Kopi Fix Di Unggah

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 75

Digital Repository Universitas Jember

Digital Repository Universitas Jember


Digital Repository Universitas Jember
Digital Repository Universitas Jember

BAB I. AGRIBISNIS

Agribisnis merupakan sistem pertanian menyeluruh yang bermuara dari


hulu sampai dengan hilir, dengan mencermati uraian pada bab ini diharapkan para
pembaca akan dapat memahami apa yang dimaksudkan agribisnis, sebelum masuk
kepada ranah agribisnis kopi robusta.

1.1 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Agribisnis


Proses perkembangan pembangunan ekonomi menghendaki adanya
berbagai tindakan penyesuaian. Penyesuaian tersebut memerlukan reorientasi
pembangunan pertanian agar proses pembangunan pertanian yang berangkat dari
orientasi peningkatan produksi pada masa pemebangunan yang lalu, kemudian
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategisnya menjadi proses
pembangunan yang berwawasan agribisnis yang kompetitif dan secara sistemik
dirancang untuk bermuara pada kesejahteraan yang adil dan merata.
Reorientasi arah pembangunan pertanian tersebut pada dasarnya adalah
rancangan strategi untuk dapat menjawab tantangan-tantangan masa depan, yang
pada hakikatnya merupakan antisipasi untuk menangkap signal-signal dari adanya
kecenderungan dan perubahan lingkungan strategi, baik lingkungan global
maupun Nusantara.
Meskipun ada perubahan orientasi dan wawasan tetapi tujuan
pembangunan pertanian tetap konsisten diarahkan kepada perwujudan amanat
pembangunan nasional, yaitu untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
petani-nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan usaha, serta
memenuhi permintaan dan memperluas pasar (baik pasar dalam negeri maupun
pasar luar negeri), melalui pengembangan postur pertanian yang maju, efisien dan
tangguh, serta yang semakin mampu meningkatkan dan menganekaragamkan
hasil, meningkatkan mutu dan derajat pengolahan produksi, dan menunjang
pembangunan wilayah.
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, secara sadar dilakukan upaya
untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya sistem agribisnis

1
Digital Repository Universitas Jember 2

dengan agroindustri yang dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil
pertanian. Terkait dengan iklim kondusif itu, perlu ditanggapi berbagai
kecenderungan-kecenderungan yang berimplikasi perlunya pergeseran peran dan
perilaku birokrasi, seperti mengurangi campur tangan pemerintah dalam
mekanisme ekonomi dan pasar, serta adanya dunia swasta yang mampu menjadi
lokomotif pertumbuhan perekonomian.

a. Tantangan, Peluang dan Prospek Perkembangan Agribisnis


Rendahnya pendapatan penduduk pedesaan, terutama yang bekerja di
sektor pertanian ada hubungannya dengan struktur pertanian atau pedesaan yang
kurang kondusif bagi perkembangan agribisnis yang dinamik dan kompetitif,
karena sosok usahatani yang lemah, prasarana fisik dan non fisik yang masih
belum memadai, serta terbatasnya jangkauan pasar. Kita semua mengetahui bahwa
hampir seluruh produksi pangan dan sebagian besar produksi hasil perkebunan,
peternakan dan perikanan adalah hasil dari jerih payah petani, peternak dan
nelayan yang bertumpu kepada usahatani keluarga yang berlahan sempit, yang
didukung dengan sumberdaya manusia dan iptek yang masih tertinggal. Kondisi
struktural demikian itu menyebabkan terbatasnya kemampuan petani untuk
menjangkau sarana produksi dan kesempatan memperoleh sinergi yang
diperlukannya untuk berkembang.
Ditinjau dari aspek dukungan pendanaan dari perbankan ternyata investasi
pertanian juga sangat kurang diminati dunia usaha. Hal ini menjadi salah satu
indikator dari adanya suku bunga perbankan yang dirasakan terlalu tinggi untuk
usahatani di pedesaan dan fakta bahwa lembaga dan sistem perbankan belum
sepenuhnya menjangkau petani, baik dari segi kelembagaannya maupun prose-
durnya. Kalaupun jangkauan itu sampai ternyata lembaga perbankan telah
menjadi sarana untuk mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan, karena
pedesaan lebih banyak menyimpan dari pada meminjam. Di sini terlihat bahwa
ketertinggalan dan keterbatasan petani ternyata merupakan faktor kondisional
yang berada di balik mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan tersebut.
Digital Repository Universitas Jember 3

Kondisi lain yang ikut memperlambat laju penanaman modal di sektor


pertanian adalah keharusan untuk sejak awal menerapkan pendekatan terpadu
yang utuh. Kebanyakan produk pertanian mempunyai karakteristik yang mudah
rusak dan bervolume besar dibandingkan dengan nilainya. Penanganan pasca
panen, penyimpanan, pengolahan, pengangkutan dan lancarnya pemasaran
menjadi sangat penting. Apabila penanam modal tidak mampu menerapkan
prinsip integrasi vertikal dalam investasinya ia terpaksa harus bergantung kepada
adanya investasi lain yang menjamin hadirnya semua mata rantai yang diperlukan
agar produknya dapat dipasarkan dengan baik.
Hal-hal yang juga memberikan andil dalam memperlebar kesenjangan
antar wilayah maupun diantara masyarakat pedesaan sendiri, adalah : Pertama,
apa yang kita sebut dengan kegagalan pasar. Dari pengalaman selama ini dapat
ditunjukkan bahwa perkembangan ekonomi yang mengandalkan pada kekuatan
pasar saja justru hanya dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
Masyarakat ekonomi lemah termasuk di dalamnya petani kecil di pedesaan tidak
mampu memanfaatkannya. Kedua, kebijaksanaan yang cenderung bersifat
uniform. Seperti kita ketahui bahwa negara kita merupakan negara kepulauan
yang mempunyai keragaman tinggi. Homogenitas kebijaksanaan pembangunan
baik regional maupun sektoral, tanpa memperhatikan keragaman di atas, akan
menghasilkan respon yang berbeda antara pelaku ekonomi yang kuat dan yang
lemah maupun antara daerah yang kaya dengan sumberdaya alam dan prasarana
dengan daerah yang miskin.
Berhadapan dengan berbagai tantangan yang menggugah tekad untuk
menghadapinya itu, terbuka luas peluang berkembangnya agribisnis untuk
memenuhi permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri akan berbagai hasil
pertaniannya, yang lokasi dan sumberdayanya berada di Indonesia, serta didukung
dengan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, organisasi dan
manajemen, serta modal, kekayaan sosial ekonomi dan sosial budaya bangsa
Indonesia sebagai bangsa pejuang yang handal. Landasan hasil-hasil pemban-
gunan pertanian yang sudah diletakkan oleh proses pembangunan adalah asset
nasional yang secara fungsional dan struktural menjadi kekuatan nasional untuk
Digital Repository Universitas Jember 4

membangun sistem agribisnis yang mewadahi perakitan berbagai perangkat


kegiatan pembangunan pertanian dalam satuan-satuan kelembagaan pelaku
ekonomi yang handal.
Peluang dari segi permintaan timbul di samping karena dinamika
pertumbuhan penduduk, juga karena dinamika pertumbuhan ekonomi, sosial
budaya dan arus globalisasi. Penduduk yang bertambah, pertumbuhan perkotaan,
industrialisasi, peningkatan pendapatan, peningkatan kecerdasan atau pendidikan
dan lain-lain, merupakan perubahan lingkungan strategis dari sisi permintaan yang
kalau diantisipasi dan diapresiasi secara tepat akan menjadi peluang usaha
agribisnis yang menjanjikan nilai tambah. Dari segi penawaran peluang itu
terbuka karena kemampuan ekonomi pedesaan yang semakin besar dan semakin
terbuka sebagai hasil dari perubahan dan kemajuannya dalam transformasi
struktural pertanian tradisional menjadi pertanian dan pedesaan maju. Berkat
pengalaman dan pelajaran yang diraih dalam proses pembangunan dan moder-
nisasi pertanian untuk mencapai swasembada pangan, ekonomi pedesaan sudah
menjadi bagian integral dari sistem ekonomi nasional. Proses perubahan untuk
menjawab kebutuhan pangan nasional itu telah mengembangkan kelembagaan
sistem agribisnis di pedesaan, yaitu perangkat yang menjadi penghantar masukan
iptek, sarana, dana dan jasa, serta industri pengolaham hasil secara meluas
diseluruh pedesaan.
Tantangan dan peluang serta kondisi sumberdaya pertanian yang
merupakan kekayaan sumberdaya potensial dalam menapak era pembangunan
pertanian dan yang dilengkapi dengan kebijaksanaan pembangunan yang
berorientasi ke pedesaan, menempatkan pembangunan pertanian pada posisi
sebagai arena pembangunan ekonomi yang perlu melakukan penyesuaian dalam
pendekatan yaitu dari orientasi usahatani untuk mencukupi kebutuhan menjadi
pendekatan agribisnis untuk meraih nilai tambah bagi wilayah pedesaan melalui
kemampuannya untuk bersaing guna mencapai kesejahteraan yang adil dan
merata.
Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis merupakan
upaya sistemik yang ampuh dalam mencapai beberapa tujuan ganda, antara lain :
Digital Repository Universitas Jember 5

(1) menarik dan mendorong sektor pertanian,


(2) menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien dan fleksibel,
(3) menciptakan nilai tambah,
(4) meningkatkan penerimaan devisa,
(5) menciptakan lapangan kerja dan
(6) memperbaiki pembagian pendapatan.
Dengan sistem agribisnis sebagai perangkat penggerak pembangunan
pertanian, pertanian akan dapat memainkan peranan positif dalam pembangunan
nasional, baik dalam pertumbuhan, pemerataan maupun stabilitas. Adalah wajar
apabila ternyata masyarakat pembangunan selalu dihadapkan dengan kenyataan
bahwa sasarannya selalu meningkat disatu pihak, padahal kendalanya ternyata
mengikat di pihak lainnya. Pencapaian semua tujuan dan sasaran yang menjadi
harapan itu tergantung kepada kehandalan dari sistem agribisnis/agroindustri yang
dikembangkan.
Beberapa faktor strategis yang terkait dengan kehandalan tatanan
agribisnis/agroindustri yang dikembangkan itu adalah :
(1) lingkungan strategis,
(2) permintaan,
(3) sumberdaya, serta
(4) ilmu pengetahuan dan teknologi.

(i). Lingkungan Strategis


Dasawarsa terakhir ini ditandai dengan terjadinya perubahan- perubahan
mendasar pada struktur ekonomi dunia. Keadaan perekonomian serta pola
perdagangan dan industri internasional saat ini diwarnai arus globalisasi, dalam
bentuk tumbuh dan berkembangnya blok-blok kerjasama regional dan
menyatunya kawasan dan kekuatan ekonomi besar. Contoh yang sangat tampak
antara lain MEE (pasar tunggal Eropa) atau European Economic Community,
Pasaran bersama Amerika Utara atau North America Free Trade (NAFTA),
perkembangan kegiatan ekonomi di kawasan Asia Pasifik atau Asia Pacific Eco-
nomic Cooperation serta berbagai kebangkitan ekonomi di wilayah Eropa Timur.
Digital Repository Universitas Jember 6

Bahkan terealisasinya "korporasi" antara Indonesia-Malaysia-Singapura dalam


Triangle Growth serta AFTA (Asean Free Trade Area) merupakan indikasi
perubahan struktur tersebut.
Pengaruh globalisasi dengan sangat cepat menyusup pada struktur dan
strategi badan-badan usaha multinasional (TNE = Trans National Enterprises).
Persaingan antar industri telah berubah dengan munculnya kerjasama antara
badan-badan usaha yang selama ini saling bersaing, untuk mencapai tingkat
keuntungan ekonomi yang tinggi. Dampak daripadanya seringkali sulit untuk
diantisipasi karena pengaruhnya dapat saja melanggar kaidah-kaidah ekonomi
yang fundamental. Gambaran tersebut sesungguhnya menunjukkan betapa teori
keunggulan komparatif tidak lagi sesuai dengan perkembangan ekonomi dunia
dewasa ini.

(ii). Permintaan
Dalam dunia pertanian dampak globalisasi ekonomi akan segera terlihat
pada sektor-sektor produksi dari berbagai komoditas pertanian. Jika kita ingin
terus meningkatkan kemampuan bersaing komoditas pertanian kita di pasar
internasional, maka mau tidak mau kita harus mampu menangkap setiap gejala
ataupun pergerakan yang terjadi pada pasar internasional tersebut. Jelas bahwa
kecenderungan peningkatan produksi komoditas primer di satu pihak, yang
disertai lambannya pertumbuhan permintaan, telah menimbulkan kelebihan
penawaran yang pada gilirannya akan semakin menajamkan persaingan antar
sesama negara produsen. Sementara itu negara-negara konsumen menjadi semakin
sadar akan kepentingannya dalam menghadapi negara produsen, sehingga sistem
produksi pertanian harus senantiasa dikelola dengan berorientasi pada permintaan
pasar.
Perubahan perilaku dan selera pasar yang semakin cepat sangat sulit untuk
diantisipasi dengan tepat oleh negara-negara produsen. Teknologi industri yang
semakin canggih semakin menuntut keefisienan ekonomi, keandalan kualitas,
disiplin serta profesionalisme dengan segala etika yang terkait dengannya.
Digital Repository Universitas Jember 7

Agar bisa menjabarkan implikasi operasional tindakan pembangunan yang


tepat ditinjau dari watak permintaan pasar itu, diperlukan market inteligence dan
market information sebagai perangkat lunak untuk meningkatkan daya saing
dalam pemasaran atau perdagangan internasional, agar dapat mengantisipasi dan
menyesuaikan dengan segmentasi pasar, perubahan selera konsumen, pesaing
potensial dan lain-lain.

(iii). Sumberdaya
Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumberdaya alam. Masalahnya
adalah bagaimana mengelola, memanfaatkan secara optimal dan sekaligus
memperluas resource base dari sumberdaya alam dimaksud, sebagaimana
disyaratkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3. Secara hakiki,
upaya pembangunan yang sedang ditempuh pada saat ini dapat dilakukan dengan
mendayagunakan berbagai sumberdaya potensial yang tersedia di setiap wilayah
maupun yang dapat diusahakan dari luar wilayah yang bersangkutan. Diantara
sumberdaya potensial tersebut, ada yang berupa sumberdaya alam (natural
resources), sumberdaya manusia (human resources) serta sumberdaya buatan
(man-made resources).
Kesemua gambaran tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa potensi
sumberdaya pertanian memberikan kesempatan yang sangat luas untuk
mengembangkan prinsip-prinsip keunggulan kompetitif tanpa meninggalkan dua
prinsip penting yaitu (a) wawasan agroekosistem dan (b) wawasan
lokalita/wilayah/regional. Kedua wawasan tersebut pada dasarnya memberikan
arah agar kegiatan agribisnis selalu memperhatikan kondisi dan potensi
sumberdaya alam dan lingkungannya.

(iv). Ilmu dan Teknologi


Ilmu dan teknologi merupakan perangkat instrumental hasil karya manusia
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi karyanya, termasuk karya dalam
menumbuhkembangkan agribisnis di pedesaan. Peningkatan produktivitas dan
efisiensi setiap simpul dalam rangkaian sistem agribisnis akan menghasilkan
Digital Repository Universitas Jember 8

perbaikan dalam perolehan nilai tambah secara proporsional bagi setiap pelaku di
dalam rangkaian sistem tersebut.
Sarana pengembangan dan penyebaran serta adopsi iptek oleh sistem
agribisnis tidak cukup hanya dengan eksistensi lembaga perguruan tingggi dengan
litbang saja, tetapi juga memerlukan hadirnya secara menyeluruh di pedesaan
fasilitas belajar seperti adanya lembaga penyuluhan pertanian, sekolah-sekolah
kejuruan, berbagai kursus ketrampilan, serta juga lembaga konsultasi yang
tersebar dan bergerak melayani masyarakat petani/pedesaan
Berbagai tantangan, peluang, lingkungan strategis, permintaan/penawaran,
sumberdaya dan iptek, beserta iklim kondusif yang diciptakan oleh perangkat
kebijakan dan pengaturan adalah komponen fungsional/struktural dari perangkat
masyarakat ekonomi yang menjadi wadah dari proses transformasi pembentukan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai komponen tentunya
dia hanya akan berarti apabila berada dalam tatanan tertentu yang memberinya
posisi, aturan, daya, enersi, arah, takaran dan ukuran yang tepat, guna terwujudnya
transformasi menjadi luaran secara efisien dan menghasilkan nilai tambah yang
optimal. Ini berarti dibutuhkan suatu sistem yang tepat agar pembangunan
pertanian itu bisa menghantarkan pertanian kepada kondisi yang tangguh, maju
dan efisien. Sistem itulah yang disebut sistem agribisnis.

