Kecerdasan Emosional Sebagai Prediktor Resiliensi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 15

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by Jurnal Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 8 No. 2, Desember 2019
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Hal. 325-339
DOI: https://doi.org/10.30996/persona.v8i2.2248
Website: http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/persona

Kecerdasan emosi sebagai prediktor resiliensi psikologis pada remaja di panti asuhan

Fitri Apriani
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI, Jalan Letnan Jendral Suprapto Cempaka Putih, DKI Jakarta
Ratih Arruum Listiyandini
Fakultas Psikologi Universitas YARSI, Jalan Letnan Jendral Suprapto, Cempaka Putih, DKI Jakarta
E-mail: [email protected]

Abstract
Young people living in social institutions are more vulnerable to have mental health problems. Thus,
they need to have psychological resilience, which is the ability to thrive in the face of adversity. The
aim of the study is to investigate how much emotional intelligence can predict the psychological
resilience of adolescents living at social institutions (orphanage). Research used quantitative
approach and correlational design. In this study, by using purposive sampling technique, 145
adolescents aged 11 - 18 years living at orphanage around Jakarta were participated. Adaptation of
resilience scale from Connor & Davidson was used to measure the psychological resilience and the
scale of emotional intelligence was an adapted scale from theory of Salovey and Mayer. Both adapted
scale shown good reliability index indicated that they can use to measure the variables consistently.
The statistical analysis using linear regression test indicate that emotional intelligence can predict
psychological resilience significantly and positively. It is implied that emotional intelligence is being an
important factor for resilience development among orphanage youth. Thus, it is imperative to
cultivate emotional intelligence aspects in resilience building program for young people living in social
shelters.
Keywords : Adolescents; Emotional intelligence; Orphanage; Resilience

Abstrak
Remaja di panti asuhan rentan mengalami berbagai masalah kesehatan mental. Oleh karena itu,
mereka membutuhkan resiliensi psikologis, yaitu kemampuan untuk bisa bangkit dari masalah yang
dihadapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis sejauh mana kecerdasan emosional
dapat menjadi prediktor dari resiliensi psikologis pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Penelitian
yang dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional. Menggunakan
teknik sampling purposive, sebanyak 145 orang remaja berusia 11 – 18 tahun yang tinggal di panti
asuhan yang ada wilayah sekitar Jakarta dilibatkan dalam penelitian ini. Adaptasi skala resiliensi dari
Connor dan Davidson dan skala kecerdasan emosional berdasarkan teori Salovey dan Mayer untuk
mengukur kecerdasan emosional digunakan di dalam penelitian ini. Kedua skala yang diadaptasi
menunjukkan reliabilitas yang baik sehingga layak digunakan. Hasil analisis statistik dengan
menggunakan uji regresi sederhana menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional menjadi
prediktor yang signifikan terhadap resiliensi psikologis secara signifikan dan positif Hasil ini
mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional menjadi faktor yang penting dalam peningkatan
resiliensi psikologis remaja panti asuhan. Oleh karena itu, perlu untuk menumbuhkan aspek-aspek
yang menyusun kecerdasan emosional di dalam program pengembangan resiliensi psikologis pada
remaja yang tinggal di panti asuhan.
Kata kunci : Kecerdasan emosi; Panti asuhan; Remaja; Resiliensi

Copyright © 2019 Fitri Apriani, Ratih Arruum Listiyandini. All Right Reserved
Submitted: 2019-03-13 Revised: 2019-06-17 Accepted: 2019-07-28 Published: 2019-12-30

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Fakultas Psikologi


E-mail: [email protected] 325 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Fitri Apriani, Ratih Arruum Listyandini Volume 8 No. 2, Desember 2019

Pendahuluan
Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak hingga menuju
masa dewasa. Pada masa ini, remaja laki-laki maupun perempuan, mulai matang secara
fisik, psikologis, maupun kognitif (Wong, dalam Mulia, Elita, & Woferst, 2014). Lebih lanjut,
pada masa ini, peran keluarga sangat penting dalam membantu remaja menjadi lebih baik
dan siap dalam menghadapi tugas perkembangannya. Keluarga merupakan media
penyerapan norma serta nilai yang berlaku untuk dijadikan bagian dari kepribadian remaja.
Dukungan yang diberikan oleh orang tua memegang peran penting agar remaja mampu
mengendalikan diri serta mengatasi berbagai tantangan hidup yang terjadi (Napitupulu,
2009).
Pada kenyataannya, tidak semua remaja dapat tinggal bersama dengan
keluarganya dalam satu rumah. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mereka
harus berpisah dengan keluarganya, seperti ekonomi yang rendah, Perceraian, menjadi
yatim, piatu, atau bahkan yatim piatu. Kondisi krisis inilah yang menjadi salah satu faktor
yang membuat sebagian remaja harus tinggal atau dititipkan di sebuah lembaga bernama
panti asuhan (Mulia, Elita, & Woferst, 2014). Menurut Torong (2014), panti asuhan
merupakan lembaga yang akan membantu agar anak mendapatkan pelayanan,
pengasuhan, pendidikan, dan pemenuhan hak–hak anak. Sebagai contoh, data dari
Departemen Sosial, UNICEF, dan Yayasan Save The Children (dalam Hartati & Respati, 2012)
justru menunjukkan bahwa penghuni panti asuhan didominasi oleh anak-anak dari kelas
sosial ekonomi bawah namun masih memiliki orangtua dengan persentase sebesar 94%
dan hanya sekitar 6% yang tidak memiliki orangtua.
Peran lembaga panti asuhan dinilai belum dapat menggantikan peran orangtua
dalam keluarga serta fungsi keluarga, dimana ditemukan bahwa panti asuhan tidak
memberikan pengasuhan sama sekali melainkan hanya memberikan akses pendidikan saja
(Depsos, dalam Yunita, 2014). Kurangnya fungsi pengasuhan di panti asuhan, terlihat dari
kurangnya dukungan emosional dikarenakan jumlah pengasuh tidak sebanding dengan
jumlah remaja di panti asuhan, sehingga kondisi ini menyebabkan kurang merasa
diperhatikan, disayangi, dan dibimbing secara mendalam (Napitupulu, 2009). Seringkali
perilaku teman-teman di panti asuhan memicu terjadinya pertengkaran, hal ini dapat
menyebabkan remaja panti asuhan menarik diri dan sulit menjalin hubungan sosial dengan
orang lain, sehingga memiliki masalah sosial di sekolah, baik dengan teman maupun guru
(Tsuraya, 2017). Mereka juga menjadi kurang dapat berekspresi karena adanya peraturan
yang harus ditaati seperti pembagian piket, jadwal belajar, ibadah, berdoa, dan jadwal
keluar masuk panti asuhan (Napitupulu, 2009).
Selama di panti asuhan, remaja tinggal terpisah dari orangtuanya dan keluarganya.
Dengan kondisi ini, remaja juga dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perbedaan
situasi dibandingkan remaja pada umumnya, tidak adanya figur orang terdekat, maupun
adanya kebiasaan yang berubah (Karolina, dalam Pahalani, 2015). Jika tekanan ini tidak
berhasil diatasi, maka dapat menyebabkan konsep diri anak menjadi negatif, seperti

