Tinjauan Pustaka Gabriel Revisi II
Tinjauan Pustaka Gabriel Revisi II
Tinjauan Pustaka Gabriel Revisi II
Oleh:
NIM. 2230912310069
Pembimbing:
BANJARMASIN
September, 2023
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
2.1 Definisi........................................................................................ 4
2.2 Epidemiologi............................................................................... 5
2.4 Patogenesis.................................................................................. 10
2.5 Diagnosis..................................................................................... 12
2.6 Tatalaksana.................................................................................. 21
2.7 Komplikasi.................................................................................. 26
2.8 Prognosis..................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 29
ii
Universitas Lambung Mangkurat
BAB I
PENDAHULUAN
ditandai dengan inflamasi kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan
gejala seperti mengi, kesulitan bernapas, sensasi sesak atau terikat pada dada, dan
ke-16 sebagai penyebab utama penyakit tahunan pada pasien dengan sekitar 300
juta orang menderita asma di seluruh dunia. 2 Menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, prevalensi asma anak di Indonesia umur 0-14 tahun
berkisar dari 0,4-1,9 % dari semua umur.3 Diperkirakan sekitar 65% dari pasien
anak dengan asma terdiagnosis sebagai asma persisten, sedangkan sebanyak 35%
asma ringan.5
lingkungan dan faktor pejamu yang saling berinteraksi. Faktor pejamu yaitu
1
Universitas Lambung Mangkurat
2
dan aditif (pengawet, penyedap, dan pewarna makanan), polusi udara, obat-
obatan, asap rokok, ekspresi emosi yang berlebihan dan iritan lainnya. 6.Konsep
terkini patogenesis asma adalah asma merupakan suatu proses inflamasi kronik
Diagnosis asma pada anak didasarkan pada pola gejala berulang penilaian
asma persisten adalah tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai
jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Penting untuk mengontrol asma
perkembangan anak. Selain itu, morbiditas dan mortalitas asma relatif tinggi,
WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat asma.1,8 Oleh karena itu,
penting bagi tenaga kesehatan untuk mengenali asma agar dapat memberikan
penanganan yang tepat untuk menghindari dampak buruk yang disebabkan asma.
adalah apa itu asma persisten, penegakan diagnosis asma, dan cara membedakan
antara asma intermiten dengan persisten, baik ringan, sedang dan berat.
A. Teori
pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai tatalaksana pada asma persisten
anak.
B. Praktik
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memperkaya data yang ada untuk
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
gangguan respiratorik seperti mengi, kesulitan bernapas, sensasi sesak atau terikat
pada dada, dan batuk yang frekuensi dan intensitasnya bervariasi, disertai dengan
dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, mengi,
sesak, napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang,
reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul
1) Asma intermiten, yaitu episode gejala asma <6x/tahun atau jarak gejala ≥6
minggu
3) Asma persisten sedang, yaitu episode gejala asma >6x/minggu, namun tidak
setiap hari
4) Asma persisten berat, yaitu episode gejala asma terjadi hampir tiap hari
4
Universitas Lambung Mangkurat
5
2.2 Epidemiologi
Serikat, didapatkan sekitar 65% anak dengan asma tergolong dalam asma
persisten, sedangkan sekitar 35% lainnya tergolong dalam asma intermiten. 4 Pada
studi yang dilakukan pada pasien asma anak di Allergy and Pulmonology Unit of
Spain didapatkan dari 249 pasien, sebanyak 161 pasien laki-laki dan 88 pasien
tergolong asma intermiten, 34 orang (21%) tergolong asma persisten ringan, dan
81 orang (50%) tergolong asma persisten sedang dan berat. Pada kelompok
orang (36%) tergoong asma persisten ringan, dan 29 orang (33%) tergolong asma
persisten sedang-berat.9
resisten ringan, sedangkan sebanyak 0 orang (0%) tergolong asma resisten sedang
dan intermiten.5 Pada studi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
dengan asma persisten ringan presentase sebesar 64,84%, pasien asma persisten
sedang dengan presentase sebesar 27,47% sedangkan asma persisten berat dengan
persentase 7,69%.10
diyakini kejadian asama dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. 10 Dalam hal
gen yang secara signifikan terkait dengan timbulnya asma bronkial. Selain itu,
mutasi pada gen orosomucoid 1 (ORM1) telah terungkap dalam studi tentang
menghasilkan kadar serum IgE total yang meningkat bersamaan dengan terjadinya
Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
pewarna makanan.
