Chapter 2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Konsep Hipertensi

a. Definisi Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah meningkatnya

tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan atau tekanan darah

diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan

keadaan cukup istirahat/tenang selama selang waktu lima menit

(Kemenkes, 2014). Sedangkan menurut Lewis, et al (2011)

Hipertensi didefinisikan sebagai menetapnya tekanan darah sistolik

≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg

Hipertensi menurut World Health Organization (WHO)

adalah suatu pembuluh darah yang memiliki tekanan darah yang

tinggi dan menetap. Tekanan darah adalah kekuatan darah untuk

melawan tekanan dinding arteri ketika darah tersebut dipompa oleh

jantung ke seluruh tubuh. Semakin tinggi tekanan darah maka

semakin keras jantung bekerja (WHO, 2013).

b. Klasifikasi Hipertensi

Menurut Smeltzer hipertensi pada usia lanjut

diklasifikasikan sebagai berikut :

10 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


11

1.) Hipertensi dimana tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg

dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg

2.) Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar

dari 160 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih rendah dari

90 mmHg.

3.) Hipertensi diastolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih

rendah dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih besar

dari 90 mmHg.

Tebel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80


Pra Hipertensi 120 - 139 80 – 89
Hipertensi Tahap 1 140 - 159 90 – 99
Hipertensi Tahap 2 ≥ 160 ≥ 100

Sumber : JNC VII


c. Etiologi Hipertensi
Menurut Smeltzer (2013), Penyebab hipertensi digolongkan

menjadi 2 yaitu :

1.) Hipertensi esensial atau primer

Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini belum

diketahui. Berbagai faktor diduga turut berperan sebagai

penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stress

psikologis, dan hereditas (keturunan). Kurang lebih 90%

penyandang hipertensi tergolong hipertensi primer, sedangkan

10%-nya tergolong hipertensi sekunder

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


12

2.) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat

diketahui, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal,

gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal

(hiperaldosteronisme), dan lain lain.Golongan terbesar dari

penyandang hipertensi adalah hipertensia esensial, maka

penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan ke

penyandang hipertensi esensial.

d. Gejala Hipertensi

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak

menimbulkan gejala ; meskipun secara tidak sengaja beberapa

gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan

tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang

dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing,

wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada

penyandang hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan

darah yang normal. Jika hipertensinya berat atau menahun dan

tidak diobati, bisa timbul gejala seperti, Sakit kepala, Kelelahan,

Mual, Muntah, Sesak napas, Gelisah

Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya

kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal. Kadang penyandang

hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma

karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


13

ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera

(Manuntung , 2018).

e. Faktor Risiko Hipertensi

Menurut dari direktorat P2PTM, faktor risiko terjadinya

hipertensi dibedakan menjadi 2 yaitu :

1.) Faktor risiko yang tidak dapat diubah Ada 3 faktor risiko antara

lain usia, jenis kelamin, dan genetik (keturunan).

a.) Umur

Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi, dengan

bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih

besar. Orang yang berumur 40 tahun biasanya rentan

terhadap meningkatnya tekanan darah yang lambat laun

dapat menjadi hipertensi seiring dengan bertambahnya

umur. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan

hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Kejadian ini

disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah

besar.

b.) Jenis kelamin

Jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi. Pria

mempunyai risiko sekitar 2,3 kali lebih banyak mengalami

peningkatan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan

perempuan, karena pria diduga memiliki gaya hidup yang

cenderung meningkatkan tekanan darah. Namun setelah

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


14

memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada

perempuan meningkat dikarenakan faktor hormonal.

c.) Genetik (keturunan)

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor

keturunan) juga meningkatkan risiko hipertensi, terutama

hipertensi primer (essensial). Faktor genetik juga berkaitan

dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran

sel.