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 326


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Kecerdasan emosi sebagai predictor resiliensi psikologis
pada remaja di panti asuhan

merasa rendah diri dan menganggap bahwa mereka berbeda dengan kebanyakan remaja
yang masih memiliki orangtua. Kondisi ini dapat menyebabkan remaja panti asuhan kurang
mampu untuk menjalin relasi yang hangat dengan orang lainnya (Hartati & Respati, 2012).
Berdasarkan fenomena diatas, tampak bahwa kondisi di panti asuhan yang kurang
memadai tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak negatif yang mengikutinya
(Tsuraya, 2017). Ditemukan bahwa seorang anak, khususnya remaja yang tinggal di panti
asuhan memiliki kecenderungan untuk mudah stres maupun depresi, serta lebih rentan
mengalami berbagai macam tekanan dan permasalahan daripada remaja pada umumnya
yang masih memiliki keluarga yang utuh (Aisha, 2014). Dengan adanya berbagai
permasalahan yang muncul dalam kehidupan remaja di panti asuhan, dapat dikatakan
bahwa mereka rentan mengalami berbagai permasalahan yang dapat memunculkan
perilaku yang maladaptif (Pahalani, 2015). Oleh karena itu, resiliensi dibutuhkan untuk
membantu mereka dapat bangkit dari kenyataan yang tidak diinginkan, seperti kondisi
kehilangan orang tua dan masalah ekonomi, sehingga mereka dapat menjalankan
hidupnya dengan lebih produktif (Tsuraya, 2017).
Resiliensi psikologis merupakan bentuk dari kualitas pribadi yang membantu
seseorang dalam menghadapi kesulitan sehingga memungkinkan seseorang untuk
berkembang (Connor & Davidson, 2003). Individu yang memiliki resiliensi psikologis yang
baik akan mampu bangkit kembali setelah mengalami kondisi yang sulit dan mampu
meningkatkan kualitas dan kemampuan dirinya (Aisha, 2014). Connor & Davidson (2003)
menyebutkan bahwa terdapat berbagai aspek yang menyusun resiliensi psikologis, yaitu:
adanya kompetensi personal dan standar yang tinggi, serta keuletan. Berikutnya adalah
memiliki keyakinan pada insting, mampu menoleransi afek negatif, dan kuat dalam
menghadapi stres, menerima perubahan secara positif, serta mampu menjalin hubungan
yang aman dengan orang lain. Mereka yang resilien juga memiliki kontrol diri ketika
menghadapi kondisi sulit dan memanfaatkan spiritualitas yang mereka miliki.
Terdapat beberapa penelitian terdahulu mengenai resiliensi pada remaja panti
asuhan. Peneliti sebelumnya (Rahmawati, Listiyandini & Rahmatika, 2019) melakukan studi
awal mengenai gambaran resiliensi remaja panti asuhan di beberapa panti asuhan yang
berada di Bekasi dan Jakarta dengan memberikan kuesioner dan wawancara, dimana
didapatkan hasil bahwa 80% remaja panti asuhan tidak bisa tenang pada saat situasi yang
menekan sehingga mudah merasa cemas, stres, mudah marah, tidak percaya diri bahkan
putus asa. Namun demikian, jika remaja panti asuhan memiliki resiliensi psikologis yang
tinggi, maka permasalahan kualitas hidup yang mereka miliki juga akan teratasi
(Rahmawati, Listiyandini, & Rahmatika, 2019). Kaur dan Rani (2015) juga menjelaskan
dalam penelitian sebelumnya bahwa remaja yang tidak tinggal di rumah, termasuk mereka
yang tinggal di panti asuhan, memiliki resiliensi yang lebih rendah dibandingkan remaja
yang tinggal di rumah memiliki resiliensi yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian yang
menggambarkan faktor yang mempengaruhi kemunculan resiliensi psikologis pada
populasi ini penting untuk dilakukan.