Jenis kelamin. Prevalensi asma pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5
pada usia 12-17 tahun. Namun, pada usia 30 tahun rasio ini berubah menjadi
Usia. Pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma pertama kali
timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan. Pada
anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia <6 bulan,
dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5%
anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35tahun,
60% tetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih
sering mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak.8
Ras. Prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih
tinggi daripada kulit putih dengan rata-rata prevalens adalah 57,8 per 1000
populasi kulit hitam, 50,8 per 1000 populasi kulit putih, sedangkan untuk ras
Asap rokok. Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi
daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Pada anak yang terpajan asap
Polusi udara luar. Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya,
asma.8
usia 7 tahun yang saat bayi sering mengalami rinitis. Namun, hal ini tidak
berlaku pada infeksi respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang
saluran napas pada masa awal hidup anak yang mana dengan semakin
kemungkinan alergi. 13
lebih besar. 13
Masa kanak-kanak
asma persisten. 13
higine didalam keluarga dan dikatakan jika anak yang lahir terakhir
anak pertama. 13
Sosial ekonomi, pasien asma yang berasal dari sosial ekonomi yang
persisten. 13
persisten berat. 13
dibandingkan perempuan. 13
2.4 Patogenesis
T helper (Th) naïve yang spesifik terhadap alergen tersebut. Saat ini diketahui
bahwa sel Th yang terlibat dalam patofisiologi asma bukan hanya Th2. Namun,
melibatkan Th17 dan Th9. Sel Th2 menyekresi sitokin interleukin (IL)-4, IL-5,
IL-6, IL-9, IL-13, kemokin dan juga GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor). Sel Th17 menyekresi IL-17A, IL-17F dan IL-22 yang
Faktor kemotaktik oleh sel mast, limfosit, dan makrofag yang terpajan
alergen dan menyebabkan migrasinya eosinofil dan sel radang lain (neutrophil)
serta peningkatan IgE. Selain itu, pada pasien asma ternyata ada penurunan
jumlah maupun fungsi sel Treg, padahal sel ini penting dalam menginduksi
toleransi terhadap antigen dan pada kasus asma, sel Treg akan mengurangi
memicu atelektasis akibat sumbatan oleh sekret yang banyak (mucous plug).14
2.5 Diagnosis
Sampai sekarang masih belum ada baku emas untuk diagnosis asma.
Diagnosis asma pada anak sebagian besar didasarkan pada pola gejala berulang
a. Anamnesis
napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough/batuk
kronik berulang dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma.
Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan saat pasien dalam keadaan stabil tanpa
gejala pada pemeriksaan fisik pasien biasanya tidak ada kelainan. Ketika sedang
bergejala pada pasien didapat wheezing, baik yang terdengar langsung (audible
wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi
lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai
c. Pemeriksaan penunjang
1) Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas bisa digunakan peak flow meter.7
bronkial dan tes fisiologis lainnya tidak memiliki peran penting dalam
menegakan diagnosis. 17
anak dengan asma setelah lebih berusia lebih dari 3 tahun, namun tidak
oxide) dan eosinofil sputum.7 FeNO dapat diukur pada anak kecil dengan
pernapasan tidal yang nilai referensi normal telah dipublikasikan untuk anak
4) Uji provokasi bronkus dengan latihan fisik, metakolin, atau larutan salin
dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau
yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus ini sangat
5) Uji coba terapeutik selama minimal 2-3 bulan dengan short acting beta2-
Respons harus dievaluasi dengan kontrol gejala (siang dan malam), dan
frekuensi episode mengi dan serangan. Uji coba pengobatan ini ditandai
untuk memastikan diagnosis karena sifat asma yang bervariasi pada anak.17
Pasien anak yang datang dengan keluhan batuk, mengi, sesak napas, dada
tertekan atau produksi sputum dapat dicurigai sebagai asma jika keluhan itu
gejala memberat pada malam atau dini hari atau timbul apabila ada pencetus. Jika
pasien anak sudah diduga asma, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan,
dimana jika ditempat kita tersedia spirometri/Peak Flow Meter (PFM) maka dapat
variabilitas >13% maka asma pada anak dapat ditegakkan. Namun, jika tidak
diulangi, jika hasil sesuai maka asma pada anak dapat ditegakkan, tetapi jika tidak
sesuai maka diberikan inhalasi SABA selama 3-5 hari. Pada kondisi dimana
selama 3-5 hari. Apabila terdapat respons terhadap pemberian inhalasi SABA
selama 3-5 hari maka asma pada anak dapat ditegakkan namun apabila tidak
terdapat respons maka tambahkan steroid sistemik 3-5 hari. Apabila terdapat
respons terhadap pemberian steroid sistemik 3-5 hari maka asma pada anak dapat
ditegakkan. Apabila tidak terdapat respons pemberian steroid sistemik 3-5 hari
dan tidak ada gejala yang diduga asma maka pikirkan diagnosis lain dan
tatalaksana sesuai diagnosis lain. Setelah diagnosis asma pada anak ditegakkan,
Berikut alur diagnosis asma pada anak (gambar 2.3) yang telah diuraikan
diatas.
sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.7
b. Berdasarkan fenotif
1) Asma alergi: asma ini mudah dikenali, yang sering dimulai pada masa
berhubungan dengan alergi. Profil seluler sputum dari pasien ini mungkin
(paucigranulositik).18
memerlukan dosis ICS yang lebih tinggi atau relatif refrakter terhadap
4) Asma dengan limitasi aliran udara persisten: beberapa pasien dengan asma
tidak sempurna. Hal ini diduga karena remodeling dinding saluran napas.18
akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.
penentuan tatalaksana.7
1) Tanpa gejala
2) Ada gejala
3) Serangan ringan-sedang
4) Serangan berat
asma, yang mencerminkan gagalnya tatalaksana asma jangka panjang atau adanya
pajanan pencetus.7 Anamnesis yang singkat dan pemeriksaan fisik yang relevan
harus dilakukan bersamaan dengan terapi awal yang cepat dan hasil dicatat.18
e. Semua obat pereda dan pengontrol saat ini, termasuk dosis dan alat yang
e. Peak expiratory flow (PEF) pada pasien yang berusia lebih dari 5 tahun
serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti napas. Perlu
serangan asma pada anak ditentukan apabila memenuhi gejala pada tabel
berikut.7
dengan ancaman
sedang
henti napas
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk
Lebih senang duduk
Duduk bertopang lengan Letargi
daripada berbaring
Suara napastak
Tidak gelisah Gelisah
terdengar
Frekuensi napas meningkat Frekuensi napas meningkat
Frekuensi nadi meningkat Frekuensi nadi meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas
SpO2: 90-95% SpO2: <90%
PEF >50% prediksi atau PEF <50% prediksi atau
terbaik terbaik
diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal maka tatalaksana dapat
Asma intermiten Bebas gejala selama minimal 6 minggu pada satu waktu (gejala hingga rata-rata sekali
jarang setiap 6 minggu namun tidak ada gejala antarserangan)
Asma intermiten Gejala sering terjadi rata-rata lebih dari sekali setiap 6 minggu namun tidak ada gejala
antarserangan
Prediksi FEV1 ≥80% dan setidaknya salah
Setidaknya salah satu dari:
Asma persisten satu dari:
• Gejala siang hari antarserangan lebih dari
ringan • Gejala siang hari antarserangan lebih dari
sekali per minggu tetapi tidak setiap hari
sekali per minggu tetapi tidak setiap hari
• Gejala malam hari antarserangan lebih
• Gejala malam hari antarserangan lebih
dari dua kali per bulan tetapi tidak setiap
dari dua kali per bulan tetapi tidak setiap
minggu
minggu
Asma persisten Salah satu dari:
sedang Salah satu dari:
• Prediksi FEV1 <80% antarserangan
• Gejala siang hari antarserangan setiap
hari • Gejala siang hari antarserangan setiap
hari
• Gejala malam hari antarserangan lebih
dari sekali per minggu • Gejala malam hari antarserangan lebih
dari sekali per minggu
• Gejala terkadang membatasi aktivitas
atau tidur • Gejala terkadang membatasi aktivitas
atau tidur
Asma persisten Salah satu dari:
berat Salah satu dari:
• Prediksi FEV1 <60% antarserangan
• Gejala siang hari antarserangan setiap
hari • Gejala siang hari antarserangan setiap
hari
• Gejala malam hari antarserangan sering
• Gejala malam hari antarserangan sering
• Serangan sering
• Serangan sering
• Gejala sering membatasi aktivitas atau
tidur • Gejala sering membatasi aktivitas atau
tidur
Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda disebut juga sebagai obat
pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau
gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada
untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga
tidak timbul serangan atau gejala asma. Obat ini digunakan secara terus menerus
dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma
menggunakan nebulizer, MDI, atau dry powder inhaler (DPI). Pemilihan jenis
alat inhalasi disesuaikan dengan umur, kemampuan dan keadaan pasien serta
ketersediaan dan biaya. Inhalasi dosis terukur/metered dose inhaler (MDI) dengan
jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal,
serta biaya lebih murah. Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
awal sebelum menentukan jenjang tata laksana yang akan diberikan adalah
sedangkan obat pereda diberikan pada semua jenjang bila ada gejala atau serangan
pencetus) dan pengobatan penyakit penyerta juga dilakukan pada semua jenjang.7
intermiten. Jenjang 1 juga dapat diterapkan pada pasien yang telah terkendali
penuh tanpa obat pengendali. Pada jenjang 1 pasien hanya mendapatkan obat
pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma.
Sebagai alternatif obat pereda bisa diberikan obat inhalasi agonis β2 kerja pendek
kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin
kerja pendek oral. Pada pasien yang memiliki faktor risiko serangan asma
steroid inhalasi dosis rendah. Bila setelah tata laksana jenjang 1 dilaksanakan
selama 6-8 minggu asma tidak terkendali penuh, anak memerlukan obat
pengendali asma (jenjang 2).7 Jika pada saat awal penilaian anak didiagnosis
sebagai asma persisten ringan, tata laksana dimulai dari jenjang 2. Pilihan utama
obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah, sedangkan
sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan pada pasien
asma yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien
persisten sedang atau anak yang tidak terkendali dengan terapi jenjang 2. Pilihan
utama obat pengendali pada jenjang 3 untuk anak berusia di atas 5 tahun ialah
dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Selain itu dapat
persisten berat atau anak yang tidak terkendali dengan jenjang 3. Pasien asma
yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya dirujuk kepada dokter
spesialis anak konsultan respirologi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini
utama obat pengendali pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis
menengah agonis β2 kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis
sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat
panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah kombinasi
Jenjang 5 Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter
spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh
karena itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada
jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien
pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif pilihan pengobatan. 7
Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8
minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya
(step up). Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12
minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya
(step down).7
asma.
3) Intervensi edukasi dan evaluasi cara pemakaian obat. Agar obat yang
dosis yang tepat. Selain itu edukasi tentang kepatuhan pasien untuk
pasien.