1.2 Wawasan dan Sistem Agribisnis


Istilah agribisnis yang terungkap sejauh ini memberikan kesan kepada kita
bahwa agribisnis adalah suatu corak pertanian tertentu dengan jati diri yang
berbeda dengan pertanian tradisional (yang dilakoni mengikuti tradisi budidaya
yang berakar pada adat istiadat dari komunitas tradisional) maupun dari pertanian
hobi yang tidak mendambakan nilai tambah komersial. Agribisnis adalah
pertanian yang organisasi dan manajemennya secara rasional dirancang untuk
mendapatkan nilai tambah komersial yang maksimal dengan menghasilkan barang
dan/atau jasa yang diminta pasar. Karena itu dalam agribisnis proses transformasi
material yang diselenggarakannya tidak terbatas kepada budidaya proses biologis
dari biota (tanaman, ternak, ikan) tapi juga proses pra usahatani, pasca panen,
Digital Repository Universitas Jember 9

pengolahan dan niaga yang secara struktural diperlukan untuk memperkuat posisi
adu tawar (bargaining) dalam interaksi dengan mitra transaksi di pasar. Ikatan
keterkaitan fungsional dari kegiatan pra usahatani, budidaya, pasca panen,
pengolahan, pengawetan dan pengendalian mutu serta niaga perlu terwadahi
secara terpadu dalam suatu sistem agribisnis yang secara sinkron menjamin
kinerja dari masing-masing satuan sub proses itu menjadi pemberi nilai tambah
yang menguntungkan, baik bagi dirinya maupun bagi keseluruhan.
Wawasan swasembada dan wawasan agribisnis adalah dua wawasan yang
sekaligus harus diamalkan dalam pembangunan pertanian dewasa ini. Wawasan
agribisnis adalah cara pandang terhadap pertanian sebagai lapangan usaha dan
lapangan kerja yang menghasilkan barang dan jasa, untuk memenuhi permintaan
pasar, dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal secara
kompetitif. Dalam meraih nilai tambah itu agribisnis memandang ruang gerak dan
ruang hidupnya tidak terbatas kepada budidaya, tetapi juga usaha pada penyediaan
bahan, sarana, alsin dan jasa disektor hulu usahatani, serta pasca panen,
pengolahan, penanganan hasil, pemasaran dan lain-lain, di sektor hilirnya.
Pendeknya lapangan usaha pada usahatani maupun sektor pendukung dan
penunjangnya, baik yang di hulu maupun di hilir. Ditinjau dari sudut perilaku,
wawasan agribisnis tersebut diharapkan menimbulkan sikap dan motivasi yang
sesuai dari subyek pelaku pembangunan pertanian dalam menanggapi era
industrialisasi dan globalisasi yang semakin gencar.
Sistem agribisnis adalah perangkat masyarakat yang mewadahi proses
transformasi pembentukan nilai tambah dari rangkaian kegiatan yang terkait di
hulu dan hilir dari usahatani (budidaya). Dalam pengertian sistem, agribisnis
adalah subyek (pelaku) sosial yang mandiri dalam arti mempunyai kemampuan
berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, yaitu kemampuan untuk eksis,
berkarya, berkembang, beradaptasi, berasosiasi dan lain-lain. Sebagai individu
pelaku sosial sistem agribisnis mempunyai daur hidup : lahir, tumbuh,
berkembang, berkarya, bermasyarakat, sakit bahkan berhak dan mati. Sebagai
individu dia lahir karena lingkungannya membutuhkan, yaitu ada tantangan,
peluang akan masalah tertentu yang tidak bisa ditangani dengan sistem serta
Digital Repository Universitas Jember 10

mekanisme yang ada. Kematangan kondisi lingkungan untuk lahirnya sistem


agribisnis dewasa ini sudah tiba.
Secara konsepsional sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua
aktivitas, mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada
pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usahatani dan agroindustri, yang
saling terkait satu sama lain. Dengan demikian sistem agribisnis merupakan suatu
sistem yang terdiri dari berbagai sub sistem, yaitu
(a) sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengem-
bangan sumberdaya pertanian,
(b) sub sistem budidaya atau usahatani,
(c) sub sistem pengolahan hasil pertanian atau agroindustri, dan
(d) sub sistem pemasaran hasil pertanian,
(e) sub sistem prasarana dan
(f) sub sistem pembinaan.
Sub sistem penyediaan dan penyaluran sarana produksi mencakup semua
kegiatan perencanaan, pengelolaan, pengadaan dan penyaluran sarana produksi
untuk memungkinkan terlaksananya penerapan teknologi usahatani dan
pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal. Dengan demikian dalam sub
sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi ini aspek-aspek yang ditangani
tidak semata-mata menyangkut penyediaan dan penyaluran sarana produksi
seperti benih/bibit, pupuk, pestisida serta alat-alat dan mesin pertanian, tetapi juga
penyediaan informasi pertanian yang dibutuhkan petani, berbagai alternatif
teknologi baru yang kompatibel, pengerahan dan pengelolaan tenaga kerja dan
sumber energi lainnya secara optimal, serta unsur-unsur pelancarnya.
Untuk mendorong terciptanya sistem agribisnis yang dinamis, khususnya
guna menunjang terlaksananya kegiatan usahatani yang baik, maka
pengembangan sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi ini,
diarahkan pada upaya penyediaan dan penyaluran berbagai sarana produksi yang
dibutuhkan oleh petani secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat mutu
dan terjangkau oleh daya beli petani, yang disertai dengan penyediaan berbagai
informasi dan paket teknologi secara kontinyu. Dalam kaitan ini, pengembangan
Digital Repository Universitas Jember 11

prasarana dan institusi pedesaan yang memadai merupakan faktor yang sangat
penting. Karena pengembangan prasarana dan institusi tersebut akan terkait erat
dengan kegiatan sektor lainnya, maka koordinasi sangat diperlukan.
Dalam sub sistem usahatani, kegiatan yang ditangani mencakup
pembinaan dan pengembangan usahatani dalam rangka peningkatan produksi
pertanian, baik usahatani rakyat maupun usahatani berskala besar. Termasuk
dalam kegiatan sub sistem ini adalah perencanaan mengenai lokasi, komoditas,
teknologi, pola usahatani dan skala usahanya untuk mencapai tingkat produksi
yang optimal.
Dalam pada itu, sub sistem pengolahan hasil atau agroindustri mencakup
aktivitas pengolahan sederhana di tingkat petani, serta mencakup keseluruhan
kegiatan mulai dari penanganan pasca panen komoditi pertanian yang dihasilkan
sampai pada tingkat pengolahan lanjut, selama bentuk, susunan, dan cita rasa
komoditi tersebut tidak berubah. Dengan demikian proses pengupasan, pem-
bersihan, pengekstrasian, penggilingan, pembekuan, dehidrasi, peningkatan mutu
dan pengepakan/pengemasan masuk dalam lingkup sistem pengolahan hasil,
sebagai komponen dari sistem agribisnis di pedesaan.
Sementara itu, sub sistem pemasaran hasil mencakup kegiatan distribusi
dan pemasaran usahatani hasil-hasil usahatani ataupun hasil olahannya, baik untuk
pasar dalam negeri maupun luar negeri. Untuk memungkinkan berkembangnya
sub sistem pemasaran hasil ini, maka berbagai kegiatan seperti pemantauan dan
pengembangan informasi pasar (market development, market promotion, dan
market inteligence) sangat penting untuk dilaksanakan.
Keempat sub sistem di atas hanya menjalankan fungsi dan peranannya
apabila berada dalam lingkungan hidup yang menyediakan berbagai sarana dan
fasilitas yang diperlukannya. Sumberdaya dan fasilitas yang harus tersedia dan
siap pakai di lokalita sistem agribisnis itu, diantaranya ada yang bersifat prasarana
publik yang keberadaannya harus ditangani oleh aparatur birokrasi pemerintahan.
Prasarana jalan, perhubungan, pengairan, pengendalian, pengamanan dan
konservasi menjadi syarat bagi lancarnya proses transformasi produktif yang
diselenggarakan dunia usaha dan masyarakat pedesaan.
Digital Repository Universitas Jember 12

Demikianlah sistem agribisnis merupakan suatu rangkaian aktivitas yang


saling berkaitan, yang keberhasilan pengembangannya akan sangat ditentukan
oleh tingkat kehandalan dari setiap komponen yang menjadi sub sistemnya. Untuk
mencapai kehandalan yang simultan dari setiap sub sistem dalam sistem agribisnis
dibutuhkan ulur dan campur tangan pemerintah melalui regulasi, koordinasi,
perlindungan, stimulasi, pelayanan dan penilaian terhadap seluruh sub sistem
dalam sistem agribisnis beserta lingkungan yang mempengaruhinya. Selain itu,
kondisi sumberdaya, lingkungan dan prasarana juga merupakan faktor yang
menentukan kehidupan dan perkembangan sistem agribisnis tersebut. Oleh karena
itu sumberdaya lingkungan dan prasarana tersebut perlu dikembangkan
sedemikian rupa sehingga mampu menunjang terlaksananya berbagai aktivitas
dalam setiap sub sistem secara memadai.

Sistem Agribisnis

Instrumen Administrasi
Regulasi Agroindustri
Perlindungan
Informasi Stimulasi
Pasar Pelayanan Pasar
Pasar Bahan Penilaian
Modal

Tenaga Kerja
Usahatani
(Farm)
Pelancar
Agroniaga

Sumberdaya
Lingkungan dan
Prasarana

Gambar 1. Sistem Agribisnis

1.3 Agroindustri Sebagai Sektor Terdepan


Digital Repository Universitas Jember 13

Agroindustri diartikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait erat


dengan kegiatan pertanian. Agroindustri mencakup beberapa kegiatan antara
lain :
1. Industri pengolahan hasil pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk
akhir seperti industri minyak kelapa sawit, industri pengolahan karet, industri
pengalengan ikan, dsb.
2. Industri penangan hasil pertanian segara, seperti industri pembekuan ikan,
industri penanganan bunga segar, dsb.
3. Industri pengadaan sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida dan
bibit.
4. Industri pengadaan alat-alat pertanian dan agroindustri lainnya, seperti industri
traktor pertanian, industri perontok, industri mesin pengolah minyak sawit,
dsb.
Mencermati secara seksama uaraian di atas maka Agro- industri dapat
dikatakan menjadi suatu sektor yang terdepan didasarkan pada perkembangan:
unit usaha, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan ekspor serta pemikiran-
pemikiran sebagai berikut :
Pertama agroindustri memilki keterkaitan (linkages) yang besar, baik
kehulu maupun ke hilir. Agroindustri pengolah yang menggunakan bahan baku
hasil pertanian berarti memiliki keterkaitan yang kuat dengan kegiatan budidaya
pertanian maupun dengan konsumen akhir atau dengan kegiatan industri lain.
Sedangkan bagi agroindutri penyedia dan juga dengan industri atau kegiatan lain
yang menyediakan input. Keterkaitan yang erat ini merupakan hal yang logis dan
sebagai konsekwensinya juga akan menciptakan pengaruh multipler yang besar
terhadap kegiatan-kegaitan tersebut.
Kedua, produk-produk agroindustri, terutama agroindustri pengolah,
umumnya memiliki elastisatas permintaan akan pendapatan yang relatif tinggi
(elastis), jika dibandingkan dengan produk pertanian dalam bentuk segar atau
bahan mentah. Sehingga dengan makin besarnya pendapatan masyarakat, akan
makin terbuka pula pasar bagi produk agroindustri. Hal ini akan memberikan
Digital Repository Universitas Jember 26

1.8 Kelembagaan Agribisnis Pedesaan


Di Dalam pengembangan agribisnis kehadiran keenam komponen sub
sistem agribisinis di tingkat lokalita belumlah lengkap. Untuk mencukupi
persyaratan keberadaabn sistem agribisnis di pedesaaan perlu didukung oleh
rancang bangun, model atau arsitektur agribisnis yang dapat merakit dan
mengintegrasikan semua komponen dalam sistem dan faktor pendukungnya
dengan berlandasan arah dan strategi pengembang pasarnya. Dengan demikian
pelaku agribisnis, terutama kelompok tani dapat digerakkan dan mempunyai akses
terhadap usaha agribisnis secara terncana dan terpola.
Dalam kaitan di atas wirausaha dan kemitraan usaha tampil sebagai
pemrakarsa, perakit dan perekayasa, penggerak dan pemandu berkerjanya sistem
agribisnis pada lokalita tertentu. Instrumen yang berperan di dalam proses
perekayasaan adalah penetapan komoditas unggulan, penetapan kawasan
agribisnis, forum komunikasi sebagai kelembagaan penggerak, konsultan
agribisnis yang dapat diperankan oleh penyuluh sebagai motor penggerak dan
didukung oleh penyelenggaraan inkubator sebgai wadah yang dapat membentuk
enterpreneurship serta Koperasi Usaha Bersama (KUBA) sebagai wadah
kelompok tani untuk memperkuat posisi dalam beragribisnis.
Sejalan dengan itu, jaringan kelembagaan agribisnis yang dibutuhkan
adalah jaringan kelembagaan yang lebih menitikberatkan pada pemberdayaan
petani sekaligus yang dapat mengarahkan para pelaku bisnis dalam menghadapi
era globalisasi. Dalam hal ini suatu jaringan kelembagaan agribisnis yang perlu
dimantapkan di tingkat lokalita seyogyanya memiliki sedikitnya tiga visi yaitu ;
pertama, memberikan dorongan kepada pengusaha yang terkait sebagai pelaku-
pelaku agribisnis untuk melakukan pembenahan-pebenahan di sektor produksi;
visi kedua adalah sebagai pusat mengenai agribisnis termasuk agroindustri; ketiga
memberikan bimbingan kepada para pelaku agribisnis khususnya yang bergerak di
sektor hulu, sehingga mereka mampu memperkuat posisi tawarnya dalam era
terbuka nantinya.
Digital Repository Universitas Jember 27

1.9 Agribisnis Kopi Robusta


Tumbuhan kopi (Coffea sp.) termasuk familia Rubiaceae yang dikenal
mempunyai sekitar 500 jenis dengan tidak kurang dari 600 spesies. Genus Coffea
merupakan salah satu genus penting dengan beberapa spesies yang mempunyai
nilai ekonomi dan dikembangkan secara komersial, terutama:
(a) Coffea arabica L. dengan hibridanya,
(b) Coffea liberica, dan
(c) Coffea canephora, diantaranya varietas robusta.
Coffea canephora adalah salah satu spesies kopi yang banyak di jumpai
di Indonesia, kopi ini juga disebut dengan kopi robusta. Nama robusta
dipergunakan untuk tujuan perdagangan, sedangkan Coffea canephora adalah
nama botanis. Kopi robusta untuk tujuan komersil cocok dibudidayakan di
kawasan antara 200 Lintang Utara dan 200C Lintang Selatan, dengan suhu sekitar
24--300C dan curah hujan minimum 1.250 mm/th dan optimum 1.550--2.000
mm/th.
Tanaman kopi termasuk tumbuhan tropik yang mampu melakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan keadaan kawasan. Walaupun tumbuhan tropik,
tanaman ini tidak menghendaki suhu tinggi diatas 350C sehingga memerlukan
tumbuhan naungan, sebaliknya pada suhu dingin-beku (frost) dapat merusak
panen bahkan mematikan tanaman kopi. Tanaman ini menghendaki suhu sekitar
15--300C untuk dapat tumbuh optimal. Kopi tumbuh baik di tanah-tanah subur
dengan pH lebih dari 4,5 serta memiliki drainase yang baik. Untuk hasil yang
baik diperlukan tanah yang kaya zat-zat hara, terutama unsur nitrogen, potasium,
asam phospor, dan kapur, juga pemberian serasah untuk mengurangi penguapan
air tanah. Sifat-sifat khusus kopi robusta, selain yang telah diuraikan sebelumnya
antara lain:
(1) Bau dan rasanya tidak seenak kopi arabika, tetapi hasil produksinya jauh lebih
tinggi.
(2) Tanaman di kebun, pemeliharaannya lebih mudah dan biaya dapat dihemat.
(3) Daun lebih kecil, dengan permukaannya agak berombak, dan dari batangnya
banyak tumbuh cabang-cabang.
Digital Repository Universitas Jember 28

(4) Jenis ini tahan terhadap Hemilia vastatrix.


Kegiatan usahatani kopi robusta sama halnya dengan usahatani kopi
dengan jenis lainnya, yaitu meliputi pengolahan tanah atau pembukaan tanah
untuk penanaman, pembibitan secara generatif dan vegetatif, pesemaian,
penanaman kopi, pemeliharaan tanaman, pemupukan, pemberantasan hama dan
penyakit tanaman, panen, dan pasca panen.
Waktu pengolahan lahan untuk tanam biasanya dilakukan pada 1-2 tahun
sebelum bibit kopi ditanam, lamanya pengolahan lahan ini tergantung dari kondisi
lahannya. Bila tanah tersebut kondisinya subur pengolahan dapat dikerjakan pada
tahun tanam itu juga, sedangkan untuk kondisi tanah kurang subur, misalnya tanah
miring dan lapisan tanah atas tipis, maka pengerjaan dimulai seawal mungkin
sebelum tanam.
Bibit kopi diperoleh dapat melalui proses pembibitan baik secara
generatif yaitu dengan pembiakan biji ataupun secara vegetatif yaitu dengan cara
menyambung dan menyetek, hasil dari pembibitan akan dipindahkan dalam
polibag untuk pesemaian. Bibit yang berumur 3 bulan sampai kurang dari satu
tahun dari persemaian dapat dipindahkan ke lahan perkebunan yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
Pemupukan dilakukan baik sebelum penanaman, saat penanaman,
maupun beberapa waktu setelah penanaman bertujuan untuk mengembalikan
hilangnya hara tanaman karena pencucian dan fiksasi. Pada umumnya pemupukan
kopi diberikan 2 kali dalam satu tahun, terkecuali kopi muda, sebagai starter
dapat diberikan lebih dari 2 atau 3 kali, hal ini mengingat kondisi tanaman yang
bersangkutan. Selain periode pemupukan, tingkat produksi kopi yang diinginkan
juga dipengaruhi oleh dosis pemupukan.
Produksi kopi terdiri dari 2 pola produksi yaitu (Tapanulicoffe. 2006):
(a) Periode Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
Selama 3 tahun pertama, tanaman kopi biasanya belum menghasilkan atau
dikenal sebagai periode TBM. Tanaman baru menghasilkan biasanya pada
tahun ke empat dan diperkirakan dapat berumur sampai 30 tahun apabila
dirawat dengan baik.
Digital Repository Universitas Jember 29

(b) Periode Tanaman Menghasilkan (TM)


Tanaman kopi termasuk apa yang dinamakan "tanaman hari pendek" (short
day plant), yaitu tanaman yang membentuk bakal bunga dalam periode hari
pendek (yang dimaksud dengan hari pendek adalah siang hari yang
panjangnya kurang dari 12 jam).
Musim berbunga tanaman kopi yaitu 3-4 kali selama satu tahun, bahkan
ada yang berbunga sepanjang tahun. Hal ini menyebabkan panen kopi tidak dapat
dijalankan hanya sekali saja, melainkan mengikuti gelombang musim bunga yaitu
berjalan 3--4 bulan. Dari bunga sampai buah masak, membutuhkan waktu 8--12
bulan. Maka apabila musim bunga berlangsung dari bulan April--Juni atau Juli,
musim panen akan berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan Agustus
tahun berikutnya.
Tanaman kopi termasuk tanaman yang mengalami tiga sampai empat kali
masa panen dalam setahun, dua diantaranya menghasilkan produksi tertinggi yaitu
mencapai 500 kg kopi kering giling untuk sekali panen, sedangkan pada akhir
panen hanya menghasilkan 100-200 kg kopi kering giling.
Di dunia perdagangan, kopi dapat diperdagangkan dalam bentuk biji-biji
kering yang sudah terlepas dari daging buah dan kulit arinya. Biji-biji kopi yang
diperdagangkan itu disebut “kopi beras” atau Ose. Biji-biji kopi kering giling
yang diperdagangkan atau “kopi beras” didapatkan melalui proses pengolahan.
Proses pengolahan hasil terdapat dua cara, antara lain:
(1) Pengolahan kering atau Oost Indische Bereiding (OIB)
Proses pengolahan kering adalah sederhana dan tidak memerlukan peralatan
khusus. Setelah dipetik, kopi dikeringkan dengan cara dijemur selama 10
sampai 15 hari, kemudian dikupas. Kopi yang dipetik adalah kopi yang telah
matang (berwarna merah), untuk menjaga kualitasnya.
(2) Pengolahan basah atau West Indische Bereiding (WIB)
Pada proses pengolahan basah diperlukan peralatan khusus dan hanya bisa
memproses biji kopi yang telah benar-benar matang. Proses jenis ini biasanya
dilakukan oleh perkebunan besar dengan peralatan yang memadai termasuk
Digital Repository Universitas Jember 30

mekanik yang cakap sehingga mereka tidak tergantung pada cahaya matahari
untuk mengeringkan kopi tersebut.
Perdagangan kopi di pasar dunia saat ini dikuasai oleh kopi Arabika
dengan pangsa pasar lebih dari 75 persen, sedangkan sisanya diisi oleh kopi
Robusta. Kondisi ini mengakibatkan apabila terjadi perubahan volume
perdagangan kopi Arabika maka akan berdampak langsung terhadap permintaan
kopi Robusta. Kopi Arabika merupakan jenis kopi yang dihasilkan oleh negara-
negara di Amerika Latin terutama Brazil dan Colombia, sedangkan kopi Robusta
banyak dihasilkan oleh negara-negara yang berada di daerah tropis di kawasan
Asia Pasifik dan Afrika seperti Indonesia dan Vietnam. Herman (2003)
memberikan pernyataan mengenai hasil penelitiannya yang berjudul
“Membangkitkan Kembali Peran Komoditas Kopi bagi Perekonomian Indonesia”
yaitu bahwa tanaman kopi dibudidayakan oleh lebih dari 50 negara yang berada di
kawasan tropis membentang dari Amerika Tengah dan Selatan, Afrika hingga Asia
Pasifik.
Sebagai salah satu negara penghasil kopi, Indonesia memiliki peran penting
dalam kancah perkopian dunia. Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara produsen
utama kopi Robusta dunia dengan ekspor pada tahun 2005 sebesar 4,847 ribu karung
atau 17,25% dari ekspor kopi Robusta dunia. Namun beberapa tahun terakhir, yaitu
sejak tahun 1998 telah tergeser oleh Vietnam yang pada tahun 2005 pangsa pasar kopi
Robustanya telah mencapai lebih dari 50% dari perdagangan kopi Robusta dunia
sebesar 14.642 ribu karung. Semula Indonesia dikenal sebagai produsen kopi ketiga
terbesar dunia setelah Brazil dan Colombia. Namun saat ini Vietnam sudah mampu
menggeser posisi Indonesia, bahkan telah menempati posisi nomor dua setelah Brazil
dengan total produksi sebesar 12,5 juta karung atau memberi kontribusi sebesar
10,7% terhadap total produksi dunia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006).
Posisi kopi Indonesia pada tahun 2005 dibandingkan dengan negara
produsen utama kopi, produksi dan volume ekspor menunjukkan peringkat kopi
Indonesia yang berbeda. Berdasarkan luas areal tanaman, kopi Indonesia berada
pada peringkat ke-2 setelah Brazil, berdasarkan produksi, kopi Indonesia berada
pada peringkat ke-4 setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia, sedangkan
Digital Repository Universitas Jember 31