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 327


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Fitri Apriani, Ratih Arruum Listyandini Volume 8 No. 2, Desember 2019

Jika melihat salah satu aspek resiliensi psikologis, yaitu penerimaan pada
perubahan yang positif dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, maka
dibutuhkan kemampuan untuk memahami, berpikir kreatif, dan mengendalikan emosi diri
maupun orang lain, untuk mengembangkan resiliensi psikologis pada individu.
Kemampuan tersebut berhubungan dengan kecerdasan emosional. Menurut Mayer,
Salovey, Carus, dan Sitarenios (2003), kecerdasan emosional merupakan kemampuan
untuk memahami perasaan dan emosi, baik diri sendiri maupun orang lain, mengidetifikasi
perbedaan yang ada di antara emosi yang dirasakan, serta memanfaatkan informasi
mengenai emosi sebagai acuan dalam mengelola dan memikirkan keputusan sebelum
bertindak.
Penelitian yang dilakukan oleh Hurriyati (2014) menunjukkan bahwa remaja panti
asuhan sering dianggap berbeda dibandingkan masyarakat pada umumnya dikarenakan
latar belakang sosial ekonomi mereka. Terdapat pula adanya label negatif yang mungkin
disematkan dan mereka sering ditempatkan sebagai sosok yang diberi belas kasihan,
karena dianggap sebagai anak-anak terlantar dan kekurangan (Mazaya & Supradewi, 2011).
Hartini (dalam Mazaya & Supradewi, 2011) menemukan gambaran remaja panti asuhan,
diantaranya yaitu sering merasa rendah diri, menarik diri, bersikap pasif, serta memiliki
kecemasan yang cenderung tinggi. Kepribadian – kepribadian negatif remaja panti asuhan
tersebut dapat berdampak pada kecerdasan emosinya, karena mereka akan sulit
mengungkapkan perasaan yang ada pada dirinya untuk bisa menjalin relasi yang sehat
dengan orang di sekitarnya. Sebaliknya, apabila mereka memiliki kecerdasan emosi, maka
mereka akan mampu memandang masa depan secara lebih optimis dan yakin bahwa ia
mampu menghadapi berbagai kesulitan serta kegagalan dalam hidup. Riset sebelumnya
menunjukkan bahwa dengan menerapkan kecerdasan emosional akan berdampak positif
pada berbagai area kehidupan, seperti di bidang akademik, kesehatan fisik, relasi
interpersonal, serta resiliensi psikologis (Seligman, dalam Setyowati, Hartati, & Sawitri,
2010).
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan resiliensi dengan
variabel psikologis lain pada remaja panti asuhan. Beberapa diantaranya yang pernah
diteliti hubungannya dengan resiliensi remaja panti asuhan adalah dukungan sosial
(Hadiningsih, 2014), religiusitas (Aisha, 2014), dan harga diri (Hidayati, 2014). Untuk
kecerdasan emosional pada remaja panti asuhan, variabel yang ditemukan berhubungan
adalah seperti penyesuaian diri (Lusiawati, 2013) serta kelekatan dengan teman sebaya
(Illahi & Akmal, 2018). Namun demikian, penelitian-penelitian sebelumnya belum menelaah
hubungan atau peranan langsung dari kecerdasan emosional terhadap resiliensi psikologis
pada remaja panti asuhan.
Di samping itu, meskipun terdapat penelitian yang mengaitkan kecerdasan
emosional dengan resiliensi psikologis pada remaja dari kelompok rentan, penelitian
tersebut baru dilakukan pada siswa di tempat rehabilitasi narkoba. Hasilnya menunjukkan
adanya hubungan yang positif, yaitu kecerdasan emosional yang tinggi akan diikuti pula
dengan resiliensi yang juga tinggi (Setyowati, Hartati, & Sawitri, 2010). Penelitian tersebut

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 328


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Kecerdasan emosi sebagai predictor resiliensi psikologis
pada remaja di panti asuhan

memiliki kekurangan, karena hanya dilakukan pada satu panti rehabilitasi, pada remaja
dengan adiksi yang tentunya memiliki kerentanan berbeda dengan remaja di panti asuhan,
serta hanya melihat ada tidaknya hubungan antar kedua variabel. Penelitian tersebut tidak
menggambarkan seberapa besar peranan kecerdasan emosional dalam mendukung
resiliensi psikologis pada populasi remaja rentan lainnya, termasuk mereka yang tinggal di
panti asuhan dan tidak memiliki masalah adiksi.
Lebih lanjut, jika ditemukan bahwa kecerdasan emosional dapat menjadi prediktor
yang signifikan bagi resiliensi psikologis remaja panti asuhan, maka temuan ini akan
menjadi pengetahuan penting bagi pengembangan kesehatan mental remaja di panti
asuhan. Terutama mengingat bahwa menurut Goleman (2015), kecerdasan emosional
dapat dipelajari dan dikembangkan, maka remaja panti asuhan dapat diajarkan untuk
mengembangkan kecerdasan emosional dalam menghadapi tantangan-tantangan
hidupnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti sejauh mana
kecerdasan emosi dapat berpengaruh terhadap resiliensi yang dimiliki remaja panti
asuhan. Peneliti memprediksi bahwa kecerdasan emosional akan berpengaruh secara
positif terhadap resiliensi psikologis yang mereka miliki.

Metode Penelitian
Desain dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu menggunakan data-data
berupa angka yang selanjutnya diolah dengan menggunakan metode statistic (Azwar,
2011). Rancangan penelitian yang digunakan adalah non eksperimen, yaitu tidak adanya
manipulasi dalam variabel prediktor, dan dengan tipe penelitian asosiatif, yaitu mencari
hubungan antara satu variabel dengan variabel lain (Sugiyono, 2011). Variabel kriterium
dalam penelitian ini adalah resiliensi psikologis dan variabel prediktor adalah kecerdasan
emosional.