2.) Faktor risiko yang dapat diubah

Faktor ini diakibatkan karena perilaku tidak sehat dari

penyandang hipertensi seperti merokok, diet rendah serat,

konsumsi garam berlebih, kurang aktivitas fisik, berat badan

berlebih (obesistas), konsumsi alcohol, silipidemia dan stress.

a.) Kegemukan (Obesitas)

Berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) berkolerasi

langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah

sistolik. Dimana risiko relatif untuk menderita hipertensi

pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan seseorang yang badannya normal. Sedangkan, pada

penyandang hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memilki

berat badan lebih (overweight).

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


15

b.) Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon

monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk melalui

aliran darah yang dapat mengakibatkan tekanan darah

tinggi. Merokok akan meningkatkan denyut jantung,

sehingga kebutuhan oksigen otot-otot jantung bertambah.

Merokok pada penyandang hipertensi akan semakin

meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah arteri.

c.) Kurang aktivitas fisik

Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan

tekanan darah dan bermanfaat bagi penyandang hipertensi

ringan. Dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur

tekanan darah dapat turun, meskipun berat badan belum

turun. 13

d.) Konsumsi garam berlebihan

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh

karena menarik cairan diluar sel agar tidak dikeluarkan,

sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization

(WHO) menyarankan pola konsumsi garam yang dapat

mengurangi risiko terjadinya hipertensi, kadar sodium yang

disarankan tidak lebih dari 100 mmol sekitar 2,4 gram

sodium atau 6 gram garam perharinya. Konsumsi natrium

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


16

yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam

cairan ekstraseluler meningkat (Nuraini, 2015). Asupan

natrium dan garam tergolong faktor risiko hipertensi yang

kontrovensional. Natrium merupakan salah satu bentuk

mineral, atau elektrolit yang berpengaruh terhadap tekanan

darah (Suarni, 2017).

e.) Dislipidemia

Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya

aterosklerosis, yang kemudian mengakibatkan peningkatan

tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah

meningkat.

f.) Konsumsi alkohol berlebih

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah

dibuktikan. Diduga peningkatan kadar kortisol, peningkatan

volume sel darah merah dan peningkatan kekentalan darah

sangat berperan dalam menaikan tekanan darah.

g.) Psikososial dan stress

Stress atau ketegangan jiwa seperti, rasa tertekan, murung,

marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah dapat merangsang

kelenjar anak ginjal untuk melepaskan hormon adrenalin

dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta kuat,

sehingga tekanan darah meningkat (Kemenkes RI, 2013).

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


17

f. Manifestasi Klinis Hipertensi

Menurut Rokhaeni (2001) Manifestasi klinis secara umum

dibedakan menjadi dua, yaitu :

1.) Tidak ada gejala

Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan

peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri

oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial

tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan darah arteri tidak

terukur.

2.) Gejala yang lazim

Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai

hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam

kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai

kebanyakan pasein yang mencari pertolongan medis.

Menurut Smeltzer (2013), Manifestasi klinis hipertensi pada

lansia secara umum adalah : sakit kepala, perdarahan hidung,

vertigo, mual muntah, perubahan penglihatan, kesemutan pada

kaki dan tangan, sesak napas, kejang atau koma, nyeri dada.

Penyakit tekanan darah tinggi merupakan kelainan “sepanjang

umur”, tetapi penderitanya dapat hidup secara normal seperti

layaknya orang sehat asalkan mampu mengendalikan tekanan

darahnya dengan baik. Di lain pihak, orang yang masih muda

dan sehat harus selalu mamantau tekanan darahnya, minimal

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


18

setahun sekali. Apalagi bagi mereka yang mempunyai faktor-

faktor pencetus hipertensi. Hal ini dilakukan karena bila

hipertensi diketahui lebih dini, pengendaliannya dapat segera

dilakukan.

g. Penatalaksanaan Hipertensi

1.) Non farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat

menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat

menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan

kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,

tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola

hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus

dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka

waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang

diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang

lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.

Perilaku gaya hidup sehat yang maksud sepertiPembatasan

asupan garam dan natrium, Menurunkan berat badan sampai

batas ideal, Olahraga secara teratur, Mengurangi / tidak

minum-minuman beralkohol, Mengurangi/ tidak merokok ,

Menghindari stres, Menghindari obesitas.