berdasarkan volume ekspor kopi, Indonesia berada pada peringkat ke-4 setelah
Brazil, Vietnam dan Colombia, rincian selengkapnya sebagai berikut:
Tabel 2. Posisi Kopi Indonesia Dibandingkan Negara-Negara Produsen
Utama
Negara Luas Produksi Ekspor Posisi
Produsen Areal (ha) (ton) Kopi (ton) Indonesia
Brazil 2.366.000 2.179.270 1.410.801 Luas areal, No. 2
Indonesia 1.302.042 674.651 329.455 Produksi, No. 4
Colombia 560.000 682.580 574.935 Ekspor, No. 4
Vietnam 491.000 990.000 974.800
Ethiopia 280.000 260.000 134.446
India 328.000 275.000 140.613
Meksiko 743.840 310.861 116.626
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, Ditjen Perkebunan, 2005
Posisi kopi Indonesia berada pada peringkat keempat berdasarkan pada
tingkat produksinya. Pada periode sebelumnya, Indonesia pernah menempati
posisi ketiga setelah Vietnam dan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan
keluar dari posisi lima besar di kemudian hari apabila tidak segera dilakukan
langkah-langkah serta kebijakan-kebijakan yang tepat guna mendukung perkopian
Indonesia. Sejalan dengan tingkat produksi, ekspor kopi Indonesia juga berada
pada peringkat keempat di pasar dunia. Tingkat produksi dan tingkat ekspor yang
rendah tersebut sangat kontras sekali dengan luas lahan yang dimiliki Indonesia.
Luas lahan untuk tanaman kopi di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan
dengan negara-negara lainnya, utamanya negara pesaing terdekat yaitu Vietnam
dan Colombia, bahkan Indonesia menempati posisi kedua utuk luas areal yang
digunakan dalam pengusahaan kopi setelah Brazil. Kondisi tersebut perlu
dicermati lebih lanjut mengingat Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar
dalam pengembangan komoditas kopi ini.
Arifin dkk (2007) dalam penelitian yang berjudul “Analisis Penawaran
Dan Permintaan Kopi Di Indonesia” menyatakan bahwa (1) Faktor -faktor yang
mempengaruhi produksi kopi di Indonesia yaitu harga kopi Indonesia dan
produksi kopi tahun sebelumnya. Sedangkan faktor – faktor yang mempengaruhi
penawaran kopi adalah produksi kopi, stok kopi, dan jumlah import kopi. (2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kopi di Indonesia adalah
pendapatan penduduk dan jumlah penduduk, (3) Faktor-faktor yang
Digital Repository Universitas Jember 69

PDF Compressor Free Version

terutama terhadap pembentukan bunga dan buah serta kepekaannya terhadap


serangan penyakit.
Setiap jenis kopi menghendaki suhu atau ketinggian tempat yang berbeda-
beda, misalnya kopi robusta tumbuh optimum pada ketinggian 400 – 700 m dpl,
tetapi beberapa diantaranya juga masih tumbuh baik dan ekonomis pada
ketinggian 0 – 1000 m dpl. Kopi arabika menghendaki ketinggian tempat antara
500 – 1700 m dpl. Jadi, bila kopi arabika ditanam di dataran rendah kurang dari
500 m dpl biasanya akan berproduksi dan bermutu rendah serta mudah terserang
penyakit HV.

b. Hujan
Faktor hujan bisa dilihat dari curah hujannya dan waktu turunnya hujan.
Curah hujan akan berpengaruh terhadap ketersediaan air yang sangat dibutuhkan
oleh tanaman, sedangkan waktu turunnya hujan akan berpengaruh terhadap proses
pembentukan bunga dan buah. Kopi golongan Robusta dan Arabika sangat peka
terhadap pengaruh ini. Kopi umumnya tumbuh optimum di daerah yang curah
hujannya 2000 – 3000 mm/tahun. Namun kopi masih tumbuh baik pada daerah
bercurah hujan 1300 – 2000 mm/tahun. Bahkan di daerah bercurah hujan 1000 –
1300 mm/tahun pun kopi masih mampu tumbuh baik, asalkan ada usaha untuk
mengatasi kekeringan, misalnya dengan memberi mulsa dan irigasi yang intensif.

c. Penyinaran
Tanaman kopi umumnya tidak menyukai sinar matahari langsung dalam
jumlah banyak, tetapi menghendaki sinar matahari yang teratur. Sengatan sinar
matahari langsung dalam jumlah banyak akan meningkatkan penguapan dari tanah
maupun daun, yang pada gilirannya dapat mengganggu keseimbangan proses
fotosintesa terutama pada musim kemarau. Selain itu juga berpengaruh terhadap
proses pembentukan kuncup bunga. Adanya sinar matahari yang cukup banyak
akan merangsang terbentuknya kuncup bunga. Itulah sebabnya apabila sepanjang
tahun tanaman kopi mendapatkan sengatan sinar matahari langsung secara terus-
menerus maka tanaman akan membentuk bunga sepanjang tahun pula. Akibatnya
pembungaan menjadi tidak teratur dan tanaman menghasilkan bunga melebihi
Digital Repository Universitas Jember 70

PDF Compressor Free Version

kemampuannya, sehingga hanya sedikit bunga yang berhasil menjadi buah. Buah
itu pun mutunya rendah. Tanaman kopi umumnya menghendaki sinar matahari
dalam jumlah banyak pada awal musim kemarau atau akhir musim hujan. Pada
saat itu tanaman sedang bersiap-siap menghasilkan kuncup bunga sehingga perlu
dirangsang oleh sinar matahari.

d. Angin
Peranan angin adalah membantu berpindahnya serbuk sari bunga dari
tanaman kopi yang satu ke putik bunga kopi lain yang klon atau jenisnya berbeda
sehingga terjadi penyerbukan yang dapat menghasilkan buah.

e. Tanah
Secara umum tanaman kopi menghendaki tanah yang gembur, subur, dan
kaya bahan organik. Untuk itu tanah disekitar tanaman harus sering ditambah
dengan pupuk organik agar sistem perakarannya tetap tumbuh baik dan dapat
mengambil unsur hara sebagaimana mestinya. Selain itu, kopi juga menghendaki
tanah yang agak masam, yaitu antara pH 4,5-6,5 untuk kopi robusta dan pH 5-6,5
untuk kopi arabika. Kurang dari angka tersebut kopi juga masih bisa tumbuh,
tetapi kurang bisa menyerap beberapa unsur hara sehingga kadang-kadang perlu
diberi kapur. Sebaliknya tanaman kopi tidak menghendaki tanah yang agak basa
(pH lebih dari 6,5) oleh karena itu pemberian kapur tidak boleh berlebihan.

f. Pemilihan Bibit
Pemilihan bibit merupakan langkah awal yang menentukan apakah
budidaya tanaman kopi akan berhasil atau tidak. Bibit yang akan ditanam harus
berasal dari klon/varietas unggul yang dianjurkan dengan tujuan agar tanaman
kopi yang ditanam nantinya dapat berproduksi dengan baik. Klon/varietas unggul
ini memiliki ciri-ciri dapat menghasilkan produksi yang tinggi dan kontinue, tahan
terhadap serangan hama penyakit serta menghasilkan kopi yang bermutu tinggi.

Beberapa varietas / klon yang selama ini dianggap unggul dan dianjurkan oleh
Direktorat Jenderal Perkebunan serta BPP antara lain adalah:
Digital Repository Universitas Jember 71

PDF Compressor Free Version

1. Jenis Robusta yang dibiakkan melalui setek atau sambungan untuk lahan yang
terletak pada ketinggian kurang dari 700 m dpl:
- skala besar : Klon BP 409, BP 358, SA 237, BP 234, BP 42, BP
288 khusus untuk dataran rendah (< 400 m dpl)
- skala kecil : Klon SA 13, Rbb BGn 300, Rob Bgn 371, Rob
Bgn 372, Mbl 3-04, SA 203, SA 333
- skala percobaan : Klon BP 436, BP 534, BP 397, BP 486
2. Jenis Robusta Hibrida untuk bibit semai:
- Klon BP 42 x BP 358
- Klon BP 42 x SA 24
- Klon BP 42 x SA 34
- Klon BP 368 x BP 369
3. Untuk Batang Bawah:
- Klon BP 42
- Klon SA 109
- Klon Rob Bgn 124-01
Bibit untuk budidaya kopi dibedakan menjadi dua macam, yaitu bibit generatif
dan bibit vegetatif. Bibit generatif (bibit semai) diperoleh dengan cara
menyemaikan benih. Bibit vegetatif diperoleh dengan cara membiakkan bagian
tanaman selain benih, misalnya bibit cangkokan, sambungan, okulasi, dan setek.
Dalam hal ini, dianjurkan untuk menggunakan bibit vegetatif terutama bibit
sambungan dan setek. Hal ini karena bibit tersebut memiliki beberapa kelebihan,
antara lain:
1. Cepat berbuah, terutama bibit setek.
2. Memiliki sifat sama dengan induknya sehingga dapat dipilih dari induk yang
bersifat unggul.
3. Bibit sambungan merupakan gabungan dari dua jenis kopi yang bersifat
unggul. Jenis pertama sebagai batang atas memiliki sifat unggul berproduksi
tinggi, tahan terhadap penyakit, dan menghasilkan buah yang berkualitas
tinggi. Jenis kedua sebagai batang bawah dipilih dari jenis yang sifat
perakarannya baik.
Digital Repository Universitas Jember 72

PDF Compressor Free Version

g. Penanaman Tanaman Pelindung


Penanaman pohon pelindung diperlukan tanaman kopi sebagai pengatur
intensitas sinar matahari yang terlalu, sebagai penghasil sumber bahan organik,
menahan erosi, menahan kencangnya angin dan dapat menghambat tumbuhnya
gulma yang akan mengganggu tanaman kopi. Tanaman pelindung yang baik
mempunyai ciri-ciri yaitu tidak banyak memerlukan perawatan, pohonnya tinggi
dan tajuknya rindang, pertumbuhannya cepat, daun-daunnya cepat membusuk,
memiliki perakaran yang dalam, memiliki batang dan cabang yang keras dan tidak
mudah patah, tidak mudah terserang hama dan penyakit serta tidak mempunyai
biji yang banyak dan tersebar sehingga tidak tumbuh menjadi gulma.

h. Penanaman Kopi
Penanaman kopi sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan atau pada
pertengahan bulan Nopember-Desember, agar pada musim kemarau berikutnya
tanaman kopi sudah cukup kuat menahan kekeringan. Sebetulnya penanaman juga
bisa dilakukan pada musim kemarau. Konsekuensinya kita harus rajin
menyiramnya agar tanaman tidak layu dan tenaga serta biaya yang dikeluarkan
akan semakin meningkat sehingga hal ini kurang menguntungkan. Untuk
pembuatan lubang tanam dibuat 3-6 bulan sebelum tanam. Hal ini dimaksudkan
untuk memperbaiki struktur tanah dan untuk membunuh bibit penyakit.
Jarak tanam yang dianjurkan oleh Dirjen Perkebunan adalah:
- Jarak tanam kopi golongan Robusta : 2,5 m x 2,5 m atau 2,75 m x 2,75 m
- Jarak tanam kopi golongan Arabika : 2,5 m x 2,5 m
Jarak tanam tersebut bisa sedikir berubah, dengan ketentuan semakin tinggi suatu
tempat dari permukaan air laut, jarak tanam akan semakin renggang. Semakin
rendah dari permukaan air laut, jarak tanamnya semakin rapat.

i. Pemupukan
Jenis pupuk yang sering digunakan untuk tanaman kopi adalah pupuk
buatan seperti Urea, TSP, dan KCl, serta pupuk organik seperti pupuk kandang
Digital Repository Universitas Jember 73

PDF Compressor Free Version

dan kompos. Pupuk buatan diberikan dua kali dalam satu tahun, yaitu pada awal
dan akhir musim hujan. Namun, jika tidak ada hujan maka 3-4 hari sesudah
pemupukan sebaiknya tanaman disiram dengan tujuan agar pupuk larut dalam air
dan mudah diserap oleh tanaman. Selain itu penyiraman juga dapat meningkatkan
jumlah air yang bisa diserap oleh tanaman sehingga jumlah hara yang terserap
juga semakin banyak. Dosis pemupukan dengan menggunakan pupuk buatan
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Dosis Pemupukan Tanaman Kopi/Pohon/Tahun

Tahun Urea TSP KCl


ke (gram/pohon/th) (gram/pohon/th) (gram/pohon/th)
1 2 x 25 2 x 20 2 x 20
2 2 x 50 2 x 40 2 x 40
3 2 x 75 2 x 60 2 x 40
4 2 x 100 2 x 80 2 x 40
5-10 2 x 150 2 x 120 2 x 60
> 10 2 x 200 2 x 160 2 x 80
Sumber: Najiyati dan Danarti, 2001
j. Pengendalian Hama dan Penyakit
Tanaman kopi termasuk tanaman yang banyak diserang oleh hama dan
penyakit. Serangan penyakit dapat melalui akar, batang, cabang, buah dan daun.
Upaya pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan secara biologis
(dengan melepaskan musuh alaminya), secara mekanis dilakukan dengan cara
rempesan (pemetikan buah-buah kopi secara bersih termasuk yang masih muda),
lelesan (memungut buah terserang yang jatuh karena pemetikan atau karena
terserang hama) dan petik bubuk (pemetikan buah kopi yang berlubang bersamaan
dengan pekerjaan lainnya). Pengendalian berikutnya adalah secara kimiawi yaitu
dengan menggunakan pestisida, dengan catatan boleh digunakan asalkan cara
biologis dan mekanis sudah dilakukan tetapi tidak berhasil. Hama dan penyakit
penting pada tanaman kopi diantaranya: Hama bubuk buah (Steptiadoderas
hampei Ferr), Hama bubuk cabang (Xylosandrees morstatii HAC), Hama kutu
putih (Pseudococcus citri Risso), Nematoda (Pratylenchus coffeae) dan
Cendawan Akar coklat (Fornes lamaaensisi Murr).
Digital Repository Universitas Jember 74

PDF Compressor Free Version

k. Pemangkasan
Pemangkasan yang cukup baik biasanya dilakukan pada awal atau akhir
musim hujan, setelah pemupukan. Hal ini dimaksudkan agar tanaman sudah
mempunyai simpanan makanan yang cukup sebelum dipangkas. Ada empat tahap
pemangkasan kopi, yaitu pemangkasan pembentukan tajuk, pemangkasan
produksi atau pemangkasan pemeliharaan, pemangkasan cabang primer, dan
pemangkasan peremajaan. Mengenai pemangkasan tentang tanaman kopi untuk
lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
• Pemangkasan Pembentukan Tajuk
Pemangkasan pembentukan tajuk bertujuan untuk pembentukan kerangka
pohon sehingga tanaman tidak terlalu tinggi, serta menghasilkan cabang yang
kuat, letaknya teratur, arahnya menyebar dan produktif.
• Pemangkasan Pemeliharaan (Pemangkasan Produksi)
Pemangkasan pemeliharaan bertujuan untuk membuang cabang-cabang yang
tidak dikehendaki, cabang-cabang yang sakit, dan cabang-cabang yang sudah
tidak produktif.
• Pemangkasan Cabang Primer
Pemangkasan cabang primer bertujuan untuk merangsang terbentuknya
cabang sekunder dan mencegah jangan sampai cabang primer tumbuh terlalu
panjang (memayung) sehingga tanaman dapat menghasilkan buah yang
banyak dan kontinyu (ajeg).
• Pemangkasan Peremajaan
Pemangkasan peremajaan dilakukan terhadap tanaman yang sudah tua, tidak
produktif (produksi kurang dari 400 kg/ha/th) dan yang bentuk tajuknya
sudah tidak menentu. Pemangkasan ini bertujuan untuk mengganti tajuk
tanaman lama dengan tajuk baru yang masih muda dan produktif.

l. Panen
Tanaman kopi yang dirawat dengan baik biasanya sudah mulai
berproduksi pada umur 2,5-3 tahun, tergantung pada iklim dan jenisnya. Tanaman
Digital Repository Universitas Jember 75

PDF Compressor Free Version

kopi robusta biasanya sudah dapat berproduksi pada umur 2,5 tahun, sedang kopi
arabika pada umur 2,5-3 tahun. Di dataran rendah biasanya tanaman kopi lebih
cepat berbuah dibandingkan dengan di dataran tinggi. Jumlah buah kopi yang bisa
dipetik pada panen pertama hanya sedikit. Jumlah tersebut semakin meningkat
dari tahun ke tahun dan mulai mencapai puncaknya setelah berumur 7-9 tahun.
Pada umur 7-9 tahun ini produksi kopi rata-rata mencapai 5-15 kuintal kopi
beras/ha/tahun, tergantung pada jenisnya. Kopi robusta rata-rata bisa mencapai
9-15 kw/ha/tahun, bila kopi ini dikelola secara intensif, produksinya bisa
mencapai 20 kw/ha/tahun.

m. Penanganan Lepas Panen


Kopi yang sudah dipetik harus segera diolah lebih lanjut dan tidak boleh
dibiarkan begitu saja selama lebih dari 12-20 jam. Apabila kopi tidak segera
diolah dalam jangka waktu tersebut maka kopi akan mengalami fermentasi dan
proses kimia lainnya yang bisa menurunkan mutu. Namun, bila terpaksa belum
bisa diolah, maka kopi harus direndam dulu dalam air bersih mengalir.Buah kopi
biasanya diperdagangkan dalam bentuk kopi beras, yaitu kopi kering yang sudah
terlepas dari kulit buah dan kulit arinya. Pengolahan buah kopi bertujuan untuk
memisahkan biji kopi dari kulitnya dan mengeringkan biji tersebut sehingga
diperoleh kopi beras dengan kadar air tertentu dan siap dipasarkan.
Untuk menghasilkan kopi biji siap diperdagangkan, di Indonesia
ditetapkan dua cara proses pengolahan, yaitu:
1. Pengolahan Basah
Urutan tahap pengolahan cara basah:
Sortasi gelondong Pulping (penguapan kulit buah) Fermentasi
Pencucian Pengeringan Hulling (pemecahan kulit tanduk)
Sortasi mutu kopi beras

2. Pengolahan Kering
Urutan tahap pengolahan cara kering:
Sortasi gelondong Pengeringan Hulling (pengupasan kulit)
Digital Repository Universitas Jember 76

PDF Compressor Free Version

Sortasi mutu kopi beras

n. Standar Mutu Kopi


Sebelum kopi dipasarkan, baik untuk dipasarkan di dalam negeri atau ke
luar negeri, biji kopi harus disortasi terlebih dahulu menurut standar mutu yang
telah ditetapkan. Sortasi sampai menghasilkan kopi yang memenuhi syarat mutu
sebaiknya sudah dilakukan sejak dari petani, tetapi hal ini belum banyak
dilakukan oleh petani. Konsekuensinya, pedagang pengumpul/pedagang besar di
propinsi/eksportir harus melakukan resortasi (sortasi kembali) terhadap kopi
asalan.