Partisipan
Populasi yang dituju adalah remaja panti asuhan di wilayah Jakarta. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan non-probability
sampling, yaitu purposive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan mengunjungi
beberapa panti asuhan di wilayah DKI Jakarta sesuai dengan keterjangkauan lokasi dan
kesediaan, kemudian menyebarkan kuesioner kepada para remaja yang memenuhi
kriteria, yaitu remaja laki-laki maupun pertemuan yang berusia 11-18 tahun, menetap atau
tinggal di panti asuhan, belum menikah, dan berada di wilayah DKI Jakarta.
Proses pengambilan data yang dilakukan berhasil memperoleh sampel sebanyak
145 partisipan penelitian. Partisipan yang bergabung dalam penelitian lebih banyak
berjenis kelamin perempuan, yaitu berjumlah 83 orang (55,2%), dan sisanya adalah laki-laki
sebanyak 62 orang (44,8%). Rata – rata responden berusia 15 – 17 tahun (remaja tengah)
sebanyak 72 orang (49,7%). Mayoritas responden berpendidikan SMP sebanyak 92 orang
(63,4%). Jika ditinjau dari lama tinggal di panti asuhan responden lebih banyak sudah

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 329


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Fitri Apriani, Ratih Arruum Listyandini Volume 8 No. 2, Desember 2019

tinggal di panti asuhan selama 2 – 6 tahun, yaitu berjumlah 120 orang dengan (82,8%). Rata-
rata responden berada di panti asuhan karena faktor ekonomi berjumlah 84 orang (57,9%)
dan mayoritas orang terdekat selama tinggal di panti asuhan adalah sesama teman panti
asuhan, yaitu sebanyak 131 orang (90,3%).

Skala Resiliensi Psikologis

Variabel resiliensi psikologis diukur dengan menggunakan alat ukur resiliensi


psikologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Connor-Davidson Resilience Scale
(CD-RISC) yang terdiri dari 25 item dan terdiri dari aitem favorable, dan menggunakan
jawaban skala likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban (0-4), yaitu sangat tidak benar,
hampir tidak benar, kadang-kadang benar, seringkali benar, dan hampir setiap saat benar.
Semakin tinggi total skor pada Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC), maka semakin
tinggi pula tingkat resiliensi psikologis pada subjek dan begitu pula sebaliknya. Contoh
pernyataan salah satu aitem alat ukur CD-RISC yaitu “Saya bekerja untuk mencapai tujuan”.
Adaptasi skala CD-RISC pada populasi remaja umum sudah pernah dilakukan oleh
Mujahidah & Listiyandini (2018) yang di dalamnya terdapat proses backtranslation, expert
judgement, uji keterbacaan, serta uji coba. Uji coba pada populasi remaja umum
menemukan hasil reliabilitas dan validitas yang memadai (α= 0.919, r.it= 0.28-0.78). Peneliti
kemudian melakukan uji coba ulang pada remaja di panti asuhan dan ditemukan bahwa
aitem–aitem dalam alat ukur CD–RISC memiliki nilai koefisien reliabilitas sebesar α= 0,871,
dengan rentang korelasi item-total r.it= 0,172–0,616. Menurut Nisfiannoor (2009), batasan
korelasi item-total yang dikatakan layak adalah sebaiknya di atas 0.2. Namun demikian,
mengingat bahwa indeks reliabilitas di atas 0,6 sudah dikatakan baik (Sunjoyo, dkk, 2013)
dan sampel uji coba yang kami gunakan jumlahnya terbatas (n=145) dibandingkan yang
digunakan dalam skala asli dari Connor & Davidson (2003) atau skala adaptasi pada remaja
umum (Mujahidah & Listiyandini, 2018), maka kami memutuskan untuk mempertahankan
seluruh item asli dalam penghitungan skor total. Dengan demikian, rentang skor dari
seluruh penjumlahan item CD-RISC adalah 0-100 (25 item, dengan skala likert 0-4).

Skala Kecerdasan Emosi

Adapun alat ukur kecerdasan emosi yang digunakan yaitu alat ukur yang disusun
oleh Schutte, Malouff, Hall, Haggerty, Cooper, Golden, dan Dornheim (1998) berdasarkan
teori dari Mayer dan Salovey (1990, dalam Schutte, dkk, 1998). Skala kecerdasan emosional
ini terdiri dari 33 aitem, yang terdiri dari aitem favorable dan aitem unfavorable, dan
menggunakan jawaban skala likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban. Tingkat
kecerdasan emosi dinilai dari tingg rendahnya skor. Contoh salah satu pernyataan aitem
alat ukur kecerdasan emosi yaitu “Dengan melihat ekspresi wajah, saya mengenali emosi
yang dialami orang lain”. Schutte, dkk. (1998) mendapatkan konsistensi internal dari skala
yang disusun sebesar α=0,87.

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 330


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Kecerdasan emosi sebagai predictor resiliensi psikologis
pada remaja di panti asuhan

Dikarenakan belum adanya penelitian lain di Indonesia yang menggunakan skala


kecerdasan emosional yang sama, maka peneliti melakukan adaptasi dari skala kecerdasan
emosi ini melalui translasi, backtranslation, dan expert judgment, serta uji keterbacaan.
Setelah itu, peneliti melakukan uji coba terhadap 145 remaja panti asuhan dan menemukan
bahwa aitem–aitem dalam alat ukur kecerdasan emosi memiliki nilai koefisien reliabilitas
α=0,879, dengan rentang korelasi item-total sebesar r.it= 0,121 – 0,613. Meskipun menurut
Nisfiannoor (2009) rentang validitas item yang baik adalah di atas 0.2, kami tetap
mempertahankan item dengan korelasi item-total di bawah 0.2 dalam penghitungan skor
total dikarenakan: 1) indeks reliabilitas yang tidak jauh berbeda dengan skala aslinya (>0.8)
dan dapat dikatakan baik, karena di atas 0.6 (Sunjoyo, dkk, 2013), 2) sampel uji coba yang
kurang representatif karena hanya menggunakan remaja panti asuhan, dan 3) untuk
mempertahankan struktur asli dari skala kecerdasan emosional yang asli.

Teknik Analisis Data


Sebelum melakukan uji regresi sederhana, peneliti akan melakukan uji normalitas
data dan uji linearitas terlebih dahulu. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu teknik analisis regresi sederhana untuk menilai seberapa jauh pengaruh dari
variabel prediktor terhadap sebuah variabel kriteria.