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


19

2.) Terapi farmakologi

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila

pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami

penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola

hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.

Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu

diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi

efek samping, yaitu :

a.) Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal

b.) Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat

c.) Mengurangi biaya Berikan obat pada pasien usia lanjut

( diatas usia 80 tahun )

d.) Seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan

faktor komorbid Jangan mengkombinasikan angiotensin

converting enzyme

e.) Inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers

(ARBs) Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien

mengenai terapi

f.) Farmakologi Lakukan pemantauan efek samping obat

secara teratur.

Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan

berbagai guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah

ini adalah algoritme tatalaksana hipertensi secara umum

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


20

h. Epidemology Hipertensi

Hipertensi juga disebut sebagai “silent killer” karena 24%

orang yang memiliki tekanan darah melebihi 140/90 mmHg tidak

menyadari bahwa tekanan darah mereka meningkat. Data WHO

2015 menunjukkan sekitar 1.13 miliar orang di dunia menderita

hipertensi. Artinya, 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis menderita

hipertensi, hanya 36,8% di antaranya yang minum obat. Jumlah

penyandang hipertensi di dunia terus meningkat setiap tahunnya,

diperkirakan pada 2025 akan ada 1,5 miliar aorang yang terkena

hipertensi. Diperkirakan juga setiap tahun ada 9,4 juta orang

meninggal akibat hipertensi dan komplikasi. Di Indonesia sebesar

25,8%, pravelensi tertinggi terjadi di Bangka Belitung (30,%) dan

yang terendah di Papua (16,8%). Sementara itu, data Survei

Indikator Kesehatan Nasioanal 2016 meunjukka peningkatan

prevalensi hipertensi penduduk usia 18 tahun ke atas sebesar

32,4% selain itu, menurut data BPJS Kesehatan, biaya pelayanan

hipertensi mengakai peningkatan setiap tahunnya, yakni 2,8 triliun

pada 2014, Rp. 3,8 triliun pada 2015, dan Rp. 4,2 triliun pada 2016

(Mufarokhah, 2019).

i. Patofisiologi Hipertensi

Menurut Manuntung (2018) Hipertensi esensial melibatkan

interaksi yang sangat rumit antara faktor genetik dan lingkungan

yang dihubungkan oleh pejamu mediator neurohormonal. Secara

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


21

umum hipertensi disebabkan oleh peningkatan tahanan perifer dan

atau peningkatan volume darah. Gen yang berpengaruh pada

hipertensi primer (faktor herediter diperkirakan meliputi 30%

sampai 40% hipertensi primer) meliputi reseptor angiotensin II,

gen angiotensin dan renin, gen sintetase oksida nitrat endotelial;

gen protein reseptor kinase G; gen reseptor adrenergik; gen

kalsium transport dan natrium hidrogen antiporter (mempengaruhi

sensitivitas garam); dan gen yang berhubungan dengan resistensi

insulin, obesitas, hyperlipidemia, dan hipertensi sebagai kelompok

bawaan. 13 Teori terkini mengenai hipertensi primer meliputi

peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis (SNS) yaitu terjadi

respons maladaptif terhadap stimulasi saraf simpatis dan perubahan

gen pada reseptor ditambah kadar katekolamin serum yang

menetap, peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin-aldosteron

(RAA), secara langsung menyebabkan vasokonstriksi, tetapi juga

meningkatkan aktivitas SNS dan menurunkan kadar prostaglandin

vasodilator dan oksida nitrat, memediasi remodeling arteri

(perubahan struktural pada dinding pembuluh darah), memediasi

kerusakan organ akhir pada jantung (hipertrofi), pembuluh darah,

dan ginjal. Defek pada transport garam dan air menyebabkan

gangguan aktivitas peptide natriuretik otak (brain natriuretic

peptide, BNF), peptide natriuretik atrial (atrial natriuretic peptide,

ANF), adrenomedulin, urodilatin, dan endotelin dan berhubungan

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


22

dengan asupan diet kalsium. magnesium, dan kalium yang rendah.

Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi

endotel, hipertensi sering terjadi pada penyandang diabetes, dan

resistensi insulin ditemukan pada banyak pasien hipertensi yang

tidak memiliki diabetes klinis. Resistensi insulin berhubungan

dengan penurunan pelepasan endothelial oksida nitrat dan

vasodilator lain serta mempengaruhi fungsi ginjal. Resistensi

insulin dan kadar insulin yang tinggi meningkatkan aktivitas SNS

dan RAA.

2. Konsep Pola Makan

a. Definisi Pola Makan

Pola makan merupakan gambaran atau kebiasaan makan

setiap harinya yang menjadi ciri khas seseorang dan perilaku

penting yang dapat mempengaruhi gizi seseorang. Hal ini

disebabkan karena makanan dan minuman yang dikonsumsi akan

mempengaruhi gizi seseorang (Kadir, 2019). Menurut Indrawati

dalam Fatmia (2019) Pola makan adalah cara atau usaha untuk

dalam pengaturan jenis makanan dan jumlah makanan setiap

harinya untuk mempertahankan kesehatan, status nutrisi, dan

membantu atau mencegah kekambuhan penyakit. Pengertian pola

makan pada dasarnya mendekati definisi/pengertian diet dalam

ilmu gizi/nutrisi. Diet diartikan sebagai pengaturan jumlah dan

jenis makanan yang dimakan agar seseorang tetap sehat. Untuk

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


23

mencapai tujuan diet/pola makan sehat tersebut tidak terlepas dari

masukan gizi yang merupakan proses organisme menggunakan

makanan yang dikonsumsi melalui proses digesti, absorbsi,

transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat zat

yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,

pertumbuhan dan fungsi normal organ organ serta menghasilkan

energi (Suarni, 2017).

b. Komponen Makanan

Secara umum, pola makan memiliki 3 komponen yaitu :

1.) Jenis Makanan

Jenis makanan yaitu sejenis makanan pokok yang biasa

dimakan setiap harinya yang terdiri diri makanan pokok, lauk

hewani, buah buahan. Makanan pokok adalah sumber makanan

yag biasa dikonsumsi di negara indonesia seperti beras, sagu,

tepung, jagung (Sulistyoningsih dalam Nisa, 2020 ).

2.) Frekuensi Makanan

Frekuensi makan adalah berapa kali seseorang makan dalam

sehari meliputi makan pagi, makan siang, dan makan malam.

3.) Jumlah Makan

Jumlah makan adalah banyaknya porsi yang dimakan dalam

setiap orang atau kelompok.

Masyarakat sering tidak teratur dalam menjalani pola

makan sehari hari. Salah satu yang paling pengaruh untuk

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


24

mencegah timbulnya penyakit adalah pola makan, karena

akibat buruk kebiasaan tidak teratur dalam menjalani pola

makan dapat mengganggu kesehatan.

c. Faktor Faktor yang mempengaruhi pola makan

Menurut Budi dalam Sumiati 2019 faktor faktor yang

mempengaruhi pola makan seperti :

1.) Usia >60 tahun selera makan seseorag akan menurun dan juga

kekuatan untuk mencerna makanan juga berkurang. Hal ini

juga bisa disebabkan karena kurang peran dalam menyediakan

menu makanan. Hal ini dikarenakan setiap orang/individu

meiliki pola makan yang berbeda beda untuk mengendalikan

tekanan darah

2.) Pendidikan yang rendah mengakibatkan kurangnya

pengetahuan menegnai pola makan yang sehat. Pola makan

yang tidak sehat dapat memicu terjadinya hipertensi.