3.3. Kajian Analisis Terdahulu


Penelitian terdahulu tentang kopi telah dilakukan oleh Herman (2004) di
Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa Indonesia sebagai produsen utama kopi
robusta masih menghadapi ujian berat, karena selain kondisi tanaman yang sudah
tua dan mutu produksi rendah, kemerosotan harga kopi beberapa tahun terakhir
(2000-2001) menyebabkan kebun makin tidak terpelihara dan produktivitasnya
makin rendah yaitu hanya sebesar 0,58 Ton kopi kering giling per hektar. Disisi
lain, Vietnam sebagai negara pesaing memiliki kebun kopi yang relatif muda,
produktivitasnya tinggi yaitu mencapai 1,8 Ton kopi kering giling per hektar dan
mendapat dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan persaingan pasar.
Kondisi perkopian di Indonesia oleh Herman (2004), secara tidak langsung
menggambarkan kondisi usahatani kopi yang tersebar di seluruh provinsi di
Indonesia, khususnya Jawa Timur.
Menurut Lova (2006), kopi robusta perkebunan rakyat di Kecamatan
Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung menguntungkan untuk
diusahakan, didasarkan pada nilai NPV sebesar Rp. 12. 332.333,20, Gross B/C
1,36, net B/C sebesar 1,89, nilai IRR sebesar 19,62% atau lebih besar dari tingkat
suku bunga sebesar 11,80%, dan membutuhkan waktu 7,11 tahun atau kurang dari
umur ekonomis proyek untuk mengembalikan investasi yang telah ditanamkan.
Lebih lanjut diungkapkan Budidarsono dan Wijaya (2000), dalam “Praktek
Digital Repository Universitas Jember 77

PDF Compressor Free Version

Konservasi Dalam Budidaya Kopi Robusta dan Keuntungan Petani”, menyatakan


bahwa kopi robusta perkebunan rakyat di Sumberjaya Lampung secara finansial
dan ekonomis mampu memberikan keuntungan bagi petani dan sekaligus
menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan secara berkelanjutan.

3.4 Teori Produksi dan Pendapatan


Produsen dalam kegiatan ekonomi (mikro) akan mengalokasikan
anggarannya dengan membeli faktor-faktor produksi untuk dipergunakan
memproduksi barang dan jasa dengan tujuan mencapai keuntungan yang
maksimum (atau tingkat produksi yang optimum). Dalam menggunakan faktor-
faktor produksi pada proses produksi berlaku Hukum Kenaikan Produksi yang
Menurun (The Law of Diminishing Return).
Fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan diantara faktor-faktor
produksi dan tingkat produksi yang diciptakan. Faktor-faktor produksi dikenal
dengan input, dan jumlah produksi selalu disebut sebagai output. Fungsi produksi
dinyatakan dalam bentuk rumus, yaitu (Rahardja dan Manurung, 1999):
Q = f (K, L, R, T)
Dimana : K = jumlah stok modal
L = jumlah input
R = kekayaan alam
T = tingkat teknologi
Rahardja dan Manurung (1999), menyatakan bahwa dalam suatu kegiatan
usahatani juga berlaku hukum The Law of The Diminishing Returns yang dapat
digunakan untuk menganalisa peranan masing-masing faktor produksi dengan
menganggap bahwa salah satu faktor produksi dianggap berubah-ubah sedang
faktor produksi lainnya konstan. Asumsi tersebut berlaku bagi semua faktor
produksi. Gambar di bawah ini menunjukkan hubungan antara Total Product (TP)
dengan Marginal Product (MP) dan Average Product (AP).
(1) Pada tahap I, penambahan input akan meningkatkan produksi total maupun
produksi rata-rata. Hasil yang diperoleh dari input masih jauh lebih besar dari
tambahan biaya yang harus dibayarkan. Produsen akan mengalami kerugian
apabila berproduksi pada tahap ini.
Digital Repository Universitas Jember 88

PDF Compressor Free Version

perhitungan biaya atau benefit. Dengan sensitivity analysis setiap kmungkinan itu
harus dicoba, yang berarti bahwa tiap kali harus diadakan analisis kembali. Ini
perlu sekali, karena analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang
menggantung banyak ketidakpastian tentang apa yang terjadi di waktu yang akan
datang. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan, ialah (Kadariah, 1999):
a. Terdapatnya cost overrun, umpamanya kenaikan dalam biaya
konstruksi.
b. Perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum,
umpamanya penurunan harga hasil produksi;
c. Mundunya waktu implementasi.
d. Khusus untuk proyek-proyek pertanian ada hal keempat yang perlu
mendapat perhatian, ialah kesalahan perkiraan hasil per Hektar.

3.8 Aplikasi Analisis Finansial Kopi Robusta


Sebagian besar proyek pertanian melibatkan investasi dengan rentang
waktu yang panjang, tidak terkecuali pada usahatani kopi robusta. Sistem
usahatani kopi robusta dinilai sebagai projeck investment yang membutuhkan
waktu yang cukup panjang. Penilaian usahatani kopi robusta kedalam sistem
investasi karena pada waktu awal/periode investasi tidak bisa langsung
memberikan keuntungan/profitabilitas secara langsung. Biasanya, investasi
pertanian (dalam hal ini usahatani kopi robusta), misalnya; pemberlakuan bibit
bersertifikasi, perbaikan teknik budidaya, investasi mesin pengolahan,
memberikan hasil yang kecil atau bahkan tidak sama sekali pada awal periode
investasi. Aliran benefit berlangsung untuk jangka waktu yang panjang dimasa
yang akan datang. Pada awalnya, aliran benefit bersih (tambahan benefit plus
biaya investasi) negatif, karena biaya investasi mendominasi aliran dana. Ketika
biaya menurun dan benefit meningkat, keadaan berbalik, dan aliran dana (cash
flow) menjadi positif. Cash-flow harus di diskonto dan kemudian dijumlahkan
untuk menghitung kelayakan (feasibility) dari proyek tersebut. Hal tersebut karena
aliran dana membutuhkan waktu yang cukup panjang. Maka, penilaian setiap
aliran dana harus dinyatakan kedalam nilai sekarang (present value).
Digital Repository Universitas Jember 89

PDF Compressor Free Version

Untuk menghitung nilai kedalam waktu saat ini (present value) maka
setiap elemen dari analisis (baik benefit maupun cost) harus didiskontokan sebagai
cerminan bahwa rupiah yang diperoleh saat ini mempunyai nilai lebih besar
dibandingkan dengan jumlah rupiah yang sama yang akan diterima atau
dibayarkan dikemudian hari. Atau dengan perkataan lain, rupiah yang diperoleh
saat ini bisa disimpan di bank dan memperoleh bunga, oleh karena itu rupiah yang
diperoleh saat ini lebih besar nilainya dari pada yang diperoleh di kemudian hari
yang tidak mendapatkan bunga. Karena terdiskonto, maka pencatatan benefit-cost
harus terekam dalam cash-flow dengan baik.
Secara umum, proyek pertanian (agriculture project) membutuhkan
perencanaan maupun evaluasi terhadap kemanfaatan atas dampak pemberlakuan
proyek. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakan suatu aliran dana investasi
proyek tersebut menguntungkan sehingga layak (feasible) diterapkan atau tidak.
Analisis kelayakan finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut
pandang petani sebagai pemilik. Analisis kelayakan finansial memperhitungkan
semua masukan dan keluaran yang didasarkan pada harga pasar domestik dan
suku bunga domestik. Analisis finansial diperhatikan didalamnya adalah dari segi
cash-flow yaitu perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor
(gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai
sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu usaha.
Ilustrasi data merupakan bagaian dari hasil peneltian yang dilakukan
penulis dan beberapa tim pada tahun 2007/2008 di wilayah sentra di Jawa Timur.
Mengingat umur tanaman kopi responden di lapang cukup beragam, maka data
yang diperoleh merupakan cross section data, sehingga dipakai asumsi rata-umur
tanaman sebagai umur proyek pada tahun berjalan. Umur tanaman kopi di daerah
penelitian rata-rata berumur 16 tahun untuk sampai 19 tahun. Dengan demikian
analisis kelayakan finansial yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat evaluasi
dan perencanaan. Evaluasi dilakukan untuk tahun-tahun sebelumnya dan
perencanaan dilakukan untuk mengestimasi tahun-tahun berikutnya dari usahatani
kopi sampai umur proyek diperkirakan habis, yaitu 25 tahun. Dengan demikian,
present value diukur berdasarkan 2 metode, yaitu menggunakan compound factor
Digital Repository Universitas Jember 90

PDF Compressor Free Version

untuk mengukur nilai uang pada tahun-tahun sebelumnya dan discount factor
untuk mengukur nilai uang pada tahun-tahun berikutnya. Sedangkan harga input
output kopi pada analisis kelayakan finansial adalah harga yang berlaku, sehingga
memungkinkan untuk melihat perkembangan penerimaan akibat fluktuasi harga
kopi.
Kegiatan evaluasi dan perencanaan proyek pertanian dimaksudkan untuk
mengidentifikasi biaya dan benefit guna melihat keuntungan proyek investasi
tersebut. Penilaian analisis kelayakan usahatani kopi robusta, penting untuk
mengetahui keuntungan usahatani kopi robusta dan sebagai pengambilan
keputusan bagi petani, dalam membantu pelaksanaan pengembangan usaha lebih
lanjut. Suatu proyek investasi produksi kopi robusta perkebunan rakyat di Jawa
Timur dapat dilanjutkan apabila memenuhi syarat dari kriteria investasi. Kriteria
investasi ini meliputi (1) Net Present Value (NPV), (2) Net B/C rasio, (3) Gross
B/C rasio, (4) Internal Rate of Return (IRR) dan (5) Payback Periode (PP).
Usahatani kopi robusta di Jawa Timur dapat dikatakan menguntungkan untuk
diusahakan dan dikembangkan apabila dari kelima kriteria tersebut menunjukkan
nilai atau syarat tertentu. Pembahasan lebih lanjut kelayakan usahatani kopi
robusta perkebunan rakyat akan dicermati satu persatu sebagai berikut.

A. Net Present Value (NPV)


Net Present Value dari usahatani kopi robusta merupakan perhitungan nilai
sekarang (present value), dari selisih antara benefit (manfaat) dengan cost (biaya)
pada discount rate tertentu yang berlaku pada saat penelitian. Guna mengetahui
usahatani kopi robusta perkebunan rakyat masih menguntungkan atau tidak
menguntungkan secara finansial, yaitu dengan mengetahui selisih antara total
penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan pada discount rate (suku bunga
kredit investasi bank umum) yang berlaku pada saat penelitian, yaitu sebesar
15,73%. Hasil analisis finansial usahatani kopi robusta perkebunan di Jawa Timur
menunjukkan bahwa, usahatani tersebut menguntungkan. Hal tersebut dapat
ditunjukkan dengan nilai Net Present Value pada Tabel 10..
Tabel 10. Nilai Net Present Value (NPV) per Hektar Kopi Robusta Perkebunan
Rakyat pada Suku Bunga Kredit Investasi 15,73%
Digital Repository Universitas Jember 91

PDF Compressor Free Version

Sumber: Lampiran 1 dan Lampiran 3


Tabel 10. menunjukkan bahwa, nilai rata-rata Net Present Value (NPV)
dua wilayah sentra pengembangan kopi robusta perkebunan rakyat di Jawa Timur
bernilai positif, yaitu Rp. 212.266.056,43. Nilai tersebut diintepretasikan bahwa,
dengan tingkat rata-rata bunga kredit investasi bank komersil pada saat penelitian
15,73%, usahatani kopi robusta di Jawa Timur memberikan tingkat keuntungan
bersih sekarang rata-rata sekitar Rp. 212.266.056,43. Nilai keuntungan bersih
tersebut bernilai positif atau lebih besar dari nol (NPV>0), menunjukkan bahwa
selisih antara nilai sekarang dari benefit atau penerimaan bersih usahatani kopi
robusta yang diterima oleh petani sebagai pengusaha adalah lebih besar dari nilai
sekarang cost atau total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kopi robusta
kering giling (ose). Dengan demikian pengusahaan kopi robusta perkebunan
rakyat di Jawa Timur tersebut menguntungkan. Atau dengan perkataan lain, modal
investasi lebih menguntungkan bila digunakan untuk mengusahakan kopi robusta
pada suku bunga kredit bank saat penelitian berlangsung.
Nilai tersebut diintepretasikan bahwa, dengan tingkat bunga kredit pada
saat penelitian, pengusahaan kopi robusta di Jawa Timur memberikan tingkat
keuntungan bersih sekarang rata-rata sekitar Rp. 212.266.056,43. Nilai
keuntungan bersih tersebut bernilai positif atau lebih besar dari nol (NPV>0),
menunjukkan bahwa selisih antara nilai sekarang dari benefit atau penerimaan
bersih usahatani kopi robusta yang diterima oleh petani sebagai pengusaha adalah
lebih besar dari nilai sekarang cost atau total biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi kopi robusta kering giling (ose) asalan. Dengan demikian
pengusahaan kopi robusta perkebunan rakyat di Jawa Timur tersebut
menguntungkan. Atau dengan kata lain, modal investasi lebih menguntungkan
digunakan untuk mengusahakan kopi robusta pada suku bunga kredit bank saat
penelitian berlangsung.
Digital Repository Universitas Jember 92

PDF Compressor Free Version

Lebih lanjut diketahui bahwa nilai NPV Kabupaten Malang sebesar Rp.
128.975.113,67 dan Kabupaten Jember sebesar Rp. 295.556.999,19 per Hektar.
Nilai tersebut berdasarkan perhitungan apabila petani hanya mengusahakan
komoditas kopi robusta saja di lahannya (monoculture). Akan tetapi, kenyataan
dilapangan banyak dijumpai lahan kopi robusta perkebunan rakyat yang
diusahakan secara tumpangsari dengan tanaman lain, yaitu nilam, lada, kelapa,
pisang dan alpukat.
Kedua wilayah usahatani kopi robusta tersebut memberikan nilai NPV
lebih dari 0, akan tetapi nilai bersih dari keuntungan kedua pola pengusahaan
tersebut tidak sama. Usahatani kopi robusta yang di wilayah Kabupaten Malang
mampu memberikan nilai keuntungan bersih sekarang yang lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai keuntungan bersih sekarang, di wilayah Kabupaten
Jember. Kondisi ini memberikan pengertian bahwa, usahatani kopi robusta
perkebunan rakyat di Kabupaten Jember memberikan keuntungan lebih besar
dibandingkan usahatani kopi robusta di Kabupaten Malang.
Berdasar nilai NPV, diketahui Kabupaten Jember mampu memberikan
tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Malang.
Perbedaan tingkat keuntungan bersih sekarang ini lebih disebabkan oleh seberapa
jauh petani kopi robusta mampu mengintensifkan, mengkonsistensikan, dan
kemampuan mengakses pasar dalam pengelolaan kopi robusta. Kabupaten Jember
memiliki tingkat intensifikasi dan konsistensi usahatani kopi lebih baik dibanding
Kabupaten Malang. Bila dilihat selisih NPV antara Kabupaten Malang dan
Kabupaten Jember, adalah Rp. 166.581.885,52. Kenyataannya, meski Kabupaten
Malang lebih mampu mengakses pasar lebih baik, karena di Kabupaten Malang
terdapat pasar kopi terbesar di Jawa Timur, yaitu di Kecamatan Dampit, namun
produktivitasnya jauh lebih rendah dari Kabupaten Jember. Sedangkan
produktivitas tanaman kopi robusta Kabupaten Jember lebih jauh tinggi, sehingga
memberikan keuntungan lebih baik. Produktivitas per Hektar lahan kopi robusta
perkebunan rakyat di dua wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 13.
Digital Repository Universitas Jember 93

PDF Compressor Free Version

Gambar 13. Produktivitas per Hektar Kopi Robusta Perkebunan Rakyat


Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember
Gambar 13 memperlihatkan bahwa kedua daerah penelitian memiliki
perbedaan produktivitas kopi. Kabupaten Malang secara umum memilik
produktivitas lahan yang lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Jember.
Pada tahun penelitian berjalan, umur rata-rata tanaman kopi yang diusahakan oleh
petani kopi robusta perkebunan rakyat di Kabupaten Malang adalah 16 tahun,
sedangkan umur rata-rata tanaman kopi yang diusahakan oleh petani kopi robusta
perkebunan rakyat di Kabupaten Jember adalah 19 tahun, kondisi ini selanjutnya
diperlihatkan oleh garis vertikal pada Gambar 13. Meskipun umur rata-rata
tanaman kopi di Kabupaten Jember lebih tua dan hampir mendekati umur
ekonomisnya, namun produksi yang dihasilkan tanaman kopi masih jauh diatas
produktivitas yang dihasilkan oleh tanaman kopi robusta di Kabupaten Malang
yang umurnya lebih muda. Oleh karena itu, tanaman kopi robusta perkebunan
rakyat Kabupaten Jember memberikan keuntungan lebih baik.
Dipandang dari sisi profitabilitas finansial, kopi robusta perkebunan
rakyat menguntungkan bagi petani, hal tersebut memperkuat penelitian
sebelumnya oleh Budidarsono dan Wijaya (2000), yang menyatakan bahwa kopi
robusta perkebunan rakyat secara finansial mampu memberikan keuntungan bagi
petani dan sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan di pedesaan secara
berkelanjutan.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa keuntungan yang diperoleh petani
kopi robusta perkebunan rakyat di Jawa Timur cukup berfluktuasi. Hal ini
memperkuat bukti empiris bagi penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Herman
Digital Repository Universitas Jember 94

PDF Compressor Free Version

(2004) yang menyatakan bahwa pendapatan usahatani kopi cenderung


berfluktuasi. Kondisi seperti ini menyebabkan kopi akan semakin kehilangan
dayasaing dan peranannya makin berkurang. Perkembangan biaya dan keuntungan
petani kopi robusta perkebunan rakyat di Jawa Timur, tercermin pada Gambar 14
dan Gambar 15.

Gambar 14. Perkembangan Biaya dan Keuntungan Usahatani Kopi Robusta


Rakyat di Kabupaten Malang

Gambar 15. Perkembangan Biaya dan Keuntungan Usahatani Kopi obusta


Perkebunan Rakyat di Kabupaten Jember
Dari Gambar 14 dan Gambar 15, diketahui bahwa pada tahun-tahun awal
usahatani kopi robusta perkebunan rakyat di Jawa Timur, aliran benefit bersih
(tambahan benefit plus biaya investasi) bersifat negatif, karena biaya investasi
mendominasi aliran dana. Namun, pada tahun ke-2 biaya yang dikeluarkan petani
menurun drastis, karena biaya yang dikeluarkan petani di tahun ke-2 hanya
Digital Repository Universitas Jember 95

PDF Compressor Free Version

bersifat pemeliharaan. Kondisi tersebut berlanjut sampai tahun ke-3 usia tanaman
kopi. Pada tahun ke-4, yaitu saat tanaman kopi mulai bisa dipanen, benefit mulai
meningkat, dan mulai tahun tersebut keadaan berangsur-asur berbalik, dimana
aliran dana (cash flow) menjadi positif.
Pada kedua gambar, dapat dilihat pada pertengahan proyek terdapat
lonjakan besar dari benefit usahatani kopi robusta perkebunan rakyat, lonjakan ini
terjadi pada saat tahun 1998. Saat itu, krisis menimpa beberapa negara Asia
seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina yang mengakibatkan nilai tukar mata
uang negara-negara di Asia anjlok. Pada saat itu permintaan negara konsumen
kopi seperti Eropa dan Amerika memberikan peluang bagi pelaku usaha kopi
untuk meraup keuntungan besar. Pada tahun tersebut harga kopi robusta kering
giling (ose) di daerah penelitian melonjak tajam pada kisaran Rp. 18.000/Kg. Hal
ini terjadi akibat permintaan pasar global relatif tinggi. Dengan demikian, petani
komoditas ekspor, khususnya kopi mendapatkan keuntungan yang tinggi.
Fluktuasi harga kopi domestik, dipengaruhi oleh harga kopi dunia seperti
yang diungkapkan oleh Herman (2004). Lonjakan harga kopi robusta yang sangat
tinggi pada tahun akhir tahun 1997 yang kemudian turun drastis diakhir tahun
1998, menandakan awal dimulainya sistem pasar bebas. Hal ini sesuai dengan
penelitian Renton (2003) dalam Hutabarat (2004), menyatakan bahwa, kejatuhan
harga kopi sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1997, akan tetapi tahun 2001
sampai tahun 2003 turunnya harga sangat drastis, sehingga petani dan pedagang
banyak mengalami kerugian. Kondisi tersebut sering dikenal dengan istilah krisis
perkopian dunia (coffee crisis).
Kondisi terburuk jatuhnya harga kopi ini tercermin pada titik ekstrim
penurunan net benefit tahun ke-12 pada, dengan demikian pernyataan Herman
(2003), terbukti bahwa fluktuasi harga kopi domestik dipengaruhi oleh harga kopi
dunia yang tercermin dari fluktuasi pendapatan di kedua tempat penelitian.
Namun ada sedikit perbedaaan di kedua tempat penelitian tersebut, dimana kopi
robusta perkebunan rakyat Kabupaten Jember lebih dapat bertahan dari kejatuhan
harga kopi karena produksi kopi yang tinggi. Sedangkan kopi robusta perkebunan
rakyat Kabupaten Malang kurang mampu bertahan dalam kondisi tersebut.
Digital Repository Universitas Jember 96

PDF Compressor Free Version

Lebih lanjut Renton (2003) mencatat ada empat faktor utama penyebab
jatuhnya harga kopi pada akhir tahun 1998, yaitu (a) restrukturisasi pasar
domestik dari pasar yang diatur ke pasar bebas, (b) tidak terjadi keseimbangan
pasar, dalam hal ini petani tidak memiliki modal dan para roaster mengambil
keuntungan yang berlimpah dari kondisi tersebut, (c) rendahnya mutu kopi, dan
(d) sentra pengembangan kopi robusta tidak melakukan diversifikasi terhadap
lahannya atau pengembangan wilayah sentra kopi hanya terfokus pada investasi
kopi robusta tanpa ada pola diversifikasi lahan, sehingga tidak ada alternatif
akibat kegagalan pemberdayaan sentra-sentra kopi robusta.

B. Efisiensi Biaya Investasi (B/C Ratio)


Efisiensi biaya merupakan salah satu kriteria untuk menentukan
sejauhmana usaha tersebut menguntungkan untuk diusahakan. Efisiensi biaya
suatu usaha dipengaruhi oleh total penerimaan (Total Revenue) dan total biaya
(Total Cost) yang dikeluarkan selama proses produksi. Pencermatan terhadap
kriteria ini, baik manfaat (benefit) maupun biaya, dinyatakan dalam nilai sekarang
(present value).
Pada pengukuran tingkat efisiensi biaya usahatani kopi robusta di Jawa
Timur, yaitu dengan membandingkan antara hasil penjualan biji kopi robusta dan
pengorbanan yang dikeluarkan untuk memproduksi biji kopi robusta kering giling
(ose) pada tingkat suku bunga yang berlaku pada saat penelitian. Hasil analisis
tingkat efisiensi biaya usahatani kopi robusta perkebunan rakyat di Jawa Timur
ditunjukkan pada Tabel 11.

Tabel 11 Nilai B/C Ratio Per Hektar Kopi Robusta Perkebunan Rakyat pada Suku
Bunga Kredit Investasi 15,73%
Digital Repository Universitas Jember 97

PDF Compressor Free Version

Sumber: Lampiran 1 dan Lampiran 3


Tabel 11 menunjukkan keefisienan investasi usahatani kopi robusta
perkebunan rakyat di Jawa Timur yang dilihat analisa Gross B/C ratio. Hasil
perhitungan Gross B/C usahatani kopi robusta perkebunan rakyat diperoleh dari
perbandingan antara jumlah present value benefit dengan present value cost.
Sebagai gross cost adalah biaya modal (capital cost) atau biaya investasi
permulaan dan biaya produksi. Sedangkan yang dihitung sebagai gross benefit
adalah nilai total produksi. Dengan demikian Gross B/C mencerminkan total
penerimaan petani kopi robusta perkebunan rakyat.
Perhitungan Gross B/C usahatani kopi robusta di Jawa Timur
menghasilkan nilai sebesar 2,02. Nilai Gross B/C tersebut dapat diartikan bahwa,
setiap Rp 1.000.000 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan
usahatani kopi sebesar Rp 2.020.000,00. Hal tersebut menggambarkan bahwa
usahatani kopi robusta perkebunan rakyat menguntungkan (gross B/C >1).
Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa, usahatani kopi kopi robusta
perkebunan rakyat di Jawa Timur adalah efisien, karena nilai tersebut lebih besar
dari 1. Dengan demikian dapat diketahui bahwa, usahatani kopi robusta
perkebunan rakyat tersebut, memberikan manfaat kotor (benefit) rata-rata sebesar
2,02 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan dalam produksi biji kering kopi
robusta.
Bila dibandingkan dengan penelitian Lova (2006), usahatani kopi robusta
perkebunan rakyat di Jawa Timur memiliki nilai Gross B/C ratio yang juga lebih
tinggi dibandingkan dengan Provinsi Lampung, dimana Lampung yang
direprentasikan oleh Kabupaten Tanggamus memiliki Gross B/C ratio sebesar
Digital Repository Universitas Jember 98

PDF Compressor Free Version

1,36. Dengan demikian, efisiensi biaya investasi pada kopi robusta perkebunan
rakyat lebih tinggi bila di usahakan di Jawa Timur.
Lebih lanjut nilai Gross B/C ratio pada masing-masing wilayah,
menunjukkan nilai lebih besar dari 1, yaitu 1,63 untuk Kabupaten Malang, dan
2,41 untuk Kabupaten Jember. Nilai Net B/C ratio menggambarkan bahwa, untuk
wilayah Malang selama periode 25 tahun keuntungan bersih dari usahatani kopi
robusta perkebunan rakyat 1,63 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan
Kabupaten Jember 2,41 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa, pengembangan kopi robusta perkebunan rakyat
menguntungkan di masing-masing wilayah sentra, karena memiliki tingkat
keuntungan lebih dari satu kali lipatnya. Artinya, keuntungan bersih yang diterima
petani mampu menutup keseluruhan biaya yang dikeluarkan selama periode 25
tahun analisa.
Nilai Net B/C ratio dari kedua wilayah memiliki nilai yang berbeda, yaitu
usahatani kopi robusta perkebunan rakyat Kabupaten Malang lebih besar dalam
memberikan keuntungan pada petani. Kedua wilayah pengembangan kopi robusta
tersebut memberikan tingkat keefisienan dalam pengusahaan kopi robusta yang
berbeda. Penyebab utama dari kondisi ini adalah perbedaan produktivitas per
Hektar lahan kopi robusta perkebunan rakyat di Kabupaten Jember lebih tinggi
dibanding Kabupaten Malang.
Tabel tersebut juga menunjukkan besarnya nilai dari Net B/C ratio dan
Gross B/C ratio pada masing-masing wilayah sentra pengembangan kopi robusta.
Hasil perhitungan mengenai Net B/C yang diperoleh dari perbandingan antara
jumlah Net Present Value Benefit yang positif dengan Net Present Value Benefit
yang negatif. Dengan kata lain, Net B/C adalah rasio yang mencerminkan
pendapatan bersih dari petani kopi robusta perkebunan rakyat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai Net B/C usahatani kopi robusta perkebunan rakyat
untuk periode tahun ke 1 sampai dengan tahun ke 24 adalah lebih besar dari 1.
Net B/C ratio menunjukkan nilai lebih besar dari 1, yaitu sebesar 3,29.
Artinya, selama periode 25 tahun pengusahaan kopi robusta biaya yang
dikeluarkan untuk investasi (baik investasi tetap maupun investasi operasional)
Digital Repository Universitas Jember 119

PDF Compressor Free Version

S
Harga
D

Hd

Hp

S D

Q1d Qp Qd Kuantitas

Gambar 18. Kurva Kebijakan Penetapan Harga Dasar (Floor Price)

Gambar 18 memperlihatkan bahwa OQp adalah besarnya produksi yang


diminta masyarakat pada harga pasar (Hp) yang berada dibawah harga dasar (Hd).
Bila harga dasar tetap berlaku, maka jumlah permintaan adalah sebesar OQ 1d. Bila
dikehendaki harga dasar dapat berfungsi dengan baik, maka pemerintah harus
menampung dan membeli kelebihan produksi (penawaran) sebesar Q1dQd, dengan
demikian permintaan yang sebenarnya bisa diimbangi oleh produksi sebesar OQ1d.
Kebijakan harga atap (ceiling price) digunakan khususnya pada saat
musim-musim paceklik. Pada saat paceklik produksi terbatas, dengan kata lain
permintaan lebih besar daripada penawaran, sehingga harga akan naik menjadi
lebih tinggi dari harga dasar, oleh karena itu pemerintah mengambil kebijaksanaan
harga atap, dengan catatan harus diikuti atau diimbangi dengan melepas stok.
Kebijakan harga atap dapat dilihat pada gambar berikut:
Digital Repository Universitas Jember 120

PDF Compressor Free Version

Harga D S

Hp

Ha

S D

Q1a Qp Qa Kuantitas

Gambar 19. Kebijakan Harga Atap (Ceiling Price)

Gambar 19. terlihat bahwa OQp adalah jumlah produksi yang dijual dan
akan dibeli oleh konsumen bila tidak diberlakukan harga atap (H a). Disini terlihat
bahwa Ha lebih rendah dari Hp. Bila tidak diberlakukan harga atap, maka
perbedaan Ha dengan Hp akan semakin tinggi. Bila diberlakukan harga atap, maka
jumlah produksi yang dijual adalah sebesar OQ 1a, pada saat itu harga pasar (H p)
melebihi harga dasar. Agar harga atap berfungsi pada posisi H p, maka pemerintah
perlu menjual stok sebesar QiaQa (Daniel, 2004).
Terdapat tiga kategori kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi sektor
pertanian yaitu kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan nilai tukar, dan kebijakan
harga faktor domestik, sumber daya alam dan tataguna lahan. Menurut Soetriono,
dkk (2003), aspek sumber daya dimasukkan dalam klasifikasi sumber daya
pertanian adalah aspek alam (tanah), modal, dan tenaga kerja, namun karena
perkembangan ilmu pengetahuan, dituntut adanya aspek lain yang dianggap
penting dalam pengelolaan sumber daya produksi tersebut yaitu aspek
manajemen. Hal itu perlu karena walaupun sumber daya yang tersedia jumlahnya
banyak, namun tanpa adanya kemampuan untuk mengelola dengan baik,
penggunaan sumber daya tersebut tidak akan lebih efisien.
Kebijakan nilai tukar secara langsung berpengaruh terhadap harga output
dan biaya produksi pertanian. Sebagian besar komoditas pertanian
diperdagangkan secara internasional dan sebagian besar negara mengimpor atau
Digital Repository Universitas Jember 121

PDF Compressor Free Version

mengekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk komoditas pertanian


mereka. Untuk produk-produk yang diperdagangkan secara internasional, harga
dunia akan sama dengan harga dalam negeri apabila tidak ada hambatan
perdagangan.
Kategori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor
pertanian adalah investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada
infrastruktur, sumberdaya manusia, dan penelitian dan pengembangan teknologi.
Infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pengetahuan, dan
jaringan irigasi yang amat sulit dibangun oleh sektor swasta. Barang modal
tersebut dikenal sebagai “barang-barang publik”, yang biayanya bersumber dari
anggaran pemerintah. Investasi dalam bentuk infrastruktur sifatnya spesifik
wilayah serta manfaatnya sebagian besar akan dinikmati oleh produsen dan
konsumen di wilayah tersebut.
Salah satu kebijakan fiskal yang termasuk dalam pengeluaran kas
pemerintah adalah subsidi. Tingkat subsidi adalah biaya per unit yang dibayar
kepada barang yang disubsidi, sedangkan total subsidi dihitung dengan
mengalikan tingkat subsidi dengan jumlah produksi atau konsumsi yang disubsidi.
Selanjutnya Rahardja dan Manurung (1999), mengemukakan bahwa tujuan
subsidi adalah membuat harga pada mekanisme pasar lebih rendah dan produsen
akan menikmati harga yang lebih tinggi serta konsumen akan menikmati harga
yang lebih rendah. Dampak kebijakan subsidi terhadap keseimbangan pasar dapat
pada Gambar 20.
P So
S1

a Eo
b E1

c
D Q
0 x y
Gambar 20. Kurva Keseimbangan Subsidi

Gambar 20. menunjukkan bahwa Eo adalah keseimbangan pasar awal yaitu


pertemuan antara permintaan (D) dan penawaran awal (So). Harga awal (sebelum
Digital Repository Universitas Jember 144

PDF Compressor Free Version

yang digunakan, karena tidak ada kebijakan yang mengatur upah tenaga kerja
dalam usahatani kopi robusta. Adanya divergensi biaya tenaga kerja,
mencerminkan bahwa tenaga kerja tersebut memiliki opportunity cost untuk
bekerja di bidang lain yang ditetapkan berdasarkan asumsi world bank untuk
tenaga kerja pertanian di negara berkembang sebesar 87,5% dari upah privat
(World Bank, 1980).
Faktor domestik modal kerja dalam sistem usahatani kopi robusta
menunjukkan adanya divergensi positif, dimana modal kerja privat lebih tinggi
dari modal kerja yang seharusnya dikeluarkan dalam berusahatani. Pengaruh ini
disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat suku bunga modal kerja. Suku bunga
privat modal kerja yang dibayarkan pertahun sebesar 15,59% (Bank Komersil),
sedangkan suku bunga sosial untuk modal kerja pertahun hanya sebesar 7,57%
(BI). Suku bunga pinjaman yang diterima petani lebih tinggi dari suku bunga
sosial, karena adanya pemasukan sebagai keuntungan bagi pihak pemberi modal.
Biaya lahan dalam sistem usahatani kopi robusta menunjukkan adanya
divergensi negatif, dimana biaya lahan sosial lebih rendah dari biaya lahan yang
seharusnya dikeluarkan dalam berusahatani. Biaya lahan dalam matriks
merupakan biaya sewa lahan dan pajak tanah, karena keseluruhan lahan
merupakan kepemilikan dari petani. Pajak tanah dikeluarkan pada biaya lahan
sosial, karena pajak tidak dihitung sebagai biaya dalam perhitungan sosial. Biaya
sewa sosial lahan lebih rendah dibanding biaya sewa privat, hal ini dikarenakan
sewa lahan sosial diperoleh dengan menghitung nilai keuntungan sosial dari
komoditas alternatif terbaik sebelum dikurangi sewa lahan dibandingkan dengan
keuntungan privat kopi robusta perkebunan rakyat (Pearson et al, 2003), dimana
komoditas terbaik adalah tebu perkebunan rakyat. Divergensi positif biaya lahan
disebabkan karena biaya sosial lahan lebih rendah dari biaya privat lahan. Hal ini
dikarenakan oleh keuntungan sosial dari komoditas altenatif terbaik lebih besar
dibanding keuntungan privat kopi perkebunan rakyat, sehingga biaya sosial lahan
untuk tanaman kopi seharusnya lebih rendah dari harga privat, karena kopi tidak
memberikan keuntungan terbaik bagi petani dibanding tebu perkebunan rakyat.
Digital Repository Universitas Jember 145

PDF Compressor Free Version

Divergensi untuk biaya lain-lain sama dengan nol. Biaya lain-lain


merupakan biaya angkut, pemasaran serta sewa alat pertanian dan biaya
pengolahan kopi kering giling (ose). Divergensi sama dengan nol artinya
tidak/belum ada kebijakan pemerintah yang mempengaruhi faktor domestik
tersebut. Dan melihat biaya tersebut, sulit untuk menentukan harga
internasionalnya, karena belum ada proses perdagangan dalam pasar
internasional.
(vii). Kebijakan Pemerintah Terhadap Output
Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) adalah rasio yang
menunjukkan seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga
sosial. Bila NPCO lebih besar dari satu, berarti harga domestik lebih tinggi dari
harga internasional dan berarti usahatani kopi robusta perkebunan rakyat
menerima proteksi. Bila NPCO lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah
dari harga dunia berarti tidak ada proteksi pemerintah terhadap output. Dalam
situasi tidak ada kebijakan, harga domestik tidak akan berbeda dengan harga
dunia, dan NPCO akan sama dengan satu. Kriteria pengambilan keputusan
didasarkan pada nilai NPCO bernilai lebih dari satu, hal ini menyatakan bahwa
terdapat kebijakan pemerintah yang memproteksi output atau harga privat output
yang diterima petani lebih tinggi dari harga sosial.
Hasil analisis menyatakan terdapat dampak negatif kebijakan pemerintah
terhadap output. Dibuktikan dengan harga privat yang diterima petani lebih
rendah dari harga sosial yang menunjukkan tidak adanya kebijakan proteksi
pemerintah yang berperan didalamnya. Kebijakan output tersebut dapat berupa
kebijakan tarif (pajak impor, bea masuk) dan kebijakan non-tarif yang
diberlakukan berdasarkan sistem quota impor secara langsung maupun tidak.
Hasil analisis secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel. 24.
Digital Repository Universitas Jember 146

PDF Compressor Free Version

Tabel 24. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Usahatani Kopi


Robusta Perkebunan Rakyat

Sumber: Lampiran 5 dan Lampiran 6


Tabel 24. menyatakan nilai koefisien rata-rata NPCO usahatani kopi
robusta di Jawa Timur adalah 0,837, artinya petani memperoleh harga 16,63%
lebih rendah dari harga dunia. Lebih lanjut diperlihatkan nilai koefisien NPCO di
Kabupaten Malang sebesar 0,846 artinya petani memperoleh harga 15,4% lebih
rendah dari harga dunia. Sedangkan usahatani kopi robusta Kabupaten Jember
memiliki nilai NPCO sebesar 0,828 artinya petani mendapat harga sebesar 17,2%
lebih rendah dari harga dunia.
Hasil penelitian menyatakan harga di tingkat petani jauh lebih rendah
dibanding harga dunia. Hal ini terjadi salah satunya adalah petani masih belum
bisa mengoptimalkan nlai tambah dari produksi kopi bijinya. Petani kopi robusta
perkebunan rakyat mayoritas menjual kopi biji kering kering (ose) grade asalan.
Dengan demikian harga yang yang diterima petani jauh lebih rendah dari harga
internasionalnya.
Sebaliknya, nilai tambah kopi biji robusta kering giling justru lebih
dinikmati oleh pelaku bisnis kopi seperti pedagang besar dan eksportir. Kedua
lembaga pemasar tersebut meningkatkan nilai tambah kopi robusta kering giling
(ose) asalan dengan grading melalui standar mutu, yaitu kopi dengan kadar air
berkisar 14%-14,5%, nilai cacat khusus untuk kopi robusta adalah 61-80 biji kopi
dari 300g biji kopi atau berada pada kelompok mutu grade IV-B, dan jumlah
kotoran tidak lebih dari 0,5% bobot/bobot kopi. Mutu kopi yang bagus lebih
Digital Repository Universitas Jember 147

PDF Compressor Free Version

banyak dipasarkan untuk kebutuhan ekspor, sedangkan mutu kopi yang kurang
bagus atau kurang memenuhi standart ekspor akan dilempar ke pasar domestik
untuk diolah untuk kebutuhan lokal.
Kebijakan penghapusan tarif menyebabkan kondisi di lapang justru
menjadi efisien, karena meskipun tanpa transfer kebijakan harga kopi domestik
masih jauh lebih rendah dari harga kopi di tingkat internasional. Dengan demikian
tanpa adanya proteksi output, kopi robusta domestik tetap bisa berkompetisi di
pasar dunia. Tidak adanya tarif juga membuat kopi robusta domestik memiliki
celah untuk menaikkan harga kopi domestik dalam perdagangan internasional.
Bila dilihat dari hasil koefisien NPCO diketahui pula bahwa petani kopi
robusta perkebunan rakyat di Kabupaten Malang mendapatkan harga yang jauh
lebih tinggi dibanding Kabupaten Jember. Hal ini dikarenakan Kabupaten Malang
lebih mampu mengakses pasar, mengingat di Kabupaten Malang terdapat pasar
kopi terbesar di Jawa Timur, yaitu Kecamatan Dampit. Kecamatan Dampit
merupakan tempat berkumpulnya para pedagang besar dan beberapa eksportir
kopi, sehingga petani kopi Kabupaten Malang dapat mengakses pasar lebih mudah
dengan harga lebih baik.

(vii). Kebijakan Pemerintah Terhadap Output dan Input secara


Keseluruhan
Kebijakan output dan input secara keseluruhan dapat dilihat melalui
Effective Protection Cofficient (EPC) dan dampak kebijakan secara terperinci
dapat diketahui melalui beberapa indikator, antara lain Net Protection Transfer
(NPT), Profitability Coeffcient (PC) dan Subsidy Ratio to Producer (SRP).

 Effective Protection Cofficient (EPC)


Effective Protection Cofficient (EPC) atau analisis proteksi efektif
digunakan untuk mengetahui pengaruh dari keseluruhan kebijakan pemerintah dan
mekanisme pasar input output, apakah memberikan insentif atau disinsentif
terhadap usahatani kopi robusta. Nilai EPC pada dasarnya menggambarkan
bagaimana kebijakan pemerintah mampu melindungi atau menghambat produk
domestik secara efektif. Bila nilai EPC lebih besar dari satu berarti dampak bersih
Digital Repository Universitas Jember 148

PDF Compressor Free Version

kebijakan pemerintah dalam pembentukan harga dan mekanisme pasar komoditi


telah memberikan insentif (perlindungan) terhadap petani kopi robusta untuk
mengembangkan usahataninya. Sebaliknya, jika nilai EPC lebih kecil dari satu
berarti, dampak bersih kebijakan pemerintah tersebut disinsentif terhadap
pengembangan usahatani kopi robusta perkebunan rakyat. Nilai EPC juga dapat
menjelaskan seberapa persen nilai tambah yang dinikmati dari nilai tambah
sosialnya. Nilai EPC usahatani kopi robusta ditunjukkan pada Tabel 25.
Tabel 25. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output secara
Keseluruhan pada Usahatani Kopi Robusta Perkebunan Rakyat

Sumber: Lampiran 5 dan Lampiran 6


Tabel 25. menunjukkan bahwa nilai rata-rata EPC untuk usahatani kopi
robusta perkebunan rakyat di Jawa Timur bernilai kurang dari satu, yaitu 0,870.
Nilai tersebut berarti kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif secara
efektif kepada petani, karena nilai tambah yang dinikmati petani lebih rendah dari
nilai tambah sosialnya. Nilai EPC yang dihasilkan usahatani kopi robusta
Kabupaten Malang adalah 0,881 yang berarti bahwa petani kehilangan nilai
tambah 11,88% atas proteksi terhadap tradable output dan tradable input yang
diberikan pemerintah. Petani kopi robusta di Kabupaten Jember juga tidak
menikmati atau justru kehilangan nilai tambah sebesar 14,06% atas proteksi
terhadap tradable input output yang diberikan pemerintah.
Dari nilai EPC yang kurang dari satu diartikan pula bahwa dampak bersih
kebijakan pemerintah dalam pembentukan harga dan mekanisme pasar komoditi
tidak memberikan insentif (perlindungan) terhadap petani atau produsen kopi
Digital Repository Universitas Jember 203

PDF Compressor Free Version

adalah positif. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas kopi robusta Indonesia
masih mempunyai daya saing yang kuat atau suplai domestik kopi robusta
Indonesia lebih besar daripada permintaan domestik kopi robusta.
Selanjutnya untuk mengetahui posisi daya saing kopi robusta Indonesia
apabila terjadi perubahan penurunan harga kopi robusta dunia sebesar 5%, 10%
dan 20% dapat dilihat dengan siklus produk Hiratsuka. Dalam hal ini masih
terdapat penggolongan negara-negara yang dianalisis, yaitu negara latercomer dan
forerunner. Dalam penelitan ini, negara latercomer adalah Vietnam sedangkan
negara forerunner adalah Indonesia.
Berikut dapat diketahui nilai ISP komoditas kopi robusta Indonesia
dibandingkan dengan Vietnam Pada Tabel 42.
Tabel 42. Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) Komoditas Kopi Robusta
Indonesia (Forerunner) dan Vietnam (Latercomer) Apabila Terjadi
Penurunan Harga Kopi Robusta Dunia Sebesar 5%, 10% dan 20%
Indeks Spesialisasi
No Tahun Perdagangan (ISP)
Indonesia Vietnam
1 2008 0,97 1,00
2 2008 (penurunan harga kopi robusta dunia 5%) 0,97 1,00
3 2008 (penurunan harga kopi robusta dunia 10%) 0,97 1,00
4 2008 (penurunan harga kopi robusta dunia 20%) 0,96 1,00
Sumber: Lampiran 14
Berdasarkan pada Tabel 42, maka dapat diketahui nilai ISP komoditas kopi
robusta untuk negara Indonesia (forerunner) dan Vietnam (latercomer) apabila
terjadi perubahan penurunan harga kopi robusta dunia sebesar 5%, 10% dan 20%.
Nilai ISP mengalami perubahan pada saat penurunan harga kopi robusta sebesar
20% menjadi 0,96. Diketahui nilai-nilai ISP kopi robusta Indonesia selalu positif.
Hal ini menunjukkan bahwa komoditas kopi robusta Indonesia masih mempunyai
daya saing yang kuat atau suplai domestik kopi robusta lebih besar daripada
permintaan domestik kopi robusta.
Demikian halnya pada negara Vietnam, perubahan penurunan harga kopi
robusta dunia sebesar 5%, 10% dan 20% tidak merubah nilai ISP. Nilai yang
diperoleh selalu positif bahkan nilainya tetap sebesar satu (1). Hal ini
Digital Repository Universitas Jember
1010101010

PDF Compressor Free Version

A. Model Struktural
Suatu model struktural adalah suatu sistem persamaan lengkap yang
menggambarkan struktur dari hubungan variabel-variabel ekonomi. Persamaan
struktural menyatakan variabel endogen sebagai fungsi dari variabel endogen
lainnya, variabel predetermined, dan variabel acak (bentuk gangguan). Sebagai
contoh sederhana dari model struktural adalah sebagai berikut:
Ct = 0 + 1Yt + U1t
It = 0 + 1Yt + 2Yt – 1 + U2t
Y t = Ct + I t + G t
Sistem persamaan diatas merupakan sistem persamaan yang lengkap
karena terdiri dari tiga persamaan dalam tiga variabel endogen (Ct, It, dan Yt).
Lebih jauh lagi Gaspersz (1991) menjelaskan bahwa model persamaan struktural
mengandung dua variabel predetermined yakni Gt (sebagai variabel eksogen) dan
Yt – 1 (sebagai variabel lag endogen). Koefisien dari persamaan struktural disebut
sebagai parameter struktural, yang secara umum dapat berupa propensitas,
elastisitas, atau parameter lain dalam teori ekonomi. Suatu parameter struktural
menyatakan pengaruh langsung dari setiap variabel penjelas terhadap variabel tak
bebas. Pengaruh tidak langsung hanya dapat dihitung melalui penyelesaian sistem
struktural, tetapi tidak melalui parameter struktural secara individual.

B. Model Bentuk Reduksi (Reduced Form)


Model reduksi adalah suatu model dimana variabel-variabel endogen
dinyatakan sebagai fungsi dari variabel-variabel predetermined. Oleh sebab itu,
dalam suatu persamaan reduksi, variabel-varibel endogen hanya diterangkan oleh
variabel-variabel determined dan bentuk gangguan stokastik. Bentuk reduksi
dapat diperoleh melalui dua cara yakni (Gaspersz, 1991):
a. Menyatakan atau mengekpresikan variabel-variabel endogen secara
langsung sebagai fungsi dari variabel predetermined.
Ct = π10 + π11Yt – 1 + π12Gt + v1t
It = π20 + π21Yt – 1 + π22Gt + v2t
Yt = π30 + π31Yt – 1 + π32Gt + v3t
Digital Repository Universitas Jember
1111111111

PDF Compressor Free Version

b. Menyelesaikan terlebih dahulu sistem struktural dari variabel-variabel


endogen dalam bentuk variabel-variabel predetermined.

Konstruksi Model Operasional merupakan gabungan dari berbagai persamaan


yang meliputi berbagai variabel dapat menggambarkan suatu bentuk keragaan
secara komprehensif tergantung jumlah variabel yang diteliti serta batasan yang
dimiliki. Kesaling terkaitan antara satu persamaan dengan persamaan lain dalam
operasionalisasinya menunjukkan bahwa perubahan pada satu faktor akan dapat
mempengaruhi faktor-faktor yang lain yang terangkum dalam konstruksi model
operasionalnya. Sebagai salah satu contoh, pada keragaan pasar menggambarkan
hubungan variabel-variabel pembentuk komponen perdagangan. Komponen-
komponen tersebut terdiri dari permintaan, penawaran dan harga.

6.3.2 Prosedur Analisis


Berikut ini merupakan prosedur analisis dengan menggunakan simultan.
A. Identifikasi Model
Persamaan dalam model harus dapat teridentifikasi. Suatu persamaan
dikatakan unidentified apabila tidak terdapat jalan lain untuk mengestimasi
seluruh parameter struktural dari bentuk reduksi dan dikatakan identified apabila
persamaan tersebut memungkinkan untuk didapatkan nilai-nilai paramater dari
suatu sistem persamaan bentuk reduksi. Selanjutnya, persamaan dapat dikatakan
exactly identified apabila terdapat nilai unique parameter, dan dikatakan over
identified bila lebih dari satu nilai bisa diperoleh dari beberapa parameter.
(Pindyck dan Rubinfield, 1981).
Identifikasi model persamaan simultan order condition menurut
Koutsoyiannis (1977) dapat dirumuskan sebagai berikut:

(K – M) ≥ (G – 1)

Keterangan:
G = jumlah persamaan (current endogeneous variables) dalam model
Digital Repository Universitas Jember
1212121212

PDF Compressor Free Version

M = jumlah seluruh variabel (endogeneous and exogeneous variables) yang


terdapat dalam suatu persamaan
K = jumlah total variabel (current endogeneous and predetermined variables)
di dalam model
Kriteria:
(K – M) = (G – 1) ; persamaan dalam model exactly identified
(K – M) < (G – 1) ; persamaan dalam model unidentified
(K – M) > (G – 1) ; persamaan dalam model over identified

B. Metode Pendugaan Model dan Pengujian Parameter


Pendugaan persamaan simultan akan menjadi lebih sulit apabila dalam
variabel predetermined mencakup pula variabel lag endogen atau variabel lag
dependen dalam waktu yang bersamaan. Gangguan tersebut adalah serial korelasi.
Pada kenyataannya, ketika muncul gangguan serial korelasi maka pengertian dari
variabel lag endogen adalah sebagai predetermined yang kehilangan validitasnya.
Uji Durbin-Watson tidak akan berguna apabila terdapat satu atau lebih variabel
lag endogen karena nilainya akan lebih sering berada di sekitar 2 (menunjukkan
tidak terdapat gangguan) meskipun terdapat gangguan serial korelasi. Suatu model
persamaan simultan yang mengandung variabel lag endogen maka harus
dilakukan uji serial korelasi. Pengujian ada tidaknya serial korelasi dalam model
menggunakan formulasi Durbin h statistik.

 DW  T
h = 1 − 
 2  1 − T [Var ( β )]

Keterangan:
h = angka Durbin h statistik
T = jumlah pengamatan contoh
Var () = kuadrat dari standar error koefisien variabel lag endogen
DW = nilai statistik Durbin-Watson
Kriteria:
Pada taraf kepercayaan 95%, maka nilai kritis distribusi normal adalah 1,645.
Digital Repository Universitas Jember
1313131313

PDF Compressor Free Version

h > 1,645 ; model tidak mengalami gangguan serial korelasi.


h ≤ 1,645 ; model mengalami gangguan serial korelasi

Uji statistik selanjutnya adalah Adjusted or Corrected R Square (Ra2/ R 2)


yang merupakan proporsi dari total varian Y yang dijelaskan oleh regresi Y
terhadap X. R2 merupakan koefisien determinasi yaitu koefisien untuk
melihat besarnya pengaruh variabel dalam model, Ra2 lebih baik daripada R2
karena Ra2 merupakan nilai R2 yang telah dinormalkan dengan banyaknya
variabel bebas. Pengujian kesesuaian model dilakukan dengan uji F, yakni
melihat pengaruh variabel-variabel bebas (variable independent) secara bersama-
sama terhadap variabel terikat (variable dependent). Untuk melihat signifikansi
masing-masing parameter digunakan uji statistik t hitung. Uji t masih dianggap
cukup handal sebagai suatu perangkat yang sistematik untuk mengevaluasi
persamaan-persamaan penduganya meskipun diterapkan pada persamaan
simultan yang terdapat variabel lag endogen atau variabel endogen beda
kala (Pindyck dan Rubinfield, 1981).
n −1 msr
Ra 2 = 1 − (1 − R 2 ). F − test =
n − p −1 mse
Keterangan: Keterangan:
Ra2 = nilai adjusted R2 F-test = nilai F hitung
R2 = koefisien determinasi msr = kuadrat tengah regresi
n = jumlah pengamatan mse = kuadrat tengah error
p = jumlah variabel bebas
Kriteria Pengambilan Keputusan:
Ra2 ; F-test ≤ 0,05; model pendugaan telah signifikan
Ra2 ; F-test > 0,05 ; model pendugaan tidak signifikan

Statistik t-test
bj
t − test =
Sb j

Keterangan:
t-test = nilai t hitung
bj = koefisien regresi variabel ke-j
Digital Repository Universitas Jember
1414141414

PDF Compressor Free Version

Sbj = standar deviasi dari koefisien regresi variabel ke-j


Kriteria Pengambilan Keputusan:
Sig t-test ≤ 0,05 ; variabel eksogen berpengaruh nyata terhadap variabel endogen
Sig t-test > 0,05 ; variabel eksogen berpengaruh nyata terhadap variabel endogen

B. Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk melihat apakah model yang digunakan
memiliki daya prediksi yang baik, yaitu memberikan nilai-nilai prediksi dan
sesuai dengan fenomena-fenomena aktualnya. Validasi model pada persamaan
simultan lebih kompleks. Faktanya terdapat beberapa persamaan yang
memerlukan signifikansi statistik tinggi, sedangkan beberapa persamaan lainnya
tidak. MPE (Mean Percent Error) dan RMSPE (Root Mean Square Percentage
Error) merupakan ukuran deviasi variabel simulasi dari jalan waktu aktualnya,
namun ditunjukkan dalam persentase. Kedua indikator ini menggunakan
persentase error untuk menghindari kesalahan interpretasi akibat terjadinya saling
meniadakan (cancelling out) antara error yang besar positif dan negatif (Hariyati,
2003).
Dikemukakan oleh Pindyck dan Rubinfield (1981) bahwa U-Theil
merupakan statistik simulasi yang berhubungan dengan error simulasi yang juga
berguna untuk mengevaluasi simulasi historis. U M atau proporsi bias
mengindikasikan adanya gangguan secara sistematik, juga menunjukkan semakin
lebarnya penyimpangan antara rata-rata nilai simulasi dengan urutan nilai
aktualnya. Apabila diperoleh nilai proporsi bias yang besar maka diperlukan revisi
model. US atau proporsi varian mengindikasikan kemampuan model untuk
mereplika derajat variabilitas dalam variabel interest, apabila nilainya besar maka
diperlukan revisi pada model. Sedangkan UC atau proporsi kovarian menunjukkan
ukuran gangguan yang tidak sistematik, yang memunculkan kembali gangguan
tersisa setelah penyimpangan dari nilai rata-rata dan variabilitas rata-rata yang
dihitung. Distribusi Inequality yang ideal adalah UM = US = 0, dan UC = 1.
Keterangan:
MPE (Mean Percent Error): MPE = Mean Percent Error
RMSPE = Root Mean Square Percent
Error
s
Yt = nilai simulasi dasar
Yt a = nilai aktual observasi
T = jumlah periode simulasi
a = intersep
b = koefisien parameter
Digital Repository Universitas Jember
1515151515

PDF Compressor Free Version

1 T Yt s − Yt a
MPE = ∑
T t =1 Yt a
RMSPE (Root Mean Square Percent Error):
2
1 T  Yt s − Yt a 
RMSPE = ∑
T t =1  Yt a


Yt a = a + b Yt s + u

Kriteria:
MPE semakin mendekati 0 ; Terdapat error dalam model karena error bernilai
besar meniadakan error yang bernilai kecil
RMSPE < 20% ; persamaan dalam model telah sesuai untuk simulasi
RMSPE > 20% ; persamaan dalam model kurang sesuai untuk simulasi
Keterangan:
Statistik Inequality Coefficient: U = koefisien inequality
UM = proporsi bias
US = proporsi varian
1 T s

T t =1
(
Yt − Yt a ) 2
UC = proporsi kovarian
U= Yt s = nilai simulasi dasar
1 T s
∑ Yt
T t =1
( ) 2
+
1 T a
∑ Yt
T t =1
( ) 2

Yt a
= nilai aktual observasi
T = jumlah periode simulasi
s
Y = nilai rata-rata simulasi dasar
a
Y = nilai rata-rata aktual observasi
σ s = standar deviasi nilai simulasi dasar
σ = standar deviasi nilai aktual observasi
Statistik Proportions of Inequality

U M
=
(Y s
−Y )
a 2

1
T
∑ Yt s − Yt a ( ) 2

US =
(σ s − σ a ) 2
1
T
∑ (
Yt s − Yt a ) 2

2(1 − ρ )σ sσ a
UC =
1
T
∑ (
Yt s − Yt a
2
)
Digital Repository Universitas Jember
1616161616

PDF Compressor Free Version

Kriteria:
U > 0 ; mempunyai proporsi ideal UM + US + UC = 1, dimana:
UM harus mendekati 0, jika menjauhi 0; terdapat error sistematik pada model
US harus mendekati 0, jika menjauhi 0; terdapat fluktuasi varian pada model
UC harus mendekati 1, jika mendekati 0 ; terdapat error yang bukan dari system

D. Simulasi Model
Simulasi dapat didefinisikan secara garis besar sebagai penurunan jalur
waktu dari model matematik. Dengan demikian simulasi berkaitan dengan
suatu proses penyelesaian secara matematik dari sekumpulan persamaan simultan.
(Gaspersz, 1991).
Peramalan melibatkan simulasi dari model kedepan melebihi waktu dari
periode estimasi itu sendiri. Perbedaan antara dua tipe peramalan dapat diketahui
dengan jelas. Bila periode estimasi tidak diperluas hanya sampai pada waktu
sekarang, atau memulai peramalan pada periode akhir estimasi dan diperluas
sampai sekarang, serta kemungkinan membandingkan hasil berdasarkan data
yang tersedia, maka tipe simulasi itu disebut peramalan ex post, yang sering
digunakan untuk melakukan test keakuratan peramalan dalam sebuah model.
Peramalan ex ante adalah peramalan yang dibangun dengan memulai simulasi
pada waktu sekarang dan diperluas hingga pada waktu di masa yang akan datang
(Pindyck dan Rubinfield, 1981).

(Peramalan)

Simulasi Ex-Post atau Simulasi Historikal


Back casting Peramalan ex post Peramalan ex ante

Waktu, t
T1 Periode Estimasi
T2 T3
(Sekarang)

Gambar 37. Simulasi Horizon Waktu


Digital Repository Universitas Jember
1717171717

PDF Compressor Free Version

6.4 Pemodelan Penawaran daan Permintaan Kopi Robusta Pasar


Domestik dan Internasional

Sub bab ini merupakan penerapan serangkaian cara untuk mengetahui


keragaan kopi Indonesia yang sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai
lingkup permasalahan dari segi risiko usahataninya, sumber daya domestik,
kelayakannya secara finansial maupun ekonomi serta daya saing kopi yang
terindikasi melalui kebijakan dan keunggulan komparatif dalam kaitannya dengan
perdagangan kopi baik secara domestik maupun perdagangan dunia.
Pada pembahasan berikut, metode penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif dan komparatif dan analitik. Metode deskriptif bertujuan
membuat deskripsi atau pencanderaan atau gambaran mengenai fakta-fakta, sifat-
sifat serta hubungan dari fenomena yang diselidiki pada suatu populasi atau
daerah tertentu secara sistematis, faktual, dan akurat. Metode komparatif
digunakan untuk membandingkan fenomena atau kejadian yang muncul untuk
mendapatkan pengetahuan tentang daerah penelitian. Metode analitik berfungsi
mengadakan pengujian hipotesis-hipotesis dan interpretasi terhadap hasil analisa.
Data yang digunakan dalam menganalisis permasalahan adalah sumber data
sekunder, yaitu data yang sudah terdapat dalam pustaka-pustaka atau data resmi
yang dikumpulkan oleh Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik, ICO,PUSLIT
KOKA, FAO statistik serta instansi-instansi lain yang dapat memberikan
informasi dan data mengenai penelitian yang dilakukan.

6.4.1 Konstruksi Model Operasional Keragaan Pasar Kopi Domestik


Indonesia dan Pasar Dunia

Keragaan perdagangan kopi menggambarkan bagaimana hubungan


variabel-variabel pembentuk persamaan komponen perdagangan, diantaranya
keragaan pasar domestik kopi di Indonesia dan pasar dunia. Komponen
pembentuk keragaan pasar domestik terdiri dari penawaran kopi, impor kopi,
ekspor kopi Indonesia, produksi kopi, permintaan kopi, luas areal, produktivitas
dan penetapan harga di dalam negeri. Komponen yang menentukan keragaan
pasar dunia secara simultan diantaranya keragaan ekspor dan impor kopi negara-
Digital Repository Universitas Jember
1818181818

PDF Compressor Free Version

negara pelaku pasar dunia serta penetapan harga dunia. Terdapat keterkaitan atau
hubungan antara perilaku pasar dunia dan pasar domestic dimana perubahan
variabel pada pasar dunia akan berpengaruh pada pasar domestik dan begitu juga
sebaliknya.
Model ekonometrika yang digunakan terdiri dari 18 buah persamaan yaitu
16 buah persamaan struktural dan 2 buah persamaan identitas. Keterkaitan
persamaan-persamaan dalam model ekonometrika merupakan gambaran
keterkaitan secara simultan antara perilaku faktor permintaan kopi dan faktor
penawaran kopi Indonesia, faktor pembentukan harga, serta faktor-faktor lainnya
yang mempengaruhinya.Model ekonometrika dalam penelitian ini menggunakan
data runtut waktu (time series) dengan rentang waktu 26 tahun, yakni antara tahun
1980 hingga 2005. Pada periode penelitian terdapat tahun-tahun saat negara
Indonesia termasuk sedang dilanda krisis ekonomi, sehingga terdapat data-data
yang memiliki fluktuasi nilai yang cukup besar.
Secara keseluruhan model simultan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. API = a0 + a1PPID + a2PTEA + a3APIL
2. YPI = b0 + b1PFD + b2YPIL
3. QPPI = API*YPI
4. XPIINA = c0 + c1XPISIL + c2QPPI + c3XPINAM + c4QXWPI + c5EFIINA +
c6QMWPI
5. MPIINA = d0 + d1PWPID + d2DPI + d3POPINA + d4SDPIINA + d5XPIINA
6. DPI = e0 + e1PPID + e2QMWPI + e3INCM + e4PTEA + e5DPIL
7. PPID = f0 + f1XPIINA + f2SDPIINA + f3EFIINA + f4PWPID + f5PPIDL
8. SDPIINA= QPPI + STPIINA + MPIINA - XPIINA
9. PWPID = g0 + g1QPPW + g2PWPIDL
10. XPISIL = h0 + h1QPISIL + h2EFISIL + h3XPISILL
11. XPIGUA = i0 + i1QPIGUA + i2EFIGUA + i3QXWPI
12. XPINAM= j0 + j1QPINAM + j2EFINAM + j3XPINAML
13. XPICOL = k0 + k1QPICOL + k2QMWPI + k3PWPID + k4XPICOLL
14. MPIJER = l0 + l1EFIJER + l2PWPID + l3CONPIJER + l4MPIJERL
Digital Repository Universitas Jember
1919191919

PDF Compressor Free Version

15. MPIPAN = m0 + m1PWPID + m2EFIPAN


16. MPIITA = n0 + n1PWPID + n2CONPIITA + n3MPIITAL
17. MPICIS = o0 + o1EFICIS + o2PWPID + o3CONPICIS
18. MPIUSA = p0 + p1PWPID + p2MPIUSAL
Dan untuk dapat lebih memudahkan melihat keterkaitan seluruh
persamaan secara kompleks, maka secara grafis dapat digambarkan kinerja dari
paket model ekonometrika keragaan kopi Indonesia pada Gambar 38. Visualisasi
tersebut menjelaskan kesalingterkaitan dan saling pengaruh antar peubah endogen
dan eksogen dalam sebuah keragaan pasar kopi Indonesia sehingga dapat
dipahami secara ringkas mengenai keragaan pasar kopi domestik beserta pengaruh
positif dan negatifnya secara umum. Dalam hal ini juga dapat dijelaskan variabel-
variabel ekonominya secara kuantitatif.

(+) (+)
*Produktivitas (–) Harga pupuk *Ekspor Brasil (XPISIL)Nilai Tukar BrazilJumlah
Jumlah produksi kopi Brasil (QPISIL) (EFISIL)
produksi Vietnam (QPINAM)
(YPI) (PFD)
* Luas Areal
(+) (–)
(API) (+)
*Harga Kopi (+)
(+) * Ekspor kopi Indonesia(XPIINA)
(–)
(+) (PPID) (+) Nilai Tukar Vietnam (EFINAM)
(–) (+)
(+)
*Ekspor Vietnam (XPINAM)
Harga Teh (PTEA) (+) (+) (+)
* Produksi
(QPPI) (+) Nilai Tukar Indonesia (EFIINA)
* Jumlah impor kopi Indonesia (MPIINA) Jumlah ekspor dunia (QXWPI)
(+)
(+) (–) *Ekspor Guatemala (XPIGUA)

(–) (+) (+) (+)


(–) (–) Jumlah impor kopi dunia (QMWPI)
Jumlah Penduduk Indonesia (POPINA)
*Harga Dunia (PWPID) Nilai tukar Guatemala (EFIGUA)
*Permintaan kopi (DPI) (–)
Pendapatan (INCM) (+)
Produksi Dunia (QPPW)
(–)

(+)
(–) (+)
*Ekspor Colombia (XPICOL)
Stok kopi (STPIINA)Penawaran kopi Indonesia (SDPIINA)*Impor Jerman (MPIJER)
(–)
(–) *Impor Italia (MPIITA) (+)
(–) (+)
Jumlah Produksi Guatemala (QPIGUA)
Jumlah Produksi Colombia (QPICOL)
*Impor Jepang (MPIPAN) (–) (+)
*Impor Perancis (MPICIS)
(+)
(–)

Nilai Tukar Jerman (EFIJER)


Konsumsi Jerman (CONPIJER) (+) (–)
Nilai Tukar Jepang (EFIPAN) Konsumsi Italia (CONPIITA)
Impor Amerika (MPIUSA)
Nilai Tukar Perancis (EFICIS)
Konsumsi Perancis (CONPICIS)
Digital Repository Universitas Jember
2020202020

PDF Compressor Free Version

Keterangan: = Peubah Eksogen = Peubah Endogen


Gambar 38. Diagram Keragaan Pasar Kopi Domestik dan Pasar Dunia

6.4.2 Identifikasi Model


Sebelum dilakukan analisis terhadap persamaan, maka dilakukan
identifikasi terhadap seluruh persamaan sehingga dapat diketahui tingkat
identifikasi untuk masing-masing persamaan tersebut. Secara ringkas, hasil
identifikasi seluruh persamaan disajikan pada Tabel 6.1
Tabel 43. Hasil Identifikasi Persamaan-persamaan dalam Model Ekonometrika
Kopi Indonesia dan Dunia

(K-M) ≥ Order
No Model K M G
(G-1) Condition
Over
1 Persamaan 1 (API/Luas Areal) 51 3 18 48≥17Identified
Persamaan 2 Over
2 (YPI/Produktivitas) 51 2 18 49≥17Identified
3 Persamaan 3 (identitas) 51 - 18 - -
Persamaan 4 (XPIINA/Ekspor Over
4 Indonesia) 51 6 18 45≥17Identified
Persamaan 5 (MPIINA/Impor Over
5 Indonesia) 51 5 18 46≥17Identified
Persamaan 6 (DPI/Permintaan Over
6 Indonesia) 51 5 18 46≥17Identified
Persamaan 7 (PPID/Harga Kopi Over
7 Dometik) 51 5 18 46≥17Identified
8 Persamaan 8 (identitas) 51 - 18 - -
Persamaan 9 (PWPID/Harga Over
9 kopi Dunia) 51 2 18 49≥17Identified
Persamaan 10 (XPISIL/Ekspor Over
10 Brasil) 51 3 18 48≥17Identified
Persamaan 11 Over
11 (XPIGUA/Ekspor Guatemala) 51 3 18 48≥17Identified
Persamaan 12 Over
12 (XPINAM/Ekspor Vietnam) 51 3 18 48≥17Identified
Persamaan 13 (XPICOL/Ekspor Over
13 Colombia) 51 4 18 47≥17Identified
Digital Repository Universitas Jember
2121212121

Persamaan 14 (MPIJER/Impor Over


14 Jerman) 51 4 18 47≥17Identified
Persamaan 15 (MPIPAN/Impor Over
15 Jepang) 51 2 18 49≥17Identified
Persamaan 16 (MPIITA/Impor Over
16 Italia) 51 3 18 48≥17Identified
Persamaan 17 (MPICIS/Impor Over
17 Prancis) 51 3 18 48≥17Identified
Persamaan 18 (MPIUSA/Impor Over
18 Amerika) 51 2 18 49≥17Identified
Sumber : Lampiran 15
Hasil identifikasi terhadap persamaan-persamaan dalam model
ekonometrika pada Tabel 43, memperlihatkan bahwa seluruh persamaan
teridentifikasi secara berlebihan (Over Identified). Hal ini ditunjukkan dengan
nilai (K-M) ≥ (G-1) yang merata pada semua persamaan kecuali pada persamaan
identitas. Nilai (G-1) yang sebesar 17 jauh lebih kecil dibandingkan nilai (K-M)
pada persamaan yang bervariasi mulai dari 46-49. Apabila persamaan dalam
model simultan teridentifikasi secara over identified maka metode analisis
persamaan simultan yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil dua tahap
(Two Stage Least Square Methods/2 SLS) karena metode ini dapat mengatasi
timbulnya bias simultan. Apabila menggunakan metode Ordinary Least Squares
(OLS) akan menghasilkan koefisien yang bias, karena terjadi korelasi antara error
term dengan peubah endogen yang ada di sisi kanan persamaan.

6.4.3 Pendugaan Model dan Pengujian Parameter


Pendugaan model serta pengujian terhadap parameter dilakukan dengan
menggunakan analisis 2 SLS (Two Stage Least Squares Method) terhadap baik
pasar kopi domestik maupun pasar dunia. Hasil analisis tersebut seperti yang
disajikan pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2 menunjukkan bahwa model pada pasar domestik maupun model
pada pasar dunia memiliki hasil yang cukup baik. Secara umum, nilai uji tiap
peubah endogen memiliki nilai yang cukup tinggi dan baik pada Ra2 dan F-hitung.
Nilai Nilai-nilai uji statistik Durbin h pada semua persamaan menunjukkan
Digital Repository Universitas Jember
2222222222

bahwa semua persamaan mengalami gangguan serial korelasi. Secara


ekonometrika, hal ini telah sesuai karena penggunaan data runtut waktu. Selain itu
untuk keperluan peramalan maka yang lebih diperlukan dari hasil analisis 2SLS
adalah pada signifikansi tiap persamaan beserta nilai adjusted R square (Ra2).
Tabel 44. Hasil Analisis Two Stage Least Squares Method (2SLS) Pasar Domestik
dan Pasar Dunia
No Variabel Ra2 F-Test Sig-F DW Dh
Pasar Domestik
1 API (Luas Areal) 0,94825 128,27 <,0001 2,29 -1,19
2 YPI (Produktivitas) 0,64092 19,63 <,0001 1,80 -
3 XPIINA (Ekspor Kopi Indonesia) 0,84561 16,43 <,0001 - -
4 MPIINA (Impor Kopi Indonesia) 0,50835 3,93 0,0129 - -
5 DPI (Permintaan Kopi Indonesia) 0,42402 2,8 0,0467 2,07 -0,45
6 PPID (harga Kopi Domestik) 0,92276 45,4 <,0001 1,98 0,06
Pasar Dunia
1 PWPID (Harga Kopi Dunia) 0,63239 18,92 <,0001 1,69 1,258
2 XPISIL (Ekspor Brasil) 0,71781 17,81 <,0001 2,07 -0,349
3 XPIGUA (Ekspor Guatemala) 0,77580 24,22 <,0001 - -
4 XPINAM (Ekspor Vietnam) 0,97625 287,68 <,0001 2,72 -2,158
5 XPICOL (Ekspor Colombia) 0,68809 11,03 <,0001 1,96 0,144
6 MPIJER (Impor Jerman) 0,95357 102,70 <,0001 2,14 -0,403
7 MPIPAN (Impor Jepang) 0,77315 37,49 <,0001 - -
8 MPIITA (Impor Italia) 0,88856 55,81 <,0001 2,57 -1,662
9 MPICIS (Impor Prancis) 0,40017 4,67 0,0119 - -
10 MPIUSA (Impor Amerika) 0,39610 7,22 0,0039 1,67 -
Sumber : Lampiran 17

6.5 Aplikasi Pasar Kopi Domestik Indonesia dan Internasional


6.5.1 Pasar Kopi Domestik Indonesia
Pada Tabel 44 dapat diperhatikan bahwa pada pasar domestik terdiri dari
enam persamaan yaitu luas areal, produktivitas, ekspor Indonesia, impor
Indonesia, permintaan kopi Indonesia serta harga kopi domestik. Nilai F hitung
dari seluruh persamaan menunjukkan lebih dari nilai 0,05 (pada Sig-F) sehingga
seluruh model dalam pasar domestik dikatakan signifikan. Pada persamaan luas
areal (API) memiliki nilai Ra2 sebesar 94,83% yang berarti bahwa besarnya
pengaruh variabel-variabel predetermined adalah sebesar 94,83% dan sisanya
Digital Repository Universitas Jember
2323232323

sebesar 5,2% merupakan pengaruh variabel-variabel yang tidak masuk dalam


persamaan. Nilai uji Durbin-Watson diperoleh angka sebesar 2,09 dan karena
dalam persamaan ini terdapat variabel lag endogen yaitu APIL, maka perlu
dicermati nilai Durbin h statistik yang sebesar -1,19. Nilai statistik pada Durbin h
tersebut lebih kecil dari 1,645 sehingga dapat diketahui bahwa pada persamaan
luas areal terdapat gangguan serial korelasi. Hal ini sesuai dengan teori
ekonometrika, yakni terdapat gangguan autokorelasi untuk penelitian dengan
menggunakan data-data runtut waktu (times series). Secara ekonomi, luas areal
akan menentukan besarnya produksi kopi Indonesia, sehingga turut menentukan
besarnya penawaran kopi Indonesia.
Persamaan berikutnya yaitu produktivitas (YPI) memiliki nilai Ra 2 sebesar
64,09%, hal ini berarti variabel-variabel predetermined dalam persamaan tersebut
berpengaruh terhadap produktivitas sebesar 64,09% dan sisanya sebesar 35,91%
dipengaruhi oleh variabel lain di luar persamaan seperti banyaknya penggunaan
saprodi pupuk, bibit, jumlah tenaga kerja dan lain sebagainya. Dalam persamaan
produktivitas (YPI) juga terdapat variabel lag endogen yaitu YPIL, oleh karena
digunakan uji Durbin h. Namun demikian, nilai statistik Durbin h tidak dapat
dihitung karena terdapat nilai negatif dalam akar kuadrat. Gangguan serial
korelasi dalam persamaan simultan memiliki identifikasi yang sama dengan
gangguan autokorelasi pada regresi, yakni adanya korelasi diantara data observasi
yang tersusun dalam rangkaian waktu (time series data).

Selanjutnya pada persamaan ekspor kopi Indonesia (XPIINA), variabel-


variabel predetermined berpengaruh sebesar 84,56% dan sisanya sebesar 15,44%
dipengaruhi oleh variabel lain di luar persamaan. Besarnya jumlah ekspor kopi
Indonesia ini nantinya akan mempengaruhi besarnya penawaran kopi Indonesia di
dalam negeri yang dapat memicu naiknya harga domestik ataupun tingginya
impor kopi Indonesia. Pada persamaan impor kopi Indonesia (MPIINA), nilai Ra 2
sebesar 50,84% yang berarti bahwa variabel-variabel predetermined dalam
persamaan tersebut berpengaruh terhadap impor kopi sebesar 50,84% dan sebesar
49,16% dipengaruhi oleh variabel lain di luar persamaan. Nilai Ra2 pada
Digital Repository Universitas Jember
2424242424

persamaan permintaan kopi Indonesia (DPI) menunjukkan bahwa variabel-


variabel predetermined dalam persamaan tersebut berpengaruh terhadap
permintaan kopi Indonesia sebesar 42,4 % dan sisanya sebesar 57,6% dipengaruhi
oleh variabel lain yang ada di luar persamaan. Hasil prosentase tersebut
menunjukkan bahwa variabel di luar model jauh lebih banyak daripada yang
terdapat di dalam model yang diperlihatkan dengan nilai Ra 2 yang kurang dari
50%. Persamaan ini memiliki variabel lag endogen di dalamnya, yaitu permintaan
kopi pada tahun sebelumnya (DPIL). Nilai Durbin Watson menunjukkan nilai
2,07, dan nilai Durbin h menunjukkan nilai sebesar -0,45 yang lebih kecil dari
1,645 dan berarti bahwa dalam persamaan ini terdapat gangguan serial korelasi.
Persamaan harga kopi memiliki nilai Ra2 sebesar 92,28%. Hal ini berarti
variabel-variabel predetermined dalam persamaan tersebut berpengaruh terhadap
harga kopi sebesar 92,28% dan 7,7% dipengaruhi oleh variabel lain di luar
persamaan. Model ini juga memiliki persamaan lag endogen di dalamnya, yaitu
harga kopi pada tahun sebelumnya (PPIDL). Nilai Durbin Watson menunjukkan
nilai 1,98, dan nilai Durbin h menunjukkan nilai sebesar 0,06 yang lebih kecil dari
1,645 dan berarti bahwa dalam persamaan ini terdapat gangguan serial korelasi
dan hal ini sesuai dengan teori ekonometrika, yakni terdapat gangguan
autokorelasi untuk penelitian dengan menggunakan data-data runtut waktu (time
series).

6.5.2 Pasar Kopi Dunia


Pada kajian ini digunakan 5 negara importir dan 5 negara eksportir kopi
terbesar di dunia. Negara pengimpor kopi antara lain Amerika (MPIUSA),
Jepang(MPIPAN), Jerman(MPIJEER), Perancis(MPICIS) dan Italia(MPIITA),
sedangkan negara eksportir antara lain Brasil(XPISIL), Vietnam(XPINAM),
Colombia(XPICOL), Guatemala (XPIGUA) dan Indonesia (XPIINA). Dan
sebagai salah satu unsur dalam keragaan kopi dunia adalah persamaan harga dunia
(PWPID). Pada pasar dunia ini, seluruh persamaan juga tergolong dalam
Digital Repository Universitas Jember
2525252525

signifikan yang diindikasikan dengan nilai F hitung yang lebih kecil dari 0,05
(pada Sig-F).
Untuk melihat besarnya pengaruh variabel-variabel predetermined
terhadap masing-masing persamaan, maka dilihat dari nilai Ra 2. Variabel-variabel
predeterminan berpengaruh terhadap persamaan ekspor Brasil (XPISIL) sebesar
71,78% dan sebesar 28,22% dipengaruhi oleh variabel lain di luar persamaan.
Nilai Durbin Watson sebesar 2,066 dan nilai Durbin h sebesar -0,35 yang kurang
dari 1,645 dan berarti bahwa dalam persamaan ini terdapat gangguan serial
korelasi. Persamaan ekspor Vietnam (XPINAM) dipengaruhi oleh variabel-
variabel predeterminednya sebesar 97,63% dan sisanya sebesar 2,38%
dipengaruhi oleh variabel lain di luar persamaan. Nilai Durbin Watson
menunjukkan sebesar 2,72 dan nilai Durbin h sebesar -2,16 yang lebih kecil dari
1,645 dan dikatakan bahwa terdapat gangguan autokorelasi. Variabel-variabel
predetermined dalam persamaan ekspor Colombia (XPICOL) berpengaruh
sebesar 68,81% dan sisanya sebesar 31,19% dipengaruhi oleh variabel lain di luar
persamaan. Nilai Durbin Watson menunjukkan sebesar 1,96 dan nilai Durbin h
sebesar 0,14 yang lebih kecil dari 1,645 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat
gangguan autokorelasi.
Persamaan ekspor Guatemala (XPIGUA) tersebut memiliki nilai Ra2
sebesar 77,58%. Hal ini berarti variabel-variabel predetermined dalam persamaan
tersebut berpengaruh terhadap ekspor Guatemala sebesar 77,58% dan sebesar
22,42% dipengaruhi oleh variabel lain di luar persamaan. Variabel-variabel
predetermined dalam persamaan impor Amerika (MPIUSA) berpengaruh sebesar
39,61% dan selebihnya sebesar 60,4% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain
dalam model. Model ini memiliki variabel lag endogen, yakni impor kopi
Amerika pada tahun sebelumnya (MPIUSAL). Nilai Durbin Watson yang
dihasilkan sebesar 1.67 dan nilai Durbin h menujukkan bahwa nilai statistik
tersebut tidak dapat dihitung karena terdapat nilai negatif dalam akar kuadrat.
Gangguan serial korelasi dalam persamaan simultan memiliki identifikasi yang
sama dengan gangguan autokorelasi pada regresi, yakni adanya korelasi diantara
data observasi yang tersusun dalam rangkaian waktu (time series data).
Digital Repository Universitas Jember
2626262626

Selanjutnya pada persamaan impor, untuk persamaan impor Jerman


MPIJER) dipengaruhi variabel-variabel predeterminan sebesar 95,36%;
persamaan impor Jepang (MPIPAN) sebesar 77,32%; persamaan impor Prancis
(MPICIS) dipengaruhi sebesar 40% serta persamaan impor Amerika (MPIUSA)
dipengaruhi sebesar 39,61%. Nilai Durbin Watson pada persamaan impor Jerman
dan impor Italia masing-masing sebesar -0,403 dan -1,662 yang nilainya lebih
kecil dari 1,645 dan dikatakan bahwa terdapat gangguan autokorelasi.
Setelah melihat hasil pendugaan terhadap model, maka selanjutnya melihat
nilai statistik pendugaan dan hasil uji t untuk mengetahui pengaruh variabel
eksogen terhadap variabel endogen secara parsial. Nilai-nilai tersebut disajikan
pada Tabel 45.
Digital Repository Universitas Jember
2727272727

Tabel 45. Nilai Statistik Parameter Pendugaan dan Uji t pada Pasar Kopi
Domestik

Koefisien Standard
Variabel Regresi Error t-test Sig-t
API
Intercept a0 46280,26 87768,41 0,53 0,6035
PPID (Harga Kopi Domestik
/Rp/Ton) a1 0,029879* 0,01077 2,77 0,0114
PTEA (Harga Teh/Rp/Kg) a2 -0,61556 1,584,921 -0,39 0,7016
APIL (Luas areal sebelumnya/Ha) a3 0,869646* 0,154021 5,65 <,0001
YPI
Intercept b0 5,164,231 1,426,058 3,62 0,0015
PFD (Harga Pupuk/Rp/Ton) b1 -0,00018* 0,000062 -2,96 0,0072
YPIL
(Produktivitassebelumnya/Kg/Ha) b2 1,57E-01 2,24E-01 0,7 0,4925
XPIINA
Intercept c0 -179519 73983,91 -2,43 0,026
XPISIL (Ekspor Brasil/Ton) c1 -0,0259 0,033887 -0,76 0,4545
QPPI (Jumlah Produksi/Ton) c2 0,000644* 0,000106 6,1 <,0001
XPINAM (Ekspor Vietnam/Ton) c3 -0,11204 0,055816 -2,01 0,06
QXWPI (Ekspor Dunia/Ton) c4 0,004261 0,004441 0,96 0,3501
EFIINA (Nilai Tukar Rp/$) c5 2,478,608 4,041,099 0,61 0,5473
QMWPI (Impor Dunia/Ton) c6 0,056494* 0,017501 3,23 0,0047
MPIINA
Intercept d0 -17673,7 9,133,332 -1,94 0,068
PWPID (Harga Kopi Dunia/$) d1 -595,093 113,274 -0,53 0,6054
DPI (Permintaan Indonesia/Ton) d2 0,044227 0,064587 0,68 0,5018
POPINA (Populasi/000 jiwa) d3 0,122865* 0,048366 2,54 0,02
SDPIINA(Penawaran
Indonesia/Ton) d4 -2,00E-05 0,000067 -0,36 0,7251
XPIINA (Ekspor Indonesia/Ton) d5 1,32E-02 0,064771 0,2 0,8406
DPI
Intercept e0 330219,4 83222,72 3,97 0,0008
PPID (Harga Kopi
Domestik/Rp/Ton) e1 -0,00668 0,00472 -1,41 0,1734
QMWPI (Impor Dunia/Ton) e2 -0,04507* 0,017735 -2,54 0,0199
INCM (Pendapatan per
Kapita/Rp/Tahun) e3 0,042562 0,026307 1,62 0,1222
PTEA (Harga Teh/Rp/Kg) e4 -259,123 202,177 -1,28 0,2154
DPIL (Permintaan
sebelumnya/Ton) e5 -0,41726* 0,17783 -2,35 0,03
PPID
Intercept f0 -775487 1310700 -0,59 0,5611
Digital Repository Universitas Jember
2828282828

XPIINA (Ekspor Indonesia/Ton) f1 918,068 5,182,503 1,77 0,0925


SDPIINA (Penawaran
Indonesia/Ton) f2 -0,00843 0,004927 -1,71 0,1034
EFIINA (Nilai Tukar Rp/$) f3 346,3193* 8,020,906 4,32 0,0004
PWPID (Harga Kopi Dunia/$) f4 8528,205* 2,607,435 3,27 0,004
PPIDL (Harga Kopi Domestik
Sebelumnya) f5 0,598398* 0,129536 4,62 0,0002
Sumber : Lampiran 16
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95%

6.6 Keragaan Pasar Kopi Indonesia / Penawaran Kopi Indonesia (SDPIINA)


Penawaran kopi Indonesia terdiri dari beberapa persamaan lain yang
dikategorikan dalam penawaran karena merupakan elemen pembentuk dari
penawaran itu sendiri. Persamaan tersebut antara lain persamaan luas areal (API),
produktivitas (YPI), produksi kopi (QPPI), ekspor kopi Indonesia (XPIINA) dan
impor kopi Indonesia (MPIINA). Persamaan untuk penawaran kopi Indonesia
sebenarnya merupakan persamaan identitas yang diperoleh dari jumlah produksi
kopi ditambah dengan stok dan ditambah dengan jumlah impor kopi Indonesia
dan dikurangi dengan ekspor kopi Indonesia.

A. Luas Lahan (API)


Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada Tabel 8, maka diketahui
untuk luas areal (API) dipengaruhi oleh harga kopi domestik (PPID) dan luas
areal pada tahun sebelumnya (APIL). Hal ini berdasarkan pada nilai t hitung pada
kedua variabel tersebut yang lebih kecil dari 0,05 (Lihat pada Sig-t). Nilai t hitung
pada variabel harga kopi (PPID) sebesar 2,77 dan signifikansi t hitungnya sebesar
0,0114 (< 0,05). Koefisien regresinya sebesar ,029879 yang berarti bahwa
peningkatan harga kopi sebesar Rp1/ton akan dapat mendorong para petani
memperluas areal tanam usahatani kopinya sebesar 0,029879 ha. Harga kopi
merupakan salah satu motivasi bagi para petani untuk dapat memperbesar
produksi melalui usaha ekstensifikasi maupun intesifikasi.

B. Produktivitas (YPI)
Digital Repository Universitas Jember
2929292929

Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya produktivitas dalam persaman


ini dipengaruhi oleh faktor harga pupuk. Harga pupuk (PFD) berpengaruh nyata
(pada taraf kepercayaan 95%) terhadap produktivitas kopi Indonesia dengan nilai t
hitung sebesar -2,96 dan signifikansi t hitungnya sebesar 0,0072 yang nilainya
lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat dikatakan signifikan. Nilai pada koefisien
regresi sebesar -0,00018 dapat diartikan bahwa harga pupuk ini akan dapat
menurunkan produktivitas tanaman kopi sebesar 0,00018 Kg/Ha untuk setiap
kenaikan harganya sebesar Rp 1/Ton Urea. Hasil analisis ini sesuai dengan
fenomena ekonomi dan kondisi lapang dimana apabila terjadi kenaikan harga
input pupuk, maka para petani cenderung untuk mengurangi jumlah pembelian
pupuk yang dapat meningkatkan biaya produksi. Dengan demikian, pengurangan
pembelian jumlah pupuk akan mengakibatkan pemberian pupuk pada tanaman
juga mengalami pengurangan dosis sehingga tanaman kopi tidak mendapatkan
insentif pupuk seperti yang seharusnya. Kondisi tersebut menyebabkan tanaman
mengalami penurunan dalam kemampuan menghasilkan produksi kopinya.

C. Produksi Kopi Indonesia (QPPI)


Persamaan produksi kopi Indonesia (QPPI) ini merupakan variabel
identitas. Variabel ini diperoleh dengan cara mengalikan luas areal tanaman kopi
dengan produktivitasnya. Produksi kopi merupakan unsur yang sangat penting
dalam keragaan pasar kopi Indonesia karena ikut menentukan besarnya jumlah
barang yang tersedia untuk diperdagangkan. Produksi kopi Indonesia ini turut
mempengaruhi pada persamaan ekspor kopi Indonesia dan penawaran kopi.
Perubahan jumlah produksi otomatis akan mempengaruhi besarnya jumlah kopi
yang ditawarkan baik pada level domestik maupun pada pasar internasional.

D. Ekspor Kopi Indonesia (XPIINA)


Pada persamaan ekspor, variabel produksi memiliki peran yang cukup
penting dalam menentukan jumlah ekspor. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji t
hitung yang ditunjukkan pada Tabel 10 yaitu sebesar 6,1 dan signifikansi t
hitungnya sebesar < 0,0001 (< 0,05) yang berarti bahwa variabel ini memang
Digital Repository Universitas Jember
5050505050

C. Kenaikan 20%.
Selanjutnya pada kenaikan harga pupuk sebesar 20%, maka kemungkinan
produktivitas menurun semakin besar lagi, yakni dari 501,8 ha menjadi 485,6 ha
atau dapat dikatakan bahwa penurunannya sebesar 3,23%. Dengan semakin
menurunnya daya beli petani kopi terhadap pupuk, maka pemupukan yang terus-
menerus dikurangi tersebut pada akhirnya mengakibatkan produksi mengalami
penurunan pula sebesar 16.390.000 ton (4,07%). Dengan jumlah produksi yang
ikut menurun ini membuat penawaran kopi berada pada 3,86E+08 ton dari posisi
semula sebesar 4.02E+08 ton. Selisih penawaran yang terjadi adalah sebesar
16.370.000 ton atau sebesar 4,07%.
Ekspor juga terpengaruh dengan adanya penurunan produksi dan
penawaran tersebut. Posisi ekspor menurun sebesar 14.630 ton dari jumlah ekspor
sebelumnya yang sebesar 309.076 ton atau mengalami penurunan sebesar 4,73%.
Sedangkan pada impor justru mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat dari
2614,7 ton menjadi 4542,3 ton atau terjadi peningkatan sebesar 73,72%. Hal ini
dikarenakan permintaan yang meningkat sebesar 1.084 ton atau 1,34%. Harga
kopi domestik disini mengalami penurunan dari Rp.3.851.995 per ton menjadi
Rp.3.687.933 per tonnya dan selisih penurunan harga yang terjadi adalah sebesar
Rp.164.062,- per tonnya atau 4,26%.

D. Kenaikan 30%.
Hasil simulasi pada peningkatan harga pupuk sebesar 30% mengakibatkan
semakin menurunnya produktivitas kopi, yakni sebesar 25,4 Kg/ha (5,06%).
Dengan produktivitas yang semakin menurun, maka produksi juga mengalami
penurunan yakni sebesar 26.140.000 ton atau sebesar 6,49% dari posisi semula
sebesar 4,02E+08 ton. Produksi yang menurun ini bukan hanya dikarenakan
jumlah produktivitasnya, tetapi juga luasan areal yang mengalami penurunan pula
sebesar 4.169 ha.
Lebih jauh lagi, produksi yang menurun membuat penawaran kopi juga
mengalami penurunan sebesar 26.110.000 ton (6,49%). Turunnya produksi kopi
Digital Repository Universitas Jember
5151515151

tersebut juga mengakibatkan jumlah ekspor Indonesia bergerak turun dari 309.076
ton menjadi 288.164 ton. Penurunan ekspor sebesar 20.912 ton atau 6,77% ini
berkebalikan dengan impor kopi Indonesia yang meningkat sebesar 2032,4 ton
(77,73%).
Permintaan kopi Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 920,3 ton
dari permintaan sebelumnya sebesar 81.067,6 ton menjadi 81.987,9 ton.
Permintaan yang meningkat ini salah satu faktornya dipengaruhi oleh turunnya
harga kopi yang dalam hal ini mengalami penurunan sebesar Rp.139.557,- ton.
Hasil simulasi terhadap kebijakan harga pupuk tersebut menunjukkan
bahwa kondisi perkebunan rakyat di Indonesia sangat rentan terhadap adanya
perubahan dari segi input. Semakin tinggi kenaikan factor input yang dalam hal
ini diwakili oleh harga pupuk, maka semakin berkurang stabilitas keragaan kopi
domestic. Secara umum dapat disimpulkan bahwa subsidi pemerintah memang
masih diperlukan oleh kalangan petani kopi rakyat. Hal ini dapat membantu
sekaligus memotivasi untuk dapat meningkatkan kinerja perkopian Indonesia baik
dari segi kualitas maupun kuantitasnya untuk mendukung perekonomian nasional.
Namun demikian, kebijakan tidak hanya dilihat dari satu sudut pandang saja,
tetapi juga perlu dilakukan keseimbangan-keseimbangan pada kebijakan-
kebijakan lainnya agar lebih baik seperti permodalan, pembinaan serta bantuan
teknologi.

6.9 Glosarry
1. Kopi dalam lingkup kajian ini merupakan produk hasil dari usaha perkebunan
dalam bentuk kering ose dalam satuan ton
2. Produksi kopi merupakan hasil panen kopi dalam bentuk kopi ose
3. Usahatani kopi adalah organisasi dari alam, tenaga, dan modal dengan luasan
tertentu yang bertujuan memproduksi kopi di lapangan pertanian
Digital Repository Universitas Jember
5252525252

4. Keragaan pasar kopi merupakan potret atau gambaran mengenai pasar kopi
yang ditinjau dari permintaan kopi, penawaran kopi, pembentukan harganya,
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
5. Kebijakan harga pupuk merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk
meringankan beban petani dalam menurunkan biaya produksi demi
kesejahteraan petani. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah berupa Harga
Eceran Tertinggi (HET) yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian.
6. Harga kopi adalah adalah harga rata-rata kopi dari berbagai macam varietas
Indonesia dinyatakan dalam satuan rupiah per ton (Rp/Kg)
7. Harga kopi dunia yang dipakai dalam penelitian ini yaitu harga kopi dunia
rata-rata per tahun yang dinyatakan dalam satuan US Dollar per kilogram
(US$/Kg)
8. Nilai tukar valuta asing dalam lingkup penelitian ini merupakan rata-rata
dalam satu tahun nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika
Serikat dinyatakan dalam satuan rupiah per US Dollar (Rp/US$)
9. Penawaran kopi merupakan jumlah kopi yang ditawarkan untuk dikonsumsi
secara domestik maupun dunia pada tingkat harga dan jumlah tertentu
10. Permintaan kopi merupakan jumlah kopi yang diminta untuk dikonsumsi
secara domestik oleh Indonesia pada tingkat harga dan jumlah tertentu
11. Model ekonometrika dalam penelitian ini merupakan model yang
dipergunakan untuk melihat keragaan pasar kopi Indonesia dengan
membangun persamaan simultan
12. Identifikasi model merupakan tahapan untuk melihat apakah suatu persamaan
dalam model dapat didentifikasi, bertujuan untuk mengetahui apakah
persamaan tersebut dapat diselesaikan untuk diperoleh hasil pendugaan
parameternya
13. Metode pendugaan parameter dalam penelitian ini adalah teknik 2 SLS
dengan bantuan software komputer SAS/ETS ver 8.2
14. Validasi model dalam penelitian ini untuk melihat sejauh mana suatu model
dapat mewakili dunia nyata, sehingga simulasi terhadap model dapat menjadi
Digital Repository Universitas Jember
5353535353

lebih signifikan. Validasi model menggunakan beberapa uji statistik untuk


menentukan nilai MPE, RMSPE, U-Theil, UM, US, dan UC.

Anda mungkin juga menyukai