Hasil
Gambaran Kecerdasan Emosi dan Resiliensi pada Remaja Panti Asuhan
Berdasarkan hasil analisis statistik, skor rata-rata kecerdasan emosional sebesar M=
125.53 (SD= 12.680). Selain itu, didapatkan juga skor rata-rata resiliensi psikologis sebesar
M= 68.72 (SD= 11.675).
Berdasarkan tabel 1 diperoleh hasil data kategorisasi kecerdasan emosional, yaitu
rata-rata responden dalam penelitian ini memiliki kategorisasi kecerdasan emosional tinggi
dengan persentase 57.93%, sedangkan yang memiliki kategorisasi kecerdasan emosional
sedang 42.06% dan tidak ada yang dalam kategori rendah.

Tabel 1
Kategorisasi Kecerdasan Emosional
Kelompok Rentang Skor Total Persentase
Rendah 33 – 77 0 0%
Sedang 78 – 122 61 42,06 %
Tinggi 123 – 165 84 57,93 %
Jumlah 145 100 %

Berdasarkan tabel 2 diperoleh hasil data kategorisasi resiliensi psikologis, yaitu rata-
rata responden dalam penelitian ini memiliki kategorisasi resiliensi psikologis tinggi
dengan persentase 51,03%, sedangkan yang memiliki kategorisasi resiliensi psikologis
sedang 46,89% dan rendah, yaitu 2,06%.

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 331


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Fitri Apriani, Ratih Arruum Listyandini Volume 8 No. 2, Desember 2019

Tabel 2
Kategorisasi Resiliensi psikologis
Kelompok Rentang Skor Total Persentase
Rendah 0 – 33 3 2,06 %
Sedang 34 – 67 68 46,89 %
Tinggi 68 – 100 74 51,03 %
Jumlah 145 100 %

Uji Asumsi Statistik


Sebelum melakukan uji regresi, peneliti melakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu,
berupa uji normalitas dan liniearitas. Berdasarkan tabel 3 di bawah, data pada penelitian
ini berdistribusi normal, karena nilai signifikansi untuk nilai residual kecerdasan emosi dan
resiliensi psikologis >0.05 yaitu 0.395.

Tabel 3
Hasil Uji Normalitas
Variabel K-SZ Sig. (2-tailed)
Kecerdasan Emosional dan Resiliensi 0.898 0.395
psikologis

Setelah uji normalitas, tahapan selanjutnya adalah uji linieritas. Pada penelitian ini
uji linieritas dilakukan dengan uji Pearson Product Moment. Hasil uji linieritas dilihat dari
nilai signifikan dengan ketentuan apabila p <0.05 artinya membentuk hubungan linier
antara dua variabel. Sedangkan, bila data memiliki nilai p>0.05 artinya data tersebut tidak
membentuk hubungan yang linier (Nisfianoor, 2009).
Berdasarkan tabel 4 di bawah, variabel dalam penelitian ini membentuk hubungan
yang linier karena memiliki nilai signifikan p<0,05 yaitu sebesar 0,000. Dengan demikian,
peneliti dapat melakukan analisa regresi sederhana untuk menguji hipotesis penelitian.

Tabel 4.
Hasil Uji Linearitas
Variabel F Sig.
Kecerdasan Emosional dan Resiliensi 136.561 0.000
psikologis

Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Resiliensi Psikologis


Sebelum melakukan uji regresi sederhana, pada penelitian ini, peneliti
mengkorelasikan skor total kecerdasan emosional dengan skor total resiliensi psikologis
(CD-RISC) untuk melihat hubungan antara dua variabel. Pada tabel di bawah (tabel 5)
terlihat bahwa kecerdasan emosional memiliki korelasi positif yang signifikan pada

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 332


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Kecerdasan emosi sebagai predictor resiliensi psikologis
pada remaja di panti asuhan

kategori kuat dengan resiliensi psikologis sebesar r=0,650 (p=0,000). Nilai koefisien
korelasi yang bersifat positif menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan
emosional, maka semakin tinggi tingkat resiliensi psikologis remaja di panti asuhan.

Tabel 5.
Hasil Uji Korelasi
Variabel r Sig. (2- N
tailed)
Kecerdasan Emosional dan Resiliensi 0.650 0.000 145
psikologis

Uji Hipotesis: Kecerdasan Emosi sebagai Prediktor Resiliensi Psikologis


Peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi sederhana. Berdasarkan
tabel 6 di bawah, didapatkan bahwa kecerdasan emosi memiliki pengaruh positif yang
signifikan terhadap resiliensi psikologis remaja panti asuhan (F = 104.585, b= 0.598, p =
0.000). Koefisien determinasi (R-square) yang ditemukan adalah sebesar 0.422. Hal ini
mengindikasikan bahwa kecerdasan emosi dapat menjelaskan 42.2% varians dari resiliensi
psikologis, dan terdapat 57.8% yang dijelaskan oleh faktor lainnya di luar kecerdasan emosi.

Tabel 6.
Hasil Uji Regresi Sederhana: Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Resiliensi Psikologis
Dimensi R-Square F Sig. Persamaan Regresi
Kecerdasan Emosional dan 0.422 104.585 0,000 Y = -6.404 + .598X
Resiliensi psikologis

Analisis Tambahan: Perbedaan Resiliensi dan Kecerdasan Emosional berdasarkan Faktor


Demografi
Peneliti juga melakukan perhitungan statistik untuk melihat ada atau tidaknya
perbedaan kecerdasan emosional dan resiliensi psikologis berdasarkan faktor – faktor
yang mempengaruhi, seperti: jenis kelamin, usia, pendidikan, lama tinggal di panti asuhan,
alasan berada di panti asuhan, dan orang terdekat. Dari hasil perhitungan berdasarkan
faktor – faktor mempengaruhinya ditemukan bahwa hanya faktor orang terdekat yang
memegang peranan terhadap perbedaan variabel. Variabel lain seperti jenis kelamin, usia,
pendidikan, lama tinggal di panti asuhan, dan alasan berada di panti asuhan tidak
mempengaruhi tinggi rendahnya skor.
Berdasarkan tabel 7, ditemukan bahwa remaja yang merasa lebih dekat dengan
teman panti asuhan akan memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik dibandingkan
remaja yang dekat dengan pengasuh panti asuhan (t=-2.305, p=0,023, p<0,05).

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 333


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Fitri Apriani, Ratih Arruum Listyandini Volume 8 No. 2, Desember 2019

Tabel 7.
Hasil Uji Perbedaan Kecerdasan Emosional berdasarkan kedekatan dengan teman dan
pengasuh
Kelompok Mean KE* SD t Sig.
-2.305 0.023
Merasa dekat dengan 118.21 13.768
Pengasuh Panti Asuhan
Merasa dekat dengan 126.31 12.359
Teman Panti Asuhan
*KE= Kecerdasan emosi
Lebih lanjut, berdasarkan tabel 8, ditemukan bahwa remaja yang memandang
dirinya lebih dekat dengan teman panti asuhan tampak memiliki resiliensi psikologis yang
juga lebih baik dibandingkan remaja yang dekat dengan pengasuh panti asuhan t=-2.097,
p=0.038 <0,005.

Tabel 8.
Hasil Uji Perbedaan Resiliensi Psikologis berdasarkan kedekatan dengan teman dan
pengasuh
Kelompok Mean SD t Sig.
Resiliensi
-2.097 0.038
Merasa dekat dengan 62.57 12.635
pengasuh Panti Asuhan
Merasa dekat dengan 69.37 11.424
Teman Panti Asuhan

Pembahasan
Dari hasil analisis ditemukan bahwa kecerdasan emosi dapat menjadi prediktor
yang signifikan terhadap resiliensi psikologis remaja panti asuhan dengan kontribusi
efektif sebesar 42.2%. Dengan demikian, hipotesis penelitian dapat diterima. Mendukung
penelitian Setyowati, Hartati, & Sawitri (2010) pada kelompok remaja di panti rehabilitasi
yang menunjukkan adanya hubungan positif di antara kedua variabel, pada penelitian ini
ditemukan bahwa kecerdasan emosional menjadi prediktor yang kuat dalam menjelaskan
tinggi rendahnya resiliensi pada populasi remaja rentan. Khususnya pada remaja dengan
pengalaman tinggal di luar asuhan orang tua, hasil penelitian ini merupakan bukti terbaru
mengenai pentingnya kecerdasan emosional pada kelompok remaja rentan.
Regulasi emosi merupakan salah satu aspek kecerdasan emosional yang berkaitan
dengan aspek resiliensi psikologis, yaitu berkaitan dengan kontrol, dimana individu mampu
mengontrol dirinya ketika dihadapkan pada situasi yang sulit. Remaja yang mampu
mengatur emosinya akan mengerti bahwa setiap tindakan yang dilakukan ada
konsekuensinya, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Menurut Wolin & Wolin

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 334


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Kecerdasan emosi sebagai predictor resiliensi psikologis
pada remaja di panti asuhan

(dalan Setyowati, Hartati & Sawitri, 2010) mereka yang resilien akan mampu mengambil
keputusan dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi sehingga akan terhindar
dari perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Oleh karena itu, remaja panti asuhan
dengan kecerdasan emosi yang tinggi, akan lebih dapat menghadapi konflik yang
menekan, mengenali perubahan emosi yang terjadi pada dirinya, dan penyebabnya.
Kemampuan ini membantu mereka untuk lebih bisa mengelola emosi yang dimiliki tanpa
harus terlarut di dalamnya, sehingga dapat memiliki coping yang tepat dalam
menyelesaikan masalah yang sedang terjadi (Saptoto dalam Sari & Widyastuti, 2015).
Dengan kecerdasan emosi, remaja panti asuhan akan lebih memahami emosi
dirinya dan orang lain secara lebih utuh dan mendalam, membantunya bersikap lebih
positif atau optimis dalam mengelola semua masalah, sehingga mendorong mereka untuk
lebih mampu menjalin relasi yang baik dengan orang di sekitarnya. Sikap optimis sendiri
pernah ditemukan menjadi prediktor penting dari resiliensi remaja akhir dalam memasuki
masa transisi ke tahap berikutnya, seperti saat menghadapi tantangan tugas akhir
(Roellyana & Listiyandini, 2016). Sebaliknya, Goleman (dalam Sari & Widyastuti, 2015)
mengatakan bahwa jika individu tidak memiliki kecerdasan emosi yang baik, ia akan
cenderung bersikap agresif.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa kecerdasan emosional dan resiliensi
psikologis remaja panti asuhan tergolong baik. Berdasarkan dari hasil kategorisasi yang
terbagi menjadi tiga kategori, kecerdasan emosional para remaja panti asuhan dalam
penelitian ini termasuk ke dalam kategori tinggi dengan jumlah persentase sebesar 57.93%
(84 orang). Hal ini mengindikasikan bahwa mereka cukup mampu untuk mengenali emosi,
bersikap optimis, dan menjalin relasi yang positif dengan orang lain. Hasil penelitian ini
menunjukkan perbedaan dan kebaruan dari penelitian sebelumnya dari Hartini (2001) yang
menunjukkan bahwa remaja panti asuhan cenderung menarik diri dan mudah bersikap
putus asa.
Untuk variabel resiliensi psikologis juga ditemukan sebagian besar berada pada
kategorisasi tinggi (51.03%). Hasil ini diduga karena sebagian besar remaja panti asuhan
dalam penelitian ini sudah tinggal selama 1-6 tahun. Hartati dan Respati (2012) menyatakan
bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan selama lebih dari satu tahun, akan sudah akan
lebih mampu untuk menyesuaikan diri secara sosial maupun terhadap berbagai stressor
yang muncul di lingkungan panti asuhan. Oleh karena itu, mereka juga sudah belajar
bagaimana caranya untuk bisa bangkit dari kesulitan yang dihadapi dengan memanfaatkan
hubungan mereka dengan orang lain.
Mayoritas remaja yang menjadi partisipan dalam penelitian ini ditemukan karena
faktor ekonomi. Menurut De Panifilis (dalam Rahma, 2011), kondisi ekonomi merupakan
salah satu faktor yang dapat menyebabkan pengabaian atau kurang mampunya orangtua
untuk memenuhi kebutuhan anak, sehingga panti asuhan menjadi salah satu pilihan. Hal
ini juga sesuai dengan data sebelumnya yang menunjukkan bahwa sebagian besar anak di
panti disebabkan karena faktor perekonomian (Yuniana dalam Resty, 2016). Hal ini menarik
untuk diteliti lebih lanjut mengenai perbedaan perkembangan kecerdasan emosional dan

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 335


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Fitri Apriani, Ratih Arruum Listyandini Volume 8 No. 2, Desember 2019

resiliensi psikologis remaja panti asuhan dibandingkan dengan remaja kelas sosial ekonomi
bawah yang tidak tinggal di panti asuhan. Disamping itu, gambaran mengenai tingginya
kecerdasan emosional dan resiliensi psikologis pada remaja panti asuhan masih perlu
diteliti lebih lanjut dengan membandingkan pada kelompok remaja yang tidak tinggal di
panti asuhan, sehingga mendapatkan gambaran yang lebih objektif.
Berdasarkan hasil analisis perbedaan kecerdasan emosional dan resiliensi
psikologis berdasarkan faktor – faktor yang mempengaruhinya ditemukan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan berdasarkan orang yang dianggap dekat. Remaja panti asuhan
yang dekat dengan teman panti asuhan ditemukan memiliki kecerdasan emosi yang lebih
tinggi jika dibandingkan mereka yang dekat dengan pengasuh panti asuhan. Menurut
Goleman (2015), individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi memiliki keterampilan
membina hubungan interpersonal yang baik, karena mudah bergaul dan tidak cemas,
sehingga memiliki banyak teman.
Begitu pun dengan resiliensi psikologis, ditemukan adanya resiliensi psikologis
yang lebih tinggi pada remaja panti asuhan yang dekat dengan teman panti asuhan jika
dibandingkan mereka yang dekat dengan pengasuh. Suyasa & Wijaya (2006) mengatakan
bahwa Individu yang resilien senantiasa berkomunikasi dengan teman atau keluarga
dekatnya untuk mengurangi akibat dari kesulitan yang dihadapi dan dapat menciptakan
perasaan nyaman dan kesenangan. Dengan begitu individu yang memiliki banyak teman
akan selalu mendapatkan dukungan dari teman – temannya (Rahmawan dalam Mulia,
Elita, dan Woferst 2014), yang dapat menjadi modalitas mereka untuk bisa bangkit dari
kesulitan yang dihadapi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki
peranan cukup besar (42.2%) terhadap resiliensi psikologis pada remaja di panti asuhan.
Namun demikian, penelitian ini belum mampu menggambarkan faktor-faktor mediator
yang berpengaruh terhadap hubungan kedua variabel. Hal ini dapat dijadikan sebagai
pertimbangan bagi pengembangan penelitian dengan tema yang serupa. Selain itu, masih
terdapat 57.8% varians resiliensi psikologis yang belum dapat dijelaskan melalui kecerdasan
emosional dari faktor lain. Resiliensi psikologis sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor dari
dalam individu (internal) dan faktor dari luar individu (eksternal) (Reivich & Shatte, dalam
Hadiningsih, 2014). Oleh karena itu, penelitian berikutnya juga dapat melakukan
pengembangan dengan menambahkan variabel-variabel lain yang juga dapat berpengaruh
terhadap resiliensi psikologis remaja.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional
merupakan prediktor yang signifikan bagi resiliensi psikologis pada remaja di panti asuhan,
dengan kontribusi efektif sebesar 42.2%. Pengaruh yang dihasilkan bersifat positif, yang
artinya tingginya kecerdasan emosi yang dimiliki remaja panti asuhan, akan diikuti pula

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 336


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Kecerdasan emosi sebagai predictor resiliensi psikologis
pada remaja di panti asuhan

dengan tingginya resiliensi psikologis yang mereka miliki. Hal ini mengindikasikan bahwa
remaja panti asuhan yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, maka akan lebih
mampu untuk bangkit dari permasalahan yang dihadapi.
Pada penelitian selanjutnya, variabel psikologis lain yang bersumber dari internal
seperti religiusitas ataupun penerimaan diri, ataupun eksternal seperti dukungan teman
sebaya dan sekolah, bisa diteliti kaitannya dengan resiliensi psikologis pada remaja panti
asuhan. Penambahkan metode kualitatif, seperti observasi dan wawancara, juga
diharapkan akan lebih mampu untuk menjelaskan dinamika antar variabel yang muncul.
Meningat pentingnya kecerdasan emosi terhadap resiliesi pada remaja di panti
asuhan, peningkatan aspek – aspek kecerdasan emosional remaja panti asuhan menjadi
penting dilakukan untuk menumbuhkan resiliensi. Dalam hal ini, psikolog atau pekerja
sosial dapat mengadakan pelatihan peningkatan kecerdasan emosi atau membuat
program konseling kelompok sebaya. Di dalam program pengembangan resiliensi, remaja
panti asuhan dapat diajarkan cara untuk mengenali serta menyampaikan perasaannya
terhadap orang – orang di sekitarnya, mengelola emosinya dengan positif, maupun
memotivasi diri sendiri, sehingga diharapkan mereka akan lebih mampu menghadapi
kesulitan-kesulitan yang ada di dalam hidupnya, baik saat ini maupun yang akan datang.

Referensi
Aisha, D. L. (2014). Hubungan antara religiusitas dengan resiliensi psikologis pada remaja
di panti asuhan keluarga yatim muhammadiyah Surakarta. Naskah Publikasi.
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Azwar, S. (2011). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmawati, B.D., Listiyandini, R.A., & Rahmatika, R. (2019). Resiliensi psikologis dan
pengaruhnya terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada remaja di panti
asuhan. Analitika: Jurnal Magister UMA, 11(1), 21-30.
Connor, K. M., & Davidson J. R. T. (2003). Development of a new resilience scale: The
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Journal of Depression And Anxiety.
Vol18:76–82.
Goleman, D. (2015). Terjemahan: Hermaya, T. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI lebih
penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hadiningsih, T.T. (2014). Hubungan antara dukungan sosial dengan resiliensi psikologis
pada remaja di panti asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hartati, L., & Respati, W.S. (2012). Kompetensi interpersonal pada remaja yang tinggal di
panti asuhan asrama dan yang tinggal di panti asuhan cottage. Jurnal Psikologi, 10
(2), 79-86.

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 337


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Fitri Apriani, Ratih Arruum Listyandini Volume 8 No. 2, Desember 2019

Hartini. (2001). Deskripsi kebutuhan psikologis pada anak panti asuhan. Jurnal Insan Media
Psikologi, 3 (2), 109-1118.
Hurriyati, B. D. (2014). Proses adaptasi dan interaksi sosial anak panti asuhan Putri Sinar
Melati (IV) Berbah dengan lingkungan sekitar. Skripsi. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Illahi, S. P. K., & Akmal, S. Z. (2018). Hubungan kelekatan dengan teman sebaya dan
kecerdasan emosi pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Psikohumaniora:
Jurnal Penelitian Psikologi, 2(2), 171-181.
Kaur, S & Rani, C (2015). Exploring psychological health of orphan adolescents: A
comparative analysis. International Journal of English Language, Literature and
Humanities, 3, 27-47.
Kristanti. (2013). Stres pada remaja yang tinggal di panti asuhan. eJournal Psikologi, 1 (2),
566-580.
Lusiawati. (2013). Kecerdasan emosi dan penyesuaian diri pada remaja awal yang tinggal
di Panti Asuhan Uswatun Hasanah Samarinda. eJournal Psikologi, 1(2), 167 – 176.
Mayer, J. D., Salovey, P., Caruso, D. R., & Sitarenios, G. (2003). Measuring emotional
intelligence with the MSCEIT V2. 0. Emotion, 3(1), 97.
Mazaya, K.N. & Supradewi, R. (2011). Hubungan konsep diri dan kebermaknaan hidup pada
remaja di panti asuhan. Jurnal Proyeksi, 6 (2), 103-112.
Mulia, L.O., Elita, V., & Woferst, R. (2014). Hubungan dukungan sosial teman sebaya
terhadap tingkat resiliensi psikologis remaja di panti asuhan. JOM PSIK, 1 (2), 1-9.
Mujahidah, E., & Listiyandini, R. A. (2018). Pengaruh resiliensi dan empati terhadap gejala
depresi pada remaja. Jurnal Psikologi, 14(1), 60-75.
Napitupulu, C. A. (2009). Resiliensi psikologis remaja yatim piatu di panti asuhan mardi
siswi kalangan yogyakarta. Skripsi. Universitas Sanata Dharma.
Nisfiannoor, M. (2009). Pendekatan Statistika Modern Untuk Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika.
Pahalani, P.S. (2015). Pengaruh pelatihan regulasi emosi untuk meningkatkan resiliensi
psikologis pada remaja yang tinggal di Panti Asuhan. Empathy: Jurnal Fakultas
Psikologi, 3 (2), 1-9.
Rahma, A. N. (2011). Hubungan efikasi diri dan dukungan sosial dengan penyusuaian diri
remaja di panti asuhan. Psikoislamika, 8 (2), 232-246.
Resty, G. T. (2016). Pengaruh penerimaan diri terhadap harga diri remaja di panti asuhan
yatim putri aisyiyah yogyakarta. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling,
5(1), 1-11.
Roellyana, S., & Listiyandini, R. A. (2016). Peranan optimisme terhadap resiliensi pada
mahasiswa tingkat akhir yang mengerjakan skripsi. Prosiding Konferensi Nasional
Peneliti Muda Psikologi Indonesia, 1(1), 29-37.
Sari, T. D. & Widyastuti A. (2015). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan kemampuan
manajemen konflik pada istri. Jurnal Psikologi, 11 (1), 49-54.
Schutte, N. S., Malouff, J. M., Hall, L. E., Haggerty, D. J., Cooper, J. T., Golden, C. J., &
Dornheim, L. (1998). Development and validation of a measure of emotional
intelligence. Personality and individual differences, 25(2), 167-177.
Setyowati A., Hartati S., & Sawitri D. R. (2010). Hubungan antara kecerdasan emosional
dengan resiliensi psikologis pada siswa penghuni rumah damai. Jurnal Psikologi
Undip, 7 (1), 67-77.

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 338


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Kecerdasan emosi sebagai predictor resiliensi psikologis
pada remaja di panti asuhan

Suyasa, P. T. Y. S., & Wijaya F. (2006). Resiliensi psikologis dan sikap terhadap
penyalahgunaan zat (studi pada remaja). Jurnal Psikologi, 4 (2), 102-118.
Sunjoyo. (2013). Aplikasi SPSS Untuk Smart Riset. Bandung: Alfabeta.
Torong, A.S.M.S. (2014). Pengaruh dukungan sosial pengasuh terhadap motivasi belajar
anak panti asuhan usia remaja di panti asuhan Mamiyai Al-Ittihadiyah Medan.
Skripsi. UniversitasNegeri Medan.
Tsuraya, F. H. (2017). Hubungan antara resiliensi dengan subjective well-being pada remaja
panti asuhan di kabupaten banyumas. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Yunita, O. (2014). Gambaran subjective well-being pada remaja yang tinggal di Panti
Asuhan. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Page | 339


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

Anda mungkin juga menyukai