2.7 Komplikasi
termasuk olahraga dan aktivitas luar ruangan. Meskipun asma adalah penyakit
disfungsi metabolisme. Namun, asma yang tidak terkontrol dengan baik dapat
2.8 Prognosis
Prognosis ad vitam asma persisten adalah dubia ad bonam pada pasien asma
persisten yang terkontrol dengan pengobatan jarang terjadi serangan asma dan
tingkat mortalitasnya rendah. Namun, pasien asma persisten yang tidak terkontrol
bonam hal ini dikarenakan keadaan pasien sangat tergantung pada kepatuhan
pasien dalam menjalani terapinya. Perlu diingat pasien yang sering mengalami
serangan asma atau tidak terkontrol, khususnya pada anak dapat menyebabkan
risiko apnea tidur obstruktif, pneumonia, atau refluks gastroesofageal yang dapat
berat juga ditandai dengan penurunan dini fungsi paru-paru, yang mana kinerjanya
hanya menjadi 60-80% dari normalnya.24 Namun, pasien yang taat dengan
pengobatan asma persisten juga tetap memiliki risiko efek samping dari
asma persisten adalah dubia ad bonam yang berkaitan erat dengan ketaatan pasien
dalam menjalani terapi dan menghindari faktor yang dapat mencetuskan dan
memperburuk asmanya.23
PENUTUP
saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa
batuk, mengi, sesak, napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan
biasanya timbul apabila ada pencetus. Asma persisten sendiri merupakan salah
satu klasifikasi asma yang didasarkan pada kekerapan gejala asma. Kekerapan
gejala asma ini dapat digunakan sebagai acuan awal jejang tatalaksana jangka
panjang untuk mengontrol asma. Asma yang tidak terkontrol cenderung memiliki
menetukan terapi yang sesuai dengan keadaan pasien sangat perlu untuk
penilaian yang dilakukan secara berkala oleh dokter dan/atau pasien. Hal ini
berkaitan dengan jenjang penatalaksanaan yang diterima oleh pasien asma, apakah
ia akan tetap dijenjang tersebut atau akan step up maupun step down. Selain
28
Universitas Lambung Mangkurat
DAFTAR PUSTAKA
1. Zulfikri NA, Muti A. Karakteristik penderita asma pada anak di ruang rawat
inap rsud abdul wahab sjahranie samarinda pada tahun 2018-2020. Verdure:
Health Science Journal.2022;4(1):342-356.
4. CDC. Asthma severity among adults with current asthma. [Internet]. 2015.
Avaliable from: https://www.cdc.gov/asthma/asthma_stats/severity_adult.htm#
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar respirologi. Edisi 1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2008
9. Rodriguez EC, Barcala FG, Rodriguez PC, et al. Predictors of the persistence
of childhood asthma. Allergologia et immunopathologia.2008: 36(2);66-71.
10. Gita DGVM, Ernawati DK, Mahendra AN. Analisis kesesuaian pemakaian
obat pada pasien asma dewasa dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5
tahun 2014 di Badan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tabanan tahun
2018. Intisari Sains Medis.2020:11(3);1242-1246.
29
Universitas Lambung Mangkurat
30
13. Subbarao P, Mandhane PJ., Sears MR. Asthma: epidemiology, etiology and
risk factors. Cmaj.2009; 181(9): E181-E190.
14. Litanto A, Kartini K. Kekambuhan asma pada perempuan dan berbagai faktor
yang memengaruhinya. Jurnal Biomedika Dan Kesehatan. 2021;4(2):79-86.
16. Zitelli BJ, Davis HW. Atlas of pediatric physical diagnosis. Fifth edition.
Philadelphia: Elsevier; 2007.
17. Global Initiative for Asthma. global strategy for asthma management and
prevention, 2022. Avalaible from: www.ginasthma.org
19. National Asthma Council Australia. australian asthma handbook, version 1.0.
national asthma council australia, melbourne, 2014. Website. Available from:
http://www.asthmahandbook.org.au
21. Lizzo JM, Cortes S. Pediatric Asthma. [Updated 2023 Aug 7]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551631
22. Reddel HK, Bacharier LB, Bateman ED, et al. Global initiative for asthma
strategy 2021: executive summary and rationale for key changes. Am J Respir
Crit Care Med. 2022;205(1):17-35.
23. Song WJ, Lee JH, Kang Y, Joung WJ, Chung KF. future risks in patients with
severe asthma. Allergy Asthma Immunol Res. 2019 Nov;11(6):763-778