3.) Pekerjaan juga mempengaruhi pola makan. Jika seseorang

tidak bekerja maka semakin kurang pengetahuan seseorang

mengenai kseahatan. Pekerjaan ini dihubungkan dengan

pendapatn keluarga, karena pendapatan yang kurang akan

mempengaruhi gaya hidup seseorang, dalam hal ini terutama

perubahan pada konsumsi makanan yang sangat menentukan

stautsu gizi

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


25

4.) Ekonomi mencakup dalam peningkatan peluang untuk daya

beli pangan dengan kuantitas dan kualitas dalam pendapatan

penurunan daya beli pangan secara kualitas maupun kauntitas

masyarakat. Pendapatan yang tinggi dapat mencakup

kurangnya daya beli dengan kurangnya pola makan seseorang

sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan

dalam pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi dan

kesehatan.

d. Pola makan mencegah penyakit hipertensi

Menurut Pudiasti dalam Sumiati 2019, salah satu penyebab

terjadinya hipertensi yaitu asteroklerosis atau penyempitan

pembuluh darah. Kondisi ini disebabkan karena konsumsi lemak

berlebih. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya hipertensi

kurangi mengonsumsi makanan yang berlemak apalagi seseorang

yang sudah mempunyai riwayat keturunan hipertensi pada usia

yang menjelang lanjut. Sebaiknya sejak umur 40 tahun agar lebih

berhati hati dalam mengonsumsi makanan yang mengandung

lemak. Pola makan yang baik bertujuan untuk mempertahankan

berat badan yang idel dengan menyeimbangi asupan makanan yang

mengandung kalori dan kebutuhan energi total dengan membatasi

makanan yang mengandung tinggi kalori, mengurangi makanan

yang berlemak dan juga makanan yang mengandung gula.

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


26

e. Menerapkan Perilaku makan sehat hipertensi

Penyandang hipertensi sangat dianjurkan untuk

menerapkan pola makan sehat dalam kehidupan sehari harinya.

Pola makan yang sehat dapat dilakukan adalah menerapkan diet

DASH (Dietary Approaches to Stop Hypetension) dan mengurangi

konsumsi natrium (garam) dalam makanan. Diet DASH

menganjurkan untuk memperbanyak konsumsi makanan, seperti

produk susu rendah lemak, ikan, ayam dan kacang lacangan

sekaligus mengurangi konsumsi daging merah, gula atau minuman

yang mengandung gula. Penerapan diet DASH secara benar

dipercaya mampu menurunkan tekanan darah sebanyak 4 – 8

mmHg (Prasetyaningrum, 2014).

Natrium atau sodium dituding sebagian besar orang sebagai

penyebab utama kenaikan tekanan darah. Membatasi konsumsi

natrium berarti memilih makanan rendah natrium, mengindari

konsumsi makanan kemasan. Dan tidak menambahkan garam

berlebihan saat proses memasak atau saat makan di meja makan.

Anjuran konsumsi natrium dari makanan bagi penyandang

hipertensi sebesar 2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida

per hari. Konsumsi 2 sdm garam dapur sehari masih dianggap

aman untuk orang indonesia (Prasetyaningrum, 2014)

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


27

B. Landasan Teori

Hipertensi adalah tekanan darah diatas batas normal yaitu tekanan

darah sistolik >140 mmHg dan atau diastolik <90 mmHg. Faktor-faktor

yang mempengaruhi hipertensi salah satunya yaitu pola makan. Pola

makan adalah gambaran atau kebiasaan makan setiap harinya yang

menjadi ciri khas seseorang dan perilaku penting yang dapat

mempengaruhi gizi seseorang. Faktor faktor yang bisa menurunkan

tekanan darah salah satunya yaitu dengan mengatur pola makan sesuai

dengan aturan pola makan/diet hipertensi seperti kurangi mengonsumsi

garam berlebih, lemak, alkohol, dan juga berhenti merokok, karena dengan

mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung garam, lemak,

alkohol bahkan merokok dapat menaikkan tekanan darah.

C. Pertanyaan

Bagaimana Gambaran Pola Makan pada Penyandang Hipertensi di dusun

Bumen Jelapan, Karangrejo, Borobudur, Magelang ?

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai