradisi
pertanian tradisional dengan menggunakan pranotomongso sebagai acuan masa
tanam serta masa panen. Pada akhirnya Deklarasi Ganjuran menjadi semangat inti
setiap pelaksanaan perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang diadakan oleh
Gereja Katolik.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip:
Dewan Karya Pastoral Keuskupan Semarang, Arah Dasar Umat Allah Keuskupan
Agung Semarang 1984-1990, Semarang: Keuskupan Agung Semarang,
1984
Douuglas J.Elwood, dalam Pdt.B.A. Abednego, DPS (ed.), Teologi Kristen Asia:
Tema-tema yang Tampil ke Permukaan, Jakarta: Gunung Mulia, 2006
Francis Wahono, Manajemen dan Praktek Gerakan Sosial Baru: Sepenggal Kisah
Cindelaras Paritrana: Berpikir dengan Dunia, Berjalan Bersama
Rakyat Jelata, Yogyakarta: Cindebooks, 2012
17